Anda di halaman 1dari 77

INFLASI DAN PERTUMBUHAN EKONOMI:

PENDUGAAN AMBANG BATAS INFLASI DI INDONESIA

NANANG WIDARYOKO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Inflasi dan Pertumbuhan
Ekonomi: Pendugaan Ambang Batas Inflasi di Indonesia adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013

Nanang Widaryoko
NIM H151114174
RINGKASAN

NANANG WIDARYOKO. Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi: Pendugaan


Ambang Batas Inflasi di Indonesia. Dibimbing oleh IMAN SUGEMA dan TONI
BAKHTIAR.

Inflasi yang tinggi dianggap sebagai masalah dalam perekonomian.


Indonesia pernah mengalami keterpurukan ekonomi akibat gagal mengendalikan
volatilitas inflasi. Hal ini digunakan sebagai landasan bagi pemerintah untuk
menerapkan kebijakan inflasi rendah. Para ekonom pernah menyatakan bahwa
inflasi yang rendah dapat mendorong pertumbuhan ekonomi lebih cepat.
Faktanya, kebijakan inflasi rendah tidak menguntungkan karena bisa mengganggu
iklim investasi. Di sisi lain pola data inflasi dan pertumbuhan ekonomi di
Indonesia sebenarnya juga tidak konsisten (menunjukkan hubungan positif,
negatif, dan netral).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh inflasi
terhadap pertumbuhan ekonomi serta mencari ambang batas (threshold) inflasi di
Indonesia pada periode 1970-2012. Dengan menggunakan regresi linear berganda,
penelitian ini menunjukkan bahwa inflasi berdampak negatif terhadap
pertumbuhan ekonomi. Identifikasi threshold inflasi melalui model Khan dan
Senhadji (2001) menyatakan bahwa threshold inflasi di Indonesia adalah 7.11%.
Sedangkan menurut model Hansen (1997, 2000), threshold inflasi di Indonesia
sebesar 9.53%. Berdasarkan beberapa kriteria pemilihan model, threshold inflasi
menurut model Hansen (1997, 2000) dianggap lebih ideal. Inflasi memiliki
pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi ketika nilainya kurang dari
threshold dan berpengaruh negatif ketika melebihi threshold. Hasil ini
mendukung temuan Chowdhury dan Ham (2009) yang menyatakan bahwa
threshold inflasi di Indonesia berkisar antara 8.5 persen dan 11 persen.
Dari hasil studi disimpulkan bahwa bank sentral harus aktif mengendalikan
inflasi ketika nilainya berada di atas threshold. Dengan demikian, ITF tidak dapat
digeneralisasi untuk semua tingkat inflasi.

Kata kunci: inflasi, pertumbuhan ekonomi, threshold


SUMMARY

NANANG WIDARYOKO. Inflation and Economic Growth: Estimation the


Threshold Level in Indonesia. Under direction of IMAN SUGEMA and TONI
BAKHTIAR.

High inflation is regarded as a problems in the economy. Indonesia


experienced economic collapse as a result of failing to control inflation volatility.
This is used as a reason for the current authorities to implement low-inflation
policy. The economist argues that low-inflation can promote economic growth
faster. In fact, low-inflation policy is not favorable because it interferes the
business investment climate. On the other hand the pattern of the inflation and
economic growth data in Indonesia is also inconsistent (indicating a positive
relationship, negative and neutral).
The purpose of this study is to determine the effect of inflation on economic
growth, as well as to search inflation threshold in Indonesia in the period 1970-
2012. Using multiple linear regression, this study shows that inflation negatively
impacts on economic growth. Inflation threshold identification by Khan and
Senhadji model (2001) stated that inflation threshold in Indonesia is 7.11%. While
according to Hansen model (1997, 2000), inflation threshold in Indonesia is
9.53%. Based on some model selection criterias, the inflation threshold implied by
Hansen model is more apropriate. Inflation has a positive effect on economic
growth if the value is less than the thresholds and negative when it exceeds the
thresholds. This result supports Chowdhury and Ham (2009) finding who stated
that inflation threshold in Indonesia is between 8.5 per cent and 11 per cent.
The two studies imply that the central bank should only pursue active policy
measures when inflation is above the threshold. Thus, ITF cannot be generalized
to all levels of inflation.

Keywords: economic growth, inflation, threshold


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
INFLASI DAN PERTUMBUHAN EKONOMI:
PENDUGAAN AMBANG BATAS INFLASI DI INDONESIA

NANANG WIDARYOKO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Noer Azam Achsani, MS
Judul Tesis : Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi: Pendugaan Ambang Batas
Inflasi di Indonesia
Nama : Nanang Widaryoko
NIIM : H151 ll4l74

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Toni Bakhtiar SSi MSc


Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan S ekol ah P ascasarj arLa


Ilmu Ekonomi

r'
*t) t

y'^V^'5
Dr [r RNLI#ng Nuryartooo, MSi Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal {Jjian: 30 Agustus 2AI3 Tanggal Lulus:


PRAKATA

Puji dan syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu


Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil
diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan
April 2013 ini ialah inflasi, dengan judul Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi:
Pendugaan Ambang Batas Inflasi di Indonesia.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Iman Sugema, MEc, dan
Bapak Dr Toni Bakhtiar, SSi, MSc selaku pembimbing, serta Bapak Prof Dr Ir
Noer Azam Achsani, MS, dan Ibu Dr Lukytawati Anggraeni, SP, MSi yang telah
banyak memberikan saran. Kepada Prof Bruce E Hansen, Prof Anis Chowdhury
dan Dr Kevin Greenidge terimakasih atas masukan yang sangat berguna terkait isu
ekonometrika. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada segenap
pimpinan dan pegawai Badan Pusat Statistik (BPS) RI, BPS Provinsi Kalimantan
Selatan, Bapak Dr Ir R Nunung Nuryartono, MSi dan jajarannya, serta staf-staf
Perpustakaan Bank Indonesia yang telah membantu baik pada waktu
pengumpulan data dan pelaksanaan penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada istri penulis, Ulfatul Umami, SST, MSc atas cinta, do’a, serta
dorongan semangatnya, Ayah, Ibu, Abi, Umi beserta seluruh keluarga, atas segala
restu dan kasih sayangnya. Untuk sahabat sekaligus mentor penulis, Miyan Andi
Irawan, SST, MSE, dan seluruh rekan-rekan Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi
kelas BPS Batch 4, terimakasih atas diskusi dan ilmu yang telah diberikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2013

Nanang Widaryoko
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii


DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR LAMPIRAN viii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 4
Manfaat Penelitian 4
2 TINJAUAN PUSTAKA 5
Tinjauan Teori 5
Hubungan Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi 5
Tinjauan Empiris 10
Hubungan Linear Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi 10
Hubungan Taklinear Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi 13
Kerangka Pemikiran 17
Hipotesis Penelitian 18
3 METODE PENELITIAN 19
Jenis dan Sumber Data 19
Metode Analisis 19
Analisis Deskriptif 20
Analisis Regresi Linear Berganda 20
Analisis Regresi Threshold 21
Spesifikasi Model 24
Definisi Variabel Operasional 25
Prosedur Analisis 26
4 HASIL PENELITIAN 27
Gambaran Umum Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia 27
Pengaruh Inflasi terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia 31
Seleksi Model Terbaik 40
5 SIMPULAN DAN SARAN 41
Simpulan 41
Implikasi Kebijakan 41
Saran Penelitian Lanjutan 42
DAFTAR PUSTAKA 43
LAMPIRAN 47
RIWAYAT HIDUP 63
DAFTAR TABEL
1 Jumlah M1, pertumbuhan M1, inflasi dan pertumbuhan ekonomi
Indonesia tahun 1958-1966 1
2 Studi threshold inflasi berbagai negara yang melibatkan Indonesia
sebagai salah satu sampel 16
3 Variabel dan sumber data penelitian 19
4 Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian 25
5 Statistik deskriptif variabel penelitian (%) 30
6 Pengujian kestasioneran variabel penelitian 31
7 Hasil estimasi model linear pertumbuhan ekonomi 31
8 Hasil uji signifikansi threshold inflasi model Khan dan Senhadji
(2001) 35
9 Hasil estimasi model threshold Khan dan Senhadji (2001) 36
10 Hasil uji signifikansi threshold inflasi model Hansen (1997, 2000) 38
11 Hasil estimasi model threshold Hansen (1997, 2000) 38
12 Kriteria seleksi model 40

DAFTAR GAMBAR
1 Rata-rata pertumbuhan ekonomi dan inflasi di Indonesia tahun
1950-2012 (%) 3
2 “Dynamic adjustment” hubungan inflasi dan output 6
3 Mekanisme portofolio model Tobin 8
4 Alur kerangka pemikiran 18
5 Ringkasan prosedur analisis 20
6 Pertumbuhan ekonomi dan inflasi di Indonesia tahun 1970-2012 (%) 27
7 Rata-rata pertumbuhan ekonomi dan inflasi di Indonesia 29
8 Nilai threshold inflasi dan Residual Sum of Squares (RSS)
model Khan dan Senhadji (2001) 35
9 Nilai threshold inflasi dan Residual Sum of Squares (RSS) model
Hansen (1997,2000) 37

DAFTAR LAMPIRAN
1 Data yang digunakan dalam penelitian 47
2 Hasil uji unit root 49
3 Output model linear pertumbuhan ekonomi 57
4 Output model threshold Khan dan Senhadji (2001) 59
5 Output model threshold Hansen (1997, 2000) 61
1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Inflasi yang rendah selama ini dianggap sebagai prasyarat untuk


mempercepat laju pertumbuhan ekonomi (Munir dan Mansur 2009). Banyak fakta
yang menunjukkan bahwa inflasi tinggi dan tidak terkendali dapat merusak
aktivitas perekonomian.
Indonesia termasuk negara yang pernah mengalami keterpurukan ekonomi
akibat tidak mampu menekan laju inflasi. Selama tahun 1958 hingga 1966,
perekonomian Indonesia secara rata-rata hanya mampu tumbuh sebesar 0.18%.
Pada waktu itu rata-rata inflasi mencapai 199%, bahkan sempat menyentuh level
636% di tahun 1966. Menurut Subekti (2011), penyebab utama tingginya inflasi
Indonesia era 1960-an adalah anggaran belanja pemerintah yang tidak berimbang
serta tertutupnya akses untuk memperoleh pinjaman dari luar negeri, sehingga
segala kegiatan yang melibatkan peran pemerintah sebagian besar harus dibiayai
dengan pencetakan uang. Jadi tidak mengherankan apabila pertumbuhan jumlah
uang beredar (M1) di era tersebut selalu mengiringi lonjakan inflasi dengan
persentase kenaikan yang cukup pesat yaitu rata-rata sebesar 99.57% (Tabel 1).

Tabel 1 Jumlah M1, pertumbuhan M1, inflasi dan pertumbuhan ekonomi


Indonesia tahun 1958-1966
Jumlah M1 Pertumbuhan Pertumbuhan
Tahun Inflasi (%)
(juta rupiah) M1 (%) Ekonomi (%)
(1) (2) (3) (4) (5)
1958 29 55.56 46 5.26
1959 35 18.78 22 –1.91
1960 48 37.13 38 –1.54
1961 68 41.40 27 1.77
1962 136 100.89 174 –2.74
1963 263 93.79 119 –2.68
1964 675 156.34 135 2.33
1965 2,713,688 301.96 594 0.55
1966 5,164,552 90.31 636 0.62
Sumber: Bank Indonesia-Sejarah Moneter Periode 1959-1966 dan Tambunan
(2003), diolah

Perhatian Indonesia terhadap inflasi baru terlihat saat rezim Orde Baru
mulai berkuasa di tahun 1967. Seluruh perangkat birokrasi Orde Baru memiliki
kesamaan visi bahwa inflasi merupakan masalah utama dalam perekonomian
sehingga upaya pengendalian dipandang perlu. Untuk mengontrol pengeluaran,
pemerintah menerapkan sistem anggaran berimbang. Program tersebut terbukti
cukup efektif. Pertumbuhan jumlah uang beredar (M1) dalam kurun 1967 hingga
1997 secara rata-rata dapat dikurangi hingga ke level 52.7%1. Sektor usaha
1
data diolah dari Hossain (2005)
2

berhasil berproduksi dengan baik dan daya beli masyarakat juga terjaga. Hampir
dua dekade, ekonomi tumbuh sekitar 7% dengan inflasi rata-rata sebesar 12%.
Upaya-upaya pengendalian inflasi terus berlanjut hingga masa reformasi,
bahkan semakin diintensifkan pascakrisis moneter tahun 1998. Pada tahun 2005
Indonesia secara resmi mulai menerapkan Inflation Targeting Framework yaitu
suatu kebijakan yang bertujuan mencapai kestabilan inflasi di level-level tertentu
yang berkisar 4% hingga 10% untuk jangka pendek dan 3% sampai dengan 5%
untuk jangka panjang (Chowdhury dan Ham 2009).
Dalam implementasinya, kebijakan-kebijakan anti inflasi yang diterapkan
Indonesia ternyata tidak sepenuhnya berjalan lancar. Praktisi bank sentral tak
jarang masih menghadapi sebuah dilema2, yaitu konsisten menjaga inflasi tetap
rendah dengan konsekuensi tertekannya sektor produksi, atau membiarkan inflasi
sedikit terdeviasi namun mendukung produsen untuk terus beraktivitas.
Sebagaimana diketahui instrumen yang digunakan untuk mengendalikan
inflasi adalah suku bunga. Inflasi rendah dapat tercapai melalui penetapan tingkat
suku bunga tinggi yang pada umumnya tidak terlalu disukai oleh dunia usaha.
Sebagai bukti, pada bulan Agustus 2006 suku bunga pinjaman di Indonesia
mencapai 15.75%. Dengan tingkat inflasi berkisar 9%, suku bunga tersebut bisa
dikategorikan sangat tinggi yang seharusnya mampu menarik aliran modal asing.
Anehnya, justru di periode yang sama pertumbuhan portofolio turun sekitar 0.60%
hingga 0.10%. Di sisi lain, nilai tukar rupiah juga terkoreksi sebesar 40% yang
tentu saja tidak baik bagi kinerja ekspor manufaktur di mana hampir 70%
produksinya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasar luar negeri (Chowdhury
dan Ham 2009).

Perumusan Masalah

Diskusi tentang pengendalian inflasi tidak bisa terlepas dari studi hubungan
inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Walaupun telah terjadi konsensus bahwa inflasi
tinggi berdampak buruk bagi perekonomian, hubungan dari kedua variabel
tersebut pada dasarnya masih menjadi perdebatan yang cukup panjang (Mansur
dan Munir 2009). Pada era 1950-an, suatu kelompok ilmuwan yang disebut
dengan kaum structuralist berpendapat bahwa inflasi berpengaruh positif terhadap
perekonomian, sedangkan kelompok monetarist menyimpulkan inflasi berdampak
negatif bagi pertumbuhan ekonomi (Mallik dan Chowdhury 2001). Studi terkini
pun memberikan hasil identik, seperti Lucas (1973) serta Mallik dan Chowdhury
(2001) yang membuktikan adanya hubungan positif dan signifikan antara inflasi
dan pertumbuhan ekonomi. Sementara Fisher (1993), Barro (1995a), termasuk
Ghosh dan Philips (1998a) mendapatkan hasil sebaliknya yaitu inflasi
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Perdebatan mengenai hubungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi sangat
relevan untuk kasus Indonesia (Chowdhury 2002). Data yang ditunjukkan oleh
Gambar 1 mengindikasikan adanya anomali hubungan di antara kedua indikator
tersebut. Pada tahun 1950 hingga 1959, inflasi tercatat sebesar 22.67% dengan
pertumbuhan ekonomi 4.98%. Satu dekade berikutnya yaitu 1960 sampai 1969
2
menurut Chowdhury dan Siregar (2004), Bank Indonesia (2002) pernah menyatakan, “Apabila
Bank Indonesia konsisten menjaga target inflasi, maka suku bunga yang tinggi harus
diterapkan yang justru mengganggu proses recovery”
3

perekonomian hanya tumbuh sebesar 3.91% sebagai dampak meningkatnya inflasi


yang mencapai 196.02%. Sampai periode ini terbukti bahwa inflasi tinggi
berdampak buruk bagi perekonomian. Pada tahun 1970 sampai dengan tahun
1979, inflasi di Indonesia berada pada level 17.21% dengan pertumbuhan
ekonomi 7.82%. Sementara di tahun 1980 hingga 20123, secara rata-rata inflasi
tergolong cukup moderat yaitu sebesar 8.13%. Ironisnya, perekonomian Indonesia
di periode ini justru bergerak lebih lambat jika dibandingkan dengan dekade 1970-
an yaitu hanya sebesar 6.10%.

Keterangan: data diambil dari Woo et al. (1994) dan BPS, diolah
Gambar 1 Rata-rata pertumbuhan ekonomi dan inflasi di Indonesia tahun 1950-
2012 (%)

Dalam kaitannya dengan Inflation Targeting Framework, secara


mengejutkan ditemukan bahwa capaian pertumbuhan ekonomi sebelum dan
sesudah skema tersebut diterapkan tidak mengalami perubahan yang terlalu
signifikan, bahkan cenderung melemah (masing-masing sebesar 6.63% dan
5.92%4). Inflasi memang bukan satu-satunya determinan pertumbuhan ekonomi,
akan tetapi fenomena tersebut setidaknya kontradiktif dengan gagasan yang sering
dikemukakan para ekonom (sebagaimana juga telah disebutkan di awal) bahwa
inflasi rendah akan mendorong tingginya kinerja ekonomi. Beberapa peneliti
menduga target inflasi yang ditetapkan terlalu rendah atau dengan kata lain target
tersebut belum optimal.
McNelis et al. (2001) dalam Chowdhury dan Siregar (2004) pernah
menyatakan, program “moderate inflation” yang diadopsi Indonesia selama proses
pemulihan ekonomi lebih tepat disebut sebagai kebijakan “very low inflation”

3
tanpa memasukkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi tahun 1998
4
diolah dari data BPS dan World Bank (2013), pra Inflation Targeting Framework diasumsikan
mulai 1966 hingga 2005, tanpa memasukkan periode krisis 1998
4

yang akhirnya menghambat proses pemulihan ekonomi itu sendiri. Chowdhury


dan Ham (2009) menambahkan, sasaran inflasi jangka panjang sebesar 3% hingga
5% sebenarnya tidak berdasar karena bertentangan dengan sejarah inflasi dan
pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Hal ini pada akhirnya mengundang
pertanyaan, seberapa rendah inflasi seharusnya dijaga?
Melalui analisis data panel, para ekonom seperti Fischer (1993), Sarel
(1996) serta Khan dan Senhadji (2001) sebelumnya telah menjawab pertanyaan
tersebut dengan cara mencari titik optimal inflasi atau sering disebut dengan
istilah ambang batas (threshold) inflasi. Akan tetapi, hasil yang didapat cukup
bervariasi sehingga belum bisa dijadikan rujukan bagi negara-negara di dunia.
Selain itu studi data panel juga mengandung kelemahan yaitu nilai threshold dari
setiap negara diasumsikan sama. Sepehri dan Moshiri (2004) serta Kremer et al.
(2012) mengungkapkan, setiap negara memiliki struktur ekonomi dan mekanisme
transmisi kebijakan moneter yang berbeda. Oleh karena itu, penentuan nilai
threshold inflasi sebaiknya didasarkan pada sejarah inflasi dan pertumbuhan
ekonomi di negara itu sendiri.
Identifikasi nilai threshold inflasi di Indonesia pernah dilakukan oleh
Chowdhury dan Siregar (2004) serta Chowdhury dan Ham (2009). Kedua kajian
tersebut sangat informatif namun baru menggunakan analisis bivariate.
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka pertanyaan yang
ingin dijawab dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pengaruh inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia?
2. Berapa nilai threshold inflasi di Indonesia?

Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini ingin mengulas hubungan inflasi dan


pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Adapun tujuan khususnya adalah:
1. Mengidentifikasi pengaruh inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi di
Indonesia
2. Mengetahui besaran nilai threshold inflasi di Indonesia.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengayaan literatur kepada


akademisi, praktisi bank sentral, dan pemerintah, terutama yang terkait dengan
kebijakan penargetan inflasi. Sebagai catatan unsur novelty yang diajukan terletak
pada penggunaan dua model regresi threshold multivariate. Bagi penulis, semoga
penelitian ini bisa menjadi sarana peningkatan wawasan ekonomi sekaligus media
aplikasi konsep dan metode yang telah didapat di jenjang pendidikan.
5

2 TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Teori

Hubungan Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi


Berbagai teori ekonomi telah banyak membahas hubungan antara inflasi dan
pertumbuhan ekonomi, namun kesimpulan yang dihasilkan cenderung beragam,
yaitu berhubungan positif, berhubungan negatif serta netral atau tidak ada
hubungan sama sekali. Teori-teori tersebut di antaranya adalah:

Teori Pertumbuhan Ekonomi Klasik


Teori pertumbuhan ekonomi klasik dikemukakan oleh Adam Smith dan
sering disebut sebagai dasar teori pertumbuhan. Dalam makalahnya, Smith
mengemukakan bahwa output merupakan fungsi dari kapital (K) atau investasi,
tenaga kerja (L) serta tanah (T), sehingga kalau dimodelkan menjadi:
Y = f (K,L,T) (1)
Dalam kaitannya dengan inflasi, Smith hanya mengulas secara implisit yaitu
tingginya inflasi akan berdampak pada tingginya upah sehingga akan menghambat
aktivitas produksi. Oleh karena itu inflasi diindikasikan memiliki hubungan
negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Teori Keynesian
Para ilmuwan aliran Keynesian mencoba memaparkan hubungan inflasi dan
pertumbuhan ekonomi (output) melalui skema Agregat Demand (AD) dan
Agregat Supply (AS). Kelompok Keynesian mengemukakan bahwa dalam jangka
pendek kurva AS memiliki gradien positif, artinya perubahan yang terjadi pada
permintaan agregat atau kurva AD seperti perubahan ekspektasi, jumlah tenaga
kerja, harga faktor produksi termasuk perubahan kebijakan fiskal dan moneter
akan berdampak tidak hanya pada harga tetapi juga pada output. Dalam jangka
panjang, yaitu ketika kurva AS berbentuk vertikal, terjadi penyesuaian atau
“dynamic adjustment”, di mana hubungan inflasi dan output yang awalnya positif
berubah menjadi negatif.
Sebagaimana yang terlihat pada Gambar 2, hubungan jangka pendek antara
inflasi dan output terdeskripsikan pada pergerakan anak panah dari titik E menuju
titik E1, di mana peningkatan harga diikuti oleh bertambahnya output. Ide yang
mendasari adalah dimisalkan ada seorang produsen menaikkan harga komoditas,
dan produsen tersebut beranggapan bahwa harganyalah yang paling tinggi. Pada
kenyataannya produsen-produsen lain melakukan hal yang sama, menyebabkan
harga meningkat secara agregat, yang pada akhirnya mendorong produsen untuk
menambah output.
Blanchard dan Kiyotaki (1987) mengemukakan hubungan positif inflasi dan
output bisa disebabkan oleh adanya kesepakatan harga antara produsen dan
konsumen. Produsen berkewajiban memenuhi seluruh permintaan konsumen,
sementara konsumen wajib menerima berapapun harga yang ditawarkan produsen.
Dengan demikian tingginya harga tidak akan menyebabkan penurunan output.
6

Sumber: Gokal dan Hanif (2004)


Gambar 2 “Dynamic adjustment” hubungan inflasi dan output

Dalam proses transisi jangka panjang, peningkatan harga menjadi insentif


bagi para pekerja untuk menuntut kenaikan upah, yang sekaligus merupakan
shock supply bagi perusahaan. Untuk mengimbangi hal tersebut produsen kembali
meningkatkan harga disertai rasionalisasi output, yang tergambar pada
perpindahan titik E2 menuju E3 yaitu peningkatan harga menyebabkan turunnya
jumlah output. Kesimpulan teori Keynesian adalah tidak ada trade off permanen
antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi, yang artinya inflasi bisa berpengaruh
positif ataupun negatif terhadap output/pertumbuhan ekonomi.

Teori Monetaris
Tokoh utama aliran Monetaris adalah Milton Friedman, yang menghasilkan
dua gagasan penting yaitu The Quantity Theory of Money dan The Neutrality of
Money. Menurut Friedman, The Quantity Theory of Money menghubungkan
inflasi dan pertumbuhan ekonomi melalui konsep jumlah uang yang dikeluarkan
sama dengan jumlah uang yang beredar atau:
MV = PY (2)
di mana:
M : jumlah uang beredar
V : kecepatan perputaran uang (velositas)
P : harga output
Y : output.
Ide yang mendasari adalah jumlah uang beredar atau velositas merupakan
representasi suatu transaksi yang sekaligus menggambarkan aktivitas ekonomi.
Inflasi terjadi ketika jumlah uang beredar atau velositas tumbuh lebih tinggi
daripada pertumbuhan ekonomi.
Sementara The Neutrality of Money menjelaskan independensi variabel riil
terhadap pergerakan jumlah uang beredar dalam jangka panjang. Friedman
memaparkan, ketika terjadi inflasi masyarakat dihadapkan pada biaya hidup yang
lebih tinggi. Akan tetapi hal tersebut tidak menjadi masalah karena pendapatan
yang diperoleh juga meningkat dengan jumlah sama. Oleh karena itu, segala
bentuk perubahan jumlah uang beredar yang akhirnya menyebabkan inflasi akan
direspon seketika dengan tingkat upah. Hal inilah yang menyebabkan variabel riil
7

seperti output (dalam bentuk level) dan tingkat pengangguran tidak mengalami
perubahan.
Friedman kemudian mengungkapkan bahwa uang bisa bersifat netral,
namun belum tentu uang tersebut supernetral, dalam arti meskipun secara level
jumlah uang beredar tidak memengaruhi variabel riil, tingkat pertumbuhan uang
bisa saja memengaruhi variabel tersebut. Untuk itu dia menambahkan konsep The
Superneutrality of Money. Sebagaimana dikutip dari Gokal dan Hanif (2004), The
Superneutrality of Money terjadi tatkala variabel riil seperti pertumbuhan ekonomi
tidak terpengaruh oleh dinamika pertumbuhan uang beredar. Bila kondisi ini
terjadi, bisa dikatakan inflasi tidak berdampak apapun terhadap perekonomian.
Secara ringkas, aliran Monetaris menyatakan bahwa dalam jangka panjang
inflasi dipengaruhi oleh pertumbuhan uang, yang tidak berdampak apapun
terhadap pertumbuhan ekonomi. Walaupun demikian, hal tersebut tidak terjadi
dalam kenyataan, di mana pergerakan inflasi justru memiliki konsekuensi negatif
terhadap akumulasi modal, investasi dan ekspor, yang pada akhirnya
memengaruhi pertumbuhan ekonomi di suatu negara.

Teori Pertumbuhan Neo-Klasik


Teori pertumbuhan Neo-Klasik menyatakan, tenaga kerja, kapital dan
teknologi adalah faktor utama yang memengaruhi output. Terkait dengan
hubungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi, kelompok Neo-Klasik menemukan
kesimpulan yang beragam. Pada tahun 1963, Mundell menyatakan bahwa inflasi
akan menurunkan daya beli uang, yang selanjutnya mengurangi kekayaan
individu. Kondisi ini kemudian direspon masyarakat dengan cara merelokasi uang
tunai yang dipegang ke dalam bentuk tabungan, akumulasi modal meningkat dan
pada akhirnya menstimulus pembentukan output.
Pendapat Mundell didukung oleh Tobin (1965). Menurut Tobin seorang
individu memiliki dua opsi konsumsi, yaitu konsumsi sekarang dan konsumsi di
masa yang akan datang. Penentuan opsi tersebut didasarkan pada seberapa besar
nilai uang yang dimiliki. Bila nilainya tinggi, dia akan memegang banyak uang,
sedangkan bila nilainya rendah, dia akan membelanjakan uang tersebut dalam
bentuk kapital. Tobin menjelaskan alur pikir teorinya melalui mekanisme
portofolio dengan visualisasi seperti pada Gambar 3.
8

Sumber: Gokal dan Hanif (2004)


Gambar 3 Mekanisme portofolio model Tobin

Penjelasannya adalah, diasumsikan terjadi kenaikan tingkat inflasi dari π0


menjadi π1, yang menyebabkan nilai uang turun. Dalam kondisi demikian,
masyarakat akan mengalihkan kekayaannya ke dalam bentuk kapital, sebagaimana
tergambar dengan pergeseran kurva Sk menuju Sk’, yang selanjutnya menghasilkan
steady state kapital yang lebih tinggi (dari K0 menjadi K1). Model Tobin
berkesimpulan, kenaikan tingkat inflasi akan mendorong bertambahnya level
output secara permanen di mana dalam transisinya, terjadi pertumbuhan ekonomi
secara temporer. Secara ringkas, Tobin menyatakan inflasi berhubungan positif
dengan pertumbuhan ekonomi.
Pada tahun 1967, Miguel Sidrauski menambahkan peran uang dalam model
perekonomian. Melalui disertasi yang berjudul “Rational Choice and Patterns of
Growth in a Monetary Economy”, Sidrauski beranggapan bahwa uang bersifat
supernetral sehingga berapapun pertumbuhan uang hanya akan menyebabkan
inflasi dan tidak akan mengubah steady state kapital. Oleh karena itu, level output
termasuk pertumbuhan ekonomi juga tidak akan berubah.
Stockman (1981) mengemukakan bahwa inflasi berhubungan negatif
terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurut Stockman, kenaikan inflasi akan
menurunkan level steady state output. Selain itu inflasi juga membuat nilai
kekayaan masyarakat berkurang. Dia menambahkan uang tergolong unsur
komplemen dalam pembentukan modal. Logika yang dikemukakan oleh
Stockman adalah belanja barang dan proses akumulasi modal diawali oleh
ketersediaan kas/tabungan yang memadai. Ketika terjadi inflasi, daya beli uang
turun, masyarakat dan perusahaan akan mengurangi konsumsinya baik dalam
bentuk barang ataupun aset. Akibatnya akumulasi modal juga berkurang sehingga
berdampak pada turunnya aktivitas perekonomian. Kesimpulan akhir teori Neo-
Klasik adalah inflasi bisa berdampak positif, berdampak negatif atau netral
terhadap pertumbuhan ekonomi.

Teori Neo-Keynesian
Konsep terkenal yang dihasilkan teori Neo-Keynesian adalah “output
potensial”, yaitu tingkat output optimal di mana seluruh kapasitas produksi sudah
9

digunakan. Konsep output potensial juga berhubungan erat dengan pengangguran


natural atau sering disebut dengan istilah Non-Accelerating Inflation Rate of
Unemployment (NAIRU). NAIRU merupakan tingkat pengangguran di saat inflasi
sudah tidak mengalami perubahan (konstan).
Menurut ekonom Neo-Keynesian, seperti yang dipaparkan oleh Gokal dan
Hanif (2004), inflasi dalam model ini ditentukan secara endogen yang besarannya
tergantung pada output aktual dan tingkat pengangguran natural (NAIRU). Ketika
output aktual lebih besar dari nilai potensialnya sementara pengangguran lebih
rendah dari NAIRU (ceteris paribus), maka inflasi akan direspon produsen
dengan cara meningkatkan harga komoditasnya. Selain itu rasionalisasi jumlah
tenaga kerja juga dilakukan, yang hasil akhirnya kurva Philips bergeser menuju
kondisi stagflasi, yaitu inflasi semakin tinggi dan tingkat pengangguran semakin
besar. Sebaliknya saat output aktual berada di bawah nilai potensial dan tingkat
pengangguran melebihi NAIRU (ceteris paribus), produsen berupaya mengurangi
excess supply dengan jalan menurunkan harga komoditas yang diproduksinya.
Kesediaan para pekerja untuk dibayar lebih murah asal mendapat pekerjaan,
semakin memperlancar langkah produsen untuk mengambil kebijakan disinflasi.
Akibatnya kurva Philips bergeser menuju kondisi yang diharapkan, inflasi rendah
dan tingkat pengangguran kecil. Kelompok Neo-Keynesian melanjutkan, tatkala
output aktual sama dengan nilai potensialnya dan tingkat pengangguran berada
pada NAIRU (ceteris paribus), inflasi tidak akan berubah, kecuali ada supply
shock. Dalam jangka panjang, kurva Philips berbentuk vertikal.
Dari ketiga kemungkinan di atas, terdapat satu masalah yang kemudian
muncul, yaitu nilai output potensial dan NAIRU tidak diketahui secara pasti.
Identik dengan ekonom Neo-Klasik, kelompok Neo-Keynesian juga
menyimpulkan bahwa inflasi bisa berpengaruh positif, berpengaruh negatif atau
netral terhadap pertumbuhan ekonomi.

Teori Pertumbuhan Endogen


Menurut teori pertumbuhan Endogen, skala ekonomi, increasing return of
scale serta perkembangan teknologi memegang peranan penting dalam
pertumbuhan output. Dalam teori ini, pertumbuhan output sangat tergantung pada
satu variabel, yaitu tingkat pengembalian modal (the rate of return in capital).
Variabel-variabel seperti inflasi yang dapat menurunkan nilai pengembalian
tersebut pada gilirannya juga akan mengurangi akumulasi modal, sehingga
mengkonstraksi output (Gokal dan Hanif 2004).
Berbeda dengan Neo-Klasik, teori Pertumbuhan Endogen menyatakan
bahwa perkembangan teknologi bersifat endogen. Selain itu produk marginal dari
kapital adalah konstan, bukan diminishing return. Secara sederhana teori ini bisa
dijabarkan melalui model berikut:
Y = f (A,K) (3)
di mana:
Y : output
A : teknologi dan semua faktor yang memengaruhinya
K : modal, yang terdiri atas modal fisik dan sumber daya manusia.
Dari formula di atas terlihat bahwa pertumbuhan output tidak hanya
dipengaruhi oleh the rate of return physical capital, tetapi juga the rate of return
human capital. Gokal dan Hanif (2004) menyatakan, keberadaan inflasi atau pajak
10

akan mengurangi nilai return dari kedua modal tersebut yang pada akhirnya juga
menurunkan output. Kesimpulan teori pertumbuhan Endogen adalah inflasi
berhubungan negatif dengan pertumbuhan ekonomi.

Tinjauan Empiris

Hubungan Linear Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi


Pada tataran empiris, studi untuk menguji hubungan linear inflasi dan
pertumbuhan ekonomi umumnya menggunakan pendekatan ordinary least
squares (OLS), baik dalam bentuk analisis data panel ataupun regresi deret waktu.
Lingkup variabel yang digunakan pun dibagi dua, bivariate yaitu hanya inflasi
dan pertumbuhan ekonomi, serta multivariate, yaitu inflasi dan pertumbuhan
ekonomi ditambah beberapa variabel kontrol. Sama halnya dengan kajian teoritis,
hasil yang didapat dalam uji empiris juga cenderung divergen, yaitu inflasi
berhubungan positif, berhubungan negatif dan netral terhadap pertumbuhan
ekonomi.
Ulasan mengenai inflasi dan pertumbuhan ekonomi pertama kali dirintis
oleh seorang ekonom IMF yang bernama U Tun Wai di tahun 1959. Dengan unit
observasi 31 negara dalam kurun 1938 hingga 1954 (periode setiap negara
berbeda-beda), Wai mengkorelasikan inflasi dengan pertumbuhan ekonomi5 dan
memplotkan koefisien yang signifikan ke dalam sebuah grafik. Sebelumnya,
periode pengamatan dikelompokkan menjadi 4 hingga 9 tahunan. Hasil plotting
tersebut selanjutnya digunakan untuk membuat suatu garis sehingga bisa dilihat
bagaimana keterkaitan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Kesimpulan yang
diperoleh adalah tidak terdapat hubungan yang signifikan antara inflasi dan
pertumbuhan ekonomi.
Pada tahun 1963, Dorrance mencoba membandingkan rata-rata tingkat
inflasi dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi di 31 negara dari tahun 1948
sampai dengan 1961. Dalam penelitian ini, unit observasi dibagi menjadi tiga
kelompok, yaitu negara dengan inflasi rendah, negara berinflasi moderat serta
negara dengan inflasi tinggi. Sama dengan Wai (1959), Dorrance tidak
mendapatkan bukti yang cukup bahwa inflasi memiliki pengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi.
Tahun 1973, Robert E. Lucas melakukan penelitian dengan judul “Some
International Evidence on Output-Inflation Tradeoff”. Unit observasi yang
diambil adalah gabungan 18 negara maju dan berkembang dari tahun 1951 hingga
1967. Hasil OLS bivariate menyatakan terdapat hubungan positif dan signifkan
antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Fischer (1983) membangun sebuah model bivariate dengan menggunakan
data gabungan cross-sections dan time-series dari 53 negara (31 negara
berkembang dan 22 negara maju). Melalui artikel yang berjudul “Inflation and
Growth”, Fischer membagi periode penelitian menjadi dua yaitu 1961-1973 dan
1973-1981. Kesimpulan yang diperoleh adalah terdapat hubungan negatif dan
signifikan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

5
inflasi didekati oleh indeks biaya hidup, sedangkan pertumbuhan ekonomi diproksi dengan
pendapatan nasional, pendapatan perkapita serta pendapatan nasional dan pendapatan nasional
perkapita yang telah disesuaikan dengan term of trade
11

Jung dan Marshall (1986) mengidentifikasi hubungan inflasi dan


pertumbuhan ekonomi di 57 negara (38 negara berkembang dan 19 negara maju)
dari tahun 1950 sampai dengan 19806. Berdasarkan uji kausalitas Granger,
disimpulkan bahwa inflasi di 16 negara berdampak negatif terhadap pertumbuhan
ekonomi. Di dua negara yang lain yaitu Mesir dan Urugay, inflasi berhubungan
positif. Sedangkan sisanya, yaitu 38 negara, Jung dan Marshall tidak menemukan
adanya hubungan dari kedua variabel tersebut. Karena hasil yang diperoleh cukup
beragam, akhirnya penelitian ini tidak berhasil memberikan kesimpulan yang pasti
mengenai hubungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Barro (1995a) merupakan ekonom berikutnya yang membuktikan adanya
hubungan negatif antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Melalui makalah yang
berjudul “Inflation and Growth”, Barro mengulas pengaruh inflasi dan beberapa
variabel kontrol7 terhadap pertumbuhan ekonomi di 78-89 negara maju dan
berkembang dari tahun 1965 sampai dengan 19908. Alat analisis yang digunakan
berupa regresi instrumental variable.
Sepehri dan Moshiri (2004) melalui regresi data panel menyimpulkan,
inflasi berdampak negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Analisis
dilakukan pada data 92 negara dari tahun 1960 hingga 1996, dengan variabel
berupa inflasi, pertumbuhan ekonomi, investasi, PDB perkapita, tingkat partisipasi
sekolah, pertumbuhan penduduk, ekspor dan defisit anggaran.
Pada tahun 2006, Min Li meneliti fenomena inflasi dan pertumbuhan
ekonomi di 117 negara. Dalam penelitiannya, Li mengadopsi dua model, pertama
growth equation dengan sampel 27 negara maju dan 90 negara berkembang mulai
tahun 1961 hingga 2004. Variabel yang digunakan terdiri dari pertumbuhan PDB,
inflasi, pembentukan modal tetap bruto (PMTB), PDB perkapita awal tahun,
pengeluaran pemerintah serta terms of trade. Model kedua growth accounting
equation, yang meliputi 27 negara maju (1961-2004) dan 63 negara berkembang
(1961-1990), dengan variabel pertumbuhan PDB, inflasi, total faktor produktivitas
(TFP) dan pertumbuhan angkatan kerja. Hasil regresi data panel menyimpulkan
inflasi berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Liwan dan Lau (2007) melakukan penelitian dengan judul “Managing
Growth: The Role of Export, Inflation and Investment in three ASEAN
Neighboring Countries”. Lingkup observasi adalah Indonesia, Malaysia dan
Thailand dari tahun 1976 sampai 2005. Hasil uji vector error correction model
menyatakan inflasi berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi di negara
Malaysia dan Thailand, sedangkan di Indonesia, inflasi justru berkontribusi
positif. Variabel yang digunakan meliputi PDB, ekspor, investasi dan inflasi.
Analisis grafik tiga dimensi dan regresi fixed effect oleh Rousseau dan
Yilmazkuday (2009) menyimpulkan inflasi berhubungan negatif dengan
pertumbuhan ekonomi. Unit observasi terdiri dari 84 negara maju dan
berkembang dengan periode penelitian 1960 hingga 2004. Variabel yang
digunakan adalah pertumbuhan PDB perkapita, inflasi, PDB awal tahun, derajat

6
panjang tahun berbeda-beda di setiap negara
7
rata-rata lama sekolah, angka harapan hidup, pengeluaran pemerintah, indeks demokrasi, indeks
kepastian hukum, investasi dan angka kelahiran
8
Barro membagi periode penelitian menjadi tiga dan disesuaikan dengan ketersediaan data, yaitu
1965-1975 (78 negara), 1975-1985 (89 negara) dan 1985-1990 (84 negara)
12

keterbukaan ekonomi, pengeluaran pemerintah, jumlah uang beredar serta tingkat


partisipasi sekolah.
Yeh (2012) mengeksplorasi kemungkinan hubungan dua arah antara inflasi
dan pertumbuhan ekonomi di 140 negara dari 1970 sampai 2005. Alat analisis
yang digunakan berupa panel OLS dan model persamaan simultan dengan
variabel seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, rasio pendapatan perkapita negara
sampel terhadap pendapatan perkapita Amerika Serikat, investasi, pengeluaran
pemerintah, jumlah uang beredar, keterbukaan ekonomi serta pertumbuhan
penduduk. Di akhir makalahnya, Yeh menyimpulkan bahwa inflasi berdampak
buruk terhadap pertumbuhan ekonomi. Sementara pertumbuhan ekonomi dapat
menyebabkan terjadinya inflasi.
Smyth (1992) merupakan ekonom pertama yang fokus meneliti perilaku
inflasi dan pertumbuhan ekonomi di satu negara. Unit observasi yang diambil
adalah Amerika Serikat dengan rentang penelitian 1955 hingga 1990. Dari
estimasi OLS bivariate disimpulkan bahwa inflasi berpengaruh negatif terhadap
pertumbuhan ekonomi.
Nell (2000), dengan vector autoregressions mengidentifikasi hubungan
inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Afrika Selatan dari tahun 1960 sampai
dengan 1999. Di akhir tulisan, Nell mengemukakan bahwa inflasi tinggi
berdampak buruk bagi pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya inflasi rendah (satu
digit) justru mendorong pertumbuhan ekonomi.
Black et al. (2001), dengan pendekatan regresi data panel dan regresi cross-
section menyatakan, pada era 1980-an inflasi di Amerika Serikat berkorelasi
positif dengan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan era 1960-an ataupun 1970-an,
inflasi berhubungan negatif dengan pertumbuhan ekonomi.
Gokal dan Hanif (2004) menyatakan, ada hubungan negatif antara inflasi
dengan pertumbuhan ekonomi di Fiji, namun hubungan tersebut lemah. Metode
yang digunakan berupa matriks korelasi dan uji kausalitas Granger dengan jangka
waktu observasi 1970 hingga 2003.
Nasir dan Saima (2010) menyatakan, dalam kurun 1961 sampai 2008,
kenaikan inflasi di Pakistan sebesar 10% akan menurunkan pertumbuhan ekonomi
sekitar 19%. Dengan kata lain penelitian yang menggunakan OLS multivariate
dengan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, investasi dan jumlah penduduk
tersebut mendukung argumen bahwa inflasi berdampak negatif terhadap
perekonomian. Hasil berbeda ditunjukkan Hussain dan Malik di tahun 2011.
Berdasarkan uji error correction model, disimpulkan bahwa ada hubungan positif
dua arah antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Pakistan selama 1960 hingga
2006.
Dalam studi yang menggunakan observasi beberapa negara, Indonesia telah
dilibatkan sebagai salah satu sampel, misalnya Fischer (1993), Barro (1995a),
Sepehri dan Moshiri (2004), Li (2006), Rousseau dan Yilmazkuday (2009) serta
Yeh (2012) yang seluruhnya menyatakan inflasi berdampak negatif terhadap
pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, Liwan dan Lau (2007) menyimpulkan inflasi
akan mendorong tumbuhnya ekonomi. Sementara Dorrance (1963) atau Jung dan
Marshall (1986), justru tidak menemukan bukti yang kuat adanya hubungan dari
kedua variabel tersebut.
Penelitian tentang inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang secara spesifik
mengambil kasus Indonesia masih sangat terbatas. Walaupun demikian, ada satu
13

kajian yang cukup populer yaitu “Indonesia's Monetary Policy Dilemma:


Constraints of Inflation Targeting” oleh Chowdhury dan Siregar di tahun 2004.
Melalui uji kausalitas Granger, ditemukan bahwa ada hubungan timbal balik
antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Hasil analisis lebih lanjut dengan
bivariate vector autoregressions menunjukkan shock satu standar deviasi terhadap
inflasi tidak memberikan efek yang besar pada pertumbuhan ekonomi. Dengan
demikian bisa dikatakan bahwa pengaruh inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi
di Indonesia tidak terlalu signifikan (beberapa periode berpengaruh negatif, positif
dan netral).

Hubungan Taklinear Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi


Berdasarkan beberapa uji hubungan linear seperti yang telah diuraikan
sebelumnya, disimpulkan bahwa inflasi bisa berpengaruh positif ataupun negatif
terhadap pertumbuhan ekonomi. Dalam perkembangannya, para ekonom
menyatakan dampak buruk inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi hanya terjadi
ketika angka inflasi tersebut tinggi. Sementara bila inflasi masih tergolong rendah
justru bisa mendorong tumbuhnya ekonomi. Meskipun demikian, belum ada
kesepakatan pada level berapa inflasi dikatakan rendah dan pada level berapa
inflasi disebut tinggi. Hal ini mendorong para peneliti untuk mencari titik
optimal/ambang batas (threshold) inflasi melalui uji hubungan taklinear.
Deteksi kemungkinan munculnya hubungan taklinear antara inflasi dan
pertumbuhan ekonomi telah diawali oleh Stanley Fischer pada tahun 1993.
Dengan pendekatan spline regressions pada data 93 negara maju dan berkembang
dari tahun 1965 hingga 1990, dibuktikan bahwa inflasi tinggi (di atas 40%)
memiliki dampak negatif yang lebih besar dibandingkan inflasi rendah. Dalam
penelitian tersebut nilai threshold ditentukan secara arbitrase yaitu 15% dan 40%.
Tiga variabel dependen yang digunakan meliputi pertumbuhan ekonomi,
pertumbuhan investasi dan total produktivitas. Sedangkan enam indikator yang
berfungsi sebagai variabel independen terdiri dari inflasi rendah (kurang dari
15%), inflasi moderat (antara 15% dan 40%), inflasi tinggi (di atas 40%), defisit
fiskal, terms of trade, dan the black market premium.
Barro (1995b) dalam makalah yang berjudul “Inflation and Economic
Growth” menyimpulkan inflasi akan berpengaruh negatif dan signifikan ketika
nilainya melebihi 40% (sama seperti Fischer, nilai threshold ditetapkan 15% dan
40%). Data 78-89 negara maju dan berkembang dari tahun 1965 sampai dengan
19909 digunakan sebagai obyek penelitian. Dengan metode 3SLS instrumental
variable, Barro meregresikan pertumbuhan ekonomi, inflasi, variabilitas inflasi,
partisipasi sekolah menurut jenis kelamin, angka harapan hidup, modal manusia,
angka kelahiran, rasio investasi terhadap PDB, rasio pengeluaran pemerintah
terhadap PDB, rasio pengeluaran pendidikan terhadap PDB, the black market
premium, indeks kepastian hukum, pertumbuhan terms of trade, indeks demokrasi
dan indeks demokrasi dikuadatkan.
Bruno dan Easterly (1995) juga mendapatkan nilai threshold di 127 negara
maju dan berkembang sebesar 40%. Alat analisis yang digunakan berupa pooled
panel regressions, dengan variabel pertumbuhan PDB perkapita, inflasi dan
deviasi pertumbuhan PDB perkapita dari rata-rata PDB perkapita dunia.
9
Barro membagi periode penelitian menjadi tiga dan disesuaikan dengan ketersediaan data, yaitu
1965-1975 (78 negara), 1975-1985 (89 negara) dan 1985-1990 (84 negara)
14

Judson dan Orphanides (1996) menggunakan panel spline regressions untuk


menemukan titik optimal inflasi di 142 negara maju dan berkembang. Dengan
beberapa variabel seperti pertumbuhan PDB perkapita, inflasi rendah (kurang dari
10%), inflasi sedang (antara 10% dan 40%,) inflasi tinggi (lebih dari 40%),
logaritma rasio investasi terhadap PDB, logaritma standar deviasi inflasi rendah
(kurang dari 0.05), logaritma standar deviasi inflasi sedang (antara 0.05 dan 0.10),
serta logaritma standar deviasi inflasi tinggi (lebih dari 0.10), dua ekonom ini
menyatakan inflasi masih relatif aman bila nilainya kurang dari 10%. Sebagai
informasi, periode penelitian dimulai dari tahun 1959 hingga 1992.
Sarel (1996), melalui OLS mengidentifikasi nilai structural break inflasi di
87 negara maju dan berkembang mulai tahun 1970 sampai 1990 (20 series data
dibagi menjadi 4 periode). Variabel yang digunakan terdiri dari pertumbuhan
ekonomi, inflasi, ekstra inflasi, terms of trade, nilai tukar riil, pengeluaran
pemerintah, serta investasi. Prosedur pemilihan nilai structural break didasarkan
pada dummy ekstra inflasi yang memaksimumkan besaran R2 atau
meminimumkan RSS. Dari uji coba beberapa kandidat, akhirnya diperoleh angka
structural break 8%.
Pada tahun 2001, Khan dan Senhadji menerapkan uji panel conditional least
square untuk mencari nilai threshold inflasi di 140 negara maju dan berkembang
selama 1960 sampai dengan 1998. Variabel yang diambil terdiri dari pertumbuhan
ekonomi, inflasi (untuk menjaga normalitas, Khan dan Senhadji menggunakan
logaritma inflasi), rasio investasi terhadap PDB, pertumbuhan penduduk,
pendapatan perkapita awal tahun (karena seluruh data observasi dirata-rata
menjadi lima tahunan) dan pertumbuhan terms of trade. Uji coba threshold inflasi
dimulai dari angka 1% hingga 100% (kecuali negara maju, maksimal 30%), yang
kemudian dipilih berdasarkan nilai RSS paling minimum. Kesimpulan yang
diperoleh adalah, untuk seluruh sampel nilai threshold inflasi sebesar 11%. Di
negara maju, titik inflasi optimal berada di angka 1-3%. Sementara bagi negara
berkembang nilai threshold inflasi berkisar 11% sampai 12 %.
Sepehri dan Moshiri (2004) mencari threshold inflasi di 92 maju dan
berkembang dari tahun 1960 sampai dengan 1996. Dalam penelitian ini, Sepehri
dan Moshiri mengelompokkan sampel menjadi empat, yaitu OECD, negara
berpendapatan menengah atas, negara berpendapatan menengah bawah dan negara
berpendapatan rendah. Variabel yang digunakan terdiri dari inflasi, pertumbuhan
ekonomi, investasi, PDB perkapita, tingkat partisipasi sekolah, pertumbuhan
penduduk, ekspor dan defisit anggaran. Melalui analisis panel spline regressions
ditemukan bahwa threshold inflasi di negara berpendapatan menengah atas
sebesar 4%, di negara berpendapatan menengah bawah 15% dan di negara
berpendapatan rendah sebesar 21%. Sementara di negara yang tergabung dalam
OECD tidak ditemukan nilai threshold.
Li (2006) mengadopsi metode Khan dan Senhadji (2001) untuk mendeteksi
titik optimal inflasi (pistar) di 117 negara. Model yang dianalisis ada dua, pertama
growth equation dengan sampel 27 negara maju dan 90 negara berkembang mulai
tahun 1961 hingga 2004. Variabel yang digunakan terdiri dari pertumbuhan PDB,
inflasi, PMTB, PDB perkapita awal tahun, pengeluaran pemerintah serta terms of
trade. Model kedua growth accounting equation, yang meliputi 27 negara maju
(1961-2004) dan 63 negara berkembang (1961-1990), dengan variabel
pertumbuhan PDB, inflasi, total faktor produktivitas (TFP) dan pertumbuhan
15

angkatan kerja. Kesimpulan Li adalah titik optimal inflasi (pistar) di seluruh


negara sampel dan di negara berkembang berada pada angka yang sama yaitu
14% dan 38%. Sedangkan titik optimal inflasi (pistar) di negara maju sebesar
24%.
Rousseau dan Yilmazkuday (2009) menemukan nilai threshold inflasi di 84
negara maju dan berkembang berada di antara 4% dan 19%. Alat analisis yang
digunakan berupa TSLS instrumental variable dan pendekatan grafik trilateral
dengan variabel meliputi inflasi, pertumbuhan ekonomi, angka partisipasi sekolah
sekunder, pengeluaran pemerintah, derajat keterbukaan ekonomi serta jumlah
uang beredar (M1 dan M3). Periode penelitian mulai dari 1960 hingga 2004.
Kremer et al. (2012) mengidentifikasi nilai threshold inflasi di 124 negara
maju dan berkembang mulai tahun 1950 sampai 2004. Metode yang digunakan
berupa regresi panel dinamis, dengan variabel meliputi inflasi, pertumbuhan
ekonomi, investasi, term of trade, pertumbuhan penduduk, PDB perkapita awal
tahun serta derajat keterbukaan ekonomi. Hasil yang didapat adalah nilai
threshold inflasi di negara maju sebesar 2%, sementara untuk negara berkembang
sebesar 17%.
Studi threshold inflasi untuk kasus satu negara bisa dikatakan sangat
terbatas. Pada umumnya studi-studi tersebut mengambil sampel negara
berkembang (Morrar 2011).
Kannan dan Joshi (1998) mengawali studi threshold inflasi di India
(1981/1982-1995/1996). Variabel yang digunakan terdiri dari IHPB, pertumbuhan
ekonomi, pertumbuhan sektor pertanian, terms of trade serta investasi. Prosedur
pencarian nilai threshold dan alat analisis mengacu pada Sarel (1996).
Kesimpulan yang diperoleh adalah inflasi berdampak negatif dan signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi ketika nilainya berada di atas 6%. Apabila inflasi
berada dibawah 6%, dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi tidak signifikan.
Gokal dan Hanif (2004) menggunakan distribusi frekuensi (analisis
bivariate) untuk mencari nilai threshold inflasi di Fiji pada periode 1970 hingga
2003. Kesimpulan yang didapat adalah inflasi akan menghambat perekonomian
apabila nilainya melebihi 5%.
Lee dan Wong (2005) mendapatkan nilai threshold inflasi di Jepang sebesar
9.66% dan di Taiwan 7.25%. Metode yang digunakan berupa threshold
autoregressions (TAR), dengan variabel meliputi pertumbuhan ekonomi, inflasi,
pertumbuhan penduduk, pertumbuhan PMTB, perkembangan keuangan, serta
pertumbuhan ekspor. Periode penelitian adalah 1970Q1 sampai 2001Q4 untuk
Jepang dan 1965Q1 hingga 2002Q4 untuk Taiwan.
Munir dan Mansur (2009) menemukan nilai threshold inflasi di Malaysia
selama 1970 hingga 2005 sebesar 3.89%. Metode yang digunakan adalah
conditional least square dengan variabel inflasi, pertumbuhan ekonomi,
pertumbuhan uang beredar (M2), pertumbuhan PMTB, FDI dan pertumbuhan
ekspor.
Frimpong dan Oteng-Abayie (2010) mencari nilai threshold inflasi di Ghana
pada periode 1960 sampai 2008. Melalui metode Khan dan Senhadji (2001) serta
alat analisis OLS dan TSLS, ditemukan bahwa nilai threshold inflasi di Ghana
sebesar 11%. Inflasi berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi ketika
nilainya di bawah 11% dan akan berdampak negatif apabila nilainya melebihi
11%. Variabel yang digunakan terdiri atas inflasi, pertumbuhan ekonomi,
16

pertumbuhan investasi, pertumbuhan jumlah uang beredar, pertumbuhan angkatan


kerja, dan pertumbuhan terms of trade.
Doguwa (2013) membandingkan metode Sarel (1996), Khan dan Senhadji
(2001) serta Drukker et al. (2005) untuk mendeteksi threshold inflasi di Nigeria
selama 2005Q1 hingga 2012Q1. Variabel yang digunakan terdiri atas inflasi,
pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi dunia. Dari ketiga metode
tersebut, hanya metode Khan dan Senhadji (2001) dan Drukker et al. (2005) yang
berhasil menemukan threshold inflasi di Nigeria, yaitu masing-masing sebesar
10.50% dan 12%.
Indonesia pada dasarnya telah dilibatkan sebagai salah satu sampel dalam
studi threshold inflasi di beberapa negara. Hasil yang didapat sebagaimana terlihat
pada Tabel 2 berikut ini:

Tabel 2 Studi threshold inflasi berbagai negara yang melibatkan Indonesia


sebagai salah satu sampel
Studi Nilai threshold Dampak inflasi Dampak inflasi
inflasi ketika di bawah ketika di atas
threshold threshold
(1) (2) (3) (4)
Fischer (1993) 15% dan 40% <15%: tidak 15%-40%: negatif
signifikan dan signifikan
>40%: negatif dan
signifikan
Barro (1995b) 15% dan 40% <15%: tidak 15%-40%: negatif
signifikan dan signifikan
>40%: negatif dan
signifikan
Bruno dan Easterly 40% positif, negatif, signifikan
(1995) signifikan
Judson dan 10% positif, tidak negatif, signifikan
Orphanides (1996) signifikan
Sarel (1996) 8% positif, tidak negatif, signifikan
signifikan
Khan dan Senhadji 11%-12% positif, tidak negatif, signifikan
(2001) signifikan
Sepehri dan Moshiri 4% positif, negatif, signifikan
(2004) signifikan
Li (2006) 14% dan 38% <14%: positif, 14%-38%: negatif
signifikan dan signifikan
>38%: negatif dan
signifikan
Rousseau dan 4%-19% <4%: positif, 4%-19%: negatif
Yilmazkuday (2009) signifikan dan signifikan
>19%: negatif dan
signifikan
Kremer et al. (2012) 17% tidak signifikan negatif, signifikan
Sumber: Kompilasi penulis dari berbagai jurnal
17

Studi threshold inflasi yang secara spesifik meneliti Indonesia, sepanjang


pengetahuan penulis baru ada dua, yaitu Chowdhury dan Siregar (2004) dan
Chowdhury dan Ham (2009). Chowdhury dan Siregar (2004) menggunakan
persamaan kuadratik dan menemukan nilai threshold inflasi di Indonesia sebesar
20.50%. Interpretasinya adalah inflasi berpengaruh positif terhadap pertumbuhan
ekonomi ketika nilainya di bawah 20% dan akan berdampak negatif apabila
nilainya melebihi 20%. Sementara hasil estimasi threshold vector autoregressions
(TVAR) yang dilakukan oleh Chowdhury dan Ham (2009) menyimpulkan
threshold inflasi di Indonesia berada di antara 8.50% hingga 11%.

Kerangka Pemikiran

Beberapa teori ekonomi dan temuan empiris menyatakan bahwa inflasi


tinggi berdampak buruk terhadap perekonomian, walaupun hubungan dari kedua
variabel tersebut sebenarnya masih menjadi perdebatan. Indonesia pernah
mengalami keterpurukan ekonomi sebagai akibat tingginya inflasi yang akhirnya
mendorong pemerintah menerapkan kebijakan inflasi rendah. Dalam praktiknya
pengendalian inflasi di Indonesia memunculkan dilema. Selain itu, ketika inflasi
ditekan hingga ke level rendah, pertumbuhan ekonomi ternyata juga tidak terlalu
tinggi. Hal ini kontradiktif dengan gagasan para ekonom yang pernah menyatakan
inflasi rendah dan stabil dapat mendorong laju pertumbuhan ekonomi dengan
cepat. Di sisi lain pola data inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia
sebenarnya juga tidak konsisten (menunjukkan hubungan positif, negatif dan
netral). Dari dua masalah di atas perlu diketahui bagaimana pengaruh inflasi
terhadap pertumbuhan ekonomi, dan berapa inflasi optimal yang seharusnya ada
di Indonesia, sehingga bisa dirumuskan kebijakan yang ideal. Secara ringkas alur
pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4.
18

Inflasi tinggi berdampak buruk terhadap


pertumbuhan ekonomi, meskipun
hubungan keduanya masih diperdebatkan

Data inflasi dan


Perekonomian Indonesia pernah
pertumbuhan ekonomi
terpuruk akibat tidak mampu menekan
Indonesia menunjukkan
laju inflasi
pola tidak konsisten

Pengendalian Pengaruh inflasi terhadap


inflasi di Indonesia pertumbuhan ekonomi
di Indonesia

Implementasi Hasil Variabel kontrol:


 Investasi
Dilema Kebijakan Era Orde Baru:  Angkatan kerja
Biaya oportunitas inflasi 11.15%,  Terms of trade
pengendalian inflasi pertumbuhan ekonomi  Uang beredar
cukup tinggi 6.63%
Era ITF:
inflasi 6.01%,
pertumbuhan ekonomi
5.92%

Estimasi inflasi optimal


di Indonesia

Implikasi kebijakan

Gambar 4 Alur kerangka pemikiran

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan latar belakang, permasalahan, dan tinjauan pustaka, maka


hipotesis yang diuji melalui penelitian ini adalah inflasi berpengaruh negatif
terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
19

3 METODE PENELITIAN

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder tahunan
mulai dari 1970 hingga 2012 yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS),
Bank Indonesia dan Bank Dunia. Data-data tersebut selanjutnya dijadikan dasar
untuk membangun variabel-variabel dalam regresi seperti pertumbuhan ekonomi,
inflasi, pertumbuhan investasi, pertumbuhan angkatan kerja, pertumbuhan terms
of trade, dan pertumbuhan jumlah uang beredar.
Pertumbuhan ekonomi dihitung dari pertumbuhan PDB riil. Inflasi diperoleh
dari perubahan Indeks Harga Konsumen (IHK) tahunan dengan tahun dasar 2007.
Pertumbuhan investasi diproksi dengan perubahan nilai Pembentukan Modal
Tetap Bruto (PMTB). Sementara pertumbuhan angkatan kerja dihitung dari
perubahan jumlah angkatan kerja. Karena data jumlah angkatan kerja series
tahunan di Indonesia secara resmi (dari Sakernas) baru rilis mulai tahun 1984,
sedangkan di periode sebelumnya hanya ada pada tahun-tahun tertentu (1961
(Sensus Penduduk), 1971 (Sensus Penduduk) serta 1976 (Sakernas)), maka untuk
melengkapi data yang kosong dilakukan metode interpolasi. Pertumbuhan terms
of trade diproksi dengan perubahan rasio jumlah ekspor terhadap impor,
sedangkan pertumbuhan jumlah uang beredar diperoleh dari perubahan jumlah
uang beredar dalam arti luas (M2). Variabel dan sumber data penelitian secara
ringkas bisa dilihat pada Tabel 3 berikut ini:

Tabel 3 Variabel dan sumber data penelitian


Variabel Keterangan Satuan Sumber
(1) (2) (3) (4)
Pertumbuhan ekonomi Pertumbuhan PDB Riil Persen BPS

Pertumbuhan investasi Pertumbuhan PMTB Persen Bank Dunia


nominal
Inflasi Perubahan IHK Persen BPS
Pertumbuhan angkatan Perubahan jumlah angkatan Persen BPS
kerja kerja
Pertumbuhan terms of Perubahan rasio jumlah Persen Bank Dunia,
trade ekspor terhadap jumlah BPS
impor
Pertumbuhan jumlah Perubahan jumlah uang Persen Bank
uang beredar beredar dalam arti luas (M2) Indonesia

Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian terdiri


atas analisis deskriptif dan analisis ekonometrika berupa regresi linear berganda
dan regresi threshold yang keduanya diestimasi dengan ordinary least square
(OLS). Prosedur analisis secara ringkas disajikan dalam gambar berikut:
20

Prosedur Analisis

Gambaran inflasi dan  Pengaruh inflasi terhadap


pertumbuhan ekonomi pertumbuhan ekonomi di Indonesia
di Indonesia  Estimasi nilai threshold inflasi di
Indonesia
Analisis Deskriptif
Analisis Ekonometrika
Analisis Trend

Analisis Regresi Analisis Regresi


Linear Berganda Threshold

Implikasi dan Kebijakan

Gambar 5 Ringkasan prosedur analisis

Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif merupakan analisis statistik yang menggambarkan atau
mendeskripsikan data menjadi informasi yang lebih jelas dan mudah dipahami,
dengan bantuan tabel dan grafik yang berhubungan dengan penelitian. Analisis
deskripsi yang disajikan dalam penelitian ini berupa gambaran umum
perkembangan inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia mulai tahun 1970
hingga 2012.

Analisis Regresi Linear Berganda


Analisis regresi linear berganda adalah suatu analisis yang digunakan untuk
mengetahui pengaruh suatu variabel yang disebut variabel independen (variabel
bebas) terhadap variabel dependen (variabel takbebas). Untuk memastikan tidak
terjadi spurious regressions, maka semua data yang digunakan harus diuji
kestasionerannya, baik data pada variabel dependen maupun variabel independen.

Uji Unit Root


Data deret waktu dikatakan stasioner jika memenuhi tiga kriteria yaitu nilai
tengah (rata-rata) dan ragamnya konstan dari waktu ke waktu serta peragam
(covariance) antara dua deret waktu hanya bergantung pada lag di antara dua
periode waktu tersebut.
Metode yang banyak digunakan untuk menguji kestasioneran data adalah uji
unit root (uji akar-akar unit). Ada beberapa cara untuk melakukan uji unit root,
namun yang paling banyak diadopsi adalah Augmented Dicky Fuller (ADF) test
dengan rumus:
(4)
21

di mana adalah white noise, , T merupakan tren, dan


. Pada ADF, yang akan diuji adalah apakah δ = 0, dengan hipotesis
alternatif δ < 0. Jika t-hitung untuk δ lebih kecil dari nilai ADF, maka hipotesis
nol yang mengatakan bahwa data tidak stasioner ditolak.

Persamaan Regresi Linear Berganda


Persamaan yang digunakan dalam regresi linear berganda adalah:
(5)
di mana:
= variabel dependen
= variabel independen
= konstanta (intercept)
= perubahan Y akibat perubahan Xi, ceteris paribus
= error (kesalahan pengganggu) pada waktu ke-t
i = 1...k = banyak variabel
t = periode

Analisis Regresi Threshold


Analisis regresi threshold merupakan pengembangan dari analisis regresi
linear berganda, yang pada intinya membagi unit estimasi menjadi dua rezim atau
lebih. Secara umum, model yang digunakan dalam analisis regresi threshold
adalah sebagai berikut:
(6)
di mana adalah variabel dependen, Xt merupakan matriks variabel independen, I
fungsi indikator, adalah variabel threshold, k merupakan nilai threshold dan
adalah residual.
Untuk mengestimasi model, ada dua cara yang bisa dilakukan, yang pertama
melalui OLS apabila nilai threshold sudah diketahui dan yang kedua dengan
conditional least squares apabila nilai threshold belum diketahui. Prinsip dari
conditional least squares adalah mencari nilai threshold dan nilai parameter slope
secara bersama-sama. Hansen (1997) merekomendasikan model yang dipilih
adalah model dengan nilai residual sum of squares (RSS) minimal. Enders (2004)
menyarankan 15% nilai minimum dan 15% nilai maksimum pada variabel
threshold tidak dimasukkan sebagai kandidat nilai threshold untuk menjamin
kecukupan derajat bebas pada masing-masing rezim.
Dalam penelitian ini nilai threshold belum diketahui sehingga estimasi
model menggunakan cara yang kedua yaitu conditional least squares dengan
prosedur sebagai berikut: untuk setiap nilai threshold k model diestimasi melalui
OLS yang kemudian diperoleh residual sum of squares (RSS) sebagai fungsi dari
k. Secara statistik prosedur conditional least squares bisa dinotasikan:
(7)
di mana Y adalah variabel dependen, X merupakan matriks variabel independen
dan adalah vektor parameter. Pada persamaan tersebut terlihat
bahwa vektor koefisien diindekskan dengan k yang menunjukkan adanya
ketergantungan pada nilai threshold yang berkisar dari hingga . Apabila RSS
dinotasikan sebagai S1(k), maka nilai threshold k yang dipilih (k*) adalah nilai k
yang meminimumkan RSS, atau:
k* = argmin [ S1(k), ] (8)
22

Setelah nilai threshold didapatkan, perlu diuji apakah keberadaan threshold


tersebut signifikan. Menurut Hansen (1999), cara melakukan uji signifikansi nilai
threshold adalah melalui penghitungan nilai Likelihood Ratio pada H0, yaitu:
(9)

di mana n merupakan jumlah sampel, S0 adalah RSS untuk H0: dan S1


adalah RSS untuk H1: . Dengan kata lain, S0 merupakan RSS pada model
tanpa efek threshold (linear/persamaan 5) dan S1 adalah RSS pada model dengan
efek threshold (persamaan 6).
Hansen (1999) mengemukakan, dalam model tanpa threshold, nilai k tidak
didefinisikan, sehingga tes statistik konvensional seperti uji t memiliki distribusi
yang tidak standar. Begitu pula dengan distribusi asymptotic dari yang juga
2
tidak standar dan cenderung mendominasi distribusi χ . Secara umum distribusi
uji-uji statistik tersebut bergantung pada moments of sample, sehingga nilai-nilai
kritis tidak dapat ditabulasikan. Hansen (1997, 1999, 2000) menyarankan
penggunaan metode bootstrap untuk mensimulasikan distribusi asymptotic dari
Likelihood Ratio test pada H0 dengan tahapan sebagai berikut:
1. Cari nilai RSS pada model tanpa threshold atau model linear (S0)
(persamaan 5)
2. Cari nilai RSS pada model dengan threshold (S1) (persamaan 6)
berdasarkan nilai threshold (k) yang meminimumkan RSS
3. Hitung (persamaan 9)
4. Bangun sebuah variabel dependen Y, yaitu berupa nilai ditambah error
yang diambilkan secara acak dari distribusi , di mana adalah
residual OLS pada model linear. Sebagai catatan, nilai Y berdistribusi
normal dengan rata-rata nol dan varian satu, yaitu N(0,1)
5. Gunakan nilai Y hasil bootstrap untuk mengestimasi model tanpa
threshold atau model linear dan model dengan threshold, kemudian
dapatkan nilai RSS masing-masing (S0(bootstrap), S1(bootstrap))
6. Hitung yang rumusnya sama dengan (persamaan 9) tetapi nilai
RSSnya berasal dari hasil bootstrap
7. Bandingkan nilai dengan , jika nilai lebih besar dari beri
angka 1
8. Ulangi langkah 4 sampai 7 sebanyak 1000 kali. Nilai p-value Likelihood
Ratio test adalah peluang nilai yang melebihi .
Untuk memastikan estimasi bersifat BLUE, maka seluruh model regresi
baik yang linear (persamaan 5) maupun model threshold (persamaan 6), harus
diuji asumsi dan model regresinya.

Uji Asumsi
1. Uji Kenormalan
Uji asumsi kenormalan bertujuan untuk mengetahui apakah distribusi dari
error menyebar normal dengan rata-rata nol dan varian . Salah satu metode
yang banyak digunakan adalah Jarque-Bera test. Uji ini mengukur perbedaan
skewness dan kurtosis data yang dibandingkan dengan data dalam kondisi normal.
Jarque-Bera test mempunyai distribusi chi-square ( ) dengan derajat
bebas dua. Jika hasil Jarque-Bera test lebih kecil dari nilai pada α = 5%, maka
terima hipotesis nol yang berarti error berdistribusi normal. Cara lain adalah
23

dengan melihat nilai p-value, apabila nilainya lebih besar dari 5% maka terima
hipotesis nol yang berarti error berdistribusi normal dan sebaliknya.
2. Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas merupakan hubungan linear antarvariabel independen
dalam model. Ada tidaknya multikolinearitas dapat dideteksi misalnya dengan
melihat korelasi antara dua variabel independen. Bila nilainya lebih besar dari
0.8, maka diindikasikan terjadi masalah multikolinearitas. Cara mengatasi
multikolinearitas di antaranya dengan mengeluarkan variabel dengan kolinearitas
tinggi atau melakukan transformasi variabel (Juanda 2009).
3. Uji Heteroskedastisitas
Salah satu asumsi dari model regresi linear adalah bahwa ragam sisaan (
sama atau homogen atau untuk setiap pengamatan ke-t
dari variabel-variabel independen dalam regresi. Apabila kondisi tersebut tidak
terpenuhi berarti ada masalah heteroskedastisitas.
Metode untuk mendeteksi ada tidaknya masalah heteroskedastisitas salah
satunya dengan uji Breusch-Pagan-Godfrey test yang dapat dihitung melalui
hasil kali jumlah observasi (Obs) dan R-squared (R2). Secara matematika
dirumuskan sebagai berikut:
ε = Obs*R-squared (10)
Breusch-Pagan test mempunyai distribusi chi-square ( ) dengan derajat
bebas satu. Apabila hitung lebih besar dari tabel pada α = 5%, maka
tolak hipotesis nol yang berarti terjadi heteroskedastisitas. Apabila hitung
lebih kecil dari tabel pada α = 5%, maka terima hipotesis nol yang berarti
tidak ada heteroskedastisitas. Cara lain yaitu dengan melihat nilai p-value, apabila
nilainya lebih kecil dari 5% maka tolak hipotesis nol yang berarti terjadi
heteroskedastisitas dan apabila nilainya lebih besar dari 5% maka terima hipotesis
nol yang berarti tidak ada heteroskedastisitas. Heteroskedastisitas bisa diatasi
melalui estimasi weighted least squares (WLS) atau metode Newey-West.
4. Uji Autokorelasi
Autokorelasi menggambarkan terdapatnya hubungan antarerror. Adanya
autokorelasi ini menyebabkan parameter yang akan diestimasi menjadi tidak
efisien. Untuk menguji ada tidaknya autokorelasi menggunakan Breusch-Godfrey
Serial Correlation LM Test. Hipotesis ujinya adalah :
H0 : tidak ada masalah autokorelasi.
H1 : ada masalah autokorelasi.
Jika nilai Obs*R-squared > nilai kritis maka H0 ditolak yang berarti terdapat
autokorelasi atau p-value < α maka H0 ditolak yang berarti terdapat autokorelasi.
Untuk mengatasi autokorelasi bisa melalui metode Newey-West.

Uji Model Regresi


1. Uji F
Uji F digunakan untuk melihat pengaruh variabel-variabel independen
terhadap variabel dependen secara bersamaan, dengan hipotesis:
H0: β1 = β2 = …. = βi = 0;
H1: sedikitnya ada satu βi ≠ 0;
Statistik uji:
(11)
24

dengan RSS adalah residual sum of squares, ESS merupakan error sum of
squares, k jumlah variabel independen dan n adalah jumlah sampel. Jika nilai F
hitung > Fα;(k-1,n-k) tabel, maka H0 ditolak yang artinya variabel independen dalam
persamaan secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependen.
2. Uji t
Uji t bertujuan untuk menguji signifikansi masing-masing penduga
parameter. Hipotesis yang digunakan adalah:
H0 : βi = 0
H1 : βi ≠ 0
Statistik uji:
(12)
di mana adalah penduga koefisien βi (persamaan 5 dan persamaan 6) dan
merupakan standar error . Jika nilai t hitung > t tabel (α/2,n-k) maka
tolak H0 yang berarti variabel independen tersebut berpengaruh secara signifikan
terhadap variabel dependen. Cara lain dengan melihat nilai p-value, jika lebih
besar dari taraf uji (α) maka H0 diterima.
3. Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi menjelaskan seberapa besar proporsi variabel
dependen dapat dijelaskan oleh variabel independen. Selain itu, juga untuk
mengukur seberapa baik garis regresi yang terbentuk. Koefiesien determinasi
merupakan besaran tak negatif dan bernilai antara 0 dan 1 serta dilambangkan
dengan nilai R-squared (R2). Semakin dekat R2 dengan nilai satu maka model
dapat dikatakan tepat untuk menaksir nilai populasi, dan sebaliknya.
Formula untuk menghitung koefisien determinasi adalah:
(13)
dengan RSS adalah residual sum of squares, ESS merupakan error sum of
squares dan TSS adalah total sum of squares.

Spesifikasi Model
Spesifikasi model dalam penelitian ini mengacu pada model yang digunakan
Frimpong dan Oteng-Abayie (2010) dengan variabel utama pertumbuhan ekonomi
( ) dan inflasi ( ), ditambah empat variabel kontrol yaitu pertumbuhan
investasi (INVGR), pertumbuhan angkatan kerja (LFGR), pertumbuhan terms of
trade (TOTGR), serta pertumbuhan jumlah uang beredar (M2GR) (Tabel 4).

Model Linear
Model linear pada dasarnya digunakan untuk identifikasi awal apakah
terdapat hubungan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Pada model ini,
hubungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi diasumsikan linear.
GDPGRt = β0 + β1INFt + β2INVGRt + β3LFGRt + β4TOTGRt + β5M2GRt + (14)

Model Threshold
Dalam berbagai kajian empiris tentang threshold inflasi, banyak metode
yang digunakan sebagai alat analisis, misalnya Metode Sarel (1996), Metode
Hansen (1997, 2000), Metode Khan dan Senhadji (2001) serta Metode Drukker
et.al (2005). Penelitian ini secara substansi tetap menggunakan model Frimpong
dan Oteng-Abayie (2010) namun untuk prosedur mengadopsi dua metode, yaitu
25

Metode Khan dan Senhadji (2001) dan Metode Hansen (1997, 2000) dengan
pertimbangan kedua model tersebut cukup sering digunakan.
1. Metode Khan dan Senhadji (2001)
Ide Metode Khan dan Senhadji adalah mencari selisih antara inflasi dengan
nilai thresholdnya.
GDPGRt = β0 + β1 (1–I) (INFt – k) + β2 I (INFt – k) + β3INVGRt
+β4LFGRt + β5TOTGRt + β6M2GRt + (15)
2. Metode Hansen (1997, 2000)
Ide dari Metode Hansen adalah menggunakan nilai threshold untuk membagi
pengamatan menjadi dua rezim, yaitu di bawah nilai threshold atau di atas nilai
threshold.
GDPGRt = (β10 + β11INFt + β12INVGRt + β13LFGRt + β14TOTGRt
+ β15M2GRt) I(INFt k)
+ (β20 + β21INFt + β22INVGRt + β23LFGRt + β24TOTGRt
+ β25M2GRt) I(INFt > k) + (16)

Tabel 4 Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian


Notasi Variabel Keterangan
(1) (2) (3)
GDPGR Pertumbuhan PDRB riil Kontinu dalam persen
INF Tingkat inflasi Kontinu dalam persen
INVGR Pertumbuhan investasi (pertumbuhan PMTB Kontinu dalam persen
nominal tahun berjalan)
LFGR Pertumbuhan angkatan kerja Kontinu dalam persen
TOTGR Pertumbuhan terms of trade (pertumbuhan Kontinu dalam tahun
rasio jumlah ekspor terhadap jumlah impor)
M2GR Pertumbuhan jumlah uang beredar M2 Kontinu dalam persen
I Variabel dummy 1, jika INFt > k
0, jika INFt k
k Nilai threshold Diskret dalam persen
ε Error term
t periode

Definisi Variabel Operasional

Definisi variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Pertumbuhan ekonomi menggambarkan perubahan nilai output (Real GDP)
dari waktu ke waktu dan diformulasikan sebagai berikut:

2. Inflasi adalah proses meningkatnya harga-harga secara umum dan kontinu


berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai
faktor
3. Pembentukan modal tetap bruto (PMTB) adalah semua barang modal baru
yang digunakan/dipakai sebagai alat untuk berproduksi. PMTB mencakup
26

pengadaan, pembuatan dan pembelian barang-barang modal baru ataupun


bekas dari luar negeri.
4. Angkatan kerja adalah jumlah penduduk berusia produktif yang sedang
bekerja dan mencari pekerjaan. Indikator ini menggambarkan secara kasar
bagian dari penduduk berusia kerja yang terlibat aktif dalam kegiatan
perekonomian.
5. Pertumbuhan angkatan kerja adalah pertumbuhan angkatan kerja selama
selama tahun berjalan dengan tahun sebelumnya.
6. Terms of trade adalah perbandingan kuantitatif (jumlah atau nilai) antara
ekspor dan impor yang mencerminkan posisi perdagangan suatu negara untuk
periode watu tertentu
7. Uang beredar adalah kewajiban sistem moneter (Bank Sentral, Bank Umum,
dan Bank Perkreditan Rakyat/BPR) terhadap sektor swasta domestik (tidak
termasuk pemerintah pusat dan bukan penduduk). Kewajiban tersebut terdiri
dari uang kartal yang dipegang masyarakat (di luar Bank Umum dan BPR),
uang giral, uang kuasi yang dimiliki oleh sektor swasta domestik, dan surat
berharga selain saham yang diterbitkan oleh sistem moneter yang dimiliki
sektor swasta domestik dengan sisa jangka waktu sampai dengan satu tahun
8. Uang beredar dalam arti sempit (M1) merupakan uang kartal yang dipegang
masyarakat dan uang giral
9. Jumlah uang beredar dalam arti luas (M2) meliputi M1, uang kuasi, dan surat
berharga yang diterbitkan oleh sistem moneter yang dimiliki sektor swasta
domestik dengan sisa jangka waktu sampai dengan satu tahun.

Prosedur Analisis

Pengaruh inflasi dan pertumbuhan ekonomi dianalisis dengan regresi linear


berganda. Selain kedua variabel tersebut juga dimasukkan variabel-variabel
kontrol lainnya seperti pertumbuhan investasi, pertumbuhan angkatan kerja,
pertumbuhan terms of trade serta pertumbuhan jumlah uang beredar. Nilai
threshold inflasi dideteksi melalui dua metode regresi threshold yang kemudian
diuji signifikansinya dengan skema bootsrapp. Pengolahan data sebagian besar
dilakukan melalui program komputer Microsoft Excel 2007 dengan didukung
Eviews 7.0 dan SPSS 19.
27

4 HASIL PENELITIAN

Gambaran Umum Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia

Selama kurun 1970 hingga 2012, pergerakan inflasi dan pertumbuhan


ekonomi di Indonesia bisa dikatakan tidak memiliki pola yang jelas, beberapa
periode menunjukkan hubungan searah, tetapi di periode lain bisa berkebalikan.
Pada tahun 1970, inflasi tercatat sebesar 8.94% dengan pertumbuhan ekonomi
8.15%. Setahun kemudian inflasi mampu ditekan hingga level 2.62%, namun
pertumbuhan ekonomi ternyata tidak lebih tinggi dibandingkan dengan tahun
sebelumnya, yaitu sebesar 7% yang secara tidak langsung menunjukkan bahwa
inflasi rendah bukan jaminan tingginya kinerja ekonomi.
Dalam rentang 1972 sampai dengan 1977, inflasi di Indonesia berada pada
kisaran dua digit. Pada tahun 1972, inflasi tercatat sebesar 25.81% yang diduga
merupakan dampak ikutan terjadinya krisis pangan dunia dan meningkatnya
jumlah uang beredar. Apabila dibandingkan dengan tahun 1971, angka ini jauh
lebih tinggi. Menariknya, pertumbuhan ekonomi tahun 1972 tetap tumbuh
impresif yaitu sebesar 7.88%.

Sumber: Bank Dunia dan BPS 2013, diolah


Gambar 6 Pertumbuhan ekonomi dan inflasi di Indonesia tahun 1970-2012 (%)

Fenomena serupa juga terjadi pada tahun 1973 di mana kenaikan inflasi
27.17% justru diikuti semakin cepatnya laju perekonomian yang mencapai 9.78%.
Begitu pula di tahun 1974, lonjakan inflasi sebesar 33.41% masih mampu
mendorong laju perekonomian hingga level 8.26%. Selain belum pulihnya krisis
pangan serta meningkatnya jumlah uang beredar, tingginya inflasi tahun 1973 dan
1974 dipicu oleh kenaikan tajam harga minyak dunia yang mencapai angka
21.07% pada tahun 1973 dan terus melonjak hingga 158.93% di tahun 1974
28

(Sadikin 2010). Sementara dari sisi pengeluaran, pemerintah cenderung


melakukan kebijakan fiskal ekspansif di mana setiap tahunnya pengeluaran
pemerintah rata-rata meningkat 36.5%, seperti di tahun 1973 yang meningkat
tajam sebesar 72.9% dibandingkan tahun 1972. Karena saat itu Indonesia masih
merupakan negara eksportir minyak neto, anggaran pemerintah sangat
diuntungkan. Rezeki minyak sepertinya memberi ruang gerak bagi pemerintah
untuk membiayai proyek-proyek ambisius yang padat modal maupun terlibat
langsung dalam produksi (Pangestu 1996 dalam Sadikin 2010).
Tren penurunan inflasi Indonesia era 1970-an baru terjadi tahun 1975
hingga 1977 yang secara bersamaan diikuti oleh peningkatan kinerja ekonomi.
Menurut Sadikin (2010), penyebab inflasi dalam interval tersebut adalah
meningkatnya harga komoditas nonmigas dunia. Pada tahun 1975 inflasi tercatat
19.76% dengan pertumbuhan ekonomi 6.18%. Sedangkan di tahun 1977 inflasi
mampu dikendalikan sampai ke angka 11.86%, yang akhirnya mampu mendorong
perekonomian tumbuh sebesar 8.64%. Tren tersebut terus berlanjut pada tahun
1978 di mana inflasi sebesar 6.69% diiringi pertumbuhan ekonomi yang cukup
tinggi yaitu 9.21%. Berbeda dengan era 1970-an awal, fenomena antara 1975
sampai dengan 1978 ini secara empiris menunjukkan bahwa semakin rendah
inflasi, semakin tinggi pertumbuhan ekonomi.
Oil boom yang terjadi pada tahun 1979, kembali memicu inflasi hingga
mencapai 21.77%, walaupun secara umum aktivitas ekonomi masih tumbuh
meyakinkan yaitu 7.09%. Pada saat itu kenaikan harga minyak dunia mencapai
118.86% (Sadikin 2010).
Antara tahun 1981 dan 1985 inflasi Indonesia secara rata-rata 8.26% dengan
pertumbuhan ekonomi 5.67%. Pada tahun 1981 inflasi sebesar 7.09% dan
pertumbuhan ekonomi 8.15%. Sementara tahun 1982, inflasi berada di angka
9.69%. Di waktu yang sama perekonomian hanya tumbuh 1.10% yang secara
kebetulan merupakan angka pertumbuhan ekonomi terendah dalam dekade 1970-
an dan 1980-an. Fakta unik terjadi di tahun 1983, di mana peningkatan inflasi
menjadi 11.46% justru diikuti semakin cepatnya laju perekonomian yang
mencapai 8.45%. Apabila diperhatikan, angka inflasi Indonesia di awal 1980-an
tersebut cukup terkendali. Hal ini diduga sebagai dampak menurunnya harga
minyak dunia, yang menyebabkan pemerintah harus melakukan perubahan
orientasi kebijakan untuk mencari pembiayaan alternatif bagi pembangunan dan
banyak memangkas pengeluaran. Selama periode tersebut kenaikan pengeluaran
pemerintah rata-rata hanya 14.5% per tahun, dibandingkan dengan periode
sebelumnya yang mencapai 36.5% per tahun (Sadikin 2010).
Periode 1986 hingga 1997 secara umum inflasi Indonesia terjaga pada
kisaran satu digit (kecuali tahun 1997) dengan rata-rata 8.19%, sedangkan
pertumbuhan ekonomi berada di angka 7.28%. Periode tersebut juga diiringi
dengan semakin gencarnya penerapan kebijakan liberalisasi ekonomi. Akibat yang
ditimbulkan adalah aliran modal asing semakin banyak masuk ke Indonesia yang
pada gilirannya membuat perekonomian menjadi rentan terhadap guncangan
dunia.
Krisis mata uang Asia di tahun 1998 kembali menyebabkan inflasi
Indonesia menyentuh level dua digit yaitu 77.63% yang sekaligus menjadi inflasi
tertinggi sejak rezim Orde Baru memimpin. Pada waktu itu perekonomian
terkonstraksi hingga –13%. Di saat yang sama pertumbuhan jumlah uang beredar
29

(M2) meningkat sebesar 62.28% sebagai konsekuensi upaya stabilisasi nilai tukar
rupiah terhadap dolar yang terdepresiasi demikian hebat, mengingat Indonesia
masih menganut sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate) (Subekti 2011).
Pasca krisis ekonomi 1998, Indonesia berusaha menekan inflasi di level
rendah, misalnya dengan mengadopsi kebijakan inflation targeting framework.
Sistem nilai tukar mata uang juga diubah menjadi nilai tukar fleksibel (flexible
exchange rate). Pengertian nilai tukar fleksibel bukan berarti nilai tukar
sepenuhnya diserahkan ke pasar, tetapi otoritas moneter masih ikut campur tangan
dalam rangka stabilisasi nilai tukar terhadap valuta asing yang pada akhirnya akan
membantu stabilitas inflasi (Subekti 2011).
Dalam kurun 1999 sampai 2012 rata-rata inflasi Indonesia berada di angka
7.47% dengan pertumbuhan ekonomi 5.06%. Meskipun demikian, inflasi dua
digit masih terjadi di tahun 2005 yang mencapai 17.11% serta tahun 2008 yaitu
sebesar 11.06% sebagai dampak kenaikan harga minyak dunia. Sama dengan
periode oil boom era 1970-an, kenaikan harga minyak dunia tersebut ternyata juga
tidak terlalu menekan aktivitas ekonomi yang masih tumbuh sebesar 5.69%
(2005) dan 6.01% (2008).
Untuk lebih memahami pola hubungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi di
Indonesia secara lebih detail, ada cara lain yang bisa digunakan yaitu melalui plot
data sebagaimana dicontohkan Mubarik (2005). Langkah-langkah yang diambil
adalah pertama, inflasi diurutkan mulai dari nilai terkecil hingga terbesar. Kedua,
seluruh observasi inflasi dibagi menjadi beberapa kelompok dan dipilih angka p
untuk mewakili nilai tersebut serta nilai di bawahnya. Misalnya, inflasi kurang
dari 5% diwakili oleh angka 5%. Dengan kata lain apabila nilai inflasi 5% atau
lebih, bisa diwakili oleh angka 7%, dan seterusnya. Langkah terakhir adalah
merata-ratakan pertumbuhan ekonomi di setiap kelompok inflasi yang telah
terbentuk.

Sumber: Bank Dunia dan BPS 2013, diolah


Gambar 7 Rata-rata pertumbuhan ekonomi dan inflasi di Indonesia
Tahun 1970-2012 (%)
30

Berdasarkan pendekatan Mubarik (2005) seperti yang divisualisasikan


Gambar 7, terlihat bahwa hubungan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi pada
awalnya positif. Kenaikan inflasi diikuti oleh meningkatnya laju perekonomian.
Akan tetapi ketika inflasi melewati sebuah titik tertentu, hubungan tersebut
berubah menjadi negatif. Semakin tinggi inflasi, semakin rendah pertumbuhan
ekonomi. Analisis sederhana ini memberikan sedikit gambaran bahwa
kemungkinan hubungan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia
adalah taklinear. Walaupun demikian, perlu sebuah uji ekonometrik untuk
membuktikan kebenaran dugaan tersebut.

Statistik Deskriptif dan Pengujian Kestasioneran

Tabel 5 menunjukkan statistik deskriptif semua variabel yang digunakan


dalam penelitian. Selama kurun 1970 hingga 2012, rata-rata inflasi di Indonesia
adalah 11.86% dengan nilai minimum 2.01% dan nilai maksimum 77.63%.
Sementara rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 6.05% dengan nilai minimum
–13.13% dan nilai maksimum 9.78%. Rata-rata pertumbuhan investasi mencapai
9.22%, pertumbuhan angkatan kerja 2.56%, pertumbuhan terms of trade 1.69%,
sedangkan rata-rata pertumbuhan jumlah uang beredar (M2) adalah 25.59%.

Tabel 5 Statistik deskriptif variabel penelitian (%)


Standar Nilai Nilai
Variabel T Rata-rata
Deviasi Minimum Maksimum
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Pertumbuhan Ekonomi 43 6.053 3.609 –13.127 9.776
Inflasi 43 11.859 12.263 2.010 77.630
Pertumbuhan Investasi 43 9.224 12.037 –39.037 32.589
Pertumbuhan Angkatan
43 2.565 1.772 –0.459 9.976
Kerja
Pertumbuhan Terms of Trade 43 1.694 12.955 –28.519 33.092
Pertumbuhan Jumlah Uang
43 25.586 13.242 4.761 62.763
Beredar (M2)
Sumber: BPS (2013), Bank Indonesia (2013) dan Bank Dunia (2013), diolah
Keterangan: T adalah jumlah observasi

Untuk memastikan hasil analisis regresi linear berganda tidak spurious,


maka semua variabel yang dilibatkan dalam model harus diuji kestasionerannya.
Dalam penelitian ini uji kestasioneran dilakukan dengan cara memeriksa apakah
terdapat akar-akar unit (unit roots) dalam series data. Alat uji yang digunakan
adalah Augmented Dickey Fuller (ADF) Test.
Hasil Augmented Dickey Fuller (ADF) Test pada data level menunjukkan,
variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, pertumbuhan investasi, pertumbuhan
angkatan kerja, pertumbuhan terms of trade dan pertumbuhan jumlah uang
beredar (M2) tidak mengandung akar-akar unit (unit roots), di mana hipotesis nol
(series data mengadung akar-akar unit) ditolak pada taraf nyata 1%. Dengan
demikian bisa disimpulkan bahwa keenam data tersebut stasioner (Tabel 6).
31

Tabel 6 Pengujian kestasioneran variabel penelitian


Level
Variabel Hasil
Tanpa Tren Dengan Tren
(1) (2) (3) (4)
Pertumbuhan Ekonomi –4.42996 –4.64643 Stasioner
Inflasi –5.99796 –6.19604 Stasioner
Pertumbuhan Investasi –4.38375 –4.60221 Stasioner
Pertumbuhan Angkatan Kerja –5.15151 –5.66862 Stasioner
Pertumbuhan Terms of Trade –5.53766 –5.78496 Stasioner
Pertumbuhan Jumlah Uang Beredar
–3.66615 –5.12467 Stasioner
(M2)
Keterangan: Nilai kritis untuk α = 1% tanpa tren –3.5966, dengan tren –4.1923
Penentuan lag optimum menggunakan kriteria AIC.

Pengaruh Inflasi terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia

Pengaruh inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia diidentifikasi


melalui analisis regresi linear berganda, yang dilakukan dengan menggunakan dua
model utama, yaitu model linear (untuk menjawab pertanyaan pertama) dan model
taklinear/threshold (untuk menjawab pertanyaan kedua).

Model Linear
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, penelitian ini menggunakan
pendekatan multivariate. Oleh karena itu selain inflasi, juga dianalisis peran
beberapa variabel kontrol yang diduga memengaruhi pertumbuhan ekonomi
seperti pertumbuhan investasi, pertumbuhan angkatan kerja, pertumbuhan terms
of trade dan pertumbuhan jumlah uang beredar (M2). Dengan Microsoft Excell
2007, diperoleh estimasi persamaan sebagai berikut:

Tabel 7 Hasil estimasi model linear pertumbuhan ekonomi


Variabel Koefisien Standar error t-statistik Probabilitas
(1) (2) (3) (4) (5)
C 4.83462*** 0.82202 5.88141 0.00000
INF –0.16598*** 0.04204 –3.94810 0.00034
INVGR 0.15612*** 0.03233 4.82931 0.00002
LFGR –0.03628*** 0.18548 –0.19561 0.84599
TOTGR –0.00896*** 0.02813 –0.31854 0.75187
M2GR 0.07202*** 0.03692 1.95057 0.05871
R-squared 0.71644
F-statistic 18.69709
Prob(F-statistic) 0.00000
Keterangan: *** signifikan pada taraf nyata 1%, **signifikan pada taraf nyata 5%,
* signifikan pada taraf nyata 10%

Uji normalitas melalui Jarque-Bera menunjukkan bahwa residual


berdistribusi normal dengan nilai probabilitas sebesar 0.64 atau lebih besar dari
32

nilai 5%. Sementara korelasi antarvariabel independen tidak ada yang lebih besar
dari 0.8, sehingga dapat disimpulkan bahwa model telah memenuhi asumsi
terbebas dari multikolinearitas. Pengujian heteroskedastisitas melalui Breusch-
Pagan-Godfrey test menjamin model tidak ada masalah heteroskedastisitas, di
mana angka probabilitas chi-square sebesar 0.43. Yang terakhir, nilai probabilitas
chi-square pada Breusch-Godfrey Serial Correlation LM test sebesar 0.37
menyatakan model bebas dari masalah autokorelasi.
Nilai F-stastistic sebesar 18.70, dengan nilai Prob(F-statistic) 0.00 (lebih
kecil dari α = 0.05) mengindikasikan terdapat satu di antara variabel inflasi,
pertumbuhan investasi, pertumbuhan angkatan kerja, pertumbuhan terms of trade
dan pertumbuhan jumlah uang beredar (M2) yang berpengaruh signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, dari tingkat signifikansi uji t pada masing-
masing variabel independen (Tabel 7) dapat disimpulkan bahwa inflasi,
pertumbuhan investasi dan pertumbuhan jumlah uang beredar (M2) berpengaruh
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebaliknya variabel
pertumbuhan angkatan kerja serta pertumbuhan terms of trade tidak berpengaruh
signifikan.
Pengujian goodness of fit atau uji kelayakan model ditunjukkan oleh nilai R-
squared yang mencerminkan seberapa besar variabel independen mampu
menjelaskan keragaman variabel dependen. Dalam model linear di atas diperoleh
nilai R-squared sebesar 0.71644. Artinya sebesar 71.64% keragaman variabel
pertumbuhan ekonomi mampu dijelaskan oleh inflasi, pertumbuhan investasi,
pertumbuhan angkatan kerja, pertumbuhan terms of trade dan pertumbuhan
jumlah uang beredar (M2). Sementara sisanya yaitu 28.36% dijelaskan oleh
variabel-variabel lain di luar model.

Estimasi Model Linear


Inflasi berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dengan
koefisien –0.17. Artinya setiap kenaikan inflasi sebesar 1%, akan menyebabkan
penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.17% ceteris paribus. Hasil tersebut
sesuai dengan temuan beberapa ekonom seperti Fischer (1983), Barro (1995a)
ataupun Li (2006).
Teori ekonomi yang menyatakan bahwa inflasi akan mengurangi efisiensi
distribusi sumber daya yang pada akhirnya menurunkan output terbukti pada
penelitian ini. Menurut Gokal dan Hanif (2004) inflasi dapat menimbulkan
ketidakpastian hasil investasi, mengurangi daya saing suatu negara di kancah
perdagangan internasional sehingga memperburuk neraca pembayaran,
mengganggu kinerja pasar finansial dalam hal ini interaksi antara kreditur dan
debitur, serta menghambat optimalisasi produksi barang dan jasa (karena
tingginya biaya produksi). Li (2006) menambahkan, ketika terjadi inflasi nilai
return riil dan suku bunga riil akan turun, sehingga menyebabkan banyak orang
yang ingin menjadi borrowers dan sedikit yang bersedia menjadi lenders.
Banyaknya borrowers memicu terjadinya adverse selection yang berujung
diberlakukannya credit reatoning, pasar finansial tidak dapat memberikan
pinjaman yang lebih banyak lagi, alokasi dana ke investasi tidak efisien, fungsi
intermediasi terganggu dan investasi kapital berkurang. Akibatnya pertumbuhan
ekonomi dalam jangka panjang akan turun seiring dengan meningkatnya inflasi.
33

Pertumbuhan investasi yang didekati dengan pertumbuhan PMTB


berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Temuan ini sejalan dengan
penelitian Kannan dan Joshi (1998). Koefisien pertumbuhan investasi sebesar
0.16 yang berarti setiap kenaikan 1% investasi, akan mendorong pertumbuhan
ekonomi sebesar 0.16% ceteris paribus. Dalam beberapa literatur ekonomi seperti
teori pertumbuhan ekonomi Klasik ataupun teori pertumbuhan Neo-Klasik
disebutkan bahwa investasi atau kapital merupakan determinan penting dalam
pertumbuhan ekonomi. Tobin (1965) mengemukakan peningkatan investasi akan
menumbuhkan level output secara permanen.
Jhingan (2010) mengungkapkan investasi berperan dalam menciptakan
pendapatan dan mampu memperbesar kapasitas produksi perekonomian dengan
cara meningkatkan stok modal. Jhingan mempertegas bahwa melalui investasi
kegiatan ekonomi dapat berkembang sehingga kesejahteraan masyarakat semakin
meningkat. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh
Harrold-Domard dalam Todaro dan Smith (2006) yang mengemukakan bahwa
negara-negara maju telah melampaui tahapan “tinggal landas menuju
pertumbuhan ekonomi berkesinambungan yang berlangsung secara otomatis”.
Sedangkan negara berkembang baru menyusun kerangka tahapan tinggal landas.
Menurut Harrold-Domard, salah satu strategi pokok untuk mencapai tinggal
landas adalah mobilisasi dana tabungan (dalam mata uang domestik ataupun
asing) untuk menciptakan bekal investasi dalam jumlah yang memadai untuk
mempercepat laju pertumbuhan ekonomi.
Pendapat Prof. Friedman sebagaimana dikutip dari Gokal dan Hanif (2004),
yang menyatakan uang adalah komponen penting dalam perekonomian berhasil
dibuktikan dalam penelitian ini. Dalam makalahnya The Quantity Theory of
Money, Friedman berargumen bahwa uang adalah representasi suatu transaksi
yang sekaligus menggambarkan aktivitas ekonomi. Semakin banyak uang beredar,
semakin dinamis perekonomian bergerak. Hal inilah yang masih dijadikan
landasan bank sentral untuk turut memengaruhi sektor riil, baik melalui kebijakan
ekspansif ataupun kontraktif. Walaupun demikian, memang harus ditentukan porsi
yang tepat agar perekonomian yang overheated bisa dihindari. Koefisien
pertumbuhan uang beredar yang diproxy dengan pertumbuhan M2 sebesar 0.07.
Artinya setiap peningkatan uang beredar 1% akan mendorong tumbuhnya
ekonomi sebesar 0.07% ceteris paribus. Mansur dan Munir (2009) serta Frimpong
dan Oteng-Abayie (2010) juga menemukan pertumbuhan uang beredar
berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan angkatan kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Artinya walaupun jumlah angkatan kerja
terus meningkat ataupun menurun dari waktu ke waktu, dinamika pertumbuhan
ekonomi tidak terpengaruh sama sekali. Diduga, yang menjadi penyebab adalah
masih rendahnya kualitas angkatan kerja, sehingga kontribusinya terhadap
pembentukan outputpun tidak terlalu tampak. Yang menarik adalah pengaruh
pertumbuhan angkatan kerja tersebut memiliki tanda negatif dengan koefisien
–0.04. Setiap kenaikan angkatan kerja sebesar 1% akan menurunkan pertumbuhan
ekonomi 0.04%. Temuan ini secara implisit menggambarkan bahwa
perkembangan angkatan kerja di Indonesia menjadi beban berat bagi
perekonomian. Kualitas memang hal mutlak yang harus dipenuhi sehingga
keberadaan angkatan kerja bisa diserap optimal dunia kerja.
34

Secara tradisional, pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan angkatan kerja


dianggap sebagai salah satu faktor positif yang memacu pertumbuhan ekonomi.
Jumlah tenaga kerja yang lebih besar akan menambah jumlah tenaga kerja
produktif, sedang pertumbuhan penduduk yang lebih besar berarti akan
meningkatkan ukuran pasar domestiknya (Todaro dan Smith 2006). Pada
beberapa kasus di negara-negara berkembang, hubungan ini dapat berdampak
sebaliknya. Hubungan positif atau negatif pertumbuhan penduduk dengan
pembangunan ekonomi sepenuhnya tergantung pada kemampuan sistem
perekonomian yang bersangkutan untuk menyerap dan secara produktif
memanfaatkan tambahan tenaga kerja tersebut. Adapun kemampuan daya serap
ini dipengaruhi oleh tingkat dan jenis akumulasi modal dan tersedianya input atau
faktor-faktor penunjang, seperti kecakapan manajerial dan kualitas SDMnya
(Sulistyowati 2011).
Pertumbuhan terms of trade yang diproxy dengan pertumbuhan rasio nilai
ekspor terhadap nilai impor tidak berpengaruh signifikan. Hal ini disebabkan
kontribusi ekspor ataupun impor Indonesia terhadap PDB nasional tidak terlalu
besar, yaitu hanya berkisar 11%. Sementara arah koefisien negatif menandakan
bahwa postur impor Indonesia melebihi ekspor, sehingga perubahan terms of
trade lebih didominasi oleh nilai impor yang secara otomatis berpengaruh negatif
terhadap pertumbuhan ekonomi.

Model Threshold
Estimasi model linear menunjukkan bahwa secara umum inflasi
berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun berdasarkan plot
data yang sebelumnya disajikan pada bagian gambaran umum, dinyatakan bahwa
hubungan atau pengaruh inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi ada kemungkinan
taklinear. Salah satu metode untuk mengidentifikasi ketaklinearan model adalah
melalui analisis regresi threshold.
Dalam penelitian ini nilai threshold inflasi dicari mulai dari angka 5%
hingga 16% dengan increment 0.01. Terdapat dua alasan pengambilan interval
tersebut, yang pertama untuk memenuhi ketentuan yang dikemukakan Enders
(2004). Alasan kedua sesuai dengan target inflasi Bank Indonesia yang berkisar
3% sampai 5%, yang secara tidak langsung beranggapan bahwa ketika inflasi di
atas 5%, akan berdampak buruk terhadap pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain
penelitian ini bermaksud mengkonfirmasi secara ekonometrik anggapan tersebut.

Model Threshold Khan dan Senhadji (2001)


Dari berbagai kandidat yang telah ditentukan, diperoleh nilai threshold
inflasi yang meminimalkan RSS terletak pada angka 7.11% dengan nilai RSS
119.10 (Gambar 8).
35

Gambar 8 Nilai threshold inflasi dan Residual Sum of Squares (RSS) model
Khan dan Senhadji (2001)

Untuk memastikan bahwa keberadaan nilai threshold tersebut signifikan, harus


diuji melalui skema bootstrapping sebanyak 1000 kali. Hasilnya adalah threshold
inflasi 7.11% signifikan pada taraf nyata 1% dengan bootsrap p-value 0.004.

Tabel 8 Hasil uji signifikansi threshold inflasi model Khan dan Senhadji (2001)
Nilai
Hipotesis LR-test Bootstrap p-value
Threshold
(1) (2) (3) (4)
H0: β1 = β2 12.99196*** 0.004 7.11%
(tidak ada threshold)
Keterangan: *** signifikan pada taraf nyata 1%, **signifikan pada taraf nyata 5%,
* signifikan pada taraf nyata 10%

Karena nilai threshold 7.11% merupakan angka yang ideal (signifikan), maka
estimasi model threshold Khan dan Senhadji (2001) dilakukan pada nilai
threshold tersebut. Hasilnya sebagaimana yang disajikan pada Tabel 9 berikut:
36

Tabel 9 Hasil estimasi model threshold Khan dan Senhadji (2001)


Variabel Koefisien Standar error t-statistik Probabilitas
(1) (2) (3) (4) (5)
C 4.490997*** 0.808691 5.553417 0.000003
INF > 7.11 –0.240609*** 0.043670 –5.509714 0.000003
INF ≤ 7.11 0.568529*** 0.225823 2.517587 0.016407
INVGR 0.111299*** 0.031773 3.502953 0.001249
LFGR –0.090165*** 0.165589 –0.544512 0.589446
TOTGR 0.007551*** 0.025486 0.296292 0.768710
M2GR 0.097920*** 0.033729 2.903099 0.006273
R-squared 0.782133
F-statistic 21.53971
Prob(F-statistic) 0.00000
Keterangan: *** signifikan pada taraf nyata 1%, **signifikan pada taraf nyata 5%,
* signifikan pada taraf nyata 10%

Uji Jarque-Bera untuk memeriksa asumsi kenormalan menyimpulkan


residual model threshold Khan dan Senhadji (2001) berdistribusi normal dengan
probabilitas Jarque-Bera 0.51. Nilai korelasi antarvariabel independen tidak ada
yang melebihi 0.8, sehingga model tidak mengalami masalah multikolinearitas.
Sementara probabilitas Breusch-Pagan-Godfrey test dan Breusch-Godfrey Serial
Correlation LM test masing-masing sebesar 0.34 dan 0.44 yang menandakan
model terbebas dari masalah autokorelasi dan heteroskedastisitas.
Hasil uji F model threshold Khan dan Senhadji (2001) pada nilai threshold
7.11% menghasilkan angka statistik sebesar 21.54 dengan probabilitas 0.00.
Dengan kata lain model layak digunakan karena mampu menjelaskan keragaman
variabel tak bebas. Dari keseluruhan nilai signifikansi variabel independen (Tabel
9), dapat disimpulkan bahwa inflasi lebih besar dari threshold, inflasi kurang dan
sama dengan threshold, pertumbuhan investasi dan pertumbuhan jumlah uang
beredar (M2) berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Sedangkan variabel pertumbuhan angkatan kerja serta pertumbuhan terms of trade
tidak berpengaruh signifikan, sama dengan hasil yang didapat pada model linear.
Nilai R-squared sebesar 0.7821 menunjukkan bahwa 78.21% variasi pertumbuhan
ekonomi mampu dijelaskan oleh model.

Estimasi Model Threshold Khan dan Senhadji (2001)


Inflasi berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi ketika nilainya
melebihi angka 7.11%, dengan koefisien –0.24. Sebaliknya ketika inflasi kurang
dari 7.11%, pengaruhnya justru positif terhadap pertumbuhan ekonomi dengan
koefisien yang lebih besar yaitu 0.57. Nilai threshold ini lebih rendah jika
dibandingkan dengan temuan Chowdhury dan Siregar (2004) yang menemukan
inflasi optimal di Indonesia 20.50% atau Chowdhury dan Ham (2009) yang
menyimpulkan inflasi di Indonesia berbahaya ketika nilainya melebihi interval
8.50% dan 11%. Inflasi berpengaruh positif ketika nilainya kurang dan sama
dengan 7.11% juga membuktikan bahwa asumsi Bank Indonesia yang
menyatakan inflasi melebihi 5% berbahaya tidak sepenuhnya benar. Dengan kata
37

lain masih ada “ruang” yang cukup bagi Bank Indonesia untuk melakukan
kebijakan diskresi dengan maksud merangsang perekonomian agar lebih dinamis.
Koefisien yang cukup besar, bahkan paling besar jika dibandingkan dengan
variabel independen lain mengindikasikan keberadaan inflasi di Indonesia sangat
penting dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi (ditinjau dari perspektif
supply).
Sama dengan analisis linear, pertumbuhan investasi dan pertumbuhan
jumlah uang beredar juga berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi
dengan koefisien masing-masing sebesar 0.11 dan 0.09. Begitu pula pertumbuhan
angkatan kerja dan pertumbuhan terms of trade yang masih tidak signifikan
dengan koefisien masing-masing –0.09 dan 0.007.

Model Threshold Hansen (1997, 2000)


Berbeda dengan model threshold Khan dan Senhadji (2001), identifikasi
nilai threshold melalui model threshold Hansen (1997, 2000) menemukan
threshold inflasi di Indonesia sebesar 9.53% dengan nilai RSS 88.53 (Gambar 9).

Gambar 9 Nilai threshold inflasi dan Residual Sum of Squares (RSS) model
Hansen (1997, 2000)

Skema bootstrapping mengkonfirmasi bahwa nilai threshold inflasi 9.53%


signifikan pada taraf nyata 1%, dengan bootstrap p-value 0.006. Oleh karena itu
bisa disimpulkan bahwa keberadaan threshold memberikan pengaruh yang
berbeda dalam model.
38

Tabel 10 Hasil uji signifikansi threshold inflasi model Hansen (1997, 2000)
Nilai
Hipotesis LR-test Bootstrap p-value
Threshold
(1) (2) (3) (4)
H0: βi1 = βi2 32.32738*** 0.006 9.53%
(tidak ada threshold)
Keterangan: *** signifikan pada taraf nyata 1%, **signifikan pada taraf nyata 5%,
* signifikan pada taraf nyata 10%

Keunggulan model threshold Hansen (1997, 2000) adalah mampu


menyajikan pengaruh semua variabel independen terhadap variabel dependen,
baik dalam kondisi di bawah nilai threshold maupun di atas nilai threshold
(9.53%). Hasil estimasinya adalah sebagai berikut:

Tabel 11 Hasil estimasi model threshold Hansen (1997, 2000)


Inflasi ≤ 9.53% Inflasi > 9.53%
Variabel
Koefisien Probabilitas Koefisien Probabilitas
(1) (2) (3) (4) (5)
C 2.66479*** 0.03584 5.22091*** 0.00241
INF 0.34130*** 0.03674 –0.24811*** 0.00167
INVGR 0.04925*** 0.21328 0.15433*** 0.01857
LFGR –0.24284*** 0.15568 0.10077*** 0.89254
TOTGR –0.04488*** 0.15125 0.03268*** 0.43702
M2GR 0.08028*** 0.05078 0.11094*** 0.04292
R-squared 0.838038
F-statistic 59.296
Prob(F-statistic) 0.00000
Keterangan: *** signifikan pada taraf nyata 1%, **signifikan pada taraf nyata 5%,
* signifikan pada taraf nyata 10%

Probabilitas Jarque-Bera sebesar 0.54 menyatakan bahwa residual


berdistribusi normal. Angka korelasi antarvariabel independen ada yang melebihi
0.8, yaitu INF1 dengan LFGR2, INF2 dengan M2GR2, serta antara LFGR2
dengan M2GR2 (lampiran 5) sehingga dapat disimpulkan bahwa model terkena
masalah multikolinearitas. Untuk menjamin model bersifat BLUE maka beberapa
variabel yang terlibat multikolinearitas bisa dihilangkan. Akan tetapi dengan
alasan agar analisis dapat lebih komprehensif, maka tindakan tersebut tidak
dilakukan. Walaupun tidak BLUE, model yang mengandung multikolinearitas
masih bersifat unbiased. Sementara itu asumsi bebas autokorelasi dan
heteroskedastisitas dibuktikan melalui probabilitas Breusch-Pagan-Godfrey test
dan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM test yang masing-masing sebesar
0.91 dan 0.46.
Berdasarkan uji F diperoleh angka statistik sebesar 59.30 dan probabilitas
0.00. Dengan demikian model threshold Hansen (1997, 2000) layak digunakan
karena mampu menjelaskan keragaman variabel dependen. Tingkat signifikansi
uji t pada masing-masing variabel independen (Tabel 11) menunjukkan bahwa
39

inflasi di bawah threshold, inflasi saat lebih besar dari threshold, pertumbuhan
investasi ketika inflasi di atas threshold serta pertumbuhan jumlah uang beredar
(M2), baik saat inflasi berada di bawah threshold ataupun ketika inflasi berada di
atas threshold berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Sebaliknya variabel pertumbuhan angkatan kerja serta pertumbuhan terms of trade
tidak berpengaruh signifikan.
Nilai R-squared model threshold Hansen sebesar 0.8380, yang artinya 83.80
variasi pertumbuhan ekonomi mampu dijelaskan oleh model, sedangkan 16.20%
sisanya dijelaskan faktor lain di luar model.

Estimasi Model Threshold Hansen (1997, 2000)


Ketika inflasi kurang dari 9.53%, setiap kenaikan inflasi 1% akan
mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 0.34% ceteris paribus. Pengusaha
adalah pihak yang paling diuntungkan dengan adanya inflasi. Laba produksi
meningkat seiring dengan melonjaknya harga. Apalagi daya beli masyarakat tidak
terlalu terdistorsi ketika inflasi masih dalam batas kewajaran, sehingga permintaan
barang dan jasa relatif tidak terganggu. Mohanty et al (2011) menyatakan inflasi
yang rendah dan stabil dapat meningkatkan fungsi pasar serta membantu rumah
tangga dan pengusaha dalam menyusun perencanaan bisnis tanpa harus terbebani
ketidakpastian pergerakan harga.
Sebaliknya ketika inflasi melebihi 9.53%, peningkatan inflasi 1% berakibat
pada melemahnya kinerja ekonomi sebesar 2.48% ceteris paribus. Dalam kondisi
inflasi tinggi, masyarakat enggan melakukan konsumsi, karena mata uang tidak
ada nilainya. Kondisi ini membuat pengusaha melakukan rasionalisasi output
yang berakibat pertumbuhan ekonomi melambat.
Temuan yang cukup menarik adalah pertumbuhan investasi di Indonesia
justru berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi ketika inflasi melebihi
threshold. Hal ini memberikan gambaran bahwa inflasi yang tinggi berdampak
pada rendahnya suku bunga riil sehingga memberikan insentif bagi pengusaha
untuk memproduksi lebih banyak output melalui aliran investasi. Selain itu, bisa
dipastikan bahwa ketika inflasi tinggi, masyarakat banyak merelokasi
kekayaannya ke dalam bentuk aset, karena nilai mata uang riil turun drastis.
Temuan ini sebenarnya tidak terlalu mengherankan karena Mundell (1963) pernah
menyatakan bahwa peningkatan akumulasi investasi akibat adanya inflasi dapat
menstimulus output. Sementara itu pertumbuhan uang beredar konsisten
berpengaruh positif, baik ketika berada pada kondisi inflasi rendah ataupun pada
inflasi tinggi.
Sama dengan model linear, pertumbuhan angkatan kerja tidak berpengaruh
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Begitu pula dengan pertumbuhan
terms of trade. Hal yang perlu dicatat adalah pengaruh pertumbuhan angkatan
kerja berubah tanda menjadi positif ketika inflasi tinggi (di atas threshold).
Diduga yang menjadi penyebab adalah, saat inflasi tinggi sektor-sektor padat
karya seperti pertanian ataupun sektor informal justru bergerak lebih dinamis.
Identik dengan sektor usaha menengah besar, keberadaan inflasi sedikit banyak
juga menjadi daya tarik bagi kelompok ekonomi kecil untuk meraup untung.
Dalam kondisi tersebut, masyarakat senantiasa berupaya memenuhi kebutuhan
hidup dengan membuka usaha-usaha kecil. Tenaga-tenaga muda yang awalnya
tidak bekerja pun urun serta membantu perekonomian keluarga. Semakin
40

bertambah angkatan kerja, semakin meningkat output. Bukti kongkrit


sebagaimana terjadi saat krisis 1998, di mana saat itu inflasi tinggi namun tingkat
pengangguran secara ironis menurun. Lee dan Wong (2005) menemukan saat
inflasi tinggi, pertumbuhan angkatan kerja di Jepang berpengaruh positif terhadap
pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan terms of trade yang berpengaruh positif
ketika inflasi tinggi (di atas threshold) dipicu oleh posisi nilai tukar rupiah yang
melemah (saat inflasi tinggi jumlah uang beredar meningkat sehingga berdampak
pada melemahnya nilai tukar) sehingga menjadi stimulus bagi eksportir untuk
meningkatkan kapasitas produknya.

Seleksi Model Terbaik

Dari ketiga model yaitu linear, Khan dan Senhadji (2001) serta Hansen
(1997, 2000), diperoleh hasil yang berbeda-beda. Pertanyaannya adalah, model
mana yang selanjutnya dipilih?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, beberapa kriteria seleksi model
digunakan, di antaranya Residual Sum of Squares (RSS), log likelihood (LogLL),
Akaike Information Criteria (AIC) serta Log likelihood Ratio Test (LR-test).
Karena model threshold Khan dan Senhadji (2001) non-nested dengan model
threshold Hansen (1997, 2000) dan non-nested test bisa diaplikasikan pada model
nested, maka AIC dan LR-test akan digunakan sebagai kriteria utama untuk
memilih model. Hasil pengujian secara lengkap bisa dilihat pada Tabel 12 berikut:

Tabel 12 Kriteria seleksi model


Model Khan dan Model Hansen
Kriteria/uji Model Linear
Senhadji (2001) (1997, 2000)
(1) (2) (3) (4)
RSS 155.0850268*** 119.1002348 89.30578252
Log likelihood –88.60219*** –82.93639 –76.56114
AIC 4.400102*** 4.183088 4.119123
LR-test 31.67216528*** 14.3457838**
Keterangan: *** signifikan pada taraf nyata 1%, **signifikan pada taraf nyata 5%,
* signifikan pada taraf nyata 10%.
Karena model Hansen (1997, 2000) lebih umum, maka LR-test dilakukan pada
model Linear serta model Khan dan Senhadji (2001) terhadap model Hansen (1997,
2000).

Berdasarkan semua kriteria/uji seleksi model diperoleh bahwa model


threshold Hansen (1997, 2000) merupakan model terbaik untuk kasus Indonesia.
Oleh karena itu, nilai threshold inflasi di Indonesia adalah sebesar 9.53%
sebagaimana yang disarankan oleh model threshold Hansen (1997, 2000).
41

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Dari hasil penelitian dan analisis yang sudah dilakukan dapat ditarik
simpulan sebagai berikut:
1. Secara umum, inflasi berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi di
Indonesia. Setiap kenaikan inflasi sebesar 1%, akan menyebabkan penurunan
pertumbuhan ekonomi sebesar 0.17% ceteris paribus. Penelitian ini
mengakomodir pendapat Sepehri dan Moshiri (2004) serta Kremer et al.
(2012) bahwa studi inflasi dan pertumbuhan ekonomi hendaknya fokus di satu
negara, karena struktur ekonomi masing-masing negara berbeda. Dalam
beberapa studi data panel, Indonesia telah dilibatkan sebagai sampel, namun
hasil yang didapat adalah inflasi di Indonesia bisa berpengaruh positif, negatif
bahkan netral terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini menjawab
temuan inconclusive yang ada
2. Berdasarkan historis data tahun 1970 hingga 2012, diperoleh nilai threshold
inflasi di Indonesia sebesar 7.11% (model threshold Khan dan Senhadji
(2001)) dan 9.53% (model threshold Hansen (1997, 2000)). Selama inflasi
kurang dari angka-angka tersebut, pengaruhnya terhadap pertumbuhan
ekonomi positif, sebaliknya apabila inflasi melebihi angka-angka tersebut,
pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi negatif. Dari beberapa uji
seleksi model disimpulkan bahwa model threshold Hansen (1997, 2000)
merupakan model yang terbaik. Oleh karena itu nilai threshold inflasi di
Indonesia sebesar 9.53%.

Implikasi Kebijakan

1. Upaya pengendalian inflasi tetap harus dilakukan untuk meminimalisir


dampak buruk inflasi, karena inflasi yang bergejolak memang tidak terlalu
bagus bagi perekonomian. Bank Indonesia sebagai otoritas moneter harus
terus intens menjaga kestabilan nilai tukar rupiah sehingga pergerakan
imported inflation sebagai pemicu utama inflasi di Indonesia bisa dibatasi.
Artinya arah kebijakan moneter yang selama ini diterapkan sudah tepat
2. Bank Indonesia sebaiknya menerapkan dua kebijakan yang berbeda. Ketika
inflasi kurang dari threshold (9.53%), pengendalian inflasi hendaknya tidak
terlalu ketat, karena akan memerlukan “biaya” yang sangat besar. Sebaliknya,
ketika inflasi lebih besar dari threshold, kebijakan anti inflasi memang sangat
relevan. Dengan kata lain ITF tidak bisa digeneralisasi di semua level inflasi.
Implementasi ITF yang terlalu membabi buta dapat menghambat pertumbuhan
ekonomi yang justru merupakan kebijakan lebih penting bagi negara
berkembang seperti Indonesia
3. Penelitian ini secara implisit memberikan pesan bahwa inflasi yang stabil
lebih utama daripada inflasi yang rendah. Koefisien pengaruh inflasi terhadap
pertumbuhan ekonomi yang lebih besar dan bertanda positif ketika inflasi
rendah menjadi bukti bahwa tidak selamanya inflasi merupakan sumber
masalah dalam perekonomian.
42

Saran Penelitian Lanjutan

1. Series data dalam penelitian ini masih relatif pendek. Oleh karena itu dalam
penelitian selanjutnya bisa menggunakan series data yang lebih panjang
2. Membandingkan threshold inflasi sebelum dan setelah penerapan inflation
targeting framework (ITF) dapat menjadi topik yang menarik, sehingga dalam
penelitian selanjutnya bisa melakukan kajian tersebut, misalnya dengan
menggunakan data triwulanan
3. Inflasi merupakan variabel makroekonomi yang memiliki keterkaitan dan
implikasi sangat luas dalam perekonomian, salah satunya terhadap
kemiskinan. Uji dampak threshold inflasi terhadap tingkat kemiskinan juga
bisa dilakukan untuk menambah literatur penelitian.
43

DAFTAR PUSTAKA
Barro RJ. 1995a. Inflation and economic growth. Bank of England Quarterly
Bulletin No 35. Bank of England.
_______. 1995b. Inflation and economic growth. Working Paper No 5326.
National Bureau of Economic Research.
Black DC, Dowd MR, Keith K. 2001. The inflation/growth relationship: evidence
from state panel data. Applied Economics Letters. 8(12):771-774.
Blanchard OJ, Kiyotaki N. 1987. Monopolistic competition and the effects of
agregate demand. The American Economic Review. 77(4):647-666.
Bruno M, Easterly W. 1995. Inflation crises and long-run growth. Working Paper
No 5209. National Bureau of Economic Research.
Chowdhury A. 2002. Does inflation affect economic growth? the relevance of the
debate for Indonesia. Journal of the Asia Pacific Economy. 7(1):20-34.
Chowdhury A, Siregar H. 2004. Indonesia’s monetary policy dilemma: constraints
of inflation targeting. The Journal of Developing Areas. 37(2):137–153.
Chowdhury A, Ham R. 2009. Inflation targeting in Indonesia: searching for a
threshold. The Singapore of Economic Review. 54(4):645–655.
Dorrance GS. 1963. The effect of inflation on economic development. IMF Staff
Papers. 10(1):1-47.
__________. 1966. Inflation and growth. IMF Staff Papers. 13(1):82-102.
Doguwa SI. 2013. Inflation and economic growth in Nigeria: detecting the
threshold level. CBN Journal of Applied Statistics. 3(2):99-124.
Drukker D, Gomis-Porqueras P, Hernandez-Verme P. 2005. Threshold effects in
the relationship between inflation and growth: a new panel-data approach.
MPRA Paper No 38225, Ludwig Maximilian University of Munich,
Germain.
Enders W. 2004. Applied Econometric Time Series 2nd. New York (US): John
Wiley & Sons Inc.
Frimpong JM, Oteng-Abayie EF. 2010. When is inflation harmful? estimating the
threshold effect for Ghana. American Journal of Economics and Business
Administration. 2(3):232-239.
Fischer S. 1983. Inflation and growth. Working Paper No 1235. National Bureau
Of Economic Research.
_______. 1993. The role of macroeconomic factors in growth. Working Paper No
4565. National Bureau Of Economic Research.
Ghosh A, Phillips S. 1998a. Inflation, disinflation and growth. Working Paper No
96/68. International Monetary Fund.
________________. 1998b. Warning: inflation may be harmful to your growth.
IMF Staff Papers. 45(4):672–710.
Gokal V, Hanif S. 2004. Relationship between inflation and economic growth.
Working Paper 2004/04. Reserve Bank of Fiji.
Hansen B. 1996. Inference when a parameter is not identified under the null
hypothesis. Econometrica. 64(2):413–430.
_________. 1997. Inference in TAR models. Studies in Non-Linear Dynamics and
Econometrics. 2(1):1–14.
_________. 1999. Threshold effects in non-dynamic panels: estimation, testing,
and inference. Journal of Econometrics. 93(2):345-368.
44

________. 2000. Sample splitting and threshold estimation. Econometrica.


68(3):575–603.
Hossain A. 2005. The sources and dynamics of inflation in indonesia: an ECM
model estimation for 1952-2002. Applied Econometrics and International
Development, AEID. 5(4):93-116.
Hussain S, Malik S. 2011. Inflation and economic growth: evidence from
Pakistan. International Journal of Economics and Finance. 3(5):262-276.
Jhingan ML. 2010. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Edisi ke-16. D
Guritno (penerjemah). Jakarta (ID): PT Raja Grafindo Persada.
Juanda B. 2009. Ekonometrika: Pemodelan dan Pendugaan. Bogor (ID): IPB
Press.
Judson R, Orphanides A. 1996. Inflation, volatility and growth. Finance and
Economics Discussion Papers No 96-19. Board of Governors of the Federal
Reserve System.
Jung WS, Marshall PJ. 1986. Inflation and economic growth: some international
evidence on Structuralist and Distortionist positions: note. Journal of
Money, Credit and Banking. 18(2):227–232.
Kannan R, Joshi H. 1998. Growth-inflation trade-off: empirical estimation of
threshold rate of inflation for India. Economic and Political Weekly. 33
(42/43):2724-2728.
Khan MS, Senhadji AS. 2001. Threshold effects in the relationship between
inflation and growth. IMF Staff Papers. 48(1):1–21.
Kormendi RC, Meguire PG. 1985. Macroeconomic determinants of growth:
crosscountry evidence. Journal of Monetary Economics. 16(2):141–163.
Kremer S, Nautz D, Bick A. 2012. Inflation and growth: new evidence from a
dynamic panel threshold analysis. Empirical Economics. 44(2):861–878.
Lee CC, Wong SY. 2005. Inflationary threshold effects in the relationship
between financial development and economic growth: evidence from
Taiwan and Japan. Journal of Economic Development. 30(1):49-69.
Li M. 2006. Inflation and economic growth: threshold effects and transmission
mechanisms. Working Paper No 0176, University of Alberta, Canada.
Liwan A, Lau E. 2007. Managing growth: the role of export, inflation and
investment in three ASEAN neighboring countries. MPRA Paper No 3952,
Ludwig Maximilian University of Munich, Germain.
Lucas RE. 1973. Some international evidence on output-inflation tradeoffs. The
American Economic Review. 63(3):326–334.
Mallik G, Chowdhury A. 2001. Inflation and economic growth: evidence from
four south asian countries. Asia-Pacific Development Journal. 8(1):123–
135.
Mohanty D, Chakraborty AB, Das A, John J. 2011. Inflation threshold in India: an
empirical investigation. RBI Working Paper Series No 18. Reserve Bank of
India
Morrar D. 2011. Inflation threshold and nonlinearity: implications for inflation
targeting in south africa [thesis]. Grahamstown (ZA): Rhodes University.
Mubarik YA. 2005. Inflation and growth: an estimate of the threshold level of
inflation in Pakistan. SBP-Research Bulletin. 1(1):35-44.
Mundell RA. 1963. Inflation and real interest. Journal of Political Economy.
71(3):280-283.
45

Munir Q, Mansur K. 2009. Non-linearity between inflation rate and GDP growth
in Malaysia. Economic Bulletin. 29(3):1555-1569.
Nasir I, Saima N. 2010. Investment, inflation and economic growth nexus. MPRA
Paper No. 27163, Ludwig Maximilian University of Munich, Germain.
Nell KS. 2000. Is inflation and precondition for faster growth? The case of South
Africa. Studies in Economics No 0011, University of Kent, UK.
Rousseau PL, Yilmazkuday H. 2009. Inflation, financial development and growth:
A trilateral analysis. Economic Systems. 33(4):1-15.
Sadikin FI. 2010. Identifikasi faktor-faktor yang memengaruhi inflasi sebelum
dan sesudah krisis moneter 1997: suatu pendekatan var [tesis]. Jakarta (ID):
Universitas Indonesia.
Sarel M. 1996. Nonlinear effects of inflation on economic growth. IMF Staff
Papers. 43(1):199–215.
Sepehri A, Moshiri S. 2004. Inflation-growth profiles across countries: evidence
from developing and developed countries. International Review of Applied
Economics. 18(2):191–207.
Sidrauski M. 1967. Inflation and economic growth. Journal of Political Economy.
75(6):796-810.
Smyth DJ. 1992. Inflation and the growth rate in the united states’ natural output.
Applied Economics. 24(6):567–570.
Stockman AC. 1981. Anticipated inflation and the capital stock in a cash in-
advance economy. Journal of Monetary Economics. 8(3):387-393.
Subekti A. 2011. Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi [tesis]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Sulistyowati N. 2011. Dampak investasi sumberdaya manusia terhadap
perekonomian dan kesejahteraan masyarakat di Jawa Tengah [tesis]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Tambunan TH. 2003. Perekonomian Indonesia: Beberapa Masalah Penting.
Jakarta (ID): Erlangga.
Tobin J. 1965. Money and economic growth. Econometrica. 33(4):671–684.
Todaro MP, Smith SC. 2006. Pembangunan Ekonomi. Jilid I Edisi Kesembilan.
Haris Munandar (penerjemah). Jakarta (ID): Erlangga.
________________________. 2006. Pembangunan Ekonomi. Jilid II Edisi
Kesembilan. Andri Yelvi (penerjemah). Jakarta (ID): Erlangga.
Wai UT. 1959. The relationship between inflation and economic development: a
statistical inductive study. IMF Staff Papers. 7(2):302-17.
Woo WT, Glassburner B, Nasution A. 1994. Macroeconomic policies, crises, and
long-term growth in Indonesia 1965–90. Washington DC (US): World
Bank.
Yeh CC. 2012. The inflation-growth nexus across countries under simultaneous
equations model. Academic Research International. 2(2):18-32.

Elektronik
Bank Indonesia. Sejarah Moneter Periode 1959-1966. [http://bi.go.id]. [diunduh
2013 Apr 18].
Bank Indonesia. 2002. Laporan Tahunan 2001. [http://bi.go.id]. [diunduh 2013
Sept 4].
46

http://bi.go.id
http://bps.go.id
http://worldbank.org
47

LAMPIRAN
Lampiran 1 Data yang digunakan dalam penelitian

Tahun GDPGR INF INVGR LFGR TOTGR M2GR

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)


1970 8.15 8.94 32.59 1.61 33.09 39.57
1971 7.00 2.62 21.77 1.58 4.19 42.68
1972 7.88 25.81 19.03 3.48 15.97 44.32
1973 9.78 27.17 17.05 3.36 4.02 49.47
1974 8.26 33.41 19.21 3.25 28.94 47.27
1975 6.18 19.76 14.58 3.15 –21.57 37.25
1976 5.99 14.08 6.00 3.05 –0.21 31.20
1977 8.64 11.85 15.95 2.88 13.57 19.50
1978 9.21 6.69 15.04 2.80 –10.17 21.62
1979 7.09 21.77 24.79 2.73 16.54 36.97
1980 8.72 15.97 24.37 2.65 24.80 49.00
1981 8.15 7.09 12.40 2.58 –28.52 26.34
1982 1.10 9.69 5.65 2.52 –13.00 14.07
1983 8.45 11.46 4.30 2.46 –10.10 32.16
1984 7.17 8.76 –4.75 2.40 22.57 22.64
1985 3.48 4.31 6.80 7.09 –6.33 29.06
1986 5.96 8.83 8.87 9.98 –12.38 19.48
1987 5.30 8.90 5.48 2.92 12.34 22.79
1988 6.36 5.47 24.69 3.25 5.50 24.32
1989 9.08 5.97 12.31 2.00 0.64 38.17
1990 9.00 9.53 10.88 2.25 –5.93 44.56
1991 8.93 9.52 9.57 0.84 0.29 17.53
1992 7.22 4.94 10.25 2.87 4.41 19.62
1993 7.25 9.77 –0.22 0.92 0.73 20.06
1994 7.54 9.24 16.68 5.32 –7.15 20.20
1995 8.40 8.64 13.06 0.68 –8.94 27.52
1996 7.64 6.47 4.94 4.34 2.62 27.08
1997 4.70 11.05 6.31 1.35 1.38 25.25
1998 –13.13 77.63 –39.04 1.54 23.77 62.76
1999 0.79 2.01 –23.24 2.28 5.64 12.23
2000 4.92 9.35 17.47 0.85 3.91 16.62
2001 3.64 12.55 8.56 3.31 –5.68 12.12
2002 4.50 10.03 –4.46 1.99 –2.39 4.76
2003 4.78 5.06 10.84 –0.46 6.35 8.41
2004 5.03 6.40 6.90 3.65 –11.20 8.43
48

Lampiran 1 Data yang digunakan dalam penelitian (lanjutan)

Tahun GDPGR INF INVGR LFGR TOTGR M2GR

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)


2005 5.69 17.11 12.38 1.76 –2.65 16.34
2006 5.50 6.60 1.34 0.55 6.38 14.94
2007 6.35 6.59 1.93 3.34 –4.30 19.33
2008 6.01 11.06 12.44 1.82 –10.57 14.92
2009 4.63 2.78 2.43 1.68 9.14 12.95
2010 6.22 6.96 11.10 2.37 –5.15 15.40
2011 6.49 3.79 10.56 0.72 –1.54 16.43
2012 6.23 4.30 13.30 0.58 –6.18 14.86
Sumber:
GDPGR : BPS RI
INF : BPS RI
INVGR : Bank Dunia
LFGR : BPS RI, interpolasi
TOTGR : dihitung dari rasio nilai ekspor terhadap impor, Bank Dunia
dan BPS RI
M2GR : Bank Indonesia

Metode interpolasi data angkatan kerja dengan Microsoft Excell 2007


Tentukan nilai start dan end dari data angkatan kerja. Nilai start dan end adalah
sel data terkecil dan sel data terbesar pada Microsoft Excell 2007.
1. Karena yang tersedia adalah data tahun 1961, 1971, 1976 serta mulai 1984
hingga 2012, maka data pada tahun-tahun tersebut dijadikan benchmark. Misal
untuk mengisi data antara tahun 1961 dan 1971, maka nilai start dan end
masing-masing adalah data tahun 1961 dan data tahun 1971, begitu seterusnya
2. Tentukan penambahan/langkah data, dengan rumus:
penambahan = (end–start)/(Row(end)–Row(start))
3. Dapatkan angka interpolasi mulai dari data yang berfungsi sebagai start hingga
data sebelum end, dengan penambahan/langkah seperti yang diperoleh pada
langkah 2
4. Ulangi langkah 2 dan 3 untuk mengisi seluruh data yang kosong
49

Lampiran 2 Hasil uji unit root

Null Hypothesis: GDPGR has a unit root


Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic - based on AIC, maxlag=9)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.429960 0.0010


Test critical values: 1% level -3.596616
5% level -2.933158
10% level -2.604867

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation


Dependent Variable: D(GDPGR)
Method: Least Squares
Date: 08/25/13 Time: 23:06
Sample (adjusted): 1971 2012
Included observations: 42 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

GDPGR(-1) -0.654160 0.147667 -4.429960 0.0001


C 3.911175 1.040131 3.760271 0.0005

R-squared 0.329135 Mean dependent var -0.045714


Adjusted R-squared 0.312364 S.D. dependent var 4.165240
S.E. of regression 3.453977 Akaike info criterion 5.363378
Sum squared resid 477.1982 Schwarz criterion 5.446124
Log likelihood -110.6309 Hannan-Quinn criter. 5.393707
F-statistic 19.62455 Durbin-Watson stat 1.968945
Prob(F-statistic) 0.000071

Null Hypothesis: GDPGR has a unit root


Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic - based on AIC, maxlag=9)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.646428 0.0030


Test critical values: 1% level -4.192337
5% level -3.520787
10% level -3.191277

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.


50

Lampiran 2 Hasil uji unit root (lanjutan)


Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Dependent Variable: D(GDPGR)
Method: Least Squares
Date: 08/25/13 Time: 23:08
Sample (adjusted): 1971 2012
Included observations: 42 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

GDPGR(-1) -0.717000 0.154312 -4.646428 0.0000


C 5.567688 1.645549 3.383484 0.0016
@TREND(1970) -0.059368 0.045949 -1.292037 0.2039

R-squared 0.356672 Mean dependent var -0.045714


Adjusted R-squared 0.323681 S.D. dependent var 4.165240
S.E. of regression 3.425435 Akaike info criterion 5.369083
Sum squared resid 457.6106 Schwarz criterion 5.493203
Log likelihood -109.7507 Hannan-Quinn criter. 5.414578
F-statistic 10.81115 Durbin-Watson stat 1.934693
Prob(F-statistic) 0.000184

Null Hypothesis: INF has a unit root


Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic - based on AIC, maxlag=9)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.997956 0.0000


Test critical values: 1% level -3.596616
5% level -2.933158
10% level -2.604867

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation


Dependent Variable: D(INF)
Method: Least Squares
Date: 08/25/13 Time: 23:10
Sample (adjusted): 1971 2012
Included observations: 42 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

INF(-1) -0.950989 0.158552 -5.997956 0.0000


C 11.33831 2.718190 4.171270 0.0002

R-squared 0.473514 Mean dependent var -0.110476


Adjusted R-squared 0.460352 S.D. dependent var 17.07269
S.E. of regression 12.54172 Akaike info criterion 7.942447
Sum squared resid 6291.792 Schwarz criterion 8.025193
Log likelihood -164.7914 Hannan-Quinn criter. 7.972776
F-statistic 35.97548 Durbin-Watson stat 1.986737
Prob(F-statistic) 0.000000
51

Lampiran 2 Hasil uji unit root (lanjutan)


Null Hypothesis: INF has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic - based on AIC, maxlag=9)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -6.196036 0.0000


Test critical values: 1% level -4.192337
5% level -3.520787
10% level -3.191277

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation


Dependent Variable: D(INF)
Method: Least Squares
Date: 08/25/13 Time: 23:11
Sample (adjusted): 1971 2012
Included observations: 42 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

INF(-1) -0.988873 0.159598 -6.196036 0.0000


C 16.39560 4.655308 3.521915 0.0011
@TREND(1970) -0.214010 0.160713 -1.331630 0.1907

R-squared 0.496411 Mean dependent var -0.110476


Adjusted R-squared 0.470586 S.D. dependent var 17.07269
S.E. of regression 12.42223 Akaike info criterion 7.945601
Sum squared resid 6018.160 Schwarz criterion 8.069721
Log likelihood -163.8576 Hannan-Quinn criter. 7.991096
F-statistic 19.22208 Durbin-Watson stat 2.001015
Prob(F-statistic) 0.000002

Null Hypothesis: INVGR has a unit root


Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic - based on AIC, maxlag=9)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.383747 0.0011


Test critical values: 1% level -3.596616
5% level -2.933158
10% level -2.604867

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.


52

Lampiran 2 Hasil uji unit root (lanjutan)


Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Dependent Variable: D(INVGR)
Method: Least Squares
Date: 08/25/13 Time: 23:12
Sample (adjusted): 1971 2012
Included observations: 42 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

INVGR(-1) -0.599340 0.136719 -4.383747 0.0001


C 4.977400 2.072185 2.402006 0.0210

R-squared 0.324521 Mean dependent var -0.542381


Adjusted R-squared 0.307634 S.D. dependent var 12.81802
S.E. of regression 10.66569 Akaike info criterion 7.618389
Sum squared resid 4550.277 Schwarz criterion 7.701135
Log likelihood -157.9862 Hannan-Quinn criter. 7.648719
F-statistic 19.21724 Durbin-Watson stat 1.952402
Prob(F-statistic) 0.000082

Null Hypothesis: INVGR has a unit root


Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic - based on AIC, maxlag=9)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.602214 0.0034


Test critical values: 1% level -4.192337
5% level -3.520787
10% level -3.191277

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation


Dependent Variable: D(INVGR)
Method: Least Squares
Date: 08/25/13 Time: 23:14
Sample (adjusted): 1971 2012
Included observations: 42 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

INVGR(-1) -0.686550 0.149178 -4.602214 0.0000


C 10.18455 4.287467 2.375422 0.0225
@TREND(1970) -0.204835 0.148152 -1.382607 0.1747

R-squared 0.356083 Mean dependent var -0.542381


Adjusted R-squared 0.323062 S.D. dependent var 12.81802
S.E. of regression 10.54619 Akaike info criterion 7.618156
Sum squared resid 4337.665 Schwarz criterion 7.742275
Log likelihood -156.9813 Hannan-Quinn criter. 7.663651
F-statistic 10.78340 Durbin-Watson stat 1.892470
Prob(F-statistic) 0.000187
53

Lampiran 2 Hasil uji unit root (lanjutan)


Null Hypothesis: LFGR has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic - based on AIC, maxlag=9)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.155700 0.0001


Test critical values: 1% level -3.596616
5% level -2.933158
10% level -2.604867

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation


Dependent Variable: D(LFGR)
Method: Least Squares
Date: 08/25/13 Time: 23:17
Sample (adjusted): 1971 2012
Included observations: 42 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

LFGR(-1) -0.810399 0.157185 -5.155700 0.0000


C 2.092353 0.493800 4.237249 0.0001

R-squared 0.399230 Mean dependent var -0.024524


Adjusted R-squared 0.384211 S.D. dependent var 2.265557
S.E. of regression 1.777833 Akaike info criterion 4.035115
Sum squared resid 126.4276 Schwarz criterion 4.117861
Log likelihood -82.73742 Hannan-Quinn criter. 4.065445
F-statistic 26.58125 Durbin-Watson stat 2.034841
Prob(F-statistic) 0.000007

Null Hypothesis: LFGR has a unit root


Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic - based on AIC, maxlag=9)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.673467 0.0002


Test critical values: 1% level -4.192337
5% level -3.520787
10% level -3.191277

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.


54

Lampiran 2 Hasil uji unit root (lanjutan)

Augmented Dickey-Fuller Test Equation


Dependent Variable: D(LFGR)
Method: Least Squares
Date: 08/25/13 Time: 23:18
Sample (adjusted): 1971 2012
Included observations: 42 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

LFGR(-1) -0.893941 0.157565 -5.673467 0.0000


C 3.273819 0.765046 4.279243 0.0001
@TREND(1970) -0.044802 0.022687 -1.974770 0.0554

R-squared 0.453842 Mean dependent var -0.024524


Adjusted R-squared 0.425834 S.D. dependent var 2.265557
S.E. of regression 1.716697 Akaike info criterion 3.987431
Sum squared resid 114.9349 Schwarz criterion 4.111550
Log likelihood -80.73604 Hannan-Quinn criter. 4.032925
F-statistic 16.20396 Durbin-Watson stat 2.042708
Prob(F-statistic) 0.000008

Null Hypothesis: TOTGR has a unit root


Exogenous: Constant
Lag Length: 1 (Automatic - based on AIC, maxlag=9)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.537657 0.0000


Test critical values: 1% level -3.600987
5% level -2.935001
10% level -2.605836

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation


Dependent Variable: D(TOTGR)
Method: Least Squares
Date: 08/25/13 Time: 23:19
Sample (adjusted): 1972 2012
Included observations: 41 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

TOTGR(-1) -1.284509 0.231959 -5.537657 0.0000


D(TOTGR(-1)) 0.125685 0.149003 0.843508 0.4042
C 1.291881 1.962814 0.658178 0.5144

R-squared 0.577474 Mean dependent var -0.252927


Adjusted R-squared 0.555236 S.D. dependent var 18.52283
S.E. of regression 12.35300 Akaike info criterion 7.936030
Sum squared resid 5798.668 Schwarz criterion 8.061413
Log likelihood -159.6886 Hannan-Quinn criter. 7.981688
F-statistic 25.96765 Durbin-Watson stat 1.979139
Prob(F-statistic) 0.000000
55

Lampiran 2 Hasil uji unit root (lanjutan)


Null Hypothesis: TOTGR has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 1 (Automatic - based on AIC, maxlag=9)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.784965 0.0001


Test critical values: 1% level -4.198503
5% level -3.523623
10% level -3.192902

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation


Dependent Variable: D(TOTGR)
Method: Least Squares
Date: 08/25/13 Time: 23:20
Sample (adjusted): 1972 2012
Included observations: 41 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

TOTGR(-1) -1.379689 0.238496 -5.784965 0.0000


D(TOTGR(-1)) 0.179646 0.151861 1.182960 0.2444
C 6.697772 4.267652 1.569428 0.1251
@TREND(1970) -0.238805 0.167987 -1.421569 0.1635

R-squared 0.599356 Mean dependent var -0.252927


Adjusted R-squared 0.566872 S.D. dependent var 18.52283
S.E. of regression 12.19034 Akaike info criterion 7.931632
Sum squared resid 5498.359 Schwarz criterion 8.098810
Log likelihood -158.5985 Hannan-Quinn criter. 7.992509
F-statistic 18.45046 Durbin-Watson stat 2.001140
Prob(F-statistic) 0.000000

Null Hypothesis: M2GR has a unit root


Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic - based on AIC, maxlag=9)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -3.666152 0.0083


Test critical values: 1% level -3.596616
5% level -2.933158
10% level -2.604867

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.


56

Lampiran 2 Hasil uji unit root (lanjutan)

Augmented Dickey-Fuller Test Equation


Dependent Variable: D(M2GR)
Method: Least Squares
Date: 08/25/13 Time: 23:21
Sample (adjusted): 1971 2012
Included observations: 42 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

M2GR(-1) -0.497261 0.135636 -3.666152 0.0007


C 12.26159 3.931868 3.118516 0.0034

R-squared 0.251506 Mean dependent var -0.588333


Adjusted R-squared 0.232794 S.D. dependent var 13.18263
S.E. of regression 11.54670 Akaike info criterion 7.777125
Sum squared resid 5333.054 Schwarz criterion 7.859871
Log likelihood -161.3196 Hannan-Quinn criter. 7.807455
F-statistic 13.44067 Durbin-Watson stat 2.154212
Prob(F-statistic) 0.000716

Null Hypothesis: M2GR has a unit root


Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic - based on AIC, maxlag=9)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.124674 0.0008


Test critical values: 1% level -4.192337
5% level -3.520787
10% level -3.191277

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation


Dependent Variable: D(M2GR)
Method: Least Squares
Date: 08/25/13 Time: 23:21
Sample (adjusted): 1971 2012
Included observations: 42 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

M2GR(-1) -0.806153 0.157308 -5.124674 0.0000


C 31.74961 7.155373 4.437170 0.0001
@TREND(1970) -0.535153 0.170481 -3.139085 0.0032

R-squared 0.402478 Mean dependent var -0.588333


Adjusted R-squared 0.371836 S.D. dependent var 13.18263
S.E. of regression 10.44813 Akaike info criterion 7.599472
Sum squared resid 4257.373 Schwarz criterion 7.723591
Log likelihood -156.5889 Hannan-Quinn criter. 7.644967
F-statistic 13.13478 Durbin-Watson stat 1.965984
Prob(F-statistic) 0.000044
57

Lampiran 3 Output model linear pertumbuhan ekonomi

Hasil Estimasi
Variabel Dependen: GDPGR
Standar
Variabel Koefisien t-statistik Probabilitas
error
(1) (2) (3) (4) (5)
C 4.83462 0.82202 5.88141 0.00000
INF –0.16598 0.04204 –3.94810 0.00034
INVGR 0.15612 0.03233 4.82931 0.00002
LFGR –0.03628 0.18548 –0.19561 0.84599
TOTGR –0.00896 0.02813 –0.31854 0.75187
M2GR 0.07202 0.03692 1.95057 0.05871
R-squared 0.716444 Mean dependent var 6.053023
Adjusted R-squared 0.678125 S.D. dependent var 3.609303
S.E. of regression 2.047703 Akaike info criterion 4.400102
Sum squared resid 155.1442 Schwarz criterion 4.645851
Log likelihood –88.60219 Hannan-Quinn criter. 4.490726
F-statistic 18.69709 Durbin-Watson stat 1.692793
Prob(F-statistic) 0.00000

Uji normalitas dengan metode Jarque-Bera

Matriks korelasi antarvariabel independen


INF INVGR LFGR TOTGR M2GR
INF 1 0.2620 -0.3991 -0.0210 0.3973
INVGR 0.2620 1 0.1523 0.1203 -0.0170
LFGR -0.3991 0.1523 1 0.0693 0.0149
TOTGR -0.0210 0.1203 0.0693 1 -0.1894
M2GR 0.3973 -0.0170 0.0149 -0.1894 1
58

Lampiran 3 Output model linear pertumbuhan ekonomi (lanjutan)

Nilai Obs*R-squared dan Prob. Chi-Square(5) dari pengujian


Breusch-Pagan-Godfrey test
Heteroskedasticity Test: Breusch-Pagan-Godfrey

F-statistic 0.9488 Prob. F(5,37) 0.4614


Obs*R-squared 4.8867 Prob. Chi-Square(5) 0.4299

Nilai Obs*R-squared dan Prob. Chi-Square(5) dari pengujian


Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test.
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test

F-statistic 0.8434 Prob. F(5,37) 0.4388


Obs*R-squared 1.9771 Prob. Chi-Square(5) 0.3721
59

Lampiran 4 Output model threshold Khan dan Senhadji (2001)

Hasil estimasi
Variabel Dependen: GDPGR
Variabel Koefisien Standar error t-statistik Probabilitas
(1) (2) (3) (4) (5)
C 4.490997 0.808691 5.553417 0.000003
INF > 7.11 –0.240609 0.043670 –5.509714 0.000003
INF ≤ 7.11 0.568529 0.225823 2.517587 0.016407
INVGR 0.111299 0.031773 3.502953 0.001249
LFGR –0.090165 0.165589 –0.544512 0.589446
TOTGR 0.007551 0.025486 0.296292 0.768710
M2GR 0.097920 0.033729 2.903099 0.006273
R-squared 0.782133 Mean dependent var 6.053023
Adjusted R-squared 0.745822 S.D. dependent var 3.609303
S.E. of regression 1.81967 Akaike info criterion 4.183088
Sum squared resid 119.2032 Schwarz criterion 4.469795
Log likelihood -82.93639 Hannan-Quinn criter. 4.288817
F-statistic 21.53971 Durbin-Watson stat 1.560146
Prob(F-statistic) 0.00000

Uji normalitas dengan metode Jarque-Bera

Matriks korelasi antarvariabel independen


INF >7.11 INF ≤ 7.11 INVGR LFGR TOTGR M2GR
INF >7.11 1 0.2620 0.1523 0.1203 -0.0170 0.2016
INF ≤7.11 0.2620 1 -0.3991 -0.0210 0.3973 0.6494
INVGR 0.1523 -0.3991 1 0.0693 0.0149 0.1046
LFGR 0.1203 -0.0210 0.0693 1 -0.1894 0.0940
TOTGR -0.0170 0.3973 0.0149 -0.1894 1 0.4194
M2GR 0.2016 0.6494 0.1046 0.0940 0.4194 1
60

Lampiran 4 Output model threshold Khan dan Senhadji (2001) (lanjutan)

Nilai Obs*R-squared dan Prob. Chi-Square(6) dari pengujian


Breusch-Pagan-Godfrey test
Heteroskedasticity Test: Breusch-Pagan-Godfrey

F-statistic 1.1188 Prob. F(6,36) 0.371


Obs*R-squared 6.7581 Prob. Chi-Square(6) 0.3488

Nilai Obs*R-squared dan Prob. Chi-Square(2) dari pengujian


Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test.
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test

F-statistic 0.6723 Prob. F(2,34) 0.5172


Obs*R-squared 1.6358 Prob. Chi-Square(2) 0.4414
61

Lampiran 5 Output model threshold Hansen (1997, 2000)

Hasil estimasi
Variabel Dependen: GDPGR
Inflasi ≤ 9.53% Inflasi > 9.53%
Variabel
Koefisien Probabilitas Koefisien Probabilitas
(1) (2) (3) (4) (5)
C 2.66479 0.03584 5.22091 0.00241
(1.21445) (1.57979)
INF 0.34130 0.03674 –0.24811 0.00167
(0.15635) (0.07207)
INVGR 0.04925 0.21328 0.15433 0.01857
(0.03876) (0.06211)
LFGR –0.24284 0.15568 0.10077 0.89254
(0.16688) (0.73985)
TOTGR –0.04488 0.15125 0.03268 0.43702
(0.03050) (0.04151)
M2GR 0.08028 0.05078 0.11094 0.04292
(0.03950) (0.05255)
R-squared 0.838038 Mean dependent var 6.053023
Adjusted R-squared 0.780567 S.D. dependent var 3.609303
S.E. of regression 1.690729 Akaike info criterion 4.119123
Sum squared resid 88.61546 Schwarz criterion 4.610621
Log likelihood -76.56114 Hannan-Quinn criter. 4.300372
F-statistic 59.296 Durbin-Watson stat 1.679561
Prob(F-statistic) 0.00000
Keterangan: angka dalam kurung merupakan nilai standar error

Uji normalitas dengan metode Jarque-Bera


62

Lampiran 5 Output model threshold Hansen (1997, 2000) (lanjutan)

Matriks korelasi antarvariabel independen


INF1 INVGR1 LFGR1 TOTGR1 M2GR1 INF2 INVGR2 LFGR2 TOTGR2 M2GR2

INF1 1 0.58 0.60 0.04 0.77 -0.61 -0.38 -0.82 -0.15 -0.73

INVGR1 0.58 1 0.27 0.04 0.67 -0.36 -0.23 -0.49 -0.09 -0.44

LFGR1 0.60 0.27 1 -0.22 0.57 -0.42 -0.26 -0.57 -0.11 -0.51

TOTGR1 0.04 0.04 -0.22 1 0.13 -0.02 -0.01 -0.03 -0.01 -0.03

M2GR1 0.77 0.67 0.57 0.13 1 -0.58 -0.37 -0.79 -0.15 -0.71

INF2 -0.61 -0.36 -0.42 -0.02 -0.58 1 -0.09 0.63 0.51 0.85

INVGR2 -0.38 -0.23 -0.26 -0.01 -0.37 -0.09 1 0.58 0.08 0.32

LFGR2 -0.82 -0.49 -0.57 -0.03 -0.79 0.63 0.58 1 0.21 0.83

TOTGR21 -0.15 -0.09 -0.11 -0.01 -0.15 0.51 0.08 0.21 1 0.45

M2GR2 -0.73 -0.44 -0.51 -0.03 -0.71 0.85 0.32 0.83 0.45 1

Nilai Obs*R-squared dan Prob. Chi-Square(11) dari pengujian


Breusch-Pagan-Godfrey test
Heteroskedasticity Test: Breusch-Pagan-Godfrey

F-statistic 0.4029 Prob. F(11,31) 0.944


Obs*R-squared 5.3780 Prob. Chi-Square(11) 0.9115

Nilai Obs*R-squared dan Prob. Chi-Square(2) dari pengujian


Breusch-Godfrey Serial Correlation LM test
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test

F-statistic 0.5480 Prob. F(2,29) 0.584


Obs*R-squared 1.5658 Prob. Chi-Square(2) 0.4571
63

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Trenggalek (Jawa Timur) pada tanggal 9 April 1982
dari pasangan Widaryadi dan Nunik Sulistyani serta merupakan anak pertama dari
empat bersaudara. Penulis menikah dengan Ulfatul Umami.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasar hingga jenjang SMA di
Trenggalek, pada tahun 2002 penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi
Ilmu Statistik Jakarta Jurusan Statistik Ekonomi hingga 2006. Sejak Maret 2007,
penulis bekerja di BPS Kabupaten Kotabaru Provinsi Kalimantan Selatan dan
bertugas sebagai Staf Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik. Pada tahun
2011 penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor melalui Program S2 kerjasama antara BPS dan IPB di
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, setelah
sebelumnya menyelesaikan program alih jenis Ilmu Ekonomi dan memperoleh
gelar Sarjana Ekonomi di tahun dan tempat yang sama.

Anda mungkin juga menyukai