Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit jaringan ikat, etiologinya


tidak jelas diketahui dan termasuk soluble immune complexes disease, dimana gambaran
klinisnya cukup luas dapat melibatkan banyak organ tubuh, serta perjalanan penyakitnya
ditandai dengan remisi dan eksaserbasi.(1)
Dari pengamatan LES di seluruh dunia, penderitanya lebih dari 90% merupakan
perempuan. Dan pada umumnya kebanyakan terjadi pada masa sebelum pubertas dan setelah
menopause, yang menunjukkan bahwa metabolisme estrogen dan hubungannya dengan
sistem kekebalan tubuh mungkin memainkan peranan dalam patogenesis dari penyakit ini.
Meskipun mekanisme patoetiologi secara tepat belum dapat dijelaskan, tetapi diyakini bahwa
terjadinya LES dipicu oleh faktor lingkungan yang tidak jelas pada individu yang rentan
secara genetik.(2,3)
Penyakit ginjal yaitu lupus nefritis adalah salah satu manifestasi yang paling umum
dan paling serius dari LES. Keterlibatan ginjal pada LES berdampak buruk pada prognosis
utamanya dalam hal tingkat kelangsungan hidup pasien dan ketahanan ginjal (kelangsungan
hidup tanpa perlu terapi pengganti ginjal), serta kualitas hidup, termasuk cacat kerja.
Glomerulus adalah bagian dari ginjal yang paling umum terkena akibat penyakit lupus.
Tetapi, interstitium ginjal dan tubulus, serta pembuluh darah, mungkin juga terkena efeknya.
Pengenalan dini pada penyakit lupus nefritis dan pemantauan ketat untuk kemajuan setelah
dilakukannya pengobatan merupakan bagian penting dari manajemen terapi. Tanda serologi
konvensional dan parameter klinis dari ginjal untuk lupus nefritis aktif, tidak sensitif atau
cukup spesifik.(2)

1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. DEFINISI
Nefritis lupus adalah salah satu dari manifestasi paling serius dari lupus eritematosus
sistemik (LES) biasanya muncul dalam 5 tahun setelah diagnosis. Bagaimanapun, gagal
ginjal jarang terjadi sebelum kriteria klasifikasi American College of Rheumatology
terpenuhi. Nefritis lupus tampak jelas secara histologis pada kebanyakan pasien dengan LES,
bahkan mereka yang tidak menunjukkan manifestasi klinis penyakit ginjal. Gejala nefritis
lupus umumnya berhubungan dengan hipertensi, proteinuria dan gagal ginjal. 1

2.2. EPIDEMIOLOGI
Faktor genetik memegang peranan penting pada lupus nefritis, dimana lupus nefritis
sering terjadi pada ras yang kuat. Misalnya, prevalensi dan mortalitas lupus nefritis terjadi
sepuluh kali lebih tinggi pada wanita kulit hitam (Amerika) dibandingkan pada wanita kulit
putih, namun relatif lebih jarang terjadi pada nenek moyang Afro-Amerika di Afrika Barat.
Selain itu, pasien dengan lupus nefritis mungkin memiliki anggota keluarga yang sehat.(3)
Wanita adalah faktor risiko utama bagi perkembangan penyakit lupus nefritis.
Perbandingan antara perempuan : laki-laki naik dari 2:1 pada saat sebelum pubertas
meningkat menjadi 4.5:1 pada masa remaja dan makin meningkat sampai 12:1 pada orang
dewasa, dan menurun kembali menjadi 2:1 pada pasien dengan usia lebih dari 60 tahun.
Data-data ini sesuai dengan model murine lupus nefritis, dimana estrogen mempercepat
faktor dalam munculnya penyakit lupus nefritis, sedangkan androgen melindungi seseorang
dari penyakit lupus nefritis. Penyakit lupus nefritis jarang terjadi pada saat sebelum pubertas.
Secara keseluruhan kejadian penyakit lupus nefritis ini jauh lebih rendah pada anak-anak
dibandingkan pada orang dewasa.(3)
Insiden lupus nefritis lebih tinggi pada orang dari Asia (55%), Afrika (51%), dan
Hispanik (43%) dibandingkan dengan keturunan Kaukasia (14%). Hampir 25% dari pasien
ini berkembang menjadi gagal ginjal stadium akhir 10 tahun setelah terdapatnya manifestasi
pada ginjal. Pada kenyataannya, 5 – 10 tahun tingkat kelangsungan hidup pada pasien dengan
lupus nefritis pada tahun 1990an berkisar antara 83-93% dan 74-84%. Namun, dari sekitar
5% kasus, lupus nefritis dapat muncul beberapa tahun setelah terjadi LES (disebut, lupus
nefritis tertunda). Kelompok dengan lupus nefritis tertunda itu secara positif berhubungan
dengan Sjogren syndrome (SS), adanya keterlibatan penyakit paru, dan sindrom antifosfolipid

2
dibandingkan dengan lupus nefritis awal (yaitu, pasien LES yang berkembang menjadi lupus
nefritis setelah 5 tahun terkena penyakit tersebut).

2.3. klasifikasi
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan lupus nefritis berdasarkan
mikroskop cahaya dan sudah diterima secara luas. Kelas III (nefritis proliferatif fokal) adalah
klasifikasi dari lupus nephritis yang memiliki kesulitan tertentu, karena klasifikasi tersebut
hampir mencakup berbagai gambaran. Namun demikian, terdapat kesamaan yang luar biasa
terhadap klasifikasi-klasifikasi yang dibuat selain oleh WHO di seluruh dunia untuk setiap
kelas-kelasnya.(5)

Kelas Deskripsi
I Glomerulus normal ( dengan pemeriksaan mikroskop cahaya, imunofluoresen,
mikroskop electron )
II Perubahan pada mesangial
a. Normal dengan mikroskop cahaya, deposit pada mesangial dengan
imunofluoresen dan atau mikroskop elektron.
b. Hiperseluleritas mesangial dan terdapat deposit pada imunofluoresen
dan atau mikroskop elektron.
III Focal segmental glomerulonephritis
a. Lesi nekrotik aktif
b. Lesi sklerotik aktif
c. Lesi sklerotik
IV Glomerulonefritis difus (proliferasi luas pada mesangial, endokapiler atau
mesangiokapiler dan atau deposit luas sub endotel)
a. Tanpa lesi segmental
b. Dengan lesi nekrotik aktif
c. Dengan lesi aktif dan sklerotik
d. Dengan lesi sklerotik
V Glomerulonefritis membranosa difus :
a. Glomerulonefritis membranosa murni
b. Berhubungan dengan lesi kelas II (a atau b)
VI Glomerulonefritis sklerotik lanjut

3
Indeks aktivitas / lesi aktif Indeks kronisitas / lesi
kronis
Glomerulus - Proliferasi endokapiler - Sklerosis glomerulus
- Infiltrasi lekosit (glomerulosclerosis)
- Deposit hialin subendotel - Bentuk crescent
- Nekrosis fibrosis (fibrosis
fibrinoid/karioreksis crescent)

Tubulo interstisial Inflamasi interstisial Fibrosis interstisialis dan


tubulus atrofi
Tabel 1. Klasifikasi Lupus Nefritis (WHO, 2003)(5)

Tabel 2 Kriteria klasifikasi American College of Rheumatology untuk lupus eritematosus


sistemik10

Interntional Society Nephrology / Renal Pathology Society (ISN/RPS) membuat


klasifikasi baru lupus nefritis. Klasifikasi baru ini juga terutama berdasarkan pada perubahan
glomerulus serta kelas III dan IV lebih rinci perubahan morfologisnya. Dengan pemeriksaan

4
imunofluoresen dapat ditemukan deposit imun pada semua kompartemen ginjal (glomerulus,
tubulus, interstisium dan pembuluh darah). Biasanya ditemukan lebih dari satu kelas
immunoglobulin. Terbanyak ditemukan deposit IgG dengan ko-deposit IgM dan IgA pada
sebagian besar sediaan. Juga bisa diidentifikasi komplemen C3 dan C1q. Pewarnaan untuk
fibrin-fibrinogen dikerjakan bila didapatkan lesi crescent dan lesi nekrotik segmental.(1)

Tabel 3. Klasifikasi Lupus nefritis (ISN / RPS)(5)

Pada immunohistologi, IgG hampir selalu mendominasi diantara imunoglobulin


lainnya bersama dengan IgG1 dan IgG3. Namun, pada beberapa pasien ada yang
menunjukkan kalau IgA atau IgM yang lebih dominan. Komponen awal komplemen seperti
C4 dan terutama C1q biasanya juga muncul bersama dengan C3. Temuan positif untuk ketiga
isotypes dari Ig, bersama dengan C3, C4, dan C1q, biasanya terdapat pada seperempat pasien
dengan lupus nefritis, dan hampir tidak pernah dalam penyakit nonlupus. Reaktan imun
lainnya seperti komponen komplemen B, C5b-9, properdin, dan b1H juga biasanya terdapat
pada banyak pasien dengan lupus nefritis. Fibrin, yang kadang-kadang disertai dengan cross-
linked fibrin, sering terdapat pada kelas IV dari klasifikasi lupus nefritis tetapi jarang terjadi
di kelas lain.(6)

Pembuludarah Intrarenal
Kelompok imun, hialin dan lesi nekrotik non-inflamasi, dan vaskulitis dengan
infiltrasi limfositik dan monosit dari dinding pembuluh darah kemungkinan dapat terlihat,

5
sedangkan trombus arteriolar intrarenal jarang terlihat. Semua perubahan dari pembuluh
darah ini merupakan tanda-tanda prognosis yang semakin jelek, dan dengan demikian
sangatlah penting untuk mengenalinya secara dini. Pasien kadang-kadang menunjukkan
trombotik microangiopathy yang sangat jelas pada kriteria histologis dan hematologi.
Mungkin ini ada hubungannya dengan adanya antifosfolipid.(5)

2.4. PATOGENESIS
Patogenesis timbulnya LES diawali oleh interaksi antara faktor predisposisi genetik
dengan faktor lingkungan, faktor hormon seks, dan faktor sistem neuroendokrin. Interaksi
faktor-faktor ini akan mempengaruhi dan mengakibatkan terjadinya respon imun yang
menimbulkan peningkatan aktivitas sel-T dan sel-B, sehingga terjadi peningkatan auto-
antibodi (DNA-anti-DNA). Sebagian dari auto-antibodi ini akan membentuk kompleks imun
bersama dengan nukleosom (DNA-histon), kromatin, C1q, laminin, Ro (SS-A), ubikuitin, dan
ribosom; yang kemudian akan membuat deposit (endapan) sehingga terjadi kerusakan
jaringan. Pada sebagian kecil lupus nefritis tidak ditemukan deposit komplek imun dengan
sediaan imunofluoresen atau mikroskop elektron. Kelompok ini disebut sebagai Pauci-
immune necrotizing glomerulonephritis.(1)

LES (Soluble immune complex disease)

Kompleks imun pada glomeruli

Aktivasi sistem pembekuan Aktivasi sistem komplemen

Agregasi trombosit Kerusakan nefron MAC ( membrane attack


Kinin dan fibrin complex of complement )

Sindrom klinis ( gambaran klinis )


Gambar 1. Patofisiologi nefritis lupus(1)

Endapan awal dari kompleks imun (IC) termasuk nukleosom, DNA-extractable


nuclear antigen antibodies (ENAS), dan antibodi terhadap kompleks C1q dari sistem
komplemen sebagai produk sampingan dari tidak efisiennya proses fagositosis dari badan
apoptosis. Hasil ini merupakan respon autoimun melalui ekspansi epitop. Kompleks imun ini

6
memiliki dominasi atas imunoglobulin G (IgG) 2 dan 3. Endapan dari kompleks imun yang
awalnya terletak di mesangium glomerulus dan jaringan interstitial dalam sel epitel tubulus
proksimal (PTECs). Endapan kompleks imun ini memulai pelepasan sitokin proinflamasi dan
kemokin seperti monosit chemoattractant protein-1 (MCP-1) dan sel molekul adhesi (CAMS)
sehingga membentuk sebuah proses inflamasi kronis. Kelebihan beban yang dihasilkan dari
sistem fagositosis mesangial mengakibatkan endapan kompleks imun subendothelial menjadi
sasaran empuk untuk migrasi monosit dan infiltrasi. Migrasi dan infiltrasi ini adalah karena
respon umum sistem kekebalan tubuh alami yang melepaskan protease inflamasi sehingga
menyebabkan kerusakan endotel dan proliferasi. Selanjutnya, respon sistem kekebalan tubuh
alami mempromosikan aktivasi sistem kekebalan sekunder yang adaptif untuk kehadiran
kompleks imun dan sel dendritik (DC), yang kemudian memicu pelepasan interferon tipe 1
dan menginduksi pematangan dan aktivasi dari infiltrasi sel T. Aktivasi ini menyebabkan
amplifikasi berurutan dari limfosit T helper 2 (Th2), T helper 1 (Th1), dan T helper 17
(Th17). Masing-masing memperkuat respon sel limfosit B, dan mengaktifkan makrofag. Ini
menghasilkan respon umum kedua, yang meningkatkan perekrutan sel efektor yang tidak bisa
lagi dimodulasi oleh sel T regulator, dan pada akhirnya menghasilkan proliferasi epitel
glomerulus dan fibrosis.(4)
Gambaran klinik kerusakan glomerulus dihubungkan dengan letak lokasi
terbentuknya deposit komplek imun. Deposit pada mesangium dan subendotel terletak
proksimal terhadap membran basalis glomerulus sehingga mempunyai akses ke pembuluh
darah. Deposit pada daerah ini akan mengaktifkan komplemen, yang kemudian membentuk
kemoatraktan C3a dan C5a. Selanjutnya terjadinya influks sel netrofil dan sel mononuklear.
Deposit pada mesangium dan subendotel secara histopatologis memberikan gambaran
mesangial, proliferatif fokal, dan proliferatif difus; secara klinis memberikan gambaran
sedimen urin yang aktif (ditemukan eritrosit, lekosit, silinder sel dan granula), proteinuria,
dan sering disertai penurunan fungsi ginjal. Sedangkan deposit pada subepitel tidak
mempunyai hubungan dengan pembuluh darah karena dipisahkan oleh membran basalis
glomerulus sehingga tidak terjadi influks netrofil dan sel mononuklear. Secara histopatologis
memberikan gambaran nefropati membranosa dan secara klinis hanya memberikan gejala
proteinuria.(1)
2.5. DIAGNOSIS

Diagnosis lupus eritematosus sistemik didasarkan pada kriteria klinis dan laboratoris.
Kriteria yang dikembangkan oleh American College of Rheumatology (ACR) pada tabel 2

7
10
paling banyak digunakan . Suatu algoritma untuk diagnosis penyakit ini dapat dilihat pada
gambar 2. Pada suatu studi yang menggunakan pasien berpenyakit jaringan ikat sebagai grup
kontrol, kriteria diagnostik ACR untuk LES ditemukan memiliki sensitivitas 96% dan
spesifisitas 96%. Studi lain melaporkan sensitivitas mulai 70-96 persen dan spesifisitas mulai
89-100 persen. Bagaimanapun kriteria ACR mungkin kurang akurat pada pasien dengan
manifestasi ringan LES. 12

Peningkatan titer antibodi antinuklear (ANA) menjadi 1:40 atau lebih tinggi adalah
yang paling sensitif dari kriteria ACR. Lebih dari 99 persen pasien dengan LES memiliki
peningkatan ANA titer pada titik tertentu, walaupun sejumlah besar pasien mungkin titernya
negatif pada fase awal penyakit. Bagaimanapun tes ANA tidak spesifik untuk LES. Penyakit
lain yang sering terkait dengan uji ANA positif termasuk sindrom Sjögren (68% dari pasien),
skleroderma (40-75% pasien), artritis rematoid (25-50%) dan artritis rematoid juvenil (16%).
Uji ANA juga bisa positif pada pasien dengan fibromialgia. Pada pasien dengan penyakit
selain LES, titer ANA umumnya lebih rendah dan pola imunofluoresensinya berbeda. ACR
merekomendasikan uji ANA pada pasien yang mengalami dua atau lebih gejala dan tanda
yang terdaftar pada tabel 1.13. Apabila titer ANA normal pada kasus keterlibatan sistem
organ yang nyata dengan kecurigaan lupus eritematosus sistemik maka harus dilakukan
penelusuran diagnosis alternatif. Bila tidak ditemukan sebab lain, dapat dipertimbangkan
diagnosis LES ANA-negatif dan konsultasi ke ahli reumatologi. Bila pasien dengan titer
ANA normal mengalami gejala klinis baru yang sesuai dengan LES, maka uji ANA harus
diulangi.

Gambar 2. Algoritma diagnosis lupus eritematosus sistemik (ANA=anti nuclear antibody; anti-
dsDNA = antibodi terhadap antigen DNA double stranded; anti-Sm = antibodi terhadap antigen
Sm nuclear)14

8
Gejala nefritis aktif termasuk edema perifer sekunder terhadap hipertensi atau
hipoalbuminemia. Edema perifer ekstrim lebih sering pada pasien dengan nefritis lupus difus
proliferatif atau membranosa, karena kedua lesi renal ini terkait dengan proteinuria berat.
Gejala lain yang terkait langsung dengan hipertensi akibat nefritis lupus proliferatif difus
termasuk sakit kepala, pusing, gangguan visual dan tanda-tanda gagal jantung. 1

Beberapa indikator klinis dari nefritis lupus aktif dapat dilihat pada tabel 3. Aktivitas
penyakit dapat dievaluasi dengan anti-dsDNA, komplemen (C3,C4 dan CH50 ) dan LED atau
CRP. Level CRP umumnya tidak meningkat pada pasien LES walaupun dengan penyakit
aktif, kecuali pasien terkena artritis yang signifikan atau infeksi. Umumnya LED dan anti-
dsDNA yang meningkat dan level C3 dan C4 yang rendah berkaitan dengan nefritis aktif,
terutama tipe proliferatif lokal dan difus. Nefritis lupus yang signifikan secara klinis biasanya
terkait dengan penurunan klirens kreatinin 30%, proteinuria >1000 mg/hari dan temuan
biopsi ginjal yang menunjukkan nefritis lupus aktif. Antibodi anti-nukleosom muncul dini
pada perjalanan respons autoimun pada LES, mereka memiliki sensitivitas dan spesifisitas
tinggi untuk diagnosis LES serta titernya berkorelasi dengan aktivitas penyakit. Antibodi
anti-C1q berkaitan erat dengan nefritis lupus, titer tinggi berkorelasi dengan penyakit ginjal
aktif. 10

Abnormal urinalysis findings (albuminuria, leucocyturia, haematuria, granular casts, hyaline


casts, red blood cell casts, fatty casts, oval fat bodies)
Abnormal urinary sediment findings (leucocyturia, haematuria, granular casts, hyaline casts)
Proteinuriaa (nephrotic syndrome with excretion of >3.5 g/day of protein occurs in 13-26% of
patients)
Increased serum creatinine level
Decreased glomerular filtration rate
Rising anti-DNA antibody titre plus hyocomplementaemia, especially low C3 levels
Hypoalbuminaemia
Hypercholesterolaemia
Hyperuricaemia and renal tubular acidosis associated with tubulointerstitial injury
a
Proteinuria is not always a reliable indicator of active disease because some patients
have persistent proteinuria in the absence of active immunological injury.
Tabel 3 . Indikator klinis dari nefritis lupus aktif10

9
Tabel 4. Gejala klinis lupus eritematosus sistemik menurut American College of
Rheumatology10,11

Diagnosis lupus nefritis baru dapat ditegakan bila pasien sudah tegak didiagnosis
Sistemic Lupus Eritomatosa (SLE). Kriteria diagnosis dari SLE sendiri yaitu harus memenuhi
4 dari 11 kriteria yang didasarkan dari kriteria klinis dan laboratorium dari Amrican
Rheumatology Association (ARA) antara lain: (1)
1. Ruam malar
2. Ruam bercak-bercak (discoid)
3. Fotosensitivitas
4. Ulkus oral (sariawan di rongga mulut dan tenggorokan)
5. Arthritis (radang sendi non-erosif pada 2 sendi atau lebih)
6. Radang selaput dalaman, pleuritis dan / atau perikarditis
7. Gangguan renal (proteinuria melebihi 500mg/24jam)
8. Kelainan neurologis (kejang atau kelainan jiwa)
9. Kelainan hematologis (anemia hemolitik, leukopenia,limfositopenia, trombositopenia)
10. Kelainan imunologis (anti ds-DNA positif, antibody smith positif, atau tes sifilis palsu
atau tes LE positif)
11. Kadar antibodi antinuclear abnormal
Dan ditambah dengan 2 kriteria lagi, yaitu:
1. Proteinuria persisten, hematuri disertai kelainan sedimen aktif
2. Kenaikan titer anti nucleus dan DNA-binding antibody atau keduanya
3. Gejala nefritis aktif termasuk edema perifer sekunder terhadap hipertensi atau
hipoalbuminemia. Edema perifer ekstrim lebih sering pada pasien dengan nefritis
lupus difus proliferatif atau membranosa, karena kedua lesi renal ini terkait dengan

10
proteinuria berat. Gejala lain yang terkait langsung dengan hipertensi akibat nefritis
lupus proliferatif difus termasuk sakit kepala, pusing, gangguan visual dan tanda-
tanda gagal jantung. 1
4. Beberapa indikator klinis dari nefritis lupus aktif dapat dilihat pada tabel 3. Aktivitas
penyakit dapat dievaluasi dengan anti-dsDNA, komplemen (C3,C4 dan CH50 ) dan
LED atau CRP. Level CRP umumnya tidak meningkat pada pasien LES walaupun
dengan penyakit aktif, kecuali pasien terkena artritis yang signifikan atau infeksi.
Umumnya LED dan anti-dsDNA yang meningkat dan level C3 dan C4 yang rendah
berkaitan dengan nefritis aktif, terutama tipe proliferatif lokal dan difus. Nefritis lupus
yang signifikan secara klinis biasanya terkait dengan penurunan klirens kreatinin
30%, proteinuria >1000 mg/hari dan temuan biopsi ginjal yang menunjukkan nefritis
lupus aktif. Antibodi anti-nukleosom muncul dini pada perjalanan respons autoimun
pada LES, mereka memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi untuk diagnosis LES
serta titernya berkorelasi dengan aktivitas penyakit. Antibodi anti-C1q berkaitan erat
dengan nefritis lupus, titer tinggi berkorelasi dengan penyakit ginjal aktif. 16,19

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Antibodi Antinuclear
Antibodi antinuclear, terutama terhadap dsDNA dan antigen Smith (Sm), sangat
berkaitan erat dengan adanya lupus nefritis. Antibodi Smith (anti-Sm) sangat spesifik, tetapi
antibodi ini hanya muncul sekitar 15% - 50% pada pasien dengan lupus nefritis, dan lebih
banyak muncul pada pasien keturunan Afro-Karibia daripada pasien keturunan kaukasia.
Antibodi anti-dsDNA cepat hilang dari sirkulasi tubuh setelah dilakukan pengobatan, dan
akan tetap menghasilkan nilai positif pada pemeriksaan fluorescent antinuclear antibodi
(FANA). Berbagai bentuk dari FANA (difus, speckled, dll) tidak dapat dijadikan ukuran
untuk membedakan lupus nefritis dari penyakit antinuclear lainnya.(6)

Pemeriksaan Darah
Pada umumnya sering ditemukan adanya pasien dengan anemia sedang, tetapi tes
yang menunjukkan hasil yang positif pada pemeriksaan antibodi anti sel darah merah
(Coombs’ tes) hanya terdapat pada sebagian kecil pasien dengan lupus nefritis, dan pasien
dengan anemia hemolitik berat sangat jarang terlihat. Leukopenia juga sering terdapat pada
pasien ini, sebesar 50% pasien memiliki jumlah sel darah putih di bawah 5000/ml, sedangkan
trombositopenia ditemukan pada seperempat pasien. Mekanisme terjadinya trombositopenia
sangat sulit untuk dijelaskan, kemungkinan besar diakibatkan oleh cepatnya penghancuran
trombosit setelah berikatan dengan antibodi, penyerapan trombosit di dalam ginjal, dan
terjadinya lisis dan / atau fagositosis dari sirkulasi trombosit yang diakibatkan oleh adanya

11
reaksi antara antibodi antifosfolipid dan kompleks imun (termasuk dsDNA-anti-dsDNA
kompleks) dengan sirkulasi trombosit.(6)

Antibodi Antifosfolipid dan Antikoagulant Lupus


Disebut " antikoagulan lupus " adalah berdasarkan adanya antibodi antifosfolipid,
yang diarahkan terutama terhadap protein pembawa b2-globulin dan bukan terhadap
fosfolipid itu sendiri. Pada studi in vitro antibodi ini memperpanjang koagulasi phospholipid-
dependent, tetapi pada studi in vivo antibodi ini berhubungan dengan trombosis. Mekanisme
yang terjadi pada studi in vitro sangat jelas, tetapi mekanisme bagaimana terjadinya
trombosis pada studi in vivo sampai saat ini masih belum jelas. Antibodi antifosfolipid dapat
dideteksi pada sepertiga sampai setengah pasien dengan lupus nefritis, dan telah dikaitkan
dengan arteri ginjal, vena, dan trombosis kapiler glomerular, serta Libman-Sachs
endokarditis" dan trombosis otak. Penting untuk dicatat bahwa meskipun secara in vitro
terjadi perpanjangan waktu pembekuan, tetapi tetap aman untuk melakukan biopsi jarum
dengan adanya antibodi antifosfolipid, sebaliknya, pada pemanjangan Waktu Cephalin Kaslin
yang merupakan kerja dari antikoagulan lupus, akan memerlukan bantuan Fresh Frozen
Plasma. Ini mungkin disebabkan karena adanya antibodi yang diarahkan terhadap faktor
pembentukan fibrin, seperti faktor VIII dan IX, tetapi juga sebagian kecil pada faktor XI dan
XII. Faktor-faktor risiko protrombotik lainnya termasuk penghambat pelepasan aktivator
plasminogen dan mungkin juga antagonis dari plasmin, mengurangi konsentrasi plasma
protein S bebas, dan meningkatkan konsentrasi faktor von Willebrand.(6)

Biopsi Ginjal
Biopsi ginjal adalah standar emas untuk mengkonfirmasi suatu diagnosis dan
kekambuhan dari glomerulonefritis lupus. Temuan pewarnaan positif untuk immunoglobulin
G, A, dan M dengan C1q, C3, dan C4 merupakan pola pewarnaan untuk lupus nefritis. Selain
itu, untuk menuntun keputusan terapi, biopsi ginjal memberikan informasi tentang kelas
histologis dari lupus nefritis, selain derajat peradangan dan kerusakan pada ginjal. Biopsi
ginjal perlu dipertimbangkan pada pasien LES dengan onset baru dengan proteinuria lebih
dari 1 g / hari dengan atau tanpa sedimen urin yang aktif, terutama terhadap pasien lupus
nefritis dengan serologi aktif atau adanya gangguan fungsi ginjal. Beberapa ahli
merekomendasikan dilakukannya biopsi ginjal pada pasien dengan proteinuria batas minimal
(misalnya, ≥ 500 mg / hari).(2)

12
2.6. TERAPI
Terapi lupus nefritis bertujuan untuk mengontrol/mengobati gejala yang timbul,
menjaga fungsi ginjal, mengurangi kekambuhan terjadinya gangguan ginjal, pencegahan
terkait komplikasi dari pengobatan, dan pada akhirnya mengurangi angka kematian. Terapi
imunosupresif untuk lupus nefritis dibagi menjadi dua fase : (1). fase induksi dengan target
mengurangi peradangan dan kerusakan glomerulus, dan (2). fase pemeliharaan bertujuan
untuk mengurangi risiko jangka panjang dari kekambuhan gangguan ginjal dan penurunan
fungsi ginjal.(2,9)
Terapi ajuvan, seperti untuk mengontrol tekanan darah secara rutin, 120/80 mmHg,
dapat menghambat memburuknya fungsi ginjal. Penggunaan awal agen perlindungan ginjal,
seperti angiotensin converting enzyme inhibitors (ACEIs) dan antagonis reseptor angiotensin
II, adalah wajib diberikan. Hiperlipidemia juga harus dikontrol untuk memberikan
perlindungan terhadap penyakit vaskular, terutama pada lupus nefritis tipe membran. Kalsium
dan vitamin D harus cukup diberikan untuk mengurangi risiko bertambah buruknya aktivitas
penyakit yang berhubungan dengan defisiensi vitamin D, dan untuk melindungi terhadap
osteoporosis. Dosis rendah aspirin dapat dipertimbangkan pada pasien dengan bukti
histologis sindrom nefropati antifosfolipid, meskipun tidak ada bukti penelitian yang
dipublikasikan untuk mendukung pengobatan ini. Antikoagulasi dapat dipertimbangkan pada
pasien dengan proteinuria persisten dan adanya antibodi antifosfolipid.(2,9)

Gambar 3. Skema Terapi Nefritis Lupus 10

13
Prinsip pengobatan nefritis lupus :

 Terapi kortikosteroid harus diberikan bila pasian mengalami penyakit ginjal yang
signifikan secara klinis. Gunakan agen imunosupresif terutama siklofosfamid,
azathioprine, atau mycophenolate mofetil bila pasien mengalami lesi proliferatif
agresif. Agen-agen ini juga bisa digunakan bila pasien tidak respon atau terlalu
sensitif terhadap kortikosteroid.
 Obati hipertensi secara agresif, pertimbangkan pemberian ACE inhibitor atau ARB
bila pasien mengalami proteinuria signifikan tanpa insufisiensi renal signifikan.
 Restriksi asupan lemak atau gunakan terapi lipid-lowering seperti statin untuk
hiperlipidemia sekunder terhadap sindrom nefrotik. Restriksi asupan protein bila
fungsi ginjal sangat terganggu. Berikan suplementasi kalsium untuk mencegah
osteoporosis bila pasien dalam terapi steroid jangka panjang dan pertimbangkan
penambahan bifosfonat.
 Hindari obat-obatan yang mempengaruhi fungsi ginjal, termasuk OAINS terutama
pada pasien dengan level kreatinin yang meningkat. Salisilat non asetilasi dapat
digunakan untuk mengobati gejala inflamasi pada pasien dengan penyakit ginjal.
 Pasien dengan nefritis lupus aktif harus menghindari kehamilan, karena dapat
memperburuk penyakit ginjalnya.
 Pasien dengan ESRD, sklerosis dan indeks kronisitas tinggi berdasarkan biopsi ginjal
biasanya tidak berespon terhadap terapi agresif. Pada kasus-kasus ini fokuskan terapi
pada manifestasi ekstrarenal dari LES dan kemungkinan transplantasi ginjal 1

TERAPI FASE INDUKSI


Bentuk ringan lupus nefritis (ISN / RPS Kelas I, II) biasanya dikelola dengan
glukokortikoid. Azathioprine (AZA) dengan dosis perhari 2-3 mg / kgBB dapat ditambahkan
sebagai agen kombinasi dengan glukokortikoid dan untuk pengobatan tambahan pada pasien
dengan manifestasi gangguan ginjal. Kelas V yang ringan dapat diobati dengan ACEIs.
Lupus nefritis proliferasi (kelas III dan IV atau campuran III / V dan IV / V) dan kelas V
yang lebih parah (proteinuria atau fungsi ginjal yang memburuk) memerlukan induksi
rejimen yang lebih agresif dengan menggabungkan agen imunosupresif glukokortikoid dan
non-glukokortikoid. Terapi standar untuk induksi lupus nefritis yang parah adalah dengan
mengkombinasikan glukokortikoid dan cyclophosphamide (CYC) dosis tinggi. Serangkaian
uji coba terkontrol secara acak yang dilakukan oleh the National Institute of Health (NIH)

14
menunjukkan bahwa gabungan prednison dengan CYC intravena memberikan perlindungan
jangka panjang yang baik terhadap ginjal dibandingkan jika diterapi dengan prednison saja.
Namun, penggunaan CYC dikaitkan dengan sejumlah efek samping yang tak diinginkan,
meliputi infeksi, toksisitas pada ovarium dan kandung kemih, leukopenia, peningkatan risiko
neoplasia intraepitel serviks, dan keganasan. Derajat toksisitas ini bergantung pada dosis
yang diberikan, semakin tinggi dosis yang diberikan semakin tinggi pula toksisitas yang akan
terjadi. CYC intravena lebih popularitas digunakan dibandingkan dengan CYC oral harian
karena terkait dengan kurangnya toksisitas dalam kandung kemih dan gonad. Sebuah
penelitian kohort baru-baru ini pasien dengan lupus nefritis proliferatif difus menunjukkan
kecenderungan keberhasilan yang lebih baik dengan pemberian CYC oral (1-2 mg / kgBB /
hari) dibandingkan dengan CYC intravena (0,5-1 g / m²) dalam menjaga fungsi ginjal setelah
rata-rata ditindak lanjuti selama 8,8 tahun. Namun, toksisitas ovarium menyebabkan
menopause dini lebih sering terjadi pada pengguna CYC oral.(10)

TERAPI FASE PEMELIHARAAN


Bukti tidak langsung menunjukkan bahwa terapi pemeliharaan bermanfaat pada lupus
nefritis yang parah. Dalam follow up jangka panjang dari 145 pasien yang berpartisipasi
dalam studi lupus nefritis the National Institute of Health (NIH), kekambuhan gangguan
ginjal terjadi pada 45% dari pasien ketika agen imunosupresi benar-benar dihentikan. Sebuah
penelitian retrospektif baru-baru ini mengamati 32 pasien dengan lupus nefritis proliferasi
difus menggambarkan kekambuhan lupus nefritis pada 53% pasien setelah agen imunosupresi
dihentikan. Terapi pemeliharaan yang dilakukan < 3 tahun akan menyebabkan peningkatan
serum kreatinin dua kali lipat, gagal ginjal stadium akhir, atau kematian. Oleh sebab itu terapi
pemeliharaan dengan imunosupresi harus dilanjutkan setidaknya selama 3 tahun setelah
dicapai respon klinis yang baik.(10)
Pada pengamatan jangka panjang menunjukkan bahwa MMF (mycophenolate
mofetil) dengan dosis (2 g/24 jam) atau AZA lebih baik dari CYC dalam hal mencegah
terjadinya gagal ginjal dan kematian. MMF lebih efektif dibandingkan dengan CYC injeksi
dalam pencegahan kekambuhan gangguan ginjal. Selain itu, pengobatan pemeliharaan
dengan CYC dikaitkan dengan banyaknya efek samping yang ditimbulkan seperti mual,
muntah, dan infeksi. Infeksi ringan dan leukopenia lebih sering dilaporkan dengan
pengobatan AZA, sedangkan arthralgia dan gejala gastrointestinal lebih umum pada pasien
yang diobati dengan CSA (cyclosporin A).(10)

15
Singkatnya, bahwa MMF adalah obat yang disukai untuk terapi pemeliharaan jangka
panjang pada lupus nefritis. Namun, efektivitas biaya harus dievaluasi lebih lanjut. AZA dan
CSA merupakan pilihan alternatif bagi pasien yang tidak toleran terhadap MMF atau
berencana untuk hamil. Penggunaan jangka panjang inhibitor kalsineurin, seperti Tac dan
CSA (5mg / kgBB / hari), harus hati-hati karena peningkatan risiko nefrotoksisitas,
hiperlipidemia, dan aterosklerosis.(10)

2.8.PROGNOSIS
Lupus nefritis membawa morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Di tahun 1990-an,
tingkat ketahanan ginjal (survival tanpa dialisis) dari lupus nefritis berkisar antara 83%
sampai 92% dalam 5 tahun dan 74% menjadi 84% dalam 10 tahun. Risiko gagal ginjal
stadium akhir yang sangat tinggi pada pasien dengan proliferatif difus glomerulonefritis,
berkisar antara 11% sampai 33% dalam 5 tahun. Prognosis lupus nefritis sebagian besar
tergantung pada demografi, ras, genetik, faktor histopatologi, imunologi, dan faktor waktu.
Penyakit ginjal yang gagal diterapi dengan terapi imunosupresif merupakan faktor risiko
utama untuk timbulnya kerusakan fungsi ginjal berikutnya dan membuat prognosisnya
menjadi buruk. Faktor lain yang membuat prognosisnya menjadi buruk adalah usia yang
masih muda, jenis kelamin laki-laki, gambaran sel crescent pada pemeriksaan histologis,
nekrosis fibrinoid, endapan subendothelial, jaringan parut glomerular, atrofi tubulus dan
fibrosis interstisial, adanya gangguan fungsi ginjal, hipertensi, hypocomplementemia,
hematokrit yang rendah, selain itu juga bisa disebabkan oleh keterlambatan pengobatan
karena keterbatasan mendapatkan akses ke tempat pengobatan dan kurangnya kepatuhan
terhadap terapi.

16
BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn.A

Usia : 20 tahun

Jenis Kelamin : perempuan

Pekerjaan : Tidak bekerja

Agama : Islam

Status : Belum menikah

Alamat : Cipanas dukuh puntang

No CM : 939xxx

MRS tanggal : 03-08-2017

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Sesak nafas sejak 3 hari SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas dan susah tidur sejak 3 hari SMRS.
Disertai badan pucat, mudah lelah, pusing, bintik-bintik merah, bengkak diseluruh badan
sejak 2 minggu SMRS. Pasien meringis kesakitan pada perut regio lumbar kanan dan kiri
serta di regio ulu hati menurut pasien rasa sakit yang dialaminya sudah lama tapi rasa
sakitnya kadang hilang timbul tanpa diobati. Sejak tahun 2015 pasien merasa kencingnya
tidak lancar dan urin berwarna kuning pekat. Pasien mengeluh suka merasa panas di
dalam badannya. Pada hari pertama di rawat pasien mengeluh batuk kering. Pada hari ke
dua pasien mengeluh batuk keluar darah merah segar bercampur lendir. Pasien sering
mengalami mual SMRS. Bab lancar tidak ada keluhan.

Riwayat Penyakit Dahulu

 SLE (2015)

17
 Riwayat tekanan darah tinggi (+), kencing manis (-), penyakit hati kronis (-)
asthma (-).
 Tb paru (+)
 HT (+)
 CKD (+)

Riwayat Penyakit Keluarga

 Nenek pasien pernah mengalami keluhan seru dengan pasien

Riwayat Alergi
 Pasien alergi antibiotik penisilin dan eritromisin

Riwayat Pribadi dan Sosial

Pasien seorang anak yang suka melakukan aktivitas sebelum sakit

 Pasien tinggal di rumah dengan kedua orang tuanya.


 Pasien tidak bekerja
 Pasien menggunakan asuransi BPJS
 Kesan ekonomi : menengah kebawah

III. PEMERIKSAAN FISIK (Pemeriksaan dilakukan pada tgl 3 Agustus 2017)


Keadaan Umum

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Tekanan Darah : 130/90 mmHg.

Nadi : 90 kali per menit, reguler.

Pernafasan : 25 kali per menit.

Suhu : 37,3oC.

18
Status Lokalis

 Kepala :
- Ekspresi wajah : tampak iritable.
- Bentuk dan ukuran : normal.
- Rambut : hitam.
- Udema (+).
- Malar rash (-).
- Hiperpigmentasi (-).
- Nyeri tekan kepala (-).

 Mata :
- Alis : normal.
- Exopthalmus (-/-).
- Ptosis (-/-).
- Nystagmus (-/-).
- Strabismus (-/-).
- Udema palpebra (+/+).
- Konjungtiva: anemis (+/+), hiperemis (-/-).
- Sclera: icterus (-/-), hyperemia (-/-), pterygium (-/-).
- Pupil : isokor, bulat, miosis (-/-), midriasis (-/-).
- Kornea : normal.
- Lensa : normal, katarak (-/-).
- Pergerakan bola mata ke segala arah : normal
 Telinga :
- Bentuk : normal simetris antara kiri dan kanan.
- Lubang telinga : normal, secret (-/-).
- Nyeri tekan (-/-).
- Peradangan pada telinga (-)
- Pendengaran : normal.

 Hidung :
- Simetris, deviasi septum (-/-).
- Napas cuping hidung (-/-).

19
- Perdarahan (-/-), secret (-/-).
- Penciuman normal.

 Mulut :
- Simetris.
- Bibir : sianosis (-).
- Gusi : hiperemia (-), perdarahan (-).
- Lidah: glositis (-), atropi papil lidah (-), lidah berselaput (-), kemerahan di
pinggir (-), lidah kotor (-).
- Gigi : caries (-)
- Mukosa : normal.
- Faring dan laring : tidak dapat dievaluasi.

 Leher :
- Simetris (-).
- Kaku kuduk (-).
- Pemb.KGB (-).
- Trakea : di tengah.
- JVP : R+2cm.
- Pembesaran otot sternocleidomastoideus (-).
- Pembesaran thyroid (-).

 Thorax
Pulmo :

Inspeksi :

- Bentuk: simetris.
- Ukuran: normal, barrel chest (-)
- Pergerakan dinding dada : simetris.
- Permukaan dada : petekie (+), purpura (-), ekimosis (-), spider nevi (-), massa
(-), sikatrik (-) hiperpigmentasi (-).
- Fossa supraclavicula dan fossa infraclavicula : cekungan simetris
- Penggunaan otot bantu napas: sternocleidomastoideus (+), otot intercosta(+).

20
Palpasi :

- Pergerakan dinding dada : simetris


- Fremitus taktil :
a. Lobus superior : D/S sama
b. Lobus medius: D/S sama
c. Lobus inferior : D/S sama
- Nyeri tekan (-), edema (+), krepitasi (-).
Perkusi :

- Sonor (+/+).
- Nyeri ketok (-).
- Batas paru hepar : ICS 6
Auskultasi :

- Suara napas vesikuler (-/-).


- Suara tambahan rhonki (+/+) basah halus.
- Suara tambahan wheezing (-/-).
Cor :

Inspeksi: Iktus cordis tidak tampak.

Palpasi : Iktus cordis teraba ICS V linea midklavikula sinistra, thriil (-).

Perkusi : - batas kanan jantung : ICS II linea parasternal dextra.

batas kiri jantung : ICS V linea midklavikula sinistra.

Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-).

 Abdomen
Inspeksi :

- Bentuk : membuncit (-)


- Umbilicus : masuk merata.
- Permukaan Kulit : sikatrik (-), pucat (+), sianosis (-), vena kolateral (-), petekie
(+), purpura (-), ekimosis (-), luka bekas operasi (-), hiperpigmentasi (-).

21
Auskultasi :

- Bising usus (+) normal.


- Metallic sound (-).
- Bising aorta (-).
Palpasi :

- Turgor : normal.
- Tonus : normal.
- Nyeri tekan (+) epigastrium, lumbosacral dextra dan sinistra
- Hepar dan lien sulit dinilai
- Undulasi (+)
Perkusi :

- Timpani (+) pada seluruh lapang abdomen


- Shifting dullness (+).
- Nyeri ketok CVA: -/-

 Extremitas :
Ekstremitas atas :

- Akral hangat : +/+


- Deformitas : -/-
- Edema: +/+
- Sianosis : -/-
- Ptekie: +/+
- Clubbing finger: -/-
- Infus terpasang +/-
Ekstremitas bawah:

- Akral hangat : +/+


- Deformitas : -/-
- Edema: +/+
- Sianosis : -/-
- Ptekie: +/+
- Clubbing finger: -/-

22
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil pemeriksaan darah Lengkap 05/08/17 :

Parameter Hasil Nilai Normal


DARAH LENGKAP :
Hemoglobin 5,7 11,5-16,5
Hematokrit 16,9 35,0-49,0
Leukosit 3,8 4 – 11
Trombosit 118 150 – 450
Eritrosit 2,12 4,4 – 6,0
INDEX ERITROSIT :
MCV 79,7 79-99
MCH 26,9 27-31
MCHC 33,7 33-37
RDW 17,5 11,5-14,5
MPV 10,2 6,7-9,6
PDW 18,7 39,3-64,7
HITUNG JENIS :
Eosinofil 0,1 0–3
Basofil 0,1 0–1
Segmen 89,1 50 – 70
Limfosit 8,2 20 – 40
Monosit 2,5 2–8
Luc 6,4 3-6

Hasil pemeriksaan kimia klinik (03/08/17) :

Parameter Hasil Nilai Normal


Kolesterol total 363 <200
Albumin 2.00 3,5-5,5
GDS 81 70-140
Ureum 192,2 10-45
Kreatinin 9,28 0,50-1,10

23
Hasil pemeriksaan elektrolit 03/08/17 :

Parameter Hasil Nilai Normal


Natrium 150 135-155
Kalium 5,5 3,5-5,5
Chlorida 102 95-105
Hasil pemeriksaan urine lengkap 03/08/17 :

Parameter Hasil Nilai Normal


Protein 3+ Negatif
Epitel (+)1-5 0-15
Leukosit (+) 2-4 0-5
Eritrosit (+) 4-10 0-2
Hasil pemeriksaan darah lengkap 03/08/17 :

Parameter Hasil Nilai normal


DARAH LENGKAP : 7,7 11,5-16,5
Hemoglobin
Hematokrit 23,8 35,0-49,0
Leukosit 4,9 4 – 11
Trombosit 100 150 – 450
Eritrosit 2,93 4,4 – 6,0
INDEX ERITROSIT :
MCV 81,2 79-99
MCH 26,3 27-31
MCHC 32,4 33-37
RDW 15,7 11,5-14,5
MPV 9,0 6,7-9,6
PDW 18,4 39,3-64,7
HITUNG JENIS :
Eosinofil 4,5 0–3
Basofil 0,9 0–1
Segmen 77,1 50 – 70
Limfosit 14,0 20 – 40

24
Monosit 3,5 2–8
Luc 2,8 3-6
Hasil pemeriksaan hapusan darah 05/08/15 :

Eritrosit : normokrom anisopoikilositosis, ditemukan cigar shape dan target cell


Leukosit : Jumlah menurun, tidak ada kelainan morfologi, tidak ditemukan cell muda
Trombosit :Jumlah menurun, tidak ada kelainan morfologi
Mieloblas :0%
Promielosit : 0%
Mielosit : 0%
Metamielosit : 0%
Eosinofil : 1%
Basofil : 0%
Netrofil batang : 0%
Netrofil segmen : 78%
Limfosit : 17%
Monosit : 4%
Kesan : anemia berat e.c tersangka defisiensi besi dengan leukopeni dan
trombositopeni. DD e.c tersangka penyakit kronis dan e.c Hb pati

Hasil pemeriksaan ekg tanggal 03/08/2017

25
V. RESUME
Pasien 20 tahun dengan sesak nafas (+), pusing (+), mual (+), batuk darah (+), udem
di seluruh extremitas (+), petekie di seluruh tubuh (+), konjungtiva anemis (+), lemas (+),
mual (+), nyeri ulu hati dan regio lumo sacrum dextra dan sinistra (+), nafsu makan
menurun (+), asites (+), urin warna kuning pekat.

VI. DAFTAR MASALAH

1. Hemaptoesis ec. Trombositopenia atau tb aktif


2. Nefritik lupus
3. S.dispepsia

VII. PENGKAJIAN
1. Hemaptoesis ec. Trombositopenia : yang disebabkan karena perdarahan a.pulmonalis.
Atas dasar : Pada anamnesis didapatkan keluhan batuk darah berwarna merah terang.
Serta riwayat pengobatan Tb 6 bulan dan pansitopenia
Rencana diagnosis : Hemaptoesis ec. Trombositopenia
• Rencana tatalaksana :
1. Tirah baring
2. IVFD NS 10tpm,
2. Nefritik lupus

Atas dasar: Pada anamnesis didapatkan sesak nafas kusmaul (+), kencing tidak lancar,
bengkak di seluruh extremitas (+), urin berwarna kuning pekat, petekie (+) di semua
extremitas, pusing (+), pucat (+), perut asites (+), nyeri sendi. Badan terasa lemas serta
perut terasa membesar, badan terasa panas. Pasien pernah dirawat d rs lain sebelum d rsud
arjawinangun dengan diagnosa SLE

Pada pemeriksaan fisik ditemukan konjungtiva anemis (+/+), nyeri tekan epigastrium (+).
pada pasien ini juga terdapat asites karena pada pemeriksaan abdomen didapatkan
shifting dullness (+) dan undulasi (+), petekhie (+).

Rencana diagnosis : Usg abdomen.


Rencana tatalaksana

1. Tirah baring
2. IVFD NS 10tpm
3. Ranitidin 2x1

26
4. Furosemid 2x1
5. Mp 2x125 mg
6. Caco3 3x1
7. Bicnat 3x1
8. Asam folat 3x1
3. S.dispepsia : Pada anamnesis didapatkan nyeri ulu hati disertai mual dan muntah (-).
Nafsu makan pasien menurun karena perut terasa penuh.
Pemeriksaan fisik : NTE (+) di regio epigastrium
Rencana tatalaksana :
1. Ranitidin 2x1

VIII. PROGNOSA
Quo Ad Vitam : Dubia Ad Bonam

Quo Ad functionam : malam

Quo Ad sanationam : malam

FOLLOW UP

03-08-2017

Subjective Sesak nafas (+), demam (+), badan terasa panas, kencing kuning
pekat, lemas (+), mual(+), pusing
Objective Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Tekanan Darah : 130/90 mmHg.

Nadi : 90 kali per menit, reguler.

Pernafasan : 25 kali per menit.

Suhu : 37,3oC.

- Mata : conjungtiva anemis +/+

- Leher : KGB tidak teraba membesar


- Paru : Sn Vesikuler -/-, rh +/+, wh -/-

27
- Jantung : BjI-II reguler, murmur-, gallop –
- Abdomen : asites, nyeri tekan + di epigastrium dan
lumbosakral kanan dan kiri
- Ekstremitas : akral hangat, edem tangan +/+ kaki +/+
Assessment  Lupus nefritis
Planning - NS 10tpm
- Ranitidin 2x1
- Furosemid 2x1
- Mp 2x125 mg
- Caco3 3x1
- Bicnat 3x1
- Asam folat 3x1
- Cek albumin
- Profil lipid
- Elektrolit
- Ekg
- Usg abdomen

04-08-2017

Subjective Sesak nafas (+), demam (+), badan terasa panas, kencing kuning
pekat, lemas (+), mual(+), pusing (+), batuk kering (+)
Objective Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Tekanan Darah : 120/80 mmHg.

Nadi : 70 kali per menit, reguler.

Pernafasan : 24 kali per menit.

Suhu : 37,5oC.

Spo2 : 96%

28
- Mata : conjungtiva anemis +/+

- Leher : KGB tidak teraba membesar


- Paru : Sn Vesikuler -/-, rh +/+, wh -/-
- Jantung : BjI-II reguler, murmur-, gallop –
- Abdomen : asites, nyeri tekan + di epigastrium dan
lumbosakral kanan dan kiri
- Ekstremitas : akral hangat, edem tangan +/+ kaki +/+
Assessment  Lupus nefritis
Planning - Ranitidin 2x1
- Furosemid 2x1
- Mp 2x125 mg

05-08-2017

Subjective Sesak nafas (+), demam (+), badan terasa panas, kencing kuning
pekat, lemas (+), mual(+), pusing (+), batuk darah (+)
Objective Keadaan umum : Tampak sakit berat

Kesadaran : Compos mentis

Tekanan Darah : 100/60 mmHg.

Nadi : 78 kali per menit, reguler.

Pernafasan : 40x kali per menit.

Suhu : 37,5oC.

Spo2 : 91%

- Mata : conjungtiva anemis +/+

- Leher : KGB tidak teraba membesar


- Paru : Sn Vesikuler -/-, rh +/+, wh -/-
- Jantung : BjI-II reguler, murmur-, gallop –
- Abdomen : asites, nyeri tekan + di epigastrium dan

29
lumbosakral kanan dan kiri
- Ekstremitas : akral hangat, edem tangan +/+ kaki +/+
Assessment  Nefritis lupus
 Hemaptoe
Planning - Ranitidin 2x1
- Furosemid 2x1
- Mp 2x250 mg

30
BAB III
KESIMPULAN

Penyakit ginjal yaitu lupus nefritis adalah salah satu manifestasi yang paling umum
dan paling serius dari LES dan akan berdampak buruk pada prognosis utamanya.
Wanita adalah faktor risiko utama bagi perkembangan penyakit lupus nefritis.
Penyakit lupus nefritis jarang terjadi pada saat sebelum pubertas. Insiden lupus nefritis lebih
tinggi pada orang dari Asia (55%), Afrika (51%), dan Hispanik (43%) dibandingkan dengan
keturunan Kaukasia (14%).
Patogenesis timbulnya LES diawali oleh interaksi antara faktor predisposisi genetik
dengan faktor lingkungan, faktor hormon seks, dan faktor sistem neuroendokrin.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan lupus nefritis menjadi VI
kelas berdasarkan mikroskop cahaya. Sedangkan klasifikasi terbaru dibuat oleh Interntional
Society Nephrology / Renal Pathology Society (ISN/RPS) dimana klasifikasi ini berdasarkan
pada perubahan glomerulus serta kelas III dan IV lebih rinci perubahan morfologisnya.
Gambaran tersering dari lupus nefritis adalah terdapatnya proteinuria, terdapat
hematuria pada pemeriksaan mikroskopis. Kadang-kadang, ada pasien yang disertai dengan
gagal ginjal kronis, insufisiensi ginjal terisolasi, dan hipertensi sebagai manifestasi awal.
Ada beberapa hal yang diperiksa dalam upaya untuk membantu menegakkan
diagnosis lupus nefritis. Yaitu pemeriksaan laboratorium, dimana pada pemeriksaan
laboratorium ini ada 3 hal yang diperiksa : (1). Antibodi antinuclear, (2). Pemeriksaan darah,
(3). Antibodi antifosfolipid dan anticoagulant lupus. Pemeriksaan lain yang berguna untuk
menegakkan diagnosis yaitu pemeriksaan biopsi ginjal.
Terapi lupus nefritis bertujuan untuk mengontrol/mengobati gejala yang timbul,
menjaga fungsi ginjal, mengurangi kekambuhan terjadinya gangguan ginjal, pencegahan
terkait komplikasi dari pengobatan, dan pada akhirnya mengurangi angka kematian. Terapi
imunosupresif untuk lupus nefritis dibagi menjadi dua fase : (1). fase induksi dengan target
mengurangi peradangan dan kerusakan glomerulus, dan (2). fase pemeliharaan bertujuan
untuk mengurangi risiko jangka panjang dari kekambuhan gangguan ginjal dan penurunan
fungsi ginjal.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Bawazier LA, Dharmeizar. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed ke-6. Jakarta. Pusat
Penerbitan IPD FK UI. 2015. Hlm 3378-83.
2. Mok CC. Understanding lupus nephritis: diagnosis, management, and treatment
options. International Journal of Women’s Health. 2012; 4: 213-22. Available from:
URL: http://www.dovepress.com/getfile.php?fileID=12784.pdf. Accessed April 10,
2016.
3. Cross J, Jayne D. Diagnosis and treatment of kidney disease. Best Pract Res Clin
Rheumatol. 2005; 19:785–798.
4. Mok CC. Biomarkers for lupus nephritis: a critical appraisal. J Biomed Biotechnol.
Epub April 19, 2010.
5. Salgado AZ, Catalina HD. Lupus Nephritis: An Overview of Recent Findings.
Hindawi Publishing Corporation. 2012; 1-21. Available from: URL:
http://downloads.hindawi.com/journals/ad/2012/849684.pdf. Accessed April 10,
2016.
6. L.M. Ortega,D.R. Schultz,O. Lenz, V. Pardo, andG.N.Contreras, “Lupus nephritis:
pathologic features, epidemiology and a guide to therapeutic decisions,” Lupus, vol.
19, no. 5, pp. 557–574, 2010.
7. J.-M. Anaya, C. Ca˜nas, R. D. Mantilla et al., “Lupus nephritis in Colombians:
contrasts and comparisons with other populations,” Clinical Reviews in Allergy and
Immunology, vol. 40, no. 3, pp. 199–207, 2011.
8. D. C. Varela, G. Quintana, E. C. Somers et al., “Delayed lupus nephritis,” Annals of
the Rheumatic Diseases, vol. 67, no. 7, pp.1044–1046, 2008.
9. E. J. Lewis and M. M. Schwartz, “Pathology of lupus nephritis,” Lupus, vol. 14, no. 1,
pp. 31–38, 2005.
10. Mok CC, Birmingham DJ, Leung HW, Hebert LA, Song H, Rovin BH. Vitamin D
levels in Chinese patients with systemic lupus erythematosus: relationship with
disease activity, vascular risk factors and atherosclerosis. Rheumatology (Oxford).
2012; 51:644–652.

32

Anda mungkin juga menyukai