Anda di halaman 1dari 24

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi
Efusi pleura berasal dari dua kata, yaitu efusion yang berarti ekstravasasi
cairan kedalam jaringan atau rongga tubuh, sedangkan pleura yang berarti
membran tipis yang terdiri dari dua lapisan yaitu pleura viseralis dan pleura
parietalis. Sehingga dapat disimpulkan efusi pleura merupakan ekstravasasi cairan
yang terjadi diantara lapisan viseralis dan parientalis. Efusi pleura dapat
berupacairan jernih, transudat, eksudat, darah, dan pus (Diane, 2000).
Efusi pleura adalah kondisi yang ditandai oleh penumpukan cairan di
antara dua lapisan pleura. Pleura merupakan membran yang memisahkan paru-
paru dengan dinding dada bagian dalam. Cairan yang diproduksi pleura ini
sebenarnya berfungsi sebagai pelumas yang membantu kelancaran pergerakan
paru-paru ketika bernapas. Namun ketika cairan tersebut berlebihan dan
menumpuk, maka bisa menimbulkan gejala-gejala tertentu (PDPI, 2017).
Sebagian besar efusi pleura terjadi karena adanya peningkatan
pembentukan cairan pleura dan penurunan kecepatan absorpsi cairan pleura
tersebut. Pada pasien dengan daya absorpsi normal, pembentukan cairan pleura
harus meningkat 30 kali lipat secara terus menerus agar dapat menimbulkan suatu
efusi pleura. Di sisi lain, penurunan daya absorpsi cairan pleura saja tidak akan
menghasilkan penumpukan caian yang signifikan dalam rongga pleura mengingat
tingkat normal pembentukan cairan pleura sangat lambat (Lee, 2013).
Rongga pleura dalam keadaan normal berisi sekitar 10-20 ml cairan yang
berfungsi sebagai pelumas agar paru-paru dapat bergerak dengan lancar saat
bernapas. Cairan yang melebihi normal akan menimbulkan gangguan jika tidak
diserap oleh pembuluh darah dan pembuluh limfe. Efusi pleura dapat terjadi
sebagai komplikasi dari berbagai penyakit seperti kanker paru-paru, tuberculosis,
pneumonia, emboli paru, sirosis atau penurunan fungsi hati, penyakit ginjal, gagal
jantung, penyakit lupus, rheumatoid arthritis. Efusi pleura maligna merupakan
komplikasi penting pada pasien dengan keganasan intratorakal dan ekstratorakal
(Heffner, 2008).
II.2 Rongga dan Cairan Pleura
Rongga pleura dibentuk oleh membrane serosa yang kuat dari mesoderm.
Pleura parietalis terletak di luar dan membungkus rongga dada bagian dalam
sedangkan pleura viseralis membungkus paru. Tebal rongga pleura 10-20 mikron,
berisi cairan 25-50 cc yang berfungsi sebagai pelicin agar paru dapat bergerak
mengembang dan mengempis saat bernapas. Pleura parietalis dan viseralis terdiri
atas mesotel (yang memproduksi cairan), membrane basalis, jaringan elastic dan
kolagen, pembuluh darah dan limfe, membrane pleura bersifat semipermeable.
Sejumlah cairan terus keluar dari pembuluh darah pleura viseralis, dialirkan ke
pembuluh limfe dan kembali ke darah. Diantara kedua lapisan ini terdapat rongga
yang disebut cavum pleura. Cavum ini terdapat sedikit cairan pleura yang
berfungsi agar tidak terjadi gesekan antar pleura pada saat pernapasan. Keluar
masuknya cairan dari dan ke pleura harus seimbang agar nilai cairan pleura dapat
dipertahankan (Astowo, 2013).
Cairan pleura terletak dalam rongga pleura yang dibatasi oleh lapisan
mesotelium pleura viseralis dan parietalis. Cairan pleura berasal dari filtrasi
kapiler dari pleura parietalis, diproduksi secara terus menerus sesuai dengan
tekanan hidrostatik, tekanan onkotik plasma, serta permeabilitas kapiler. Cairan
ini diabsorpsi kembali melalui saluran limfe dan venula dari pleura viseralis.
Umumnya cairan ini akan diberdakan menjadi cairan transudate dan eksudat.
Kriteria Light dianggap relative baik untuk menentukan transudat dan
eksudat, meskipun dari beberapa laporan terdapat ketidaksesuaian. Pada keadaan
tersebut perlu dialkukan pemeriksaan albumin cairan dan serum. Bila perbedaan
antara albumin cairan dan serum ≥ 1,2 g/dL maka dianggap cairan tersebut
transudate. Bila dianggap perlu dapat dialkukan pemeriksaan bilirubin cairan, lalu
dibandingkan dengan kadarnya di serum. Dianggap transudasi bila
perbandingannya <0,6. Umumnya perbandingan protein dan LDH cairan terhadap
serum merupakan parameter yang cukup baik untuk membedakan antara
transudate dan eksudat. Parameter yang digunakan untuk krieria Light adalah
rasio protein cairan/serum > 0,5, LDH cairan/serum 0,6 dan LDH cairan > 2/3
batas atas nilai normal LDH serum. Beberapa peneliti juga menambahkan
parameter kolesterol gradien albumin dan pH untuk memperbaiki sensitivitas dan
spesifitasnya terutama pada penderita yang mendapat diuretika (Setiati, 2014).

II.3 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, 1,5 juta kasus efusi pleura terjadi tiap tahunnya.
Sementara pada populasi umum secara internasional, diperkirakan tiap 1 juta
orang, 3000 orang terdiagnosa efusi pleura. Secara keseluruhan, insidensi efusi
pleura sama antara pria dan wanita. Namun terdapat perbedaan pada kasus-kasus
tertentu dimana penyakit dasarnya dipengaruhi oleh jenis kelamin. Misalnya,
hampir dua pertiga kasus efusi pleura maligna terjadi pada wanita. Dalam hal ini
efusi pleura maligna paling sering disebabkan oleh kanker payudara dan
keganasan ginekologi. Sama halnya dengan efusi pleura yang berhubungan
dengan sistemic lupus erytematosus, dimana hal ini lebih sering dijumpai pada
wanita (Rubins, 2012).
Efusi pleura maligna merupakan komplikasi keganasan stadium lanjut
yang sangat menyulitkan, dengan lebih dari 150.000 kasus per tahun di Amerika
Serikat. Beberapa penelitian mendapatkan median survival setelah penderita
didiagnois efusi pleura maligna adalah 4 bulan. Semua sel ganas dapat
menyebabkan efusi pleura maligna tetapi lebih dari 75% disebabkan oleh
keganasan di paru, payudara, atau ovarium, serta limfoma. Banyak ahli
mengelompokkan penyebabnya menjadi keganasan primer di paru, payudara,
ovarium, mesothelioma, dan penyebab lain. Adenokarsinoma metastatik adalah
tipe histopatologis tumor yang paling sering menyebabkan EPM (Haas, 2007).

II.4 Etiopatogenesis
Pleura seringkali mengalami patogenesis seperti terjadinya efusi cairan,
misalnya hidrotoraks dan pleuritis eksudativa karena infeksi, hemotoraks bila
rongga pleura berisi darah, kilotoraks (cairan limfe), piotoraks atau empyema
thoracis bilaberisi nanah, pneumotoraks bila berisi udara. Penyebab dari kelainan
patologi ini bermacam-macam, terutama karena infeksi tuberculosis atau non
tuberkulosis, keganasan, trauma dan lain-lain (Setiati, 2014)
Efusi pleura dapat terjadi sebagai komplikasi dari berbagai penyakit seperti
kanker paru-paru, tuberculosis, pneumonia, emboli paru, sirosis atau penurunan
fungsi hati, penyakit ginjal, gagal jantung, penyakit lupus, rheumatoid arthritis.
Distribusi penyebab efusi pleura tergantung pada studi populasi. Penelitian yang
pernah dilakukan di rumah sakit persahabatan, dari 229 kasus efusi pleura,
keganasan merupakan penyebab utama diikuti oleh tuberculosis, empiema toraks
dan kelainan ekstra pulmoner. Penyakit jantung kongestif dan sirosis hepatis
merupakan penyebab tersering efusi transudative sedangkan keganasan dan
tuberculosis merupakan penyebab tersering efusi eksudatif. Sejumlah faktor risiko
dapat meningkatkan risiko seseorang utuk menderita efusi pleura. diantaranya
adalah memiliki riwayat tekanan darah tinggi, merokok, mengonsumsi minuman
beralkohol, dan terkena paparan debu asbes (Khairani, 2012).
Mekanisme terjadinya efusi pleura tergantung pada keseimbangan antara
cairan dan protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal cairan pleura
dibentuk secara lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi ini
terjadi karena perbedaan tekanan osmotic plasma dan jaringan interstisial
submesotelial, kemudian melalui sel mesotelial masuk ke dalam rongga pleura.
Selain itu cairan pleura dapat melalui pembuluh limfe sekitar pleura (Yataco,
2005).
Pada keadaan normal, rongga pleura hanya terisi sejumlah kecil cairan,
biasanya hanya 0,1-0,2 ml/kgBB. Cairan pleura terbentuk dan diserap kembali
secara lambat, dengan jumlah yang sama dan mempunyai kadar protein yang
rendah dibandingkan dengan paru dan kelenjar getah bening perifer. Beberapa
mekanisme terbentuknya cairan pleura antara lain:
• Peningkatan tekanan hidrostatik dalam sirkulasi pembuluh darah kecil. Hal ini
menunjukkan bahwa peningkatan tekanan intra kapiler merupakan faktor yang
paling sering menyebabkan efusi pleura pada gagal jantung kongestif
• Penurunan tekanan onkotik di sirkulasi pembuluh darah kecil disebabkan oleh
hypoalbuminemia yang cenderung meningkatkan cairan di dalam rongga
pleura.
• Peningkatan tekanan negatif di rongga pleura juga menyebabkan peningkatan
jumlah cairan pleura. Hal ini biasanya disebabkan oleh atelectasis.
• Pemisahan kedua permukaan pleura dapat menurunkan pergerakan cairan
dalam rongga pleura dan dapat menghambat drainase limfatik pleura. Hal ini
bisa disebabkan oleh trapped lung.
• Peningkatan permeabilitas pembuluh darah kapiler yang disebabkan oleh
mediator inflamasi sangat memungkinkan terjadinya kebocoran cairan dan
protein melewati paru dan pleura visceral ke rongga pleura. Hal ini telah
dibuktikan dengan adanya infeksi seperti pneumonia
• Gangguan drainase limfatik permukaan pleura karena penyumbatan oleh
tumor atau fibrosis
• Perembesan cairan ascites dari rongga periotenal melalui limfatik diafragma
atau dari defek diafragma (Yataco, 2005).
Efusi pleura terjadi sebagai akibat gangguan keseimbangan faktor-faktor
diatas. Persamaan yang menunjukkan hubungan keseimbangan antara tekanan
hidrostatik dan onkotik adalah sebagai berikut, Q = K x [(Pmv-PPmv0 – S (nmv-
npmv)]. Pada persamaan ini, Q merupakan tekanan filtrasi, K merupakan
koefisien filtrasi, Pmv dan Ppmv merupakan tekanan hidrostatik pada ruang
mikrovaskular dan perimikrovaskular. S merupakan koefisien refleksi bagi total
protein mulai dari skor 0 (permeable penuh) hingga 1 (tidak permeable), nmv dan
npmv menyatakan tekanan osmotic protein cairan di mikrovaskular dan
perimikrovaskular. Pada keadaan normal, cairan yang difiltrasi jumlahnya sedikit
dan mengandung protein dalam jumlah yang sedikit pula (Broaddus, 209)
Efusi pleura dapat berbentuk transudat, terjadinya karena penyakit lain
bukan primer paru seperti gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindrom nefrotik,
dialysis peritoneum, hypoalbuminemia oleh berbagai keadaan, pericarditis
konstriktiva, keganasan, atelectasis paru dan pneuotoraks. Efusi eksudat terjadi
bila ada proses peradangan yang menyebabkan permeabilitas kapiler pembuluh
darah pleura meningkat sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat atau
kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam rongga pleura. penyebab
pleuritis eksudativa yang paling sering adalah karena mikrobakterium tuberculosis
dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa tuberkulosa (Seaton, 2000).
Pada efusi pleura maligna dipastikan dengan adanya sel-sel kanker pada
ruang pleura. Efusi pleura maligna metastatic berasal dari penyebaran langsung
sel-sel ganas dari tempat sekitar (seperti pada keganasan paru, payudara, dan
dinding dada), invasi dari vaskularisasi varu dengan embolisasi dari sel-sel tumor
ke pleura viseralis, atau metastasis jauh hematogen dari tumor ke pleura parietalis.
Tumor pleura juga akan menstimulasi pelepasan kemokin yang akan
meningkatkan permeabilitas vaskuler dan membrane pleura, sehingga akan
memicu efusi pleura. Keberadaan beberapa kemokin seperti CCL22 dan CCL17
mengalami peningkatan dan secara langsung akan menginduksi infiltrasi sel T
menuju ke ruang pleura (Qin, 2009)

II.5 Klasifikasi
Secara umum efusi pleura diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya
sebagai transudate dan eksudat, tergantung dari mekanisme terbentuknya serta
profil kimia cairan efusi tersebut (PDPI, 2017).

II.5.1 Efusi Pleura Transudat


Pada efusi pleura transudate terjadi keseimbangan kekuatan yang
menyebabkan pengeluaran cairan dari pembuluh darah. Mekanisme terbentuknya
transudate karena peningkatan tekanan hidrostatik, penurunan onkotik dan
tekanan negative intra pleura yang meningkat. Biasa terjadi pada penderita gagal
jantung, sindroma nefrotik, hypoalbuminemia, dan sirosis hepatis. Hal ini
disebabkan oleh meningkatnya tekanan dalam pembuluh darah atau rendahnya
kadar protein dalam darah yang menyebabkan cairan merembes ke lapisan pleura
(PDPI, 2017). Pada keadaan ini, endotel pembuluh darah paru dalam kondisi
normal, dimana fungsi filtrasi masih normal sehingga kandungan sel dan protein
pada cairan efusi transudate lebih rendah. Selain itu, efusi pleura transudat juga
dapat terjadi akibat migrasi cairan yang berasal dari peritoneum, bisa pula
iatrogenik sebagai komplikasi dari pemasangan kateter vena sentra dan pipa
nasogastric. Ciri-ciri cairan transudate serosa jernih, berat jenisnya dibawah 1,012,
terdapat limfosit dan mesotel dengan tidak ada netrofil dan protein <3% (Rubins,
2012).
Penyebabnya antara lain:
• Gagal jantung kongestif • Kebocoran cairan serebrospinal
• Sirosis ke rongga pleura
• Ateletaksis, dapat disebabkan • Fistulasi duropleura
oleh keganasan atau emboli paru • Mikgrasi kateter vena sentral ke
• Hypoalbuminemia ekstravaskular
• Sindroma nefrotik • Glisinotoraks, merupakan
• Dialysis peritoneal kompilasi yang jarang akibat
• Miksedema kandung kemih dengan larutan
• Pericarditis konstriktif glisin 1,5% yang dilakukan
• Urinotoraks, biasanya disebabkan setelah pembedahan urologi
obstruktif uropati

II.5.2 Efusi Pleura Eksudat


Efusi pleura eksudat dihasilkan oleh berbagai proses/kondisi inflamasi dan
biasanya diperlukan evaluasi dan penanganan yang lebih luas dari efusi transudat.
Eksudat terbentuk karena penyakit dari pleura itu sendiri yang berkaitan dengan
peningkatan permeabilitas kapiler atau drainase limfatik yang kurang. Biasanya
terjadi pada penderita pneumonia bakterialis, karsinoma, infark paru, dan pleuritis.
Ciri-ciri eksudat berat jenis > 1,015, kadar protein > 3%, rasio protein pleura
berbanding LDH serum 0,6 warna keruh (Rubins, 2012).
Berdasarkan kriteria Light, dikatakan efusi pleura eksudat jika memenuhi
satu atau lebih kriteria berikut (1) rasio kadar protein cairan pleura/kadar protein
serum lebih besar dari 0,5 (2) rasio kadar LDH cairan pleura/kadar LDH serum
lebih besar dari 0,6 atau (3) kadar LDH cairan pleura lebih besar dari dua pertiga
dari batas atas normal LDH serum (Mayse, 2008). Adapaun penyebab-penyebab
terbentuknya cairan eksudat antara lain :
• Parapneumonia kanker lambung, sarcoma serta
• Keganasan, paling sering kanker melanoma
paru atau kanker payudara, • Emboli paru
limfoma, leukemia dan paling
jarang adalah kanker ovarium,
• Penyakit-penyakit jaringan ikat- • Sindrom Meig
pembuluh darah seperti arthritis • Sindrom hiperstimulasi ovarian
rheumatoid, SLE • Penyakit pleura yang diinduksi
• Tuberculosis oleh obat
• Pankreatitis • Uremia
• Trauma • Chlothoraks, merupakan kondisi
• Sindroma injuri pasca-kardia akut dengan peningkatan kadar
• Perforasi esophageal trigliserida pada cairan pleura
• Pleuritis akibat radiasi • Pseudochylothoraks, merupakan
• Sarcoidosis kondisi kronis dengan
• Infeksi jamur peningkatan kadar kolesterol
• Pseudokista pancreas cairan pleura
• Abses intraabdominal • Fistulasi (ventrikulopleural,
• Paska pembedahan pintas jantung biliopleural, gastropleural)
• Penyakit pericardial

II.6 Diagnosis
Diagnosis efusi pleura dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dengan diagnosis pasti ditegakkan melalui pungsi percobaan,
biopsy dan analisa cairan pleura. Biasanya diawali dengan gejala dan pemeriksaan
fisik sederhana menggunakan stetoskop atau mengetuk-ngetuk dada setelah
sebelumnya mengumpulkan keterangan dari pasien perihal gejala yang dirasakan
dan riwayat peyakit yang diderita. Apabila pasien dicurigai terkena efusi pleura,
pemeriksaan lanjutan secara lebih detail bisa dilakukan melalui sejumlah prosedur
pemindaian seperti foto rontgen dada, USG, dan CT scan pada thoraks. Jika
terdeteksi efusi pleura, tindakan toracocentesis atau punksi pleura dapat dilakukan
untuk memeriksa jenis cairan. Tindakan tersebut adalah mengambil sampel cairan
melalui jarum yang ditusukkan ke dalam rongga pleura melalui sela tulang iga.
Kemudian cairan pleura ini dianalisis di laboratorium (PDPI, 2017).
II.6.1 Manifestasi Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Gejala-gejala efusi pleura antara lain adalah nyeri dada saat menarik dan
membuang napas, batuk, demam, dan sesak napas. Gejala biasanya terasa jika
efusi pleura sudah memasuki level menengah hingga parah, atau terjadi
peradangan. Jika penumpukan cairan masih tergolong ringan biasanya penderita
tidak akan merasakan gejala apa-apa.
Tiga gejala yang paling umum dijumpai pada efusi pleura adalah nyeri
dada, batuk, dan sesak napas. Nyeri dada disebabkan karena penumpukan cairan
di dalam rongga pleura. Nyeri dada tersebut bersifat pleuritic pain yang
menunjukkan iritasi lokal dari pleura parietal yang banyak dipersarafi oleh nerfus
frenikus, maka keterlibatan pleura mediastinal menghasilkan nyeri dada dengan
nyeri bahu ipsilateral. Nyeri juga bisa menjalar hingga ke perut melalui persarafan
interkostalis. Batuk kemungkinan akibat iritasi bronkial disebabkan kompresi
parenkim paru (Roberts, 2014)
Pasien dengan efusi pleura maligna memberikan riwayat keluhan dan
pemeriksaan yang tidak spesifik. Keluhan pasien biasanya seperti efusi pleura
lainnya yaitu sesak nafas, batuk, dan penurunan toleransi fisik terhadap latihan,
atau dapat juga asimtomatik. Pasien EPM karena adenokarsinoma biasanya tanpa
nyeri dada, sedangkan 60% pasien dengan mesothelioma sering datang dengan
nyeri dada pleuritic terlokalisasi (Diaz, 2008).
Pemeriksaan fisik bisa normal jika jumlah cairan kurang dari 300 ml,
sedangkan efusi pleura dengan ukuran besar dapat mengakibatkan peningkatan
ukuran hemitoaks serta menyebabkan ruang intercostal menggembung pada sisi
yang terjadi efusi. Pada palpasi akan didapati taktil fremitus yang berkurang atau
menghilang sama sekali disebabkan cairan tersebut memisahkan paru dari dinding
dada dan menyerap getaran dari paru tersebut. Pada perkusi didapati beda, dan
akan berubah saat pasien berubah posisi jika cairan masih dapat mengalir bebas.
Pada auskultasi akan didapati suara napas yang menghilang tergantung ukuran
efusi. Egofoni dapat terdengar di batas paling atas dari efusi akibat dari penyebab
jaringna paru yang atelectasis. Gesekan pleura dapat dijumpai jika terjadi iritasi di
pleura, tetapi kadang juga sulit dijumpai dari auskultasi sampai cairan terevakuasi.
Penekanan penting pada efusi pleura maligna yaitu adalah melihat tanda
keganasan ekstrapleura yang mendasari (Roberts, 2014)

Volume Cairan Pleura Temuan Klinis


<250-300 cm3 Kemungkinan masih normal
500 cm3 1. Redup pada perkusi
2. Fremitus melemah
3. Pernapasan vesicular dengan intensitas
menurun
1000 cm3 1. Tidak adanya retraksi inspirasi, tampak
sedikit bulging pada sela iga
2. Tertinggalnya sisi yang sakit saat bernapas
3. Perkusi redup sampai ke scapula dan
aksila
4. Fremitus melemah atau menghilang di
posterior dan lateral
5. Suara pernapasan bronkovesikuler
6. Pada auskultasi terdapat egophani pada
batas paling atas efusi
Massif (memenuhi satu hemithoraks) 1. Bulging pada sela iga
2. Tertinggalnya sisi yang sakit pada saat
bernapas
3. Suara napas menghilang
4. Pada auskultasi terdapat egophany di
apeks
5. Liver atau spleen dapat teraba karena
adanya penekanan diafragma

II.6.3 Pemeriksaan Penunjang


A. Pencitraan Radiologis
Cairan yang bersifat lebih padat daripada udara akan mengalir
bebas pertama kali dan menumpuk di bagian paling bawah dari rongga
pleura, ruang subpulmonic dan sulkus kostrofrenikus lateral. Efusi pleura
biasanya terdeteksi pada foto thoraks PA posisi tegak jika jumlah cairan
sampai 200-250 ml. Foto thoraks lateral dapat mendeteksi efusi pleura
sebesar 50-75 ml (Roberts, 2014)
Permukaan cairan yang terdapat dalam rongga pleura akan
membentuk bayangan seperti kurva, dengan permukaan daerah lateral
lebih tinggi daripada bagian medial. Bila permukaannya horizontal dari
lateral ke medial, pasti terdapat udara dalam rongga tersebut yang dapat
berasal dari luar atau dalam paru-paru sendiri. Terkadang sulit
membedakan antara bayangan cairan bebas dalam pleura dengan adhesi
karena radang (pleuritis). Cairan dalam pleura bisa juga tidak membenuk
kurva, karena terperangkap atau terlokalisasi. Keadaan ini sering terdapat
pada daerah bawah paru-paru yang berbatasan dengan permukaan atas
diafragma. Cairan ini dinamakan juga sebagai efusi subpulmonic.
Gambarannya pada sinar tembus sering terlihat sebagai diafagma yang
terangkat. Jika terdapat bayangan dengan udara dalam lambung,
cenderung menunjukkan efusi subpulmonik. Cairan dalam pleura juga
terkadang menumpuk mengelilingi lobus paru dan terlihat dalam foto
sebagai bayangan konsolidasi parenkim lobus, bisa juga mengumpul di
daerah paramediastinal dan terlihat dalam foto sebagai fisura interlobaris,
bisa juga terdapat secara parallel dengan sisi jantung, sehingga terlihat
sebagai kardiomegali. Cairan seperti empiema dapat juga terlokalisasi.
Gambaran yang terlihat adalah sebagai bayangan dengan densitas keras di
atas diafragma, keadaan ini sulit dibedakan dengan tumor paru (Roberts,
2014).

Gambar 1. Ro Thoraks AP dan Lateral Efusi Pleura


Hal lain yang dapat terlihat dari foto dada pada efusi pleura adalah
terdorongnya mediastinum pada sisi yang berlawanan dengan cairan.
Disamping itu, gambaran foto dada dapat juga menerangkan asal mula
terjadinya efusi pleura yakni bila terdapat jantung yang membesar, adanya
masa tumor, adanya densitas parenkim yang lebih keras pada pneumonia
atau abses paru.
Tanda radiografi dari suatu efusi pleura maligna termasuk pada
penebalan pleura terlobulasi yang sirkumferensial, penuhnya iga, dan
peninggian hemidiafragma atau pergeseran mediastinum ipsilateral
konsisten dengan atelectasis karena obstruksi oleh tumor (Taasi, 2006).
Berdasarkan foto thoraks, efusi pleura terbagi atas small, moderate,
dan large. Efusi pleura small jika cairan yang mengisi rongga pleura
kurang dari 1/3 hemitoraks. Efusi pleura moderate jika cairan yang
mengisi rongga pleura lebih dari 1/3 tetapi kurang dari ½ hemitoraks.
Efusi pleura large jika cairan yang mengisi rongga pleura lebih dari ½
hemitoraks. Apabila efusi pleura massif maka cairan sudah memenuhi 1
hemitoraks serta menyebabkan pergeseran mediastinum ke arah
kontralateral, menekan diafragma ipsilateral, dan kompresi paru, jika tidak
ada lesi endobronkial yang menyebabkan atelectasis dan fixed
mediastinum (Light, 2008)

Gambar 2. Gambaran efusi pleura pada USG Thoraks


Pemeriksaan dengan ultrasonografi pada pleura dapat menentukan
adanya cairan dalam rongga pleura. Pemeriksaan ini membantu sebagai
penuntun waktu melakukan aspirasi cairan terutama pada efusi yang
terlokalisasi. Pemeriksaan ini juga lebih unggul dalam mendiagnosis efusi
pleura dibandingkan dengan foto thoraks karena dapat mendeteksi efusi
pleura sebanyak 5 ml. Dapat juga digunakan untuk membedakan cairan
dari penebalan pleura, lesi paru antara yang pada dan cair serta
membedakan penyebab efusi pleura apakah berasal dari paru atau dari
abdomen. Keuntungannya juga dapat dilakukan di tempat tidur pasien
yang sangat berguna untuk identifikasi cepat lokasi diafragma dan tingkat
intercostal untuk menentukan batas atas efusi pleura (Roberts, 2014).
Gambar 3. Gambaran efusi pleura pada CT Scan

Pemeriksaan CT scan thoraks dapat membantu adanya perbedaan


densitas cairan dengan jaringan sekitarnya, sangat memudahkan dalam
menentukan adanya efusi pleura. Selain itu dapat lebih sensitive dalam
menilai luas, jumlah, dan lokasi dari efusi pleura yang terlokalisir serta
digunakan untuk menilai penebalan pleura, ketidakteraturan, dan massa
yang mengarah keganasan dan penyakit-penyakit lain yang menyebabkan
efusi pleura eksudatif. Namun pemeriksaan ini tidak banyak dilakukan
karena biayanya masih mahal.
Beberapa metode imaging terkini seperti MRI atau PET dengan
fluorin 19-labeled flouorodeoxyglucose memberikan angka sensitivitas
dan spesifitas yang lebih baik dibandingkan CT scan thoraks dengan
kontras. Tetapi cara pemeriksaan ini biasanya digunakan sebaga tambahan
dan dikombinasikan dengan CT scan thoraks (Heffner, 2008).

B. Pemeriksaan Analisa Cairan Pleura


Analisa cairan pleura merupakan suatu sarana yang sangat
memudahkan untuk mendiagnosa penyebab dari efusi tersebut. Prosedur
torakosentesis sederhana dapat dilakukan secara bedside sehingga
memungkinkan cairan pleura dapat segera diambil, dilihat secara
makroskopik maupun mikroskopik, serta dianalisa (Broaddus, 2009).
Sebagian besar cairan pleura berwarna kekuningan. Temuan ini
tidak spesifk karena cairan berwarna kekuningan terdapat pada berbagai
kasus efusi pleura. Namun tampilan warna lain efusi pleura dapat
membantu untuk mendiagnosis penyebab efusi pleura cairan yang
mengandung darah dapat ditemukan pada kasus pneumonia, keganasan,
dan hemotoraks. Jika warna cairan sangat keruh atau seperti susu maka
sentrifugasi dapat dilakukan untuk membedakan empyema dari kilotoaks
atau pseudokilotoraks Pada empiema, cairan yang berada di bagian
atasakan bersih sedangkan debris – debris sel akan mengendap di bagian
bawah, sedangkan pada kilotoraks ataupun pseudokilotoraks warna cairan
akan tetap sama karena kandungan lipid yang tinggi dalam cairan pleura.
Cairan yang berwarna kecoklatan atau kehitaman dicurigai disebabkan
oleh abses hati oleh infeksi amuba dan infeksi aspergillus. Setelah
dilakukan torakosintesis, cairan harus langsung dikirim untuk analisis
biokimia, mikrobiologi dan pemeriksaan sitologi. Analisis biokimia cairan
pleura meliputi menilai kadar protein, pH, laktat dehydrogenase (LDH),
glukosa, dan albumin cairan pleura. Karena rongga pleura terisi oleh
cairan, maka protein menjadi penanda yang penting untuk membedakan
apakah cairan pleura termasuk transudat atau eksudat. (McGrath, 2011).
Efusi pleura dikatakan ganas jika pada pemeriksaan sitologi cairan
pleura ditemukan sel – sel keganasan. Diagnosis hemotoraks ditegakkan
jika ada bukti trauma dada pada pasien yang menjalani operasi dalam
waktu 24 jam terakhir, memiliki kecenderungan untuk terjadinya
pendarahan, serta perbandingan nilai hematokrit cairan pleura dengan
serum lebih besar dari 50%. (Liu, 2010)
Warna Cairan Perkiraan Diagnosis
Kuning pucat (jerami) Transudat, eksudat pauci-cellular
Merah (seperti darah)
Hct < 5% Keganasan, BAPE (Beningn Asbestos Pleural
Effusion), PCIS (Post Cardiac Injury
Syndrome), infark paru
H ct ca ira n pleura ser u m ≥ 0 , 5 Trauma
Putih susu Kilotoraks atau efusi pleura karena kolesterol
Coklat Efusi pleura menyerupai darah yang sudah
berlangsung lama;pecahnya abses hati amuba
ke rongga pleura
Hitam Spora Aspergillus niger
Kuning kehijauan Pleuritis rheumatoid
Warna dari selang makanan atau infus vena Selang makanan masuk ke dalam rongga
sentral pleura, perpindahan kateter ekstravaskular ke
mediastinum/rongga pleura

Pada kasus efusi pleura yang belum tegak diagnosisnya di mana dicurigai
disebabkan oleh keganasan dan nodul pada pleura tampak pada CT scan
dengan kontras, maka biopsi jarum dengan tuntunan CT scan merupakan
metode yang tepat (Havelock T et al, 2010). Pemeriksaan histopatologi satu
atau beberapa contoh jaringan pleura dapat menunjukan 50-75% diagnosis
kasus-kasus pleuritis tuberculosis dan tumor pleura. Bila ternyata hasil biopsy
pertama tidak memuaskan, dapat dilakukan beberapa biopsy ulangan.
Komplikasi biopsy adalah pneumotoraks, hematoraks, penyebaran infeksi atau
tumor dinding dada (Setiati, 2014)
Analisa terhadap cairan pleura yang dilakukan satu kali kadang-kadang
tidak dapat menegakkan diagnosis. Dianjurkan aspirasi dan analisisnya
diulang kembali sampai diagnosis menjadi jelas. Efusi yang menetap dalam
waktu 4 minggu dan kondisi pasien stabil, siklus pemeriksaan sebaiknya
diulang kembali. JIka fasilitas memungkinkan dapat dilakukan pemeriksaan
tambahan seperti: (1) Bronksokpi pada kasus-kasus neoplasma, korpus
alienum dalam paru, abses paru dan dilakukan beberapa biopsi; (2) Scanning
isotop pada kasus-kasus dengan emboli paru; (3) torakoskopi pada kasus-
kasus neoplasma atau tuberculosis pleura (Setiati, 2014). Torakoskopi
merupakan pemeriksaan yang dipilih untuk kasus efusi pleura eksudat di mana
diagnostik dengan aspirasi cairan pleura tidak meyakinkan dan dicurigai
adanya keganasan. (Havelock, 2010).
Pemeriksaan lain pada cairan pleura adalah sitologi cairan pleura, yang
dapat memberikan konfirmasi suatu efusi pleura maligna dengan
kemungkinan penemuan sel rata-rata sekitar 64% (berkisar antar 50-90%)
pada kategori umum dari semua pasien dengan efusi pleura maligna.
Kemungkinan mendapatkan diagnosis yang tepat dengan metode sitologi
standar ini dapat meningkat dengan dilakukannya thorakosentesis berulang.
Dapat juga menghubungkan kejadian efusi pleura maligna dengan kebaraan
mutase gen epidermal growth factor receptor (EGFR) yang biasanya
ditemukan pada kasus adenokarsinoma paru (Abouzgheib, 2009).

II.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang utama pada kasus efusi pleura adalah dengan
mengurangi gejala yang ditimbulkan dengan jalan mengevakuasi cairan dari
dalam rongga pleura kemudian mengatasi penyakit yang mendasarinya. Pilihan
terapinya bergantung pada jenis efusi pleura, stadium, dan penyakit yang
mendasarinya (Yu H, 2011).
Penatalaksanaan efusi pleura dapat berupa aspirasi cairan pleura ataupun
pemasangan selang dada. Aspirasi cairan pleura dilakukan untuk tujuan diagnostik
misalnya pada efusi pleura yang tidak diketahui penyebabnya dan terapeutik yaitu
untuk mengevakuasi cairan maupun udara dari rongga pleura ketika pasien tidak
sanggup lagi untuk menunggu dilakukan pemasangan selang dada misalnya pada
pasien tension pneumotoraks. Selain aspirasi cairan pleura dapat juga dilakukan
pemasangan selang dada untuk tujuan terapeutik. Pemasangan selang dada
diperlukan jika terjadi gangguan fungsi fisiologis sistem pernapasan dan
kardiovaskular (Klopp M, 2013).
Pada efusi pleura maligna, prinsip penanganannya adalah paliatif. Sampai
saat ini beberapa penatalaksanaan yang sering dilakukan pada kasus EPM adalah
torakosentesis terapeutik, pleurodesis, drainase yang dengan kateter indwelling
jangka panjang, serta pembuatan shunt pleuroperitoneal (Heffner, 2008).
II.7.1 Torakosintesis
Torakosentesis merupakan pilihan pertama dan merupakan tindakan yang
sederhana untuk kasus efusi pleura, bukan hanya untuk diagnosis tapi juga untuk
mengurangi gejala yang ditimbulkan akibat efusi pleura tersebut. Tetapi
bagaimanapun juga, torakosintesis yang berulang bukan pilihan yang tepat untuk
penanganan efusi pleura ganas yang progresif. Torakosintesis hanya mengurangi
gejala untuk sementara waktu dan akan membutuhkan kunjungan yang berulang
ke rumah sakit untuk melakukannya. (Yu H, 2011)
Indikasi torakosintesis pada kasus efusi pleura meliputi indikasi diagnostik
dan terapeutik:
• Diagnostik
Saat melakukan torakosentesis, sampel cairan pleura dapat diambil dan
diperiksakan untuk menentukan penyebab efusi. Untuk pemeriksaan
laboratorium dibutuhkan 50 – 100 ml. Sebagian besar efusi pleura yang masih
baru terukur lebih dari 10 mm pada foto toraks posisi lateral dekubitus, CT
scan toraks, atau USG toraks.
• Terapeutik
Tujuan lain dilakukan torakosentesis adalah untuk mengurangi gejala yang
ditimbulkan misalnya meringankan sesak napas yang diakibatkan jumlah
cairan yang besar dan membutuhkan evakuasi segera
Tidak ada kontraindikasi untuk torakosentesis. Studi terbaru menunjukkan
bahwa jika torakosentesis dilakukan dengan tuntunan USG, maka hal ini aman
untuk dilakukan meskipun terdapat kelainan koagulasi. Perhatikan pasien
dengan kelainan koagulasi, termasuk gagal ginjal, tanda – tanda perdarahan
yang terjadi setelah prosedur. Hindari tempat yang terdapat selulitis maupun
herpes zoster dengan memilih lokasi torakosentesis alternatif. (Roberts, 2014).
Gambar 4. Thorakosentesis

II.7.2 Pleurodesis
Pleurodesis adalah pilihan tindakan pada pasien-pasien efusi pleura
maligna yang mengalami perbaikan dilakukan thorakosentesis dan terjadi re-
ekspasi paru yang baik pada radiografi dada pasca tindakan. Sampai saat ini
kombinasi tindakan drainase dan pleurodesis dengan agen sklerosan merupakan
tindakan efektif. Zat- zat yang dipakai adalah tetrasiklin, bleomisin,
korinebakterium, parvum, tio-tepa, fluorourasil. Prosedurnya dengan memasukkan
pipa selang pada ruang antar iga dan cairan efusi dilairkan ke luar secara perlahan-
lahan. Setelah tidak ada lagi cairan yang keluar, masukkan 500 mg tetrasiklin
yang dilarutkan dalam 20 cc garam fisiologis ke dalam rongga pleura, selanjutnya
diikuti dengan 20 cc garam fisiologis. Kunci selang selama 6 jam dan selama itu
pasien diubah-ubah posisinya sehingga tetrasiklin dapat didistribusikan kesaluran
rongga pleura. Selang antar iga kemudian dibuka dan cairan dalam rongga pleura
kembali dialirkan keluar sampai tidak ada lagi yang tersisa. Selang kemudian
dicabut. Jika dipakai zat koriebakterium parvum, masukkan 7 mg yang dilarutkan
dalam 20 cc garam fisiologis dengan cara seperti tersebut diatas. Komplikasi
tindakan peurodesis ini jarang dan biasanya hanya berupa nyeri pleuritis atau
demam (Setiati, 2014).
Keberhasian pleurodesis selain dilihat dari perspektif pasien, juga dapat
dilihat dari aspek tehnik, khususnya agen sklerosan yang digunakan. Agen
sklerosan yang dimasukkan ke dalam ruang pleura untuk pleurodesis makin lama
makin berkembang serta makin banyak. Dari sekian banyak agen ini, talc bebas-
asbestos dinilai paling baik untuk pleurodesis dan telah diterima sebagai agen
sklerosan pilihan untuk pleurodesis pada kasus efusi pleura maligna (Diaz, 2008).

Agen Pleurodesis Rasio Keberhasilan (%)


Mineral
Talc 70-100
Antibiotik
Doksisiklin/Tetrasiklin 60-81
Quinacrine 64-100
Antiseptik
Iodopovidone 64-96
Silver Nitrate 96
Obat antikanker
Bleomycin 64-84
Mitoxantrome 76-88
Cisplatin 65-83
Produk atau komponen bacterial
Corynebacterium parvum 65-92
Staphylococcus aureus superantigen 100
OK432 53-79
Sitokin
Interferon alpha-2β 62-100

II.7.3 Drainase dengan Indwelling Catheter


Pemasangan indwelling catheter jangka panjang dapat memberikan drainse
intermittent sampai 100 ml cairan pleura pada 2 sampai 3 kali periode seminggu.
Berkurangnya keluhan sesak napas segera dirasakan pada 94% sampai 100%
pasien. Terdapat beberapa jenis kateter yang dapat dipakai pada prosedur ini, yang
banyak dipakai belakangan ini adalah kateter pleura Pleurx (Qureshi, 2008).
Kateter pleura Pleurx ini terdiri dari kateter silicon 15,5 F sepanjang 66
cm, dengan lubang-lubang sepanjang 25,5 cm bagian proksimalnya. Pada bagian
distalnya terdapat polyester cuff dan dibagian ujungnya dengan mekanisme katup
latex rubber. Katup ini didesain untuk mencegah lewatnya cairan atau udara,
kecuali bila tersambung dengan acces tip dari komponen drainase yang terdapat
pada paket kateter ini. Setelah dilakukan anestesi, bronkoskopi dilakkukan untuk
mengekslusi obstruksi endobronkial. Setelah drainase dan diseksi dikerjakan,
penilaian ekspansi paru dilakukan sebagai syarat untuk memasang kateter ini.
Ujung yang berlubang-lubang tadi dimasukkan ke rongga pleura, kemudian dibuat
terowongan subkutan untuk mengeluarkan kateter hingga ujung polyester terletak
1 cm dari insisi anterior. Ikatan dengan Prolene 2/0 dilakukan pada terowongan,
sedangkan insisi kulit ditutup dengan nylon 4/0. Bagian kateter dengan katup
tersisa di luar kulit dan dilindungi dengan cap. Drainsase inisial dilakukan dengan
suction -10kPa untuk mencegah terperangkapnya udara pada rongga pleura.
Drainase dapat dilakukan di rumah, dengan 3 kali seminggu untuk 3 minggu
pertama, selanjutnya tergantung keluhan klinis dan produksi cairan pleura (Rai,
2009).

II.7.4 Pemasangan Selang Dada


Pemasangan selang dada dapat dilakukan pada pasien dengan efusi pleura
ataupun pneumotoraks dengan ukuran moderat sampai large, pasien dengan
riwayat aspirasi cairan pleura berulang, efusi pleura yang berulang, pada pasien
yang dilakukan bedah toraks, pasien dengan pneumotoraks yang berhubungan
dengan trauma, hemotoraks, kilotoraks, empiema, atau pada keadaan lain
misalnya untuk pencegahan setelah tindakan pembedahan untuk evakuasi darah
dan mencegah tamponade jantung. (Klopp, 2013).
British Thoracic Society mengklasifikasikan selang dada berdasarkan
ukurannya menjadi tiga kelompok yaitu: (1) Small-bore tube (8-14 F); (2)
Medium-bore tube (16-24 F); (3) Large-bore tube (>24 F). Ukuran selang dada
dari yang paling kecil hingga yang paling besar adalah antara 8 – 32 F. Ukuran
selang dada yang dibutuhkan tergantung pada indikasi pemasangan selang dada.
Untuk pneumotoraks dianjurkan selang dada ukuran 20 F, dan untuk efusi pleura
ukuran 24 – 28 F, serta perlu juga dipertimbangkan jenis kelamin dan ukuran
pasien. (Klopp, 2013).
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemasangan selang dada.
Pertama, harus dilakukan adalah menentukan lokasi yang akan dilakukan
pemasangan selang dada. Dalam ruangan interkostal terdapat otot interkostal,
vena, arteri, dan saraf yang terletak di alur kosta sepanjang batas bawah dari iga
superior dari atas ke bawah dan terletak di antara lapisan kedua dan ketiga dari
otot. Untuk menghindari terkena neurovascular bundle biasanya dianjurkan selang
dada ditempatkan di bagian atas kosta. Namun tusukan dilakukan sedekat
mungkin dengan margin superior dari kosta. Bagaimanapun juga, tusukan harus
bisa dilakukan sedekat mungkin dengan batas superior dari kosta yang lebih
rendah dapat menyebabkan laserasi arteri interkostal. Studi terbaru menunjukkan
bahwa lokasi yang ideal harus 50-60 dari arah menurun kosta. Cedera
neurovascular bundle tetap mungkin terjadi sebagai komplikasi dari prosedur
pemasangan selang dada. (Light, 2011).

Gambar 5. Lokasi Anestetik Pemasangan Selang Dada

British Thoracic Society (BTS) telah merekomendasikan triangle of safety


sebagai lokasi untuk penempatan selang dada. Lokasi ini berbatasan dengan
musculus latissimus dorsi pada bagian anteriornya, lateralnya berbatasan dengan
musculus pectoralis mayor dan garis horizontalnya adalah garis lurus yang ditarik
dari papilla mammae sampai di bawah axilla. Sebuah survei yang dilakukan oleh
resident junior pada landmark anatomi ketika melakukan pemasangan selang dada
menunjukkan bahwa 45% kasus yang dilakukan pemasangan selang dada di luar
area triangle of safety tersebut terdapat error sebanyak 20%. Setelah menentukan
lokasi pemasangan, selanjutnya dilakukan prosedur pemasangan selang dada
berdasarkan tekniknya (Havelock, 2010).
Pemasangan selang dada yang tepat harus dievaluasi segera setelah
prosedur pemasangan selesai dan setelah evakuasi cairan yang memadai. Evaluasi
dilakukan oleh seorang investigator yang terlatih yang diikuti dengan protokol
tetap, mencari potensi terjadinya komplikasi pemasangan selang dada (seperti
gangguan pernapasan, pendarahan, rasa nyeri, dan batuk) (Terra, 2011).
Foto toraks perlu dilakukan setelah proses pemasangan selang dada untuk
memastikan bahwa posisi selang dada sudah tepat. Untuk kasus efusi pleura
dengan ukuran besar, maka drainase harus dikontrol untuk mencegah reexpansion
pulmonary edema. Kejadian ini jarang terjadi namun hal ini dapat berakibat fatal
tergantung pada keparahan dan lamanya penyakit yang menyebabkan kolapsnya
paru tersebut. Dianjurkan untuk menjepit selang dengan klem hingga satu jam
setelah evakuasi cairan sebanyak 1 liter (Singh, 2006).
Drainase cairan pleura harus dilakukan sesegera mungkin hingga cairan
terevakuasi sebanyak 1500 mL. Setelah evakuasi cairan, maka harus segera
dilakukan foto toraks atau CT scan untuk memastikan bahwa letak selang dada
sudah pada posisi yang tepat dan untuk mengevaluasi jika terjadi komplikasi
termasuk pneumotoraks (Yu, 2011).

II.8 Prognosis
Prognosis efusi pleura bervariasi dan bergantung dari etiologi yang
mendasarinya, derajat keparahan saat pasien masuk, serta analisa biokimia cairan
pleura. Namun demikian, pasien yang lebih dini memiliki kemungkinan lebih
rendah untuk terjadinya komplikasi. Pasien pneumonia yang disertai dengan efusi
memiliki prognosa yang lebih buruk ketimbang pasien dengan pneumonia saja.
Namun begitupun, jika efusi parapneumonia ditangani secara cepat dan tepat,
biasanya akan sembuh tanpa sekuele yang signifikan. Namun jika tidak ditangani
dengan tepat, dapat berlanjut menjadi empiema, fibrosis konstriktiva hingga
sepsis.
Efusi pleura maligna merupakan pertanda prognosis yang sangat buruk,
dengan median harapan hidup 4 bulan dan rerata harapan hidup 1 tahun. Pada pria
hal ini paling sering disebabkan oleh keganasan paru, sedangkan pada wanita
lebih sering karena keganasan pada payudara. Median angka harapan hidup adalah
3-12 bulan bergantung dari jenis keganasannya. Efusi yang lebih respon terhadap
kemoterapi seperti limfoma dan kanker payudara memiliki harapan hidup yang
lebih baik dibandingkan kanker paru dan mesotelioma. Analisa sel dan analisa
biokimia cairan pleura juga dapat menentukan prognosa. Misalnya cairan pleura
dengan pH yang lebih rendah biasanya berkaitan dengan massa keadaan tumor
yang lebih berat dan prognosa yang lebih buruk (Rubins, 2012).

Anda mungkin juga menyukai