NANANG WIDARYOKO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Inflasi dan Pertumbuhan
Ekonomi: Pendugaan Ambang Batas Inflasi di Indonesia adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013
Nanang Widaryoko
NIM H151114174
RINGKASAN
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
INFLASI DAN PERTUMBUHAN EKONOMI:
PENDUGAAN AMBANG BATAS INFLASI DI INDONESIA
NANANG WIDARYOKO
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Noer Azam Achsani, MS
Judul Tesis : Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi: Pendugaan Ambang Batas
Inflasi di Indonesia
Nama : Nanang Widaryoko
NIIM : H151 ll4l74
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Diketahui oleh
r'
*t) t
y'^V^'5
Dr [r RNLI#ng Nuryartooo, MSi Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Nanang Widaryoko
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
1 Rata-rata pertumbuhan ekonomi dan inflasi di Indonesia tahun
1950-2012 (%) 3
2 “Dynamic adjustment” hubungan inflasi dan output 6
3 Mekanisme portofolio model Tobin 8
4 Alur kerangka pemikiran 18
5 Ringkasan prosedur analisis 20
6 Pertumbuhan ekonomi dan inflasi di Indonesia tahun 1970-2012 (%) 27
7 Rata-rata pertumbuhan ekonomi dan inflasi di Indonesia 29
8 Nilai threshold inflasi dan Residual Sum of Squares (RSS)
model Khan dan Senhadji (2001) 35
9 Nilai threshold inflasi dan Residual Sum of Squares (RSS) model
Hansen (1997,2000) 37
DAFTAR LAMPIRAN
1 Data yang digunakan dalam penelitian 47
2 Hasil uji unit root 49
3 Output model linear pertumbuhan ekonomi 57
4 Output model threshold Khan dan Senhadji (2001) 59
5 Output model threshold Hansen (1997, 2000) 61
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perhatian Indonesia terhadap inflasi baru terlihat saat rezim Orde Baru
mulai berkuasa di tahun 1967. Seluruh perangkat birokrasi Orde Baru memiliki
kesamaan visi bahwa inflasi merupakan masalah utama dalam perekonomian
sehingga upaya pengendalian dipandang perlu. Untuk mengontrol pengeluaran,
pemerintah menerapkan sistem anggaran berimbang. Program tersebut terbukti
cukup efektif. Pertumbuhan jumlah uang beredar (M1) dalam kurun 1967 hingga
1997 secara rata-rata dapat dikurangi hingga ke level 52.7%1. Sektor usaha
1
data diolah dari Hossain (2005)
2
berhasil berproduksi dengan baik dan daya beli masyarakat juga terjaga. Hampir
dua dekade, ekonomi tumbuh sekitar 7% dengan inflasi rata-rata sebesar 12%.
Upaya-upaya pengendalian inflasi terus berlanjut hingga masa reformasi,
bahkan semakin diintensifkan pascakrisis moneter tahun 1998. Pada tahun 2005
Indonesia secara resmi mulai menerapkan Inflation Targeting Framework yaitu
suatu kebijakan yang bertujuan mencapai kestabilan inflasi di level-level tertentu
yang berkisar 4% hingga 10% untuk jangka pendek dan 3% sampai dengan 5%
untuk jangka panjang (Chowdhury dan Ham 2009).
Dalam implementasinya, kebijakan-kebijakan anti inflasi yang diterapkan
Indonesia ternyata tidak sepenuhnya berjalan lancar. Praktisi bank sentral tak
jarang masih menghadapi sebuah dilema2, yaitu konsisten menjaga inflasi tetap
rendah dengan konsekuensi tertekannya sektor produksi, atau membiarkan inflasi
sedikit terdeviasi namun mendukung produsen untuk terus beraktivitas.
Sebagaimana diketahui instrumen yang digunakan untuk mengendalikan
inflasi adalah suku bunga. Inflasi rendah dapat tercapai melalui penetapan tingkat
suku bunga tinggi yang pada umumnya tidak terlalu disukai oleh dunia usaha.
Sebagai bukti, pada bulan Agustus 2006 suku bunga pinjaman di Indonesia
mencapai 15.75%. Dengan tingkat inflasi berkisar 9%, suku bunga tersebut bisa
dikategorikan sangat tinggi yang seharusnya mampu menarik aliran modal asing.
Anehnya, justru di periode yang sama pertumbuhan portofolio turun sekitar 0.60%
hingga 0.10%. Di sisi lain, nilai tukar rupiah juga terkoreksi sebesar 40% yang
tentu saja tidak baik bagi kinerja ekspor manufaktur di mana hampir 70%
produksinya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasar luar negeri (Chowdhury
dan Ham 2009).
Perumusan Masalah
Diskusi tentang pengendalian inflasi tidak bisa terlepas dari studi hubungan
inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Walaupun telah terjadi konsensus bahwa inflasi
tinggi berdampak buruk bagi perekonomian, hubungan dari kedua variabel
tersebut pada dasarnya masih menjadi perdebatan yang cukup panjang (Mansur
dan Munir 2009). Pada era 1950-an, suatu kelompok ilmuwan yang disebut
dengan kaum structuralist berpendapat bahwa inflasi berpengaruh positif terhadap
perekonomian, sedangkan kelompok monetarist menyimpulkan inflasi berdampak
negatif bagi pertumbuhan ekonomi (Mallik dan Chowdhury 2001). Studi terkini
pun memberikan hasil identik, seperti Lucas (1973) serta Mallik dan Chowdhury
(2001) yang membuktikan adanya hubungan positif dan signifikan antara inflasi
dan pertumbuhan ekonomi. Sementara Fisher (1993), Barro (1995a), termasuk
Ghosh dan Philips (1998a) mendapatkan hasil sebaliknya yaitu inflasi
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Perdebatan mengenai hubungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi sangat
relevan untuk kasus Indonesia (Chowdhury 2002). Data yang ditunjukkan oleh
Gambar 1 mengindikasikan adanya anomali hubungan di antara kedua indikator
tersebut. Pada tahun 1950 hingga 1959, inflasi tercatat sebesar 22.67% dengan
pertumbuhan ekonomi 4.98%. Satu dekade berikutnya yaitu 1960 sampai 1969
2
menurut Chowdhury dan Siregar (2004), Bank Indonesia (2002) pernah menyatakan, “Apabila
Bank Indonesia konsisten menjaga target inflasi, maka suku bunga yang tinggi harus
diterapkan yang justru mengganggu proses recovery”
3
Keterangan: data diambil dari Woo et al. (1994) dan BPS, diolah
Gambar 1 Rata-rata pertumbuhan ekonomi dan inflasi di Indonesia tahun 1950-
2012 (%)
3
tanpa memasukkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi tahun 1998
4
diolah dari data BPS dan World Bank (2013), pra Inflation Targeting Framework diasumsikan
mulai 1966 hingga 2005, tanpa memasukkan periode krisis 1998
4
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teori
Teori Keynesian
Para ilmuwan aliran Keynesian mencoba memaparkan hubungan inflasi dan
pertumbuhan ekonomi (output) melalui skema Agregat Demand (AD) dan
Agregat Supply (AS). Kelompok Keynesian mengemukakan bahwa dalam jangka
pendek kurva AS memiliki gradien positif, artinya perubahan yang terjadi pada
permintaan agregat atau kurva AD seperti perubahan ekspektasi, jumlah tenaga
kerja, harga faktor produksi termasuk perubahan kebijakan fiskal dan moneter
akan berdampak tidak hanya pada harga tetapi juga pada output. Dalam jangka
panjang, yaitu ketika kurva AS berbentuk vertikal, terjadi penyesuaian atau
“dynamic adjustment”, di mana hubungan inflasi dan output yang awalnya positif
berubah menjadi negatif.
Sebagaimana yang terlihat pada Gambar 2, hubungan jangka pendek antara
inflasi dan output terdeskripsikan pada pergerakan anak panah dari titik E menuju
titik E1, di mana peningkatan harga diikuti oleh bertambahnya output. Ide yang
mendasari adalah dimisalkan ada seorang produsen menaikkan harga komoditas,
dan produsen tersebut beranggapan bahwa harganyalah yang paling tinggi. Pada
kenyataannya produsen-produsen lain melakukan hal yang sama, menyebabkan
harga meningkat secara agregat, yang pada akhirnya mendorong produsen untuk
menambah output.
Blanchard dan Kiyotaki (1987) mengemukakan hubungan positif inflasi dan
output bisa disebabkan oleh adanya kesepakatan harga antara produsen dan
konsumen. Produsen berkewajiban memenuhi seluruh permintaan konsumen,
sementara konsumen wajib menerima berapapun harga yang ditawarkan produsen.
Dengan demikian tingginya harga tidak akan menyebabkan penurunan output.
6
Teori Monetaris
Tokoh utama aliran Monetaris adalah Milton Friedman, yang menghasilkan
dua gagasan penting yaitu The Quantity Theory of Money dan The Neutrality of
Money. Menurut Friedman, The Quantity Theory of Money menghubungkan
inflasi dan pertumbuhan ekonomi melalui konsep jumlah uang yang dikeluarkan
sama dengan jumlah uang yang beredar atau:
MV = PY (2)
di mana:
M : jumlah uang beredar
V : kecepatan perputaran uang (velositas)
P : harga output
Y : output.
Ide yang mendasari adalah jumlah uang beredar atau velositas merupakan
representasi suatu transaksi yang sekaligus menggambarkan aktivitas ekonomi.
Inflasi terjadi ketika jumlah uang beredar atau velositas tumbuh lebih tinggi
daripada pertumbuhan ekonomi.
Sementara The Neutrality of Money menjelaskan independensi variabel riil
terhadap pergerakan jumlah uang beredar dalam jangka panjang. Friedman
memaparkan, ketika terjadi inflasi masyarakat dihadapkan pada biaya hidup yang
lebih tinggi. Akan tetapi hal tersebut tidak menjadi masalah karena pendapatan
yang diperoleh juga meningkat dengan jumlah sama. Oleh karena itu, segala
bentuk perubahan jumlah uang beredar yang akhirnya menyebabkan inflasi akan
direspon seketika dengan tingkat upah. Hal inilah yang menyebabkan variabel riil
7
seperti output (dalam bentuk level) dan tingkat pengangguran tidak mengalami
perubahan.
Friedman kemudian mengungkapkan bahwa uang bisa bersifat netral,
namun belum tentu uang tersebut supernetral, dalam arti meskipun secara level
jumlah uang beredar tidak memengaruhi variabel riil, tingkat pertumbuhan uang
bisa saja memengaruhi variabel tersebut. Untuk itu dia menambahkan konsep The
Superneutrality of Money. Sebagaimana dikutip dari Gokal dan Hanif (2004), The
Superneutrality of Money terjadi tatkala variabel riil seperti pertumbuhan ekonomi
tidak terpengaruh oleh dinamika pertumbuhan uang beredar. Bila kondisi ini
terjadi, bisa dikatakan inflasi tidak berdampak apapun terhadap perekonomian.
Secara ringkas, aliran Monetaris menyatakan bahwa dalam jangka panjang
inflasi dipengaruhi oleh pertumbuhan uang, yang tidak berdampak apapun
terhadap pertumbuhan ekonomi. Walaupun demikian, hal tersebut tidak terjadi
dalam kenyataan, di mana pergerakan inflasi justru memiliki konsekuensi negatif
terhadap akumulasi modal, investasi dan ekspor, yang pada akhirnya
memengaruhi pertumbuhan ekonomi di suatu negara.
Teori Neo-Keynesian
Konsep terkenal yang dihasilkan teori Neo-Keynesian adalah “output
potensial”, yaitu tingkat output optimal di mana seluruh kapasitas produksi sudah
9
akan mengurangi nilai return dari kedua modal tersebut yang pada akhirnya juga
menurunkan output. Kesimpulan teori pertumbuhan Endogen adalah inflasi
berhubungan negatif dengan pertumbuhan ekonomi.
Tinjauan Empiris
5
inflasi didekati oleh indeks biaya hidup, sedangkan pertumbuhan ekonomi diproksi dengan
pendapatan nasional, pendapatan perkapita serta pendapatan nasional dan pendapatan nasional
perkapita yang telah disesuaikan dengan term of trade
11
6
panjang tahun berbeda-beda di setiap negara
7
rata-rata lama sekolah, angka harapan hidup, pengeluaran pemerintah, indeks demokrasi, indeks
kepastian hukum, investasi dan angka kelahiran
8
Barro membagi periode penelitian menjadi tiga dan disesuaikan dengan ketersediaan data, yaitu
1965-1975 (78 negara), 1975-1985 (89 negara) dan 1985-1990 (84 negara)
12
Kerangka Pemikiran
Implikasi kebijakan
Hipotesis Penelitian
3 METODE PENELITIAN
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder tahunan
mulai dari 1970 hingga 2012 yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS),
Bank Indonesia dan Bank Dunia. Data-data tersebut selanjutnya dijadikan dasar
untuk membangun variabel-variabel dalam regresi seperti pertumbuhan ekonomi,
inflasi, pertumbuhan investasi, pertumbuhan angkatan kerja, pertumbuhan terms
of trade, dan pertumbuhan jumlah uang beredar.
Pertumbuhan ekonomi dihitung dari pertumbuhan PDB riil. Inflasi diperoleh
dari perubahan Indeks Harga Konsumen (IHK) tahunan dengan tahun dasar 2007.
Pertumbuhan investasi diproksi dengan perubahan nilai Pembentukan Modal
Tetap Bruto (PMTB). Sementara pertumbuhan angkatan kerja dihitung dari
perubahan jumlah angkatan kerja. Karena data jumlah angkatan kerja series
tahunan di Indonesia secara resmi (dari Sakernas) baru rilis mulai tahun 1984,
sedangkan di periode sebelumnya hanya ada pada tahun-tahun tertentu (1961
(Sensus Penduduk), 1971 (Sensus Penduduk) serta 1976 (Sakernas)), maka untuk
melengkapi data yang kosong dilakukan metode interpolasi. Pertumbuhan terms
of trade diproksi dengan perubahan rasio jumlah ekspor terhadap impor,
sedangkan pertumbuhan jumlah uang beredar diperoleh dari perubahan jumlah
uang beredar dalam arti luas (M2). Variabel dan sumber data penelitian secara
ringkas bisa dilihat pada Tabel 3 berikut ini:
Metode Analisis
Prosedur Analisis
Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif merupakan analisis statistik yang menggambarkan atau
mendeskripsikan data menjadi informasi yang lebih jelas dan mudah dipahami,
dengan bantuan tabel dan grafik yang berhubungan dengan penelitian. Analisis
deskripsi yang disajikan dalam penelitian ini berupa gambaran umum
perkembangan inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia mulai tahun 1970
hingga 2012.
Uji Asumsi
1. Uji Kenormalan
Uji asumsi kenormalan bertujuan untuk mengetahui apakah distribusi dari
error menyebar normal dengan rata-rata nol dan varian . Salah satu metode
yang banyak digunakan adalah Jarque-Bera test. Uji ini mengukur perbedaan
skewness dan kurtosis data yang dibandingkan dengan data dalam kondisi normal.
Jarque-Bera test mempunyai distribusi chi-square ( ) dengan derajat
bebas dua. Jika hasil Jarque-Bera test lebih kecil dari nilai pada α = 5%, maka
terima hipotesis nol yang berarti error berdistribusi normal. Cara lain adalah
23
dengan melihat nilai p-value, apabila nilainya lebih besar dari 5% maka terima
hipotesis nol yang berarti error berdistribusi normal dan sebaliknya.
2. Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas merupakan hubungan linear antarvariabel independen
dalam model. Ada tidaknya multikolinearitas dapat dideteksi misalnya dengan
melihat korelasi antara dua variabel independen. Bila nilainya lebih besar dari
0.8, maka diindikasikan terjadi masalah multikolinearitas. Cara mengatasi
multikolinearitas di antaranya dengan mengeluarkan variabel dengan kolinearitas
tinggi atau melakukan transformasi variabel (Juanda 2009).
3. Uji Heteroskedastisitas
Salah satu asumsi dari model regresi linear adalah bahwa ragam sisaan (
sama atau homogen atau untuk setiap pengamatan ke-t
dari variabel-variabel independen dalam regresi. Apabila kondisi tersebut tidak
terpenuhi berarti ada masalah heteroskedastisitas.
Metode untuk mendeteksi ada tidaknya masalah heteroskedastisitas salah
satunya dengan uji Breusch-Pagan-Godfrey test yang dapat dihitung melalui
hasil kali jumlah observasi (Obs) dan R-squared (R2). Secara matematika
dirumuskan sebagai berikut:
ε = Obs*R-squared (10)
Breusch-Pagan test mempunyai distribusi chi-square ( ) dengan derajat
bebas satu. Apabila hitung lebih besar dari tabel pada α = 5%, maka
tolak hipotesis nol yang berarti terjadi heteroskedastisitas. Apabila hitung
lebih kecil dari tabel pada α = 5%, maka terima hipotesis nol yang berarti
tidak ada heteroskedastisitas. Cara lain yaitu dengan melihat nilai p-value, apabila
nilainya lebih kecil dari 5% maka tolak hipotesis nol yang berarti terjadi
heteroskedastisitas dan apabila nilainya lebih besar dari 5% maka terima hipotesis
nol yang berarti tidak ada heteroskedastisitas. Heteroskedastisitas bisa diatasi
melalui estimasi weighted least squares (WLS) atau metode Newey-West.
4. Uji Autokorelasi
Autokorelasi menggambarkan terdapatnya hubungan antarerror. Adanya
autokorelasi ini menyebabkan parameter yang akan diestimasi menjadi tidak
efisien. Untuk menguji ada tidaknya autokorelasi menggunakan Breusch-Godfrey
Serial Correlation LM Test. Hipotesis ujinya adalah :
H0 : tidak ada masalah autokorelasi.
H1 : ada masalah autokorelasi.
Jika nilai Obs*R-squared > nilai kritis maka H0 ditolak yang berarti terdapat
autokorelasi atau p-value < α maka H0 ditolak yang berarti terdapat autokorelasi.
Untuk mengatasi autokorelasi bisa melalui metode Newey-West.
dengan RSS adalah residual sum of squares, ESS merupakan error sum of
squares, k jumlah variabel independen dan n adalah jumlah sampel. Jika nilai F
hitung > Fα;(k-1,n-k) tabel, maka H0 ditolak yang artinya variabel independen dalam
persamaan secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependen.
2. Uji t
Uji t bertujuan untuk menguji signifikansi masing-masing penduga
parameter. Hipotesis yang digunakan adalah:
H0 : βi = 0
H1 : βi ≠ 0
Statistik uji:
(12)
di mana adalah penduga koefisien βi (persamaan 5 dan persamaan 6) dan
merupakan standar error . Jika nilai t hitung > t tabel (α/2,n-k) maka
tolak H0 yang berarti variabel independen tersebut berpengaruh secara signifikan
terhadap variabel dependen. Cara lain dengan melihat nilai p-value, jika lebih
besar dari taraf uji (α) maka H0 diterima.
3. Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi menjelaskan seberapa besar proporsi variabel
dependen dapat dijelaskan oleh variabel independen. Selain itu, juga untuk
mengukur seberapa baik garis regresi yang terbentuk. Koefiesien determinasi
merupakan besaran tak negatif dan bernilai antara 0 dan 1 serta dilambangkan
dengan nilai R-squared (R2). Semakin dekat R2 dengan nilai satu maka model
dapat dikatakan tepat untuk menaksir nilai populasi, dan sebaliknya.
Formula untuk menghitung koefisien determinasi adalah:
(13)
dengan RSS adalah residual sum of squares, ESS merupakan error sum of
squares dan TSS adalah total sum of squares.
Spesifikasi Model
Spesifikasi model dalam penelitian ini mengacu pada model yang digunakan
Frimpong dan Oteng-Abayie (2010) dengan variabel utama pertumbuhan ekonomi
( ) dan inflasi ( ), ditambah empat variabel kontrol yaitu pertumbuhan
investasi (INVGR), pertumbuhan angkatan kerja (LFGR), pertumbuhan terms of
trade (TOTGR), serta pertumbuhan jumlah uang beredar (M2GR) (Tabel 4).
Model Linear
Model linear pada dasarnya digunakan untuk identifikasi awal apakah
terdapat hubungan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Pada model ini,
hubungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi diasumsikan linear.
GDPGRt = β0 + β1INFt + β2INVGRt + β3LFGRt + β4TOTGRt + β5M2GRt + (14)
Model Threshold
Dalam berbagai kajian empiris tentang threshold inflasi, banyak metode
yang digunakan sebagai alat analisis, misalnya Metode Sarel (1996), Metode
Hansen (1997, 2000), Metode Khan dan Senhadji (2001) serta Metode Drukker
et.al (2005). Penelitian ini secara substansi tetap menggunakan model Frimpong
dan Oteng-Abayie (2010) namun untuk prosedur mengadopsi dua metode, yaitu
25
Metode Khan dan Senhadji (2001) dan Metode Hansen (1997, 2000) dengan
pertimbangan kedua model tersebut cukup sering digunakan.
1. Metode Khan dan Senhadji (2001)
Ide Metode Khan dan Senhadji adalah mencari selisih antara inflasi dengan
nilai thresholdnya.
GDPGRt = β0 + β1 (1–I) (INFt – k) + β2 I (INFt – k) + β3INVGRt
+β4LFGRt + β5TOTGRt + β6M2GRt + (15)
2. Metode Hansen (1997, 2000)
Ide dari Metode Hansen adalah menggunakan nilai threshold untuk membagi
pengamatan menjadi dua rezim, yaitu di bawah nilai threshold atau di atas nilai
threshold.
GDPGRt = (β10 + β11INFt + β12INVGRt + β13LFGRt + β14TOTGRt
+ β15M2GRt) I(INFt k)
+ (β20 + β21INFt + β22INVGRt + β23LFGRt + β24TOTGRt
+ β25M2GRt) I(INFt > k) + (16)
Definisi variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Pertumbuhan ekonomi menggambarkan perubahan nilai output (Real GDP)
dari waktu ke waktu dan diformulasikan sebagai berikut:
Prosedur Analisis
4 HASIL PENELITIAN
Fenomena serupa juga terjadi pada tahun 1973 di mana kenaikan inflasi
27.17% justru diikuti semakin cepatnya laju perekonomian yang mencapai 9.78%.
Begitu pula di tahun 1974, lonjakan inflasi sebesar 33.41% masih mampu
mendorong laju perekonomian hingga level 8.26%. Selain belum pulihnya krisis
pangan serta meningkatnya jumlah uang beredar, tingginya inflasi tahun 1973 dan
1974 dipicu oleh kenaikan tajam harga minyak dunia yang mencapai angka
21.07% pada tahun 1973 dan terus melonjak hingga 158.93% di tahun 1974
28
(M2) meningkat sebesar 62.28% sebagai konsekuensi upaya stabilisasi nilai tukar
rupiah terhadap dolar yang terdepresiasi demikian hebat, mengingat Indonesia
masih menganut sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate) (Subekti 2011).
Pasca krisis ekonomi 1998, Indonesia berusaha menekan inflasi di level
rendah, misalnya dengan mengadopsi kebijakan inflation targeting framework.
Sistem nilai tukar mata uang juga diubah menjadi nilai tukar fleksibel (flexible
exchange rate). Pengertian nilai tukar fleksibel bukan berarti nilai tukar
sepenuhnya diserahkan ke pasar, tetapi otoritas moneter masih ikut campur tangan
dalam rangka stabilisasi nilai tukar terhadap valuta asing yang pada akhirnya akan
membantu stabilitas inflasi (Subekti 2011).
Dalam kurun 1999 sampai 2012 rata-rata inflasi Indonesia berada di angka
7.47% dengan pertumbuhan ekonomi 5.06%. Meskipun demikian, inflasi dua
digit masih terjadi di tahun 2005 yang mencapai 17.11% serta tahun 2008 yaitu
sebesar 11.06% sebagai dampak kenaikan harga minyak dunia. Sama dengan
periode oil boom era 1970-an, kenaikan harga minyak dunia tersebut ternyata juga
tidak terlalu menekan aktivitas ekonomi yang masih tumbuh sebesar 5.69%
(2005) dan 6.01% (2008).
Untuk lebih memahami pola hubungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi di
Indonesia secara lebih detail, ada cara lain yang bisa digunakan yaitu melalui plot
data sebagaimana dicontohkan Mubarik (2005). Langkah-langkah yang diambil
adalah pertama, inflasi diurutkan mulai dari nilai terkecil hingga terbesar. Kedua,
seluruh observasi inflasi dibagi menjadi beberapa kelompok dan dipilih angka p
untuk mewakili nilai tersebut serta nilai di bawahnya. Misalnya, inflasi kurang
dari 5% diwakili oleh angka 5%. Dengan kata lain apabila nilai inflasi 5% atau
lebih, bisa diwakili oleh angka 7%, dan seterusnya. Langkah terakhir adalah
merata-ratakan pertumbuhan ekonomi di setiap kelompok inflasi yang telah
terbentuk.
Model Linear
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, penelitian ini menggunakan
pendekatan multivariate. Oleh karena itu selain inflasi, juga dianalisis peran
beberapa variabel kontrol yang diduga memengaruhi pertumbuhan ekonomi
seperti pertumbuhan investasi, pertumbuhan angkatan kerja, pertumbuhan terms
of trade dan pertumbuhan jumlah uang beredar (M2). Dengan Microsoft Excell
2007, diperoleh estimasi persamaan sebagai berikut:
nilai 5%. Sementara korelasi antarvariabel independen tidak ada yang lebih besar
dari 0.8, sehingga dapat disimpulkan bahwa model telah memenuhi asumsi
terbebas dari multikolinearitas. Pengujian heteroskedastisitas melalui Breusch-
Pagan-Godfrey test menjamin model tidak ada masalah heteroskedastisitas, di
mana angka probabilitas chi-square sebesar 0.43. Yang terakhir, nilai probabilitas
chi-square pada Breusch-Godfrey Serial Correlation LM test sebesar 0.37
menyatakan model bebas dari masalah autokorelasi.
Nilai F-stastistic sebesar 18.70, dengan nilai Prob(F-statistic) 0.00 (lebih
kecil dari α = 0.05) mengindikasikan terdapat satu di antara variabel inflasi,
pertumbuhan investasi, pertumbuhan angkatan kerja, pertumbuhan terms of trade
dan pertumbuhan jumlah uang beredar (M2) yang berpengaruh signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, dari tingkat signifikansi uji t pada masing-
masing variabel independen (Tabel 7) dapat disimpulkan bahwa inflasi,
pertumbuhan investasi dan pertumbuhan jumlah uang beredar (M2) berpengaruh
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebaliknya variabel
pertumbuhan angkatan kerja serta pertumbuhan terms of trade tidak berpengaruh
signifikan.
Pengujian goodness of fit atau uji kelayakan model ditunjukkan oleh nilai R-
squared yang mencerminkan seberapa besar variabel independen mampu
menjelaskan keragaman variabel dependen. Dalam model linear di atas diperoleh
nilai R-squared sebesar 0.71644. Artinya sebesar 71.64% keragaman variabel
pertumbuhan ekonomi mampu dijelaskan oleh inflasi, pertumbuhan investasi,
pertumbuhan angkatan kerja, pertumbuhan terms of trade dan pertumbuhan
jumlah uang beredar (M2). Sementara sisanya yaitu 28.36% dijelaskan oleh
variabel-variabel lain di luar model.
Model Threshold
Estimasi model linear menunjukkan bahwa secara umum inflasi
berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun berdasarkan plot
data yang sebelumnya disajikan pada bagian gambaran umum, dinyatakan bahwa
hubungan atau pengaruh inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi ada kemungkinan
taklinear. Salah satu metode untuk mengidentifikasi ketaklinearan model adalah
melalui analisis regresi threshold.
Dalam penelitian ini nilai threshold inflasi dicari mulai dari angka 5%
hingga 16% dengan increment 0.01. Terdapat dua alasan pengambilan interval
tersebut, yang pertama untuk memenuhi ketentuan yang dikemukakan Enders
(2004). Alasan kedua sesuai dengan target inflasi Bank Indonesia yang berkisar
3% sampai 5%, yang secara tidak langsung beranggapan bahwa ketika inflasi di
atas 5%, akan berdampak buruk terhadap pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain
penelitian ini bermaksud mengkonfirmasi secara ekonometrik anggapan tersebut.
Gambar 8 Nilai threshold inflasi dan Residual Sum of Squares (RSS) model
Khan dan Senhadji (2001)
Tabel 8 Hasil uji signifikansi threshold inflasi model Khan dan Senhadji (2001)
Nilai
Hipotesis LR-test Bootstrap p-value
Threshold
(1) (2) (3) (4)
H0: β1 = β2 12.99196*** 0.004 7.11%
(tidak ada threshold)
Keterangan: *** signifikan pada taraf nyata 1%, **signifikan pada taraf nyata 5%,
* signifikan pada taraf nyata 10%
Karena nilai threshold 7.11% merupakan angka yang ideal (signifikan), maka
estimasi model threshold Khan dan Senhadji (2001) dilakukan pada nilai
threshold tersebut. Hasilnya sebagaimana yang disajikan pada Tabel 9 berikut:
36
lain masih ada “ruang” yang cukup bagi Bank Indonesia untuk melakukan
kebijakan diskresi dengan maksud merangsang perekonomian agar lebih dinamis.
Koefisien yang cukup besar, bahkan paling besar jika dibandingkan dengan
variabel independen lain mengindikasikan keberadaan inflasi di Indonesia sangat
penting dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi (ditinjau dari perspektif
supply).
Sama dengan analisis linear, pertumbuhan investasi dan pertumbuhan
jumlah uang beredar juga berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi
dengan koefisien masing-masing sebesar 0.11 dan 0.09. Begitu pula pertumbuhan
angkatan kerja dan pertumbuhan terms of trade yang masih tidak signifikan
dengan koefisien masing-masing –0.09 dan 0.007.
Gambar 9 Nilai threshold inflasi dan Residual Sum of Squares (RSS) model
Hansen (1997, 2000)
Tabel 10 Hasil uji signifikansi threshold inflasi model Hansen (1997, 2000)
Nilai
Hipotesis LR-test Bootstrap p-value
Threshold
(1) (2) (3) (4)
H0: βi1 = βi2 32.32738*** 0.006 9.53%
(tidak ada threshold)
Keterangan: *** signifikan pada taraf nyata 1%, **signifikan pada taraf nyata 5%,
* signifikan pada taraf nyata 10%
inflasi di bawah threshold, inflasi saat lebih besar dari threshold, pertumbuhan
investasi ketika inflasi di atas threshold serta pertumbuhan jumlah uang beredar
(M2), baik saat inflasi berada di bawah threshold ataupun ketika inflasi berada di
atas threshold berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Sebaliknya variabel pertumbuhan angkatan kerja serta pertumbuhan terms of trade
tidak berpengaruh signifikan.
Nilai R-squared model threshold Hansen sebesar 0.8380, yang artinya 83.80
variasi pertumbuhan ekonomi mampu dijelaskan oleh model, sedangkan 16.20%
sisanya dijelaskan faktor lain di luar model.
Dari ketiga model yaitu linear, Khan dan Senhadji (2001) serta Hansen
(1997, 2000), diperoleh hasil yang berbeda-beda. Pertanyaannya adalah, model
mana yang selanjutnya dipilih?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, beberapa kriteria seleksi model
digunakan, di antaranya Residual Sum of Squares (RSS), log likelihood (LogLL),
Akaike Information Criteria (AIC) serta Log likelihood Ratio Test (LR-test).
Karena model threshold Khan dan Senhadji (2001) non-nested dengan model
threshold Hansen (1997, 2000) dan non-nested test bisa diaplikasikan pada model
nested, maka AIC dan LR-test akan digunakan sebagai kriteria utama untuk
memilih model. Hasil pengujian secara lengkap bisa dilihat pada Tabel 12 berikut:
Simpulan
Dari hasil penelitian dan analisis yang sudah dilakukan dapat ditarik
simpulan sebagai berikut:
1. Secara umum, inflasi berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi di
Indonesia. Setiap kenaikan inflasi sebesar 1%, akan menyebabkan penurunan
pertumbuhan ekonomi sebesar 0.17% ceteris paribus. Penelitian ini
mengakomodir pendapat Sepehri dan Moshiri (2004) serta Kremer et al.
(2012) bahwa studi inflasi dan pertumbuhan ekonomi hendaknya fokus di satu
negara, karena struktur ekonomi masing-masing negara berbeda. Dalam
beberapa studi data panel, Indonesia telah dilibatkan sebagai sampel, namun
hasil yang didapat adalah inflasi di Indonesia bisa berpengaruh positif, negatif
bahkan netral terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini menjawab
temuan inconclusive yang ada
2. Berdasarkan historis data tahun 1970 hingga 2012, diperoleh nilai threshold
inflasi di Indonesia sebesar 7.11% (model threshold Khan dan Senhadji
(2001)) dan 9.53% (model threshold Hansen (1997, 2000)). Selama inflasi
kurang dari angka-angka tersebut, pengaruhnya terhadap pertumbuhan
ekonomi positif, sebaliknya apabila inflasi melebihi angka-angka tersebut,
pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi negatif. Dari beberapa uji
seleksi model disimpulkan bahwa model threshold Hansen (1997, 2000)
merupakan model yang terbaik. Oleh karena itu nilai threshold inflasi di
Indonesia sebesar 9.53%.
Implikasi Kebijakan
1. Series data dalam penelitian ini masih relatif pendek. Oleh karena itu dalam
penelitian selanjutnya bisa menggunakan series data yang lebih panjang
2. Membandingkan threshold inflasi sebelum dan setelah penerapan inflation
targeting framework (ITF) dapat menjadi topik yang menarik, sehingga dalam
penelitian selanjutnya bisa melakukan kajian tersebut, misalnya dengan
menggunakan data triwulanan
3. Inflasi merupakan variabel makroekonomi yang memiliki keterkaitan dan
implikasi sangat luas dalam perekonomian, salah satunya terhadap
kemiskinan. Uji dampak threshold inflasi terhadap tingkat kemiskinan juga
bisa dilakukan untuk menambah literatur penelitian.
43
DAFTAR PUSTAKA
Barro RJ. 1995a. Inflation and economic growth. Bank of England Quarterly
Bulletin No 35. Bank of England.
_______. 1995b. Inflation and economic growth. Working Paper No 5326.
National Bureau of Economic Research.
Black DC, Dowd MR, Keith K. 2001. The inflation/growth relationship: evidence
from state panel data. Applied Economics Letters. 8(12):771-774.
Blanchard OJ, Kiyotaki N. 1987. Monopolistic competition and the effects of
agregate demand. The American Economic Review. 77(4):647-666.
Bruno M, Easterly W. 1995. Inflation crises and long-run growth. Working Paper
No 5209. National Bureau of Economic Research.
Chowdhury A. 2002. Does inflation affect economic growth? the relevance of the
debate for Indonesia. Journal of the Asia Pacific Economy. 7(1):20-34.
Chowdhury A, Siregar H. 2004. Indonesia’s monetary policy dilemma: constraints
of inflation targeting. The Journal of Developing Areas. 37(2):137–153.
Chowdhury A, Ham R. 2009. Inflation targeting in Indonesia: searching for a
threshold. The Singapore of Economic Review. 54(4):645–655.
Dorrance GS. 1963. The effect of inflation on economic development. IMF Staff
Papers. 10(1):1-47.
__________. 1966. Inflation and growth. IMF Staff Papers. 13(1):82-102.
Doguwa SI. 2013. Inflation and economic growth in Nigeria: detecting the
threshold level. CBN Journal of Applied Statistics. 3(2):99-124.
Drukker D, Gomis-Porqueras P, Hernandez-Verme P. 2005. Threshold effects in
the relationship between inflation and growth: a new panel-data approach.
MPRA Paper No 38225, Ludwig Maximilian University of Munich,
Germain.
Enders W. 2004. Applied Econometric Time Series 2nd. New York (US): John
Wiley & Sons Inc.
Frimpong JM, Oteng-Abayie EF. 2010. When is inflation harmful? estimating the
threshold effect for Ghana. American Journal of Economics and Business
Administration. 2(3):232-239.
Fischer S. 1983. Inflation and growth. Working Paper No 1235. National Bureau
Of Economic Research.
_______. 1993. The role of macroeconomic factors in growth. Working Paper No
4565. National Bureau Of Economic Research.
Ghosh A, Phillips S. 1998a. Inflation, disinflation and growth. Working Paper No
96/68. International Monetary Fund.
________________. 1998b. Warning: inflation may be harmful to your growth.
IMF Staff Papers. 45(4):672–710.
Gokal V, Hanif S. 2004. Relationship between inflation and economic growth.
Working Paper 2004/04. Reserve Bank of Fiji.
Hansen B. 1996. Inference when a parameter is not identified under the null
hypothesis. Econometrica. 64(2):413–430.
_________. 1997. Inference in TAR models. Studies in Non-Linear Dynamics and
Econometrics. 2(1):1–14.
_________. 1999. Threshold effects in non-dynamic panels: estimation, testing,
and inference. Journal of Econometrics. 93(2):345-368.
44
Munir Q, Mansur K. 2009. Non-linearity between inflation rate and GDP growth
in Malaysia. Economic Bulletin. 29(3):1555-1569.
Nasir I, Saima N. 2010. Investment, inflation and economic growth nexus. MPRA
Paper No. 27163, Ludwig Maximilian University of Munich, Germain.
Nell KS. 2000. Is inflation and precondition for faster growth? The case of South
Africa. Studies in Economics No 0011, University of Kent, UK.
Rousseau PL, Yilmazkuday H. 2009. Inflation, financial development and growth:
A trilateral analysis. Economic Systems. 33(4):1-15.
Sadikin FI. 2010. Identifikasi faktor-faktor yang memengaruhi inflasi sebelum
dan sesudah krisis moneter 1997: suatu pendekatan var [tesis]. Jakarta (ID):
Universitas Indonesia.
Sarel M. 1996. Nonlinear effects of inflation on economic growth. IMF Staff
Papers. 43(1):199–215.
Sepehri A, Moshiri S. 2004. Inflation-growth profiles across countries: evidence
from developing and developed countries. International Review of Applied
Economics. 18(2):191–207.
Sidrauski M. 1967. Inflation and economic growth. Journal of Political Economy.
75(6):796-810.
Smyth DJ. 1992. Inflation and the growth rate in the united states’ natural output.
Applied Economics. 24(6):567–570.
Stockman AC. 1981. Anticipated inflation and the capital stock in a cash in-
advance economy. Journal of Monetary Economics. 8(3):387-393.
Subekti A. 2011. Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi [tesis]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Sulistyowati N. 2011. Dampak investasi sumberdaya manusia terhadap
perekonomian dan kesejahteraan masyarakat di Jawa Tengah [tesis]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Tambunan TH. 2003. Perekonomian Indonesia: Beberapa Masalah Penting.
Jakarta (ID): Erlangga.
Tobin J. 1965. Money and economic growth. Econometrica. 33(4):671–684.
Todaro MP, Smith SC. 2006. Pembangunan Ekonomi. Jilid I Edisi Kesembilan.
Haris Munandar (penerjemah). Jakarta (ID): Erlangga.
________________________. 2006. Pembangunan Ekonomi. Jilid II Edisi
Kesembilan. Andri Yelvi (penerjemah). Jakarta (ID): Erlangga.
Wai UT. 1959. The relationship between inflation and economic development: a
statistical inductive study. IMF Staff Papers. 7(2):302-17.
Woo WT, Glassburner B, Nasution A. 1994. Macroeconomic policies, crises, and
long-term growth in Indonesia 1965–90. Washington DC (US): World
Bank.
Yeh CC. 2012. The inflation-growth nexus across countries under simultaneous
equations model. Academic Research International. 2(2):18-32.
Elektronik
Bank Indonesia. Sejarah Moneter Periode 1959-1966. [http://bi.go.id]. [diunduh
2013 Apr 18].
Bank Indonesia. 2002. Laporan Tahunan 2001. [http://bi.go.id]. [diunduh 2013
Sept 4].
46
http://bi.go.id
http://bps.go.id
http://worldbank.org
47
LAMPIRAN
Lampiran 1 Data yang digunakan dalam penelitian
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
Hasil Estimasi
Variabel Dependen: GDPGR
Standar
Variabel Koefisien t-statistik Probabilitas
error
(1) (2) (3) (4) (5)
C 4.83462 0.82202 5.88141 0.00000
INF –0.16598 0.04204 –3.94810 0.00034
INVGR 0.15612 0.03233 4.82931 0.00002
LFGR –0.03628 0.18548 –0.19561 0.84599
TOTGR –0.00896 0.02813 –0.31854 0.75187
M2GR 0.07202 0.03692 1.95057 0.05871
R-squared 0.716444 Mean dependent var 6.053023
Adjusted R-squared 0.678125 S.D. dependent var 3.609303
S.E. of regression 2.047703 Akaike info criterion 4.400102
Sum squared resid 155.1442 Schwarz criterion 4.645851
Log likelihood –88.60219 Hannan-Quinn criter. 4.490726
F-statistic 18.69709 Durbin-Watson stat 1.692793
Prob(F-statistic) 0.00000
Hasil estimasi
Variabel Dependen: GDPGR
Variabel Koefisien Standar error t-statistik Probabilitas
(1) (2) (3) (4) (5)
C 4.490997 0.808691 5.553417 0.000003
INF > 7.11 –0.240609 0.043670 –5.509714 0.000003
INF ≤ 7.11 0.568529 0.225823 2.517587 0.016407
INVGR 0.111299 0.031773 3.502953 0.001249
LFGR –0.090165 0.165589 –0.544512 0.589446
TOTGR 0.007551 0.025486 0.296292 0.768710
M2GR 0.097920 0.033729 2.903099 0.006273
R-squared 0.782133 Mean dependent var 6.053023
Adjusted R-squared 0.745822 S.D. dependent var 3.609303
S.E. of regression 1.81967 Akaike info criterion 4.183088
Sum squared resid 119.2032 Schwarz criterion 4.469795
Log likelihood -82.93639 Hannan-Quinn criter. 4.288817
F-statistic 21.53971 Durbin-Watson stat 1.560146
Prob(F-statistic) 0.00000
Hasil estimasi
Variabel Dependen: GDPGR
Inflasi ≤ 9.53% Inflasi > 9.53%
Variabel
Koefisien Probabilitas Koefisien Probabilitas
(1) (2) (3) (4) (5)
C 2.66479 0.03584 5.22091 0.00241
(1.21445) (1.57979)
INF 0.34130 0.03674 –0.24811 0.00167
(0.15635) (0.07207)
INVGR 0.04925 0.21328 0.15433 0.01857
(0.03876) (0.06211)
LFGR –0.24284 0.15568 0.10077 0.89254
(0.16688) (0.73985)
TOTGR –0.04488 0.15125 0.03268 0.43702
(0.03050) (0.04151)
M2GR 0.08028 0.05078 0.11094 0.04292
(0.03950) (0.05255)
R-squared 0.838038 Mean dependent var 6.053023
Adjusted R-squared 0.780567 S.D. dependent var 3.609303
S.E. of regression 1.690729 Akaike info criterion 4.119123
Sum squared resid 88.61546 Schwarz criterion 4.610621
Log likelihood -76.56114 Hannan-Quinn criter. 4.300372
F-statistic 59.296 Durbin-Watson stat 1.679561
Prob(F-statistic) 0.00000
Keterangan: angka dalam kurung merupakan nilai standar error
INF1 1 0.58 0.60 0.04 0.77 -0.61 -0.38 -0.82 -0.15 -0.73
INVGR1 0.58 1 0.27 0.04 0.67 -0.36 -0.23 -0.49 -0.09 -0.44
LFGR1 0.60 0.27 1 -0.22 0.57 -0.42 -0.26 -0.57 -0.11 -0.51
TOTGR1 0.04 0.04 -0.22 1 0.13 -0.02 -0.01 -0.03 -0.01 -0.03
M2GR1 0.77 0.67 0.57 0.13 1 -0.58 -0.37 -0.79 -0.15 -0.71
INF2 -0.61 -0.36 -0.42 -0.02 -0.58 1 -0.09 0.63 0.51 0.85
INVGR2 -0.38 -0.23 -0.26 -0.01 -0.37 -0.09 1 0.58 0.08 0.32
LFGR2 -0.82 -0.49 -0.57 -0.03 -0.79 0.63 0.58 1 0.21 0.83
TOTGR21 -0.15 -0.09 -0.11 -0.01 -0.15 0.51 0.08 0.21 1 0.45
M2GR2 -0.73 -0.44 -0.51 -0.03 -0.71 0.85 0.32 0.83 0.45 1
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Trenggalek (Jawa Timur) pada tanggal 9 April 1982
dari pasangan Widaryadi dan Nunik Sulistyani serta merupakan anak pertama dari
empat bersaudara. Penulis menikah dengan Ulfatul Umami.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasar hingga jenjang SMA di
Trenggalek, pada tahun 2002 penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi
Ilmu Statistik Jakarta Jurusan Statistik Ekonomi hingga 2006. Sejak Maret 2007,
penulis bekerja di BPS Kabupaten Kotabaru Provinsi Kalimantan Selatan dan
bertugas sebagai Staf Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik. Pada tahun
2011 penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor melalui Program S2 kerjasama antara BPS dan IPB di
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, setelah
sebelumnya menyelesaikan program alih jenis Ilmu Ekonomi dan memperoleh
gelar Sarjana Ekonomi di tahun dan tempat yang sama.