Anda di halaman 1dari 3

Bencana adalah Kemewahan

Oleh: A.S. Laksana

* Kolom Ruang Putih, Jawa Pos Minggu, 20 Januari 2013 --

Tidak bisa keluar rumah karena badan agak meriang beberapa hari, saya menyaksikan di
layar televisi bahwa Jakarta terendam. Jalan Thamrin berubah menjadi Sungai Thamrin. Dari
udara, gedung-gedung menyerupai pepohonan yang berjajar di sepanjang bantaran sungai.
Sebenarnya banjir sudah seperti festival tahunan di Jakarta. Ia bagian dari kehidupan kota
metropolitan ini. Di beberapa daerah air naik sampai batas pinggang, di beberapa daerah
sampai ke leher. Orang-orang mengungsi, dan nantinya akan balik lagi, dan tahun depan
mungkin akan begitu lagi.

Saya akrab dengan tindakan berulang-ulang semacam itu karena setiap tahun rumah masa
kecil saya di Semarang selalu terendam banjir. Dan karena sudah terbiasa, maka saya
menyukai banjir. Kami tinggal di perkampungan yang letaknya di bawah tanggul. Ketika
tanggul meluap, airnya akan menggenangi perkampungan di bawahnya. Jika tanggul tidak
meluap, rumah kami tetap kebanjiran pada saat hujan turun deras.

Pada saat air menggenang, kami menebang beberapa pohon pisang dan menggunakan
batangnya untuk membuat rakit. Dan kami mendayung rakit sambil membayangkan diri
sebagai Joko Tingkir yang baru saja mengalahkan empat puluh buaya.

Namun tidak semua orang menyukai banjir. Beberapa tetangga pindah, orang-orang baru
datang ke kampung kami. Mereka membangun rumah dengan terlebih dulu meninggikan
tanah pekarangan. Rumah-rumah baru di kampung kami tampak seperti rumah panggung.
Rumah orang tua saya seperti lembah. Ketika akhirnya rumah kami dibongkar, ayah saya
meninggikan tanah pekarangan sehingga rumah kami kini tampak seperti panggung. Lalu
tetangga-tetangga bergantian melakukan hal yang sama. Maka, rumah orang tua saya kembali
menjadi paling rendah dibandingkan rumah-rumah tetangga.

Begitulah, kami tidak pernah memikirkan saluran air untuk mengatasi banjir, sampai
kemudian ada proyek pembangunan selokan yang dibiayai oleh Bank Dunia. Saya bangga
sekali bahwa ternyata Bank Dunia peduli terhadap kampung kami. Selokan tanah diubah
menjadi selokan semen. Airnya malah menggenang. Saya kira mereka membangun selokan
karena itu proyek, dan bukan dengan pertimbangan bahwa selokan adalah saluran air.

Tentu saja tidak adil membandingkan banjir di kampung saya dengan banjir yang
menggenangi Jakarta. Di Jakarta banjir adalah bencana yang menyebabkan kerugian besar.
Tetapi, tak usah dirisaukan, selalu ada sisi baik dalam setiap perkara. Dalam situasi buruk
semacam itu, orang sanggup berduyun-duyun mengulurkan tangan, bahu-membahu untuk
meringankan beban orang-orang yang menjadi korban bencana. Media-media akan
menunjukkan kepedulian terhadap para korban. Dan saya menjadi tahu bahwa di sebuah
daerah yang terendam banjir, ada seorang nenek dan cucunya yang tak bisa keluar rumah.
Jika Jakarta tidak terendam banjir, saya tidak pernah tahu nasib seorang nenek dan cucunya di
daerah mana pun.

Ketika bencana terjadi, orang menjadi peduli pada nasib orang lain, ikut memikirkan, ikut
melaporkan yang mereka lihat, dan ikut menyumbangkan apa yang bisa mereka sumbangkan
kepada orang lain. Itu hal yang tidak terjadi ketika situasi baik-baik saja. Televisi juga
membuat drama sendiri dengan mengirimkan reporternya untuk berendam di genangan air
setinggi pinggang. Kepada seseorang yang motornya sedang dinaikkan perahu karet, ia
menanyakan, “Terganggu nggak, Pak, dengan adanya banjir ini?”

Oh, tidak, Mbak Penyiar. Saya sudah bertahun-tahun merindukan banjir yang seperti ini. Ini
adalah pengalaman religius, di mana kita bisa menapaki kembali jejak Nabi Nuh.

Saya heran dengan maksud pertanyaan itu. Apakah itu pertanyaan jebakan, misalnya, untuk
membaca kepribadian orang. Kalau ia terganggu maka kepribadiannya adalah begini. Kalau
ia tidak terganggu maka kepribadiannya begitu.

Selalu ada yang mencengangkan dalam liputan media kita tentang bencana.

Itu jika banjir rutin kita masukkan ke dalam kategori bencana. Dengan dua musim di negeri
tropis ini, anda tahu, kita hanya punya dua pilihan: panas atau hujan. Risiko dari dua musim
itu jelas, terendam banjir di musim hujan atau kekeringan di musim panas. Itu dua hal yang
mudah diprediksi tetapi selalu saja terjadi. Sama mudahnya dengan memprediksi alur cerita
silat atau janji kampanye yang tidak ditepati, tetapi itu juga selalu terjadi.

Dengan hal-hal yang mudah diprediksi tetapi rutin terjadi, saya jadi berpikir bahwa
“pengalaman adalah guru terbaik” mungkin adalah pepatah yang keliru. Jika pepatah itu
benar, kita tidak akan pernah kebanjiran tiap tahun, tidak ada daerah yang dilanda kekeringan
berulang-ulang. Dalam sejumlah kasus, pengalaman tidak pernah menjadi guru terbaik. Atau
ia tetap guru terbaik, tetapi tidak setiap orang adalah murid yang mampu menangkap
pelajaran.

Mengenai cara mengatasi banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau, banyak
orang sudah tahu. Tetapi orang biasanya lupa pada banjir ketika musim kemarau dan lupa
pada kekeringan saat musim hujan. Persis seperti anda baru menyadari genteng rumah bocor
di musim hujan, menampung tetes-tetes hujan dengan ember agar tak membasahi lantai, dan
lupa lagi untuk membereskannya ketika datang musim kemarau.

Di samping mudah lupa, sebagian dari kita gampang mengutuk. Ada yang mengatakan bahwa
banjir di Jakarta kali ini, yang juga menggenangi istana negara, adalah laknat yang
ditimpakan oleh Tuhan karena ada empat patung wanita telanjang di sana. Saya agak gemetar
membaca pernyataan itu. Dengan ingatan terhadap banjir besar Nabi Nuh, maka saya pikir
harus ada satu orang dari kita yang menyediakan bahtera besar untuk mengangkut manusia
dan hewan-hewan. Mungkin hujan akan turun empat puluh hari dan banjir akan naik tidak
hanya sebatas dengkul, tetapi juga sampai puncak gunung--jika patung-patung itu tidak
segera dihancurkan.

Semoga itu tidak terjadi. Semoga kita menjadi cakap mengelola curah hujan dan kekeringan.
Rasa-rasanya itu adalah salah satu persyaratan penting untuk hidup tenteram di negeri dua
musim. Tentu saja kecakapan-kecakapan lain juga diperlukan: cakap mengelola ekonomi,
politik, dan tahu bagaimana hidup bersama orang-orang lain. Bahkan kecakapan untuk
berbohong pun diperlukan. Jika anda cakap berbohong, anda punya kemungkinan menjadi
pengarang fiksi yang baik.
Banjir, anda tahu, adalah urusan yang begitu-begitu saja. Tetapi anda tidak bisa
menanganinya dengan cara yang begitu-begitu saja. “Kegilaan adalah kau melakukan
tindakan yang begitu-begitu saja, dengan cara berpikir yang itu-itu saja, dan mengharapkan
hasil yang berbeda,” kata Albert Einstein. Mengikuti pernyataan tersebut, mungkin kita
termasuk dalam kategori gila. Kita adalah segerombol orang yang melakukan tindakan yang
begitu-begitu melulu, dengan cara berpikir yang itu-itu melulu, dan mengharapkan situasi
berubah.

Atau jangan-jangan kita masih memerlukan bencana untuk membuat kita tahu cara
bergandeng tangan? Untuk memberi perhatian pada orang lain tanpa mempertimbangkan apa
agama, etnis, dan aliran politiknya? Jika demikian, saya khawatir bahwa setiap bencana
adalah kemewahan yang tidak kita dapatkan di waktu-waktu lain, ketika kita diombang-
ambingkan oleh keriuhan yang memecah belah.***

Anda mungkin juga menyukai