Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di seluruh dunia diperkirakan ada sekitar 114.690 tranplantasi organ solid


dilakukan pada tahun 2012. Angka kesuksesannya sangat tinggi sekitar 90% 1-year
graft survival. Di Amerika Serikat sekitar 28.953 transplantasi organ dilakukan pada
tahun 2013. Transplantasi ginjal adalah yang paling sering dilakukan, diikuti dengan
hati, jantung paru dan yang lainnya termasuk organ ganda yaitu pankreas dan
intestinal. Beberapa dekade terakhir ilmu dan praktek solid organ transplantation
(SOT) terus berkembang secara signifikan, yang selanjutnya menjadi tantangan
adalah resiko infeksi pada resipien SOT.1
Salah satu penelitian kohort retrospektif di rumah sakit pendidikan tersier
Brazil selama 14 bulan menemukan bahwa dari 81 pasien menjalani transplantasi
organ padat. Insiden global dari health care related infection adalah 42%. Lima puluh
persen kasus terjadi infeksi pada surgical site, 14% pneumonia, 9% infeksi pada
aliran darah, 4% infeksi saluran kemih, 2% infeksi kulit. Etiologi yang paling sering
adalah K. Pneumoniae (8,6%), P. Aeruginosa (7,4%), A. Baumannii (5,0%), dan S
Aureus (2,5%). Angka mortalitasnya dikatakan sekitar 18%.20
Agen imunomodulasi terus berkembang, hal ini meningkatkan jumlah terapi
yang dapat mencegah rejeksi organ. Namun hal ini secara simultan menimbulkan
resiko komplikasi oleh patogen yang dapat menyebabkan komplikasi infeksi.
Disamping itu efek sampingnya menimbulkan dampak negatif pada sistem imun
selular dan humoral resipien. Terjadinya infeksi memerlukan suatu kerentanan inang
dan adanya patogen. Kerentanan resipien transplantasi tidak sama terhadap semua
patogen, hal ini dipengaruhi banyak hal termasuk seringnya paparan terhadap patogen
itu sendiri. Infeksi paling sering terjadi dalam 6 bulan pertama setelah transplantasi.
Selama periode ini resipien memiliki semua faktor resiko untuk terjadinya infeksi dan

1
2

masih dapat dipengaruhi baik secara langsung ataupun tidak langsung oleh penyakit
yang menyertainya. Karena dilakukan pembedahan mayor dan perawatan ruang
intensif, resipien juga memiliki resiko terjadi luka dan infeksi nosokomial. Serta
penggunaan agen immunosupresif dosis tinggi juga mempengaruhi respon imun yang
berdampak pada kerentanan terjadinya infeksi. Periode awal ini juga mencakup waktu
resiko tertinggi untuk kejadian infeksi oleh mikroorganisme oportunistik seperti
cytomegalovirus (CMV) dan nocardia, aspergillus, pneumocitis, atau organisme
toksoplasmosis. Karena banyaknya hal yang dapat menimbulkan komplikasi infeksi,
sehingga masalah ini menjadi sangat penting untuk lebih mendapat perhatian. 5
Tinjauan pustaka ini akan memaparkan tentang pendekatan serta faktor resiko infeksi
pada resiepien transplantasi organ.
3

BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Faktor Inang dari Infeksi
Penyakit kronik yang menyertai resipien transplantasi dapat memperburuk
kondisi setelah transplantasi. Pasien yang menjalani transplantasi karena infeksi virus
hepatitis B (HBV) akut fulminan biasanya akan bebas virus, dimana infeksi kronis
virus hepatitis B atau virus hepatitis C, biasanya masih bertahan pada sebagian besar
pasien setelah transplantasi. Efek end-organ dari diabetes mellitus pada pembuluh
darah dan saraf dapat menjadi masalah mayor pada pasien diabetes melitus dengan
transplantasi ginjal dan merupakan predisposisi infeksi jaringan ikat lunak dan
saluran kencing. Resipien transplan paru tunggal beresiko terjadi infeksi pada paru
aslinya sebagai hasil dari masalah struktural oleh penyakit paru yang menyertai.
Sejalan dengan kondisi yang menyertai pasien, pengobatan khususnya antibiotik dan
agen immunosupresif memiliki efek pada jenis dan keparahan infeksi pada periode
awal post transplantasi. Sebagai contohnya resipien transplan hati yang menerima
antibiotik atau kortikosteroid beresiko mengalami infeksi candida sistemik. Kandidat
transplantasi paru yang menerima kortikosteroid dan terapi immunosupresif lain
untuk mengobati fibrosis paru dapat mengaktifkan kembali infeksi citomegalo virus
(CMV) asimptomatik sebelum mereka menerima transplan dan mungkin berisiko
tinggi mengalami penyakit yang disebabkan oleh CMV setelah transplantasi.
Tabel dibawah ini menunjukkan berbagai kondisi yang dapat berperan sebagai
faktor yang mempengaruhi kondisi resipien transplantasi.
4

Tabel 1. Faktor yang berkontribusi terhadap infeksi setelah transplantasi.2

Katagori Contoh dan Keterangan

Faktor Inang Pratransplantasi


Kondisi medis dan infeksi kronis yang menyertai Kondisi yang masih atau terjadi kembali (Hep B, Hep
C, diabetes mellitus)
Kondisi yang mengeksaserbasi (bronchitis kronis,
penyakit kandung empedu)
Buruknya imunitas spesifik Kondusif terhadap infeksi primer penting (cytomegalo
virus, virus Epstein barr, virus varicella zoster, dan
toksoplasmosis)
Kolonisasi sebelumnya Basil gram negatif nosokomial, candida, stapilokokus,
enterococcus resisten vancomicin.
Infeksi laten atau kriptik sebelumnya Reaktivasi yang menimbulkan infeksi klinis
(tuberkulosis, cytomegalovirus, virus herpes simplex,
virus varicella zoster, trypanozoma cruzy, dan
kemungkinan pneumonitis
Pengobatan sebelumnya Agen immunosupresif, dan antibiotik yang
mempengaruhi kerentanan terhadap infeksi post
transplantasi
Faktor Transplantasi
Jenis organ yang ditransplantasi Tempat transplantasi dan allograft merupakan tempat
yang paling sering terjadinya infeksi
Allograft dapat mentranmisikan infeksi atau lebih
rentan terhadap infeksi akibat kerusakan iskemik atau
reaksi allograft
Trauma pembedahan Stress pembedahan, durasi pembedahan

Immunosupresi
Agen Immunsupresif Kortikosteroid, azathioprine, dan agen sitotoksik
lainnya, siklosporine, takrolimus, rapamycin

Immunosupresi infektif Infeksi sitomegalovirus primer dan infeksi vrus


hepatitis C kronis dihubungkan dengan infeksi bakteri
dan fungal yang lebih sering
Reaksi Allograft
Graft versus host reaction Mempengaruhi semua area imunitas dan faktor mayor
pada infeksi bakteri, viral dan jamur pada transplantasi
stem sel
Host versus graft reaction Kemungkinan kofaktor pada infeksi allograft

2.2 Efek dari Jenis Transplantasi


5

Jenis transplantasi merupakan penentu penting dari jenis infeksi yang terjadi
setelah transplantasi. Lokasi pembedahan mayor sangat rentan terjadinya infeksi
bakteri atau jamur. Organ yang ditransplan bertahan diluar tubuh dan kemudian harus
segera diberikan pasokan vaskular yang adekuat untuk mengembalikan fungsi
integritasnya. Reaksi allograft dari host vs graft dan graft vs host type dapat terjadi.
Reaksi ini diketahui dapat mengurangi resistensi terhadap infeksi oleh virus dan
berkontribusi terhadap graft menjadi locus minorus resistance. Resipien dari
transplantasi sumsum tulang tidak memiliki area pembedahan, tetapi uniknya dapat
terjadi penekanan imunitas T-cell, leukopenia, dan penekanan imunitas humoral yang
dapat memicu peningkatan kerentanan tehadap berbagai infeksi.4
Kontribusi faktor pembedahan terhadap infeksi paling baik diilustrasikan pada
transplantasi hepatik. Pada jenis pembedahan ini, fungsi bilier dan anastomosis
vaskular pada porta hepatis sangat rentan. Sebagai contoh, kebanyakan abses pada
transplantasi hati merupakan akibat dari iskemik hati karena trombosis arteri hepatik
atau obstruksi terhadap aliran empedu dari striktur bilier. Dikatakan juga ada korelasi
antara lama resipien transplantasi hati diruang operasi dengan rerata jumlah episode
infeksi tiap pasien. Lamanya operasi menunjukkan banyak faktor risiko individual,
meliputi stress pembedahan, kehilangan darah dan cairan tubuh, kerusakan jaringan
langsung, dan berbagai ganguan metabolik yang dapat terjadi selama periode
operasi.3,4,6
2.3 Imunosupresi
Dari semua faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya infeksi,
imunosupresi iatrogenik adalah yang paling jelas konsekuensinya. Efek dari
imunosupresif menjadi semakin jelas sebagaimana perkembangan teknik pembedahan
dan penurunan infeksi. Kortikosteroid secara luas menghambat respon imun, meliputi
respon innate inflammatory, imunitas selular, dan yang kurang luas pembentukan
antibodi. Meskipun kortikosteroid tidak adekuat sebagai agen tunggal untuk menjaga
ketahanan graft, mereka tetap bagian dari kebanyakan regimen imunosupresif. Dosis
prednisone yang tinggi dan hiperglikemia ditemukan menjadi faktor yang signifikan
6

pada seringnya infeksi dan kematian dari infeksi pada resipien tansplantasi ginjal.
Pada meta-analisys of randomized trial dimana regimen tanpa steroid dibandingkan
dengan regimen imunosupresi berbasis steroid pada resipien transplantasi hati,
dinyatakan tidak ada perbedaan resiko infeksi menyeluruh. Namun studi
menunjukkan penghindaran steroid dapat mengurangi resiko infeksi CMV dan
kekambuhan HCV. Pengenalan obat-obat sitotaksik seperti metotreksat,
siklofosfamid, dan azathioprine merupakan kemajuan besar pada immunosupresi
yang membuat transplantasi melalui barrier HLA menjadi mungkin. Semua obat
sitotoksik menggangu sintesis DNA, sehingga menekan sumsum tulang dan
mengurangi jumlah sel darah perifer. Sebagai tambahan terhadap supresi sumsum,
azathioprine dapat menyebabkan pankreatitis, hepatitis reversibel, rash, dan
gangguan gastrointestinal.7,8
Penggunaan siklosforin diterima secara luas sejak tahun 1983. Obat ini
merupakan peptide siklik yang terdiri dari 11 asam amino, yang memiliki kerja utama
menghambat produksi normal sitokin ketika sel T CD4 terpajan antigen asing. Sitokin
primer yang dihambat adalah interleukin 2. Konsentrasi obat 100 ng/mL secara
efektif menghambat mixed lymphocyte reaction. Pasien yang diobati dengan
siklosforin saja untuk berbagai penyakit autoimun menunjukkan angka yang sangat
rendah untuk terjadinya infeksi klinis, ini menunjukkan pentingnya peran
kortikosteroid dan kofaktor lain untuk infeksi pada resipien transplantasi. Sebagian
besar studi menunjukkan bahwa pengenalan siklosforin mengarah pada resiko yang
lebih rendah untuk terjadinya infeksi.4,8
Hofflin et al. membandingkan angka morbiditas dan mortalitas infeksi antara
resipien transplant jantung yang menerima regimen immunosupresif berbasis
azathioprine ataupun siklosforin. Pasien yang menerima siklosforin memiliki angka
infeksi yang lebih rendah (71% vs 89%) dan mortality rate yang lebih rendah (11%
vs 39%). Angka infeksi belum dibandingkan pada resipien transplantasi hati yang
menerima regimen berbasis azathioprine ataupun siklosforin. Namun sebagian besar
kematian awal pada resipien transplantasi hati dihubungkan dengan infeksi dan
7

penurunan substansial pada angka mortalitas pada resipien transplantasi hati setelah
siklosforin diperkenalkan. Hal ini mengimplikasikan hubungan pengurangan pada
mortalitas infeksi.4,9
Tacrolimus diperkenalkan pada tahun 1994. Ini adalah macrolide yang
dihasilkan oleh streptomyces tsukobaensis. Meskipun terdapat perbedaan jalur kerja,
modus kerja yang serupa dengan siklosforin yang mana menghambat produksi
interleukin-2 dan sitokin lain oleh sel T CD 4 + dan dikatakan 10 sampai 100 kali lebih
poten dibandingkan siklosforin. Randomized trial menunjukkan tacrolimus based
immunosuppression menghasilkan angka yang lebih rendah dari rejeksi akut dan
kehilangan graft daripada terapi berbasis siklosforin, khususnya pada resipien
transplantasi ginjal dan hati. Namun tacrolimus dihubungkan dengan angka yang
lebih tinggi dari gejala neurologik dan gastrointestinal yang lebih tinggi dan dengan
perkembangan dari diabetes mellitus. Penggunaan tacrolimus sebagai terapi
immunosuppressif primer belum meyakinkan apakah meningkatkan atau menurunkan
resiko infeksi.4,9
Mycophenolate mofetil (MMF) disetujui tahun 1995 untuk resipien
transplantasi ginjal dan tahun 1997 untuk resipien transplantasi jantung. Merupakan
obat sitotosik dengan efek pada limfosit B dan T. Efek samping utama dari MMF
adalah depresi sumsum dan diare. Penggunaan MMF juga meningkatkan resiko
penyakit CMV.4,9
Rapamycin yang juga dikenal sirolimus diperkenalkan pada tahun 1999.
Rapamycin mengganggu proliferasi siklus sel dan memblok mekanisme signaling
intraselular yang diinisiasi oleh sitokin dengan menghambat regulatory kinase,
mammalian target of Rapamicin (mTOR). Tidak seperti siklosforin dan tacrolimus,
mTOR inhibitor tidak bersifat neprotoksik langsung. Regimen ini sering
menyebabkan hiperlipidemia, dan kadang-kadang menyebabkan mielosupresi. Juga
dihubungkan dengan lambatnya penyembuhan luka ulkus oral, dan pneumonitis
interstitial yang diinduksi obat. Beberapa data mensugestikan bahwa penggunaan
rapamycin dihubungkan dengan pengurangan angka keganasan dan CMV post
8

transplantasi.4,9 Tabel dibawah menunjukkan agen antibodi monoclonal dan poliklonal


yang ada secara komersil digunaan untuk imunosupresi pada resipien transplantasi.
Mason et al. menunjukkan peningkatan signifikan angka infeksi selama 3 bulan
pertama setelah penggunaan polyclonal antithymocite globulin untuk terapi rejeksi
jantung.
Tabel 2. Agen Antibodi yang Digunakan Untuk Mencegah atau Mengobati Rejeksi.2

Agen Efek Samping


Antibodi Poliklonal
Antithymocyte globulins Serum sickness, trombositopenia, limfopenia (dapat
 Anti-human thymocyte immune globulin berakhir sampai 2-3 tahun dengan thymoglobulin),
(kelinci) (Tymoglobulin) peningkatan resiko CMV, PTLD (post transplantation
 Lymphocyte immune globulin, antithymocite lympoproliferative disease)
Antibodi monoclonal
Anti-CD 25 (IL-2 receptor) antibody Reaksi hipersensitivitas, resiko infeksi tidak meningkat
 Basiliximab (simulect) secara signifikan
 Daclizumab (Zenapac)
Anti-CD 20 antibody
 Rituximab (rituxan) Infusion reaction, reaktivasi HBV

Anti-CD 52 antibody
 Alentuzumab Infusion reaction, peningkatan resiko CMV,
pneumocystis jirovecii pneumonia, infeksi fungal
invasif, efek imunosupresi yang dapat berakhir sampai

Anti-CD 3 antibody 12 bulan.


Meningitis aseptik, cytokine release syndrome, edema
 Muromonab-CD 3 (Orthoclone OKT3)
paru, peningkatan resiko CMV, PTLD

2.4 Patogen yang Berpotensi Menyebabkan Infeksi Pada Resipien


Patogen infeksi yang paling penting pada resipien transplantasi dapat dilihat
pada tabel dibawah ini.
Tabel 3. Mikrobial yang Menyebabkan Infeksi Setelah Transplantasi.4

Bakteri
Bakteri gram negatif Kelompok organisme ini dapat menyebabkan
 Bakteri enteric (E. colli, infeksi luka superfisial, atau infeksi darah dan
enterobactericiaea lain) jaringan lebih dalam dari saluran kencing, paru,
 Pseudomonas thorak dan abdomen
9

 Acinetobacter
 Bakteriodes dan anaerob lain
 Legionella Nosokomial dari persediaan air
Gram Positif aerob
 Staphilococcus aureus Infeksi oleh S. epidermidis dan methicillin
 Staphylococcus epidermidis resistant S. aureus frekuensinya meningkat
 Strepptococcus spp. Vancomicin-resistant enterococcus merupakan
 Enterococcus spp. patogen utama pada resipien transplan hati
 Pneumococcus spp
 Lysteria monocytogenes Organisme Lysteria kadang menyebabkan

 Nocardia spp meningitis berat


Gram negative coccobasil
 Haemophilus influenza Infeksi sering pada penyakit paru yang menyertai
 Moraxella spp.
Jamur
 Candida spp Candida spp. adalah jamur yang paling sering
ditemukan pada infeksi jamur yang terjadi
khususnya setelah transplantasi hati
 Aspergilus spp
 Cryptococcus spp
 Agent Mucormicosis
 Histoplasma capsulatum Dijumpai terutama di area endemik
Mungkin laten pada manusia
 Pneumocytis jirovecci
Virus
Kelompok herpes virus Infeksi laten virus herpes sering setelah
 Herpes simplex (HSV) transplantasi.
 Citomegalovirus (CMV) Transmisi donor merupakan sumber penting dari
CMV dan EBV

 Virus Varicella-zoster

 Epstein Barr Virus (EBV)


 Human Herpes virus-6 dan 7
Human herves virus-8 sangat sering dihubungkan
 Human Herpes virus-8
dengan sarkoma kaposi
Human Immunodeficiency virus type 1 (HIV 1)
10

Adenovirus Pediatri, hanya kadang-kadang pada dewasa

Rotavirus Terutama pada anak

Respiratory Syntitial Virus Insidennya meningkat selama wabah yang terjadi


pada komunitas

Virus influenza A dan B


Virus Parainfluenza
Virus hepatitis B dan C
Mycoplasma Dapat menyebabkan infeksi luka setelah
 Mycoplasma hominis transplantasi dan infeksi sistemik lainnya,
meliputi artritis, meningitis dan peritonitis
Protozoa dan Parasit
 Toksoplasma gondii Biasanya infeksi primer pada transplantasi organ
 Trypanosoma cruzi Mungkin reaktivasi pada resipien yang terinfeksi
sebelumnya atau mungkin didapat dari donor

Ada dua jenis organisme endogen. Satu jenis menunjukkan flora endogen
yang berkolonisasi pada membran mukus dari saluran gastrointestinal, meliputi
orofaring, anus, dan kulit yang berdekatan dengan terhadap oral dan orifisium anal.
Organisme ini menghasilkan infeksi lokal dengan mengkontaminasi tempat luka
sekitarnya, atau menginfeksi secara sistemik dengan menginvasi pembuluh darah atau
pembuluh limfe. Mereka dapat ditransmisikan dari satu tempat ke tempat lain pada
pasien yang sama dengan prosedur pembedahan atau instrument dan tangan yang
terkontaminasi. Selain itu dapat juga ditransmisikan dari organ donor ke resipien.10
Candida spp. adalah komponen normal dari flora saluran gastrointestinal yang
menggambarkan patogen fungal yang paling sering dan penting. Infeksi mukosa
superficial dengan candida spp seperti sariawan dan candida vaginitis, mungkin
terlihat pada semua tipe transplantasi. Candidemia dan infeksi candida visceral sering
setelah transplantasi pankreas dan hati dan kadang-kadang terjadi pada resipien
transplantasi lain pada kondisi perawatan intensif. Mekipun candida albican adalah
spesies yang masih paling sering ditemui, beberapa pusat transplantasi besar
11

melaporkan peningkatan angka dari candidiasis invasif dengan spesies non-albican


seperti candida galbrata dan candida tropikalis. Organisme kolonisasi lain yang
mendapat perhatian adalah antibiotic-resistant gram positive cocci seperti
Vancomicin resistant enterococci (VRE) dan methicillin resistant staphylococcus
aureus (MRSA). VRE menjadi masalah khusus pada resipien transplantasi hati, yang
memiliki banyak faktor resiko untuk kolonisasi, seperti penggunaan lama antibiotik
spektrum luas. Tipe lain organisme endogen ditemukan pada infeksi jaringan laten.
Seperti infeksi yang secara umum tidak dapat dideteksi pada saat transplantasi, tetapi
agen mikroba dapat reaktivasi dan berproliferasi ketika pasien menjadi imunosupresi.
Keberadaan tipe flora ini paling baik ditunjukkan oleh herpesvirus, organisme
toksoplasmosis dan basil tuberculosis. Pada periode post operatif, transmisi
nosocomial dari virus respirasi dan organisme gram positif dan gram negatif terjadi
melalui kontaminasi tangan dari personil rumah sakit atau melalui benda mati seperti
peralatan respirasi, endoskop, intravenous line, kateter urin. Beberapa bakteri
mungkin memiliki sumber eksogen, tetapi sering tidak terdefinisikan. Organisme
pseudomonas dapat datang dari sumber air lingkungan atau sayuran mentah. Listeria
dapat muncul dari sumber makanan yang terkontaminasi, tetapi sumbernya jarang
diidentifikasi pada kasus sporadik dari meningitis yang terlihat pada populasi resipien
transplantasi.10,11
Tranfusi produk darah dan organ yang didonasikan sudah didokumentasikan
sebagai sumber infeksi resipien transplantasi. Meskipun transmisi dari beberapa agen
seperti HCV dan CMV menurun sebagai hasil dari perbaikan praktek bank darah,
laporan transmisi dari west nile virus, virus rabies, arenavirus dari organ yang
ditransplantasikan menunjukkan ancaman untuk resipien yang menerima darah dan
organ dari indidu lain. Agen kain yan muncul adalah human herves virus 8. 13 Agen
mayor yang ditransmisikan oleh allograft dijabarkan pada table dibawah ini.

Tabel 4. Agen Infeksi Mayor yang ditransmisikan melaui Jaringan, Darah dan Produk Darah yang Didonasikan.4

Tipe Jaringan Agen Infeksi


12

Ginjal, jantung, hati, paru, sumsum tulang Citomegalovirus


Jantung, ginjal Toksoplasmosis
Jantung Tripanozoma cruzi
Ginjal, hati Virus herpes simplex

Ginjal, jantung, hati HIV-1, virus hepatitis B, virus hepatitis C, west


nile virus
Ginjal, hati, paru Lymphocytic choriomeningitis virus, old world
arenavirus
Ginjal, hati kornea Rabies
Darah Cytomegalovirus, Epstein-barr virus, HIV-1,
hepatitis B virus, delta hepatitis virus, hepatitis C
virus, human T-cell lymphotropic virus 1
Leukosit Citomegalovirus, HIV-1

Dari tabel tersebut terlihat bahwa CMV yang paling sering ditrasmisikan dari
organ. Organisme toksoplasmosis dapat ditransmisikan dari donor jantung seropositif,
tetapi tansmisi dari organ lain relatif jarang. Infeksi HSV kadang ditransmisikan dari
donor ginjal kepada resipien seronegatif HSV, dan mungkin donor seropositive EBV
adalah sumber mayor dari infeksi EBV primer pada resipien seronegatif. Resiko
transmisi HCV tinggi ( sekitar 50%) ketika donor secara serologi positif untuk HCV,
bahkan pada resipien transplantasi non hati. Organ dari donor seropositif HCV,
bagaimanapun kadang-kadang digunakan pada resipien yang sakit berat atau sudah
seropositive untuk virus ini. Resiko transmisi HBV paling besar jika donor organ
memiliki bukti infeksi aktif yang jelas, biasanya diindikasikan dengan HBsAg yang
positif atau core immunoglobulin M antibody (HBcIgM). Resiko dihubungkan dengan
penerimaan graft dari donor yang seropositif untuk immunoglobulin G antibody
terhadap core antigen (HBcIgG) tetapi seronegatif untuk HBsAg dan HBcIgM kurang
jelas, tetapi ini dapat diprediksikan secara parsial berdasarkan organ yang
ditransplantasikan dan status imun resipien. Sekitar setengan resipien transplantasi
hati akhirnya mendapatkan infeksi HBV dari donor positif HBcIgG, dimana
transmission rate rendah (≤3%) untuk resipien transplantasi non hati. HIV tipe 1
secara efisien ditransmisikan melalui organ, jaringan produk darah donor. Ada
13

konsensus yang menyebutkan bahwa organ dari donor seropositive HIV-1 seharusnya
tidak ditransplantasikan.4,14
Gambar dibawah ini akan menjelaskan timeline perubahan infeksi setelah
transplantasi organ.
14

Gambar 1 . Timeline Perubahan Infeksi Setelah Transplantasi Organ. 15


2.5 Monitoring Untuk Infeksi
Surveillance rutin untuk infeksi bakteri memiliki manfaat yang terbatas pada
sebagian besar resipien transplan organ padat. Satu pengecualian yang mungkin
adalah surveillance rutin pada sekresi respirasi dari resipien paru yang diintubasi di
intensive care unit. Pasien ini beresiko pneumonia dan rejeksi transplan, dan mungkin
lebih mudah untuk menilai perubahan pada status paru ketika hasil sputum serial ada.
Surveillance untuk jamur juga perlu dilakukan setelah transplantasi, karena
resiko tinggi infeksi aspergillus dan jamur lainnya. Banyak program monitoring untuk
infeksi CMV pada pasien selama 3-6 bulan setelah transplantasi. Penilaian viral load
seperti antigenemia darah atau kuantitative polymerase chain reaction testing untuk
CMV sudah menggantikan kultur konvensional dan shell vial sebagai pilihan tes
virus. Tes ini lebih cepat dan sensitif dibandingkan kultur. Ini menyediakan informasi
kuantitatif pada viral load yang berkorelasi dengan perkembangan infeksi simtomatik.
Tes virologi rutin untuk CMV merupakan pendekatan awal untuk terapi antiviral dan
secara sukses mencegah terjadinya penyakit CMV yang jelas baik pada pasien dengan
transplantasi stem sel ataupun trasplantasi organ padat. Monitoring viral load dengan
PCR kuantitatif juga sudah dipelajari pada infeksi virus lain pada resipien ranplantasi.
Beberapa studi menghubungkan antara viral load yang tinggi EBV pada sampel darah
dari resipien transplan dengan perkembangan penyakit EBV-related lympoproliferatif.
Viral load HBV dan HCV memiliki kekuatan prediktif untuk perjalanan infeksi ini
setelah transplantasi, dan pengukurannya penting untuk memonitoring respon terapi.
Tabel 5. Penelitian Laboratorium Rutin Sebelum dan Setelah Transplantasi.4

Sebelum transplantasi Setelah transplantasi


Cytomegalovirus immunoglobulin G (IgG) Monitoring viral load untuk cytomegalovirus
antibody
Epstein Barr virus IgG antibody Penelitian antibody (sesuai indikasi klinis)
Hepes simplex (type 1 dan 2 ) antibody
Varicella zoster IgG antibody
Toxoplasma IgG antibody (resipien transplan
jantung)
Skrining hepatitis B
15

HIV antibody
Tuberculosis skin test
Feses untuk telur dan parasit

2.6 Tindakan Profilaksis


Regimen profilaksis sering digunakan untuk mencegah infeksi pada resipien
transplantasi. Imunisasi adalah cara yang paling efektif untuk mencegah infeksi.
Respon resipien ginjal tehadap dosis booster tetanus dan toksoid dipteri dikatakan
cukup baik, meskipun masih kurang jika dibandingkan dengan respon pada orang
dengan imunokompeten. Resipien transplantasi juga merespon terhadap vaksin
pneumococcal namun memiliki titer antibodi puncak yang lebih rendah dibandingkan
orang sehat. Vaksin varicella dan campak juga sudah digunakan secara aman pada
kelompok kecil resipien transplantasi dengan seroconversion rate 73% dan 65%,
namun diperlukan studi yang lebih banyak sebelum vaksin hidup direkomendasikan
untuk penggunaan populasi umum setelah transplantasi. Kandidat transplantasi juga
seharusnya ditawarkan imunisasi varicella jika mereka seronegatif untuk virus ini dan
kandidat transplantasi hati seharusnya menerima imunisasi untuk hepatitis A jika
imunitasnya lemah. Setelah transplantasi, kandidat seharusnya menyelesaikan seri
imunisasi yang tidak lengkap sebelum transplantasi dan melanjutkan vaksinasi inaktif
lain sesuai jadwal. Pada prakteknya kita sering menunda imunisasi ketika pasien
immunosupresi berat (selama 3 bulan pertama setelah transplantasi organ padat)
karena responnya mungkin buruk pada kondisi ini.17
Ahli bedah transplantasi secara rutin memberikan antibiotic profilaksis
intravena untuk mencegah sepsis dan infeksi luka intraoperatif. Antibiotik yang
digunakan bervariasi dan belum ada konsensus yang jelas yang menyebutkan durasi
pemberian yang optimal. Antibiotik oral untuk pencegahan infeksi juga digunakan
secara luas, diantaranya yang paling umum adalah trimethoprim –sufamethoxazole
(SMX-TMX). Level serendah dua kali sampai tiga kali (double strength) tablet
(160/800 mg per tablet) seminggu dikatakan efektif. Dosis harian TMX-SMX pada
16

beberapa bulan setelah transplantasi juga mengurang infeksi saluran kencing dan
infeksi bakteri lain pada resipien transplantasi ginjal. Profilaksis kuionolon juga
sering digunakan pada pusat transplantasi stem sel. Kuinolon dapat menurunkan
demam dan angka bacteremia gram negatif selama periode neutropenia dari
kemoterapi. Profilaksis antiviral juga sering diberikan pada resipien transplantasi,
seperti acyclovir yang efektif mencegah infeksi herves simplex virus (HSV) pada
periode awal paska transplantasi. Diindikasikan pada resipien transplantasi hati dan
paru karena mereka memiliki resio penyakit visceral dari organ yang
ditransplantasikan. Acyclovir juga secara umum digunakan untuk mencegah infeksi
HSV mukokutan pada resipien tansplantasi. Ganciclovir juga sering digunakan, dan
dikatakan memiliki aktivitas intrinsik yang lebih besar dibandingkan acyclovir dalam
melawan CMV. Untuk mencegah penyakit CMV, dapat dilakukan monitoring pasien
dengan tes viral load beberapa bulan setelah transplantasi dan dapat diberikan terapi
antiviral preemptive saat viral load mencapai batas yang ditetapkan. Keputusan
bagaimana tatalaksana infeksi CMV pada resipien transplantasi sangatlah kompleks
dan perlu mempertimbangkan efikasi, efek samping serta biaya dari regimen serta
tipe dan resiko dari keparahan penyakit CMV pada resipien.17
Resipien transplantasi beresiko untuk terjadinya candidiasis oral dan bentuk
lain dari candidiasis mukokutan, tetapi ini dapat secara efektif dicegah dengan terapi
nistatin oral atau clotrimazole troches. Azole sistemik oral juga efektif dan
seharusnya dipilih pada pasien yang terintubasi karena sediaan topikal tidak dapat
diberikan pada faring dan esfagus. Profilaksis dapat kemudian dihentikan saat dosis
prednisone mencapai 20 mg/hari atau kurang, tetapi ini perlu dimulai kembali selama
terapi rejeksi dengan steroid dosis tinggi atau penggunaan antibiotik yang lama.
Profilaksis infeksi fungal sistemik saat ini digunakan pada banyak pusat pada pasien
yang beresiko tinggi, seperti resipien stem sel, hati, dan paru. Azoles oral dan intrvena
sudah digunakan secara luas sebagai agen profilaksis. Fluconazole sudah dinyatakan
sebagai agen yang efektif, dimana dikatakan pada resipien hati menghasilkan
pengurangan sekitar 75% pada infeksi fungal invasif tetapi tidak ada perbaikan pada
17

angka mortalitas. Data yang terbatas mensugestikan bahwa itraconazole dan


liposomal amphotericin dapat memiliki efikasi yang serupa tetapi kedua obat ini
memiliki efek samping yang lebih banyak dari fluconazole. Candida spp. merupakan
patogen fungal yang paling sering pada resipien transplantasi hati. Sebaliknya
resipien paru paling sering dengan infeksi aspergillus dan jamur lainnya.4,17
Profilaksis lain yang sudah direkomendasikan adalah pyrimethamine (25
mg/hari, bersama dengan asam folat 5-10 mg/ hari, untuk 6 minggu) untuk resipien
jantung yang seronegatif untuk toksoplasmosis dan menerima organ dari donor
seropositive toksoplasmosis.4
Agen antimikroba yang secara umum digunakan sebagai profilaksis
dipaparkan pada tabel dibawah ini.
Tabel 6. Regimen profilaksis pada transplantasi.4

Patogen Agen Profilaksis Keterangan

Protozoa
Toksoplasmosis TMP-SMX (160/800 mg per tablet) seminggu dikatakan
Pirimetamin efektif
(50-75 mg) per oral setiap minggu
Viral
Herpes simplex Acyclovir 1000 mg/hari
Citomegalovirus Gancyclovir Induksi: 10 mg/kg/hari dibagi setiap 12 jamIV
selama 7-14 hari
Pemeliharaan: 5 mg/kg setiap 12 jam IV selama
100-120 hari setelah transplantasi

Influenza Oseltamivir 75 mg setiap hari, minimal selama 10 hari


Fungal
Candida Flukonazole (400 mg setiap 6 jam per oral)
Nistatin
Clotrimazole (10 mg per oral, dihancurkan didalam mulut 3
kali sehari)
Aspergillus Itraconazole
Voriconazole
Posaconazole
18

Lyposomal amphotericin
Pneumocitis B
TMP-SMX
Dapson
Pentamidine inhalasi
Bakteri
Infeksi luka Bervariasi
Infeksi saluran kencing TMX-SMX

Infeksi neutropenik Kuinolon


Tuberculosis Isoniazid
Pneumococcus Penicillin (transplantasi
stem sel)

2.7 Pencegahan Paparan Terhadap Infeksi


Ada beberapa metode yang direkomendasikan untuk pencegahan paparan
terhadap patogen. Hal tersebut disesuaikan dengan tipe paparan, yang dibagi menjadi
paparan rumah sakit dan paparan pasien rawat jalan. Paparan rumah sakit oleh bakteri
nosokomial danjurkan untuk menggunakan standar precaution, khususnya mencuci
tangan sebelum dan setelah paparan terhadap pasien. Virus respirasi dicegah dengan
membatasi akses petugas atau pengunjung yang sedang flu atau dengan penggunaan
masker dan sarung tangan. Infeksi legionella dapat dicegah dengan melakukan test
terhadap sumber air dan melakukan dekontaminasi jika mungkin. Untuk pencegahan
paparan terhadap pasien yang rawat jalan, strategi pencegahannya juga disesuaikan
dengan jenis patogennya. Untuk patogen enterik dapat dicegah dengan cara memasak
daging secara menyeluruh, mencuci buah dan sayurah segar. Penderita dapat
dinasehati untuk menghindari beberapa hal seperti, kontak dengan kotoran hewan
atau manusia, minum air yang tidak diketahui tingkat keamanannya. Virus respirasi
dapat dicegah dengan menghindari tempat-tempat yang kumuh atau selalu rutin
mencuci tangan, melakukan imunisasi influenza secara rutin baik pasien ataupun
keluarga pasien. Paparan lain yang harus dicegah seperti varicella, jamur, legionella,
penyakit menular seksual, serta infeksi tropis.18
19

2.8 Pendekatan terhadap Demam pada Resipien Transplantasi


Meskipun obat-obat immunosupresif dapat menurunkan respon demam
terhadap infeksi, sebagaian besar resipien transplantasi dengan infeksi klinis dengan
peningkatan temperatur. Bagian yang paling penting dari penegakan diagnostik
adalah dengan mengetahui riwayat menyeluruh dan pemeriksaan fisik yang baik.
Radiografi dada seharusnya diambil untuk mengetahui apakah ada bukti infeksi paru.
Pasien dengan infiltrate paru akut atau dengan demam persisten yang lebih dari 38.5 0
C biasanya perlu rawat inap untuk evaluasi dan penegakan diagnosis lebih lanjut.
Pasien yang tidak mampu melakukan aktivitas fisik normal, seharusnya dievaluasi di
rumah sakit kecuali penyebab disfungsinya jelas dan dapat ditangani di rumah.
Evaluasi awal seharusnya meliputi kultur darah dan urine, pemeriksaan sekresi
respirasi (jika pneumonia dicurigai), sel darah putih dan diferensialnya, tes fungsi
hati, pemeriksaan mikroskopis dari urine. Skrining viral seharusnya dilakukan pada
pasien yang masih dalam periode awal resiko tinggi.4,19
Tidak semua demam disebabkan oleh infeksi. Dua penyebab penting dari
demam non infeksi pada pasien transplantasi adalah reaksi obat (khususnya reaksi
terhadap antibody anti sel T) dan rejeksi transplan. Rejeksi sangat mungkin
menyebabkan demam jika berat dan terjadi awal setelah transplantasi. Demam yang
disebabkan oleh rejeksi transplan paling sering terjadi pada resipien paru, kurang
umum pada resipien ginjal dan hati serta jarang pada resipien jantung. Penyebab
demam non infeksi lain adalah trombosis vena dan arteri, iskemi organ hasil dari
infark, tumor limfoproliferatif, dan reaksi hemolitik.4,19
Selain itu juga harus diperhatikan bahwa infeksi pada transplantasi juga bisa
terjadi tanpa disertai demam. Demam yang muncul kadang ditekan oleh penggunaan
kortikosteroid dosis tinggi. Beberapa infeksi seperti progressive multifocal
leucoencephalopathy, infeksi polyomavirus atau giargiasis tidak pernah
menyebabkan demam. Pneumocystis pneumonia dapat bermanifestasi hanya batuk
dan sesak napas. Infeksi paru, khususnya infeksi fungal fokal terbatas pada paru
20

sering tidak menunjukkan manifestasi demam. Bahkan cryptococcal meningitis dapat


bermanifestasi dengan hanya nyeri kepala kronis dan gejala neurologis yang halus.1

BAB III.
RINGKASAN
Resiko infeksi pada resipien merupakan tantangan pada praktek solid organ
transplantation (SOP). Strategi kunci pencegahan infeksi pada resipien transplatasi
organ padat meliputi perbaikan kepatuhan terhadap kriteria dalam memutuskan donor
transplantasi organ, pemberian profilaksis primer atau preemptive dengan antibiotik
ataupun vaksinasi, dan menjalankan promosi hidup sehat dan pengurangan resiko
dalam berbagai kondisi post transplantasi.
21

DAFTAR PUSTAKA

1. Milstone AP, Brumble LM, Loyd JE. Active CMV Infection Before Lung
Transplantation: Risk Factors And Clinical Implications. J Heart Lung Transplant.
2000; 19(8):744-50.
2. Fournier PE, Richet H. The epidemiology and control of Acinetobacter baumanii
in health care facilities. Clin Infect Dis. 2006; 42(5):692–9.

3. Speich R, Van der Bij W. Epidemiology and management of infections after lung
transplantation. Clin Infect Dis. 2001;33(1): 58-65.

4. Dummer JS, Thomas LD. Risk Factors and Approaches to Infections in


Transplant Recipients. Mandell, Douglas, and Bennetts Principles and Practice of
Infectious Diseases. 2010. 310:3809–19.

5. Jessup M, Brozena SC. State-of-the-art strategies for


immunosuppression. Current Opinion in Organ Transplantation. 2007.
12(2):536-542.

6. Riediger C, Berberat PO. Prophylaxis and treatment of recurrent viral hepatitis


after liver transplantation. Nephrol Dial Transplant. 2007; 22(8): 37-46.
7. Meuleman J, Katz P. The immunologic effects, kinetics, and use of
glucocorticoids. Med Clin North Am. 1985; 69(4):805-16.
22

8. Najarian JS, Fryd DS, Strand M. A single institution, randomized, prospective


trial of cyclosporin versus azathioprine– antilymphocyte globulin for
immunosuppression in renal allograft recipients. Ann Surg. 1985;201(2):142-57.

9. Dummer JS, Hardy A, Poorsattar A. Early infections in kidney, heart, and liver
transplant recipients on cyclosporine. Transplantation. 1983;36 (3):259-67.

10. Husain S, Tollemar J, Dominguez EA. Changes in the spectrum and risk factors
for invasive candidiasis in liver transplant recipients: prospective, multicenter,
case-controlled study. Transplantation. 2003;75(12):2023-9.

11. Russell DL, Flood A, Zaroda TE. Outcomes of colonization with MRSA and VRE
among liver transplant candidates and recipients. Am J Transplant. 2008;8
(8):1737-43.

12. Centers for Disease Control and Prevention. Brief report: lymphocytic
choriomeningitis virus transmitted through solid organ transplantation:
Massachusetts, 2008. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 2008;57(2):799-801.

13. Regamey N, Tamm M, Wernli M. Transmission of human herpesvirus-8 infection


from renal transplant donors to recipients. N Engl J Med. 1998; 339 (19):1358-63.

14. Halpern SD, Shaked A, Hasz RD, et al. Informing candidates for solid-organ
transplantation about donor risk factors. N Engl J Med. 2008;358(26):2832-7.

15. Fishman JA. Infection in solid-organ transplant recipients. N Engl J Med. 2007;
357 925):2601-14.

16. Dummer JS, Lazariashvilli N, Barnes J. A survery of antifungal management in


lung transplantation. J Heart Lung Transplant. 2004;23(12) :1376-81.
23

17. Kumar D, Welsh S, Siegal D, et al. Immunogenicity of pneumococcal vaccine in


renal transplant recipients—three year followup of a randomized trial. Am J
Transplant. 2007;7(2):633-8.

18. Strategies for safe living following solid organ transplantation. Am J Transplant.
2004;4(10):156-9.

19. Humar A, Fishman JA. Donor-derived infection: old problem, new solutions? Am
J Transplant. 2008;8(6):1087-8

20. Sola A, Bittencourt A. Guerra C. Health care related nfection in Solid Organ
Transplantation. The Brazilian Journal of Infectious Diseases. 2007;11(6):567-
570

Anda mungkin juga menyukai