PENDAHULUAN
1. Bagi Penulis
Untuk menambah wawsan mengenai hubungan perilaku higiene terhadap infeksi
kecacingan serta untuk membuat penulis sadar pentingnya menjaga kebersian agar
tidak terinfeksi penyakit kecacingan.
2. Bagi Masyarakat
Untuk memberi wawasan kepada masyarakat agar selalu menjaga keberishan diri
dan lingkungan pada kehidupan sehari-hari. Selain itu masyarakat dapat
menyarankan keluarganya yang belum mengetahui agar menerapkannya kepada diri
sendiri.
3. Bagi Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pustaka dibagian kesehatan untuk
dapat dipelajari oleh generasi-generasi penerus akademis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perilaku
Perilaku manusia dapat dilihat dari 3 (tiga) aspek, yaitu aspek fisik, psikis dan
sosial yang secara rinci merupakan repleksi kejolak kejiwaan seperti : pengetahuan,
motivasi, persepsi sikap dan sebahagian yang ditentukan dan dipengaruhi oleh faktor-
faktor pengalaman, keyakinan, cara fisik dan sosial budaya masyarakat
(Notoatmodjo,1993)
Perilaku seseorang terdiri dari 3 bagian yaitu kognitif, afektif dan fsikomotor.
Kognitif dapat diukur dari pengetahuan avektif dari sikap atau tanggapan dan fsikomotor
diukur melalui tindakan praktek yang dilakukan (Notoatmodjo,1993)
Menurut Notoatmojo, Perilaku dapat diukur dengan cara mengukur unsur-unsur
perilaku dimana salah satu adalah pengetahuan dengan cara memperoleh data atau
informasi tentang indikator-indikator pengetahuan tersebut. Untuk dapat menentukan
tingkat pengetahuan terhadap sanitasi lingkungan dilakukan melalui wawancara.
Perilaku sehat pada dasarnya adalah respons seseorang terhadap stimulus yang
berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan makanan serta
lingkungan. Sebagai contoh perilaku yang berkaitan dengan lingkungan, misalnya perilaku
seseorang berhubungan dengan pembuangan kotor yang menyangkut dari segi-segi
higiene, pemeliharaan, teknik dan penggunaannya.
Menurut Anwar (1983) perilaku sehat dipengaruhi oleh beberapa hal seperti :
1. Latar belakang seseorang yang meliputi norma-norma yang ada, kebiasaan, nilai
budaya dan keadaan sosial ekonomi yang berlaku di masyarakat.
2. Kepercayaan meliputi manfaat yang didapat, hambatan yang ada, kerugian dan
kepercayaan bahwa seseorang dapat terserang penyakit.
3. Sarana merupakan tersedia atau tidaknya fasilitas yang dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat.
2.1.1. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu setelah adanya penginderaan terhadap suatu
objek dan sangat penting dalam pembentukan tindakan seseorang. Penelitian Roger tahun
1974 yang dikutip Notoatmodjo, (2003), mengungkapkan sebelum orang mengadopsi
perilaku baru, terlebih dahulu terjadi proses yang berurutan, yakni :
1. Awareness (kesadaran), yakni saat orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui
lebih dahulu terhadap stimulus (objek).
2. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Pada tahap ini sikap
subjek sudah mulai tumbuh.
3. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik tidaknya stimulus tersebut bagi
dirinya. Hal ini berarti bahwa sikap responden sudah lebih baik.
4. Trial, yakni subjek sudah mulai mencoba melakukan sesuatu dengan apa yang
dikehendaki oleh stimulus.
5. Adaption, yakni saat subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,
kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
Sikap merupakan sesuatu yang tidak dapat dilihat dahulu dari seseorang tetapi
hanya dapat ditafsirkan karena . Seorang ahli psikologi sosial Newcomb menyatakan
bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan
pelaksanaan dari motif tertentu.
Menurut Notoadmodjo (1997), sikap terdiri dari beberapa tingkatan, yaitu:
1. Menerima (Receiving), diartikan bahwa orang (subjek) mau dan mau memperhatikan
stimulus yang diberikan (objek).
2. Merespon (Responding), memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan
menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap yang berarti orang
(subjek) menerima ide tersebut.
3. Menghargai (Valuiting), indikasinya adalah adanya ajakan kepada orang lain untuk
mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah.
4. Bertanggung jawab (Responsible), bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah
dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.
2.1.3. Tindakan
Suatu sikap yang dapat mewujudkan sebuah tindakan tetapi memerlukan faktor
pendukung dan fasilitas untuk mewujudkannya.
Tingkat-tingkat praktek (Notoadmodjo, 1997) :
2.2. Higiene
Higiene merupakan hal yang sangat penting diperhatikan terutama pada saat
perkembangan. Dengan kesehatan pribadi yang buruk pada masa tersebut akan dapat
mengganggu perkembangan kualitas sumber daya manusia. Higiene yang belum memadai
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya prevalensi kecacingan.
Menurut Azwar (1996) Higiene adalah usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari
pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya untuk mencegah
timbulnya penyakit karena pengaruh lingkungan tersebut, serta membuat kondisi
lingkungan sedemikian rupa sehingga terjamin pemeliharaan kesehatan. Keadaan higiene
yang tidak baik seperti tangan dan kuku yang kotor, kebersihan diri dan penggunaan alas
kaki hal ini dapat menimbulkan infeksi kecacingan.
Untuk menjaga kesehatan pribadi tentu saja tidak lepas dari kebiasaan-kebiasaan
sehat yang dilakukan setiap hari. Higiene perorangan pada anak sekolah dasar meliputi :
Tangan, kaki, dan kuku yang bersih akan membuat indah apabila dipandang. Kuku
yang kotor dapat menyebabkan penyakit-penyakit tertentu :
1. Pada kuku sendiri :
a. Cantengan yaitu radang bawah/pinggir kuku
b. Jamur kuku
2. Pada tempat lain :
a. Luka infeksi pada tempat garukan
b. Cacingan
Sanitasi lingkungan merupakan hal penting yang harus diperhatikan. Oleh karena
itu untuk mencapai kemampuan hidup sehat di masyarakat, maka hal-hal yang perlu
diperhatikan adalah :
2.3.1. Penyediaan Air Bersih
Air merupakan kebutuhan yang sangat dibutuhkan oleh semua makhluk di dunia,
khususnya sebagai air minum. Namun air dapat juga menimbulkan berbagai gangguan
kesehatan terhadap si pemakai (Sutrisno, 1991).
Air bersih juga merupakan kebutuhan yang tidak dapat dilepaskan dari kegiatan
masyarakat. Berbagai keperluan seperti mandi, mencuci kakus dan wudhu membutuhkan
air yang memenuhi syarat dari segi kualitas dan mencukupi dari segi kuantitas.
Untuk itu penyediaan air bersih harus memenuhi persyaratan dari segi :
a. Kualitas : Tersedia air bersih yang memenuhi syarat kesehatan (fisik, kimia,
dan bakteriologis).
c. Kontinuitas : Air minum dan air bersih tersedia pada setiap kegiatan yang
membutuhkan secara berkesinambungan.
Syarat kualitas air secara fisik adalah tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbau dan
jernih. Secara kimia air yang baik tidak tercemar secara berlebihan oleh zat-zat kimia
ataupun mineral terutama zat-zat yang berbahaya bagi kesehatan. Dan syarat bakteriologis
semua air minum hendaknya dapat terhindar dari kemungkinan terkontaminasi bakteri
terutama bakteri pathogen.
Mengingat bahwa tidak mungkin air yang dikonsumsi seratus persen sesuai dengan
persyaratan kesehatan, namun air yang ada diusahakan sedemikian rupa mendekati syarat-
syarat yang tercantum dalam peraturan Menteri Kesehatan No. 416/ Menkes/Per/1990.
Evaluasi dampak kesehatan dari usaha sektor penyediaan air bersih dan sanitasi
selama kurun waktu 1969-1990 menunjukkan bahwa liputan penyediaan air bersih dan
sanitasi terus naik, akan tetapi insiden penyakit bawaan air juga naik. Hal ini mungkin
disebabkan oleh :
1. Liputan yang masih sangat rendah (penyediaan air bersih 44%, sanitasi 26,8%)
sehingga tidak memberi dampak pada penyakit bawaan air.
2. Meningkatnya penyediaan air bersih yang berarti meningkatnya limbah, sedangkan
pengelolaan limbah yang ada pada hakekatnya lebih berbahaya dari pada penyediaan
air bersih yang kurang diperhatikan.
3. Pemanfaatan air yang tidak saniter, karena pelaksanaan penyediaan air bersih dan
sanitasi tidak disertai dengan penyuluhan higiene perseorangan yang efektif (Slamet,
1996).
2.3.2. Toilet dan Kamar Mandi
Sampah ialah sesuatu bahan/benda padat yang terjadi karena berhubungan dengan
aktifitas manusia yang tidak dipakai lagi, tidak disenangi dan dibuang dengan cara-cara
saniter kecuali buangan yang berasal dari tubuh manusia (Kusnoputranto, 1983)
Atas dasar defenisi tersebut maka sampah dapat dibedakan atas dasar sifat-sifat
biologis dan kimianya sehingga mempermudah pengelolaannya. Pengelolaan sampah perlu
didasarkan atas berbagai pertimbangan :
1. Untuk mencegah terjadinya penyakit
2. Konservasi sumber daya alam
3. Mencegah gangguan estetika
4. Pemanfaatan kembali
5. Kuantitas dan kualitas sampah akan meningkat
Untuk itu pengelolaan limbah harus memiliki persyaratan teknis apabila belum ada
atau tidak terjangkau oleh sistem pengolahan limbah perkotaan. Kualitas air limbah yang
dibuang ke lingkungan harus mempunyai persyaratan baku mutu air limbah sesuai
peraturan.
Jumlah orang di dunia yang terinfeksi Ascaris mungkin hanya kedua setelah infeksi
cacing kremi, Enterobius vermicularis. Ascaris telah dikenal pada masa Romawi sebagai
Lumbricus teres (dikacaukan dengan cacing tanah yang umum) dan mungkin telah
menginfeksi manusia selama ribuan tahun. Lebih banyak terdapat di daerah yang beriklim
panas dan lembab, tetapi dapat juga hidup di daerah yang beriklim sedang. (Garcia, 1996).
Nama penyakit yang disebabkan oleh cacing gelang (Ascaris lumbricoides) adalah
ascariasis.
a. Morfologi
Ascaris lumbricoides adalah cacing nematode terbesar, cacing betina dewasa mempunyai
bentuk tubuh posterior yang membulat, berwarna putih kemerah-merahan dan mempunyai
ekor lurus tidak melengkung. Cacing betina mempunyai panjang 22-35 cm dan memiliki
lebar 3-6 mm. Sementara cacing jantan dewasa mempunyai ukuran lebih kecil, dengan
panjangnya 12-31 cm dan lebarnya 24 mm, juga mempunyai warna yang sama dengan
cacing betina, tetapi mempunyai ekor yang melengkung kearah ventral. Kepalanya
mempunyai tiga bibir pada ujung anterior (bagian depan) dan mempunyai gigi-gigi kecil
atau dentikel pada pinggirnya, bibirnya dapat ditutup atau dipanjangkan untuk
memasukkan makanan.
Alat reproduksi dan saluran pencernaan mengapung didalam rongga badan, cacing
jantan mempunyai dua buah speculum yang dapat keluar dari kloaka dan pada cacing
batina vulva terbuka pada pembatasan sepertiga bahan anterior dan tengah, bagian ini lebih
kecil dan dikenal sebagai cacing kopulasi.
Telur yang dibuahi (fertilized) berbentuk ovoid dengan ukuran 600 – 70 X 30 – 50
µ. Bila baru dikeluarkan tidak infektif dan berisi satu sel tunggal. Sel ini dikelilingi suatu
membrane vitelin yang tipis untuk meningkatkan daya tahan telur cacing tersebut terhadap
lingkungan sekitarnya, sehingga dapat bertahan hidup sampai satu tahun. Disekitar
membrane ini ada kulit bening dan tebal yang dikelilingi lagi oleh lapisan albuminoid ini
kadang-kadang dilepaskan atau hilang oleh zat kimia yang menghasilkan telur tanpa kulit
(decorticated). Di dalam rongga usus, telur memperoleh warna kecoklatan dari pigmen
empedu.
Telur yang tidak dibuahi (unfertilized) berada dalam tinja, bentuk telur lebih
lonjong dan mempunyai ukuran 88 – 94 X 40 - 44µ, memiliki dinding yang tipis, berwarna
coklat dengan lapisan albuminoid yang kurang sempurna dan isinya tidak teratur (Soedarto,
1991).
Cacing dewasa biasanya hidup didalam rongga usus muda. Cacing ini mendapat makanan
dari makanan hospes yang setengah dicernakan dan mungkin dari sel mukosa usus. Cacing
jantan atau betina dapat ditemukan terpisah pada orang-orang dengan infeksi yang ringan
sekali. Seekor cacing betina mempunyai kemampuan untuk mengeluarkan 26 juta butir
telur, dan sehari rata-rata dikeluarkan 200.000 butir. Telurnya belum membelah bila
dikeluarkan oleh hospes dengan tinja. Suhu yang rendah menghambat pertumbuhan kira-
kira 250C dengan batas antara 210C dan 300C. Suhu yang lebih rendah menghambat
pertumbuhan tetapi menguntungkan lamanya kehidupan. Pada suhu 370C telur hanya
tumbuh sampai stadium delapan sel. Karena telur memerlukan zat arang, maka
pertumbuhan terhambat bila terdapat dalam lingkungan yang membusuk. (Brown, 1983).
Telur yang infekstif, bila ditelan oleh manusia, menetas di bagian atas usus muda,
dan mengeluarkan larva rabditiform (berukuran 200-300 kali 14µ), yang menembus
dinding usus yang masuk vena kecil atau pembuluh limfe. Melalui sirkulasi portal larva ini
masuk ke hepar, kemudian ke jantung dan paru-paru. Larvanya mungkin sampai di paru-
paru hanya 0,01 mm, maka kapiler tersebut pecah dan larva keluar ke alveoli. Kadang-
kadang beberapa larva dapat masuk ke jantung kiri melalui vena paru-paru dan disebarkan
sebagai emboli keberbagai alat dalam badan. Larva bermigrasi atau dibawa oleh
bronchiolus ke bronchus, naik ke trachea sampai ke epiglottis, dan turun melalui
oesophagus ke usus muda. Selama masa hidupnya di dalam paru-paru, larva membesar
sampai lima kali ukuran semula, yaitu 1,5 mm panjangnya. Setelah sampai di dalam usus
larva mengalami perubahan kelima. Cacing betina yang bertelur didapati dalam waktu
kira-kira 2 bulan setelah infeksi, dan hidup selama 12 sampai 18 bulan (Brown, 1983).
Gejala yang timbul pada manusia dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan
larvanya. Infeksi yang hanya mengandung 10-20 ekor cacing biasanya tanpa gejala klinis
dan baru diketahui sebagai penderita apabila telah dilakukan pemeriksaan tinja atau cacing
dewasa keluar bersama tinja (Brown, 1983, Hadiwartono, 1994).
Gangguan karena larva biasanya terjadi pendarahan yang kecil pada dinding
alveolus dan akan timbul gangguan pada paru yang disertai dengan batuk, demam dan
eosinofilia. Pada foto toraks tampak infiltrate, yang menghilang dalam waktu tiga minggu,
keadaan ini yang disebut sindromloeffler. Gangguan ini disebabkan oleh cacing dewasa
biasanya ringan, kadang-kadang penderita mengalami gangguan usus ringan seperti mual-
mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi.
Cacing gelang ini mempunyai cairan tubuh yang dapat menimbulkan reaksi toksik
sehingga terjadi gejala demam disertai alergi misalnya gatal-gatal, oedema wajah,
konjungitis dan iritasi saluran pernafasan bagian atas. Selain itu cacing dewasa juga dapat
menimbulkan berbagai akibat yang bersifat mekanik, seperti obstruksi usus, intususepsi.
Migrasi cacing ke organ misalnya lambung, esophagus, mulut, hidung, rima glottis atau
bronkus dapat menyumbat pernafasan penderita, dan dapat terjadi apendiksitis,
penyumbatan saluran empedu, abses hati dan pankreatitis akut (Brown, 1983).
Cacing dewasa pada anak-anak menimbulkan kekurangan gizi, dan cairan tubuh
cacing dapat menimbulkan reaksi sehingga terjadi gejala mirip demam tifoid disertai tanda
alergi misalnya urtikaria, oedema diwajah. Konjungtif dan iritasi pernafasan bagian atas.
Akibat mekanik misalnya obstruksi usus, intususepsi atau perforasi ulkus di usus.
Penyuluhan kesehatan tentang sanitasi yang baik dan tepat guna, higiene keluarga
dan higiene pribadi seperti :
1. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman.
2. Sebelum melakukan persiapan makanan dan hendak makan, tangan dicuci terlebih
dahulu menggunakan sabun.
3. Bagi yang mengkonsumsi sayuran segar (mentah) sebagai lalapan, hendaklah dicuci
bersih dan disiram lagi dengan air hangat.
Karena telur cacing Ascaris dapat hidup dalam tanah selama bertahun-tahun,
pencegahan dan pemberantasan di daerah endemic adalah sulit. Adapun upaya yang dapat
dilakukan untuk mencegah penyakit ini adalah sebagai berikut :
1. Mengadakan kemoterapi misal setiap 6 bulan sekali di daerah endemic ataupun daerah
yang rawan terhadap penyakit ascariasis.
2. Memberi penyuluhan tentang sanitasi lingkungan.
3. Melakukan usaha aktif dan preventif untuk dapat mematahkan siklus hidup cacing
misalnya memakai jamban/WC.
4. Makan makanan yang dimasak saja.
5. Menghindari sayuran mentah (hijau) dan selada di daerah yang menggunakan tinja
sebagai pupuk.
Infeksi cacing ini (cacing cambuk) lebih sering terjadi di daerah panas, lembab dan
sering terlihat bersama-sama dengan infeksi Ascaris. Jumlah cacing dapat bervariasi,
apabila jumlah-jumlahnya sedikit, pasien biasanya tidak terpengaruh dengan adanya
cacaing ini (Garcia, 1996). Nama penyakit yang disebabkan oleh cacing cambuk
(Trichuris trichiura) adalah Trichuriasis.
a. Morfologi Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)
Cacing dewasa bentuknya silindris seperti cambuk dimana bagian yang tipis/halus
seperti benang adalah bagian interior/kepala dan bagian yang tebal adalah posterior/ekor.
Cacing jantan panjangnya 5 cm, ekornya melengkung. Telur berukuran 50 -54 µ x 32 µ,
berbentuk tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur
luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian dalamnya jernih (Gandahusada, 2000).
Cacing betina setiap harinya menghasilkan telur 3.000 – 10.000 butir telur yang
dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur menjadi matang dalam waktu 3-6
minggu dalam lingkungan yang sesuai. Telur matang adalah telur yang berisi larva yang
merupakan infektif. Cara infeksi langsung yaitu bisa secara kebetulan hospes menelan telur
matang. Larva keluar melalui dinding telur dan masuk ke dalam usus halus. Sesudah
menjadi dewasa, cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke dalam colon, terutama
sekum, jadi tidak ada siklus paru. Cacing ini dapat hidup beberapa tahun di usus bessar
hospes (Gandahusada, 2000).
Masa pertumbuhan, mulai dari telur yang tertelan sampai menjadi cacing dewasa
yang meletakkan telur ialah kira-kira 30 sampai 90 hari. Hidupnya mungkin selama
beberapa tahun (Brown, 1983).
Pada umunya Trichuris trichiura dapat menimbulkan efek traumatic dan efek
toksik pada penderita. Kerusakan terjadi pada tempat melekat cacing pada mukosa usus
daerah coecum, sedangkan pada infeksi yang berat akan terjadi penyumbatan apendiks dan
proses peradangan pada coecum calon dan apendiks tersebut. Pada infeksi berat juga dapat
terjadi intoksikasi dan anemia tetapi mekanismenya belum jelas. Cacing yang
menghasilkan lytic substance ini juga menghisap darah penderita. Ultikari dan gejala-
gejala alergi lain dapat pula dijumpai pada penderita Trichuris trichiura.
Infeksi Trichuris trichiura tanpa komplikasi umumnya menunjukkan gejala-gejala
dan keluhan nyeri epigastrum, nyeri perut dan punggung, muntah, konstipasi dan vertigo.
Pada infeksi berat sering dijumpai prolapsus rekcti. Beberapa menunjukkan gambaran
mirip infeksi cacing tambang yang berat dengan oedema pada muka dan tangan, dispnea,
dilatasi jantung, insomnia, sakit kepala dan demam ringan.
Pada anak-anak, cacing ini tersebar di seluruh colon dan rectum. Kadang-kadang
terlihat mukosa rectum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita pada
waktu defakasi. Cacing inki memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga terjadi
trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan
mukosa usus. Pada tempat perlekatnya dapat terjadi pendarahan. Disamping itu cacing ini
menghisap darah hospesnya, sehingga menyebabkan anemia.
Bila infeksi yang berat dan menahun, menunjukkan gejala-gejala nyata seperti diare
yang sering diselingi dengan sindrom disentri, anemia, berat badan turun dan kadang-
kadang disertai prolapsus rectum pada anak (Gandahusada, dkk, 2000).
Bila infeksi ringan, biasanya asymptomatis (tanpa gejala). Bila jumlah cacingnya
banyak, biasanya timbul diare dengan faeces yang berlendir, nyeri perut, dehidrasi,
anemia, lemah dan berat badan menurun (Entjang, 2001).
Dahulu infeksi Trichuris trichiura sulit sekali diobati. Obat seperti tiabendazol dan
ditiazinin tidak memberikan hasil yang memuaskan. Sekarang dengan adanya mebendazol
dengan dosis 2 x 100 mg selama 3 hari atau dosis tunggal 500 mg, albendazol dosis
tunggal 400 mg dan oksantel pirantel pamoat dosis tunggal 10-15 mg/kgBB, infeksi cacing
trichuris trichiura dapat diobati dengan hasil yang cukup baik (Gandahusada, dkk, 2000).
Infeksi cacing tambang ditemukan pada daerah hangat yang lembab dan
mengakibatkan berbagai penyakit pada manusia, meski morbiditasnya lebih banyak
disbanding mortalitasnya. Meskipun secara morfologik terdapat perbedaan yang nyata
antara dua cacing tambang yang umum terdapat pada manusia (cacing dewasanya),
stadium diagnostiknya (telur) ternyata identik (Garcia, 1996). Nama penyakit yang
disebabkan oleh cacing tambang (Ancylostoma duodenale/ Necator americanus) adalah
ancylostomiasis.
Cacing tambang dewasa adalah nematode yang kecil seperti silindris, dan berwarna putih-
putih keabu-abuan. Panjang cacing betina adalah 9-13 x 0,35-0,66 mm dan panjang cacing
jantan 5-11 x 0,45 mm. Ancylostoma duodenale lebih besar daripada Necator americanus.
Cacing ini mempunyai kutikulum yang relatif tebal. Alat kelamin pada jantan adalah
tunggal dan pada yang betina berpasangan. Pada ujung posterior cacing jantan terdapat
busa caudal yang merupakan membrane yang lebar dan jernih dengan garis-garis seperti
tulang iga, bursa ini dipakai untuk memegang cacing betina selama kopulasi.
Cacing Necator americanus setelah mati biasanya menyerupai huruf S, sedangkan
Ancylostoma duodenale menyerupai huruf C. Rongga mulut kedua jenis cacing ini besar,
necator americanus mempunyai gigi berbentuk lempeng dari titin, sedangkan Ancylostoma
duodenale ada dua pasang gigi berbentuk kerucut (Brown, 1983).
Hospes definitif parasit ini adalah manusia. Cacing tambang mengkaitkan diri pada
mukosa usus halus dengan gigi di dalam rongga mulutnya. Cacing betina Necator
americanus mengeluarkan telur kurang lebih 9.000 butir perhari, sedangkan Ancylostoma
duodenale kurang lebih 10.000 butir perhari.
Telur yang dikeluarkan bersama dengan tinja pada lingkungan yang sesuai, akan
menetas menjadi larva rhabditiform stadium pertama dalam waktu 24-48 jam. Kondisi
optimum untuk perkembangan larva antara lain terlindung dari cahaya matahari yang kuat,
terletak pada tanah dengan ukuran partikel dan struktur yang sesuai dan temperature antara
28-320 C untuk Necator americanus, dan antara 20-270C untuk Ancylostoma duodenale.
Bila larva menembus kulit terbentuk maculopapula dan eritem yang terbatas,
sehingga dapat menimbulkan penyakit “ground itch” dengan gejala gatal, erythem, papula,
erupsi dan vesicular pada kulit. Setelah larva sampai ke paru-paru maka akan
menimbulkan batuk dan pnomonitis. Bila larva dalam jumlah besar sekaligus bermigrasi
melalui paru-paru atau pada orang-orang yang telah peka, mungkin timbul bronchitis atau
pneumonitis.
Pada infeksi akut dengan banyak cacing, dapat disertai kelemahan, nausea, muntah,
sakit perut, diare dengan tinja hitam atau merah (tergantung jumlah darah yang keluar),
lesu, dan pucat. Seperti pada infeksi parasit lainnya, jumlah cacing yang banyak pada anak-
anak dapat menimbulkan gejala sisa yang serius dan kematian. Selama fase usus akut dapat
dijumpai peningkatan eosinofilia perifer. Pada infeksi kronik, lesu dan kadar hemoglobin
sampai 5 g/dl atau kurang (Brown, 1983).
d. Pengobatan dan Pencegahan
Hal-hal yang perlu dibiasakan agar tercegahnya dari penyakit cacingan sebagai
berikut :
1. Biasakan mencuci tangan sebelum makan atau memegang makanan. Gunakan sabun
dan bersihkan bagian kuku jemari yang kotor.
2. Biasakan menggunting kuku secara teratur seminggu sekali.
3. Tidak membiasakan diri menggigiti kuku jemari tangan atau menghisap jempol.
5. Tidak membuang hajat di kebun, parit, sungai, atau danau. Biasakan buang hajat di
jamban.
6. Biasakan membasuh tangan dengan sabun sehabis dari jamban.
7. Biasakan tidak jajan penganan yang tidak tertutup saji atau yang terpegang-pegang
tangan.
8. Di wilayah yang banyak terjangkit penyakit cacing, periksakan diri ke Puskesmas
secara teratur. Lebih-lebih kalau ada tanda atau gejala cacingan.
10. Penyakit cacing berasal dari telur cacing yang tertelan, bukan karena makan ikan. Telur
cacing tertelan akibat kebersihan diri dan lingkungan yang kurang baik.
11. Biasakan makan daging yang sudah benar-benar matang dan bukan yang mentah atau
setengan matang.
12. Biasakan berjalan kaki ke mana-mana beralas kaki.
13. Biasakan makan lalap mentah yang sudah dicuci bersih dengan air yang mengalir.
14. Obat cacing hanya diberikan kepada orang yang benar-benar mengidap penyakit cacing
(Nadesul, 1997).
2.6. Dampak Infeksi Cacingan
Bila cacing gelang tidak atau hanya sedikit akan menyebabkan kerusakan, zat-zat
yang dibentuk oleh cacing yang hidup atau mati dapat menimbulkan manifestasi keracunan
pada orang yang rentan, seperti wajah kelihatan oedema, insomnia, perut buncit, muntah-
muntah, tidak nafsu makan dan penurunan berat badan.
Bila infeksi ringan, biasanya asymptomatis (tanpa gejala). Penderita dengan infeksi
cacing cambuk menahun yang sangat berat menunjukkan suatu gambaran klinis yang khas
yang terdiri dari atas anemia berat, diare bercampur darah, sakit perut, mual dan muntah,
dehidrasi, dan berat badan turun (Brown, 1983).
c. Dampak cacing tambang (Ancylostoma duodenale/ Necator americanus)
Pada tempat masuknya larva menembus kulit akan menimbulkan rasa gatal.
Migrasi larva yang menembus alveolus akan menyebabkan perdarahan-perdarahan kecil,
namun sering sekali tidak menunjukkan gejala-gejala pneumonia. Gejala klinik yang
ditimbulkan adalah lemah, lesu, pucat, sesak nafas bila bekerja berat, tidak enak perut,
perut buncit, anemia, dan malnutrisi. Anemia karena cacing tambang biasanya berat.
Hemoglobin biasanya 10 gr% cc darah dan jumlah eritrosit dibawah 1.000.000 mm3 . Jenis
anemia adalah anemia hypocromic microcytic (Entjang, 2003).
- Infeksi Kecacingan
2.9. Hipotesis :
1. Ada hubungan antara perilaku (pengetahuan, sikap dan tindakan) siswa SD Negeri
09Desa Karang Suci dengan infeksi kecacingan di Desa Juma Teguh Kecamatan
Siempat Nempu Kabupaten Dairi
2. Ada hubungan antara higiene perorangan (kebersihan kuku, kebersihan diri dan
frekuensi mandi) siswa SD Negeri 030375 dengan infeksi kecacingan di Desa Juma
Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi
BAB III
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah survei analitik dengan rancangan cross sectional study
yaitu melihat hubungan perilaku dan higiene siswa SD Negeri 030375 dengan infeksi
kecacingan di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi tahun 2008.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas III, IV dan V SD Negeri
030375 Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi yaitu sebanyak 74
orang.
3.3.2. Sampel
Data yang diperoleh dengan cara melakukan pengamatan langsung pada anak
sekolah dasar untuk mengetahui perilaku dan higiene serta hasil infeksi kecacingan
diperoleh dari hasil pemeriksaan laboratorium di UPT Puskesmas Buntu Raja Kabupaten
Dairi.
Data yang diperoleh dari UPT Puskesmas Buntu Raja yaitu data 10 penyakit
terbesar, SD Negeri 0340375, dan studi kepustakaan yang mendukung untuk penelitian ini.
3.4.3. Metode Pemeriksaan Faeces
Sebelum pemeriksaan faeces dilakukan terlebih dahulu pot faeces dibagikan kepada
responden sehari sebelum dilakukan pemeriksaan kemudian pagi harinya dikumpulkan
kembali lalu faeces tersebut dibawa ke Laboratorium ke Puskesmas Buntu Raja Kecamatan
Siempat Nempu Kabupaten Dairi. Metode yang di gunakan memeriksa faeces untuk
menentukan seseorang terinfeksi kecacingan atau tidak digunakan dengan metode Kato
Katz. Prosedur metode kato katz adalah sebagai berikut, (Prasetyo,1995) :
d. Larutan fenol 66 %
5. Alat-alat :
a. Kaca benda
Kertas saring
2. Cara Kerja :
Rendam lembar selofon dalam larutan gliserin hijau malikat selama lebih 24 jam
3. Interprestasi :
Positif infeksi kecacingan : Bila didapatkan dari hasil pemeriksaan laboratorium ada
telur cacing di dalam faeces.
Negatif infeksi kecacingan : Bila tidak didapatkan dari hasil pemeriksaan laboratorium
ada telur cacing di dalam faeces.
3.5. Defenisi Operasional
1. Higiene adalah kebersihan pada siswa sekolah dasar yang teridiri dari
Tindakan adalah bentuk perbuatan atau aktifitas nyata dari siswa terhadap infeksi
kecacingan
3.6. Aspek Pengukuran
1. Aspek pengukuran adalah mengukur pengetahuan, sikap dan tindakan siswa berupa
pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan infeksi kecacingan, higiene dengan
menggunakan skala Guttman, (Sugiyono, 2002).
a. Pengetahuan
Pengetahuan ini dapat diukur dengan memberikan jawaban dari kuesioner yang telah
diberi nilai (skor). Tiap pertanyaan mempunyai nilai 0 sampai nilai 1 dengan kriteria :
- Jawaban benar =1
- Jawaban salah =0
Sikap diukur dengan memberikan jawaban dari kuesioner yang telah diberi nilai (skor).
- Jawaban setuju =1
Tindakan diukur dengan memberikan jawaban dari kuesioner yang telah diberi nilai
1. Jawaban ya =1
2. Jawaban tidak =0
a. Baik, jika jawaban benar responden ≥ 75% apabila responden menjawab pertanyaan
benar 4 - 5
b. Buruk, jika jawaban benar responden < 75% apabila responden menjawab
pertanyaan benar 1 - 3
4. Higiene
Observasi higiene diukur berdasarkan nilai (skor) yang dijumlahkan pada 5 pertanyaan.
1. Jawaban setuju =1
- 3 baik
b. Buruk, jika jawaban tidak < 75% apabila responden menjawab pertanyaan benar -
1 buruk
Analisa data dilakukan dengan menyajikan data dalam bentuk tabel kemudian
dilanjutkan dengan analisa statistik untuk mengetahui ada tidaknya hubungan variabel-
variabel dalam penelitian yaitu hubungan perilaku (pengetahuan, sikap, tindakan) dan
higiene (kebersihan kuku, kebersihan diri, frekuensi mandi) siswa SD Negeri 030375
dengan infeksi kecacingan di desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten
Dairi Tahun 2008 . Karena data yang digunakan adalah data yang diklasifikasikan atas
kategori (dikelompokkan) maka uji statistik dilakukan dengan menggunakan uji Chi
Square dengan α = 0,05.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, 1996. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan, Mutiara Sumber Widia, Jakarta.
Brown, Harold W, 1983. Dasar Parasitologi Klinis, Edisi ke-V, PT. Gramedia, Jakarta.
Jakarta.
Depkes RI, 2004. Profil PPM-PL Tahun 2004. Ditjend PPM-PL, Jakarta.
........................., 2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi, Rineka Cipta, Jakarta.
Onggowaluyo, J.S, 2002. Parasitologi Medik I, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Poespoprodjo JR, Sadjimin, 2000. Hubungan Antara Tanda dan Gejala Penyakit
Siregar,M.A, Analisa Perilaku Pemulung Anak Terhadap Infeksi Cacing dan Peran
Tesis, 2002.
Slamet, JS, 1996. Kesehatan Lingkungan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.