Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Kejang adalah gangguan neurologis yang umum pada kelompok umur pediatri dan

terjadi dengan frekuensi 4-6 kasus/1000 anak. Kejang ini merupakan penyebab yang paling

sering untuk rujukan pada praktek neurologi anak. Adanya gangguan kejang tidak merupakan

diagnosis, tetapi gejala suatu gangguan sistem saraf sentral yang memerlukan pengamatan

menyeluruh dan rencana manajemen. Penyakit ini juga menjadi salah satu masalah sistem

saraf pusat yang banyak terdapat pada neonatus. Kejadiannya meliputi 0,5% dari semua

neonatus baik cukup bulan maupun kurang bulan.1

Kejang periode bayi (neonatus) merupakan keadaan darurat medis, karena kejang

dapat mengakibatkan hipoksia otak yang cukup berbahaya bagi kelangsungan hidup bayi atau

dapat mengakibatkan sekuele di kemudian hari,disamping itu kejang dapat merupakan tanda

atau gejala dari satu masalah atau lebih. Subtle seizure adalah jenis yang paling umum kejang

yang terjadi dalam periode neonatal. Jenis lain termasuk serangan klonik, tonik dan

mioklonik. Serangan mioklonik membawa prognosis terburuk dari segi jangka panjang hasil

perkembangan saraf. Etiologi kejang pada neonatus ada beberapa macam, pada sebagian

besar disebabkan oleh Hipoksik Iskemik Ensefalopati (HIE), perdarahan intrakranial, infeksi

intrakranial, gangguan metabolik dan kelainan bawaan.2,3,4

Angka kejadian kejang pada neonatus terjadi lebih tinggi pada bayi kurang bulan

(3,9%) pada bayi dengan usia kehamilan < 30 minggu. Di Amerika Serikat, angka kejadian

kejang pada neonatus belum jelas terdeteksi, diperkirakan sekitar 80-120 per 100.000

neonatus per tahun. Perbandingannya antara 1-5:1000 angka kelahiran. Menurut SDKI 2002-

2003 angka kematian pada neonatus di Indonesia menduduki angka 57% dari angka kematian

bayi (AKB) sedangkan kematian neonatus yang diakibatkan oleh kejang sekitar 10%.5
Neonatus menghadapi risiko khusus terserang kejang karena penyakit

metabolik,toksik, struktural, dan infeksi lebih mungkin menjadi nampak selama waktu ini

daripada pada periode kehidupan lain kapanpun. Kejang neonatus tidak sama dengan kejang

pada anak atau orang dewasa karena konvulsi tonik klonik cenderung tidak terjadi selama

umur bulan pertama. Walaupun neonatus mempunyai daya tahan terhadap kerusakan otak

lebih baik, namun efek jangka panjang berupa penurunan ambang kejang, gangguan belajar

dan daya ingat tetap terjadi. Aktivitas kejang yang terjadi pada waktu diferensiasi neuron,

mielinisasi dan proliferasi glia pada bayi baru lahir dianggap sebagai penyebab terjadinya

kerusakan otak. Deteksi dini, mencari etiologi danmemberikan tata laksana yang adekuat

sangat penting pada kejang neonatus. 2,6


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Neonatus adalah bayi baru lahir yang berusia di bawah 28 hari. Kejang (konvulsi)

merupakan gangguan fungsi otak tanpa sengaja paroksismal yang dapat nampak sebagai

gangguan atau kehilangan kesadaran, aktivitas motorik abnormal, kelainan perilaku,gangguan

sensoris, atau disfungsi autonom. Kejang pada neonatus adalah perubahan paroksismal fungsi

neurologis (tingkah laku dan atau fungsi motorik) akibat aktifitas yang terus menerus dari

neuron diotak dan terjadi dalam 28 hari pertama kehidupan pada bayi cukup bulan atau

sampai usia konsepsi 44 minggu pada bayi kurang bulan.2,7

2.2 ETIOLOGI

Etiologi kejang pada neonatus adalah sebagai berikut :

a. Ensefalopati iskemik hipoksik

Merupakan penyebab tersering (60-65%) kejang pada BBL, biasanya terjadi dalam waktu

24 jam pertama, dapat terjadi pada BCB maupun BKB terutama bayi dengan asfiksia. Bentuk

kejang subtle atau multifokal klonik serta fokal klonik. Kasus iskemik hipoksik disertai

kejang, 20 % akan mengalami infark serebral. Manifestasi klinis ensefalopati hipoksik –

iskemik dapat dibagi dalam 3 stadium,yaitu : ringan, sedang dan berat. Manifestasi kejang

terjadi pada stadium sedang dan berat.2,8,9


b.Perdarahan Intrakranial

Scher menentukan 45 % bayi preterm dengan kejang mengalami perdarahan matriks

germinal atau intraventrikel (GMH-IVH). Perdarahan intrakranial sering sulit disebut sebagai

penyebab tunggal kejang, biasanya berhubungan dengan penyebab lain, yaitu :6,8

-Perdarahan sub arachnoid.Perdarahan yang sering dijumpai pada bayi baru lahir,

kemungkinan karena robekan vena superfisial akibat partus lama. Pada mulanya bayi

tampak baik, tiba-tiba dapat terjadi kejang pada hari pertama atau hari kedua.

-perdarahan subdural. Perdarahan ini umumnya terjadi akibat robekan tentorium di

dekat falks serebri.Keadaan ini akibat molase kepala yang berlebihan pada letak verteks ,

letak muka dan partus lama. Darah terkumpul di fosa posterior dan dapat menekan batang

otak.Manifestasi klinis hamper sama dengan ensefalopati hipoksik-iskemik ringan sampai

sedang. Bila terjadi penekanan pada batang otak terdapat pernapasan yang tidak

teratur,kesadaran menurun, tangus melengking, ubun-ubun besar menonjol dan kejang.

Perdarahan pada parenkim otak kadang-kadang dapat menyertai perdarahan subdural.

-Perdarahan periventrikuler/intraventrikuler. Gambaran klinis perdarahan

intraventrikuler tergantung kepada beratnya penyakitdan saat terjadinya perdarahan. Pada

bayi yang mengalami trauma atau asfiksia biasanyakelainan timbul pada hari pertama

atau kedua setelah lahir. Pada bayi kurang bulan dapat mengalami perdarahan hebat,

gejala timbul dalam waktu beberapa menit sampai beberapa jam berupa gangguan napas,

kejang tonik umum, pupil terfiksasi, kuadriparesis flaksid,deserebrasi dan stupor atau

koma yang dalam. Pada perdarahan sedikit, gejala timbul dalam beberapa jam sampai

beberapa hari sampai penurunan kesadaran, kurang aktif,hipotonia, kelainan posisi dan

pergerakan bola mata seperti deviasi, fiksasi vertical danhorizontal disertai dengan

gangguan respirasi. Bila keadaan memburuk akan timbul kejang. BCB biasanya disertai
riwayat intrapartum misalnya trauma, pasca-pemberian cairan hipertonik secara cepat

terutama natrium bikarbonat dan asfiksia.

c. Metabolik

Penyebab paling sering kejang metabolik adalah :

-Hipoglikemi. Bayi dengan kadar glukosa darah < 45 mg/dL disebut hipoglikemia.

Hipoglikemia yang berkepanjangan dan berulang dapat mengakibatkan dampak yang

menetap pada sistem saraf pusat. Bayi baru lahir yang mempunyai resiko tinggi untuk

terjadinya hipoglikemia adalah : Bayi kecil untuk masa kehamilan, Bayi besar untuk masa

kehamilan dan bayi dari Ibu dengan Diabetes Mellitus. Hipoglikemi dapat menjadi penyebab

dasar pada kejang bayi baru lahir dan gejala neurologis lainnya seperti apnu, letargi dan

jiterness. Kejang seperti hipoglikemia ini sering dihibungkan dengan penyebab kejang yang

lain. Hanya sekitar 3% yang benar disebabkan Karena hipoglikemia. Tidak ada keraguan

pemberian terapi dextrose intravena jika ditemukan kadar glukosa rendah pada bayi kejang,

untuk mengembalikan kadar gula darah kembali secepatrnya.

-Hipokalsemia/ hipomagnesemia. Kejadian awal kejang akibat hipokalsemia pada hari

pertama dan kedua. Lebih sering didapatkan pada bayi berat lahir rendah (BBLR) dan sering

dihubungkan dengan keadaan asfiksia serta bayi dari ibu dengan diabetes mellitus.

Hipokalsemia didefinisikan kadar kalsium < 7,5 mg/Dl (<1,87 mmol/L), biasanya disertai

kadar fosfat > 3 mg/dL (> 0,95mmol/L), seperti hipoglikemia kadang asimtomatis. Sering

berhubungan dengan prematuritas atau kesulitan persalinan dan asfiksia. Kadar magnesium

yang rendah sering terjadi bersama dengan hipokalsemi dan perlu diterapi agar memberikan

respon yang baik untuk menghentikan kejang. Mekanisme terjadinya hipokalsemia

bersamaan dengan hipomagnesemia belum jelas. Bila kejang pada bayi berat lahir rendah
yang disebabkan oleh hipokalsemia diberikan kalsium glukonat kejang masih belum berhenti

harus dipikirkan adanya hipomagnesemia.2,6,9

-Hiponatremia dan hipernatremia. Kadar natrium serum yang sangat tinggi, sangat rendah

atau yang mengalami perubahan dengan sangat cepat, sering terjadi pada kondisi tertentu

seperti Syndrome of Inappropreiate Anti-Diuretic Hormone (SIADH), sindroma Bartter atau

dehidrasi berat dapat menyebabkan kejang. SIADH berhubungan dengan keadaan sekunder

dari meningitis atau perdarahan intracranial, terapi diuretika, kehilangan garam yang

berlebihan atau asupan cairan yang mengandung kadar natrium yang rendah,hiponatremia

dapat terjadi akibat minum air, pemberian infus intravena yang berlebihanatau akibat

pengeluaran natrium yang berlebihan lewat kencing dan feses. Hipernatremia terjadi akibat

dehidrasi berat atau iatrogenik atau sekunder akibat asupan natrium yang berlebihan. Dapat

juga terjadi akibat pemberian natrium yang berlebihan secara oral maupun parenteral.3,6

d. Infeksi

Infeksi terjadi sekitar 5-10% dari seluruh penyebab kejang bayi baru lahir (BBL),

bakteri, non bakteri maupun kongenital dapat menyebabkan kejang BBL, biasanya terjadi

setelah minggu pertama kehidupan.6,8

-Infeksi akut

Infeksi bakteri atau virus pada SSP dengan atau tanpa keadaan sepsis dapatmengakibatkan

kejang, biasanya sering berhubungan dengan meningitis. Kuman gram negative sering

mengakibatkan infeksi intrakranial dan sistemik pada BBL. Bakteri yangsering ditemukan

adalah group B streptococcus, Eschericia coli, Listeria sp,Staphylococcus dan Pseudomonas

spesies.

-Infeksi kronik
Infeksi intrauterin yang berlangsung lama : toxoplasmosis, rubella, cytomegalovirus, herpes

(TORCH), treponema pallidum.

e. Kernikterus/ensefalopati bilirubin

Suatu keadaan ensefalopati akut dengan sekuele neurologis yang disertai

meningkatkan kadar serum bilirubin dalam darah. Bilirubin indirek menyebabkan kerusakan

otak pada BCB apabila melebihi 20mg/dl. Pada bayi prematur yang sakit, kadar 10mg/dl

sudah berbahaya. Kemungkinan kerusakan otak yang terjadi tidak hanya disebabkan oleh

kadar bilirubin yang tinggi tetapi tergantung kepada lamanya hiperbilirubinemia. BKB yang

sakit dengan sindrom distress pernapasan, asidosis mempunyai risiko yang tinggi untuk

terjadinya kernikterus. Manifestasi klinis kernikterus terdiri dari hipotonia, letargi dan refleks

menghisap lemah. Pada hari kedua terdapat gejala demam, regiditas dan posisi dalam

opistotonus. Selanjutnya gambaran klinis bulan pertama menunjukkan tonus otot

meningkatkan progresif. Sindrom klinis yang tampak sesudah tahun pertama meliputi :

1)disfungsi ekstra piramidal biasanya berbentuk atetosis dan kora; 2)gangguan gerak bola

mata vertikal, ke atas lebih dari pada ke bawah, terdapat 90% kasus; 3) kehilangan

pendengaran frekuensi tinggi terdapat pada 60% kasus; 4) retardasi mental terdapat pada25%

kasus.

f. Kejang yang berhubungan dengan obat

- Pengaruh pemberhentian obat ( Drug withdrawl )

Kecanduan metadon pada ibu hamil sering dikaitkan dengan kejang BBL karena efek putus

obat dari kecanduan heroin. Ibu yang ketagihan dengan obat narkotik selama hamil, bayi

yang dilahirkan dalam 24 jam pertama terdapat gejala gelisah,jitteriness dan kadang-kadang

terdapat kejang. Kejang akibat putus obat (withdrawl) terjadi pertama kali pada usia 3 hari
pertama dengan onset rata-rata 10 hari. Kejang tersebut dapat menetapuntuk beberapa bulan.

Tremor dialami oleh bayi yang mendapatkan infus narkotik jangka panjang untuk

mengurangi rasa sakit dan telah diperhatikan pula efek serupa dari midazolam untuk sedasi

pada BKB.

- Intoksikasi anestesi lokal.

Kejang akibat intoksikasi anestesi lokal/anestesi blok pada ibu yang masuk ke dalam

sirkulasi janin. Ini dapat terjadi akibat anestesi blok paraservikal, pudendal atau epidural serta

anestesi lokal pada episiotomi yang tidak tepat. Curiga intoksikasi bila didapatkan pupil tetap

dilatasi pada pemeriksaan reflek pupil dan gerakan mata terfiksasi pada reflek okulosefalik

(reflex doll’s eye menghilang). Bayi lahir menunjukkan Apgar skor yang rendah, hipotonia

dan hipoventilasi. Kejang terjadi dalam waktu 6 jam pertama kelahiran.7,11

Penyebab kejang lainnya:

g. Gangguan Perkembangan Otak

Kelainan disebabkan karena terganggunya perkebangan otak. Beberapa kelainan

susunan saraf pusat dapat menimbulkan kejang pada hari pertama kehidupan. Penyebab yang

sering ditemukan adalah disgenesis korteks serebri, dapat disertai keadaan : dismorfik,

hidrosefalus, mikrosefalus. Kelainan migrasi sel saraf seperti lisensefali atau schizensefali

dapat terjadi pada kejang BBL.

h. Kelainan yang diturunkan

1. Gangguan metabolisme asam amino

Kejang biasanya terjadi antara 5-14 hari setelah bayi lahir. Termasuk kelainan ini

adalah: maple syrup urine disease, isovaleric academia, glycine encephalopathy,

arginosuccsinic aciduria dan phenyketonuria


2. Ketergantungan dan kekurangan piridoksin

Ketergantungan piridoksin terjadi akibat gangguan metabolisme piridoksin. Dasar

dari kelainan ini kemungkinan karena kekurangan dalam pengikatan koenzim piridoksal

fosfat pada glutamik dekarboksilase, yaitu enzim yang terlibat dalam pembentukan gama-

aminobutyric acid (GABA). Kekurangan atau menghilangnya GABA, yaitu suatu zat

transmitter inhibisi yang dapat menimbulkan kejang . Kejang sering terjadi pada jam pertama

kehidupan, bahkan sejak dalam kandungan. Kejang ini bersifat resisten terhadap

antikonvulsan. Pada BBL dengan kejang yang diduga karena gangguan metabolik, tidak

membaik dengan pemberian glukosa, kalsium, antikonvulsan dan sebagainya dapat diberikan

piridoksin intravena sebaiknya dengan monitoring EEG. Sebelum pengobatan EEG menjadi

normal. Bila gambaran EEG normal dan serangan kejang berhenti, diagnosis ketergantungan

piridoksin dapat ditegakkan.

i. Idiopatik

Kejang pada BBL yang tidak diketahui penyebabnya, secara relatif sering

menunjukkan hasil yang baik. Tetapi pada kejang beulang yang lama, resisten terhadap

pengobatan atau kejang terulang sesudah pengobatan dihentikan menunjukkan kemungkinan

adanya kerusakan di otak.

Etiologi Onset (hari)

0-3 >3 Kurang bulan Cukup bulan

Ensefalopati + +++ +++


Iskemik
hipoksik
Perdarahan + + ++ +
intracranial
Infeksi + + ++ ++

Gangguan + + ++ ++
perkembangan
otak
Hipoglikemia + + +

Hipokalsemi + + + +

Sindrom + + +
epileptik
Keterangan : +++ sering terjadi; ++jarang terjadi; + sangat jarang terjadi
Tabel 1. Awitan kejang berdasarkan etiologi10

PENYEBAB KETERANGAN
Ensefalopati  Penyebab paling sering pada bayi cukup bulan (40-60%) dan
iskemik hipoksik merupakan penyebab utama dari perkembangan bayi yang buruk
 Biasanya timbul dalam 24 jam
 Sulit dikontrol dengan medikamentosa
Pendarahan  Pendarahan intraventrikular
intrakranial  Pendarahan intracerebral
 Pendarahan subdural
 Pendarahan subarachnoid
Infeksi SSP  Meningitis bakteri
 Meningitis virus
 Encephalitis
 Intrauterine (TORCH) infections
 Bakteri patogen yang paling sering dari streptokokus grup B,
escherichia coli, listeria, staphyloccocus
Stroke perinatal  Oklusi arteri atau thrombosis vena dapat menyebabkan stroke
 Insidensi 1 per 4000
Metabolik  Hipoglikemia
 Hipokalsemia
 Hipomagnesaemia
 Hipo/hipernatremia
 Ketergantungan pyridoxine
Kelainan  Merupakan penyebab yang jarang ditemukan, namun tetap
metabolik membutuhkan perhatian khusus untuk menemukan penyebab
bawaan yang dapat di tangani
Putus obat ibu
Kelainan otak  Anomali kromosom
kongenital  Anomali otak kongenital
 Kelainan neuro-degeneratif
Kejang neonatus  Biasanya timbul sebagai kejang tonik atau klonik pada hari ke 2
familial jinak atau ke 3
Kejang hari  Dengan nama lain kejang neonatus jinak idiopatik
kelima  Biasanya hilang pada hari ke 15, penyebab tidak diketahui
Tabel 2. penyebab kejang pada neonatus, menurut buku IDAI dan Avery’s
neonatology12

Gambar 1. Etiologi kejang neonatus dan frekuensi10

2.4 EPIDEMIOLOGI

Insidensi dan prevalensi yang pasti sampai sekarang belum diketahui. Sulitnya

mempelajari hal tersebut dikarenakan banyak kejadian kejang pada neonatus yang tidak

disertai manifestasi klinis yang jelas. Meskipun demikian, menurut buku neonatologi IDAI,

perkiraan angka kejadian di Amerika Serikat berkisar antara 0.8-1.2 setiap 1000 neonatus
setiap tahun, sedang pada literatur lain menyebutkan 1-5% bayi pada bulan pertama

mengalami kejang. Insidensi meningkat kelahiran bayi kurang bulan sebesar 57.5-132

dibanding bayi cukup bulan sebesar 0.7-2.7 setiap 1000 kelahiran hidup. Pada kepustakaan

lain menyebutkan insidensi 20% pada bayi kurang bulan dan 1.4% pada bayi cukup bulan.

Sekitar 70-80% neonatus secara klinis tidak tampak kejang, namun pada elektrografik tampak

gambaran masih kejang.2

Menurut data data dari Queensland Maternity and Neonatal clinical guideline, kejang

sangat sering terjadi dengan perkiraan 70% dari bayi kurang bulan dengan pendarahan

intraventriikular atau leukomalasia periventricular. Kejang biasanya dikenali lebih sering

dengan penggunaan monitor EEG berkelanjutan.13

Insidens kejang pada neonatus dibedakan menurut berat badan lahir, yaitu 57,5 per

1000 bayi dengan berat lahir (BL)< 1500 g, 4,4 pada bayi dengan BL 1500-2499, 2,8 pada

bayi dengan BL 2500-3999 g, serta 2,0 pada bayi BL > 4000 g.10

2.5 PATOGENESIS 5,10

Kejang pada neonatus berbeda dengan kejang pada bayi atau anak yang lebih besar.

Karena perkembangan otak neonatus yang belum sempurna. Korteks pada neonatus belum

matur dibandingkan batang otaknya. Myelinisasi dan sinaps aksodendrit (sinaptogenesis)

yang belum sempurna pada daerah korteka menyebabkan penyebaran rangsang ke seluruh

korteks (sinkronisasi bilateral suatu rangsang) tidak terjadi. Rangsang dapat menyebar

perlahan-lahan ke hemisfer kontralateral dan tidak berlangsung sekaligus bersama-sama.

Inilah yang menyebabkan kejang pada neonatus tidak pernah bersifat kejang tonik klonik

umum.

Mekanisme dasar terjadinya kejang akibat loncatan muatan listrik yang berlebihan

dan sinkron pada otak atau depolarisasi otak yang mengakibatkan gerakan yang berulang.
Terjadinya depolarisasi pada syaraf akibat masuknya Natrium dan repolarisasi terjadi karena

keluarnya Kalium melalui membrane sel. Untuk mempertahankan potensial membrane

memerlukan energi yang berasal dari ATP dan tergantung pada mekanisme pompa yaitu

keluarnya Natrium dan masuknya Kalium.

Depolarisasi yang berlebihan dapat terjadi paling tidak akibat beberapa hal :

1. Gangguan produksi energi dapat mengakibatkan gangguan mekanisme pompa Natrium dan

Klaium. Hipoksemia dan Hipoglikemia dapt mengakibatkan penurunan yang tajam produksi

energi

2. Peningkatan eksitasi dibanding inhibisi neurotransmiter dapat mengakibatkan kecepatan

depolarisasi yang berlebihan

3. Penurunan relatif inhibisi dibanding eksitasi neurotransmitter dapat mengakibatkan

kecepatan depolarisasi yang berlebihan.

Perubahan fisiologis selama kejang berupa penurunan yang tajam kadar glukosa otak

dibanding kadar glukosa darah yang tetap normal atau meningkat disertai peningkatan laktat.

Keadaan ini menunjukkan mekanisme transportasi pada otak tidak dapat mengimbangi

peningkatan kebutuhan yang ada. Kebutuhan oksigen dan aliran darah otak juga meningkat

untuk mencukupi kebutuhan oksigen dan glukosa. Laktat terakumulasi selama terjadi kejang,

dan pH arteri sangat menurun. Tekanan darah sistemik meningkat dan aliran darah otak naik.

Efek dramatis jangka pendek ini diikuti oleh perubahan struktur sel dan hubungan sinaptik. 4

Fenomena kejang pada BBL dijelaskan oleh Volpe karena keadaan anatomi dan fisiologi

pada masa perinatal yang sebagai berikut:

Keadaan Anatomi susunan syaraf pusat perinatal :


- Susunan dendrit dan remifikasi axonal yang masih dalam proses pertumbuhan

- Sinaptogenesis belum

- Mielinisasi pada system efferent di cortical belum lengkap

Keadaan fisiologis perinatal:

- Sinaps exsitatori berkembang mendahului inhibisi

- Neuron kortikal dan hipocampal masih imatur

- Inhibisi kejang oleh system substansia nigra belum berkembang

2.6 MANIFESTASI KLINIS 2,8

• Kejang Tonik (Kejang tonik dapat berbentuk umum atau fokal)

-Kejang tonik umum: Terutama bermanifestasi pada neonatus kurang bulan (< 2500 gram).

Fleksi atau ekstensi tonik pada ekstremitas bagian atas, leher atau batang tubuh dan berkaitan

dengan ekstensi tonus pada ekstremitas bagian bawah. Pada 85% kasus kejang tonik tidak

berkaitan dengan perubahan otonomis apapun seperti meningkatnya detak jantung atau

tekanan darah, atau kulit memerah.

-Kejang tonik fokal: Terlihat dari postur asimetris dari salah satu ekstremitas atau batang

tubuh atau deviasi tonik kepala atau mata kepala atau mata. Sebagian besar kejang tonik

terjadi bersamaan dengan penyakit sistem syaraf pusat yang difus dan perdarahan

intraventrikular.

• Kejang Klonik

Terdiri dari gerakan kejut pada ekstremitas yang perlahan & berirama (1-3 /menit),

penyebabnya mungkin fokal/multi-fokal. 2 Setiap gerakan terdiri dari satu fase gerakan yang

cepat dan diikuti oleh fase yang lambat diikuti oleh fase yang lambat. Perubahan posisi atau
memegang ekstremitas yang bergerak tidak akan menghambat gerakan tersebut. Biasanya

terjadi pada neonatus cukup bulan. Tidak terjadi hilang kesadaran. Berkaitan dengan trauma

fokal,infarks atau gangguan metabolik.

Dikenal 2 bentuk :

a. Fokal : terdiri dari gerakan bergetar dari satu atau dua ekstremitas pada sisi unilateral

dengan atau tanpa adanya gerakan wajah. Gerakan ini pelan dan ritmik dengan atau tanpa

gerakan wajah. Gerakan ini pelan dan ritmik dengan frekuensi 1-4 kali perdetik.

b. Multifokal : Kejang klonik pada BBL dapat mempunyai lebih dari satu focus atau migrasi

terdiri dari gerakan dari satu ekstremitas yang kemudian secara acak pindah ke ekstremitas

lainnya. Bentuk kejang merupakan gerakan klonik salah satu atau lebih anggota gerak yang

berpindah-pindah atau terpisah secara teratur, misalnya kejang klonik lengan kiri diikuti

dengan kejang klonik tungkai bawah kanan. Kadang-kadang karena kejang yang satu dengan

kejang yang lain sering bersinambungan, seolah-olah member kesan sebagai kejang umum.

Bentuk kejang ini biasanya terdapat pada gangguan metabolik. Kejang ini lebih sering

dijumpai pada BCB dengan berat lebih 2500 gram.

• Kejang Mioklonik

Terdiri dari : Kejang mioklonik fokal, multi-fokal atau umum.

-Kejang mioklonik fokal biasanya melibatkan otot fleksor pada ekstremitas. Kejang

mioklonik multi-fokal terlihat sebagai gerakan.

-Kejang mioklonik multi-fokal terlihat sebagai gerakan kejutan yg tidak sinkron pd beberapa

bagian tubuh.
-Kejang mioklonik umum terlihat sangat jelas berupa fleksi masif pada kepala dan batang

tubuh dengan ekstensi atau fleksi pada ekstremitas. Kejang ini berkaitan dengan patologi

SSP yang difus 1

• Kejang “subtle”

Manifestasi klinis berupa orofasial, termasuk deviasi mata, kedipan mata, gerakan alis

(lebih sering pada BKB) yang bergetar berulang-ulang, mata yang tiba-tiba terbuka dengan

bola mata terfiksasi ke satu arah (lebih sering pada BKB) gerakan seperti menghisap,

mengunyah, mengeluarkan air liur, menjulurkan lidah, mendayung, bertinju, atau bersepeda.

Episode apneu dapat disebabkan oleh kejang, diagnosis ini dipertimbangkan jika terdapat

respon yang lambat terhadap ventilasi dengan balon dan sungkup khususnya pada neonates

preterm dengan lesi intrakranial.2

Proporsi dari kejang


Tipe kejang Tanda klinis
neonatus
Subtle o 10-35% o Mata- melotot, mengedip,
tergantung deviasi horizontal
maturitas o Oral- Mencucu, mengunyah,
o Lebih sering pada menghisap, menjulurkan lidah
bayi cukup bulan o Ekstremitas- memukul, gerak
o Terjadi pada bayi seperti berenang, mengayuh
dengan gangguan pedal
SSP berat o Otonomik- apneu, takikardia,
tekanan darah tidak stabil
Klonik o 50% o Biasanya dalam keadaan sadar
o Lebih sering pada o Gerak ritmik (1-3/detik)
bayi cukup umur o Fokus organ lokal atau 1 sisi
wajah atau tubuh. Mungkin
merupakan fokal neuropathy
yang tersembunyi
o Multifokal – irregular,
terpotong-potong
Tonik  20%  Mungkin meliatkan 1 bagian
 Lebih sering pada ekstremitas atau seluruh tubuh
bayi preterm  Ekstensi generalisata dari
bagian tubuh atas dan bawah
dengan postur opisthotonic
Mioklonik  5%  Sentakan cepat terisolasi
(membedakan dari mioklonik
neonatus jinak)
 Fokal (1 bagian ekstremitas)
atau multifokal (beberapa
bagian tubuh)
 Ditemukan pada putus obat
(terutama gol. opiat
Tabel 3. Tipe kejang pada neonatus13

Manifestasi klinis Jitterness Kejang

a. Gerakan abnormal mata - +

b. Peka terhadap rangsang + -

c. Bentuk gerakan dominan Tremor Klonik

d. Gerakan dapat + _
dihentikan dengan fleksi
pasif
e. Perubahan fungsi - +
autonom
f. Perubahan pada tanda + _
vital dan penurunan
saturasi oksigen
Tabel 4. Perbedaan jitterness dan kejang10

2.7 DIAGNOSIS

Anamnesis1,2

Faktor resiko :

 Riwayat kejang dalam keluarga


o Riwayat yang menyatakan adanya kejang pada masa neonatus pada anak
sebelumnya atau bayi meninggal pada masa neonatal tanpa diketahui
penyebabnya.
 Riwayat kehamilan /prenatal
o Infeksi – infeksi yang terjadi pada waktu hamil
o Preeklampsia, gawat janin
o Pemakaian obat golongan narkotika, metadon
o Imunisasi anti tetanus, rubela
 Riwayat persalinan
o Asfiksia, episode hipoksik
o Trauma persalinan
o Ketuban Pecah Dini
o Anestesi lokal/blok
 Riwayat pascanatal
o Infeksi neonatus, keadaan bayi tiba-tiba memburuk
o Bayi dengan pewarnaan kuning dan timbulnya dini
o Perawatan tali pusat tidak bersih dan kering, infeksi tali pusat
o Faktor pemicu kejang oleh suara bising atau karena prosedur perawatan
o Waktu atau awitan kejang mungkin terjadi berhubungan dengan etiologi
o Bentuk gerakan abnormal yang terjadi
Pemeriksaan fisik

 Inspeksi dan palpasi kepala : depresi, fraktur, moulase yang terlalu hebat
 Transluminasi membantu diagnosis penimbunan cairan di subdural setempat, atau

adanya kelainan kongenital seperti porensefali atau hidransefali. Bila ubun-ubun

menonjol tanpa tanda-tanda infeksi selaput otak dilakukan tap subdural secara hati-hati.

 Funduskopi sangat penting : perdarahan retina menunjukan kemungkinan perdarahn

intrakranial, koriorenitis dapat terjadi pada toxoplasmosis, infeksi cytomegalo virus atau

rubella. Adanya stasis vaskuler dengan pelebaran vena dengan bentuk berkelok-kelok

ditemukan pada sindrom hiperviskositas.

 Pemeriksaan jantung dan paru

 Pemeriksaan kulit : petekie, sianosis, ikterus, dsb

 Pemeriksaan abdomen : hepatosplenomegali

 Pemeriksaan neurologis : bentuk kejang, hemy snydrome, hilangnya reflex moro, dsb

Pemeriksaan Laboratorium 10

Untuk menentukan prioritas pada pemeriksaan laboratorium, harus digunakan informasi yang

didapatkan dari riwayat dan pemeriksaan jasmani dengan baik untuk mencari penyebab yang

lebih spesifik

 Kimia darah

Pemeriksaan kadar glukosa, kalsium, natrium, BUN dan magnesium pada darah serta analisa

gas darah harus dilakukan.

 Pemeriksaan darah rutin

Termasuk di dalamnya pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, trombosit , leukosit, hitung

jenis leukosit

 Kelainan metabolik
Dengan adanya riwayat keluarga kejang neonatus, bau yang khas pada bayi baru lahir,

intoleransi laktosa, asidosis, alkalosis atau kejang yang tidak responsif terhadap

antikonvulsan, harus dicari penyebab-penyebab metabolik yang mungkin.

o Kadar amonia dalam darah harus diperiksa

o Asam amino di plasma darah dan urin. Pada urin sebaiknya diperiksa untuk

mencari substansi reduksi

Pemeriksaan radiologis 8

- Ultrasonografi kranial

merupakan pemeriksaan pertama yang dilakukan untuk mengetahui keadaan patologis pada

susunan saraf pusat, perdarahan periventrikuler, tapi tidak untuk mendeteksi adanya infark

pada arteri serebral, perdarahan subdural dan subarachnoid. Bila hasil pemeriksaan ini tidak

menunjukkan adanya kelainan sementara, namun kejang terus berlangsung maka MRI perlu

dilakukan.

- CT-scan kranium

Merupakan pemeriksaan dengan hasil mendetail mengenai adanya penyakit intrakranial. CT

scan sangat membantu dalam menentukan bukti-bukti adanya infark, perdaraham, kalsifikasi

dan malformasi serebral.Melalui catatan sebelumnya, pemeriksaan ini memberikan hasil yang

penting pada kasus kejang neonatus, terutama bila kejang terjadi asimetris.

- MRI

Pemeriksaan paling sensitif untuk mengetahui adanya malformasi subtle yang kadang tidak

terdeteksi dengan CT-scan kranium.

Pemeriksaan lain

EEG(electroencephalography). EEG sangat penting untuk mendeteksi lokasi yang mengalami

gangguan aktivitas listrik dan dapat memberikan gambaran yang lebih baik tentang kejadian
kejang. Pemeriksaan EEG akan jauh lebih bernilai pabila dilakukan pada 1-2 hari awal

terjadinya kejang, untuk mencegah kehilangan tanda-tanda diagnostik yang penting untuk

menentukan prognosis di masa depan bayi. EEG sangat penting untuk memastikan adanya

kejang di saat manifestasi klinis yang timbul subtle atau apabila obat-obatan penenang

neuromuscular telah diberikan. Namun tidak semua jenis kejang dapat dideteksi dengan EEG

seperti kejang tersamar, kejang tonik, fokal, multifokal dan mioklonik, karena beberapa

kejang hanya terjadi pada tingkat subkortek dan tidak mencapai permukaan elektroda karena

system sinap-sinap saraf yang belum matur.

Walaupun demikian pemeriksaan EEG secara terus menerus masih tetap dianjurkan

karena 79% kejang yang terjadi pada neonatus adalah kejang tersembunyi atau hanya dapat

diidentifikasi dengan pemeriksaan EEG Rekomendasi terkini dari American Academy of

Neurology juga menyarankan bahwa EEG perlu dilakukan untuk setiap bayi yang mengalami

riwayat kejang pertama.

The International League Against Epilepsy mempertimbangkan kriteria sebagai berikut :9

o Non epileptikus : berdasarkan gejala klinis kejang semata

o Epileptikus : Berdasarkan konfirmasi pemeriksaan EEG. Secara

klinis mungkin tidak terlihat kejang, namun dari gambaran EEG masih

mengalami kejang.
DAFTAR PUSTAKA

1. Haslam R. Kejang Neonatus. Editor: Waldo E. Dalam: Buku Ilmu Kesehatan Anak.

Jakarta : EGC, 2000.

2. Kosim M. Sholeh,Ari Yunanto, Rizalya Dewi, Gatot Irawan Santosa, Ali

Usman.Buku Ajar Neonatologi. Jakarta: Badan Penerbit IDAI,2010.

3. Adre J. Neonatal seizures. Dalam : Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal

care;edisi ke-5. Boston : Lippincott Williams & Wilkins, 2004.

4. Widiastuti,Daisy. Kejang pada neonatus manifestasi klinis dan etiologi. Jakarta:

FKUI, 2010.

5. Volpe JJ. Volpe's Neurology of the Newborn 6th Edition. Philadelphia: Elsevier

Health Sciences,2017.

6. Gomella TC. Seizure Activity in Neonatology : Dalam: Gomella TC, Cunningham

MD, Eyal FG , penyunting. Management,Procedures, On-Call Problems and drugs.5th

edition.New-York:Lange medical Publ, 2004.

7. Khosim S, Indarso F, Irawan G, dkk. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri Neonatal

Emergensi Dasar. Jakarta : Depkes RI, 2006.

8. Elfy S. Rekomendasi perawatan terkini dalam penatalaksanaan kejang pada neonatus.

Jurnal Keperawatan Indonesia.2004; 8 (2): 70-5.

9. Hu,Su-Ching, Hung,Kun-Long, Chen,Hui-Ju Neonatal Seizures: Incidence, Etiologies,

Clinical Features and EEG Findings in the Neonatal Intensive Care Unit. Epilepsy J 2017,

3(1):1-3.
10. Setyo H. Kejang pada Neonatus, Permasalahan dalam diagnosis dan Tata laksana. Sari

Pediatri.2007; 9( 2): 113-120.

11. Mizrahi EM, Kellaway P. Characterization and classification. In Diagnosis and

management of neonatal seizures. Lippincott-Raven, 1998.

12. Gordon B. Avery, Mhairi G. MacDonald, Mary M. K. Seshia, et al. .Avery’s

neonatology : Pathophysiology And Management Of The Newborn. edisi 6. Philadelphia:

Lippincott Williams & Wilkins,2005.

13.Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guideline.2001-2011.Queensland(Australia):

Queensland Goverment,2011.

Anda mungkin juga menyukai