PENDAHULUAN
1
2
masih dapat dipengaruhi baik secara langsung ataupun tidak langsung oleh penyakit
yang menyertainya. Karena dilakukan pembedahan mayor dan perawatan ruang
intensif, resipien juga memiliki resiko terjadi luka dan infeksi nosokomial. Serta
penggunaan agen immunosupresif dosis tinggi juga mempengaruhi respon imun yang
berdampak pada kerentanan terjadinya infeksi. Periode awal ini juga mencakup waktu
resiko tertinggi untuk kejadian infeksi oleh mikroorganisme oportunistik seperti
cytomegalovirus (CMV) dan nocardia, aspergillus, pneumocitis, atau organisme
toksoplasmosis. Karena banyaknya hal yang dapat menimbulkan komplikasi infeksi,
sehingga masalah ini menjadi sangat penting untuk lebih mendapat perhatian. 5
Tinjauan pustaka ini akan memaparkan tentang pendekatan serta faktor resiko infeksi
pada resiepien transplantasi organ.
3
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Faktor Inang dari Infeksi
Penyakit kronik yang menyertai resipien transplantasi dapat memperburuk
kondisi setelah transplantasi. Pasien yang menjalani transplantasi karena infeksi virus
hepatitis B (HBV) akut fulminan biasanya akan bebas virus, dimana infeksi kronis
virus hepatitis B atau virus hepatitis C, biasanya masih bertahan pada sebagian besar
pasien setelah transplantasi. Efek end-organ dari diabetes mellitus pada pembuluh
darah dan saraf dapat menjadi masalah mayor pada pasien diabetes melitus dengan
transplantasi ginjal dan merupakan predisposisi infeksi jaringan ikat lunak dan
saluran kencing. Resipien transplan paru tunggal beresiko terjadi infeksi pada paru
aslinya sebagai hasil dari masalah struktural oleh penyakit paru yang menyertai.
Sejalan dengan kondisi yang menyertai pasien, pengobatan khususnya antibiotik dan
agen immunosupresif memiliki efek pada jenis dan keparahan infeksi pada periode
awal post transplantasi. Sebagai contohnya resipien transplan hati yang menerima
antibiotik atau kortikosteroid beresiko mengalami infeksi candida sistemik. Kandidat
transplantasi paru yang menerima kortikosteroid dan terapi immunosupresif lain
untuk mengobati fibrosis paru dapat mengaktifkan kembali infeksi citomegalo virus
(CMV) asimptomatik sebelum mereka menerima transplan dan mungkin berisiko
tinggi mengalami penyakit yang disebabkan oleh CMV setelah transplantasi.
Tabel dibawah ini menunjukkan berbagai kondisi yang dapat berperan sebagai
faktor yang mempengaruhi kondisi resipien transplantasi.
4
Immunosupresi
Agen Immunsupresif Kortikosteroid, azathioprine, dan agen sitotoksik
lainnya, siklosporine, takrolimus, rapamycin
Jenis transplantasi merupakan penentu penting dari jenis infeksi yang terjadi
setelah transplantasi. Lokasi pembedahan mayor sangat rentan terjadinya infeksi
bakteri atau jamur. Organ yang ditransplan bertahan diluar tubuh dan kemudian harus
segera diberikan pasokan vaskular yang adekuat untuk mengembalikan fungsi
integritasnya. Reaksi allograft dari host vs graft dan graft vs host type dapat terjadi.
Reaksi ini diketahui dapat mengurangi resistensi terhadap infeksi oleh virus dan
berkontribusi terhadap graft menjadi locus minorus resistance. Resipien dari
transplantasi sumsum tulang tidak memiliki area pembedahan, tetapi uniknya dapat
terjadi penekanan imunitas T-cell, leukopenia, dan penekanan imunitas humoral yang
dapat memicu peningkatan kerentanan tehadap berbagai infeksi.4
Kontribusi faktor pembedahan terhadap infeksi paling baik diilustrasikan pada
transplantasi hepatik. Pada jenis pembedahan ini, fungsi bilier dan anastomosis
vaskular pada porta hepatis sangat rentan. Sebagai contoh, kebanyakan abses pada
transplantasi hati merupakan akibat dari iskemik hati karena trombosis arteri hepatik
atau obstruksi terhadap aliran empedu dari striktur bilier. Dikatakan juga ada korelasi
antara lama resipien transplantasi hati diruang operasi dengan rerata jumlah episode
infeksi tiap pasien. Lamanya operasi menunjukkan banyak faktor risiko individual,
meliputi stress pembedahan, kehilangan darah dan cairan tubuh, kerusakan jaringan
langsung, dan berbagai ganguan metabolik yang dapat terjadi selama periode
operasi.3,4,6
2.3 Imunosupresi
Dari semua faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya infeksi,
imunosupresi iatrogenik adalah yang paling jelas konsekuensinya. Efek dari
imunosupresif menjadi semakin jelas sebagaimana perkembangan teknik pembedahan
dan penurunan infeksi. Kortikosteroid secara luas menghambat respon imun, meliputi
respon innate inflammatory, imunitas selular, dan yang kurang luas pembentukan
antibodi. Meskipun kortikosteroid tidak adekuat sebagai agen tunggal untuk menjaga
ketahanan graft, mereka tetap bagian dari kebanyakan regimen imunosupresif. Dosis
prednisone yang tinggi dan hiperglikemia ditemukan menjadi faktor yang signifikan
6
pada seringnya infeksi dan kematian dari infeksi pada resipien tansplantasi ginjal.
Pada meta-analisys of randomized trial dimana regimen tanpa steroid dibandingkan
dengan regimen imunosupresi berbasis steroid pada resipien transplantasi hati,
dinyatakan tidak ada perbedaan resiko infeksi menyeluruh. Namun studi
menunjukkan penghindaran steroid dapat mengurangi resiko infeksi CMV dan
kekambuhan HCV. Pengenalan obat-obat sitotaksik seperti metotreksat,
siklofosfamid, dan azathioprine merupakan kemajuan besar pada immunosupresi
yang membuat transplantasi melalui barrier HLA menjadi mungkin. Semua obat
sitotoksik menggangu sintesis DNA, sehingga menekan sumsum tulang dan
mengurangi jumlah sel darah perifer. Sebagai tambahan terhadap supresi sumsum,
azathioprine dapat menyebabkan pankreatitis, hepatitis reversibel, rash, dan
gangguan gastrointestinal.7,8
Penggunaan siklosforin diterima secara luas sejak tahun 1983. Obat ini
merupakan peptide siklik yang terdiri dari 11 asam amino, yang memiliki kerja utama
menghambat produksi normal sitokin ketika sel T CD4 terpajan antigen asing. Sitokin
primer yang dihambat adalah interleukin 2. Konsentrasi obat 100 ng/mL secara
efektif menghambat mixed lymphocyte reaction. Pasien yang diobati dengan
siklosforin saja untuk berbagai penyakit autoimun menunjukkan angka yang sangat
rendah untuk terjadinya infeksi klinis, ini menunjukkan pentingnya peran
kortikosteroid dan kofaktor lain untuk infeksi pada resipien transplantasi. Sebagian
besar studi menunjukkan bahwa pengenalan siklosforin mengarah pada resiko yang
lebih rendah untuk terjadinya infeksi.4,8
Hofflin et al. membandingkan angka morbiditas dan mortalitas infeksi antara
resipien transplant jantung yang menerima regimen immunosupresif berbasis
azathioprine ataupun siklosforin. Pasien yang menerima siklosforin memiliki angka
infeksi yang lebih rendah (71% vs 89%) dan mortality rate yang lebih rendah (11%
vs 39%). Angka infeksi belum dibandingkan pada resipien transplantasi hati yang
menerima regimen berbasis azathioprine ataupun siklosforin. Namun sebagian besar
kematian awal pada resipien transplantasi hati dihubungkan dengan infeksi dan
7
penurunan substansial pada angka mortalitas pada resipien transplantasi hati setelah
siklosforin diperkenalkan. Hal ini mengimplikasikan hubungan pengurangan pada
mortalitas infeksi.4,9
Tacrolimus diperkenalkan pada tahun 1994. Ini adalah macrolide yang
dihasilkan oleh streptomyces tsukobaensis. Meskipun terdapat perbedaan jalur kerja,
modus kerja yang serupa dengan siklosforin yang mana menghambat produksi
interleukin-2 dan sitokin lain oleh sel T CD 4 + dan dikatakan 10 sampai 100 kali lebih
poten dibandingkan siklosforin. Randomized trial menunjukkan tacrolimus based
immunosuppression menghasilkan angka yang lebih rendah dari rejeksi akut dan
kehilangan graft daripada terapi berbasis siklosforin, khususnya pada resipien
transplantasi ginjal dan hati. Namun tacrolimus dihubungkan dengan angka yang
lebih tinggi dari gejala neurologik dan gastrointestinal yang lebih tinggi dan dengan
perkembangan dari diabetes mellitus. Penggunaan tacrolimus sebagai terapi
immunosuppressif primer belum meyakinkan apakah meningkatkan atau menurunkan
resiko infeksi.4,9
Mycophenolate mofetil (MMF) disetujui tahun 1995 untuk resipien
transplantasi ginjal dan tahun 1997 untuk resipien transplantasi jantung. Merupakan
obat sitotosik dengan efek pada limfosit B dan T. Efek samping utama dari MMF
adalah depresi sumsum dan diare. Penggunaan MMF juga meningkatkan resiko
penyakit CMV.4,9
Rapamycin yang juga dikenal sirolimus diperkenalkan pada tahun 1999.
Rapamycin mengganggu proliferasi siklus sel dan memblok mekanisme signaling
intraselular yang diinisiasi oleh sitokin dengan menghambat regulatory kinase,
mammalian target of Rapamicin (mTOR). Tidak seperti siklosforin dan tacrolimus,
mTOR inhibitor tidak bersifat neprotoksik langsung. Regimen ini sering
menyebabkan hiperlipidemia, dan kadang-kadang menyebabkan mielosupresi. Juga
dihubungkan dengan lambatnya penyembuhan luka ulkus oral, dan pneumonitis
interstitial yang diinduksi obat. Beberapa data mensugestikan bahwa penggunaan
rapamycin dihubungkan dengan pengurangan angka keganasan dan CMV post
8
Anti-CD 52 antibody
Alentuzumab Infusion reaction, peningkatan resiko CMV,
pneumocystis jirovecii pneumonia, infeksi fungal
invasif, efek imunosupresi yang dapat berakhir sampai
Bakteri
Bakteri gram negatif Kelompok organisme ini dapat menyebabkan
Bakteri enteric (E. colli, infeksi luka superfisial, atau infeksi darah dan
enterobactericiaea lain) jaringan lebih dalam dari saluran kencing, paru,
Pseudomonas thorak dan abdomen
9
Acinetobacter
Bakteriodes dan anaerob lain
Legionella Nosokomial dari persediaan air
Gram Positif aerob
Staphilococcus aureus Infeksi oleh S. epidermidis dan methicillin
Staphylococcus epidermidis resistant S. aureus frekuensinya meningkat
Strepptococcus spp. Vancomicin-resistant enterococcus merupakan
Enterococcus spp. patogen utama pada resipien transplan hati
Pneumococcus spp
Lysteria monocytogenes Organisme Lysteria kadang menyebabkan
Virus Varicella-zoster
Ada dua jenis organisme endogen. Satu jenis menunjukkan flora endogen
yang berkolonisasi pada membran mukus dari saluran gastrointestinal, meliputi
orofaring, anus, dan kulit yang berdekatan dengan terhadap oral dan orifisium anal.
Organisme ini menghasilkan infeksi lokal dengan mengkontaminasi tempat luka
sekitarnya, atau menginfeksi secara sistemik dengan menginvasi pembuluh darah atau
pembuluh limfe. Mereka dapat ditransmisikan dari satu tempat ke tempat lain pada
pasien yang sama dengan prosedur pembedahan atau instrument dan tangan yang
terkontaminasi. Selain itu dapat juga ditransmisikan dari organ donor ke resipien.10
Candida spp. adalah komponen normal dari flora saluran gastrointestinal yang
menggambarkan patogen fungal yang paling sering dan penting. Infeksi mukosa
superficial dengan candida spp seperti sariawan dan candida vaginitis, mungkin
terlihat pada semua tipe transplantasi. Candidemia dan infeksi candida visceral sering
setelah transplantasi pankreas dan hati dan kadang-kadang terjadi pada resipien
transplantasi lain pada kondisi perawatan intensif. Mekipun candida albican adalah
spesies yang masih paling sering ditemui, beberapa pusat transplantasi besar
11
Tabel 4. Agen Infeksi Mayor yang ditransmisikan melaui Jaringan, Darah dan Produk Darah yang Didonasikan.4
Dari tabel tersebut terlihat bahwa CMV yang paling sering ditrasmisikan dari
organ. Organisme toksoplasmosis dapat ditransmisikan dari donor jantung seropositif,
tetapi tansmisi dari organ lain relatif jarang. Infeksi HSV kadang ditransmisikan dari
donor ginjal kepada resipien seronegatif HSV, dan mungkin donor seropositive EBV
adalah sumber mayor dari infeksi EBV primer pada resipien seronegatif. Resiko
transmisi HCV tinggi ( sekitar 50%) ketika donor secara serologi positif untuk HCV,
bahkan pada resipien transplantasi non hati. Organ dari donor seropositif HCV,
bagaimanapun kadang-kadang digunakan pada resipien yang sakit berat atau sudah
seropositive untuk virus ini. Resiko transmisi HBV paling besar jika donor organ
memiliki bukti infeksi aktif yang jelas, biasanya diindikasikan dengan HBsAg yang
positif atau core immunoglobulin M antibody (HBcIgM). Resiko dihubungkan dengan
penerimaan graft dari donor yang seropositif untuk immunoglobulin G antibody
terhadap core antigen (HBcIgG) tetapi seronegatif untuk HBsAg dan HBcIgM kurang
jelas, tetapi ini dapat diprediksikan secara parsial berdasarkan organ yang
ditransplantasikan dan status imun resipien. Sekitar setengan resipien transplantasi
hati akhirnya mendapatkan infeksi HBV dari donor positif HBcIgG, dimana
transmission rate rendah (≤3%) untuk resipien transplantasi non hati. HIV tipe 1
secara efisien ditransmisikan melalui organ, jaringan produk darah donor. Ada
13
konsensus yang menyebutkan bahwa organ dari donor seropositive HIV-1 seharusnya
tidak ditransplantasikan.4,14
Gambar dibawah ini akan menjelaskan timeline perubahan infeksi setelah
transplantasi organ.
14
HIV antibody
Tuberculosis skin test
Feses untuk telur dan parasit
beberapa bulan setelah transplantasi juga mengurang infeksi saluran kencing dan
infeksi bakteri lain pada resipien transplantasi ginjal. Profilaksis kuionolon juga
sering digunakan pada pusat transplantasi stem sel. Kuinolon dapat menurunkan
demam dan angka bacteremia gram negatif selama periode neutropenia dari
kemoterapi. Profilaksis antiviral juga sering diberikan pada resipien transplantasi,
seperti acyclovir yang efektif mencegah infeksi herves simplex virus (HSV) pada
periode awal paska transplantasi. Diindikasikan pada resipien transplantasi hati dan
paru karena mereka memiliki resio penyakit visceral dari organ yang
ditransplantasikan. Acyclovir juga secara umum digunakan untuk mencegah infeksi
HSV mukokutan pada resipien tansplantasi. Ganciclovir juga sering digunakan, dan
dikatakan memiliki aktivitas intrinsik yang lebih besar dibandingkan acyclovir dalam
melawan CMV. Untuk mencegah penyakit CMV, dapat dilakukan monitoring pasien
dengan tes viral load beberapa bulan setelah transplantasi dan dapat diberikan terapi
antiviral preemptive saat viral load mencapai batas yang ditetapkan. Keputusan
bagaimana tatalaksana infeksi CMV pada resipien transplantasi sangatlah kompleks
dan perlu mempertimbangkan efikasi, efek samping serta biaya dari regimen serta
tipe dan resiko dari keparahan penyakit CMV pada resipien.17
Resipien transplantasi beresiko untuk terjadinya candidiasis oral dan bentuk
lain dari candidiasis mukokutan, tetapi ini dapat secara efektif dicegah dengan terapi
nistatin oral atau clotrimazole troches. Azole sistemik oral juga efektif dan
seharusnya dipilih pada pasien yang terintubasi karena sediaan topikal tidak dapat
diberikan pada faring dan esfagus. Profilaksis dapat kemudian dihentikan saat dosis
prednisone mencapai 20 mg/hari atau kurang, tetapi ini perlu dimulai kembali selama
terapi rejeksi dengan steroid dosis tinggi atau penggunaan antibiotik yang lama.
Profilaksis infeksi fungal sistemik saat ini digunakan pada banyak pusat pada pasien
yang beresiko tinggi, seperti resipien stem sel, hati, dan paru. Azoles oral dan intrvena
sudah digunakan secara luas sebagai agen profilaksis. Fluconazole sudah dinyatakan
sebagai agen yang efektif, dimana dikatakan pada resipien hati menghasilkan
pengurangan sekitar 75% pada infeksi fungal invasif tetapi tidak ada perbaikan pada
17
Protozoa
Toksoplasmosis TMP-SMX (160/800 mg per tablet) seminggu dikatakan
Pirimetamin efektif
(50-75 mg) per oral setiap minggu
Viral
Herpes simplex Acyclovir 1000 mg/hari
Citomegalovirus Gancyclovir Induksi: 10 mg/kg/hari dibagi setiap 12 jamIV
selama 7-14 hari
Pemeliharaan: 5 mg/kg setiap 12 jam IV selama
100-120 hari setelah transplantasi
Lyposomal amphotericin
Pneumocitis B
TMP-SMX
Dapson
Pentamidine inhalasi
Bakteri
Infeksi luka Bervariasi
Infeksi saluran kencing TMX-SMX
BAB III.
RINGKASAN
Resiko infeksi pada resipien merupakan tantangan pada praktek solid organ
transplantation (SOP). Strategi kunci pencegahan infeksi pada resipien transplatasi
organ padat meliputi perbaikan kepatuhan terhadap kriteria dalam memutuskan donor
transplantasi organ, pemberian profilaksis primer atau preemptive dengan antibiotik
ataupun vaksinasi, dan menjalankan promosi hidup sehat dan pengurangan resiko
dalam berbagai kondisi post transplantasi.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Milstone AP, Brumble LM, Loyd JE. Active CMV Infection Before Lung
Transplantation: Risk Factors And Clinical Implications. J Heart Lung Transplant.
2000; 19(8):744-50.
2. Fournier PE, Richet H. The epidemiology and control of Acinetobacter baumanii
in health care facilities. Clin Infect Dis. 2006; 42(5):692–9.
3. Speich R, Van der Bij W. Epidemiology and management of infections after lung
transplantation. Clin Infect Dis. 2001;33(1): 58-65.
9. Dummer JS, Hardy A, Poorsattar A. Early infections in kidney, heart, and liver
transplant recipients on cyclosporine. Transplantation. 1983;36 (3):259-67.
10. Husain S, Tollemar J, Dominguez EA. Changes in the spectrum and risk factors
for invasive candidiasis in liver transplant recipients: prospective, multicenter,
case-controlled study. Transplantation. 2003;75(12):2023-9.
11. Russell DL, Flood A, Zaroda TE. Outcomes of colonization with MRSA and VRE
among liver transplant candidates and recipients. Am J Transplant. 2008;8
(8):1737-43.
12. Centers for Disease Control and Prevention. Brief report: lymphocytic
choriomeningitis virus transmitted through solid organ transplantation:
Massachusetts, 2008. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 2008;57(2):799-801.
14. Halpern SD, Shaked A, Hasz RD, et al. Informing candidates for solid-organ
transplantation about donor risk factors. N Engl J Med. 2008;358(26):2832-7.
15. Fishman JA. Infection in solid-organ transplant recipients. N Engl J Med. 2007;
357 925):2601-14.
18. Strategies for safe living following solid organ transplantation. Am J Transplant.
2004;4(10):156-9.
19. Humar A, Fishman JA. Donor-derived infection: old problem, new solutions? Am
J Transplant. 2008;8(6):1087-8
20. Sola A, Bittencourt A. Guerra C. Health care related nfection in Solid Organ
Transplantation. The Brazilian Journal of Infectious Diseases. 2007;11(6):567-
570