Anda di halaman 1dari 40

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Tempat Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Gambar 4.Sekolah Dasar Negeri 1 Belitung Selatan Banjarmasin

Sekolah Dasar Negeri Belitung Selatan 1 Banjarmasin adalah salah

satu Sekolah Negeri di Kotamadya Banjarmasin.

I. Kondisi Objektif Sekolah

a. Letak sekolah

SD Negeri Inti Belitung Selatan 1 beralamat di Jlan

Pembangunan 1 RT 17 Nomor 12 Pendidikan Banjarmasin Barat,

berhadapan tepat di depan kantor Unit Pelaksana Teknis kecamatan

Banjarmasin Barat .Lokasi sekolah ada di dalam komplek rumah

penduduk, di tepi jalan menuju SMP Anggrek. Akses menuju sekolah

95
96

sangat mendukung karena jalan semua beraspal, sudah tidak ada lagi

pedagang yang menjajakan daganganya di tepi jalan Tentu saja hal ini

merupakan pemandangan yang lumayan menyedapkan pandangan

mata terutama bagi guru-guru,karyawan, siswa SMP Anggrek, dan

Siswa SDN Belitung 1 dan para orang tua yang mengantar putranya

serta tamu-tamu yang akan mengunjungi sekolah karena tidak

terganggu oleh adanya pedagang-pedagang tersebut.

b. Kondisi Sekolah Bangunan

Sekolah terdiri dari 7 ruang kelas yang sudah permanen, kantor

guru berada di dekat tangga naik menuju lantai 2,sehingga siswa yang

naik atau turun tangga dapat terawasi, kantor kepala sekolah

bersebelahan dengan kantor guru dan ruang operator. Namun

demikian SDN Inti Belitung Selatan 1 masih sangat memerlukan

tambaharn ruang kelas, mengingat semakin meningkatnya minat

masyarakat untyk menyekolahkan putranya di SDN Inti Belitung

Selatan 1,Ruang Perpustakaan,karena perpustakaan masih

menggunakan ruang rumah dinas guru, juga ruang labolatorium IPA

WC guru sudah terpenuhi, WC siswa ada 5 bilik namun yang 2 rusak

berat Halaman sudah batako semua, namun dengan adanya rehap

sekolah, banyak truk pengangkut material masuk ke halaman

menyebabkan batako ambles dan tertutup tanah. Penghijauan sekolah

masih dalam tahap perintisan, sehingga halaman belum kelihatan hijau

sekali dan belum dapat memberi kenyamanan siswa untuk bermain

dan berolah raga di tempat yang teduh. Sekolah masih mempunyai PR


97

yang harus segera direalisasikan yaitu memperbaiki batako halaman

sekolah yang ambles sedikit karena truk pengangkut material masuk

ke halaman pada saat rehap sekolah mengakibatkan bila musim hujan

air menggenang di halaman . Sekolah mau mengambill langkah untuk

memperbaiki bagian halaman yang sering tergenang air, namun

mengingat rehap ruang kelas masih tersisa 1 yang belum

direhap,sehinggadikwawatirkan pada saat pembangunan ruang kelas

yang letaknya tepat di atas ruang kepala sekolah itu akan berdampak

rusaknya batako di halaman lagi. Dibalik kekurangan-kekurangan

tentang fisik sekolah, namun kami patut berbangga karena SDN Inti

Belitung Selatan 1 mempunyai tenaga pengajar yang cukup ulet. Hal

ini terbukti dengan prestasi yang diraih siswa selama ini. Kami patut

berbangga hari karena pada tahun pelajaran 2016/ 2017 lulusan SDN

Inti Belitung Selatan 1 bisa menduduki peringkat ke 6 ( enam ) se kota

Banjarmasin dan peringkat ke 1 dari 10 sekolah yang ada di gugus

Belitung. Prestasi itu sudah sangat membanggakan. Demikian juga

prestasi siswa di bidang ekstrakurikuler seperti Karate , Pramuka,

yang juga sering mendapatkan kejuaraan. Hal ini tentu saja harus

dipertahankan dan terus dikembangkan. Demikian tentang gambaran

kondisi sekolah SDN Inti Belitung Selatan 1 Banjarmasin ini, tetapi

untuk kemajuan kedepan perlu ditambahkan sarana penunjang yang

masih kurang dan sangat diperlukan baik untuk keperluan sekolah

,murid dan guru. Diantaranya ruang perpustakaan yang permanen dan

memenuhi syarat, labolatorium IPA dan sanggar Pramuka . Sanggar


98

Pramuka sangat diperlukan , karena kegiatan Elstrakurikuler Pramuka

merupakan keunggulan dari pada program sekolah Untuk itu dari

waktu ke waktu perlu dipikirkan bagaimana usaha-usaha yang

dilakukan agar sekolah ini tidak ketinggalan baik sarana maupun

prasarananya sehingga dapat menunjang proses belajar mengajar

dengan baik dan bisa menjadi sekolah faforit yang benar-benar

diminati masyarakat dan bias bersaing dengan sekolah-sekolah

disekitarnya

c. Tujuan Pendidikan, Visi, Misi, Tujuan Sekolah

A. Tujuan Pendidikan

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah Negara Indonesia yang

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban

dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan

keadilan sosial;Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 mengamanatkan pemerintah mengusahakan dan

menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang

meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha

Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan

bangsa yang diatur dengan undang-undang.

Sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin

pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta


99

relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi

tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal,

nasional, dan global sehingea perlu dilakukan pembaharuan

pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional tidak memadai lagi dan perlu diganti serta

perlu disempurnakan agar sesuai dengan amanat perubahan

Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk

mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta

didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untu memiliki

kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,

kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan

dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.

Pendidikan nasional merupakan pendidikan yang berdasarkan

Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan

nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan

zaman.

Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen

pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai

tujuan pendidikan nasional. Untuk terwujudnya sistem Pendidikarn

Nasional dalam rangka mencapai tujuan pendidikan Nasional maka

pemerintah perlu menetapkan Standar Nasional Pendidikan ( SNP)


100

Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem

pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

Standar Nasional Pendidikan bertujuan menjamin mutu

pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa

dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.

Tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan dasar dirumuskan

mengacu pada tujuan umum pendidikan yaitu meletakkan dasar

kecerdasan ,pengetahuan dan kepribadian, ahlkaq mulia, serta

keterampilan untuk hidup mandiri mengikuti pendidikan lebih

lanjut.

Dalam rangka mencapai tujuan pendidikan Nasional yaitu

mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya berdasarkan Pancasila

dan Undang-Undang Dasar 1945 maka setiap satuan pendidikan

diwajibkan menentukan Visi Misi Sekolah.

A. VISI:

Visi merupakan citra moral yang menggambarkan profil

sekolah yang diinginkan di kebijakan pendidikan masa mendatang.

Namun demikian visi sekolah tetap berada pada koridor nasional.

Visi harus memperhatikan / mempertimbangkan potensi yang

dimilki sekolah, harapan masyarakat yang dilayani sekolah. Dalam

merumuskan visi dan misi sekolah pihak-pihak yang terkait (stake

holder) yakni komite sekolah, kepala sekolah dan guru

bermusyawarah sehingga visi sekolah dapat mewakili apresiasi.


101

SDN Inti Belitung Selatan 1 memiliki citra moral yang

menggambarkan profil sekolah di masa depan yang diwujudkan

dalam visi sekolah berikut:

Adapun Visi , Misi dan tujuan SDN Inti Belitung Selatan 1

adalah: VISI: "Beraklaq Mulia, Santun Dalam Budaya Unggul

dalam Iptek dan Imtaq"

B. Misi

1. Menanamkan kebiasaan taat melaksanakan ajaran agama.

2. Menanamkan nilai - nilai karakter bangsa yang berkualitas.

3. Menanamkan sumber daya manusia yang berbudaya,cerdas,

trampail, berbudi luhur.

4. Meningkatkan prestasi akademik.

5. Menguasai dasar-dasar ilmu pengetahuan sebagai bekal

melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi.

6. Menumbuhkan semangat keunggulan kepada seluruh warga

sekolah.

7. Mendorong dan membantu setiap siswa untuk mengembangkan

potensi dirinya.

8. Menerapkan manajemen partisipatif dengan melibatkan seluruh

warga

C. Tujuan :

1. Mengamalkan ajaran agama hasil proses pembelajaran dan

kegiatan pembiasaan.

2. Menanamkan nilai-nilai karakter bangsa yang berkualitas.


102

3. Siswa diberi siraman rohani, latihan fisik dengan melaksanakan

Jum'at Taqwa dan Senam Pagi.

4. Menanamkan kebiasaan berperilaku santun di semua tempat.

5. Meraih prestasi akademik /non akademik minimal di tingkat

kecamatan .

6. Siswa melatih daya nalar dan kreativitas dalam belajar melalui

media pembelajaran

7. Siswa dapat menerapkan pengetahuan, kemampuan, dan

ketrampilan yang mantab untuk melanjutkan pendidikan ke

tingkat yang lebih tinggi.

8. Siswa terampil, kreatif, dan bekerja untuk mandiri serta dapat

mengembangkan diri secara terus menerus.

9. Siswa peduli terhadap kebersihan, keindahan, dan kerindangan

lingkungan sehingga tercipta lingkungan sekolah yang sejuk,

sehat, tertib dan indah (Sehati) dan menjadikan sekolah sebagai

tempat favoritnya
103

B. Karakteristik Responden

Responden dalam penelitian ini berjumlah 42 orang yang bersedia sesuai

dengan kriteria inklusi dan ekslusi yang telah ditetapkan sebelumnya.

Karakteristik responden dalam penelitian ini menyajikan gambaran responden

penelitian yang didasarkan pada tingkat usia/umur, tingkat pendidikan.

1. Distribusi frekuensi responden berdasarkan usia

Berikut tabel distribusi frekuensi berdasarkan usia responden:

Tabel 4.1 Karakteristik Responden berdasarkan Usia (Ayah).

No Usia N Persentase (%)


1. 15 – 23 tahun 0 0%
2. 24 – 32 tahun 0 0%
3. 33 – 41 tahun 23 54,7%
4. 42 – 49 tahun 18 42,8%
5. 50 – 58 tahun 1 2,3%
Jumlah 42 100%
Sumber Data : Primer

Tabel 4.1 memperlihatkan bahwa responden usia tertimggi orang tua

(Ayah) berumur 33 – 41 tahun atau dengan jumlah 23 orang Ayah (54,7%),

dan untuk yang terendah 50-58 yang berjumlah 50-58 (2,3%) . Umur

mempengaruhi kematangan berpikir dan pengalaman yang didapat semakin

bertambah sejalan dengan pertambahan umur sehingga dapat dijelaskan

bahwa umur berpengaruh terhadap pengetahuan seseorang.

Penggolongan umur dibagi kedalam sembilan kelompok menurut

Depkes RI, (2009) yaitu : masa balita (0-5 tahun), masa kanak-kanak (5-11

tahun), masa remaja awal (11-16 tahun), masa remaja akhir (17-25 tahun),

masa dewasa awal (26-35 tahun), masa dewasa akhir (36-45 tahun), masa

lansia awal (46-65 tahun), masa lansia akhir (56-65 tahun), dan masa

manula (65 keatas).


104

Teori Devaney, (E., O’Brien, M. U., 2005) dalam jurnal Harmaini

(2014) Ayah merupakan salah satu figur yang berperan dalam keluarga.

Fungsi dan tugas ayah tentu tidak sama dengan Ibu. Ibu lebih berorientasi

pada pengasuhan sedangkan ayah lebih kepada perlindungan. Orientasi ini

dari waktu kewaktu mengalami perubahan baik pada substansinya atau

implementasinya. Substansi pada pengasuhan adalah ibu lebih banyak

berada dirumah sebagai wujud dari pengasuhan untuk menjaga dan merawat

anak sebagai implementasi dari pengasuhan untuk memenuhi nafkah batin

anak, sedangkan susbstansi perlindungan adalah Ayah lebih banyak berada

diluar rumah mencari dan memenuhi nafkah lahir sebagai implementasi dari

perlindungan. Substansi dan implementasi dari kedua hal tersebut

mengalami perubahan, hal ini karena terjadinya perubahan dalam struktur

dan pola hubungan antar anggota keluarga serta ada perhubungan dengan

peran publik dan domestik karena perubahan awal terbentuknya keluarga

Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Mashudi (2012)

yang menyatakan bahwa salah satu karakteristik keluarga adalah mampu

menciptakan, mempertahankan budaya, meningkatkan perkembangan fisik,

psikologis, dan sosial keluarga.

Peneliti berpendapat bahwa Usia yang masih produktif membuat

seseorang mampu menjalankan karakteristiknya didalam keluarga dengan

baik, sehingga fungsi dan peranannya dalam keluarga baik sebagai suami,

istri, ayah dan ibu dari anak-anaknya dapat tercapai dengan maksimal. Usia

orang tua (Ayah) yang masih masuk usia produktif karena kondisi fisik yang

masih prima yang dimana ayah masih mampu memberikan nafkah dan
105

memenuhi asupan gizi anak dari hasil pekerjaanya untuk keluarganya.

Kewajiabn ini mutlak dipenuhi ayah karena ayah bekerja di luar rumah

mencari nafkah. peran ayah dalam keluarga terutama untuk anaknya dalam

hal gizi adalah sebagai penyedia kebutuhan gizi, pembuat keputusan

memilih untuk gizi yang baik untuk anaknya berbeda dengan ibu (yang

tidak bekerja), yang punya lebih banyak waktu dirumah untuk anaknya,

mengawasi, membimbing, dan merawat anak.

Tabel 4.2 Karekteristik Responden berdasarkan Usia (Ibu).

No Usia N Persentase (%)


1. 15 – 23 tahun 0 0%
2. 24 – 32 tahun 8 19,0%
3. 33 – 41 tahun 26 61,9%
4. 42 – 49 tahun 6 14,2%
5. 50 – 58 tahun 1 2,3%
Jumlah 42 100%
Sumber Data : Primer

Tabel 4.2memperlihatkan bahwa sebagian besar responden orang tua

(Ibu) berumur 33 – 41 tahun atau dengan jumlah tertinngi terdapat 26 orang

Ibu (61%), dan yang terendah 50-58 (2,3).Semakin cukup umur, tingkat

kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan

bekerja.

Teori Husnul Khotimah (2014) juga menyatakan bahwa usia

merupakan indikator penting dalam menentukan produktifitas seseorang

dibandingkan dengan orang yang lebih tua, orang yang masih muda

memiliki produkifitas yang lebih tinggi, karena kondisi fisik dan kesehatan

orang muda yang masih prima.

Teori Potter & Perry (2005) dalam jurnal Sanny Rachmawati

Setyaningsih (2014) mayoritas ibu berada pada rentang usia 33-41 tahun
106

atau fase dewasa awal. Pada fase ini, tanggung jawab dalam mengasuh anak

termasuk pola asuh dalam hal gizi merupakan tahapan kehidupan yang

wajar dialami (Potter & Perry, 2005).

Teori Rahardjo (2011), menyatakan bahwa umur merupakan salah satu

faktor yang dapat menggambarkan kematangan seseorang artinya dalam hal

kematangan pembentukan pola konsumsi makanan yang berpengaruh

terhadap status gizi.

Peneliti berpendapat bahwa usia ibu termasuk dalam usia rentang usia

33-41 tahun atau fase dewasa awal. Pada fase ini, tanggung jawab dalam

mengasuh anak termasuk pola asuh dalam hal gizi, dan seharusnya memiliki

pertimbangan dalam memutuskan permasalahan dan kebutuhan terutama

kebutuhan untuk anak dalam hal gizi.

2. Distribusi frekuensi responden berdasarkan pendidikan

Tabel 4.3 Karakteristik Responden berdasarkan Pendidikan (Ayah)

No Pendidikan N Persentase (%)


1. SD 2 4,7%
2. SMP 8 19,0%
3. SMA 24 57,1%
4. Diploma/Sarjana 8 19,0%
Jumlah 42 100%
Sumber Data : Primer

Responden pada penelitian ini sebagian besar menunjukan dengan

Pendidikan (Ayah) tertinggi SMA dengan jumlah 24 orang (53,2%), dan

yang terendah SD dengan jumlah 2 orang (4,7%). Pendidikan orang tua

(Ayah) terbanyak berpendidikan Sekolah Menengah Atas juga

mempengaruhi tingkat pengetahuan mereka, pendidikan merupakan akses

utama untuk mendapatkan informasi atau ilmu pengetahuan yang lebih

banyak, makin tinggi pendidikan seseorang, maka makin mudah dalam


107

memperoleh dan menerima informasi, sehingga pengetahuan akan informasi

tentang gizi harusnya baik dan juga pemahaman akan pentingnya kebutuhan

nutrisi yang cukup baik untuk anak.

Menurut Yudesti (2012) dan Ernawati (2006) semakin tinggi tingkat

pendidikan orang tua semakin baik pertumbuhan anaknya. Schultz, (1984)

menjelaskan setidaknya ada lima upaya yang merupakan imbas dari

pendidikan ibu dan ayah yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan

perkembangan anak. Pertama, pendidikan akan meningkatkan sumberdaya

keluarga. Kedua, pendidikan akan meningkatkan pendapatan keluarga.

Ketiga, pendidikan akan meningkatkan alokasi waktu untuk pemeliharaan

kesehatan anak. Keempat, pendidikan akan meningkatkan produktivitas dan

efektifitas pemeliharaan kesehatan. Kelima, pendidikan akan

meningkatkan referensi kehidupan keluarga.

Penelitian yang dilakukan oleh Kusuma (2011) yaitu tingkat pendidikan

ibu ternyata berpengaruh terhadap status gizi anak berdasarkan berat badan

maupun tinggi badan Hal ini sejalan dengan teori Gerungan (2004) yang

menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka

semakin mudah menerima informasi sehingga semakin banyak pula

pengetahuan yang dimiliki. Sebaliknya tingkat pendidikan rendah akan sulit

untuk menerima arahan dalam pemenuhan gizi dan mereka sering tidak mau

atau tidak meyakini pentingnya pemenuhan kebutuhan gizi atau pentingnya

pelayanan kesehatan lain yang menunjang dalam membantu pertumbuhan

dan perkembangan anak. Hasil penelitian ini juga mendukung penelitian

Ariyana (2007) yang membuktikan bahwa tingkat pendidikan ibu sangat


108

berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat

pendidikan ibu yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau

masyarakat untuk menyerap informasi dan menerapkan dalam perilaku dan

gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi.

Peneliti berpendapat bahwa pendidikan formal merupakan dasar

pengetahuan intelektual yang dimiliki seseorang, dengan pendidikan yang

tinggi dimana diharapkan bahwa orang tersebut akan semakin luas pula

pengetahuannya dan semakin mudah dalam menerima informasi

(cetak/elektronik) terutama dalam gizi yang baik untuk anak. Sehingga

semakin banyak informasi yang diterima yaitu informasi kesehatan

mengenai status gizi pada anak untuk menghindari gizi buruk, gizi kurang,

overweight, dan obesitas, pendapat peneliti lainnya adalah pendidikan yang

tinggi tidaklah juga mutlak bahwa orang tersebut memiliki pengetahuan

tentang gizi yang baik, sebaliknya orang yang memiliki pendidikan yang

rendah belum tentu juga memiliki pengetahuan tentang gizi yang kurang,

pengetahuan tidak hanya didapat dari pendidikan tetapi bisa juga didapatkan

dari informasi (tenaga kesehtan, media cetak/elektronik), sehingga tingkat

pengetahuan tentang gizi lebih luas.

Tabel 4.4 Karakteristik Responden berdasarkan Pendidikan (Ibu).

No Pendidikan N Persentase (%)


1. SD 5 11,9%
2. SMP 7 16,6%
3. SMA 22 53,2%
4. Diploma/Sarjana 8 19,0%
Jumlah 42 %

Sumber Data : Primer


109

Responden pada penelitian ini sebagian besar menunjukan dengan

Pendidikan (Ibu) tertinggi adalah SMA dengan jumlah 22 orang (53,2%),

dan yang terendah adalah SD dengan jumlah 5 orang (11,9%). Pendidikan

orang tua yang terbanyak sampai Sekolah Menengah Atas juga

mempengaruhi tingkat pengetahuan mereka, pendidikan merupakan akses

utama untuk mendapatkan informasi atau ilmu pengetahuan yang lebih

banyak, makin tinggi pendidikan seseorang, maka makin mudah dalam

memperoleh dan menerima informasi, sehingga pengetahuan akan informasi

tentang gizi yang baik dan pemahaman akan pentingnya kebutuhan nutrisi

gizi yang cukup untuk keluarga terutama anak.

Teori Notoatmojo (2003) Perlu dipertimbangkan bahwa tingkat

pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan

memahami pengetahuan gizi yang diperoleh. Semakin tinggi pendidikan ibu

akan meningkatkan kemampuan ibu dalam menyerap ilmu pengetahuan

praktis dan pendidikan non formal terutama melalui televisi,surat kabar,

radio, dan lain-lain.

Teori Cahyaningsih (2011) Dengan pendidikan yang baik, maka orang

tua dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara

pengasuhan anak yang baik, asupan gizi yang sesuai, sehingga orang tua

dapat menjaga kesehatan anaknya, pendidikan dan sebagainya.

Teori Terati, et al (2011) Pendidikan ibu merupakan modal utama

dalam menunjang ekonomi keluarga juga berperan dalam penyusunan

makanan keluarga, serta pengasuhan dan perawatan anak. Bagi keluarga

dengan tingkat pendidikan tinggi akan lebih mudah menerima informasi


110

kesehatan khususnya bidang gizi, sehingga dapat menambah

pengetahuaanya dan mampu menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Penelitian yang dilakukan oleh Kusuma (2011) yaitu tingkat pendidikan

ibu ternyata berpengaruh terhadap status gizi anak berdasarkan berat badan

maupun tinggi badan Hal ini sejalan dengan teori Gerungan (2004) dalam

jurnal Ratna Kusuma Astuti (2012) yang menyatakan bahwa semakin tinggi

tingkat pendidikan seseorang, maka semakin mudah menerima informasi

sehingga semakin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Sebaliknya

tingkat pendidikan rendah akan sulit untuk menerima arahan dalam

pemenuhan gizi dan mereka sering tidak mau atau tidak meyakini

pentingnya pemenuhan kebutuhan gizi atau pentingnya pelayanan kesehatan

lain yang menunjang dalam membantu pertumbuhan dan perkembangan

anak. Hasil penelitian ini juga mendukung penelitian Ariyana (2007) yang

membuktikan bahwa tingkat pendidikan ibu sangat berpengaruh terhadap

perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan ibu yang

lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap

informasi dan menerapkan dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari,

khususnya dalam hal kesehatan dan gizi.

Sejalan dengan penelitian Devi Kristanti (2012) yang menyatakan

bahwa sebagian besar ibu memiliki tingkat pendidikan yang tinggi dengan

status gizi anak tergolong baik/normal. Hal ini bisa disebabkan karena ibu

dengan tinkat pendidikan tinggi cenderung memiliki pengetahuan yang luas

dan mudahnya menangkap informasi baik dari pendidikan formal yang di

tempuh maupun dari media massa (cetak/elektronik) untuk menjaga


111

kesehatan anak dalam mencapai status gizi yang baik sehingga

perkembangan anak menjadi lebih optimal.

Peneliti berpendapat bahwa tingkat pendidikan ibu turut pula

menentukan status gizi anak, pendidikan modal utama ibu dalam menunjang

ekonomi keluarga dan juga dalam penyusunan makanan keluarga, serta

pengasuhan dan perawatan anak. Keluarga dengan tingkat pendidikan tinggi

akan lebih mudah menerima informasi kesehatan khususnya bidang gizi

pendidikan ibu mempunyai peranan penting dalam menentukan status gizi

anak. Pendidikan ibu yang akan membawa dampak yang baik, karena

pendidikan ibu yang lebih tinggi diharapkan dapat meningkatkan status gizi

dan menghindari gizi buruk, gizi kurang, overweigt ataupun obesitas, karena

semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan semakin baik cara

pandang terhadap diri dan lingkungan dan keluarganya. Semakin tinggi

tingkat pendidikan seseorang maka semakin mudah menerima informasi

yang bisa didapat melalui pendidikan formal maupun media massa

cetak/elektronik dan semakin banyak pula pengetahuan dan wawasan yang

dimiliki.

3. Distribusi frekuensi responden berdasarkan pekerjaan

Tabel 4.5 Karakteristik Responden berdasarkan Pekerjaan (Ayah)

No Pekerjaan N Persentase (%)


1. PNS 4 9,5%
2. Wiraswasta 22 52,3%
3. Tani 1 2,3%
4. Jawaban Lain (Buruh, Karyawan, dll) 15 35,7%
Jumlah 42 100%

Sumber Data : Primer


112

Berdasarkan Tabel 4.5 diatas menunjukkan hasil distribusi responden

berdasarkan pekerjaan terbanyak (Ayah) berada di kategori wiraswasta

dengan jumlah 22 orang (52,3%), dan yang terendah Tani 1 orang (2,3%)

Banyaknya ayah yang mempunyai pekerjaan dikarenakan sebagian besar

ayah sebagian besar berpendidikan Sekolah Menengah Atas, sehingga

membuat para ayah bisa mendapatkan pekerjaan dan membuat usaha

pribadi.

Teori Sumardi (2008) yang menyatakan bahwa pekerjaan yang baik

tentu akan memberikan penghasilan atau pendapatan yang baik pula,

sehingga dapat mencukupi kebutuhan akan pangan dan kesehatan, jika

dilihat dari pekerjaan dan ditunjang dengan jumlah anggota keluarga yang

besar kemungkinan besar untuk mencukupi kebutuhan akan pangan tidak

akan tercapai sehingga status gizi anak juga tidak akan baik.

Teori Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat (2014) Latar

belakang pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur penting yang

dapat mempengaruhi keadaan gizinya karena dengan tingkat pendidikan

yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan atau informasi tentang gizi yang

dimiliki menjadi lebih baik,

Menurut Djola (2012) tingkat pendapatan dapat dibagi menjadi 2 yaitu

rendah dan tinggi berdasarkan dengan upah minimum pekerjaan (UMP).

Dimana apabila kurang dari UMP pendapatan tersebut termasuk kategori

rendah sedangkan apabila diatas UMP termasuk ke kategori tinggi. Semakin


113

tinggi pendapatan suatu keluarga maka akan semakin tinggi pula status gizi

anak.

Penelitian ini sejalan dengan teori Mubarak (2008), mengungkapkan

bahwa pekerjaan merupakan pusat sumber penghasilan dalam pemenuhan

kebutuhan hidup sehari-hari. Pekerjaan yang diperoleh apabila seseorang

atau individu memiliki keterampilan dan keahlian tertentu. Keterampilan

dan keahlian tersebut didapat apabila seseorang memiliki pengetahuan yang

luas serta dari pendidikan yang layak sesuai profesinya. Penelitian ini

didukung pula oleh teori Adriani dan Wiradmadji (2014) bahwa jenis

pekerjaan kepala rumah tangga dan anggota keluarga lainnya akan

digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga seperti makanan

yang bergizi dan peralatan kesehatan serta keperluan rumah tangga lainnya.

Pekerjaan akan mempengaruhi status ekonomi, karena penghasilan keluarga

akan berpengaruh terhadap keadaan status ekonomi keluarga. Cukupnya

pendapatan keluarga maka akan dengan mudah untuk memenuhi kebutuhan

nutrisi semua anggota keluarga.

Peneliti berpendapat bahwa Tingkat pendapatan keluarga sangat

mempengaruhi tercukupi atau tidaknya kebutuhan primer, sekunder, serta

perhatian dan kasih sayang yang akan diperoleh anak. Pendapatan keluarga

mencakup data sosial seperti keadaan keluarga, pendidikan, keadan

perumahan. Data ekonomi meliputi pekerjaan, pendapatan, kekayaan,

pengetahuan dan harga makanan yang tergantung pada dasar dan variasi

musim. Secara garis besar pendapatan keluarga dapat diartikan dengan


114

sejumlah upah yang diterima oleh anggota keluarga yang digunakan untuk

memenuhi kebutuhan primer, sekunder, tersier. pendidikan seseorang

merupakan salah satu unsur penting yang dapat mempengaruhi keadaan

gizinya karena dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan

pengetahuan atau informasi tentang gizi yang dimiliki menjadi lebih baik.

Tabel 4.6 Karakteristik Responden berdasarkan Pekerjaan (Ibu)

No Pekerjaan N Persentase (%)


1. PNS 3 7,1%
2. Wiraswasta 7 16,6%
3. Tani 0 0%
4. Jawaban Lain (IRT, Karyawan, Buruh, dll) 32 76,1%
Jumlah 42 100%

Sumber Data : Primer

Berdasarkan Tabel 4.6 diatas menunjukkan hasil distribusi responden

berdasarkan pekerjaan terbanyak (Ibu) berada di kategori Jawaban lain

(Buruh, karyawan, Ibu rumah tangga) dengan jumlah 32 orang (76,1%), dan

terendah dengan jumlah 3 yaitu PNS (7,1%), Banyaknya ibu yang

mempunyai pekerjaan dikarenakan sebagian besar ibu berpendidikan

jenjang Sekolah Menengah Atas, sehingga membuat para ibu bisa dalam

mendapatkan pekerjaan.

Teori Putri & Kusbaryanto (2012) Saat ini banyak ibu yang memilih

bekerja dengan alasan memperbaiki kondisi perekonomian keluarga. Salah

satunya adalah kemiskinan dan banyaknya pengangguran, sehingga ibu

memilih untuk membantu memperbaiki ekonomi keluarga dalam memenuhi

kebutuhan anggota keluarga (Oemar & Novita, 2015).


115

Sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Efendi dan Makhfudli

(2009) yang menyatakan bahwa peran ibu adalah sebagai pengasuh dan

pendidik anak-anaknya, dan lain sebagainya. Oleh karena itu

kecenderungan responden paling banyak ditemui dalam penelitian adalah

seorang IRT.

Sejalan dengan penelitian Felvia yang menyatakan ibu yang bekerja di

luar rumah cenderung memiliki waktu terbatas untuk melaksanakan tugas

rumah tangga dibandingkan ibu yang tidak bekerja. Oleh karena itu

pekerjaan ibu akan berpengaruh terhadap terganggunya status gizi anak

sehingga dapat menghambat tumbuh kembang anak.

Sejalan dengan Penelitian yang dilakukan oleh Yusrizal (2008) dalam

jurnal Ratna Kusuma Astuti (2011) dilihat dari hasil sebuah pekerjaan,

pekerjaan merupakan suatu faktor yang berpengaruh terhadap gizi

disimpulkan bahwa faktor sosial ekonomi masyarakat (jenis pekerjaan)

berpengaruh terhadap status gizi anak

Peneliti berpendapat bahwa ibu rumah tangga (IRT) memiliki tugas dan

peranan penting seperti bertanggung jawab untuk mendidik anak-anaknya,

dan lainsebagainya. Sama halnya dengan tugas dan peranan IRT dalam

mengawasi status gizi anaknya dan memberikan makanan bergizi yang baik

untuk pertumbuhan anaknya. Orang tua (Ibu) yang tidak bekerja memiliki

waktu yang banyak untuk mengasuh anaknya dibandingkan orang tua (Ibu)

yang bekerja. Pengetahuan Ibu yang tidak bekerja (Ibu Rumah Tangga)

tentang makanan dan minuman yang baik untuk gizi anak bisa di dapat
116

melalui informasi TV, internet/media massa (cetak/elektronik, tenaga

kesehatan, dll). Ibu yang tidak bekerja (Ibu Rumah Tangga) akan memiliki

waktu untuk membuat bekal makanan atau makanan kecil/pendamping bagi

anak, sehingga kebiasaan jajan anak disekolah akan dibatasi.

4. Distribusi frekuensi responden berdasarkan pendapatan

Tabel 4.7 Karakteristik Responden berdasarkan pendapatan (Ayah)

No Pendapatan N Persentase (%)


1. > Rp.1.000.000 27 64,2%
2. Rp.750.000-Rp.1.000.000 7 16,6%
3. Rp.500.000-Rp.750.000 4 9,5%
4. <Rp.500.000 4 9,5%
Jumlah 42 %
Sumber Data : Primer

Berdasarkan Tabel 4.7 diatas menunjukkan hasil distribusi responden

berdasarkan pendapatan terbanyak (Ayah) berada di kategori pendapatan

>Rp.1.000.000 dengan jumlah 27 orang (64,2%), dan untuk yang terendah

adalah Rp.750.000-Rp.1.000.000 dengan jumlah 4 orang (9,5%) dan

Rp.500.000-Rp.750.000 dengan jumlah 4 orang (9,5%). Dengan pendapatan

yang tinggi diharapkan orang tua (Ayah) dapat memenuhi sandang dan

pangan yang baik dan status gizi untuk keluarga.

Warawu (2002) dalam jurnal Ratna Kusuma Astuti (2011) menyatakan

bahwa kemampuan keluarga untuk membeli bahan makanan antara lain

tergantung pada besar kecilnya pendapatan keluarga. Keluarga dengan

pendapatan terbatas kemungkinan besar akan kurang dapat memenuhi

kebutuhan makanannya terutama untuk memenuhi kebutuhan zat gizi dalam

tubuhnya.
117

Penelitian Muhammad ridwan Galani (2014) tingginya tingkat

pendapatan cenderung di ikuti dengan tingginya Jumlah dan jenis pangan

yang dikomsumsi. Tingkat pendapatan akan mencerminkan kemampuan

untuk membeli bahan pangan. Secara teoritis terdapat hubungan positif

antara pendapatan dengan jumlah permintaan pangan. Makin tinggi

pendapatan akan semakin tinggi daya beli keluarga terhadap pangan.

Sehingga akan membawa pengaruh terhadap semakin beragam dan

banyaknya pangan yang dikomsumsi.

Sejalan dengan teori Padmiari dan Hadi (2009) Orang tua yang

mempunyai pendapatan perbulan tinggi akan mempunyai daya beli yang

tinggi pula, sehingga memberikan peluang yang lebih besar untuk memilih

berbagai jenis makanan. Adanya peluang tersubut mengakibatkan pemilihan

jenis makanan tidak lagi didasarkan pada kebutuhan dan pertimbangan

kesehatan, tetapi lebih mengarah kepada prtimbangan rasa makanan yang

enak. Kebanyakan makanan yang menjadi pilihan anak dan orang tua

tersebut mengandung kalori dan lemak yang tinggi. Peningkatan pendapatan

orang tua juga akan meningkatkan konsumsi makan, terutama makanan

yang mahal dan enak, seperti berbagai jenis fast food.

Peneliti berpendapat dengan tingginya tingkat pendapatan cenderung di

ikuti dengan tingginya Jumlah dan jenis pangan yang dikomsumsi. Makin

tinggi pendapatan akan semakin tinggi daya beli keluarga terhadap pangan.

Sehingga akan membawa pengaruh terhadap semakin beragam dan

banyaknya pangan yang dikomsumsi. Adanya peluang tersubut


118

mengakibatkan pemilihan jenis makanan tidak lagi didasarkan pada

kebutuhan dan pertimbangan kesehatan, tetapi lebih mengarah kepada

prtimbangan rasa makanan yang enak. Kebanyakan makanan yang menjadi

pilihan anak dan orang tua tersebut mengandung kalori dan lemak yang

tinggi. Peningkatan pendapatan orang tua juga akan meningkatkan konsumsi

makan, terutama makanan yang mahal dan enak, seperti berbagai jenis fast

food.

Tabel 4.8 Karakteristik Responden berdasarkan pendapatan (Ibu)

No Pendapatan N Persentase (%)


1. > Rp.1.000.000 16 38,0%
2. Rp.750.000-Rp.1.000.000 10 23,8%
3. Rp.500.000-Rp.750.000 7 16,6%
4. <Rp.500.000 9 21,4%
Jumlah 42 %
Sumber Data : Primer

Berdasarkan Tabel 4.7 dan 4.8 diatas menunjukkan hasil distribusi

responden berdasarkan pendapatan terbanyak untuk (Ibu) terbanyak berada

di kategori >1.000.000 dengan jumlah 16 orang (38,0%), dan yang terendah

Rp.500.000-Rp.750.000, dengan jumlah 7 Orang (18,8%).

Teori Warawu (2002) dalam jurnal Ratna Kusuma Astuti (2011)

menyatakan bahwa kemampuan keluarga untuk membeli bahan makanan

antara lain tergantung pada besar kecilnya pendapatan keluarga. Keluarga

dengan pendapatan terbatas kemungkinan besar akan kurang dapat

memenuhi kebutuhan makanannya terutama untuk memenuhi kebutuhan zat

gizi dalam tubuhnya.


119

Teori Hidayati, dkk (2006) peningkatan pendapatan juga dapat

mempengaruhi jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Peningatan

kemakmuran di masyarakat yang diikuti oleh peningkatan pendidikan dapat

mengubah gaya hidup dan pola makan dari pola makan tradisional ke pola

makan praktis dan siap saji yang dapat menyebabkan gizi tidak seimbang.

Penelitian Repi (2013), tinnginya pendapatan jika tidak diimbagi

dengan pengetahuan yang cukup bisa menyebabkan seseorang menjadi

konsumtif dikarenakan pemilihan makanan bukan didasarkan dari aspek gizi

melainkan dari aspek selera makan. Hal ini membuat sebagian besar orang

yang berpenghasilan tinggi dan memiliki aktifitas yang padat membuat

mereka tidak sempat menyiapkan makanan sendiri sehinga mereka sering

membeli makanan siap saji saja sehingga status gizi anak tidak diperhatikan.

Sejalan dengan teori Padmiari dan Hadi (2009) Orang tua yang

mempunyai pendapatan perbulan tinggi akan mempunyai daya beli yang

tinggi pula, sehingga memberikan peluang yang lebih besar untuk memilih

berbagai jenis makanan. Adanya peluang tersubut mengakibatkan pemilihan

jenis makanan tidak lagi didasarkan pada kebutuhan dan pertimbangan

kesehatan, tetapi lebih mengarah kepada prtimbangan rasa makanan yang

enak. Kebanyakan makanan yang menjadi pilihan anak dan orang tua

tersebut mengandung kalori dan lemak yang tinggi. Peningkatan pendapatan

orang tua juga akan meningkatkan konsumsi makan, terutama makanan

yang mahal dan enak, seperti berbagai jenis fast food.


120

Peneliti berpendapat bahwa Pendapatan adalah hasil yang diperoleh

dari kerja atau usaha yang telah dilakukan. Pendapatan akan mempengaruhi

gaya hidup seseorang. Orang atau keluarga yang mempunyai status ekonomi

atau pendapatan tinggi akan mempraktikkan gaya hidup yang mewah

misalnya lebih komsumtif karena mampu untuk membeli semua yang

dibutuhkan bila dibandingkan dengan keluarga yang kelas ekonominya

kebawah. Adanya peluang tersubut mengakibatkan pemilihan jenis makanan

tidak lagi didasarkan pada kebutuhan dan pertimbangan kesehatan, tetapi

lebih mengarah kepada prtimbangan rasa makanan yang enak. Kebanyakan

makanan yang menjadi pilihan anak dan orang tua tersebut mengandung

kalori dan lemak yang tinggi.

Tabel 4.9 Karakteristik Responden berdasarkan Harta Kekayaan (Tipe

Rumah)

No Status Rumah N Persentase (%)


1. Permanen 8 19,0%
2. Semi Permanen 12 28,5%
3. Kayu 22 52,3%
4. Bambu 0 0%
Jumlah 42 100%

Sumber Data : Primer

Berdasarkan Tabel 4.9 diatas menunjukkan hasil distribusi responden

berdasarkan harta kekayaan (Tipe Rumah) terbanyak berada di kategori

Kayu dengan jumlah 22 orang (52,3%), dan yang terendah adalah permanen

dengan jumlah 8 Orang (19,0%). Rata-rata untuk tipe rumah yang di miliki

orang tua (Ayah/Ibu) adalah kayu, karena rumah kayu itu adalah ciri khas

dan sangat erat budanya yaitu dengan budaya kalimantan Selatan

Banjarmasin.
121

Tabel 4.10 Karakteristik Responden berdasarkan Harta Kekayaan (Status

Rumah)

No Status Rumah N Persentase (%)


1. Rumah Sendiri 20 47,6%
2. Rumah Dinas 0 0%
3. Rumah Kontrakan 4 9,5%
4. Rumah Orang Tua 18 42,8%
Jumlah 42 100%
Sumber Data : Primer

Berdasarkan Tabel 4.10 diatas menunjukkan hasil distribusi responden

berdasarkan harta kekayaan (Status Rumah) terbanyak berada di kategori

Rumah Sendiri dengan jumlah 20 orang (47,6%), dan yang terendah adalah

Rumah Kontrakan dengan jumlah 4 Orang (9,5%). Rata-rata rumah yang

dimiliki orang tua (Ayah/Ibu) adalah rumah sendiri, karena sesuai dengan

pekerjaan dan pendapatan keluarga yang dimiliki.

Tabel 4.11 Karakteristik Responden berdasarkan Kekayaan (Luas Tanah)

No Luas Tanah N Persentase (%)


1. >1.000 m² 2 4,7%
2. 200-500 m² 8 19,0%
3. <200 m² 21 50%
4. Tidak Ada 11 26,1%
Jumlah 42 100%
Sumber Data : Primer

Berdasarkan Tabel 4.11 diatas menunjukkan hasil distribusi responden

berdasarkan harta kekayaan (Luas Tanah) terbanyak berada di kategori

<200m dengan jumlah 21 orang (50%), dan yang terendah adalah >1.000m

dengan jumlah 2 Orang (4,7%). Luas tanah untuk orang tua (Ayah/Ibu)

tidak luas karena sebagian besar orang tua tinggal di wilayah

perkotaan/pemukiman padat/perumahan komplek.


122

Tabel 4.12 Karakteristik Responden berdasarkan Kekayaan (Barang-Barang

Elektronik)

No Barang Elektronik N Persentase (%)


1. Kulkas, televisi, dan radio 31 73,8%
2. Televisi dan radio 1 2,3%
3. Televisi 6 14,2%
4. Jawaban Lain (Tidak Ada, dll) 4 9,5%
Jumlah 42 100%

Sumber Data : Primer

Berdasarkan Tabel 4.12 diatas menunjukkan hasil distribusi responden

berdasarkan harta kekayaan (Barang-Barang Elektronik) terbanyak berada

di kategori Kulkas, televisi, dan Radio dengan jumlah 31 orang (73,8%),

dan yang terendah adalah Jawaban Lain dengan jumlah 4 Orang (9,5%).

Untuk Barang elektronik rata-rata keluarga sudah memiliki kulkas, televsi,

dan radio, karena dilihat dari rata-rata pekerjaan dan penghasilan orang tua,

temtu barang elektronik seperti kulkas, televisi dan radio tentu bisa dimiliki.

Tabel 4.13 Karakteristik Responden berdasarkan Kekayaan (Transportasi

Pribadi)

No Jenis Transportasi Pribadi N Persentase (%)


1. Mobil, sepeda motor, dan sepeda 5 11,9%
2. Sepeda motor dan sepeda 31 73,8%
3. Sepeda 2 4,7%
4. Jawaban Lain (Tidak Ada, dll) 4 9,5%
Jumlah 42 %

Sumber Data : Primer

Berdasarkan Tabel 4.9 diatas menunjukkan hasil distribusi responden

berdasarkan harta kekayaan (Transportasi) terbanyak berada di kategori

Sepeda motor dan sepeda dengan jumlah 31 orang (73,8%), dan yang

terendah adalah jawaban lain dengan jumlah 2 Orang (4,7%).Untik Barang


123

elektronik rata-rata keluarga sudah memiliki sepeda motor dan sepeda,

karena dilihat dari rata-rata pekerjaan dan penghasilan orang tua yang

memadai, tentu alat transportasi seperti sepeda motor dan sepeda dapat

dimiliki.

Kepemilikan suatu barang oleh orang tidak terlepas dari apa yang

disebut hak milik. Menurut Kartasaputra (1982: 19) yang dikutip oleh Dwi

Agung Hermawan (2001: 10) mengatakan sebagai berikut:

Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan atau suatu kebendaan

dengan leluasa, untuk berbuat bebas dengan kebendaan itu asal tidak

bertentangan dengan undang-undang atau peraturan yang berlaku. Hak milik

yang paling sempurna atas suatu kebendaan karena pemilik dapat menjual,

menghadiahkan, menggadaikan, dan menghibahkannya, maka hak milik

disini bukanlah merupakan hak milik mutlak, karena hak milik di Negara

kita berfungsi sosial.

Dengan adanya beberapa pandangan di atas dapat diketahui bahwa

status sosial ekonomi sebuah keluarga ditentukan oleh tingkat pendidikan,

pekerjaan, pendapatan, dan harta/barang berharga yang dimiliki keluarga.


124

C. Hasil dan Pembahasan

1. Analisa Univariat

a. Status Ekonomi

Status ekonomi adalah gambaran tentang keadaan seseorang atau suatu

masyarakat yang ditinjau dari segi sosial ekonomi, gambaran itu seperti

tingkat pendidikan, pendapatan dan sebagainya. Status ekonomi

kemungkinan besar merupakan pembentuk gaya hidup keluarga. Pendapatan

keluarga memadai akan menunjang tumbuh kembang anak. Karena orang

tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik primer maupun skunder

(Soetjiningsih, 2004).

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan, maka diperoleh

hasil distribusi frekuensi untuk variabel status ekonomi sebagai berikut :

Tabel 4.14 Distribusi frekuensi Status Ekonomi Orang Tua Dengan Status

Gizi Pada Anak Usia Sekolah (8-12 Tahun) di SDN Inti Belitung Selatan

Banjarmasin.

No Kategori Ekonomi Jumlah Persentase (%)


1. Tinggi 2 4,7%
2. Sedang 34 80,9%
3. Rendah 6 14,2%
Total 42 100%
Sumber Data : Primer

Berdasarkan tabel diatas didapatkan hasil dari 34 orang responden dari

status ekonomi hasil penelitian yang diperoleh peneliti,status ekonomi

sedang/menengah lebih mendominasi yaitu sebanyak 34(80,9%) orang dan

yang paling sedikit yaitu status ekonomi tinggi sebanyak 2 (4,7%) orang.

Hasil dari penelitian didapatkan orang tua yang ekonomi sedang/menengah


125

karena dilihat dari pekerjaan, pendidikan, pendapatan, dan harta kekayaan

maka hasil yang didapatkan adalah ekonomi sedang yang terbanyak.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa status ekonomi dengan status gizi

anak usia sekolah di SDN Inti Belitung Selatan Banjarmasin banyak yang

status ekonominya sedang. Status ekonomi orang Tua Di SDN Inti Belitung

Selatan 1 Banjarmasin masih bnayka menunjukkan keluarga yang memiliki

status ekonomi sedang/menengah.Status ekonomi yang sedang/menengah

mempengaruhi tingginya angka kejadian status gizi (overweight) yang

terlihat dari hasil penelitian di SDN Inti belitung Selatan 1 Banjarmasin

yang menunjukkan bahwa banyak anak yang overweight di status ekonomi

sedang/menengah dan yang saya dapatkan pada saat menyebarkan kuesioner

kebanyakkan orang tua mengatakan bahwa jarang mengawasi anak nya saat

disekolah atau diluar sekolah, karena sibuk dengan pekerjaan, dan hanya

memberikan uang saku untuk membeli makanan atau minuman yang ada

disekolah, atau diluar sekolah.

Sejalan dengan teori Wardlaw (2009) status ekonomi orang

tua/keluarga termasuk pendapatan, pendidikan serta pekerjaan keluarga akan

berdampak langsung pada status gizi anak. Diduga anak yang status gizinya

buruk lebih banyak berasal dari keluarga miskin dan orang tua yang

berpendidikan rendah. Faktor sosial ekonomi yang berkaitan dengan gizi

kurang.

Sejalan dengan penelitianAmelia Repi dan Shirley E.S Kawengian

(2013) yang menyatakan pada koindisi ekonomi terbatas biasanya

pemenuhan gizi pada anak jadi terabaikan. Namun, pada negara-negara


126

maju masyarakat lebih mengonsumsi kalori dan lemak jenuh melebihi

kebutuhan tubuh disebabkan tingkat pendapatan yang tinggi. Hal tersebut

dapat menyebabkan kegemukan, kegemukan sangat terkait ndengan pola

makan dan gaya hidup. Penghasilan yang cukup ketika diimbangi dengan

pengetahuan gizi yang memadai, dan pemanfaatan pangan yang baik,

kebutuhan gizinya akan tepenuhi secara kualitas maupun kuantitas.

Keluarga yang tingkat pendapatannya meningkat tidak selalu

membelanjakan untuk kebutuhan gizi tapi sebaliknya dibelanjakan untuk

barang yang dapat meningktakan status sosial. Banyak terdapat anak dengan

status gizi kurang pada ayah dan ibu yang secara ekonomi seharusnya dapat

mencukupi kebutuhan makanan yang bergizi.

Sejalan dengan penelitian Mirnawati dan Anita (2015) yang

menyatakan status ekonomi berpengaruh secara langsung positif terhadap

status gizi anak usia. Berdasarkan hasil temuan tersebut dapat disimpulkan

bahwa status gizi anak usia dini dipengaruhui secara langsung positif oleh

status ekonomi. Meningkatnya status ekonomi akan mengakibatkan

peningkatan status gizi anak usia dini. Hasil penelitian ini senada dengan

pendapat beberapa ahli di antaranya adalah terdapat pengaruh langsung

status ekonomi terhadap status gizi anak usia dini.

Peneliti berpendapat Status sosial ekonomi wali murid sangat erat

kaitannya dengan pemenuhan gizi dari seorang anak, dimana dapat dilihat

dari tingkat ekonomi yang berkecukupan maupun dengan kondisi tingkat

sosial ekonomi yang kurang. Sangat diharapkan kondisi sosial ekonomi wali

murid yang lebih dari cukup dapat memenuhi kebutuhan gizi anak-anaknya.
127

Apabila seorang anak memiliki status gizi yang baik diharapkan anak

tersebut bisa memiliki tinggi badan maupun berat badan yang ideal dan

yang terpenting memiliki derajat kesehatan yang baik sehingga tumbuh

kembang seorang anak akan lebih optimal.

Meskipun demikian dalam hal ini status gizi anak yang baik tidak

sepenuhnya dipengaruhi oleh status sosial ekonomi orang tua. Status gizi

lebih banyak ditentukan oleh perilaku hidup sehat, makanan yang bergizi

dan kecukupan energi anak setiap hari, akan tetapi orang tua yang

mempunyai status sosial ekonomi lebih baik tentu dapat dengan mudah

mencukupi kebutuhan khusunya asupan makanan yang sehat dan seimbang.

Dengan demikian tingkat sosial ekonomi dapat dikatakan memberi

pengaruh terhadap status gizi anak.

b. Status Gizi Anak Sekolah Usia 8-12 Tahun

Status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh status keseimbangan

antara jumlah asupan (intake) zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan

(requirement) oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis (pertumbuhan fisik,

perkembangan, aktivitas, pemeliharaan kesehatan, dan lainnya), (Suyanto,

2009). Status gizi dapat pula diartikan sebagai gambaran kondisi fisik

seseorang sebagai refleksi dari keseimbangan energy yang masuk dan yang

dikeluarkan oleh tubuh (Marni, 2013). Berdasarkan hasil penelitian yang

telah dilaksanakan, maka diperoleh hasil distribusi frekuensi untuk variabel

Status Gizi Anak Sekolah Usia 8-12 Tahun sebagai berikut:


128

Tabel 4.15 Distribusi Frekuensi Status Gizi Anak Sekolah Usia 8-12 Tahun

di SDN INTI Belitung Selatan 1 Banjarmasin.

No. Status Gizi (CDC 2000) Frekuensi Presentasi %


1 >120 Obesitas 7 16,7%
2 >110 Overweight 19 45,2%
3 >90 Normal 12 28,6%
4 70-90 Kurang Gizi 4 9,5%
5 70 Gizi Buruk Tidak Ada Tidak Ada
Total 42 100%
Sumber Data : Primer

Tabel diatas menunjukkan bahwa Status Gizi yang paling tinggi adalah

Overweight sebanyak 19 anak (45,2%) sedangkan yang paling terendah

adalah Kurang Gizi sebanyak 4 anak (9,5%), dan untuk kategori Gizi Buruk

tidak ada. Hasil yang didapat peneliti di SDN INTI Belitung Selatan 1

Banjarmasin masih banyak anak yang status gizinya dengan Overweight dan

yang terendah Kurang Gizi. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data

bahwa sanak yang memiliki status gizi (Obesitas) sebanyak 7 anak (16,7%),

anak yang memiliki status gizi (Overweight) sebanyak 19 anak (45,2 %),

anak yang memiliki status gizi (Normal) sebanyak 12 anak (28,6%), anak

yang memiliki status gizi (Kurang) sebanyak 4 anak (9,5%) dan tidak ada

siswa yang memiliki status gizi pada kategori buruk, dengan menggunakan

rumus dari CDC 2000, 2-20 Tahun (BB/U).

Menurut UNICEF (1998) dalam Supariasa (2012) menggambarkan faktor

yang berhubungan dengan status gizi, pertama penyebab langsung adalah

asupan gizi dan penyakit infeksi, kedua, penyebab tidak langsung yaitu

keterdediaan pangan tingkat rumah tangga, perilaku / asuhan ibu dan anak,

pelayanan kesehatan dan lingkungan, ketiga masalah utama yaitu kemiskinan,


129

pendidikan rendah, ketersediaan pangan dan kesempatan kerja. Keempat,

masalah dasar, yaitu krisis politik dan ekonomi.

Menurut Laura Jane Harper dalam Supariasa (2012), faktor yang

mempengaruhi status gizi ditinjau dari sosial budaya dan ekonomi adalah

ketersediaan pangan, tingkat pendapatan, pendidikan dan penggunaan pangan.

Ketersediaan pangan meliputi pemilihan tanaman yang ditanam. Pola

penanaman, pola penguasaan lahan, mutu luas lahan, cara pertanian, cara

penyimpanan, faktor lingkungan, rangsangan bereproduksi dan peranan sosial.

Penggunaan pangan meliputi status sosial, kepercayaan keagamaan,

kepercayaan kebudayaan, keadaan kesehatan, pola makan, kehilangan tersebab

oleh proses memasak, distribusi makanan dalam keluarga, besar keluarga, dan

pangan yang tercecer.

Sejalan dengan Penelitian Fariza Ahmad (2013) menyatakan Status gizi

dipengaruhi oleh faktor external dan faktor internal. Faktor external antara

lain: tingkat pendapatan, pendidikan, pekerjaan, dan budaya. Sedangkan

faktor internal yang mempengaruhi status gizi antara lain: usia dan kondisi

fisik. Faktor external yang mempengaruhi status gizi tersebut erat kaitannya

dengan tingkat sosial ekonomi masyarakat.

Peneliti berpendapat Peneliti berpendapat apabila status ekonomi

keluarga baik maka pemenuhan nutrisi anak akan terpenuhi sedangkan jika

status ekonomi keluarga rendah maka pemenuhan nutrisi anak tidak

terpenuhi dengan baik. Orang tua yang ekonominya baik akan mempunyai

daya beli, sehingga memberikan peluang yang lebih besar untuk memilih

berbagai jenis makanan. Namun adanya peluang tersebut mengakibatkan


130

pemilihan jenis makanan tidak lagi didasarkan pada kebutuhan dan

pertimbangan kesehatan, tetapi lebih mengarah kepada pertimbangan rasa

makanan yang enak. Kebanyakan makanan yang menjadi pilihan anak dan

orang tua tersebut mengandung kalori dan lemak yang tinggi, dan

sebaliknya untuk orang tua yang ekonominya tidak baik, akan sulit untuk

memenuhi kebutuhan gizi/nutrisi karena faktor ekonomi yang tidak

mendukung.

Meskipun demikian dalam hal ini status gizi anak yang baik tidak

sepenuhnya dipengaruhi oleh status sosial ekonomi orang tua. Status gizi

lebih banyak ditentukan oleh perilaku hidup sehat, makanan yang bergizi

dan kecukupan energi anak setiap hari, akan tetapi orang tua yang

mempunyai status sosial ekonomi lebih baik tentu dapat dengan mudah

mencukupi kebutuhan khusunya asupan makanan yang sehat dan seimbang.

Dengan demikian tingkat sosial ekonomi dapat dikatakan memberi

pengaruh terhadap status gizi anak.


131

2. Analisa Bivariat

Analisa bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel

independen dan variabel dependen. Berdasarkan hasil perhitungan statistik

menggunakan program computer dengan aplikasi SPSS 16 statistik

mengunakan rumus Spearman Rank diperoleh hasil sebagai berikut.

a. Hubungan Status Ekonomi Dengan Status Gizi Anak Sekolah Usia 8-12

Tahun.

Tabel 4.16 Tabulasi silang status ekonomi dengan status gizi anak sekolah

usia 8-12 tahun di SDN Inti Belitung Selatan 1 Banjarmasin.

Status Status Total


Ekonomi Gizi
Gizi Kurang Normal Overweight Obesitas
F % F % F % F %
Rendah 4 10% 1 2,5% 1 2,5% 0 0 15%
Sedang 0 0 11 26,5% 17 40,5% 6 13% 80%
Tinggi 0 0 0 0 1 2,5% 1 2,5% 5%
Jumlah 4 10% 12 29% 19 45.5% 7 15.5% 100%
Correlation Coefficient = 0,518
Sig. (two-tailed)= 0,000< α 0,05
Ha Diterima

Pada tabel 4.16 diatas menggambarkan hubungan status ekonomi dengan

status gizi anak sekolah usia 8-12 tahun di SDN Inti Belitung Selatan 1

Banjarmasin 2018 dengan menggunakan uji korelasi spearman rank

diperoleh nilai p value = 0,000 pada tingkat significancy 5% maka p value ≤

0,05 artinya Ha diterima dan dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan

antara status ekonomi orang tua dengan status gizi anak usia sekolah 8-12

tahun berdasarkan indeks berat badan menurut umur menggunakan CDC

2000. Didapatkan nilai p = 0,000 dengan nilai korelasi spearman rank 0,518.

Berdasarkan interpretasi diatas, maka antara status ekonomi orang tua dengan
132

status gizi anak sekolah usia 8-12 tahun berdasarkan indeks berat badan

menurut umur menggunakan CDC 2000 dengan koefisien korelasi 0,518

terdapat hubungan yang cukup tinggi. pedoman kisaran angka korelasi yang

digunakan berdasarkan pendapat Hidayat (2008) yaitu angka korelasi berkisar

antara 0,000-O,199 yang maknanya sangat rendah (tidak ada korelasi), 0,200-

0,399 yang maknanya rendah, 0,400-0,599 yang maknanya cukup tinggi,

0,600-0,799 yang maknanya tinggi, 0,800-1,000 yang maknanya sangat

tinggi.

Status gizi anak secara tidak langsung berkaitan dengan faktor sosial

ekonomi orang tua. Status gizi dipengaruhi oleh faktor external dan faktor

internal. Faktor external antara lain: tingkat pendapatan, pendidikan,

pekerjaan, dan budaya. Sedangkan faktor internal yang mempengaruhi status

gizi antara lain: usia dan kondisi fisik. Faktor external yang mempengaruhi

status gizi tersebut erat kaitannya dengan tingkat sosial ekonomi masyarakat.

Status ekonomi orang tua dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan

orang tua, dimana tingkat pendidikan orang tua (Ayah) tertinggi SMA dengan

jumlah 24 orang (53,2%), dan yang terendah SD dengan jumlah 2 orang

(4,7%). (Ibu) tertinggi adalah SMA dengan jumlah 22 orang (53,2%), dan

yang terendah adalah SD dengan jumlah 5 orang (11,9%). Tingkat pendidikan

orang tua murid di SDN Belitung Selatan 1 Banjarmasin.

Dari uji statistik didapatkan hubungan yang signifikan tingkat pendidikan

orang tua terhadap status gizi pada murid Sekolah Dasar di SDN Belitung

Selatan Banjarmasin. Tingkat pendidikan orang tua turut menentukan status

gizi anak karena pendidikan sangat mempengaruhi seseorang untuk


133

memahami dan menerima informasi tentang gizi. Masyarakat dengan

pendidikan yang rendah akan lebih mempertahankan tradisi-tradisi yang

berhubungan dengan makanan sehingga sulit menerima pengetahuan baru

mengenai gizi

Menurut Yudesti (2012) dan Ernawati (2006) semakin tinggi tingkat

pendidikan orang tua semakin baik pertumbuhan anaknya. Schultz, (1984)

menjelaskan setidaknya ada lima upaya yang merupakan imbas dari

pendidikan ibu dan ayah yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan

perkembangan anak. Pertama, pendidikan akan meningkatkan sumberdaya

keluarga. Kedua, pendidikan akan meningkatkan pendapatan keluarga.

Ketiga, pendidikan akan meningkatkan alokasi waktu untuk pemeliharaan

kesehatan anak. Keempat, pendidikan akan meningkatkan produktivitas dan

efektifitas pemeliharaan kesehatan. Kelima, pendidikan akan meningkatkan

referensi kehidupan keluarga.

Penelitian yang dilakukan oleh Kusuma (2011) yaitu tingkat pendidikan

ibu ternyata berpengaruh terhadap status gizi anak berdasarkan berat badan

maupun tinggi badan. Berdasarkan hasil uji korelasi dengan menggunakan

Chi-Square (χ²) diketahui bahwa tingkat pendidikan ibu ternyata mempunyai

pengaruh terhadap status gizi anak baik berdasarkan berat badan maupun

tinggi badan.

Hal ini sejalan dengan teori Gerungan (2004) yang menyatakan bahwa

semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin mudah

menerima informasi sehingga semakin banyak pula pengetahuan yang

dimiliki. Sebaliknya tingkat pendidikan rendah akan sulit untuk menerima


134

arahan dalam pemenuhan gizi dan mereka sering tidak mau atau tidak

meyakini pentingnya pemenuhan kebutuhan gizi atau pentingnya pelayanan

kesehatan lain yang menunjang dalam membantu pertumbuhan dan

perkembangan anak. Hasil penelitian ini juga mendukung penelitian Ariyana

(2007) yang membuktikan bahwa tingkat pendidikan ibu sangat berpengaruh

terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan ibu

yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk

menyerap informasi dan menerapkan dalam perilaku dan gaya hidup sehari-

hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi.

Sejalan dengan penelitian Devi Kristanti (2012) yang menyatakan

bahwa sebagian besar ibu memiliki tingkat pendidikan yang tinggi dengan

status gizi anak tergolong baik/normal. Hal ini bisa disebabkan karena ibu

dengan tinkat pendidikan tinggi cenderung memiliki pengetahuan yang luas

dan mudahnya menangkap informasi baik dari pendidikan formal yang di

tempuh maupun dari media massa (cetak/elektronik) untuk menjaga

kesehatan anak dalam mencapai status gizi yang baik sehingga

perkembangan anak menjadi lebih optimal.

Anda mungkin juga menyukai