Anda di halaman 1dari 37

REFERAT

Preterm Birth

Pembimbing:
dr. Sigit , Sp.OG

Penulis:
Bella Louisa 2016.061.042
Madelina Serenita 2016.061.081
Princella Monica 2016.061.072

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA
12 FEBRUARI 2018 – 21 APRIL 2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Preterm birth didefinisikan sebagai kelahiran dengan usia gestasi antara 20 0/7
minggu hingga 36 6/7 minggu yang didiagnosis berdasarkan adanya kontraksi teratur
yang diikuti perubahan seperti dilatasi serviks, pendataran serviks, atau keduanya.1
Preterm birth menyebabkan sekitar 75% mortalitas perinatal dan neonatal, dan
morbiditas jangka panjang, yang meliputi retardasi mental, serebral palsi, gangguan
perkembangan, seizure disorder, kebutaan, hilangnya pendengaran, dan gangguan non
neurologis, seperti penyakit paru kronis dan neuropati. Oleh karena itu, preterm birth
bukan hanya menjadi masalah obstetrik yang paling umum tapi dapat menjadi masalah
yang paling serius. Preterm birth merupakan salah satu penyebab morbiditas dan
mortalitas perinatal di seluruh dunia.
Diperkirakan terdapat 12,9 juta atau 9,6% preterm birth di seluruh dunia.
Berdasarkan penelitian Beck et al, 85% kejadian preterm birth tersebut terkonsentrasi
di Afrika dan Asia, yaitu 31% didapati di Afrika dan 54% didapati di Asia.2 Di
Indonesia belum ada angka yang secara nasional menunjukkan kejadian preterm birth,
namun pernah dilaporkan angka kejadian preterm birth di rumah sakit di Jakarta
sebesar 13,3% dan di rumah sakit di Bandung sekitar 9,9% pada tahun 2001.
Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, penyebab preterm birth adalah
multifaktorial. Upaya untuk keberhasilan penurunan angka morbiditas dan mortalitas
perinatal yang berhubungan dengan preterm birth adalah dengan diagnosis dan
tatalaksana dini yang akurat.3 Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang lebih baik
tentang bagaimana cara diagnosis persalinan preterm dan berbagai intervensi yang
dapat dilakukan untuk menunda kelahiran.

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum


Mengetahui mengenai preterm labor
1.2.2 Tujuan Khusus
Mengetahui definisi preterm labor
Mengetahui etiologi preterm labor
Mengetahui mekanisme terjadinya preterm labor
Mengetahui cara mendiagnosa preterm labor
Mengetahui tatalaksa preterm labor

1.4. Manfaat
 Bidang akademik
Sebagai salah satu sumber pembelajaran mengenai preterm labor
 Bidang sosial-kemasyarakatan
Sebagai bahan rujukan untuk penyuluhan, sosialisasi, atau edukasi kepada masyarakat
mengenai pencegahan preterm birth bagi ibu hamil
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Preterm birth didefinisikan sebagai pelahiran sebelum 37 minggu lengkap, yaitu ≤ 36
6/7
minggu.4 Menurut WHO, preterm birth adalah persalinan yang terjadi antara usia kehamilan
20 minggu sampai kurang dari 37 minggu, dihitung dari hari pertama haid terakhir pada siklus
28 hari. Definisi ini pertama kali digunakan pada tahun 1976 oleh WHO dan sejak saat itu
digunakan hingga sekarang. Harus dibedakan dengan konsep prematuritas dimana
perkembangan berbagai sistem organ saat lahir masih inkomplit. Sejak 2005, bayi yang lahir
0/7 6/7
antara 34 minggu dan 36 minggu memiliki karakteristi morbiditas dan mortalitas bayi
premature sehingga kelahiran premature dibagi menjadi early preterm dan late preterm. Early
6/7
preterm adalah kelahiran sebelum usia gestasi 33 dan late preterm adalah kelahiran antara
usia gestasi 34 weeks and 0 days -36 weeks 6 days. Bagi yang lahir dengan usia gestasi 37 0/7
sampai 38 6/7 didefinisikan sebagai early term dan 39 minggu 0 hari sampai 40 minggu 6 hari
didefiniskan sebagai term. Menurut ACOG, preterm labor (Preterm Labor) adalah kontraksi
regular uterus yang mengakibatkan perubahan serviks seperti dilatasi dan pendaratan sebelum
37 minggu.1 Hanya mereka yang mempunyai perubahan servikal yang diukur dengan
pemeriksaan serviks didiagnosa dengan preterm birth. Harus dibedakan Preterm Labor dengan
insufisiensi servikal yang mempunyai karakteristik asimptomatik, dilatasi tanpa rasa nyeri and
pendataran serviks.5 Keduanya dapat menyebabkan ancaman partus prematurus terjadi apabila
terdapat kontraksi yang sering yang tidak menunjukkan adanya perubahan serviks yang
konsisten (panjang serviks < 2,5 cm)6
2.2 Epidemiologi
Persentasi preterm labor meningkat dari yang sebelumnya 9,4% pada tahun 1984
menjadi 12,8% pada tahun 2006. Sejak tahun 2006, terjadi penurunan persentasi preterm labor
menurun menjadi 11,7 % pada tahun 2011.4 Angka kejadian menurun oleh karena beberapa
faktor.7,8 Pertama, manajemen perawatan intensif bagi bayi prematur telah banyak
meningkatkan keluaran. Kedua, penggunaan kortikosteroid diberikan pada Ibu yang
mempunyai risiko preterm labor telah menurunkan insidensi sindrom distress pernafasan,
perdarahan intraventricular dan angka morbiditas dan mortalitas. Terakhir, pemberian
profilaksis terhadap infeksi perinatal pada wanita dengan group B streptococcus. Preterm birth
merupakan kondisi yang terjadi pada 6-15% dari semua persalinan dan merupakan penyebab
tersering mortalitas dan morbiditas janin. Preterm labor lebih sering pada ras Afrika Amerika
dibandingkan dengan wanita kaukasia.
Berbagai jenis morbiditas, terutama dikarenakan sistem organ yang imatur, secara
signifikan meningkat pada bayi yang lahir sebelum usia kehamilan 37 minggu dibandingkan
dengan mereka yang dilahirkan aterm. Setelah mencapai berat badan lahir ≥ 1000 gram atau
usia gestasi 28 minggu (untuk perempuan) hingga 30 minggu (untuk laki-laki), tingkat
kelangsungan hidup mencapai 95 persen. 4

2.3 Ambang viabilitas


Secara umum disepakati bahwa bayi-bayi yang lahir sebelum 26 minggu, terutama
mereka dengan berat badan lahir kurang dari 750 gram berada di ambang batas kelangsungan
hidup dan bahwa bayi-bayi kurang bulan ini memunculkan berbagai pertimbangan medis,
social, dan etika yang kompleks menurut ACOG.4
Menurut pedoman yang dikembangkan oleh American Academy of Pediatrics,
memulai resusitasi untuk bayi berumur kurang dari 23 minggu atau mereka dengan berat badan
lahir kurang dari 400 gram dianggap tidak tepat. Jadi bayi-bayi yang dianggap berada di
ambang viabilitas sekarang ini adalah mereka yang dilahirkan oleh perempuan dengan usia
kehamilan 22,23,24 atau 25 minggu. Bayi-bayi ini rapuh dan rentan karena sistem organ yang
imatur dan memiliki resiko tinggi untuk cedera akibat cedera hipoksik iskemia dan sepsis. Pada
kondisi ini, hipoksia dan sepsis memulai rangkaian peristiwa yang mengarah ke perdarahan
otak, cedera substansia alba yang menyebabkan leukomalasia periventrikular dan mengganggu
perkembangan saraf. Perkembangan otak pesat pada trimester dua dan tiga sehingga bayi yang
lahir pada 22 minggu sampai 25 minggu sangat rentan terhadap cedera otak yang disebabkan
imaturitas yang ekstrem.4
Pelahiran perabdominal pada ambang viabilitas masih kontroversial. Sebagai contoh,
jika janin bayi dianggap terlalu imatur untuk tindakan agresif, pelahiran perabdominal untuk
indikasi umum, seperti presentasi bokong atau pola denyut jantung janin yang meresahan dapat
didahulukan. Angka kematian neonatus untuk bayi 500-700 gram sekitar separuh dibandingkan
dengan kelahiran perabdominal dibandingkan dengan kelahiran per vagina. Walaupun
peningkatan pelahiran perabdominal ini dikaitkan dengan peningkatan kelangsungan hidup,
hal itu tidak dikaitkan dengan pengurangan morbiditas berat angka pendek pada bayi yang lahir
pada ambang viabilitas. Kelangsungan hidup absolut dan cacat jangka panjang, keduanya harus
dipertimbangkan ketika melakukan intervensi agresif pada kehamilan yang sangat kurang
bulan. Penentuan jenis persalinan yang tepat untuk neonatus pada ambang viabilitas tidak
dapat ditentukan karena pemilihan secara acak mempunyai konsiderasi etik. Pada suatu
penelitian oleh Reddy et al (2012) , dianalisa 2906 kelahiran hidup tunggal antara 24 0/7 dan 31
6/7
dipilih karena dapat dilahirkan secara pervaginam setelah eksklusi kasus dengan gawat janin,
plasenta previa , abrupsi plasenta dan anomaly. Percobaan persalinan pervaginam untuk
presentasi sefalik memiliki kemungkinan sukses 84% dan tidak ada perbedaaan rasio mortalitas
neonatus dibandingkan dengan persalinan perabdominal elektif. Namun, pada presentasi
sungsang didapatkan peningkatan 3x resiko mortalitas pada percobaan persalinan pervaginam.
Bayi dengan usia gestasi antara 34 – 36 minggu berkontribusi terhadap > 70% preterm labor.
Late preterm birth adalah ¾ dari seluruh preterm labor. Angka kematian neonates meningkat
secara signifikan pada setiap minggu kurang bulan berlanjut dibandingkan dengan mereka
yang berada pada 39 minggu. Laporan Insitute of Medicine mengenai preterm labor
menyatakan bahwa penatalaksanaan persalinan kurang bulan belum dapat mencegah kelahiran
kurang bulan. American ollege of Obstetrician and Gynecologists telah menekankan bahwa
pelahiran kurang bulan lanjut harus dilakukan hanya bila ada indikasi ibu atau janin yang dapat
diterima untuk pelahiran. 4

Distribusi preterm birth di Amerika Serikat tahun 2004

2.4 Etiologi
4 penyebab utama preterm birth di Amerika Serikat4
1. Pelahiran atas indikasi ibu atau janin sehingga persalinan diinduksi atau bayi dilahirkan
dengan pelahiran caesar prapersalinan
2. Persalinan kurang bulan spontan tak terjelaskan dengan selaput ketuban utuh.
3. Ketuban pecah dini preterm (PPROM) idiopatik
4. Kelahiran kembar dan multijanin yang lebih banyak

Pada kelahiran kurang bulan, 30 – 35% terindikasi, sebanyak 40-45 % dikarenakan


persalinan kurang bulan spontan dan 30-35% setelah ketuban pecah dini. Penyebab kelahiran
kurang bulan ada banyak, dan faktor-faktor tersebut saling berinteraksi. Hal ini terutama
berlaku pada ketuban pecah dini dan persalinan kurang bulan spontan, yang bersama-sama
menyebabkan 70-80% kelahiran kurang bulan. 4
Untuk keperluan klinis dan riset, kehamilan dengan selaput ketuban utuh dan persalinan
kurang bulan spontan harus dibedakan dengan ketuban pecah dini preterm. 4,7 Penemuan yang
biasa ditemukan berhubungan dengan kelahiran kurang bulan adalah kehamilan multifetal,
infeksi intrauterine, perdarahan, infark plasenta, dilatasi serviks premature, insufisiensi serviks,
hidramnios, abnormalitas fundus uteri dan kelainan janin. Infeksi, penyakit autoimun,
hipertensi gestasional pada Ibu juga meningkatkan risiko kelahiran kurang bulan. Walaupun
banyak aspek unik untuk setiap penyebab dari kelahiran kurang bulan, hasil akhir proses akan
sama yaitu dilatasi servikal prematur . pendataran dan aktivasi premature kontraksi uterus.

2.4.1 Indikasi Ibu atau Janin


Sekitar sepertiga dari preterm labor disebabkan karena intervensi dokter kandungan
pada situasi dimana kelahiran diindikasikan akibat komplikasi maternal atau fetal. Kondisi
yang paling sering membutuhkan preterm labor adalah preeklampsia dan restriksi
perkembangan fetal sekunder akibat insufisiensi uteroplasental. Kondisi lain seperti gawat
janin, kecil masa kehamilan , dan solusio plasenta merupakan indikasi paling umum atas
intervensi medis yang mengakibatkan kelahiran kurang bulan. Penyebab lainnya yang kurang
umum adalah hipertensi kronik, plasenta previa, perdarahan tanpa sebab yang jelas, diabetes,
penyakit ginjal , isoimunisasi Rh dan malformasi kongenital.4,8,9

2.4.2 Ketuban pecah dini preterm


Ketuban pecah dini preterm didefinisikan sebagai pecahnya ketuban sebelum
persalinan dan sebelum 37 minggu. Hal ini dapat disebabkan oleh beragam mekanisme
patologis termasuk infeksi intraamnion. Faktor lain yang dapat terlibat adalah status social
ekonomi rendah, indeks massa tubuh rendah, dan riwayat ketuban pecah dini preterm. Sebagian
besar kasus terjadi tanpa faktor resiko.4
2.4.3 Persalinan kurang bulan spontan
Goldenberg dkk. Mengulas pathogenesis persalinan kurang bulan dan mengaitkannya
dengan (1) withdrawal progresteron, (2) inisiasi oksitosin, dan (3) aktivasi desidua. 4
2.4.3.1 Teori Withdrawal Progresteron
Teori withdrawal progresteron berasal dari penelitian pada domba. Semakin mendekati
proses kelahiran, sumbu adrenal janin menjadi lebih sensitive terhadap hormone
adrenokortikotropik sehinga meningkatkan sekresi kortisol. Kortisol janin akan merangsang
aktivitas 17 α-hidroksilase plasenta sehingga mengurangi sekresi progresteron dan
meningkatkan produksi estrogen. Pembalikan rasio estrogen / progresteron menyebabkan
peningkatan pembentukan prostaglandin, memicu rangkaian yang berujung pada persalinan.
Pada manusia, konsentrasi progresteron serum tidak menurun menjelang persalinan. Meskipun
demikian, karena antagonis progresteron, seperti RU486, memicu persalinan kurang bulan
dana gen-agen progestasional mencegah persalinan kurang bulan, penurunan konsentrasi
progresteron lokal mungkin berperan.
2.4.3.2 Inisiasi Oksitosin
Oksitosin intravena meningkatkan frekuensi dan intensitas kontraksi rahim, oksitosin
dianggap berperan memicu persalinan. Namun, konsentrasi oksitosin serum tidak meningkat
sebelum persalinan dan bersihan oksitosin tetap konstan. Berdasarkan hal ini diduga oksitosin
bukan pemicu.
2.4.3.3 Aktivasi inflamasi desidua
Aktivasi inflamasi desidua merupakan sebuah jalur penting yang menyebabkan inisiasi
persalinan. Pada kehamilan aterm, aktivasi tampaknya dimediasi setidaknya sebagian oleh
sistem parakrin desidua janin dan mungkin melalui penurunan konsentrasi progresteron lokal.
Aktivasi inibisanya muncul pada kasus perdarahan intrauteri atau infeksi intrauteri yang samar.
Kelahiran kurang bulan sampai dengan 45 % kasus umumnya disebabkan persalinan spontan.
Didefinisikan sebagai rupture spontan membrane fetal sebelum 37 minggu lengkap dan
sebelum onset kelahiran menurut ACOG. Dapat disebabkan oleh berbagai penyebab namun
infeksi intrauterine dipercaya sebagai faktor predisposisi utama. Terdapat beberapa faktor
resiko termasuk status sosioekonomi yang rendah, indeks masa tubuh ≤ 19.8 , defisiensi nutrisi
dan merokok. Wanita dengan riwayat preterm premature rupture of membranes (PPROM)
memiliki resiko meningkat untuk rekurensi pada kehamilan berikutnya. Patogenesis
mungkinan berhubungan dengan peningkatan apoptosis komponen membrane selular dan
terhadap peningkatan protease spesifik di membrane dan cairan amnion. Pada kehamilan
dengan PPROM, aminion memperlihagtkan kematian sel yang lebih tinggi dan lebih banyak
marker apoptosis dibandingan amnion pada term. Terdapat protein yang terlibat dalam kolagen
matur atau protein matriks yang mengikat kolagen dan meningkatkan kekuatan tensil.
Empat penyebab utama persalinan kurang bulan spontan termasuk distensi uterus,
perubahan servikal dini, stress maternal fetal, dan infeksi.
1. Distensi uterus dan perubahan servikal dini

Kehamilan ganda dan hidramnios diketahui meningkatkan resiko kelahiran kurang bulan.
Kehamilan ganda berperan dalam 12 – 25% preterm labor. Distensi uterus dini menginisiasi
ekspresi dari contraction associated proteins (CAPs) di myometrium. Gen CAP dipengaruhi
oleh regangan. Penelitian oleh Tattershell et al. mengatakan bahwa gastrin releasing peptides
(GRPs) meningkat dengan regangan untuk mempromosikan kontraktilitas myometrium dan
GRP antagonis dapat menginhibisi kontraktilitas uterus. Juga terdapat channel potassium yang
diinduksi oleh regangan yaitu TREK 1 yang meningkat selama gestasi dan menurun ketika
kelahiran. Hal ini konsisten dengan relaksasi uterus selama kehamilan. Ekspresi varian
potongan TREK 1 yang menghambat fungsi TREK 1 utuh telah diidentifikasi di myometrium
wanita dengan kelahiran kurang bulan. Regangan uterus berlebihan menyebabkan kehilangan
premature ketenangan myometrium dan menyebabkan aktivasi dini dari kaskade endokrin
plasenta fetal. Hasilnya adalah peningkatan dini maternal corticotropin releasing hormone
(CRH) dan level estrogen dapat meningkatkan ekspresi gen CAP di myometrium. Peningkatan
regangan dan aktivitas endokrin dini dapat menginisiasi kejadian yang merubah waktu dari
aktivasi uterus termasuk pematangan servikal premature. Stress maternal fetal
Stres didefinisikan sebagai kondisi yang mengganggu fisiologi normal dari fungsi psikologis
suatu individu. Terdapat korelasi antara stress psikologis ibu dan aksis endokrin plasenta
adrenal yang memberikan mekanisme potensial untuk kelahiran kurang bulan yang diinduksi
oleh stress. Trimester akhir ditandai dengan peningkatan level serum maternal corticotropin
releasing hormone (CRH) yang berasal dari turunan plasenta. CRH merupakan 41-asam amino
polipeptida yang menstimulasi pelepasan adrenocorticotropic hormone (ACTH) oleh hipofise.
Selama kehamilan, plasenta merupakan penghasil utama CRH dan berbeda dengan
hipotalamus, produksi CRH plasenta distimulasi oleh glukokortikoid. Stres menstimulasi
produksi CRH oleh hipotalamus maternal dan meningkatkan sistesis ACTH oleh kelenjar
hipofise yang sebaliknya menstimulasi kelenjar adrenal maternal untuk memproduksi kortisol
yang menstimulasi produksi CRH plasenta. CRH plasenta akan menyebabkan peningkatan
produksi ACTH fetal dengan produksi kortisol dan DHEA oleh adrenal fetal. Kortisol fetal
akan menstimulasi produksi CRH plasental dengan siklus berulang sehingga menghasilkan
semakin banyak CRH, kortisol dan sintesis DHEA. Fetal DHEA lama kelamaan akan di
transformasi menjadi estriol , sebuah molekul yang memiliki kemampuan untuk meningkatkan
jumlah myometrial gap junctions, meningkatkan densitas reseptor prostaglandin dan oksitosin,
meningkatkan pelepasan oksitosin oleh hipotalamus dan meningkatkan produksi prostaglandin
dari desidua. Prostaglandin akan membuat pematangan servikal dan oksitosin akan
menstimulasi myometrium menimbulkan onset kontraksi.4
2. Infeksi

Infeksi merupakan salah satu penyebab preterm labor dan bertanggungjawab dalam 20-
40% seluruh kasus preterm labor. Invasi microbial traktus reproduksi cukup untuk
menginduksi kelahiran kurang bulan yang dimediasi infeksi. Wanita dengan bakteri pada
cairan amniotic lebih mungkin untuk berkembang menjadi korioamnionitis dan rupture
membrane premature. 4,8-10
Bakteria masuk ke jaringan intrauterine melalui transfer transplasental infeksi sistemik
maternal, infeksi retrograde ke cavitas peritoneal melalui tuba falopi. Atau infeksi ascending
bakteri dari vagina dan serviks. Mekanisme yang paling diterima adalah infeksi ascending.
Menurut teori ini , terjadi kerusakan pada fungsi pertahanan normal yang memisahkan produk
konsepsi dari bakteri flora vaginal. Bakteri vaginal naik dan mengkolonisasi desidua dan
korion dan lama kelamaan akan berproliferasi dan menginvasi cairan amnion dan fetus. Pada
keadaan normalmembran dipisahkan oleh vaginal flora oleh serviks dan mukus endoservikal.
Ada kemungkinan bahwa perubahan servikal memfasilitasi infeksi ascending. Perubahan pada
karakteristik mukus servikal dapat memainkan peran penting dalam memfasilitasi terjadinya
infeksi. Beberapa mikroorganisme misalnya Gardnerella vaginalis, Fusobacterium,
Mycoplasma hominis dan Ureaplasma urealyticum dideteksi lebih sering pada cairan amnion
wanita dengan kelahiran kurang bulan.
Respon inisial inflamasi yang ditimbulkan toksin bacterial dimediasi oleh fagosit mononuclear
reseptor spesifik, sel desidual, epithelial cervical dan trofoblas. Reseptor toll like dipengaruhi
ligan seperti LPS bacterial. Reseptor ini meningkatkan kemokin, sitokin dan pelepasan
prostaglandin sebagai bagian respon inflamasi.
Korioamnionitis adalah infeksi membrane janin dan cairan amnion yang mengancam
keselamatan ibu dan janin. Sepsis janin diasosiasikan dengan peningkatan risiko morbiditas
terutama abnormalitas neurologis seperti leukomalasia periventricular dan cerebral palsy.
Pasien dengan infeksi intraamnion sering merasakan demam yang tinggi, takikardia (maternal
dan janin) dan rasa tidak nyaman pada uterus. Jika sudah lanjut dapat ditemukan cairan
purulent pada serviks
2.4.4 Gestasi multifetal
Preterm birth tetap menjadi penyebab utama morbiditas perinatal dan mortalitas dengan
kehamilan multifetal. Efek regangan uterus memiliki peran dalam hal ini dan dihubungkan
dengan peningkatan insiden dilatasi servikal prematur.

2.5 Faktor Resiko


Preterm birth dipengaruhi oleh banyak faktor. Di negara maju yang sosioekonominya baik,
angka kejadian malah cenderung meningkat Karen induksi persalinan yang ditujukan untuk
keselamatan janin, ibu atau keduanya. Risiko tertinggi preterm birth adalah riwayat preterm
birth. 4,8,9
2.5.1 Abortus yang mengancam
Perdarahan vagina pada awal kehamilan menyebabkan peningkatan dampak buruk
dikemudian hari. Sebuah penelitian oleh Weiss et. al melaporkan dampak perdarahan vagina
saat usia kehamilan 6 sampai 13 minggu pada hampir 14.000 perempuan dihubungkan dengan
persalinan kuran bulan, solusio plasenta , dan keguguran sebelum 24 minggu pada kehamilan
berikutnya.
2.5.2 Faktor gaya hidup
Merokok, pertambahan berat badan ibu yang tidak adekuat dan penggunaan narkoba
berperan penting pada insiden dan hasil akhir pelahiran neonates berberat badan lahir rendah.
Faktor maternal lainnya yang terlibat meliputi usia ibu terlalu muda atau terlalu tua,
kemiskinan, bertubuh pendek, kekurangan vitamin C, dan faktor pekerjaan seperti berjalan atau
berdiri lama, kondisi kerja yang berat. Faktor psikologis seperti depresi, cemas dan stress
kronik juga dilaporkan berpengaruh terhadap kelahiran kurang bulan.
2.5.3 Kesenjangan Ras dan Etnik
Di Amerika Serikat dan Inggris , wanita yang masuk golongan berkulit hitam, Afrika
Amerika dan Afro-Karibia, secara konsisten dilaporkan berisiko tinggi untuk kelahiran kurang
bulan. Status sosial ekonomi dan status pendidikan yang rendah juga merupakan faktor resiko.
2.5.4 Bekerja selama kehamilan
Masih kontroversial. Beberapa penelitian membuahkan hasil yang bertentangan , sebagian
menemukan bahwa jam kerja yang panjang dan kerja fisik yang berat mungkin berhubungan
dengan peningkatan risiko kelahiran kurang bulan.
2.5.5 Faktor genetik
Kelahiran kurang bulan yang bersifat rekuren, berhubungan dengan keluarga dan ras
telah menimbulkan pendapat bahwa genetika mungkin memainkan peran penyebab.
2.5.6 Penyakit periodontal
Peradangan gusi merupakan peradangan kronik anaerob yang mempengaruhi sebanyak
50 persen wanita hamil di Amerika Serikat. Vergnes dan Sixon et al. melakukan meta-analisis
terhadap 17 penelitian dan menyimpulkan bahwa penyakit periodontal secara bermakna
berkaitan dengan kelahiran kurang bulan.
2.5.7 Cacat lahir

Berdasarkan analisis sekunder data dari Uji Evaluasi Risiko Trimester Pertama dan
Kedua (First and Second- Trimester Evaluation of Risk / FASTER Trial), Dolan et al.
menemukan bahwa cacat lahir berkaitan dengan kelahiran kurang bulan dan berat badan
lahir rendah.
2.5.8 Interval antara kehamilan dan kelahiran kurang bulan
Rentang waktu yang pendek antara kehamilan satu dan lainnya telah diketahui selama
beberapa waktu berkaitan dengan hasil perinatal yang buruk. Conde Agudelo et al. dari
hasil meta analisisnya melaporkan bahwa rentang waktu yang lebih pendek dari 18 bulan
dan lebih panjang dari 59 bulan dikaitkan dengan peningkatan risiko kelahiran kurang
bulan dan bayi kecil masa kehamilan.
2.5.9 Riwayat kelahiran kurang bulan
Faktor resiko utama persalinan kurang bulan adalah riwayat kelahiran kurang bulan.
Risiko kelahiran kurang bulan berulang, untuk wanita yang pelahiran pertamanya kurang
bulan, meningkat tiga kali lipat dibandingkan dengan wanita yang bayi pertamanya lahir
aterm. Lebih dari sepertiga wanita yang dua kelahiran sebelumnya kurang bulan akan
melahirkan bayi ketiga yang kurang bulan juga.
2.5.10 Infeksi
Infeksi yang dimaksud disini adalah infeksi genital, infeksi intrauterine dan infeksi
ekstrauterine. Goldenberg et al. telah meninjau peran infeksi pada kelahiran kurang bulan Telah
dihipotesiskan bahwa infeksi intrauteri dapat memicu persalinan kurang bulan akibat aktivasi
sistem imun bawaan. Mikroorganisme menyebabkan pelepasan sitokin inflamasi , seperti -
interleukin dan tumor necrosis factor (TNF) yang kemudian merangsang produksi
prostaglandin dan / atau matrix – degrading enzyme. Prostaglandin merangsang kontraksi
Rahim sedangkan degradasi matriks ekstraseluler pada membrane janin menyebabkan ketuban
pecah dini kurang bulan. Diperkirakan 25 – 40% kelahiran kurang bulan diakibatkan infeksi
intrauteri.
Pada vaginosis bakterial, flora vaginal lactobacillus yang memproduksi hydrogen
peroksida digantikan oleh anaerob termasuk Gardnerella vaginalis , Mobiluncus, Mycoplasma
hominis. Menggunakan pewarnaan Gram, konstentrasi relativF karakteristik bakterial
ditentukan dan dinilai dengan Nugent score. Bakterial vaginosis dihubungan dengan abortus
spontan, kelahiran kurang bulan, PPROM, korioamnionitis dan infeksi cairan amnion. Faktor
lingkungan yang mempengaruhi bakterial vaginosis. Paparan terhadap stress kronik, perbedaan
etnis dan membersihkan vagina sering atau baru-baru ini. Interaksi gen dan lingkungan
dideskripsikan pada peelitian oleh Macones.et al. Wanita dengan vaginosis bakterial dan TNF
alfa genotipe mempunyai resiko peningkatan insidens kelahiran kurang bulan 9 x lipat.

2.6 Skrining
Identifikasi wanita dengan kehamilan yang memiliki resiko tinggi dapat memungkinkan
perawatan antenatal dengan tujuan mencegah preterm birth. Beberapa sistem skoring faktor
resiko telah dikembangkan namun akurasinya masih rendah salah satunya adalah skoring oleh
Creasy. Penelitian oleh Creasy memprediksi 10% wanita yang di skrining akan memiliki
preterm labour dan preterm birth, dimana akurat dalam memprediksi 1/3 preterm birth dari
sampel yang digunakan. Skrining jarang dilakukan karena masih kurangnya penelitian
mengenai kelebihan yang didapat. 11
Berikut adalah skoring resiko preterm labor oleh Creasy
Riwayat Keadaaan kehamilan
Skoring Karakteristik ibu Kebiasaan
obstetrik sekarang
 2 anak
Abortus < 1 Bekerja di
1  Sosioekonomi Kelelahan fisik
tahun terakhir luar rumah
rendah
Merokok > Kenaikan BB < 13 kg
2 Usia < 20 tahun 2 x abortus
10 batang sampai 32 minggu
 Sungsang pada
Sosioekonomi sangat Bekerja kehamilan 32
3 3 x abortus
rendah berat minggu
 BB ↓ 2kg
 Kepala sudah
engaged
 Demam
 Perdarahan <
12 minggu
 Pendataran
Riwayat
4 Usia < 18 tahun - serviks
pyelonephritis
 Iritabilitas
uterus
 Plasenta previa
 Anomali uterus
 Hidramnion
Abortus
5 - -  Terpapar
trimester 2
dietilstylbestrol
(DES)
 Abortus
trimester
2  Hamil kembar
6 - berulang -  Operasi
 Riwayat abdomen
preterm
birth

2.7 Diagnosis
Persalinan prematur adalah sindrom yang menyebabkan 30% semua kelahiran
prematur. Persalinan prematur didefinisikan sebagai adanya kontraksi uterus yang reguler (≥
4 dalam 20 menit atau ≥ 8 dalam 1 jam) dan perubahan serviks pada wanita dengan ketuban
intak dan usia kehamilan < 37 minggu. Bagaimanapun, usia kehamilan < 36 minggu
merupakan batas prematur yang lebih di terima, dan jarang obstetric meunda kelahiran pada
wanita dengan persalinan prematur ketika sudah mencapai 36 minggu.4
2.7.1 Kontraksi Uterus
Gejala utama kelahiran kurang bulan ialah adanya kontraksi uterus. Kontraksi tersebut
reguler, ≥ 4 dalam 20 menit atau ≥ 8 dalam 1 jam, dan setiap kontraksi harus berlangsung >
40 detik. Persepsi frekuensi kontraksi, intensitas, dan durasi kontraksi oleh tenaga kesehatan
yang berbeda akan menyebabkan objektif yang tidak akurat untuk menentukan frekuensi dan
durasi kontraksi dengan monitor eksternal dengan tokodinamometer.4,6
2.7.2 Pemeriksaan Panggul Digital
Tanda utama dari persalinan, term maupun prematur, ialah adanya perubahan pada
serviks. 4 Maka dari itu, ketika wanita datang ke rumah sakit, mengeluhkan adanya kontraksi
uterus yang ireguler, hal pertama yang harus dilakukan ialah melakukan pemeriksaan panggul
digital. Selama pemeriksaan ini, obstetri perlu memeriksa posisi, panjang, konsistensi, dan
dilatasi serviks, juga perkembangan segmen bawah uterus. 2 pemeriksaan utama yang perlu
diperiksa ialah panjang dan dilatasi serviks. Pemeriksaan adekuat pada pendataran serviks
merupakan hal yang sangat penting, dan sayangnya, tidak terdapat kesepakatan yang jelas atau
acuan mengenai bagaimana efek pada pengukuran tersebut. Pendataran serviks dapat diketahui
dengan epmeriksaan USG, panjang serviks pada term ialah 3-4 cm. Namun, estimasi panjang
serviks pada kehamilan term menurut pendapat obstetric ialah 1 – 4 cm dengan nilai tengah
2,47 cm. Maka itu, 50% pendataran ialah panjang serviks 0,5 cm pada beberapa pendapat, dan
2 cm dari pendapat lain. Tidak terdapat kesepakatan atau petunjuk mengenai bagaimana cara
mengukur panjang serviks. Beberapa melakukannya dengan menempatkan satu jari ke dalam
serviks dan mengestimasi panjang serbviks dari ostium eksternal dan internal. Pengukuran ini
tidak pasti karena terkadang sulit untuk mengenali ostium internal dan tidak mungkin
mengetahui bahwa serviks dalam keadaan tertutup. Beberapa pendapat mengestimasi panjang
serviks dari jarak antara forniks posterior dan ostium serviks eksternal, sebuah pengukuran
yang juga tidak pasti karena pada banyak kasus pada pemeriksaan ini tidak memeriksa portio
supravagina. Di samping keterbatasan ini, pemeriksaan pendataran serviks konsisten
difasilitasi dengan komunikasi antar klinisi. Pada pasien dengan serviks tertutup atau terbuka
minimal, dilakukan pengukutan pendataran dengan mengukur panjang serviks antara forniks
posterior dan ostium serviks eksternal. Apabila panjang serviks lebih dari 1 cm, dituliskan
dalam cm. Apabila < 1 cm, panjangnya di tuliskan dengan pendataran (0,75 cm = 25%
pendataran, 0,5 cm = 50% pendataran, 0,25 cm = 75% pendataran, setipis kertas = 100%
pendataran). Apabila serviks cukup berdilatasi untuk dapat masuk satu jari, panjang serviks
ditentukan dengan estimasi jaraknya dari ujung jari pemeriksa ditempatkan dalam ostium
internal menuju bagian jari yang ada di level ostium eksternal. Ketika pemeriksaan dilakukan
dalam kehamilam 20 sampai 34 minggu, mayoritas pada pasien nulipara memiliki serviks yang
menghadap posterior, tertutup, minimal panjang 2 cm, dan konsistensi lebih keras
dibandingkkan jaringan pada vagina dan uterus. Pada wanita multipara, serviks memiliki
derajat dilatasi yang bervariasi, yang mungkin lebih besar ostium eskternal dibandingkan
internal.
Bagian penting dari pemeriksaan panggul wanita dengan kelahiran kurang bulan ialah
pemeriksaan pada segmen bawah uterus. Semua wanita hamil, mengesampingkan paritas dan
usia kehamilan perlu mengembangkan segmen bawah uterus. Ketika segmen bawah uterus
tidak berkembang, memungkinkan untuk dilakukakan pemriksaan dengan jari pada forniks
vagina. Sebaliknya, ketika segmen bawah uterus berkembang, pemeriksaan menemukan
bahwa bagian 1/3 atas vagina terisi dengan segmen bawah uterus yang lebih tipis. Pada banyak
pasien, perkembangan segmen bawah uterus terjadi secara berurutan dengan engagement dari
bagian presentasi. Temuan serviks yang lembut dan pendek dan berkembanganya segmen
bawah uterus mengindikasikan bahwa serviks siap untuk kelahiran, dan penemuan faktor –
faktor yang menyebabkan perubahan serviks perlu dilakukan.
Ketika pemeriksaan digital mengungkapkan bahwa pendataran serviks >80% dan dilatasi
≥ 1 cm, diagnosis kelahiran kurang bulan menjadi jelas. Namun, derajat dilatasi serviks
bervariasi, dan mungkin untuk membedakan 2 kelompok wanita pada kelahiran kurang bulan:
kelompok dengan dilatasi serviks ≥ 3 cm ialah pada kelahiran kurang bulan lanjut, dan
kelompok dengan dilatasi serviks > 1 cm, < 3 cm pada kelahiran kurang bulan dini.
Kebanyakan wanita dengan fase lanjut diharuskan untuk dilakukan persalinan prematur.
Pemeriksaan digital menunjukan wanita dengan kontraksi uterus sering tidak menunjukan
adanya perubahan serviks dengan definisi kelahiran kurang bulan. Pada kasus ini, pemeriksaan
selanjutnya ialah dengan mengukur panjang serviks dengan ultrasound. Apabila pemeriksaan
ultrasound menunjukan panjang serviks <2,5 cm, wanita tersebut berada dalam ancaman partus
prematurus dan berada pada risiko tinggi pada kelahiran kurang bulan. Apabil apanjang serviks
>2,5 cm, maka menjadi kelahiran palsu, dan risiko terjadinya persalinan prematur menjadi
sama dengan populasi obstetri secara umum.
Ringkasnya, waita dengan kontraksi uterus sering yang reguler, dengan pemeriksaan
digital akan menunjukkan wanita pada kelahiran kurang bulan fase lanjut (pendataran serviks
≥ 80% dan dilatasi serviks ≥ 3 cm) atau pada fase dini (pendataran serviks ≥ 80% dan dilatasi
serviks ≥ 1 cm, < 3 cm). Apabila serviks berdilatasi < 1 cm atau tidak ada pendataran, USG
endovaginal akan menentukan kelompok ketiga pada wanita dengan ancaman partus
prematurus (panjang serviks < 2,5 cm). Manajemen kelahiran kurang bulan akan bergantung
dari diagnosis dan klasifikasi kelahiran kurang bulan fase lanjut, dini, atau ancaman partus
prematurus pada waktu dilakukan pemeriksaan inisial.
2.7.3 Kelahiran Kurang Bulan Fase Lanjut
Pada pendataran serviks ≥ 80% dan dilatasi serviks ≥ 3 cm, maka wanita berada pada
keadaan kelahiran kurang bulan fase lanjut. Kemungkinan untuk menentukan adanya
kehamilan berkepanjangan pada pasien yang dirawat di rumah sakit dengan kehahiran kurang
bulan fase lanjut terbatas. Pada mayoritas pasien ini, perpanjangan kehamilan tidak
menunjukkan adanya keuntungan bagi fetus, karena pada kasus ini, kelahiran kurang bulan
merupakan mekanisme protektif untuk fetus dengan ancaman dengan masalah seperti infeksi
dan insufisiensi plasenta. Karena alasan ini, langkah awal pada manajemen fase lanjut adalah
dengan menentukan pasien manayang membutuhkan persalinan dan pasien mana yang akan
mengalami keuntungan dengan menunda persalinan untuk menerima administrasi steroid.4,6

2.7.4 Identifikasi Wanita yang Membutuhkan Persalinan


Langkah awal dalam kelahiran kurang bulan fase lanjut ialah dengan menentukan
apakah ada kondisi yang diindikasikan baik pada maternal maupun fetus dimana
kelahiran tidak perlu di interupsi.4,6Ada beberapa kondisi tersering yang akan dibahas.
2.7.5 Koriamnionitis Akut
Korioamnionitis akut atau terbuka terdapat pada ≤ 10% pasien dengan
kelahiran kurang bulan. Namun, penting untuk mengeksklusi adanya kondisi ini. Tanda
klinis infeksi ketuban akut ialah adanya demam. Gejala dan tanda lain adalah rasa tidak
nyaman pada uterus, takikardia pada maternal dan fetus, cairan vagina berbau busuk,
leukositosis, tanda adanya meningkatnya CRP, dan resistensi terhadap agen tokolitik.
Pada sebagian besar mayoritas kasus, diagnosis korioamnionitis akut jelas dan
konfirmasi infeksi amnion dengan amniosentesis tidak perlu dilakukan. 4,6,12
Diagnosis korioamnionitis akut pada kelahiran kurang bulan ialah indikasi
untuk penghentian pemberian tokolisis, inisasi pemberian antibiotic, dan persalinan.
Persalinan merupakan ukuran terpenting dalam tatalaksana korioamnionitis karena
infeksi tidak akan membaik sampai fetus dilahirkan. Tujuan pemberian antibiotic
ialah untuk mencegah diseminasi infeksi pada ibu dan fetus hingga persalian dicapai.
Pemberian antibiotic pada infeksi korioamnionitis adalah hal yang sia-sia karena
hanya akan membawa morbiditas terhadap ibu dan fetus. Wanita dengan
korioamnionitis harus di tatalaksana dengan antibiotik spektrum luas secara IV dan
perlu dilakukan persalinan secepat mungkin. Pengobatan dengan steroid merupakan
kontraindikasi dengan adanya infeksi terbuka. Tidak terdapat consensus mengenai
antibiotic terbaik atau formulasli antibiotic untuk korioamnionitis akut.
Korioamnionitis akut merupakan komplikasi obstetri yang serius yang
memiliki hubungan signifikan dengan cerebral palsy dan dysplasia bronkopulmonal –
masalah yang sering terjadi pada fetus yang mengalami sindroma respons inflamasi.
Oleh karena itu, persalinan harus segera dilakukan dan para klinisi mengatasinya
dengan operasi cesar.

2.7.6 Gejala Pasien


Diferensiasi awal antara persalinan sejati dan palsu adalah sulit sebelum pendataran dan
dilatasi serviks dapat dibuktikan. Aktivitas uterus sendiri dapat keliru karena adanya
kontraksi Braxton Hicks. Kontraksi ini, digambarkan sebagai kontraksi uterus yang tidak
teratur, tidak ritmik, dan dapat nyeri atau tidak; dapat menyebakan kebingungan dalam
diagnosis persalinan kurang bulan sejati.4,6 Tidak jarang, wanita yang melahirkan sebelum
aterm memiliki aktivitas uterus seperti kontraksi Braxton Hicks sehingga membuat
diagnosis persalinan yang palsu. Karena kontraksi Rahim mungkin saja menyesatkan,
American Academy of Pediatrics dan American College of Obstetricians and
Gynecologyst (1997) sebelumnya telah mengusulkan kriteria berikut untuk memastikan
persalinan kurang bulan:
1. Kontraksi empat kali dalam 20 menit atau delapan kali dalam 60 menit ditambah
perubahan progresif pada leher Rahim
2. Dilatasi serviks lebih besar dari 1 cm
3. Pendataran serviks 80 persen atau lebih besar
Namun, saat ini, kriteria klinis tersebut, sebagai prediktor perlahiran kurang bulan,
sudah dianggap tidak akurat. Dengan demikian, kriteria eksplisit tersebut tidak lagi
dimunculkan pada berbagai pedoman yang lebih baru.
Selain kontraksi Rahim yang diserai nyeri/tidak, gejala seperti penekanan panggul,
kram seperti saat menstruasi, cairan vagina encer, dan nyeri pinggang belakang, secara
empiris berhubungan dengan kelahiran kurang bulan yang akan dan sedang berlangsung
(impending). Keluhan – kleuhan tersebut dianggap oleh sebagian orang sering terjadi pada
kehamilan normal sehinnga pelahiran kurang bulan sering diabaikan oleh pasien, dokter
dan perawat. Pentingnya gejala – gejala ini sebagai penanda persalinan telah ditekankan
oleh beberapa peneliti, tetapi tidak semua. Iams dkk., menemukan bahwa tanda dan hejala
persalinan kurang bulan termasuk kontraksi uterus, muncul hanya dalam waktu 24 jam
persalinan kurang bulan.

2.7.7 Perubahan Serviks


Dilatasi Serviks
Dilatasi serviks asimtomatik setleah pertengahan masa kehamilan diduga
sebagai faktor risiko pelahiran kurang bulan, meskipun beberapa dokter
menganggapnya sebagai sebuah variasi anatomis yang normal, terutama pada wanita
para. Bagaimanapun, banyak studi telah menunjukkan bahwa paritas saja tidak cukup
menjelaskan dilatasi serbiks yang ditemukan pada awal trimester ketiga. Cook dan
Ellwood (1996) secara berkesinambungan mengevaluasi status serviks dengan USG
transvaginal pada kehamilan berusia antara 18 dan 30 minggu pada wanita nulipara dan
para yang akan melahirkan aterm. Panjang dan diameter serviks identic pada kedua
kelompok tersebut selama minggu – minggu kritis untuk bersalin. Di Rumah Sakit
Parkland, pemeriksaan rutin serviks dilakukan antara 26 dan 30 pada 185 wanita.
Sekitar 25 persen wanita dengan serviks berdilatasi 2 atau 3 cm melahirkan sebelum 34
minggu. Peneliti – peneliti lain telah membuktikan dilatasi serviks sebagai predictor
peningkatan risiko pelahiran kurang bulan. 4,6,13,14
Meskipun wanita dengan dilarasi dan pendataran serviks pada trimester ketiga
memiliki peningkatan risiko kelahiran kurang bulan, kw=eadaan ini tidak memperbaiki
hasil akhir kehamilan. Buekens dkk., (1994) secara acak memilih 2.719 wanita untuk
melaksanakan pemriksaan rutin serviks pada setiap kunjungan prenatal dan
membandingkan hasil ini dengan 2.721 wanita yang tidak melakukan pemeriksaan
serial. Pengetahuan tentang dilatasi serviks selama antenatal tidak berdampak pada
kondisi akhir kehamilan terkait dengan kelahiran kurang bulan ataupun frekuensi
intervensi bagi persalinan kurang bulan. Pada peneliti juga melaporkan bahwa
pemeriksaan serviks tidak memicu ketuban pecha dini. Oleh karena itu, tampaknya,
pemeriksaan seviks prenatal tidak menguntungkan atau merugikan.

2.7.7.1 Panjang Serviks


Penilaian sevrviks secara sonografi dengan probe yang dimasukkan melalui
vagina telah dievaluasi secara ekstensif lebih dari sayi dekade terakhir. Teknik adalah
hal yang penting dan Yost dkk., (1999( telah mengingatkan bahwa diperlukan keahlian
khusus untuk itu. Iams dkk., (1996) mengukur panjang serviks pada 2.915 wanita hamil
tidak berisiko pelahiran kurang bulan ketika usia kehamilan sekitar 24 minggu dan
sekali lagi pada 28 minggu. Panjang serviks rata – rata pada 24 minggu adalah sekitar
35 mm. Dan mereka dengan serviks yang terus memendek mengalami peningkatan
angka kelahiran kurang bulan.
Pada wanita dengan riwayat kelahiran sebelumnya yang terjadi sebelum 32
minggu, Owen dkk., (2001) melaporkan hubugnan yang signifikan akan panjang
serviks setika usia kehamilan 16 sampai 24 minggu dengan kehadian kelahiran kurang
bulan sebelum 25 minggu pada kehamilan selanjutnya. Owen dkk., (2003)
menyimpulkan bahwa nilai panjnag serviks untuk memprediksi pelahiran sebelum 35
minggu hanya terlihat pada wanita berisiko tinggi untuk melahirkan kurang bulan. De
Carvalho dkk., (2005) melaporkan suatu studi yang menarik mengenai pemeriksaan
sonografi serviks pada 1.958 wanita yang rutin menghadiri klinik prenatal di
Universitas Sao Paulo. Para peneliti ini mengaitkan panjang serviks sefcara sonografi,
pencorongan (funneling), dna riwayat lahir kurang bulan sebeumnya dengan persalinan
sebslum 35 minggu. Pencorongan didefinisikan sebagai tonjolan selaput ketuban ke
dalam kanal endoserviks dan setidaknya mencapai 25 persen dari seluruh panjnag
serviks.

2.7.7.2 Inkompetensi Serviks


Inkompetensi serviks adalah diagnosis klinis yang ditandai dengan dilatasi
serviks berulang, tanpa rasa sakit, dan kejadiankelahiran spontan pada midtrimester
tanpa adanya pecah ketuban spontan, perdarahan, ataupun infeksi.

2.7.8 Pemantauan Uterus pada Rawat Jalan


Sebuah tokodinamometer eksternal dilingkarkan pada abdomen dan dihubungkan
dengna perekam elektronik yang dipasang pada pinggang sehingga memungkinkan wanita
dapat berjalan sementara aktivitas rahim/uterus direkam. Hasil rekaman dipancarkan
melalui telepon setip hari. Para wanita tersebut diedukasi tentang tanda dan gejala
persalinan kurang bulan dan para dokter tetap dikabari mengenai perkembangna mereka.
Persetujuan pemantauan ini oleh Food and Drug Administration pada tahun 1985
menyarankan penggunaan klinis alat tersebut secara luas. Sleanjutnya, American College
of Obstetricians and Gynecologist (1995) menyimpulkan bahwa penggunaan sistem yang
mahal, besar dan memakan waktu ini tidak mengurangi angka kelahiran kurang bulan.4,6

2.7.9 Fibronektin Janin


Glikoprotein ini diproduksi dalam 20 bentuk molekul yang berbeda oleh berbagai tipe
sel termasuk hepatosit, fibroblast sel endotel, dan amnion janin. Terkonsentrasi tinggi
dalam darah ibu dan cairan amnion, fibronectin janin diduga berperan pada adhesi
interselular selama implantasi dan pemeliharaan adhesi plasenta pada desidua uterus.
Fibronektin janin terdeteksi pada sekresi serviks vaginal wanita dengna kehamilan normal
dan selapir ketuban utuh ketika aterm. Kehamilan normal dan slaput ketuban utuh ketika
aterm. Keberadaan fibronektin janin mencerminkan perubahan bentuk stroma pada serviks
sebelum persalinan.
Lockwood dkk., (1991) melaporkan bahwa deteksi fibronektin pada sekresi
servikobaginal sebelum ketuban pecah merupakan tanda kemungkinan akan terjadinya
persalinan prematur. Fibronektin janin diukur menggunakan pemeriksaan enzyme-linked
immunosorbent assay; dan nilai yang melebihi 50 ng/mL dianggap positif. Kontaminasi
sampel oleh cairan amnion dan darah ibu harus dihindari.
Sebuah nilai positif pemeriksaan fibronektin janin pada serviks atau vagina, bahkan
sejak 8-22 minggu, telah ditemukan sebagai prediktor kuat pelahiran kurang bulan yang
akan terjadi. Pada sebuah uji acak, pemeriksaan fibronektin yang negatif pada wanita yang
terancam persalinan prematur menyebabkan penurunan kunjungan dan lama inap di rumah
sakit.4,6,16
2.8 Pencegahan Kelahiran Kurang Bulan
Pencegahan lahir kurang bulan telah menjadi tujuan yang sulit dijangkau. Namun,
laporan terakhir menunjukkan bahwa pencegahan mungkin dapat tercapai.
2.8.1 Progesteron
Kadar progesteron plasma ibu meningkat selama kehamilan. Oleh karena itu,
penggunaan progesteron untuk memperthankan ketenangan rahim dan memblokade
inisiasi persalinan. Penelitian ileh da Fonseca dkk., (2003,2007) menggunakan
progesteron supositproa per vagina. Pada studi pertama, 142 wanita dengan rwayat
pelahiran kurang bulan sebelumnya, cervical cerclage profilaktik, atau malformasi uterus
secara acak dipilih untuk mendapatkan supositoria progesteron 100 mg atau placebo tiap
hari. Supositoria progesteron dikaitkan dengan penurunan kelahiran sebelum 34 minggu
secara signifikan. 4,6
2.8.2 Rekomendasi Penggunaan Progesteron
Karena hasil – hasil penelitian yang bertentangan mengenai penggunaan progesteron
untuk mencegah kelahiran kurnag bulan, telah muncul beberapa meta-analisis terhadap
penelitian yang telah dipublikasikan. Semua peneliti menyampaikan bukti akan beberapa
manfaat dalam menurunkan kelahirankurang bulan pada populasi tertentu. Secara
bersamaan semua peneiliti tersebut juga mengutarkaan bahwa dperlukan penelitian lebih
lanjut, terutama diakibatkan tidak adanya informasi yang cukup tentang kemungkinan
bahaya.4,6,17
2.8.3 Cervical Cerclage
Ada sedikitnya tiga kondisi untuk memasang cerclage dalam mencegah kelahiran
kurang bulan. Pertama, cerclage dapat digunakan pada wanita yang memiliki riwayat
keguguran berulang pada midtrimester dan yang terdiagnosis memiliki inkompetnesi
serviks. Kondisi kedua adalah wanita dengan serviks yang pendek ang dieidentifikasi
selama pemeriksaan sonografi. Indikasi ketiga adalah cerclage sebagai “penyelamat”,
dilakukan secara darurat jika inkompetensi serviks ditemukan pada wanita dengan
ancaman persalinan kurang bulan.4,6
Mengenai indikasi kedua, Berghella dkk., (2005) meninjau ulang beberapa percobaan
kecil mengenai cerclage pada kelompok ini dan menyimpulkan bahwa cerclage dapat
mengurangi angka kelahiran prematur pada wanita dengan riwayat yang sama
sebleumnya. Dari 16 pusat kesehatan, Owen dkk., (2009) secara acak merekrut 302 wanita
dengan serviks pendek – didefinisikan sebagai panjang <25 mm – yang sebelumnya
melahirkan prematur untuk menggunakan cerclage atau tidak. Jumlah wanita dengan
panjang serviks <15 mm yang melahirkan setelah penggunaan cerclage – 30 versus 65
persen. Penelitian ini menunjukkan bahwa pelahiran kurang bulan berulang dapat dicegah
pada kelompok wanit ayang memiliki riwayat pelahiran kurang bulan sebelumnya.
2.9 Penatalaksanaan Ketuban Pecah Dini dan Persalinan Kurang Bulan
Wanita dengan tanda dan gejala persalinan kuang bulan dengan ketuban utuh
ditatalaksana sama seperti penjelasan di atas untuk mereka dengan ketuban pecah dini kurang
bulan. Dasar pengobatan adalah untuk mencegah pelahiran sebelum 34 minggu, jika
mungkin.4,6
2.9.1 Penatalaksanaan Ketuban Pecah Dini dan Persalinan Kurang Bulan
Wanita yang diketahui berisiko melahirkan kurang bulan dan mereka yuang memiliki
tanda dan gejala persalinan kurang bulan telah menjadi kandidat penerima beberapa intervensi
yang dimaksudkan untuk meningkatkan prognosis neonatus. Jika tidak ada indikasi ibu atau
janin yang mengharuskan pelaksanaan pelahiran yang disengaja, interbensi dimaksudkan
untuk mencegah kelahiran kurang bulan.4
2.9.1.1 Diagnosis Ketuban Pecah Dini
Riwayat perembesan cairan vagina, baik sebagai aliran kontinu atau menyembur,
seharusnya dilakukan pemeriksaan spekulum untuk menvisualisasikan genangan cairan
amnion di vagina, cairan bening dari kanalis servisis uteri atau keduanya. Konfirmasi
ketuban pecah biasanya disertai dengan pemeriksaan sonografi untuk menilai volume
cairan ketuban, mengidentifikasi bagian terbawah, dan jika belum ditentukan sebelumnya,
untuk memperkirakan usia kehamilan. Cairan amnion sedikit bersifat basa dibandingkan
dengan cairan vagina; sering digunakan sebagai dasar ppengujuan pH untuk kasus pecah
ketuban, atau vaginosis bakterialis, bagiamanapun juga, semua bersifat alkali dna dapat
memberikan hasil positif palsu.
2.9.1.2. Riwayat Alami Ketuban Pecah Dini
Cox dkk., (1988) memaparkan hasil akhir kehamilan pada 298 wanita yang melahirkan
setelah ketuban pecah spontan ketika usia kehamilan antara 24 – 34 minggu. Meski
komplikasi ini diidentifikasi hanya 1,7 persen kehamilan kondisi ini menyebabkan 20
persen dari seluruh kematian perinatal. Pada saat mereka datang, 75 persen wanita telah
berada dalam masa persalinan, 5 persen melahirkan akibat kompilasi lainm dan 10 persen
lainnya melahirkan dalam waktu 48 jam. Hanya 7 persen pelahiran tertunda sealam 48 jam
atau lebih setelah ketuban pecah. Namun, subkelompok yang terakhir ini tampaknya
mendapatkan manfaat dari pelahiran yang tertunda, yaitu tidak ada kematian neonatus. Hal
ini kontras dengan tingkat kematian neonatus sebesa 80 per 1000 bayi neonatus kurang
bulan yang dilahirkan dalam waktu 48 jam sejak ketuban pecah.
2.9.1.3 Rawat Inap
Sebagian besar dokter mengopname wanita dengan ketuban pecah dini. Kekhawatiran
tentang biaya rawat inap yang panjang biasanya diperdebatkan karena kebanyakan wanita
memulai persalinan dalam waktu seminggu atau kurang setelah ketuban pecah. Tidak ada
manfaat yang ditemukan dengan rawat inap dan lama rawat ibu di rumah sakit berkurang
sebanyak 50 persen pada mereka yang dikirim ke rumah.
2.9.1.4 Tatalaksana
Prinsip utama penatalaksanaan KPD adalah untuk mencegah mortalitas dan morbiditas
perinatal pada ibu dan bayi yang dapat meningkat karena infeksi atau akibat kelahiran
preterm. Terdapat dua manajemen dalam penatalaksanaan KPD, yaitu manajemen aktif
dan ekspektatif. Manajemen ekspektatif adalah penanganan dengan pendekatan tanpa
intervensi, sementara manajemen aktif melibatkan klinisi untuk lebih aktif mengintervensi
persalinan.18

2.9.2 Pelahiran Disengaja


Sebelum pertengahan 1970-an, persalinan biasanya diinduksi pada wanita dengan
ketuban pecah dini kurang bulan karena kekhawatiran sepsis. Kematangna paru janin,
yang dibuktikan dengan profil surfaktan yang matang, didapatkan pada semua kasus.
pelahiran disengaja mengurangi lama rawat inap ibu dan tingkat infeksi biak pada ibu
maupun neonatus.

2.9.3 Penatalaksanaan Ekspektansi


Meskipun banyak sekali literatur tentang penatalkasanaan ekspektansi pada ksus
ketuban pecah dini kurang bulan, tokolisis telah digunakan dalam beberapa studi. PAda
studi teracak, wanita direkrut untuk mendapatkan tokolisis atau ditatalaksana ekspektansi.
Para peneliti menyimpulkan bahwa intervensi aktif tidak memperbaiki prognosis perinatal.
Pertimbangan lain pada penatalaksanaan ekspektansi kmelibatkan penggunaan
pemeriksaan serviks secaara digital dan cerclage.

2.9.4 Risiko Penatalaksanaan Ekspektansi


Risiko ibu dna janin bervariasi berdasarkan usia kehamilan saat ketuban pecah. Morales
dan Talley 91993b) menantalaksana secara ekspektansi 94 kehamilan tunggal dengan
ketuban pecah sebelum usia kehamilan 25 minggu. Interval waktu rata – ratanya adalah
11 hari.
Volume cairan amnion yang tersisa setelah ketuban pecah tampaknya memiliki
kepentingan prognostic bagi kehamilan berusia sebelum 26 minggu. Hadi dkk., (1994)
menjelaskan 178 kehamilan dengan ketuban pecah antara 20 dan 25 minggu. Emapt puluh
persen wanita mengalami oligohidramnion, yaitu keadaan yan gditandai dengan hilangnya
cairan ketuban sebanyak 2 cm atau lebih. Hampir semua wanita dengan penampakan
oligohidramnion melahirkan sebelum 25 minggu, padahal 85 persen dengan volume cairan
amnion yang memadai melahirkan pada trimester ketiga. Carroll dkk., (1995) mengamati
bahwa tidak ada kasus hypoplasia pada paru janin yang dilahirkan setelah ketuban pecah
pada 24 minggu atau lebih. Hal ini menunjukkan bahwa 23 minggu atau kurang adalah
batas waktu terjadinya hypoplasia paru. Karena itu, ketika merencanakan penatalaksanaan
umumkehamilan lebih dini, perlu diperhatikan kondisi oligohidramnion yang
menyebabkan deformitas ekstremitas akibat kompresi.
Faktor risiko lain juga telah dievaluasi. Neonatus yang dilahirkan oleh wanita dengan
lesi herpes aktif yang ditatalaksana ekspektansi, risiko morbiditas infeksi lebih kecil
dibandingkan risiko – risiko yang berkaitan dengan kelahiran kurang bulan. Lewis dkk.,
(2007) menemukan bahwa penatalaksanaan ekspektansi pada wanita dengan ketuban
pecah dini preterm dan presentasi nonsefalik meningkatkan angka prolapses tali pusat,
terutama sebelum 26 minggu.
2.9.4.1 Korioamnionitis Klinis
Sebagian besar penulis melaporkan bahwa ketuban pecah lama menyebabkan
peningkatan sepsis janin dan ibu. Jika koriamnionitis terdiagnosis, uoaya segera untuk
pelahiran, sebaiknya per vagina, dimulai. Demam merupakan satu – satunya indikator
terpercaya untuk diagnosis ini dan suhu 38C atau lebih yang menyertai pecah ketuban
menyiratkan infeksi. Leukositosis pad aibu saja tidak dapat diandalkan. Selama
penatalaksanaan ekspektansi, dianjurkan pemantauan terhadap takikardia ibu atau janin
terus – menerus, nyeri tekan pada uterus, dan keluarnya sekret vagina berbau busuk.
Dengan adanya korioamnionitis, morbiditas janin dan neonatus sesungguhnya
meningkat. Alexander dkk., (1998) mempelajari 1367 neonatus dengan berat badan
lahir sangat rendah yang dilahirkan di Rumah Sakit Parkland. Sekitar 7 persen
dilahirkan oleh wanita dengan korioamnionitis pasti, dan hasil akhir mereka
dibandingkan dengan bayi yang baru dilahirkan tanpa infeksi klinis. Mereka, pada
kelompok yang terindeksi, mengalami peningkatan insiden sepsis, sindrom distress
pernapasan, kejang awitan dini, perdarahan intraventrikular, dan leukomalasia
periventrikular. Para peneliti menyimpulkan bahwa neonatus berberat badan lahir
sangat rendah ini rentan terhadap cedera neurologis akibat korioamnionitis.
Meskipun Locatelli dkk., (2005) telah menentang temuan ini, ada bukti lain
bahwa bayi baru lahir yang sangat kecil memiliki peningkatan risiko sepsis. Yoon dkk.,
(2000) menemukan bahwa infeksi intra-amnion oada neonatus prematur dikaitkan
dengan peningkatan angka cerebral palsy pada usia 3 tahun.4,12

2.9.4.2 Percepatan Pematangan Paru


Berbagai kondisi klinis- beberapa telah dipaparkan dengan baik – pernah
dinyatakan dapat mempercepat produksi surfaktan janin (gluck, 1979). Kondisi ini
termasuk penyakit ginjal atau jantung kronik, gangguan hipertensi, kecanduan heroin,
hambatan pertumbuhan janin, infark plasenta, korioamniontisi, dan ketuban pecah dini
kurang bulan. Meskipun pandangan ini telah dipelajari secara ;uas selama bertahun –
tahun, penelitian – penelitian yang ada tidak, mendukung hubungan tersebut.

2.9.4.3Terapi Antimikroba
Usulan pathogenesis mikroba untuk persalinankurang bulan spontan atau
ketuban pecah telah membuat para peneliti supaya memberikan berbagai antimikroba
sebagai upaya untuk mencegah pelahiran.
Terdapat sebuah percobaan untuk mempelajari penatalaksanaan ekspektansi
yang dikombinasi dengan terapi ampisilin, amoksisilin plus eritromisin atau plaseno
selama 7 hari. Para wanita mengalami pecah ketiban antara 24 – 32 minggu. Baik
tokofilik ataupun kortikosteroid tidak diberikan. Wanita yang diterapi dengan
antimikroba secara signifikan lebih sedikit memiliki neonatus dengna sindrom distress
pernapasan, necrotizing entercolitis dan gabungan prognosisyang buruk. Periode laten
secara signifikan lebih lama. Secara khusus 50 persen wanita yang diberikan regimen
antimikroba tetap tidak melahirkan setelah 7 hari pengobatan dibandingkan dengan
hanya 25 persen dari mereka yang diberikan placebo. Terdapat pula kehamilan
memanjang yang signifikan hingga hari ke-14 dan 21. Kolonisasi Streptokokus grup-B
pada servikovaginal tidak mengubah hasil itu.
Penelitian lebih baru telah menguji efektivitas waktu terapi yang lebih singkat
dan kombinasi antimikroba lainnya. Efektivitas terapi 3 hai dibandingkan dengan
regimen 7 hari menggunakan ampisilin atau ampisilin – sulbaktam memberikan hasil
akhir yang setara.
Dapat disimpulkan bahwa administrasi antibiotik mengurangi morbiditas maternal dan
neonatal dengan menunda kelahiran yang akan memberi cukup waktu untuk profilaksis dengan
kortikosteroid prenatal. Pemberian co-amoxiclav pada prenatal dapat menyebabkan neonatal
necrotizing enterocolitis sehingga antibiotik ini tidak disarankan. Pemberian eritromisin atau
penisilin adalah pilihan terbaik. Pemberian antibiotik dapat dipertimbangkan digunakan bila
KPD memanjang (> 24 jam):18, 19
Jenis Antibiotik Dosis Rute Frekuensi
Eritromisin 250 mg PO Setiap 6 jam
Benzilpenisilin 1,2 g IV Setiap 4 jam
Klindamisin 600 mg IV Setiap 8 jam
Rekomendasi Antibiotik untuk Ketuban Pecah Dini – Administrasi antibiotik profilaksis mengurangi morbiditas maternal
dan neonatal. Pemberian dipertimbangkan apabila KPD memanjang (>24 jam).

2.9.4.4 Kortikosteroid
National Institute of Health Consensus Development Conference (2000)
merekomendasikan satu paket kortikosteroid selama antenatal untuk wanita dengan
ketiban pecah dini sebelum 32 minggu dan tidak terdapat tanda – tanda korioamnionitis.
Pemberian kortikosteroid berupa betamethasone 12 mg IM setiap 24 jam dikali 2 dosis.
Jika betamethasone tidak tersedia, gunakan dexamethasone 6 mg IM setiap 12 jam
selama 48 jam.19

2.9.4.5 Perbaikan Selapit Ketuban


Segel jaringan telah digunakan untuk berbagai keperluan pengobatan dan telah
berperan penting dalam menjaga hemostatis bedah dan menstimulasi penyembuhan
luka.19

2.9.4.6Rekomendasi Penatalaksanaan
Skema penatalaksanaan yang direkomendasikan oleh American College of
Obstetricians and Gynecologist (2007)4

Usia Kehamilan Penatalaksanaan


34 minggu atau lebih  Lanjutlan untuk pelahiran, biasanya
dengan induksi persalinan
 Disarankan profilaksis terhadap
Streptokokus grup B
32 minggu hingga 33 minggu lengkap  Penatalaksanaan kehamilan
ekspektansi kecuali jika kematangan
paru janin tercatat
 Disarankan profilaksis terhadap
Streptokokus Grup B
 Kortikosteroid – tidak ada konsensis,
namun beberapa ahli menyarankan
 Antimikroba untuk perpanjangan
masa laten jika tidak ada
kontraindikasi
24 minggu hingga 31 minggu lengkap  Penatalaksanaan kehamilan
ekspektansi
 Disarankan profilaksis terhadap
Streptokokus Grup B
 Disarankan penggunaan
kortikosteroid satu paket
 Tokolitik – tidak ada consensus
 Antimikroba untuk perpanjangan
masa laten jika tidak ada
kontaindikasi
Sebelum 24 minggu  Konseling pasien
 Penatalaksanaan kehamilan
ekspektnasi atau induksi persalinan
 Profilaksis terhadap Streptokokus
Grup B tidak disarankan
 Kortikosteroid tidak disarankan
 Antimikroba – tidak didapatkan data
yang cukup mengenai
penggunaannya pada pemanjangan
masa laten
2.10 Persalinan Kurang Bulan dengan Ketuban Utuh
Wanita dengan tanda dan gejala persalinan kuang bulan dengan ketuban utuh
ditatalaksana sama seperti penjelasan di atas untuk mereka dengan ketuban pecah dini kurang
bulan. Dasar pengobatan adalah untuk mencegah pelahiran sebelum 34 minggu, jika mungkin.

2.10.1 Amniosentesis untuk Deteksi Infeksi


Beberapa tes telah digunakan untuk mendiagnosis infeksi intraamnion. Sebuah
penelitian mengevaluasi nilai diagnostic cairan amnion yang mengandung leukosit tinggi,
kadar glukosa rendah, konsentrasi interleukin-6 yang tinggi, atau hasil pewarnaan Gram
yang positif pada 12p wanita dengan persalinan kurang bulan dan ketuban utuh. Wanita
dengan hasil positif dari kultur cairan amnion dianggap terinfeksi. Para peneliti ini
menemukan bahwa spesifitas hasil negatif pada pewarnaan Gram dapat menyingkirkan
bakteri cairan amnion sebesar 99 persen. Sensitivitas kadar interleukin-6 yang tinggi
adalah 82 persen untuk mendeteksi cairan amnion yang mengandung bakteri. Para peneliti
lain juga menemukan korelasi yang baik antara interleukin-6 cairan amnion atau kadar
leukosit dengan infeksi koriamnionik. Walaupun ada hubungan tersebut, penemuan di atas
belum menunjukkan bahwa amniosenstesis untuk mendiagnosis infeksi berkaitan dengan
perbaikan hasil akhir kehamilan pada wanita dengan atau tanpa pecah ketuban. American
College of Obstetricians and Gynecologists (2003) telah menyimpulkan bahwa tidak ada
bukti pendukung bahwa amniosenstesis rutin dapat mengidentifikasi infeksi.4,6

2.10.2 Terapi Kortikosteroid untuk Meningkatka Pematangan Paru Janin


Terapi kortikosteroid efektif untuk menurunkan kejadian distress pernapasan dan
tingkat kematian bayi jika kelahiran ditunda selama minimal 24 jam setelah dimulainya
betametason. Kortikosteroid direkomendasikan untuk pematangan paru janin pada kasus
ancaman kelahiran kurang bulan.4,6
Tidak ada cukup data untuk menilai efektivitas kortikosteroid pada kehamilan dengan
komplikasi hipertensi, diabetes, kehamilan multijanin, hambatan pertumbuhan janin, dan
hydrops fetalis.
Isu keamanan pada janin dan bayi yang diberikan kortikosteroid tunggal versus
berulang untuk pematangan paru telah menjadi topik pada dua penelitian besar. Meskipun
keduanya menemukan bahwa pemberian berulang bermanfaat untuk mengurangi tingkat
morbiditas pernapasan neonatus, konsekuensi jangka panjangnya berbeda. Sebuah
penelitian oleh Wapner dkk., (2007) menyatakan bahwa angka cerebral palsy meningkat
meskipun tidak signifikan pada pemberian kortikosteroid berulang. Dosis betametason
yang dilipatgandakan pada studi itu mengkhawatirkan karena ada beberapa bukti
eksperimental yang mendukung pandangan bahwa efek buruk kortikosteroid tergantung
pada dosis.4,6

2.10.3 Terapi “Penyelamatan”


Hal ini mengacu pada pemberian dosis kortikosteroid saat pelahiran akan segra terjadi
dan telah lebih dari 7 hari berlalu sejak pemberian dosis pertama. Rekomendasi terapi
penyelamatan tidak harus secara rutin digunakan dan harus berdasarkan uji klinis. Uji acak
pertama menemukan bahwa dosis penyelamatan betametason meningkatkan risiko
sindrom distress pernapasan. Penelitian multipisat pada 437 wanita <33 minggu yang
diacak untuk menerima terapi penyelamatan atau placebo, melaporkan penurunan tingkat
komplikasi pernapasan dan morbiditas gabungan neonatus secara signifikan dengan terapi
kortikosteroid penyelamatan. Namun, tidak didapatkan perbedaan antara angka kematian
perinatal dan morbiditas lainnya. 4,6

2.10.4 Antimikroba
Seperti pada letuban pecah dini kurang bulan, antiimikroba telah diberikan untuk
menahan persalinan kurang bulan. Hasilnya pun telah mengecewakan. Terdapat perbedaan
angka sindrom distress pernapasan atau sepsis neoantus antara kelompok placebo dan
kelompok yang diobati dengan antimikroba. Namun, mereka menemukan peningkatan
morbiditas perinatal pada kelpmpok yang diobatai antimikroba. 4,6

2.10.5 Cerclage Darurat atau Penyelamatan


Konsep bahwa inkompetensi serbiks dan persalinan kurang bulan merupakan sebagian
dari banyak penyebab pelahiran kurang bulan telah mendapatkan dukungan. Akibatnya,
para peneliti telah mengevaluasi pernanan cerclage yang dipasang setelah persalinan
kurang bulan mulai bermanifestasi secara klinis. Disimpulkan bahwa jika inkompetensi
serviks terjadi bersamaan dengan ancaman persalinan kurang bulan, cerclage darurat
(emergency cerclage) dapat dicoba, meskipun dengan risiko infeksi dan kkeguguran yang
cukup besar. Nuliparitas, selaput ketuban menonjol sehingga melewati ostium serviks
eksternum, dan cerclage sebelum 22 minggu mennyebabkan penurunan yang signifikan
kemungkinan kehamilan berlanjut sampai 28 minggu atau lebih.4,6
Tetapi, cerclage darurat tidak dianjurkan bagi para wanita dengan tanda-tanda infeksi,
perdarahan aktif dari vagina, atau kontraksi uterus.19

2.10.6 Pencegahan Persalinan Kurang Bulan

Meskipun sejumlah obat – obatan dan intervensi lainnya telah diupayakan untuk
mencegah atau menghambat peralinan kurang bulan, tidak ada yang telah terbukti benar –
benar efektif. American College od Obstetricians and Gynecologists (2007) telah
menyimpulkan bahwa agen tokolitik tidak secara nyata memperpanjang masa gestasi,
tetapi mungkin menunda pelahiran ada beberapa wanita, setidaknya 48 jam. Hal ini dapat
memfasilitasi perjalanan ke pusat obstetric regional dan memungkinkan kesemparan untuk
pemberian terapi kortikosteroid.

2.10.7 Tirah Baring

Ini adalah salah satu intervensi yang paling sering dilakukan selama kehamilan, namun
salah satu yang masih sedikit dipelajari. Penelitian oleh Sosa dkk., (2004) menyimpulkan
bahwa bukti yang tersedia tidak mendukung ataupun menyangkal penggunaan tirah baring
untuk mencegah kelahiran kurang bulan.

2.10.8 Hidrasi dan Sedasi

Helfgott dkk., (1994) membandingkan hidrasi dan sedasi dengan tirah baring pada uji
acak 119 wanita yang terancam persalinan kurang bulan. Wanita yang dipilih secara acak
menerima 500mL kristaloid selama 30 menit dan 8-12 mg morfin sulfat intramuscular
menunjukkan hasil yang sama dengan mereka yang diharuskan tirah baring. Kontraksi
dapat berhenti lebih cepat, dapat keluar rumah sakit jauh lebih awak dibandingkan wanita
yang tidak di terapi, hasil akhir kehamilannya sama.

2.10.9 Pemberian tokolitik


Tokolitik akan menghambat kontraksi myometrium dan dapat menunda persalinan.
Alasan pemberian tokolitik pada persalinan preterm adalah untuk mencegah mortalitas dan
morbiditas pada bayi prematur, memberi kesempatan bagi terapi kortikosteroid untuk
menstimulasi surfaktan paru janin, dan memberi kesempatan trasnfer intrauterin pada
fasilitas yang lebih lengkap.4,6,20

Beberapa macam obat yang dapat digunakan sebagai tokolitik:


a. Nifedipin
Nifedipin adalah antagonis kalsium, diberikan secara oral. Dosis inisial adalah 20 mg,
kemudian dilanjutkan dengan 10-20 mg, 3-4 kali per hari, disesuaikan dengan aktivitas uterus
sampai 48 jam. Dosis maksimal adalah 60mg/hari. Antagonis kalsium merupakan relaksan otot
polos yang menghambat aktivitas uterus dengan mengurangi influks kalsium melalui kanal
kalsium. Nifedipin diabsorbsi cepat di saluran pencernaan setelah pemberian oral ataupun
sublingual. Konsentrasi maksimal pada plasma umumnya dicapai setelah 15-90 menit setelah
pemberian oral, dengan pemberian sublingual konsentrasi dalam plasma dicapai setelah 5
menit pemberian.
b. Magnesium sulfat
Magnesium sulfat dipakai sebagai tokolitik yang diberikan secara parenteral. Dosis
awal 4-6 gr IV diberikan dalam 15-20 menit, diikuti 1-2 gram per jam. Bila terjadi intoksikasi,
diberikan penawar berupa kalsium glukonas 1 gram secara IV perlahan-lahan.
Terapi tokolitik magnesium sulfat terbukti aman dan bermanfaat terhadap janin dan ibu.
Namun, perubahan tulang yang terlihat melalui rontgen terlihat pada neonatus dari pasien yang
menerima infus magnesium sulfat jangka panjang (lebih dari 1 minggu). Perubahan-perubahan
ini termasuk abnormalitas tulang secara radiografi seperti perubahan dari tulang panjang,
penipisan tulang parietal, dan mineralisasi tulang yang abnormal. Bukti epidemiologi
menunjukkan bahwa terapi magnesium sulfat pada ibu memiliki efek neuroprotektif bagi janin.
Para peneliti menunjukkan bahwa pajanan magnesium memperbaiki beberapa hasil akhir
perinatal. Angka kematian neonatus dan cerebral palsy lebih rendah pada kelompok yang
ditearapi magnesium – namun, penelitian ini tidak memiliki cukup kapasitas.
Bukti yang lebih meyakinkan lainnya tentang neuroproteksi oleh magnesium
selanjutnya diperoleh dari NICHD Maternal-Fetal Medicine Units Network yang dilaporkan
oleh Rouse dkk., (2008), Beneficial Effects of Antenatal Magnesium Sulfate – BEAM- Study
merupakan uji terkontrol placebo pada 2241 wanita dengan risiko ancaman pelahiran kurang
bulan antara 24 dan 31 minggu. Hampir 87 persen sudah pecah ketuban sejka dini dan hamper
seperimanya telah mendapatkan magnesium sulfat sebelumnya sebagai tokolisis. Disimpulkan
penggunaan magnesium sulfat untuk pencegahan cerebral palsy sebelum 28 minggu.
Bagaimanapun, yang pasti adalah infus magnesium sulfat yang diberikan pada ibu tidak dapat
dikaitkan dengan peningkatan kematian perinatal. Ketika magnesium sulfat digunakan dengan
hati-hati sebagai obat tokolitik, efek sampingnya terhadap ibu, janin dan neonatus biasanya
sedikit dan tidaklah serius atau merusak.

c. Beta-2-sympathomimetics
Saat ini sudah banyak ditinggalkan. Preparat yang biasa dipakai adalah ritodrine,
terbutaline, salbutamol, isoxsuprine, fenoterol and hexoprenaline. Contoh: Ritodrin (Yutopar)
Dosis: 50 mg dalam 500 ml larutan glukosa 5%. Dimulai dengan 10 tetes per menit dan
dinaikkan 5 tetes setiap 10 menit sampai kontraksi uterus hilang. Infus harus dilanjutkan 12-
48 jam setelah kontraksi hilang. Selanjutnya diberikan dosis pemeliharaan satu tablet (10 mg)
setiap 8 jam setelah makan. Kontraindikasi pemberian adalah penyakit jantung pada ibu,
hipertensi, hipotensi, hipertiroid, diabetes, dan perdarahan antepartum. Efek samping yang
dapat terjadi pada ibu adalah palpitasi, rasa panas pada muka (flushing), mual, sakit kepala,
nyeri dada, hipotensi, aritmia kordis, edema paru, hiperglikemi, dan hipoglikemi. Efek samping
pada janin antara lain takikardia, hipoglikemi, hipokalemi, ileus, dan hipotensi.

d. Progesteron
Progesteron dapat mencegah persalinan preterm. Injeksi 17-alpha
hydroxyprogesterone caproate (17P) menurunkan persalinan pretern berulang. Dosis 250 mg
IM setiap minggu sampai 37 minggu kehamilan atau sampai persalinan. Pemberian dimulai
16-21 minggu kehamilan.

e. COX-2 inhibitor
Indomethacin
Dosis awal 100 mg, dilanjutkan 50 mg per oral setiap 6 jam untuk 8 kali pemberian. Jika
pemberian lebih dari dua hari, dapat rnenimbulkan oligohidramnion akibat penurunan aliran
darah ginjal janin. Indometasin direkomendasikan pada kehamilan >32 minggu karena dapat
mempercepat penutupan duktus arteriosus.
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan tinjauan pustaka dan pembahasan tersebut, maka dapat ditarik beberapa
simpulan, yaitu :
1. Partus prematurus atau persalinan prematur merupakan dimulainya kontraksi uterus
yang teratur disertai pendataran dan atau dilatasi serviks serta turunnya bayi pada
wanita hamil yang lama kehamilannya kurang dari 37 minggu (kurang dari 259
hari) dari hari pertama haid terakhir.
2. Persalinan preterm menjadi masalah obstetri penting sebab menjadi salah satu
penyebab utama morbiditas dan mortalitas perinatal.
3. Pengenalan faktor resiko dan identifikasi penyebab terjadinya persalinan preterm
adalah penting dalam upaya pencegahan terhadap terjadinya persalinan preterm
yang dapat dijelaskan kepada ibu hamil melalui komunikasi, informasi, dan
edukasi.
4. Wanita yang diketahuin beresiko mengalami persalinan preterm dan mereka yang
diketahui memiliki tanda dan gejala persalinan preterm telah menjadi kandidat
penerima intervensi yang dimaksudkan untuk meningkatkan prognosis neonatus.
Jika tidak ada indikasi ibu atau janin yang mengharuskan pelaksanaan persalinan
yang disengaja, maka intervensi dimaksudkan untuk mencegah persalinan kurang
bulan.
5. Intervensi medik yang dilakukan adalah pemberian tokolisis, kortikosteroid, dan
antibiotik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Practice Bulletin No. 171 Summary: Management of Preterm Labor :
Obstetrics & Gynecology [Internet]. [cited 2018 Mar 6]. Available from:
https://journals.lww.com/greenjournal/Abstract/2016/10000/Practice_Bulleti
n_No__171_Summary___Management_of.52.aspx
2. Beck S, Wojdyla D, Say L, Betran AP, Merialdi M, Requejo JH, et al. The
worldwide incidence of preterm birth: a systematic review of maternal
mortality and morbidity. Bull World Health Organ. 2010 Jan;88(1):31–8.

3. Pool BAVD. Preterm Labor: Diagnosis and Treatment. Am Fam Physician.


1998 May 15;57(10):2457.

4. Cunningham. Willams Obstetrics. 24th ed. Mc Graw Hill; 2014.

5. Callahan T. Blueprints Obstetrics & Gynecology. 6th ed. Baltimore:


Lippincott Williams & Wilkins; 2013.
6. Arias F. Practical Guide to High Risk Pregnancy & Delivery. 3rd ed. India;
2008.

7. WHO | The worldwide incidence of preterm birth: a systematic review of


maternal mortality and morbidity [Internet]. [cited 2018 Mar 6]. Available
from: http://www.who.int/bulletin/volumes/88/1/08-062554/en/
8. Beckmann C. Obstetrics and Gynecology. 6th ed. Baltimore: Lippincott
Williams & Wilkins; 2010.
9. Quinn J-A, Munoz FM, Gonik B, Frau L, Cutland C, Mallett-Moore T, et al.
Preterm birth: Case definition & guidelines for data collection, analysis,
and presentation of immunisation safety data. Vaccine. 2016 Dec
1;34(49):6047–56.

10. Pengelolaan Persalinan Preterm. POGI. 2011.


11. Davey M-A, Watson L, Rayner JA, Rowlands S. Risk-scoring systems for
predicting preterm birth with the aim of reducing associated adverse
outcomes. In: Cochrane Database of Systematic Reviews [Internet]. John
Wiley & Sons, Ltd; 2015. Available from:
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/14651858.CD004902.pub5/abstr
act

12. Smith EJ, Muller CL, Sartorius JA, White DR, Maslow AS. C-Reactive
Protein as a Predictor of Chorioamnionitis. J Am Osteopath Assoc. 2012
Oct 1;112(10):660–4.
13. Ultrasonographic Cervical Length Assessment in Predicting Preterm
Birth in Singleton Pregnancies - Journal of Obstetrics and Gynaecology
Canada [Internet]. [cited 2018 Mar 6].

14. McNamara HC, Crowther CA, Brown J. Different treatment regimens of


magnesium sulphate for tocolysis in women in preterm labour. Cochrane
Database Syst Rev. 2015 Dec 14;(12):CD011200.

15. Klauser CK, Briery CM, Tucker AR, Martin RW, Magann EF, Chauhan
SP, et al. Tocolysis in women with advanced preterm labor: a secondary
analysis of a randomized clinical trial. J Matern Fetal Neonatal Med. 2016
Mar;29(5):696–700.

16. Fetal fibronectin for evaluation of preterm labor in the setting of cervical
cerclage: The Journal of Maternal-Fetal & Neonatal Medicine: Vol 25, No
11 [Internet]. [cited 2018 Mar 6].

17. Caesarean section versus vaginal delivery for preterm birth in singletons -
Alfirevic - 2013 - The Cochrane Library - Wiley Online Library [Internet].
[cited 2018 Mar 6].

18. PNPK dan PPK – POGI [Internet]. [cited 2018 Mar 6]. Available from:
http://pogi.or.id/publish/download/pnpk-dan-ppk/

19. NICE Preterm Labor and Birth Guideline

20 . Preterm Labor and Birth | NICHD - Eunice Kennedy Shriver National


Institute of Child Health and Human Development [Internet]. [cited 2018
Mar 6]. Available from: https://www.nichd.nih.gov/health/topics/preterm

Anda mungkin juga menyukai