Bab 1 Pendahuluan
Bab 1 Pendahuluan
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk menjelaskan dan mengetahui konsep dasar teori serta bagaimana cara
menyusun asuhan keperawatan pada pada pasien dengan gangguan gagal ginjal
baik yang bersifat akut.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Agar mahasiswa mengerti tentang definisi dari gagal ginjal akut.
2. Agar mahasiswa mengerti tentang etiologi dari gagal ginjal akut.
3. Agar mahasiswa mengetahui tentang klasifikasi dari gagal ginjal akut.
4. Agar mahasiswa mengetahui tentang manifestasi klinis dari gagal ginjal akut.
5. Agar mahasiswa dapat memahami tentang WOC dari gagal ginjal akut.
6. Agar mahasiswa dapat memahami tentang patofisiologi dari gagal ginjal akut.
7. Agar mahasiswa dapat mengerti dan memahami tentang pemeriksaan penunjang
dari gagal ginjal akut.
8. Agar mahasiswa dapat mengerti dan memahami tentang pemeriksaan diagnostik
dari gagal ginjal akut.
9. Agar mahasiswa mengetahui tentang penatalaksanaan dari gagal ginjal akut.
10. Agar mahasiswa mengetahui tentang komplikasi dari gagal ginjal akut.
11. Agar mahasiswa dapat memahami dan mengaplikasikan asuhan keperawatan pada
pasien dengan gagal ginjal akut.
1.4 Manfaat
Dengan adanya makalah ini, diharapkan mahasiswa dapat dapat menambah
wawasan dan informasi dalam penanganan gagal ginjal akut dan mampu
mengaplikasikan asuhan keperawatan pada klien dengan gagal ginjal akut secara
tepat dan benar, serta mampu mengimplementasikannya dalam proses
keperawatan.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah
metabolic tubuh atau melakukan fungsi regulernya. Suatu bahan yang biasanya
dieliminasi di urin menumpuk dalam cairan tubuh akibat gangguan ekskresi renal
dan menyebabkan gangguan fungsi endokrin dan metabolic, cairan, elektrolit,
serta asam basa. Gagal ginjal merupakan penyakit sistemik dan merupakan jalur
akhir yang umum dari berbagai penyakit traktus urinarius dan ginjal (Saifudin,
2010).
Gagal ginjal akut adalah sindrom klinis dimana ginjal tidak lagi
mengsekresi produk-produk limbah metabolisme. Biasanya karena hiperfusi ginjal
sindrom ini biasa berakibat azotemia (uremia), yaitu akumulasi produk limbah
nitrogen dalam darah dan aliguria dimana haluaran urine kurang dari 400 ml / 24
jam (Tambayong, 2000).
Menurut levinsky dan Alexander (1976), gagal ginjal akut terjadi akibat
penyebab-penyebab yang berbeda. Ternyata 43% dari 2200 kasus gagal ginjal
akut berhubungan dengan trauma atau tindakan bedah 26% dengan berbagai
kondisi medic 13%, pada kehamilan dan 9% disebabkan nefrotoksin penyebab
GGA dibagi dalam katagori renal, renal dan pasca renal
Gagal ginjal akut dikenal dengan Acute Renal Fallure (ARF) adalah
sekumpulan gejala yang mengakibatkan disfungsi ginjal secara mendadak
(Nursalam, 2006).
Gagal ginjal akut (GGA) adalah suatu keadaan fisiologik dan klinik yang
ditandai dengan pengurangan tiba-tiba glomerular filtration rate (GFR) dan
perubahan kemampuan fungsional ginjal untuk mempertahankan eksresi air yang
cukup untuk keseimbangan dalam tubuh. Atau sindroma klinis akibat kerusakan
metabolik atau patologik pada ginjal yang ditandai dengan penurunan fungsi yang
nyata dan cepat serta terjadinya azotemia.
Gagal Ginjal Akut adalah kemunduran yang cepat dari kemampuan ginjal
dalam membersihkan darah dari bahan-bahan racun yang menyebabkan
penimbunan limbah metabolik di dalam darah (misalnya urea).
2.2 Etiologi
Sampai saat ini para praktisi klinik masih membagi etiologi gagal ginjal
akut dengan tiga kategori meliputi :
a. Prarenal
Kondisi prarenal adalah masalah aliran darah akibat hipoperpusi ginjal dan
turunnya laju filtrasi glomeruls. Gagal ginjal akut Prerenal merupakan kelainan
fungsional, tanpa adanya kelainan histologik atau morfologik pada nefron. Namun
bila hipoperfusi ginjal tidak segera diperbaiki, akan menimbulkan terjadinya
nekrosis tubulat akut (NTA). Kondisi ini meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Hipovolemik (perdarahan postpartum, luka bakar, kehilangan cairan dari
gastrointestinal pankreatitis, pemakaian diuretik yang berlebih)
2. Fasodilatasi (sepsis atau anafilaksis)
3. Penurunan curah jantung (disaritmia, infark miokard, gagal jantung, syok
kardioenik dn emboli paru)
4. Obstruksi pembuluh darah ginjal bilateral (emboli, trombosis)
b. Renal
Pada tipe ini Gagal Ginjal Akut timbul akibat kerusakan jaringan ginjal.
Kerusakan dapat terjadi pada glomeruli atau tubuli sehingga faal ginjal langsung
terganggu. Dapat pula terjadi karena hipoperfusi prarenal yang tak teratasi
sehingga mengakibatkan iskemia, serta nekrosis jaringan ginjal Prosesnya dapat
berlangsung cepat dan mendadak, atau dapat juga berlangsung perlahan–lahan dan
akhirnya mencapai stadium uremia. Kelainan di ginjal ini dapat merupakan
kelanjutan dari hipoperfusi prarenal dan iskemia kemudian menyebabkan nekrosis
jaringan ginjal. Beberapa penyebab kelainan ini adala :
1. Koagulasi intravaskuler, seperti pada sindrom hemolitik uremik, renjatan sepsis
dan renjatan hemoragik.
2. Glomerulopati (akut) seperti glomerulonefritis akut pasca sreptococcus, lupus
nefritis, penolakan akut atau krisis donor ginjal.
3. Penyakit neoplastik akut seperti leukemia, limfoma, dan tumor lain yang
langsung menginfiltrasi ginjal dan menimbulkan kerusakan.
4. Nekrosis ginjal akut misal nekrosis tubulus akut akibat renjatan dan iskemia
lama, nefrotoksin (kloroform, sublimat, insektisida organik), hemoglobinuria
dan mioglobinuria.
5. Pielonefritis akut (jarang menyebabkan gagal ginjal akut) tapi umumnya
pielonefritis kronik berulang baik sebagai penyakit primer maupun sebagai
komplikasi kelainan struktural menyebabkan kehilangan faal ginjal secara
progresif.
6. Glomerulonefritis kronik dengan kehilangan fungsi progresif.
c. Pascarenal / Postrenal
GGA pascarenal adalah suatu keadaan dimana pembentukan urin cukup, namun
alirannya dalam saluran kemih terhambat. Etiologi pascarenal terutama obstruksi
aliran urine pada bagian distal ginjal, ciri unik ginjal pasca renal adalah terjadinya
anuria, yang tidak terjadi pada gagal renal atau pre-renal. Kondisi yang umum
adalah sebagai berikut :
1. Obstruksi muara vesika urinaria: hipertropi prostat< karsinoma
2. Obstruksi ureter bilateral oleh obstruksi batu saluran kemih, bekuan darah atau
sumbatan dari tumor (Tambayong, 2000).
2.3 Klasifikasi
Tabel Klasifikasi GGA menurut The Acute Dialysis Quality Initiations Group (Roesli R, 2007).
<0,5 mL/kg/jam,
Risk >1,5 kali nilai dasar >25% nilai dasar >6 jam
<0,5 mL/kg/jam,
Injury >2,0 kali nilai dasar >50% nilai dasar >12 jam
Failure >3,0 kali nilai dasar >75% nilai dasar <0,3 mL/kg/jam, >24 jam
2.9 Penatalakasanaan
a. Penatalaksanaan secara umum adalah:
Kelainan dan tatalaksana penyebab.
1. Kelainan praginjal. Dilakukan klinis meliputi faktor pencetus keseimbangan
cairan, dan status dehidrasi. Kemudian diperiksa konsentrasi natrium urin,
volume darah dikoreksi, diberikan diuretik, dipertimbngkan pemberian
inotropik dan dopamin.
2. Kelainan pasca ginjal. Dilakukan pengkajian klinis meliputi apakah kandung
kemih penuh, ada pembesaran prostat, gangguan miksi atau nyeri pinggang.
Dicoba memasang kateter urin, selain untuk mengetahui adanya obstruksi juga
untuk pengawasan akurat dari urin dan mengambil bahan pemeriksaan. Bila
perlu dilakukan USG ginjal.
3. Kelainan ginjal. Dilakukan pengkajian klinis, urinalinasi, mikroskopik urin,
dan pertimbangkan kemungkinan biopsi ginjal, arteriografi, atau tes lainnya
b. Penatalaksanaan gagal ginjal
1. Mencapai dan mempertahankan keseimbangan natrium dan air. Masukan
natrium dibatasi hingga 60 mmol/hari dan cairan cukup 500 ml/hari di luar
kekurangan hari sebelumnya atau 30 mmol/jam di luar jumlah urin yang
dikeluarkan jam sebelumnya. Namun keseimbangan harus tetap diawasi.
2. Memberikan nutrisi yang cukup. Bisa melalui suplemen tinggi kalori atau
hiperalimentaasi intravena. Glukosa dan insulin intravena, penambahan kalium,
pemberian kalsium intravena pada kedaruratan jantung dan dialisis.
3. Pemberian manitol atau furosemid jika dalam keadaan hidrasi yang adekuat
terjadi oliguria.
4. Mencegah dan memperbaiki infeksi, terutama ditujukan terhadap infeksi
saluran napas dan nosokomial. Demam harus segera harus dideteksi dan
diterapi. Kateter harus segera dilepas bila diagnosis obstruksi kandung kemih
dapat disingkirkan.
5. Mencegah dan memperbaiki perdarahan saluran cerna. Feses diperiksa untuk
adanya perdarahan dan dapat dilakukan endoskopi. Dapat pula dideteksi dari
kenaikan rasio ureum/kreatinin, disertai penurunan hemoglobin. Biasanya
antagonis histamin H (misalnya ranitidin) diberikan pada pasien sebagai
profilaksis.
6. Dialisis dini atau hemofiltrasi sebaiknya tidak ditunda sampai ureum tinggi,
hiperkalemia, atau terjadi kelebihan cairan. Ureum tidak boleh melebihi 30-40
mmol/L. Secara umum continous haemofiltration dan dialisis peritoneal paling
baik dipakai di ruang intensif, sedangkan hemodialisis intermitten dengan
kateter subklavia ditujukan untuk pasien lain dan sebagai tambahan
untuk pasien katabolik yang tidak adekuat dengan dialisis
peritoneal/hemofiltrasi.
7. Monitoring keseimbangan cairan, pemasukan dan pengeluaran cairan atau
makanan, menimbang berat badan, monitoring nilai elektrolit darah, nilai BUN
dan nilai kreatinin.
8. Penanganan Hiperkalemia. Keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan
masalah utama pada gagal ginjal akut; hiperkalemia merupakan kondisi yang
paling mengancam jiwa pada gangguan ini. Oleh karena itu pasien dipantau
akan adanya hiperkalemia melalui serangkaian pemeriksaan kadar elektrolit
serum (nilai kalium >5.5 mEq/L; SI: 5.5 mmol/L), perubahan EKG (tinggi
puncak gelombang T rendah atau sangat tinggi), dan perubahan status klinis.
Peningkatan kadar kalium dapat dikurangi dengan pemberian ion pengganti
resin (natrium polistriren sulfonat), secara oral atau melalui retensi enema.
2.10 Komplikasi
a. Jantung: edema paru, aritmia, efusi pericardium.
b. Gangguan elektrolit: hyperkalemia, hiponatremia, asidosis.
c. Neurologi: iritabilitas neuromuskuler, flap, tremor, koma, gangguan kesadaran,
kejang.
d. Gastrointestinal: nausea, muntah, gastritis, ulkus peptikum, perdarahaan
gastrointestinal.
e. Hematologi: anemia, diathesis hemoragik.
f. Infeksi: pneumonia, septikemis, infeksi nosocomial.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
a. Pengkajian Anamnesis
Pada pengakajian anamnesis data yang diperoleh yakni identitas klien dan
identitas penanggung jawab, identitas klien yang meliputi nama, usia, jenis
kelamin, pekerjaan, serta diagnosa medis. Penyakit Gagal Ginjal Akut dapat
menyerang pria maupun wanita dari rentang usia manapun, khususnya bagi orang
yang sedang menderita penyakit serius, terluka serta usia dewasa dan pada
umumnya lanjut usia. Untuk pengkajian identitas penanggung jawab data yang
didapatkan yakni meliputi nama, umur, pekerjaan, hubungan dengan si penderita.
b. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering adalah terjadi penurunan produksi miksi.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengkajian ditujukan sesuai dengan predisposisi etiologi penyakit terutama
pada prerenal dan renal. Secara ringkas perawat menanyakan berapa lama
keluhan penurunan jumlah urine output dan apakah penurunan jumlah urine
output tersebut ada hubungannya dengan predisposisi penyebab, seperti pasca
perdarahan setelah melahirkan, diare, muntah berat, luka bakar luas, cedera
luka bakar, setelah mengalami episode serangan infark, adanya riwayat minum
obat NSAID atau pemakaian antibiotik, adanya riwayat pemasangan tranfusi
darah, serta adanya riwayat trauma langsung pada ginjal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Kaji adanya riwayat penyakit batu saluran kemih, infeksi sistem perkemihan
yang berulang, penyakit diabetes melitus dan penyakit hipertensi pada masa
sebelumnya yang menjadi predisposisi penyebab pasca renal. Penting untuk
dikaji tentang riwayat pemakaian obat-obatan masa lalu dan adanya riwayat
alergi terhadap jenis obat dan dokumentasikan.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Tanyakan adanya riwayat penyakit ginjal dalam keluarga.
c. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum dan TTV
Keadaan umum klien lemah, terlihat sakit berat, dan letargi. Pada TTV sering
didapatkan adanya perubahan, yaitu pada fase oliguri sering didapatkan suhu
tubuh meningkat, frekuensi denyut nadi mengalami peningkatan dimana
frekuensi meningkat sesuai dengan peningkatan suhu tubuh dan denyut nadi.
tekanan darah terjadi perubahan dari hipetensi rinagan sampai berat.
2. Pemeriksaan Pola Fungsi
a) B1 (Breathing).
Pada periode oliguri sering didapatkan adanya gangguan pola napas dan
jalan napas yang merupakan respons terhadap azotemia dan sindrom akut
uremia. Klien bernapas dengan bau urine (fetor uremik) sering didapatkan
pada fase ini. Pada beberapa keadaan respons uremia akan menjadikan
asidosis metabolik sehingga didapatkan pernapasan kussmaul.
b) B2 (Blood).
Pada kondisi azotemia berat, saat perawat melakukan auskultasi akan
menemukan adanya friction rub yang merupakan tanda khas efusi
perikardial sekunder dari sindrom uremik. Pada sistem hematologi sering
didapatkan adanya anemia. Anemia yang menyertai gagal ginjal akut
merupakan kondisi yang tidak dapat dielakkan sebagai akibat dari
penurunan produksi eritropoetin, lesi gastrointestinal uremik, penurunan
usia sel darah merah, dan kehilangan darah, biasanya dari saluran G1.
Adanya penurunan curah jantung sekunder dari gangguan fungsi jantung
akan memberat kondisi GGA. Pada pemeriksaan tekanan darah sering
didapatkan adanya peningkatan.
c) B3 (Brain).
Gangguan status mental, penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan
berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran
(azotemia, ketidakseimbangan elektrolit/asam/basa). Klien berisiko kejang,
efek sekunder akibat gangguan elektrolit, sakit kepala, penglihatan kabur,
kram otot/kejang biasanya akan didapatkan terutama pada fase oliguri
yang berlanjut pada sindrom uremia.
d) B4 (Bladder).
Perubahan pola kemih pad aperiode oliguri akan terjadi penurunan
frekuensi dan penurunan urine output <400 ml/hari, sedangkan pada
periode diuresis terjadi peningkatan yang menunjukkan peningkatan
jumlah urine secara bertahap, disertai tanda perbaikan filtrasi glomerulus.
Pada pemeriksaan didapatkan perubahan warna urine menjadi lebih
pekat/gelap.
e) B5 (Bowel).
Didapatkan adanya mual dan muntah, serta anoreksia sehingga sering
didapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan.
f) B6 (Bone).
Didapatkan adnaya kelemahan fisik secara umum efek sekunder dari
anemia dan penurunan perfusi perifer dari hipetensi.
d. Pemeriksaan Diagnostik
1. Laboratorium
Urinalisis didapatkan warna kotor, sedimen kecoklatan menunjukkan
adanya darah, Hb, dan myoglobin. Berat jenis <1.020 menunjukkan penyakit
ginjal, pH urine >7.00 menunjukkan ISK, NTA, dan GGK. Osmolalitas kurang
dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal dan rasio urine : serum sering 1
: 1.
Pemeriksaan BUN dan kadar kreatinin. Terdapat peningkatan yang tetap
dalakm BUN dan laju peningkatannya bergantung pada tingkat katabolisme
(pemecahan protein), perfusi renal dan masukan protein. Serum kratinin
meningkat pada kerusakan glomerulus. Kadar kreatinin serum bermanfaat dalam
pemantauan fungsi ginjal dan perkembangan penyakit.
Pemeriksaan elektrolit. Pasien yang mengalami penurunan lajut filtrasi
glomerulus tidak mampu mengeksresikan kalium. Katabolisme protein
mengahasilkan pelepasan kalium seluler ke dalam cairan tubuh, menyebabkan
hiperkalemia berat. Hiperkalemia menyebabkan disritmia dan henti jantung.
Pemeriksan pH. Pasien oliguri akut tidak dapat emngeliminasi muatan
metabolik seperti substansi jenis asam yang dibentuk oleh proses metabolik
normal. Selain itu, mekanisme bufer ginjal normal turun. Hal ini ditunjukkan
dengan adanya penurunan kandungan karbon dioksida darah dan pH darah
sehingga asidosis metabolik progresif menyertai gagal ginjal.
e. Penatalaksanaan Medis
Tujuan penatalaksanaan adalah menjaga keseimbangan dan mencegah komplikasi,
yang meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Dialisis.
Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal akut yang
serius, seperti hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dialisis memperbaiki
abnormalitas biokimia, menyebabkan cairan, protein, dan natrium dapat
dikonsumsi secara bebas; menghilangkan kecenderungan perdarahan dan
membantu penyembuhan luka.
2. Koreksi hiperkalemi.
Peningkatan kadar kalium dapat dikurangi dengan pemberian ion pengganti
resin (natrium polistriren sulfonat), secara oral atau melalui retensi enema.
Natrium polistriren sulfonat bekerja dengan mengubah ion kalium menjadi
natrium di saluran intenstinal.
3. Terapi cairan
4. Diet rendah protein, tinggi karbohidrat
5. Koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat dan dialisis
3.2 Diagnosa Keperawatan
a. Defisit volume cairan berhubungan dengan fase diuresis dari gagal ginjal akut.
b. Pola nafas nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan pH pada ciaran
serebrospinal, perembesan cairan, kongesti paru efek sekunder perubahan
membran kapiler alveoli dan retensi cairan interstisial dari edema paru pada
respons asidosis metabolik.
c. Risiko tinggi kejang b.d kerusakan hantaran saraf sekunder dari abnormalitas
elektrolit dan uremia.
d. Aktual/risiko perubahan perfusi serebral b.d. penurunan pH pada cairan
serebrospinal efek sekunder dari asidosis metabolik
e. Aktual/risiko tinggi aritmia b.d gangguan konduksi elektrikal efek sekunder
dari hiperkalemi
3.3 Intervensi
a. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan fase diuresis dari gagal ginjal akut.
Tujuan: Setelah dilakukannya asuhan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan
defisit volume cairan dapat teratasi
Kriteria: Klien tidak mengeluh pusing, membran muosa lembab, turgor kulit
normal, ttv normal, CRT < 2 detik, urine >600 ml/hari
Laboratorium: nilai hematokrit dan protein serum meningkat, BUN/kreatinin
menurun
Intervensi:
1. Monitoring status cairan (turgor kulit, membran mukosa, urine output)
R: Jumlah dan tipe cairan pengganti ditentukan dari keadaan status cairan
Penurunan volume cairan mengakibatkan menurunnya produksi urine,
monitoring yang ketat pada produksi urine <600 ml/hari karena merupakan
tanda-tanda terjadinya syok hipovolemik.
2. Kaji keadaan edema
R: Edema menunjukan perpindahan cairan karena peningkatan permeabilitas
sehingga mudah ditensi oleh akumulasi cairan walaupun minimal, sehingga
berat badan dapat meningkat 4,5 kg
3. Kontrol intake dan output per 24 jam.
R: Untuk mengetahui fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan dan
penurunan kelebihan resiko cairan.
4. Timbang berat badan tiap hari.
R: Penimbangan berat badan setiap hari membantu menentukan keseimbangan
dan masukan cairan yang tepat.
5. Beritahu keluarga agar klien dapat membatasi minum.
R: Manajemen cairan diukur untuk menggantikan pengeluaran dari semua
sember ditambah perkiraan yang tidak nampak. Pasien dengan kelebihan cairan
yang tidak responsif terhadap pembatasan caiaran dan diuretic membutuhkan
dialysis.
6. Penatalaksanaan pemberian obat anti diuretik.
R: Obat anti diuretic dat melebarkan lumen tubular dari debris, menurunkan
hiperkalemia dan meningkatkan volume urine adekuat. Misalnya : Furosemide.
7. Kolaborasi pemeriksaan laboratorium fungsi ginjal.
R: Hasil dari pemeriksaan fungsi ginjal dapat memberikan gambaran sejauh
mana terjadi kegagalan ginjal.
b. Pola nafas nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan pH pada ciaran
serebrospinal, perembesan cairan, kongesti paru efek sekunder perubahan
membran kapiler alveoli dan retensi cairan interstisial dari edema paru pada
respons asidosis metabolik.
Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan 1x24 jam diharapkan tidak terjadi
perubahan pola nafas
Kriteria: klien tidak sesak nafas, RR dalam batas normal 16-20 x/menit
Intervensi:
1. Kaji faktor penyebab asidosis metabolik.
R: Hasil dari pemeriksaan fungsi ginjal dapat memberikan gambaran sejauh
mana terjadi kegagalan ginjal. Mengeidentifikasi untuk mengatasi penyebab
dasar dari asidosis metabolic.
2. Monitor ketat TTV.
R: Perubahan TTV akan memberikan dampak pada risiko asidosis yang
bertambah berat dan berindikasi pada intervensi untuk secepatnya melakukan
koreksi asidosis.
3. Istirahatkan klien dengan posisi fowler.
R: Posisi fowler akan meningkatkan ekspansi paru optimal istirahat akan
mengurangi kerja jantung, meningkatkan tenaga cadangan jantung, dan
menurunkan tekanan darah.
4. Ukur intake dan output.
R: Penurunan curah jantung, mengakibatkan gangguan perfusi ginjal, retensi
natrium/air, dan penurunan urine output.
5. Kolaborasi berikan cairan ringer laktat secara intravena.
R: Larutan IV ringer laktat biasanya merupakan cairan pilihan untuk
memperbaiki keadaan asidosis metabolik dengan selisih anion normal, serta
kekurangan volume ECF yang sering menyertai keadaan ini.
6. Berikan bikarbonat.
R: Kolaborasi pemberian bikarbonat. Jika penyebab masalah adalah
masukkan klorida, maka pengobatannya adalah ditujukan pada
menghilangkan sumber klorida.
7. Pantau data laboratorium analisis gas darah berkelanjutan.
R: Tujuan intervensi keperawatan pada asidosis metabolik adalah
meningkatkan pH sistemik sampai ke batas yagn aman dan menanggulangi
sebab-sebab asidosis yang mendasarinya. Dengan monitoring perubahan dari
analisis gas darah berguna untuk menghindari komplikasi yang tidak
diharapkan
c. Risiko tinggi kejang b.d kerusakan hantaran saraf sekunder dari abnormalitas
elektrolit dan uremia.
Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan 1x24 jam diharapkan kejang
berulang tidak terjadi
Kriteria: klien tidak mengalami kejang
Intervensi:
1. Kaji dan catat faktor-faktor yang menurunkan kalsium dari sirkulasi.
R: Penting artinya untuk mengamati hipokalsemia pada klien berisiko. Perawat
harus bersiap untuk kewaspadaan kejang bila hipokalsemia
2. Kaji stimulus kejang.
R: Stimulus kejang pada tetanus adalah rangsang cahaya dan peningkatan suhu
tubuh.
3. Monitor klien yang berisiko hipokalsemi
R: Individu berisiko terhadap osteoporosis diinstruksikan tentang perlunya
masukan kalsium diet yang adekuat; jika dikonsumsi dalam diet, suplemen
kalsium harus dipertimbangkan.
4. Hindari konsumsi alkohol dan kafein yang tinggi.
R: Alkohol dan kafein dalam dosis yang tinggi menghambat penyerapan
kalsium dan perokok kretek sedang meningkatkan ekskresi kalsium urine
5. Garam kalsium parenteral
R: Garam kalsium parenteral termausk kalsium glukonat, kalsium klorida, dan
kalsium gluseptat. Meskipun kalsium klorida menghasilkan kalsium berionisasi
yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan jumlah akuimolar kalsium
glukonat, tetapi cairan ini tidak sering digunakan karena cairan tersebut l ebih
mengiritasi dan dapat menyebabkan peluruhan jaringan jika dibiarkan
menginfiltrasi
6. Tingkatan masukan diet kalsium.
R: Tingkatan masukan diet kalsium sampai setidaknya 1.000 hingga 1.500
mg/hari pada orang dewasa sangat dianjurkan (produk dari susu: sayuran
berdaun hijau; salmon kaleng, sadin, dan oyster segar)
7. Monitor pemeriksaan EKG dan laboratorium kalsium serum.
R: Menilai keberhasilan intervensi
d. Risiko perubahan perfusi serebral b.d. penurunan pH pada cairan serebrospinal
efek sekunder dari asidosis metabolic
Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan 2x24 jam diharapkan perfusi
jaringan otak dapat tercapai secara optimal
Kriteria: klien tidak mengalami kegelisahan,tidak ada keluhan nyeri kepala, mual
kejang. GCS 456 pupil isokor, reflek cahaya (+), TTV normal, serta klien tidak
mengalami defisit neurologis seperti: lemas , agitasi iritabel, hiperefleksia, dan
spastisitas dapat terjadi hingga akhirnya timbul koma, kejang.
Intervensi:
1. Monitor tanda-tanda status neurologis dengan GCS.
R: Dapat mengurangi kerusakan otak lebih lanjut.
2. Monitor tanda-tanda vital seperti TD, nadi, suhu, respirasi, dan hati-hati pada
hipertensi sistolik.
R: Pada keadaan normal, autoregulasi mempertahankan keadaan tekanan darah
sistemik yang dapat berubah secara fluktuasi. Kegagalan autoreguler akan
menyebabkan kerusakan vaskular serebral yang dapat dimanifestasikan dengan
peningkatan sistolik dan diikuti oleh penurunan tekanan diastolik, sedangkan
peningkatan suhu dapat menggambarkan pejralanan infeksi.
3. Bantu klien untuk membatasi muntah dan batuk. Anjurkan klien untuk
mengeluarkan napas apabila bergerak atau berbalik di tempat tidur.
R: Aktivitas ini dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan
intraabdomen.Mengeluarkan napas sewaktu bergerak atau mengubah posisi
dapat melindungi diri dari efek valsava.
4. Anjurkan klien untuk menghindari batuk dan mengejan berlebihan
R: Batuk dan mengejan dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan potensial
terjadi perdarahan ulang.
5. Monitor kalium serum
R: Hiperkalemi terjadi dengan asidosis, hipokalemi dapat terjadi pada
kebalikan asidosis dan perpindahan kalium kembali ke sel.
f. Risiko tinggi aritmia b.d gangguan konduksi elektrikal efek sekunder dari
hiperkalemi
Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan 1x24 jam diharapkan tidak terjadi
aritmia.
Kriteria: Klien tidak gelisah, tidak mengeluh mual-mual dan muntah, GCS 456,
tidak terdapat papiledema, TTV dalam batas normal, Klien tidak mengalami
defisit neurologis, kadar kalium serum dalam batas normal.
Intervensi:
1. Kaji faktor penyebab dari situasi/keadaan individu dan faktor-faktor
hiperkalemi.
beberapa jam.
8. Pemberian natrum bikarbonat.
R: Natrium bikarbonat 44-88 mEq IV akan memperbaiki asidosis dan
+
perpindahan K ke dalam sel; efeknya terlihat dalam waktu 30 menit dan dapat
4.1 Kesimpulan
Gagal ginjal akut (GGA) adalah suatu keadaan fisiologik dan klinik yang
ditandai dengan pengurangan tiba-tiba glomerular filtration rate (GFR) dan
perubahan kemampuan fungsional ginjal untuk mempertahankan eksresi air yang
cukup untuk keseimbangan dalam tubuh. Atau sindroma klinis akibat kerusakan
metabolik atau patologik pada ginjal yang ditandai dengan penurunan fungsi yang
nyata dan cepat serta terjadinya azotemia.
Menurut Smeltzer (2002) terdapat empat tahapan klinik dan gagal ginjal
akut, yaitu periode awal, periode oligunia, periode diuresis, dan periode
perbaikan.
a. Periode awal dengan awitan awal dan diakhiri dengan terjadinya oliguria.
b. Stadium oliguria
Periode oliguria (volume urine kurang dari 400 ml/24 jam) disertai dengan
peningkatan konsentrasi serum dan substansi yang biasanya diekskresikan oleh
ginjal (urea, kreatinin, asam urat, serta kation intraseluler-kalium dan
magnesium). Jumlah urine minimal yang diperlukan untuk membersihkan
produk sampah normal tubuh adalah 400 ml. Oliguria timbul dalam waktu 24-
48 jam sesudah trauma dan disertai azotemia. Pada bayi, anak-anak
berlangsung selama 3–5 hari. Terdapat gejala–gejala uremia (pusing, muntah,
apatis, rasa haus, pernapasan kusmaul, anemia, kejang), hiperkalemi,
hiperfosfatemi, hipokalsemia, hiponatremia, dan asidosis metabolik.
c. Stadium diuresis
Periode diuresis, pasien menunjukkan peningkatan jumlah urine secara
bertahap, disertai tanda perbaikan filtrasi glomerulus. Meskipun urine output
mencapai kadar normal atau meningkat, fungsi renal masih dianggap normal.
Pasien harus dipantau dengan ketat akan adanya dehidrasi selama tahap ini,
jika terjadi dehidrasi, tanda uremik biasanya meningkat.
1. Stadium GGA dimulai bila keluaran urine lebih dari 400 ml/hari
2. Berlangsung 2-3 minggu
3. Pengeluaran urine harian jarang melebihi 4 liter, asalkan pasien tidak
mengalami hidrasi yang berlebih
4. Tingginya kadar urea darah
5. Kemungkinan menderita kekurangan kalium, natrium dan air
6. Selama stadium dini dieresis, kadar BUN mungkin meningkat terus
d. Stadium penyembuhan
Stadium penyembuhan GGA berlangsung sampai satu tahun, dan selama itu
anemia dan kemampuan pemekatan ginjal sedikit demi sedikit membaik. Nilai
laboratorium akan kembali normal.
4.2 Saran
Sebagai mahasiswa keperawatan diharapkan dapat memehami dan
mengetahui penyebab, bahaya serta cara pencegahan yang ditimbulkan dari GGA
(gagal ginjal akut) sehingga dalam melakukan tindakan keperawatan di masa
mendatang dapat memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan standart asuhan
keperawatan yang sudah ditetapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer, Arif, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran edisi 3 jilid 1. Jakarta: Salemba
Medika
Muttaqin, Arif, Kumala Sari. 2011. Askep Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta:
Salemba Medika.
Price, S. A & Wilson, L. M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah. Jakarta: EGC
Doenges, Marilyn. E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC
NANDA Internasional. 2012. Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi. Jakarta:
EGC.
Suddart, Brunner. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y.
Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin Asih. Jakarta: EGC
Nursalam, Dr. Nurs M. 2006. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan
Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika
Tambayong, jan. 2000. Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC
Roesli R. 2007. Kriteria “RIFLE” Cara yang Mudah dan Terpercaya untuk
Menegakkan Diagnosis dan Memprediksi Prognosis Gagal Ginjal Akut. Bandung:
Pusat Penerbitan Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD
Schrier RW, Wang W, Poole B, Mitra A. 2004. Acute Renal Failure: Definitions,
Diagnosis, Pathogenesis, and Therapy. J. Clin. Invest.
Sinto R, Nainggolan G. 2010. Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan Tata
Laksana. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia