ISSN. 2442-9090
Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017 ISSN 2442-9090
ADHAPER
DAFTAR ISI
Printed by: Airlangga University Press. (OC 009/01.18/AUP-A5E). Kampus C Unair, Mulyorejo Surabaya 60115, Indonesia.
Telp. (031) 5992246, 5992247, Telp./Fax. (031) 5992248. E-mail: aup.unair@gmail.com
PENGANTAR REDAKSI
Para Pembaca yang budiman, pada Edisi kali ini Jurnal Hukum Acara Perdata masih
menghadirkan artikel-artikel hasil Konferensi Hukum Acara Perdata di Universitas
Tanjungpura, Pontianak. Artikel-artikel tersebut cukup mewakili perkembangan terkini
berkaitan dengan penegakan hukum perdata, sehingga pemikiran-pemikiran para penulis
diharapkan menjadi kontribusi penting bagi dunia akademis maupun praktis. Kami mencatat
terdapat empat topik besar yang diangkat dalam 10 artikel dalam edisi kali ini, yaitu: Hukum
Adat, Hukum Keluarga, Hukum Lingkungan, serta Utang dan Hukum Kepailitan.
Rekan Sonny Dewi Judiasih dkk. mengangkat tulisan di bidang Hukum Keluarga, yaitu
mengenai dispensasi pengadilan atas permohonan perkawinan di bawah umum. Dalam artikel
tersebut dibahas mengenai kewenangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama atas
permohonan dispensiasi kawin bagi mereka yang belum memenuhi persyaratan usia kawin
menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Masih di ranah Hukum Keluarga,
rekan Moh. Ali mengangkat isu tentang penerapan asas peradilan sederhana, cepat, dan
biaya ringan dalam pengajuan gugatan kumulasi di Pengadilan Agama, di mana berdasarkan
pengamatannya Pengadilan Agama cenderung tidak menerima gugatan kumulasi, suatu hal
yang berdasarkan penilaian penulis bertentangan dengan asas peradilan sederhana, cepat,
dan biaya ringan.
Topik di bidang Hukum Lingkungan mendapat cukup perhatian di antara penulis dalam
edisi kali ini. Terdapat dua artikel yang menyoroti aspek ganti rugi dalam sengketa lingkungan
yang ditulis oleh rekan Heri Hartanto dan Anugrah Adiastuti serta Sri Laksmi Anindita,
kemudian satu artikel yang sangat menarik dari I Ketut Tjukup mengangkat penyelesaian
sengketa lingkungan melalui mekanisme gugatan kelompok (class action).
Perhatian terbesar kali ini diberikan pada topik penyelesaian sengketa utang dan
kepailitan. Dimulai oleh rekan Ghansham Anand dan Mudjiharto yang menyoal keabsahan akta
notaris perjanjian kredit yang dibuat tanpa kehadiran kreditor, adapun rekan Ninis Nugraheni
mengangkat masalah eksekusi regi gudang sebagai objek jaminan. Dua artikel yang lain
berkaitan dengan kepailitan dikemukakan oleh rekan Ronald Saija dan R. Kartikasari.
v
Kami berharap agar artikel-artikel yang ditulis serta dipublikasikan dalam edisi kali ini
menjadi rujukan bagi kalangan akademisi dan praktisi baik untuk pengembangan keilmuan
maupun berpraktik hukum. Akhir kata selamat membaca!
Redaksi,
PENYELESAIAN SENGKETA TANAH ULAYAT MELALUI
LEMBAGA ADAT DI MINANGKABAU SUMATERA BARAT
Ali Amran*
ABSTRAK
Sengketa tanah ulayat di Minangkabau ditemukan dalam anggota paruik atau kaum akibat pembagian
“gangam bauntuak” terhadap anggota kaum yang tidak merata oleh mamak kepala waris . Disamping
itu juga terjadi sengketa antar kaum dikarenakan batas sepadan tanah yang kurang jelas sehinga
kaum yang satu menggarap milik kaum yang lain dengan cara memindahkan batas tanah yang telah
ditetapkan oleh mamak kepala kaum dan sengketa antar paruik dengan suku, sengketa tanah ulayat
antar suku dan antar suku dengan nagari. Penyelesaian sengketa tanah ulayat di Minangkabau adalah
“bajanjang naik batango turun”. Bajanjang naik maksudnya setiap persengketaan diselesaikan
melalui proses lembaga adat pada tingkat yang paling rendah yaitu oleh mamak kaum. Apabila tidak
memperoleh kesepakatan , maka penyelesaian sengketa diteruskan ke tingkat kampung yaitu oleh
mamak dalam kampung. Begitu seterusnya hingga ke tingkat yang lebih tinggi yatu oleh kepala suku
dan penghulu dalam Kerapatan Adat Nagari (KAN). Batanggo Turun artinya hasil musyawarah atau
atau hasil penyelesaian sengketa oleh ninik mamak atau orang yang dituakan dalam adat diharapkan
akan dipatuhi oleh pihak-pihak yang berperkara. Teknik penyelesaian sengketa oleh lembaga adat
yang ada di Minangkabau mulai dari lembaga yang lebi rendah yaitu oleh mamak separuik atau
mamak kepala waris sampai ke tingkat yang lebih tinggi yatu oleh Kerapatan Adat Nagari adalah
secara musyawarah dan mufakat serta mengutamakan rasa keadilan. Penyelesaian sengketa tanah
ulayat melalui lembaga adat jauh lebih efektif dibanding penyelesaiannya melalui pengadilan negeri.
Hal ini dikarenakan anggota kaum lebih menghormati orang yang dituakan dalam kaumnya yaitu
mamak pemimpin kaum atau mamak kepala waris.
LATAR BELAKANG
Manusia dan tanah mempunyai hubungan yang erat. Menurut pngematan J.B.A.F Polak
bahwa hubungan manusia dengan tanah pada awalnya adalah pendudukan sebagai dasar
usaha untuk menjadi sumber penghidupannya.1 Penguasaan dan pemilikan tanah secara
yuridis memerlukan perlindungan hukum, sehingga mengandung implikasi harus terdapat
* Penulis adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas, dapat dihubungi melalui email: aliamranshmh@yahoo.com
1 Djamanat Samosir, 2013, Hukum Adat Indonesia, eksistensi dalam Dinamika Pembangunan Hukum di Indonesia,
175
176 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 175–189
perlindungan hukum terhadap hak-hak keperdataan pemilikan tanah dan perlakuan yang adil
terhadap kepemilikan tanah tersebut. Untuk kepastian hukum terhadap kepemilikan tanah
diperlukan pendaftaran tanah. Undang-Undang Pokok Agraria memerintahkan diselenggarakan
pendaftaran tanah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada
pemegang hak atas suatu bidang tanah dan hak-hak lain yang terdapat di atasnya agar mudah
dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak.2
Di Minangkabau (Sumatera Barat) sebagian tanah yang ada merupakan tanah ulayat.
Pengurusan tanah ulayat harus berfungsi sosial dan asas kekeluargaan serta dipergunakan
untuk keperluan kaumnya. Tanah Ulayat diperoleh secara turun temurun dari nenek moyang
atau dari pemberian karena sesuatu yang dilakukan.
Keberadaan tanah Ulayat telah diakui oleh Undang-Undang Pokok Agraria, Pasal 3
menyatakan bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-
masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada harus sedemikian rupa
sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan
bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan yang lebih tinggi.
Hal ini dipertegas oleh Pasal 5 UUPA yang menyatakan bahwa hukum agraria yang berlaku
atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa dengan sosialisme
Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini dan
dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur
yang bersandar pada hukum agama.
Dalam masyarakat hukum adat Minangkabau (Sumatera Barat) dikenal tiga tipe dasar
penguasaan atas tanah yaitu; penguasaan secara kelompok atau nagari, secara komunal dan
secara perorangan atau pribadi. Penguasaan atas tanah dalam masyarakat Minangkabau
diatur dalam peraturan adat yang dipelihara dan ditaati serta dilaksanakan oleh masyarakat
secara turn-temurun dengan baik, sehingga apabila timbul pertentangan atau sengketa yang
disebabkan oleh tanah, mereka akan menyelesaikannya dengan peraturan adat yang ada dalam
masayarakat yang disebut sebagai “Hukum Acara Perdata Adat”. Ketentuan ini terungkap
2 Boedi Harsono,2005, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria isi dan
dalam fatwa adat yang menyatakan ”Bulek aia karano pambuluah, bulek kato dek mufakat”
(bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat). Maksudnya lebih mengutamakan
pola musyawarah mufakat dalam pengambilan keputusan.
Hubungan hukum antara masyarakat dengan tanah menciptakan suatu hak untuk
menggunakan, menguasai, dan sekaligus mempertahankan hak tersebut bagi kelompok
hukumnya atau kaumnya. Masyarakat Minangkabau sebagai salah satu bagian dari sekian
banyak suku bangsa yang mendiami kepulauan Indonesia, hidup dalam lingkungan hukum
adat dengan ciri-ciri yang spesifik dan sekaligus sebagai pembeda dengan masyarakat hukum
adat lainnya di Inbdonesia. Jika dilihat dari garis keturunan, maka masyarakat Minangkabau
menganut sistem matrilineal. Dalam sistem matrilineal penguasaan atas tanah pusaka(pusako)
termasuk tanah adalah oleh wanita atau bundo kandung, sedasngkan pihak laki-laki berfungsi
sebagai pengawas atau melindungi hak atas tanah tersebut dari hal-hal yang tidak diinginkan
yang dapat menyebabkan hilang dan berkurangnya harta pusaka.
Tanah ulayat di Minangkabau baik berupa komplek perumahan, sawah, lading, hutan
sungai maupun hasil tambang secara sederhana disebut dengan kata “Pusako“. Secara
grammatical pengertian pusako adalah pusaka. Kata pusako mengandung pemahaman
bahwa kekayaan yang ada akan diwariskan secara turun temurun oleh ahli waris dalam garis
keturunan ibu. Prinsip dasar pemilikan harta pusako adalah secara komunal yaitu secara
bersama-sama. Tidak ada seorangpun anggota komunitas masyarakat Minangkabau yang
dapat menunjukkan pemilikannya secara individu atas sebidang tanah ulayat. Tetapi untuk
memudahkan pengelolaan tanah ulayat tersebut, dibuatlah ketentuan-ketentuan yang terus
dilestarikan.
secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat
tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
Ajaran tentang tanah ulayat di Minangkabau: “ainya boleh diminum, buahnya boleh
dimakan, tanahnya tetap tinggal”. Tanah Ulayat tidak boleh dipindah tangankan kepada
pihak lain; dijua indak dimakan jua, digadai indak dimakan sando. Atau dsebut juga tanah
ulayat dijual mahal tidak dapat dibeli, murah tidak dapat diminta.4
Penguasaan tanah pada masyarakat hukum adat Minangkabau diatur dalam Peraturan
Daerah Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfa’atannya sebagai berikut;
a. Tanah Ulayat nagari adalah tanah Ulayat beserta sumber daya alam yang ada di atas dan di
dalamnya merupakan hak penguasaan oleh ninik mamak Kerapatan Adat Nagari (KAN)
dan dimanfa’atkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat nagari, sedangkan
pemerintah nagari bertindak sebagai pihak yang mengatur untuk pemanfa’atannya.
b. Tanah Ulayat suku adalah hak milik atas sebidang tanah beserta sumber daya alam yang
berada di atas dan di dalamnya merupakan hak milik kolektif semua anggota suku tertentu
yang penguasaan dan pemanfatannya diatur oleh penghulu-penghulu suku.
c. Tanah Ulayat kaum adalah hak milik atas sebidang tanah beserta sumber daya alam yang
ada di atas dan di dalamnya merupakan hak milik semua anggota kaum yang terdiri dari
jurai/paruik yang penguasaan dan pemanfa’atannya diatur oleh mamak jurai/mamak
kepala waris.
d. Tanah Ulayat Rajo adalah hak milik atas sebidang tanah beserta sumber daya alam yang
ada di atas dan di dalamnya yang penguasaan dan pemanfa’atannya di atur oleh laki-laki
tertua dari garis keturunan ibu yang saat ini masih hidup di sebagian nagari di Propinsi
Sumatera Barat.
Tanah Ulayat suku, dipegang oleh para penghulu suku dan dikelola oleh anggota suku.
Suku adalah gabungan dari beberapa kaum, dimana pertalian darah yang mengikat suku adalah
pertalian darah menurut garis ibu.
Tanah Ulayat kaum adalah tanah-tanah yang dikelola oleh kaum secara bersama. Kaum
adalah gabungan dari pada paruik (seibu) yang berasal dari sutu nenek. Tanah Ulayat kaum
merupakan harta pusaka tinggi yang dimanfaatkan untuk kesejahteraan anak kemenakan
terutama untuk mmenuhi kebutuhan ekonominya. Tanah Ulayat kaum yang dimiliki secara
komunal merupakan harta yang diberikan haknya kepada anggota kaum untuk memungut
hasilnya.
Apabila terjedi sengketa tanah ulayat, maka penyelesaian yang harus ditempuh ialah
melalui lembaga adat yang ada dalam masyarakat Minangkabau, mulai dari tingkat yang lebih
rendah sampai ke tingkat yang lebih tinggi, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 12 Peraturan
Daerah Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya yaitu: “Sengketa
tanah ulayat di nagari diselesaikan oleh kerapatan Adat Nagari menurut ketentuan sepanjang
adat yang berlaku, berjanjang naik bertanggo turun dan diusahakan dengan jalan perdamaian
melalui musyawarah dan mufakat dalam bentuk keputusan perdamaian”.
180 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 175–189
Penyelesaian sengketa tanah adat dalam keraptan adat dilaksanakan di Balai Adat oleh
suatu majelais hakim yang ditentukan oleh penghulu adat yang ada dalam Kerapatan Adat
Nagari. Dalam mengambil keputusan, pembuktian merupakan unsur yang sangat menentukan
dalam persidangan sehingga kepada para pihak diberi kesempatan untuk mengajukan alat bukti
berupa surat atau keterangan saksi dan bukti-bukti lain yang dapat membuktikan kebenaran
kepemilikan tanah tersebut.
PEMBAHASAN
Sebagaimana kita ketahui penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui proses ligitasi
dan non ligitasi. Penyelesaian sengketa melalui proses ligitasi adalah penyelesaian sengketa
melalui sidang pengadilan. Proses ligitasi menghasilakn keputusan yang bersifat advarsial
atau putusan yang belum merangkul kepentingan bersama, lama dalam penyelesaiannya,
membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif dan sering menimbulkan permusuhan antara
pihak yang berperkara.
Penyelesaian sengketa melalui proses non ligitasi adalah penyelesaian sengketa yang
dilakukan di luar sidang pengadilan. Penyelesaian sengketa ini dinamakan dengan Alternative
Dispute Resolution(ARD). Alternative Dispute Resolution adalah lembaga penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang diseapakati para pihak yaitu penyelesaian
sengketa di luar pengadila dengan cara konsultasi, negsiasi, konsolidari, atau penilaian ahli.
Pasal 8 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, mengatur mengenai pilihan dalam penyelesaian sengketa melalui musyawarah para
pihak yang bersengketa.
1. Negosiasi
Negosiasi adalah suatu strategi penyelesaian sengketa, dimana para pihak setuju untuk
menyelesaikan persoalan mereka melalui proses musyawarah, perundingan atau ”urung
rembuk”.5 Proses ini tidak mmelibatkan pihak ketiga, karena para pihak atau wakilnya
berinisiatif sendiri menyelsaikan sengketa mereka. Para pihak l terlibat langsung dalam
dialog dan proses penyelesaiannya.
5 Syahsrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukumm Syari’ah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, Kencana Prenada
Agar negosiasi dapat berjalan dengan lancar, maka ketentraman komunikasi dan wawasan
para pihak sangat menentukan, terutama dalam menyampaikan kepentingan dan keinginan
dari para pihak serta mendengarkan tuntutan dan kepentingan pihak lain.6
2. Mediasi
Kata mediasi berasal dari bahasa Inggeris “mediation” yang artinya penyelesaian sengketa
yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah atau penyelesaian sengketa dengan cara
menengahi.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia , pengertian mediasi adalah suatu proses
pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasehat.
Mediator adalah perantara (penghubung, penengah) bagi pihak-pihak yang bersengketa
itu.
Dalam penyelesaian sengketa melalui mediasi tidak terdapat unsur paksaan antara para
pihak dengan mediator karena para pihak secara suka rela meminta kepada mediator
untuk membantu menyelesaikan konflik yang mereka hadapi. Oleh karena itu mediator
berkedudukan sebagai pembantu, walaupun ada unsur intervensi dari pihak-pihak yang
sedang bersengketa. Dalam kondisi tersebut, mediator harus bersifat netral/tidak memihak
dan berpartisipasi aktif membantu para pihak untuk menemukan perbedaan persepsi/
pandangan. Pihak ketiga (mediator) atau penengah yang tugasnya membantu pihak-pihak
yang bersengketa dalam menyelesaikan masalahnya dan tidak mempunyai kewenangan
untuk mengambil keputusan. Pengambilan keputusan tidak berada di tangan mediator
tetapi di tangan para pihak yang bersengketa.
Pada dasarnya mediator berperan sebagai penengah/pihak ketiga yang tugasnya hanya
membantu pihak=pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan masalahnya dan tidak
mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan. Mediator hanya bertindak sebagai
fasilitator. Seorang mediator mempunyai peran membantu para pihak dalam memahami
pandangan masing-masing dan membantu mencari persoalan-persoalan yang dianggap
penting bagi mereka. Mediator mepermudah pertukaran informasi, mendorong diskusi
mengenai perbedaan–perbedaan kepentingan, persepsi, penafsiran terhadap situasi dan
persoalan-persoalan yang disengketakan, serta mengatur pengungkapan emosi para
pihak.
3. Arbitrase
Arbitrase merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dimana
pihak yang bersengketa mengangkat pihak ketiga (arbiter) untuk menyelesaikan sengketa
mereka. Pengertian arbitrase dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999,
6 Ibid, h.10
182 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 175–189
arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang
didasarkan pada perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa.
1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjaan tertulis yang dibuat para pihak
sebelum timbul sengketa,
2. Perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
Masalah tanan dilihat dari segi yuridis merupakan hal yang tidak sederhanan
penyelesaiannya. Timbulnya sengketa hukum tentang tanah bermula dari pengaduan satu
pihak(orang/badan) yang berisi tentang keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik
terhadap status tanah ataupun prioritas kepemilikannya.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa sengketa tanah ulayat yang terjadi dalam
masyarakat MinangKabau diselesaikan secara bajanjang naik batangga turun artinya terlebih
dahulu diselesaikan melalui lembaga adat pada tingkat yang lebih rendah yaitu tingkat keluarga
7 Sejenis salurabn air yang berasal dari bamboo dan bulat kata karena musyawarah atau mufakat’
Amran: Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat 183
kemudian ke tingkat kampung dan terakhir tingkat nagari. Sedangkan batanggo turun berarti
hasil penyelesaian sengketa pada masing-masing tingkat diharapkan akan dipatuhi oleh pihak
yang bersengketa sebab yang menyelesaikan itu adalah orang-orang yang telah dituakan
dalam kaum atau nagari sehingga pihak yang bersengketa tidak bisa menolaknya. Dalam hal
ini kalau terjadi sengketa dalam keluarga diselesaikan oleh mamak yang ada dalam keluarga.
Kalau tidak selesai pada tingkat keluarga, maka diselesaikan oleh penghulu paruik dalam
persekutuan. Apabila belum juga selesai, dilanjutkan ke Kerapatan Adat Nagari (KAN).
Adapun bentu-bentuk sengketa tanah ulayat dan penyelesaiannya melalui lembaga adat
di Minangkabau adalah sebagai berikut:
biaya yang telah dikeluarkan oleh yang menggarap tanah anggota kaum yang lain.
Setelah putusan ditetapkan oleh mamak kepala waris masing-masing yang bersengketa
menanda tangani surat keputusan itu, sedangkan anggota lainnya ikut menandatangani
sebagai saksi.
Proses penyelesaian perkara di tingka Kerapatan Adat Magari adalah sebagai berikut:
1. Mendaftarkan perkara dengan surat permohonan yang ditanda tangani oleh
ninik mamak yang bersangkutan. Para pihak yang merasa dirugikan mengajukan
permohonan kepada Kerapatan adat Nagari untuk diselesaikan dengan menjelaskan
sengketa tanah ulayat yang tidak menerima penyelesaian oleh mamak kaum.
2. Memberikan tanda perkara yaitu berupa keris pusaka atau kain adat sebagai tanda
kebesaran seorang datuk yang memberikan mandat kepaada Kerapatan Adat Nagari
untuk menyelesaikannya.
Amran: Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat 187
3. KAN memanggil para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketa yang
terjadi dan mendengarkan kesaksian dari masing-masing pihak.
4. KAN mendatangkan saksi netral yang tidak memihak kepada salah satu pihak yang
sedang bersengketa
5. Mengeluarkan tetetapan mengenai hasil yang diperoleh dari penyelesaian sengketa
yang dilakukan oleh Kerapatan Adat Nagari.
6. Membayar uang pendaftaran dua emas masing-masing pihak, sesuai dengan fatwa
adat limbago dituang adaik diisi, maksudnya harus ada pemasukan terhadap kas
adat setelah selesai perkara yang diselesaikan oledh KAN.
Di Minangkabau penyelesaian sengketa tanah baik tanah pusaka tinggi maupun pusaka
rendah diselesaikan oleh lembaga adat yang ada di nagari dengan sistem bajanjang naik
batango turun yaitu dari tingkat yang paling rendah oleh mamak kaum, mamak suku dan
lembaga tertinggi yaitu Kerapatan Adat Nagari(KAN) sebelum diajukan ke Pengadilan
negeri.
Setelah keluar putusan Mahkamah Agung yang mempunyai kekuatan hukum tetap dimana
hak atas tanah ulayat yang disengketakan adalah angku rajo Tuo dan sedang menunggu proses
dilaksanakan eksekusi. Sebelum dieksekusi perkara ini kembali diselesaikan oleh ninik mamak
dalam Kerapatan Adat Nagari(KAN) nagari Magek sebagai mediator. Hasil musyawarah ninik
188 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 175–189
mamak dalam Kerapatan Adat Nagari diperoleh kesepakatan damai antara penggugat dengan
tergugat dengan membatalkan putusan pengadilan dan membagi tanah tersebut berdasarkan
ketetapan Kerapatan Adat Nagari.8
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa tanah
ulayat dilakukan bajanjang naik batango turun yaitu penyelesaian sengketa dimulai dari
tingkat lembaga yang paling rendah oleh mamak paruik, mamak suku dan penghulu suku,
apabila tidak memperoleh kata sepakat, dilanjutkan ke lembaga adat yang lebih tinggi yaitu
ke Kerapatan Adat Nagari(KAN). Proses penyelesaian tanah ulayat di Minangkabau dengan
urutannya sebagai berikut:
1. Sengketa anggota separuik (sekaum) diselesaikan oleh mamak separuik yang sering
disebut dengan mamak kepala waris
2. Sengketa tanah ulayat dalam suku diselesaikan oleh mamak suku atau penghulu suku
yang ada dalam suku atau penghulu antar suku
3. Sengketa tanah ulayat yang tidak dapat diselesaikan pada lembaga adat yang terendah,
diselesaikan oleh lembaga adat yang tertinggi yaitu Kerapatan Adat Nagari di tiap-tiap
Nagari.
4. Penyelesai tanah ulayat melalui lembaga adat yang ada dalam nagari baik oleh lembaga
adat yang lebih rendah maupun yang lebih tinggi cukup efektif keputusannya dibandingkan
dengan penyelesaian melalui pengadilan negeri karena putusan melalui lembaga adat
dilakukan secara musyawarah dan lebih mengutamakan prinsip keadilan terhadap pihak-
pihak yang berperkara,sedangkan putusan pengadilan lebih mengutamakan putusan
sepihak berdasrkan bukti-bukti formal yang ditemukan dalam sidang pengadilan
Saran
Mengingat putusan lembaga adat dalam menyelesaikan sengketa tanah ulayat lebih
efektif dibandingkan dengan putusan perngadilan negeri, maka sebaiknya masyarakat
hukum adat memilih penyeleasaian perkara/sengketa tanah ulayat melalui lembaga adat
yang ada dalam nagari dan sebelum diproses di Pengadilan Negeri sebaiknya lembaga
peradilan menganjurkan supaya diselersaikan terlebih dahulu oleh lembaga adat nagari.
Apabila lembaga adat nagari tidak berhasil menyelesaikannya baru diterima permohonan
penyelesaiannya di pengadilan negeri. Hal ini bisa dibuat suatu aturan oleh pemerintah yaitu
Mahkamah Agung berupa surat edaran atau aturan dalam tatacara penerimaan perkara/
sengketa tanah ulayat di pengadilan negeri di serluruh Indonesia.
DAFTAR BACAAN
Buku
Abbas, Syahrizal, 2000, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syari’ah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Abdurrasyid, Priyatna, 2002, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), Fikahati
Aneska, Jakarta.
Dt. Parpatiah Nan Tuo, et.al., 2002, Adat basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah,Pedoman
Hidup Bernagari, Sako Batuah, Padang.
Erwirr, 2006, Tanah Komunal Memudarkan Solidaritas Sosial Pada Masyarakat Matrilineal
Minangkabau, Andalas University Pres, Padang.
Hasan, Firman, 1988, Dinamika Masyarakat dan Adat Minangkabau, Pusat Penelitian
Universitas Andalas, Padang.
Samosir, Djamanat, 2013, Hukum Adat Indonesia, Eksistensi dalam Dinamika Perkembangan
Hukum di Indonesia, Cv, Nusa Aulia, Bandung.
Sumardjono, Maria S.W, Nurhasan, dan Isharyanto, 2008, Mediasi Sengketa Tanah Potensi
Penerapan Alternatif Penyelesaian Sengketa(ADR) Bidang Pertahanan, Kompas,
Jakarta.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Peraturan
Daerah Tingkat I Sumatera Barat No. 13 Tahun 1983 Tentang Nagari sebagai Kestuan
Masyarakat Hukum Adat.