Anda di halaman 1dari 26

DIABETES INSIPIDUS

REFERAT

Oleh
Geraldi Kusuma Wijaya
122011101019

Pembimbing

dr. Hudoyo, Sp.PD

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS JEMBER


SMF/LAB. ILMU PENYAKIT DALAM
RSD dr. SOEBANDI JEMBER
2016

i
DIABETES INSIPIDUS

REFERAT

disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya


SMF/Lab. Ilmu Penyakit Dalam RSD dr. Soebandi Jember

Oleh
Geraldi Kusuma Wijaya
122011101019

Pembimbing

dr. Hudoyo, Sp. PD

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS JEMBER


SMF/LAB. ILMU PENYAKIT DALAM
RSD dr. SOEBANDI JEMBER
2016

ii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL .................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................. iii
BAB 1. PENDAHULUAN ........................................................................... 1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 2
2.1 Definisi....................................................................................... 2
2.2 Fisiologi Mekanisme Ekskresi Air ............................................ 2
2.2.1 Regulasi AVP secara Osmotik dan non-Osmotik ......... 2
2.2.2 Mekanisme Haus ........................................................... 3
2.2.3 Mekanisme Aksi Selular AVP ...................................... 3
2.2.4 Mekanisme Konsentrasi ................................................ 4
2.2.5 Mekanisme Dilusi.......................................................... 4
2.3 Klasifikasi ................................................................................. 4
2.3.1 Diabetes Insipidus Sentral ............................................. 4
2.3.2 Diabetes Insipidus Nefrogenik ...................................... 5
2.3.3 Diabetes Insipidus Dipsogenik ...................................... 5
2.3.4 Diabetes Insipidus Gestasional ...................................... 6
2.4 Etiologi ...................................................................................... 6
2.5 Patofisiologi.................................................................. ............. 9
2.6 Gejala Klinis.................................................................. ............ 13
2.7 Diagnosis ................................................................................... 15
2.8 Pemeriksaan Penunjang ............................................................. 16
2.9 Diagnosis Banding ..................................................................... 17
2.10 Tatalaksana................................................... ........................... 18
BAB 3. KESIMPULAN .............................................................................. 21
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 23

iii
1

BAB 1. PENDAHULUAN

Diabetes insipidus merupakan suatu penyakit yang jarang ditemukan.


Penyakit ini diakibatkan oleh berbagai penyebab yang dapat mengganggu
mekanisme neurohypophyseal-renal reflex sehingga mengakibatkan kegagalan
tubuh dalam mengkonversi air. Kebanyakan kasus-kasus yang pernah ditemui
merupakan kasus idiopatik yang dapat bermanifestasi pada berbagai tingkatan umur
dan jenis kelamin.1
Terdapat 4 jenis diabetes insipidus yaitu diabetes insipidus sentral,
nefrogenik, dipsogenik, dan gestasional. Pada diabetes insipidus sentral, kelainan
terletak di hipofisis, sedangkan pada diabetes insipidus nefrogenik kelainan
dikarenakan ginjal tidak memberikan respon terhadap hormon antidiuretik sehingga
ginjal terus menerus mengeluarkan sejumlah besar air kemih yang encer. Diabetes
insipidus bisa merupakan penyakit keturunan. Gen yang menyebabkan penyakit ini
bersifat dominan dan dibawa oleh kromosom X. Wanita yang membawa gen ini
bisa mewariskan penyakit ini kepada anak laki-lakinya. Penyebab lain dari diabetes
insipidus nefrogenik adalah obat-obat tertentu.2,3,4
Diabetes insipidus ditandai dengan gejala khas yaitu poliuria dan polidipsia.
Jika penyebabnya genetik, gejala biasanya timbul segera setelah lahir. Bayi tidak
dapat menyatakan rasa hausnya, sehingga mereka bisa mengalami dehidrasi. Bayi
bisa mengalami demam tinggi yang disertai dengan muntah dan kejang-kejang.
Jika tidak segera terdiagnosis dan diobati bisa terjadi kerusakan otak, sehingga bayi
mengalami keterbelakangan mental. Dehidrasi yang sering berulang juga akan
menghambat perkembangan fisik.3,4
2

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi 1,7


Diabetes insipidus merupakan suatu kondisi kronik dimana terjadi
peningkatan rasa haus dan peningkatan kuantitas urin dengan berat jenis yang
rendah. Kondisi ini merupakan manifestasi klinis dari defisiensi pitresin (ADH)
yang diproduksi oleh hipofisis lobus posterior yang berperan dalam mengatur
metabolisme air di tubuh atau merupakan kondisi klinis akibat dari ketidakpekaan
tubulus ginjal terhadap ADH.5 .

2.2 Fisiologi Mekanisme Ekskresi Air


Dalam pengaturan ekskresi air, ginjal menyertakan mekanisme
neurohyphophysealrenal reflex. Komponen humoral dalam mekanisme ini adalah
ADH yang disebut juga arginin vasopresin (AVP). AVP disintesis oleh suatu
molekul prekursor dalam nukleus supraoptik, paraventrikular, dan sedikit pada
nukleus filiformis hipotalamus. Setelah disintesis, AVP dibungkus ke dalam
semacam neurosecretory granules pada retikulum endoplasma di mana setiap
granul tersebut mengandung baik AVP maupun suatu molekul carrier yang disebut
neurofisin, granul tersebut ditransportasikan melalui akson neuron hipotalamus
yang berakhir pada hipofisis posterior. Pelepasan AVP oleh hipofisis posterior
terjadi melalui proses eksositosis dimana baik AVP maupun neurofisin dilepaskan
ke dalam sirkulasi.

2.2.1 Regulasi AVP secara Osmotik dan Non-osmotik


Dalam pengaturan sintesis dan pelepasan AVP terdapat 2 mekanisme yaitu
jalur osmotik dan non-osmotik.
Jalur osmotik melibatkan Verney’s osmoreceptir cells yang berada di
hipotalamus anterior, di luar sawar darah otak. Dengan adanya deplesi cairan,
terjadi peningkatan osmolalitas cairan ekstra sel (ECF) yang menyebabkan
penurunan volume sel-sel osmoreseptor sehingga terjadi stimulasi listrik yang
mengakibatkan depolarisasi membran selm eksositosis dan pelepasan AVP.
3

Sebaliknya jika terjadi pemasukan air maka osmolalitas ECF menurun dan
pengembangan sel-sel osmoreseptor akan menghambat terjadi stimulasi listrik dan
depolarisasi membran sel,
Stimulasi non-osmotik utama yang menyebabkan pelepasan AVP tanpa
adanya perubahan osmolalitas ECF adalah deplesi volume ECF dan hipotensi.
Stimulasi lainnya adaah keadaan –keadaan dimana terjadi peningkatan stimulasi
adrenergik termasuk nyeri, takut, dan hipoksia. Evolusi filogenetik jalur non-
osmotik nampaknya merupakan bagian yang integral terhadap reaksi stress. Dengan
demikian AVP akan dilepaskan juga pada keadaan stress dimana selain berfungis
sebagai ADH, AVP juga berfungsi sebagai vasokonstrisi.

2.2.2 Mekanisme Haus


Mekanisme osmolalitas plasma akan merangsang pusat haus,sebaliknya
penurunan osmolalitas plasma akan menekan pusat haus. Seperti pada mekanisme
pelepasan AVP, pengaturan osmotik rasa haus dipengaruhi oleh volume sel pusat
haus di hipotalamus. Ambang rangsang pusat haus (295 mOsmol/kgBB) ternyata
lebih tinggi daripada ambang rangsang osmotik pelepasan AVP (280
mOsmol/kgBB). Hal ini merupakan suatu perlindungan terhadap deplesi air.
Terdapat suatu jalur non-osmotik terhadap stimuasi pusat haus. Diduga
sistem renin-angiotensin merupakan salah satu mediator sistem ini. Telah
dibuktikkan renin atau angiotensin eksogen dapat menimbulkan rasa haus dan
nefroktomi dapat menghilangkan rasa haus akibat deplesi ECF.
2.2.3 Mekanisme Aksi Selular AVP
Mekanisme yang pasti bagaimana AVP dapat meningkatkan permiabilitas
epithel collecting duct terhadap air sampai sekarang belum jelas. Kemungkinan
setelah dilepaskan dari hipofisis posterior, AVP masuk ke dalam sirkulasi ginjal
dan terikat pada reseptornya di sisi kontraluminal. {enggabungan AVP dengan
reseptornya mengaktifkan adenilsiklase membran sel yang mengkatalis perubahan
ATP menjadi cAMP protein kinase kemudian muncul untuk melakukan fosfolirasi
protein membran sel yang kemudian meningkatkan permeabilitas dengan cara
melebarkan ukuran piru dan memperbanyak jumlah pori. Terdapat suatu fosfatase
4

pada membran yang dapat mengembalikan proses tersebut diatas. Integritas


mikrotubulus dan mikrofilamen merupakan faktro yang penting dalam proses
peningkatan permiabilitas selain proses pembentukan cAMP.

2.2.4 Mekanisme Konsentrasi


ADH meningkatkan permeabilitas tubulus distal dan collecting duct
terhadap air sehingga dapat berdifusi secara pasif akibat adanya perbedaan
konsentrasi. Dengan demikian jika terdapat ADH dalam sirkulasi, misalnya pada
keadaan hidropenia, aan terjadi difusi pasif dimana air keluar dari tubulus distal
sehingga terjadi keseimbangan osmotik antara isi tubulus dan korteks yang isotonis.
Sejumlah kecil urin yang isotonis memasuki collecting duct. Melewati medula yang
hipertonis. ADH juga berperan dalam keseimbangan osmotik antara collecting duct
dan jaringan intersitial medula, maka air secara progresif akan direabsorbso
kembali sehingga terbentuk urin yang terkonsentrasi.

2.2.5 Mekanisme Dilusi


Jika ADH tidak disekresi, misalnya pada orang yang terhidrasi baik, struktur
distal tetap tidak permeabel terhadap air. Dengan demikian sewaktu urin yang
hipotonis melewati distal, Na akan lebih banyak dikeluarkan sehingga osmolalitas
urin semakin berkurang. Selanjutnya urin yang sangat hipotonis memasuki
collecting duct yang juga relatif tidak permeabel sehingga memungkinkan ekskresi
sejumlah besar urin yang terdilusi.

2.3 Klasifikasi
2.3.1 Diabetes insipidus sentral
Merupakan bentuk tersering dari diabetes insipidus dan biasanya berakibat
fatal. Diabetes insipidus sentral merupakan manifestasi dari kerusakan hipofisis
yang berakibat terganggunya sintesis dan penyimpanan ADH. Hal ini bisa
disebabkan oleh kerusakan nucleus supraoptik, paraventrikular, dan filiformis
hipotalamus yang mensistesis ADH. Selain itu, diabetes insipidus sentral (DIS) juga
timbul karena gangguan pengangkutan ADH akibat kerusakan pada akson traktus
5

supraoptikohipofisealis dan akson hipofisis posterior di mana ADH disimpan untuk


sewaktu-waktu dilepaskan ke dalam sirkulasi jika dibutuhkan. DIS dapat juga
terjadi karena tidak adanya sintesis ADH, atau sintesis ADH yang kuantitatif tidak
mencukupi kebutuhan, atau kuantitatif cukup tetapi tidak berfungsi normal.
Terakhir, ditemukan bahwa DIS dapat juga terjadi karena terbentuknya antibodi
terhadap ADH.2
Penanganan pada keadaan DI sentral adalah dengan pemberian sintetik
ADH (desmopressin) yang tersedia dalam bentuk injeksi, nasal spray, maupun pil.
Selama mengkonsumsi desmopressin, pasien harus minum hanya jika haus.
Mekanisme obat ini yaitu menghambat ekskresi air sehingga ginjal
mengekskresikan sedikit urin dan kurang peka terhadap perubahan keseimbangan
cairan dalam tubuh. 3

2.3.2 Diabetes insipidus nefrogenik


Keadaan ini terjadi bila ginjal kurang peka terhadap ADH. Hal ini dapat
disebabkan oleh konsumsi obat seperti lithium, atau proses kronik ginjal seperti
penyakit ginjal polikistik, gagal ginjal, blok parsial ureter, sickle cell disease, dan
kelainan genetik, maupun idiopatik. Pada keadaan ini, terapi desmopressin tidak
akan berpengaruh. Penderita diterapi dengan hydrochlorothiazide (HCTZ) atau
indomethacin. HCTZ kadang dikombinasikan dengan amiloride. Saat
mengkonsumsi obat ini, pasien hanya boleh minum jika haus untuk mengatasi
terjadinya volume overload.8,9,11

2.3.3 Diabetes insipidus dipsogenik


Kelainan ini disebabkan oleh kerusakan dalam mekanisme haus di
hipotalamus. Defek ini mengakibatkan peningkatan rasa haus yang abnormal
sehingga terjadi supresi sekresi ADH dan peningkatan output urin. Desmopressin
tidak boleh digunakan untuk penanganan diabetes insipidus dipsogenik karena akan
menurunkan output urin tetapi tidak menekan rasa haus. Akibatnya, input air akan
terus bertambah sehingga terjadi volume overload yang berakibat intoksikasi air
(suatu kondisi dimana konsentrasi Na dalam darah rendah/hiponatremia) dan dapat
6

berefek fatal pada otak. Belum ditemukan pengobatan yang tepat untuk diabetes
insipidus dipsogenik.2,3

2.3.4 Diabetes insipidus gestasional


Diabetes insipidus gestasional terjadi hanya saat hamil jika enzim yang dibuat
plasenta merusak ADH ibu. Kebanyakan kasus diabetes insipidus pada kehamilan
membaik diterapi dengan desmopressin. Pada kasus dimana terdapat abnormalitas
dari mekanisme haus, desmopresin tidak boleh digunakan sebagai terapi.2

2.4 Etiologi
Penyebab diabetes insipidus dapat diklasifikasikan menjadi tiga golongan,
yaitu :
1. Kelainan organis
Setiap lesi yang merusak unit neurohipofisis dan hipotalamus dapat
mengakibatkan diabetes insipidus. Kerusakan ini dapat terjadi sebagai akibat
dari :
 Operasi (bersifat sementara)
 Penyakit infeksi (meningitis, ensefalitis, tuberkulosis, lues, sarkoidosis,
aktinomikosis, dan lain-lain),
 Tumor atau kista di daerah kiasma optika, infundibulum, ventrikel III,
atau korpus pinealis (terutama kraniofaringioma, glioma optik, dan
germinoma). Terutama tumor supraselar (30% kasus).
 Xantomatosis (hand-schuller-christian),
 Leukimia
 Hodgkin
 Pelagra
 Trauma pada kepala terutama fraktur basis cranii, atau setelah suatu
prosedur operatif dekat kelenjar pituitaria atau hipotalamus
 Sindrom laurence-moon riedel
 Idiopatik DI (30% kasus)
 Ensefalopati iskemik atau hipoksia
7

 Familial DI
 Radiasi
 Edema serebri
 Perdarahan intrakranial
Keadaan tersebut akan berakibat gangguan dalam :
 Pengangkutan ADH/AVP yang tidak bekerja dengan baik akibat
rusaknya
akson pada traktus supraoptikohipofisealis
 Sintesis ADH terganggu
 Kerusakan pada nukleus supraoptik paraventricular
 Gagalnya pengeluaran vasopressin 2,4.6,7
2. Kelainan ginjal (diabetes insipidus nefrogenik)
Kelainan terletak pada ginjal yaitu tubulus yang tidak peka terhadap
hormon antidiuretik (ADH). Faktor keturunan yaitu gen sex linked
dominant merupakan penyebab kelainan ini. Diabetes insipidus
nefritogenik sering disertai retardasi mental. Dalam keadaan normal, ginjal
mengatur konsentrasi air kemih sesuai dengan kebutuhan tubuh. Pengaturan
ini merupakan respon terhadap kadar hormon antidiuretik di dalam darah.
Hormon antidiuretik (yang dihasilkan dari kelenjar hipofisa), memberikan
sinyal kepada ginjal untuk menahan air dan memekatkan air kemih.
Diabetes insipidus nefrogenik adalah suatu kelainan dimana ginjal
menghasilkan sejumlah besar air kemih yang encer karena ginjal gagal
memberikan respon terhadap hormon antidiuretik dan tidak mampu
memekatkan air kemih. Penyebab lain dari diabetes insipidus nefrogenik
adalah obat-obat tertentu yang bisa menyebabkan kerusakan pada ginjal,
diantaranya :
 Penyebab primer : primary familial: x-linked recessive dimana bentuk
berat terdapat pada anak laik-laki, dan bentuk yang lebih ringan
terdapat pada anak perempuan.
 Penyebab sekunder :
8

1) Penyakit ginjal kronik :


Penyakit ginjal polikistik
Medullary cystic disease
Pielonefretis
Obstruksi ureteral
Gagal ginjal lanjut
2) Gangguan elektrolit
Hipokalemia
Hiperkalsemia
3) Obat –obatan : Antibiotik aminoglikosid, demeklosiklin dan
antibiotik, litium, asetoheksamit, tolazamid, glikurid, propoksifen,
colchicine, fluoride, cidofovir, demeclocycline, methoyflurane.
4) Penyakit sickle cell
5) Gangguan diet : deprivasi protein
6) Amiloidosis
7) Sjogren syndrome8
3. Idiopatik
Selain karena penyebab sentral dan nefrogen, beberapa kasus
diabetes insipidus tidak diketahui penyebabnya. Pada sejumlah kecil kasus,
diabetes insipidus merupakan kelainan herediter. Bentuk autosom dominan
ditandai dengan onsetnya yang bervariasi mulai sejak lahir sampai umur
beberapa tahun, dan semakin lama ada variasi keparahan dalam keluarga
dan individu. Gejala menurun pada dekade ke 3 dan ke 5. Kadar AVP
mungkin tidak ada (< 0,5 pg/mL) atau menurun secara bervariasi. Gena
berada pada kromosom nomor 20, dan praprotein yang mengkode berisi
AVP dan neurofisin (NPII), protein pembawa hormon. Rantai tunggal
pembawa polipeptide ini terbelah dalam granula sekretori dan kemudian
disambung lagi ke dalam kompleks AVP-NP sebelum sekresi. Mutasi yang
meyebabkan diabetes insipidus autosom dominan telah dilokalisasi di
bagian NP II. Meskipun mutasi hanya melibatkan satu allele, mutan
9

kompleks AVP NP II mengganggu fungsi allele normal, mengakibatkan


pewarisan atosom dominan. 2,6,7,8

2.5 Patofisiologi
Vasopresin arginin merupakan suatu hormon antidiuretik yang dibuat di
nucleus supraoptik, paraventrikular , dan filiformis hipotalamus bersama dengan
pengikatnya yaitu neurofisin II. Vasopresin kemudian diangkut dari badan-badan
sel neuron tempat pembuatannya, melalui akson menuju ke ujung-ujung saraf yang
berada di kelenjar hipofisis posterior, yang merupakan tempat penyimpanannya.9,11
Secara fisiologis, vasopressin dan neurofisin yang tidak aktif akan
disekresikan bila ada rangsang tertentu. Sekresi vasopresin diatur oleh rangsang
yang meningkat pada reseptor volume dan osmotik. Suatu peningkatan osmolalitas
cairan ekstraseluler atau penurunan volume intravaskuler akan merangsang sekresi
vasopresin. Vasopressin kemudian meningkatkan permeabilitas epitel duktus
pengumpul ginjal terhadap air melalui suatu mekanisme yang melibatkan
pengaktifan adenolisin dan peningkatan AMP siklik. Akibatnya, konsentrasi kemih
meningkat dan osmolalitas serum menurun. Osmolalitas serum biasanya
dipertahankan konstan dengan batas yang sempit antara 290 dan 296 mOsm/kg
H2O.10,11
Sekresi ADH dalam mereabsorbsi air diatur oleh dua mekanisme yaitu
osmoreseptor dan baroreseptor
1. Osmoreseptor
Terletak di anterolateral hipotalamus. Sel ini berperan dalam menjaga
keseimbangan air dan Na. Perubahan dalam tekanan osmolar plasma akan
merangsang signal untuk rilis atau inhibisi ADH. Tekanan osmolaritas di
bawah 280 mOsm/kg tidak akan merangsang sekresi ADH. Rangsang rilis
ADH mulai ketika terjadi perubahan terjadi perubahan tekanan osmolaritas di
atas 280 msml/kg. Tekanan osmolaritas 290 mOsm/kg akan merangsang
sekresi ADH sebesar 5pg/ml.
10

Gambar : Peningkatan Osmolalitas Cairan Ekstraseluler Atau Penurunan


Volume Intravaskuler Akan Merangsang Sekresi Vasopressin
11

2. Baroreseptor
Terletak di sinus carotis dan arkus aorta yang mengatur tekanan darah.
Stimulasi rilis ADH terjadi jika tekanan darah turun sehingga mensupresi
12

baroreseptor. Serabut saraf sensoris dari nervus IX dan X membawa signal ini
dari sinus dan arcus untuk merangsang rilis ADH di hipotalamus.

Gambar : Baroseptor Stimulan Rilis ADH

Tabel : Karakteristik Osmoreseptor dan Baroreseptor


Receptors Osmoreceptors Baroreceptors
carotid sinus & aortic
Location anterolateral hypothalamus
arch
Value Measured Posm circulating volume
ADH Release Stimulated By activation of receptor suppression of receptor
Change Required for Action 1% above 280 mosm/kg 10-15% decrease
Resulting Amount of ADH small large
Override Other? no yes

Ginjal menyaring 70-100 liter cairan dalam 24 jam, dan dari jumlah ini
85% direabsorbsi di tubulus bagian proksimal tanpa pertolongan ADH. Sisanya di
reabsorbsi di tubulus bagian distal di bawah pengaruh ADH. Vasopresin bekerja
dengan memperbesar permeabilitas jaringan terhadap air.
13

Gambar : Mekanisme Kerja Vasopresin Dengan Memperbesar


Permeabilitas Jaringan Terhadap Air Di Tubulus Ginjal.

Gangguan dari fisiologi vasopressin ini dapat menyebabkan pengumpulan


air pada duktus pengumpul ginjal karena berkurang permeabilitasnya, yang akan
menyebabkan poliuria atau banyak kencing. Selain itu, peningkatan osmolalitas
plasma akan merangsang pusat haus, dan sebaliknya penurunan osmolalitas plasma
akan menekan pusat haus. Ambang rangsang osmotik pusat haus lebih tinggi
dibandingkan ambang rangsang sekresi vasopresin. Sehingga apabila osmolalitas
plasma meningkat, maka tubuh terlebih dahulu akan mengatasinya dengan
mensekresi vasopresin yang apabila masih meningkat akan merangsang pusat haus,
yang akan berimplikasi orang tersebut minum banyak (polidipsia).5,9,11

2.6 Gejala Klinis


Beberapa gejala klinis yangcukup khas pada diabetes insipidus:
1. Poliuria dan polidipsia
Keluhan dan gejala utama diabetes insipidus adalah poliuria dan polidipsia.
Jumlah cairan yang diminum maupun produksi urin per 24 jam sangat banyak,
dapat mencapai 5–10 liter sehari. Berat jenis urin biasanya sangat rendah,
berkisar antara 1,001 – 1,005 atau 50 – 200 mOsmol/kg berat badan. Poliuria
14

yang terjadi ialah primer dan untuk mengimbanginya penderita akan minum
banyak (polidipsia). Pada bayi kecil yang diberikan minum biasa akan tampak
gelisah yang terus-menerus, kemudian timbul dehidrasi, panas tinggi dan
kadang-kadang dapat timbul syok. Untuk menghindari syok, harus diberikan
cairan dalam jumlah besar, sebaiknya air putih. Gejala lain yaitu lekas marah,
letih, dan keadaan gizi kurang. Enuresis bisa merupakan gejala dini penyakit
ini. Kulit biasanya kering, karena anak tidak berkeringat. Sering terdapat
anoreksia. Kadang-kadang terdapat gejala tambahan seperti obesitas,
kakeksia, gangguan pertumbuhan, pubertas prekoks, gangguan emosionil, dan
sebagainya, bergantung pada letak lesi di otak. Jika merupakan penyakit
keturunan, maka gejala poliuria dan polidipsia biasanya mulai timbul segera
setelah lahir. Bayi sangat sering menangis dan tidak puas dengan susu
tambahan tetapi senang bila mendapat air. Pada anak haus yang berlebih akan
mengganggu aktivitas tidur, bermain, dan belajar.2,7
2. Dehidrasi
Bila tidak mendapat cairan yang adekuat akan terjadi dehidrasi. Komplikasi
dari dehidrasi, bayi bisa mengalami demam tinggi yang disertai dengan muntah
dan kejang-kejang. Jika tidak segera terdiagnosis dan diobati, bisa terjadi
kerusakan otak, sehingga bayi mengalami keterbelakangan mental. Dehidrasi
yang sering berulang juga akan menghambat perkembangan fisik.
3. Hipertermia
4. Nyeri kepala, lemah dan lesu, nyeri otot, hipotermia dan takikardia.
5. Berat badan turun dengan cepat
6. Enuresis, pada anak yang telah dapat mengendalikan kandung kencing
7. Tidak berkeringat atau keringat sedikit, sehingga kulit kering dan pucat
8. Anoreksia, lebih menyukai karbohidrat
9. Gejala dan tanda lain
Tergantung pada lesi primer, misalnya penderita dengan tumor daerah
hipotalamus akan mengalami gangguan pertumbuhan, obesitas, atau kakheksia
prgresif, hiperpireksia, gangguan tidur, seksual prekoks, atau gangguan emosional.
Lesi yang pada awalnya menyebabkan diabetes insipidus akhirnya dapat merusak
15

hipofisis anterior, pada keadaan demikian diabetes insipidus cenderung lebih ringan
atau hilang sama sekali.4,5, 6,7,10

2.7 Diagnosis
Diagnosis diabetes insipidus ditegakkan berdasarkan gejala klinik,
laboratorium (urinalisis fisis dan kimia dan tes deprivasi air). Guna mendiagnosa
penyebab suatu poliuria adalah akibat diabetes insipidus, bukan karena penyakit
lain, caranya adalah dengan menjawab tiga pertanyaan yang dapat kita ketahui
dengan anamnesa dan pemeriksaan.
1. Apakah yang menyebabkan poliuria tersebut adalah pemasukan bahan tersebut
(dalam hal ini air) yang berlebihan ke ginjal atau pengeluaran yang berlebihan.
Bila pada anamnesa ditemukan bahwa pasien memang minum banyak, maka
wajar apabila poliuria itu terjadi.
2. Apakah penyebab poliuria ini adalah faktor renal atau bukan. Poliuria bisa
terjadi pada penyakit gagal ginjal akut pada periode diuresis ketika
penyembuhan. Namun, apabila poliuria ini terjadi karena penyakit gagal ginjal
akut, maka akan ada riwayat oliguria (sedikit kencing).
3. Apakah bahan utama yang membentuk urin pada poliuria tersebut adalah air
tanpa atau dengan zat-zat yang terlarut. Pada umumnya, poliuria akibat
diabetes insipidus mengeluarkan air murni, namun tidak menutup
kemungkinan ditemukan adanya zat-zat terlarut. Apabila ditemukan zat-zat
terlarut berupa kadar glukosa yang tinggi (abnormal) maka dapat dicurigai
bahwa poliuria tersebut akibat DM yang merupakan salah satu differential
diagnosis dari diabetes insipidus.2
Jika kita mencurigai penyebab poliuria ini adalah diabetes insipidus, maka
harus melakukan pemeriksaan untuk menunjang diagnosis dan untuk membedakan
apakah jenis diabetes insipidus yang dialami, karena penatalaksanaan dari dua jenis
diabetes insipidus ini berbeda. Ada beberapa pemeriksaan pada diabetes insipidus,
antara lain:
1. Hickey Hare atau Carter-Robbins
2. Fluid deprivation
16

3. Uji nikotin
Apapun pemeriksaannya, prinsipnya adalah untuk mengetahui volume, berat
jenis, atau konsentrasi urin. Sedangkan untuk mengetahui jenisnya, dapat dengan
memberikan vasopresin sintetis, pada diabetes insipidus sentral akan terjadi
penurunan jumlah urin, dan pada diabetes insipidus nefrogenik tidak terjadi apa-
apa.2,4

2.8 Pemeriksaan Penunjang


1. Laboratorium : darah, urinalisis fisis dan kimia.
Jumlah urin biasanya didapatkan lebih dari 4-10 liter dan berat jenis bervariasi
dari 1,001-1,005 dengan urin yang encer. Pada keadaan normal, osmolalitas
plasma kurang dari 290 mOsml/l dan osmolalitas urin 300-450 mOsmol/l. Pada
keadaan dehidrasi, berat jenis urin bisa mencapai 1,010, osmolalitas plasma
lebih dari 295 mOsmoll dan osmolalitas urin 50-150 mOsmol/l. Urin pucat
atau jernih. Kadar natrium urin rendah. Pemeriksaan laboratorium
menunjukkan kadar natrium yang tinggi dalam darah. Fungsi ginjal lainnya
tampak normal.9
Test deprivasi air diperlukan untuk pasien dengan diabetes insipidus
dengan defisiensi ADH parsial dan juga untk membedakan diabetes insipidus
dengan polidipsia primer pada anak. Pemeriksaan harus dilakukan pagi hari.
Hitung berat badan anak dan periksa kadar osmolalitas plasma maupun urin
tiap 2 jam. Pada individu normal, osmolalitas akan naik (<300) namun output
urin akan berkurang dengan berat jenisyang naik (800-1200).6
3. Radioimunoassay untuk vasopresin
Kadar plasma yang selalu kurang dari 0,5 pg/mL menunukkan diabetes
insipidus neurogenik berat. Kadar AVP yang subnormal pada hiperosmolalitas
yang menyertai menunjukkan diabetes insipidus neurogenik parsial. Pemeriksaan
ini berguna dalam membedakan diabetes insipidus parsial dengan polidipsia primer.
4. Rontgen cranium
17

Rontgen kranium dapat menunjukkan adanya bukti tumor intrakranium seperti


kalsifikasi, pembesaran sella tursika, erosi prosesus klinoid, atau makin melebarnya
sutura.
5. MRI
MRI diindikasikan pada pasien yang dicurigai menderita diabetes insipidus.
Gambaran MRI dengan T1 dapat membedakan kelenjar pituitaria anterior dan
posterior dengan isyarat hiperintense atau yang disebut titik terang/isyarat terang.
Titik terang muncul pada MRI kebanyakan penderita normal, namun tidak tambap
pada penderita dengan lesi jaras hipotalamik-neurohipofise. Penderita dengan
dabetes insipidus autosom dominan, titik terang biasanya muncul, mungkin
disebabkan oleh akumulasi mutan kompleks AVP-NP II. Menebalnya tangkai
kelenjar pituitaria dapat terlihat dengan MRI pada penderita dengan diabetes
insipidus dan histiositosis sel langerhans (LCH) atau infiltrasi limfosit. Pada
beberapa penderita abnormalitas MRI dapat dideteksi bahkan sebelum bukti klinis
LCH lain ada.9

2.9 Diagnosis Banding


a) Kelainan ginjal seperti penyakit polikistik, pielonefritis kronis, nefronoptisis
familial. Kenaikan kadar ureum dan kreatinin plasma, anemia, dan urin
isotonis merupakan khas penyakit ginjal primer.
b) Defisiensi AVP yang diwariskan atau di dapat. Kegagalan berespon terhadap
AVP atau desmopresin penting untuk membedakan diabetes insipidus dengan
defisensi AVP primer.
c) Hipokalemia dan hiperkalsemia bisa menyebabkan polidipsia, dan poliuria
dengan berat jenis urin yang rendah
d) Insufisiensi adrenal, diantaranya salt losing syndrom
e) Polidipsia psikogenik : compulsive water drinkers. Dalam keadaan ini terdapat
kelainan jiwa seperti neurosis yang dilatarbelakangi oleh keinginan
memperoleh perhatian. Anak yang terkena biasanya mampu dengan mudah
enghasilkan urin yang terkonsentrasi bila cairan dikurangi. Namun kadang-
18

kadang diagnosisnya sukar karena polidipsia yang lama menurunkan kadar


urin maksimum yang dapat dicapai setelah dehidrasi atau bahkan setelah
f) Infus larutan garam hipertonik.
g) Adipsia atau hipodipsia
Merupakan manifestasi klinis dari defek pusat haus murni. Namun sangat
jarang terjadi. Hal ini dikarenakan osmoreseptor untuk haus dan AVP
menempati daerah hipotalamus anterior yang berdekatan, hipernatremia
hipodipsik biasanya disertai dengan defek pada fungsi ADH. Ini paling sering
terjadi pada penderita dengan tumor hipotalamus, terutama germinoma,
glioma, histiositosis, malformasi kongenital, dan mikrosefali.7,8

S.I.A.D.H./ C.S.W./
D.I.
DDAVP toxic Renal.S.W.

Na+ plasma ↑ ↓ ↓

Na+urine ↑/N ↑/N ↑↑

Plasma osmo ↑ ↓ ↓

Plasma gluc. N N N

Urine gluc. -ve -ve -ve

↑↑ ↑↑
Urine output ↓
(unless dry) (unless dry)

Urine SG ↓ ↑ ↑/N

Overloaded Depleted
Depleted dilute
Fluid volume Concentrated Concentrated
polyuria
oliguria polyuria

↑ fluids +/- Fluid & Na+


Management Fluid restriction
DDAVP replacement

2.10 Tatalaksana
Faktor penyebab patut mendapatkan pertimbangan pertama pada
pengobatan. Pengobatan pada diabetes insipidus harus sesuai dengan gejala yang
ditimbulkannya. Pada pasien diabetes insipidus sentral (DIS) parsial tanpa gejala
nokturia dan poliuria yang mengganggu tidur dan aktivitas sehari-hari tidak
diperlukan terapi khusus. Pada DIS yang komplit, biasanya diperlukan terapi
19

hormone pengganti (hormonal replacement) yaitu desmopressin atau DDAVP (1-


desamino-8-d-arginine vasopressin) yang merupakan pilihan utama. Analog ini
lebih tahan terhadap degradasi oleh peptidase daripada AVP alami. Aktivitas
antidiuretik DDAVP adalah 2000-3000 kali lebih besar daripada aktivitas
pressornya, dan 1 mikrogram menghasilkan diuresis yang berakhir dalam waktu 8-
10 jam, dibandingkan dengan hanya 2-3 jam untuk AVP alami. DDAVP diberikan
melalui sistem pemasukan pipa hidung yang mengalirkan sejumlah tepat pada
mukosa hidung. Dosis berkisar antara 5-15 mikrogram yang diberikan sebagai
dosis tunggal atau terbagi menjadi 2 dosis. Anak umur kurang dari 2 tahun
memerlukan dosis yang lebih kecil (0,15-0,5 mikrogram/kg/24 jam). Dosisnya
harus secara individu dan penting disesuaikan jadwal dosisnya sehingga
memungkinkan penderita dalam keadaan poliuria ringan sebelum dosis berikutnya
diberikan. Untuk penderita yang memerlukan lebih dari 10 mikrogram dosis
preparat semprot hidung juga tersedia. Preparat parenteral DDAVP (0,03-0,15
mikrogram/kg) tersedia dan bermanfaat paska bedah transfenoidalis, bila
penyumbatan hidung menghalangi peniupan hidung.9
Desmopressin seperti halnya ADH memfasilitisasi reabsorbsi air di tubulus
kolektivus dengan cAMP-mediated insersion. Hasilnya volume urin berkurang dan
berat jenis urin meningkat. Efek samping dari desmopressin yaitu hiponatremia
dan pada dosis tinggi dapat menyebabkan hipertensi.2
Harus berhati-hati pada penderita dengan diabetes insipidus yang koma,
menjalani pembedahan, atau mendapat cairan intravena karena alasan apapun.
Tanpa melihat bentuk terapi setiap dosis yang efektif boleh diulangi hanya setelah
pengaruhnya berkurang dan poliuria berulang. Diabetes insipidus paska bedah
sering sementara, penilaian kembali tiap hari untuk kebutuhan ADH diperlukan
setelah pengobatan dimulai.9
DDAVP juga berpengaruh pada reseptor eksternal seperti V2 yang
mengakibatkan keluarnya faktor VIII dan faktor Von Willebrand. Penderita
dengan hemofilia A ringan atau sedang atau penyakit von Wilebrand terpilih dapat
disembuhkan secara berhasil dengan dosis DDAVP 15 kali lebih tinggi daripada
dosis yang dipergunakan untuk antidiuresis. Desmopresin semakin banyak
20

dipergunakan pada penatalaksanaan anak dengan enuresis. Dosis yang diperlukan


adalah 20-40 µgr, diberikan sebagai semprot hidung sebelum tidur.9
Selain terapi hormon pengganti, bisa juga digunakan terapi adjuvant yang
mengatur keseimbangan air, seperti:
 Diuretik Tiazid
 Klorpropamid
 Klofibrat
 Karbamazepin2
Untuk mencegah dehidrasi, penderita harus selalu minum cairan dalam
jumlah yang cukup ketika mereka merasa haus. Penderita bayi dan anak-anak harus
sering diberi minum. Terutama pada bayi yang masih sukar mengekspresikan rasa
hausnya . Jika asupan cairan mencukupi, jarang terjadi dehidrasi.3,4
21

BAB 3. KESIMPULAN

Diabetes insipidus merupakan suatu kondisi kronik dimana terjadi


peningkatan rasa haus dan peningkatan kuantitas urin dengan berat jenis yang
rendah. Kondisi ini merupakan manifestasi klinis dari defisiensi pitresin (ADH)
atau merupakan kondisi klinis akibat dari ketidakpekaan tubulus ginjal terhadap
ADH. Penyebab diabetes insipidus dapat karena penyebab sentral yang
menyebabkan penurunan produksi ADH maupun kelainan ginjal (diabetes insipidus
nefrogenik) yang menyebabkan ginjal kurang peka terhadap ADH, serta idiopatik.
Gejala klinis khas diabetes insipidus yaitu poliuria dan polidipsia,h gejala
lainnya yaitu dehidrasi, hipertermia, nyeri kepala, lemah dan lesu, nyeri otot,
hipotermia dan takikardia. Berat badan turun dengan cepat, serta gejala enuresis,
pada anak yang telah dapat mengendalikan kandung kencing, keringat sedikit
sehingga kulit kering dan pucat, anoreksia, lebih menyukai karbohidrat. Komplikasi
dari dehidrasi, bayi bisa mengalami demam tinggi yang disertai dengan muntah
dan kejang-kejang. Jika tidak segera terdiagnosis dan diobati, bisa terjadi kerusakan
otak, sehingga bayi mengalami keterbelakangan mental. Dehidrasi yang sering
berulang juga akan menghambat perkembangan fisik. Gejala dan tanda lain
tergantung pada lesi primer.
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesa dan pemeriksaan penunjang
(laboratorium : darah, urinalisis fisis dan kimia), test deprivasi air, radioimunoassay
untuk vasopresin, rontgen cranium, dan MRI. komplikasi diabetes insipidus dapat
terjadi dehidrasi hipernatremik serta komplikasi neurologisnya, retardasi mental,
hidronefrosis.
Pada DIS yang komplit, terapi hormon pengganti (hormonal replacement)
yaitu desmopressin atau DDAVP (1-desamino-8-d-arginine vasopressin)
merupakan pilihan utama. Selain terapi hormon pengganti, bisa juga digunakan
terapi adjuvant yang mengatur keseimbangan air, seperti: diuretik tiazid,
klorpropamid, klofibrat, karbamazepin. Untuk mencegah dehidrasi, penderita
harus selalu minum cairan dalam jumlah yang cukup ketika mereka merasa haus.
22

Diabetes insipidus jarang mengancam jiwa. Penderita dengan diabetes insipidus


tanpa komplikasi dapat hidup selama bertahun-tahun dengan kesulitan poliuria dan
polidipsia sepanjang mereka memiliki mekanisme haus yang utuh dan
mendapatkan air dengan bebas
23

DAFTAR PUSTAKA

1. Asman Boedi Santoso. Diabetes Insipidus. Dalam : Ilmu Penyakit Dalam.


Jakarta, FK UI, hal 816
2. Aleksandrov N, Audibert F, Bedard MJ, dan Mahone M. Gestationa Diabetes
Insipidus: A Review of an Underdiagnosed Condition. 20009. J. Obstet
Gynaecol Can. Vol 32 (3): 225-231
3. Abbas MW, Iqbal MA, dan Javaid R. Diabetes Insipidus: The Basic and
Clinical Review. International Journal of Research in Medical Sciences.
2016. Vol 4 (1) 5-11.
4. Lorgi ND, Napoli F, Allegri AEM, dan Olivieri I. Diabetes Insipidus-
Diagnosis and Management. 2012. Horn Res Paediatr. Vol 77: 69-84
5. C.B. Pender dan Clarke Fraser. 2009. Dominant Inheritance Of Diabetes
Insipidus: A Family Study. American Academy of Pediatrics ournal, 15 : 246-
254
6. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Endokrinologi Anak. Dalam Buku
Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak 1985. 1985. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan
Anak FKUI; cetakan kesebelas.
7. Amgad NM, Diabetes Insipidus: Diagnsosis and Treatment of a complex
disease. Clinic Journal of Medicine. 2006. Vol 73 (1): 1-10
8. Sands J M, Bichet D G. Nephrogenic Diabetes Insipidus. Ann Intern Med.
2006. Vol 144:186-194.
9. Abdelazis Elamin. 2009. Diabetes Insipidus. Departement of Child Health
and Pediatric Endocrinologist Sultan Qaboos University.
10. Jamest R West dan James G. Kramer. Nephrogenic Diabetes Insipidus.
American Academy of Pediatrics Journal. 1955. Vol 15 ;424-432.

Anda mungkin juga menyukai