BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Allah Swt. menciptakan manusia hanya untuk beribadah kepada-Nya. Dalam rangka ibadah kepada
Allah Swt., manusia telah diberi petunjuk oleh-Nya. Petunjuk Allah Swt. tersebut dinamakan Ad-Din
(Agama). Agama adalah satu kata yang sangat mudah diucapkan dan mudah juga untuk menjelaskan
maksudnya (khususnya bagi orang awam), tetapi sangat sulit memberikan batasan (definisi) yang tepat
Kata agama berasal dari bahasa Sanskrit, yaitu A berarti “tidak”, dan Gama berarti “pergi”. Jadi, tidak
pergi, tetap di tempat, diwarisi turun temurun, karena agama memang mempunyai sifat demikian. Ada
yang mengatakan bahwa agama berarti teks atau kitab suci. Ada juga yang mengatakan Gam berarti
tuntunan, karena agama memang memberi tuntunan. Sedangkan kata Ad-Din dalam bahasa Samit
berarti undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab, kata ini mengandung arti menguasai,
menundukkan, patuh, utang, balasan, dan kebiasaan. Agama memang membawa peraturan yang
mengandung hukum yang harus dipatuhi. Agama memang menguasai diri seseorang dan membuat ia
tunduk serta patuh kepada Tuhan dengan menjalankan ajaran-ajaran agama (Usman, 2001: 11).
Menurut Nasr dalam Hariyanto (2003: 4), menyatakan bahwa manusia sangat membutuhkan agama,
tanpa agama ia belum menjadi manusia utuh. Setelah manusia dipisahkan dari agama, ia menjadi
gelisah, tak tenang dan mulai membuat atau menciptakan agama-agama semu. Selanjutnya Quraisy
Syihab mengatakan, Islam telah menegaskan bahwa agama (tauhid) merupakan kebutuhan yang
sifatnya alamiah (fitrah) dalam diri manusia (Hariyanto, 2003: 5).
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah Swt; (tetaplah atas) fitrah Allah Swt.
yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah Swt. (Itulah)
agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Ar-Rum: 30) (Depag RI, 2005:
574).
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah Swt. hanyalah Islam…” (QS. Ali-Imran: 19) (Depag RI,
2005: 65).
Islam adalah nama yang diberikan Allah Swt. kepada agama yang disampaikan-Nya kepada Nabi
Muhammad Saw. Perkataan agama berarti menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah Swt., mematuhi
perintah-Nya, dan menghentikan larangan-Nya. Agama yang diakui Allah Swt. ialah Islam, dengan
pengertian agama yang mengandung ajaran patuh kepada Allah Swt., beribadah dan memuja Allah
Swt. semata-mata. Dengan menyerahkan diri kepada Allah Swt., mematuhi perintah-Nya, manusia
akan selamat di dunia dan akhirat, jasmani dan rohani, pribadi dan masyarakat (Fachruddin, 1992:
94). Menurut Razak dalam Hariyanto (2003: 6), bahwa Islam adalah agama samawi (agama langit) yang
terakhir dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. yang diyakini akan membawa kebahagiaan dan
Dalam konsep Ad-Din Al-Islam, sebagaimana terdapat dalam Al Qur’an dan dalam penjelasan Rasul-
Nya, ia mengatur hubungan, baik hubungan vertikal (hubungan manusia dengan Tuhan-Nya), maupun
hubungan horisontal (hubungan antara manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam sekitar)
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa Allah Swt. menciptakan manusia hanya untuk
beribdah kepada-Nya. Sebagaimana Firmannya dalam Al Qur’an surat Ad-Dzariyat: 56.
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (QS.
Ad-Dzariyat: 56) (Depag RI, 2005: 756).
Secara filosofis, ibadah dalam Islam tidak semata-mata bertujuan untuk menyembah Allah Swt. Sebab,
disembah atau tidak disembah, Allah Swt. tetaplah Allah Swt. Esensi ketuhanan Allah Swt. tidak pernah
berkurang sedikit pun apabila manusia dan seluruh makhluk di jagat raya ini tidak menyembah-Nya.
Ibadah merupakan upaya mendekatkan diri kepada Allah Swt. Allah Swt. adalah eksistensi Yang
Mahasuci yang tidak dapat didekati kecuali oleh yang suci. Diakui oleh para ulama dan para peneliti
atau pakar, bahwa salah satu ibadah yang sangat penting dalam Islam adalah shalat. Shalat memiliki
kedudukan istimewa baik dilihat dari cara memperoleh perintahnya yang dilakukan secara langsung,
kedudukan shalat itu sendiri dalam agama maupun dampak atau fadilahnya.
Kedudukan shalat dalam agama Islam sebagai ibadah yang menempati posisi penting yang tidak dapat
digantikan oleh ibadah apa pun juga, shalat merupakan tiang agama yang tidak akan dapat tegak
kecuali dengan shalat. Shalat adalah ibadah yang pertama kali diwajibkan oleh Allah Swt. kepada
hamba-Nya, perintah kewajibannya disampaikan langsung oleh Allah Swt. melalui dialog dengan
Rasul-Nya pada malam Mi’raj. Shalat juga merupakan amalan yang mula-mula akan dihisab (Ar-
Djalaludin Ancok dalam Hariyanto (2003: xix) menjelaskan, bahwa shalat adalah suatu kegiatan fisik
dan mental-spiritual yang memberikan makna baik bagi hubungan dengan Allah Swt., hubungan
dengan sesama manusia, dan hubungan dengan diri sendiri. Dengan demikian, menurut Al-Mahfani
(2008: 30), shalat merupakan suatu ibadah (ibadah yang paling utama), dalam proses penghambaan
dan pendekatan diri kepada Allah Swt.. Shalat yang dikerjakan dengan ikhlas sepenuh hati karena
dinamai shalat maktubah; dan yang kedua, shalat yang tidak difardlukan, dinamai shalat sunah (As-
Syiddieqy, 2001: 287). Shalat sunah ialah shalat yang dianjurkan kepada orang mukallaf untuk
mengerjakannya sebagai tambahan bagi shalat fardlu, tetapi tidak diharuskan. Ia disyariatkan untuk
menambal kekurangan yang mungkin terjadi pada shalat-shalat fardlu disamping karena shalat itu
Shalat sunah tersebut terbagi menjadi dua bagian, yaitu: pertama: shalat-shalat sunah yang tidak
disunatkan berjamaah, seperti shalat sunah Rawatib, shalat sunah witir (kecuali pada bulan
Ramadhan), shalat sunah Dhuha, shalat sunah tahiyyat al-masjid, shalat tasbih, shalat istikharah,
sunah Hajat, sunah Taubah, sunah Tahajjud, dan shalat sunah Mutlak. Dan kedua: shalat sunah yang
disunatkan berjamaah, seperti shalat sunah ‘Id al-fitri, shalat sunah ‘Id al-Adha, shalat sunah Kusuf
(gerhana matahari), shalat sunah Khusuf (gerhana bulan), shalat sunah Istisqa’, dan shalat sunah
Shalat Dhuha merupakan salah satu di antara shalat-shalat sunah yang sangat dianjurkan oleh
Rasulullah Saw. Banyak penjelasan para ulama, bahkan keterangan Rasulullah Saw. yang menyebutkan
berbagai keutamaan dan keistimewaan shalat Dhuha bagi mereka yang melaksanakannya (Alim, 2008:
63). Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa manusia tidak hanya terdiri dari dimensi lahiriyah fisik dan
psikis saja, melainkan juga dimensi batin spiritual. Memenuhi kebutuhan fisik dan psikis saja serta
ketidakseimbangan dalam diri kita, karena cara seperti itu tidak dapat memenuhi kebutuhan kita
secara keseluruhan. Oleh karena itu, salah satu keutamaan shalat Dhuha adalah untuk memenuhi
Secara garis besar, ajaran agama Islam mengandung tiga hal pokok, yaitu aspek keyakinan (aqidah),
aspek ritual atau norma (syari’ah), dan aspek perilaku (akhlak). Aspek keyakinan yaitu suatu ikatan
seseorang dengan Tuhan yang diyakininya. Aqidah Islam adalah tauhid, yang meyakini ke-Esaan Allah
Swt. baik Dzat maupun sifatnya. Aspek syari’ah yaitu aturan atau hukum yang mengatur hubungan
manusia dengan Allah Swt., manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alam. Sedangkan
aspek akhlak yaitu aspek perilaku yang tampak pada diri seseorang dalam hubungan dengan dirinya,
Keberimanan seseorang seluruhnya diukur oleh hal-hal yang bersifat akhlaqi, termasuk shalat, sebab
seseorang yang melakukan shalat dengan makna yang sebenarnya, akan efektif untuk merealisasikan
tanha ‘anil fakhsya’i wal munkar, di mana dengannya akan tercipta masyarakat yang damai, aman dan
harmonis. Indikasi bahwa akhlak dapat dipelajari dengan metode pembiasaan, meskipun pada awalnya
anak didik menolak atau terpaksa melakukan suatu perbuatan atau akhlak yang baik, tetapi setelah
lama dipraktekkan, secara terus-menerus dibiasakan akhirnya anak mendapatkan akhlak mulia.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa shalat itu dibagi menjadi dua macam, yaitu: shalat fardlu
dan shalat sunah. Shalat sunah tersebut dibagi lagi menjadi menjadi beberapa macam. Dalam
penelitian ini, peneliti lebih mengkhususkan pada shalat sunah Dhuha. Sedangkan lokasi penelitian ini
dilakukan di MI Miftahul Huda Mlokorejo, karena dalam tiga tahun terakhir ini lembaga tersebut telah
menerapkan pembiasaan shalat Dhuha kepada siswanya secara rutin, tiga kali dalam seminggu.
Hasil observasi sementara yang dilakukan oleh peneliti di MI Miftahul Huda Mlokorejo adalah sebagai
berikut, di mana siswa MI Miftahul Huda sebelum diterapkannya pembiasaan shalat Dhuha, mereka
kurang produktif dalam memanfaatkan waktu, di saat istirahat mereka hanya dengan bermain-main
saja. Setelah para guru dan pengurus yayasan mengadakan musyawarah, disepakati bahwa shalat
Dhuha harus diterapkan bagi siswa minimal tiga kali dalam seminggu. MI Miftahul Huda Mlokorejo,
mulai diterapkannya shalat Dhuha pada tahun 2006 hingga sekarang telah banyak memberikan
pengaruh dan pembinaan akhlak bagi siswa dan juga respon dari orang tua siswa.
Dari latar belakang tersebut di atas, maka peneliti ingin mencermati dan mengkaji secara lebih
mendalam dan ilmiah, akan Pembiasaan shalat Dhuha dalam pembinaan akhlak siswa (Studi kasus di
MI Miftahul Huda Mlokorejo kecamatan Puger kabupaten Jember).
Alasan pemilihan judul penelitian ilmiah, merupakan hal yang harus ada agar peneliti dapat
memperkuat konsisten diri dalam mengangkat judul, adapun alasan-alasan memilih judul tersebut
adalah :
1. Alasan Obyektif
a. Pembiasaan merupakan salah satu metode yang digunakan dalam pendidikan untuk mencapai
tujuan pendidikan
b. Shalat adalah salah satu amal ibadah yang paling utama dan yang akan pertama kali di hisab
c. Shalat Dhuha merupakan shalat sunah yang dianjurkan Rasulullah Saw. (muakad), dan memiliki
d. Akhlak adalah sebagai cerminan dari jiwa dan iman seseorang. Jika jiwanya baik maka akhlaknya
juga baik, begitu juga sebaliknya, jika jiwanya buruk, maka akhlaknya akan buruk pula.
e. Peneliti ingin mengkaji tentang pembiasaan shalat Dhuha dalam pembinaan akhlak siswa
2. Alasan Subyektif
a. Judul tersebut menarik untuk dikaji dan diteliti, serta masih dalam ruang lingkup disiplin ilmu yang
b. Shalat Dhuha itu sering kali tidak di kerjakan, karena waktunya bersamaan dengan aktifitas dan
c. Banyak orang yang tidak memahami tentang keutamaan-keutamaan shalat Dhuha. Oleh karena itu,
peneliti akan memaparkan berbagai keutamaan shalat Dhuha.
C. FOKUS PENELITIAN
1. Fokus Penelitian
Bagaimana pembiasaan shalat Dhuha dalam pembinaan akhlak siswa (Studi kasus di MI Miftahul Huda
a. Bagaimana program pembiasaan shalat Dhuha dalam pembinaan akhlak siswa di MI Miftahul Huda
Mlokorejo
b. Bagaimana pelaksanaan pembiasaan shalat Dhuha dalam pembinaan akhlak siswa di MI Miftahul
Huda Mlokorejo
c. Bagaimana dampak pembiasaan shalat Dhuha terhadap pembinaan akhlak siswa di MI Miftahul Huda
Mlokorejo
D. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan suatu penelitian adalah upaya untuk memecahkan masalah. Arikunto (2002: 55) menambah,
tujuan penelitian adalah rumusan kalimat yang menunjukan adanya sesuatu hal yang diperoleh setelah
penelitian selesai.
1. Tujuan Umum
Untuk mengkaji pembiasaan shalat Dhuha dalam pembinaan akhlak siswa (Studi kasus di MI Miftahul
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mendeskripsikan program pembiasaan shalat Dhuha dalam pembinaan akhlak siswa di MI
b. Untuk mendeskripsikan pelaksanaan pembiasaan shalat Dhuha dalam pembinaan akhlak siswa di MI
c. Untuk mendeskripsikan dampak pembiasaan shalat Dhuha terhadap pembinaan akhlak siswa di MI
Miftahul Huda Mlokorejo
E. MANFAAT PENELITIAN
1. Bagi peneliti, penelitian ini menjadi tolok ukur seberapa dalam pengetahuan dan wawasan terkait
dengan pembiasaan shalat Dhuha dalam pembinaan akhlak siswa dan juga sebagai sarana latihan
2. Bagi MI Miftahul Huda Mlokorejo, selaku subyek penelitian, hasil penelitian ini dapat digunakan
untuk mengetahui dan meningkatkan pembiasaan shalat Dhuha dalam pembinaan akhlak siswa
3. Bagi STAIN Jember, penelitian diharapkan agar dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
perkembangan keilmuan khususnya pada Jurusan Tarbiyah
F. DEFINISI OPERASIONAL
Dalam definisi operasional kita dapat mengetahui keberhasilan atau kegagalan suatu konsep. Hal ini,
disebabkan defini operasional merupakan petunjuk tentang pengukuran variabel. Adapun definisi
1. Pembiasaan berasal dari kata dasar “biasa” yang berarti sebagai sedia kala, sebagai yang sudah-
sudah, tidak menyalahi adat, atau tidak aneh. (Poerwadarminta, 2007: 153). Dengan adanya prefiks
“pe” dan suffiks “an” menunjukkan arti proses. Sehingga pembiasaan dapat diartikan dengan proses
membuat sesuatu atau seseorang menjadi biasa atau terbiasa.
2. Shalat Dhuha adalah shalat sunah yang dikerjakan pada pagi hari, dimulai ketika matahari mulai
naik sepenggalah atau setelah terbit matahari (sekitar jam 07.00) sampai sebelum masuk waktu
Dzuhur ketika matahari belum naik pada posisi tengah-tengah (Al Mahfani, 2008: 11).
3. Akhlak adalah perbuatan manusia yang berasal dari dorongan jiwanya karena kebiasaan, tanpa
memerlukan pikiran terlebih dahulu. Maka gerakan refleks, denyut jantung, dan kedipan mata tidak
dapat disebut akhlak (Mustofa, 2005).
G. SISTEMATIKA PEMBAHASAN
Dalam sistematika pembahasan ini akan dijelaskan kerangka pemikiran yang digunakan dalam
menyusun skripsi ini, yang mana pembahasannya dibagi menjadi dua, yaitu pembahasan secara
teoritis berdasarkan literatur yang ada, serta pembahasan analisis yang berdasarkan data-data yang
diperoleh dilapangan, untuk mempermudah dan memperjelas proses penyusunan skripsi ini. Adapun
Pada Bab satu akan dijelaskan mengenai latar belakang, alasan pemilihan judul, fokus penelitian,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional, dan sistematika pembahasan. Fungsi dari
bab satu ini adalah untuk memperoleh gambaran umum dari skripsi ini.
Pada Bab dua akan dijelaskan mengenai; kajian konseptual, yaitu tentang pembiasaan, shalat Dhuha,
dan akhlak; penelitian terdahulu, yaitu mencantumkan berbagai hasil penelitian terdahulu yang terkait
dengan penelitian ini; dan kajian teoritik, antara lain kajian tentang shalat Dhuha dan kajian tentang
akhlak. Fungsi dari bab dua ini adalah untuk mengetahui hasil-hasil dari penelitian yang pernah ada
dalam bidang yang sama, serta membicarakan teori yang terkait dengan topik penelitian ini.
Pada Bab tiga akan dijelaskan mengenai metode penelitian, meliputi: pendekatan dan jenis penelitian,
lokasi penelitian, sumber dan jenis penelitian, teknik pengumpulan data, analisa data, keabsahan data,
dan tahap-tahap penelitian. Fungsi bab tiga ini adalah untuk acuan atau pedoman dalam penelitian
ini, berupa langkah-langkah yang harus diikuti untuk menjawab pertanyaan dalam perumusan
masalah.
Pada Bab empat akan dijelaskan mengenai gambaran obyek penelitian, penyajian dan analisis data,
serta diskusi dan interpretasi. Fungsi bab empat ini adalah pemaparan data yang diperoleh dilapangan
dan juga untuk menarik kesimpulan dalam rangka menjawab masalah yang telah dirumuskan.
Pada Bab lima akan dipaparkan mengenai kesimpulan dan saran-saran. Fungsi dari bab lima ini adalah
sebagai rangkuman dari semua pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, sekaligus
penyampaian saran-saran bagi pihak yang terkait.
BAB II
KAJIAN KEPUSTAKAAN
A. KAJIAN KONSEPTUAL
untuk mencapai suatu maksud (Poerwadarminta, 2007: 767). Secara bahasa metode berasal dari dua
kata yaitu meta dan hodos. Meta berarti “melalui.” dan hodos berarti “jalan atau cara”. Bila ditambah
logi sehingga menjadi metodologi berarti “ilmu pengetahuan tentang jalan atau cara yang harus dilalui
untuk mencapai tujuan”. Oleh karena kata logi yang berasal dari kata Yunani logos berarti “akal” atau
“ilmu”.
Sedangkan secara istilah, Edgar Bruce Wesley mendefinisikan metode dalam bidang pendidikan
sebagai rentetan kegiatan terarah bagi guru yang menyebabkan timbulnya proses belajar pada siswa.
Disisi lain Imam Barnadib mengartikan metode sebagai suatu sarana untuk menemukan, menguji dan
Dengan demikian, secara umum metode adalah cara untuk mencapai sebuah tujuan dengan jalan yang
sudah ditentukan, dalam metode pendidikan dapat diartikan sebagai cara untuk mencapai tujuan
Sedangkan kata pembiasaan berasal dari kata dasar “biasa” yang berarti sebagai sedia kala, sebagai
yang sudah-sudah, tidak menyalahi adat, atau tidak aneh. Kata “membiasakan” berarti melazimkan,
mengadatkan, atau menjadikan adat. Dan kata “kebiasaan” berarti sesuatu yang telah biasa dilakukan,
atau adat (Poerwadarminta, 2007: 153). Jadi, kata pembiasaan berasal dari kata dasar “biasa” yang
memperoleh imbuhan prefiks “pe” dan sufiks “an”, yang berarti proses membiasakan, yang pada
Berakhlak mulia merupakan bagian dari tujuan pendidikan di Indonesia. Dalam mendidik akhlak perlu
sebuah sistem atau metode yang tepat agar proses internalisasi dapat berjalan dengan baik, lebih
penting adalah anak mampu menerima konsep akhlak dengan baik serta mampu mewujudkan dalam
kehidupan keseharian. Abdurrahman an-Nahlawi mengatakan, metode pendidikan Islam sangat efektif
dalam membina akhlak anak didik, bahkan tidak sekedar itu metode pendidikan Islam memberikan
motivasi sehingga memungkinkan umat Islam mampu menerima petunjuk Allah Swt.
(www.riwayat.wordpress.com).
Al-Ghazali mengatakan, bahwa anak adalah amanah orang tuanya. Hatinya yang bersih adalah
permata berharga dan murni, yang kosong dari setiap tulisan dan gambar. Hati itu siap menerima
setiap tulisan dan cenderung pada setiap yang ia inginkan. Oleh karena itu, jika dibiasakan
mengerjakan yang baik, lalu tumbuh di atas kebaikan itu maka bahagialah ia di dunia dan akhirat,
Pembiasaan mempunyai peranan yang sangat besar dalam kehidupan manusia, karena dengan
kebiasaan, seseorang mampu melakukan hal-hal penting dan berguna tanpa menggunakan energi dan
waktu yang banyak. Dari sini dijumpai bahwa dalam Al Qur’an menggunakan pembiasaan yang dalam
prosesnya akan menjadi kebiasaan sebagai salah satu cara yang menunjang tercapainya target yang
diinginkan dalam penyajian materi-materinya. Quraisy Syihab (1994: 198) mengakatan, bahwa
pembiasaan tersebut menyangkut segi-segi pasif maupun aktif. Namun, perlu diperhatikan bahwa
yang dilakukan menyangkut pembiasaan dari segi pasif hanyalah dalam hal-hal yang berhubungan
erat dengan kondisi ekonomi-sosial, bukan menyangkut kondisi kejiwaan yang berhubungan erat
dengan kaidah atau Etika. Sedangkan dalam hal yang bersifat aktif atau menuntut pelaksanaan,
Al Qur’an menjadikan kebiasaan itu sebagai salah satu teknik atau metode pendidikan. Lalu ia
mengubah seluruh sifat-sifat baik menjadi kebiasaan, sehingga jiwa dapat menunaikan kebiasaan itu
tanpa terlalu payah, tanpa kehilangan banyak tenaga dan tanpa menemukan banyak kesulitan.
Menurut Zayadi (2005: 64), bahwa proses pembiasaan harus dimulai dan ditanamkan kepada anak
sejak dini. Potensi ruh keimanan manusia yang diberikan oleh Allah Swt. harus senantiasa dipupuk dan
dipelihara dengan memberikan pelatihan-pelatihan dalam ibadah. Jika pembiasaan sudah ditanamkan,
maka anak tidak akan merasa berat lagi untuk beribadah, bahkan ibadah akan menjadi bingkai amal
dan sumber kenikmatan dalam hidupnya karena mereka bisa berkomunikasi langsung dengan Allah
Lebih lanjut Muchtar (2005: 18) menyarankan, agar anak dapat melaksanakan shalat secara benar dan
rutin maka mereka perlu dibiasakan shalat sejak masih kecil, dari waktu ke waktu. Dalam hadits
Rasulullah Saw. memerintahkan kepada orang tua agar menyuruh anaknya untuk melakukan shalat
mulai umur tujuh tahun dan memukulnya (tanpa cedera atau bekas) ketika mereka berumur sepuluh
tahun atau lebih, apabila mereka tidak mengerjakannya (Djatnika, 1985: 49). Rasulullah Saw.
bersabda:
“Perintahkanlah anak-anakmu shalat apabila sampai umur tujuh tahun, dan pukullah (apabila
membangkang) apabila anak-anakmu berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah antara mereka tempat
tidurnya” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Hakim).
Menurut Hasan dalam Haryanto (2003: 59), shalat menurut bahasa Arab berarti berdo’a. Ditambahkan
oleh Ash-Shiddieqy (2001: 39), kata shalat dalam pengertian bahasa Arab ialah do’a memohon
Secara hakekat, shalat mengandung pengertian berharap hati (jiwa) kepada Allah Swt. dan
mendatangkan takut kepada-Nya, serta menumbuhkan di dalam jiwa rasa keagungan, kebesaran-Nya
dan kesempurnaan kekuasaan-Nya (Haryanto, 2003: 59). Menurut Ar-Rahbawi (2001: 169), Shalat
adalah ibadah yang terdiri dari perkataan dan perbuatan tertentu, yang dimulai dengan takbir dan
diakhiri dengan membaca salam. Lebih lanjut secara dimensi fikih, shalat adalah beberapa ucapan dan
beberapa perbuatan (gerakan tubuh) yang dimulai dengan takbir, disudahi dengan salam, yang
dengannya kita beribadat kepada Allah Swt., menurut syarat-syarat yang ditentukan (Ash-Shiddieqy,
2001: 39).
Allah Swt. berfirman:
“…Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan
mungkar….” (QS. Al-Ankabut: 45) (Depag RI, 2005: 566).
Sedangkan dhuha adalah nama waktu, yakni waktu selepas waktu Shubuh dan sebelum waktu Dzuhur
(www.bungasurgawi.co.cc). Istilah dhuha dapat ditemukan pada beberapa tempat dalam Al Qur’an,
kurang lebih pada tujuh tempat. Di satu tempat; (QS. Thoha: 59), (QS. Al-‘Araf: 98), dan (QS. An-
Nazi’at: 46), kata dhuha diartikan sebagai “pagi hari” atau sebagai “panas sinar matahari”. Di tempat
lainnya; (QS. Thaha: 119), istilah dhuha juga bisa mencakup kedua makna itu sehingga diartikan “sinar
matahari di pagi hari” (QS. As-Syam: 1). Pada tempat lain; (QS. An-Nadzi’yat: 29), kata dhuha diartikan
sebagai siang yang terang. Namun, makna dhuha ini barangkali tidak merujuk pada keadaan
terangnya siang di tengah hari yaitu dzuhur. Barangkali, dalam pengertian inilah kata dhuha diartikan
sebagai saat matahari naik sepenggalan (QS. Adh-Dhuha: 1). Oleh karena itu, kata dhuha dipahami
sebagian ulama, berdasarkan surat Adh-Dhuha dan Asy-Syam, sebagai cahaya matahari secara umum,
Jadi, dapat disimpulkan, bahwa shalat Dhuha adalah salat sunah yang dilakukan pada waktu dhuha,
yaitu ketika matahari mulai naik sepenggalah (agak miring) sampai menjelang masuk waktu Dzuhur,
dan waktu yang paling utama adalah ketika mulai panas atau hangat.
Ibnu Katsir menjelaskan, bahwa hakikat makna khuluq (ٌ ) ُخلُقadalah gambaran batin manusia yang
tetap (yaitu jiwa dan sifat-sifatnya), sedang khalqu ( ٌ ) خ َْلقmerupakan gambaran bentuk luarnya (raut
wajah, warna kulit, tinggi rendahnya tubuh dan lain sebagainya. Menurut Ibnu Maskawaih, akhlak
adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa
Selanjutnya, Imam Al-Ghazali mengemukakan, bahwa akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam
jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak memerlukan
pertimbangan pikiran (lebih dahulu). Sedangkan Ahmad Amin menjelaskan, bahwa akhlak adalah
Menurut Ibnu ‘Ilaan Ash-Shiddieqy, bahwa akhlak adalah suatu pembawaan dalam diri manusia yang
dapat menimbulkan perbuatan baik, dengan cara yang mudah (tanpa dorongan dari orang lain).
Sedangkan Abu Bakar Al-Jazairy mengatakan, bahwa akhlak adalah bentuk kejiwaan yang tertanam
dalam diri manusia, yang menimbulkan perbuatan baik dan buruk, terpuji dan tercela dengan cara
Dari beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan, bahwa akhlak adalah perbuatan manusia yang
berasal dari dorongan jiwanya karena kebiasaan, tanpa memerlukan pikiran terlebih dahulu. Maka
gerakan refleks, denyut jantung, dan kedipan mata tidak dapat disebut akhlak.
B. PENELITIAN TERDAHULU
Penelitian yang mempunyai relasi atau keterkaitan dengan penelitian ini antara lain seperti penelitian
skripsi yang ditulis oleh Hartono tahun 2004 dengan judul “Dampak Pelaksanaan Shalat Sunah Nafilah
Terhadap Akhlak Santri di Pondok Pesantren Al-Kautsar Kelurahan Gebang Kecamatan Patrang
Kabupaten Jember”. Hasil penelitia ini menjelaskan, bahwa pelaksanaan shalat sunah Nafilah (Tahajjud)
berdamapak positif terhadap akhlak santri, baik akhlak terhadap Allah Swt., akhlak terhadap sesama,
Adapun dampak shalat Nafilah terhadap akhlak santri kepada Allah Swt. sebagai berikut:
a. Tawakkal, bahwa santri pondok pesantren Al-Kautsar setelah melaksanakan shalat Nafilah mereka
merasa lebih tawakal kepada Allah Swt. dalam menyerahkan semua urusan kepada Allah Swt. dalam
b. Syukur, bahwa santri pondok pesantren Al-Kautsar setelah melaksanakan shalat Nafilah senantiasa
lebih banyak bersyukur dengan perasaan hati, bersyukur dengan mengucapkan kalimat syukur, atau
pun bersyukur dengan memperbanyak ibadah badaniyah terhadap nikmat Allah Swt. yang kemudian ia
c. Taubat, bahwa setelah santri pondok pesantren Al-Kautsar setelah melaksanakan shalat Nafilah
senantiasa bertaubat kepada Allah Swt., memohon ampunannya sesudah melakukan perbuatan
d. Ikhlas, bahwa santri pondok pesantren Al-Kautsar setelah melaksanakan shalat Nafilah semakin
kokoh imannya untuk selalu ikhlas dalam melaksanakan segala amal ibadah, baik ibadah mahdhah,
seperti shalat, puasa, zakat, dan haji; maupun ibadah ghairu mahdhah, seperti tolong menolong,
menyantuni fakir miskin dan anak yatim, serta berusaha menghindari riya’ yakni melakukan amal
ibadah karena ingin dilihat dan dipuji manusia, bukan karena Allah Swt. semata.
Sedangkan dampak shalat Nafilah terhadap akhlak santri kepada sesama manusia sebagai berikut:
a. Persamaan derajat, bahwa santri pondok pesantren Al-Kautsar setelah melaksanakan shalat Nafilah
lebih menyadari bahwa semua manusia itu adalah sama, tanpa ada perbedaan dihadapan Allah Swt.,
b. Bermasyarakat, bahwa santri pondok pesantren Al-Kautsar setelah melaksanakan shalat Nafilah
semakin merasa lapang dada untuk bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Mengingat bahwa
manusia selain makhluk individu juga merupakan makhluk sosial, seperti gotong royong dan
silaturrahmi. Kemudian setelah santri pondok pesantren Al-Kautsar melaksanakan shalat Nafilah
adalah adanya rasa timbulnya untuk senantiasa memelihara lingkungan agar tetap bersih dan sehat.
Penelitian lain, yaitu yang dilakukan oleh Yasifatul Khoiriyah dalam skripsinya yang berjudul “Aplikasi
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam dalam Membina Akhlakul Karimah Siswa di SDN Kalitapen 03
Kecamatan Tapen Kabupaten Bondowoso Tahun Pelajaran 2004/2005”. Hasil dari penelitian ini
sebagai berikut:
a. Aplikasi pembelajaran aqidah dalam membina akhlak karimah siswa di SDN Kalitapen 03 Kecamatan
Tapen Kabupaten Bondowoso Tahun Pelajaran 2004/2005, diwujudkan dengan sikap saling
menyayangi dan mengasihi serta memiliki sifat jujur, baik kepada orang tua, guru, dan teman.
b. Aplikasi pembelajaran syari’ah dalam membina akhlak karimah siswa di SDN Kalitapen 03
Kecamatan Tapen Kabupaten Bondowoso Tahun Pelajaran 2004/2005, dapat dilaksanakan dengan
praktek shalat jamaah, puasa Ramadhan, mengeluarkan zakat, dengan harapan agar menghasilkan
akhlak mulia
c. Aplikasi pembelajaran akhlak dalam membina akhlak karimah siswa di SDN Kalitapen 03 Kecamatan
Tapen Kabupaten Bondowoso Tahun Pelajaran 2004/2005, diwujudkan dengan mengendalikan nafsu,
menghindari sifat dusta, baik terhadap orang lain maupun dirinya sendiri, serta memiliki sifat amanah
dan toleransi sudah cukup baik karena sudah membentuk akhlakul karimah siswa, baik kepada Allah
Penelitian lain juga dilakukan oleh Aris Wibowo dalam skripsinya yang berjudul “Pengaruh Ibadah
Shalat terhadap Akhlak Siswa di Madrasah Ibtidaiyah Riyadus Sholihin Jember Tahun Pelajaran
2003/2004”. Dalam penelitian ini data yang diambil adalah 100 responden, yang terdiri dari siswa
kelas III sampai dengan kelas VI. Hasil analisis penelitian ini menunjukkan adanya hubungan positif
yang kuat dengan harga Q = 0,723. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh ibadah
shalat wajib terhadap akhlak siswa di Madrasah Ibtidaiyah Riyadus Sholihin Jember Tahun Pelajaran
2003/2004.
C. KAJIAN TEORITIK
Shalat Dhuha merupakan shalat sunah yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah Saw., sebab baliau
berpesan kepada para sahabatnya untuk mengerjakan shalat Dhuha sekaligus menjadikannya sebagai
wasiat. Wasiat yang diberikan kepada Rasulullah Saw. kepada satu orang berlaku untuk seluruh umat,
kecuali terdapat dalil yang menunjukkan kekhususan hukumnya bagi orang tersebut (Al Mahfani,
2008: 3).
Berkaitan dengan persoalan status hukum shalat Dhuha, Al Qur’an sendiri sebenarnya tidak
mengemukakan secara eksplisit perintah atau anjuran yang tegas atau jelas berkenaan dengan
pelaksanaan shalat tersebut. Ada beberapa kata dhuha yang bisa kita temukan dalam Al Qur’an, tetapi
kata-kata itu tampaknya tidak berkaitan dengan penetapan hukum shalat Dhuha. Oleh karena itu,
secara eksplisit kita tidak dapat menemukan dasar hukum yang tegas dan jelas dalam Al Qur’an
berkenaan dengan shalat Dhuha tersebut. Namun, hal itu tidak mengurangi arti penting dalam sahalat
Dhuha. Karena penjelasan yang tegas tentang anjuran pengamalan shalat Dhuha ini dapat kita
temukan dalam beberapa hadits. Berdasarkan hadits-hadits itulah kita dapat memberi pertimbangan
Secara umum, status hukum shalat Dhuha, berdasarkan banyak hadits yang berkaitan, adalah sunah
(Alim, 2008: 2-3). Beberapa hadits berikut dapat dijadikan sandaran status hukum shalat Dhuha.
Kesunahan shalat Dhuha berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Harairah, sebagai berikut:
“Kekasihku Rasulullah Saw. mewasiatkan kepadaku tiga hal, yaitu puasa tiga hari, dua rakaat shalat
Dhuha, dan shalat Witir sebelum tidur.” (HR. Bukhari Muslim)
Dalam hadits lain yang senada juga dikabarkan bagaimana Siti Aisyah meneladani ketekunan
Rasulullah Saw. dalam melakukan shalat Dhuha.
Aisyah berkata, “Setiap kali aku melihat Rasulullah Saw. melaksanakan shalat Dhuha, aku pun pasti
melaksanakannya.” (HR. Bukhari Muslim)
Hadits-hadits mengenai shalat Dhuha yang dikemukakan di atas tidak sekedar menunjukkan status
hukum shalat Dhuha sebagai amalan sunah, melainkan juga mengabarkan bagaimana para sahabat
menunjukkan kecintaan mereka terhadap amalan itu (Alim, 2008: 8). Shalat Dhuha itu adalah ibadah
yang disunahkan. Karena itu, barang siapa yang menginginkan pahalanya, sebaiknya mengerjakannya
dan kalau tidak, tidak ada halangan pula meninggalkannya (Sabiq, 1993: 67).
Status hukum shalat Dhuha memang hanya sebagai amalan sunah. Namun, hal itu hendaknya tidak
dimengerti bahwa ia hanya amalan sunah yang tidak wajib dilaksanakan, melainkan ia adalah amalan
shalat sunah yang kedudukannya mendekati kedudukan amalan shalat wajib (Alim, 2008: 8). Menurut
Imam Nawawi dalam Alim (2008: 44) bahwa, shalat Dhuha adalah sunah mu’akkad (sangat
dianjurkan). Dengan kata lain, shalat Dhuha adalah shalat sunah istimewa sehingga kita dianjurkan
untuk tidak melalaikannya sebagaimana kita diwajibkan untuk tidak melalaikan pelaksanaan shalat-
shalat wajib.
Menurut Quraisy Syihab dalam Alim (2008: 16), bahwa waktu dhuha adalah waktu ketika matahari
mulai merayap naik meninggalkan tempat terbitnya, hingga ia tampak membayang sampai menjelang
tengah hari. Selanjutnya Ar-Rahbawi (2001: 307) menjelaskan, bahwa waktu shalat Dhuha dimulai
sejak matahari sudah naik kira-kira sepenggalah sampai dengan tergelincir, tetapi yang lebih utama
“Shalat awwabiin (orang-orang yang kembali kepada Allah Swt. atau bertaubat) adalah ketika anak
unta mulai kepanasan.” (HR. Ahmad, Muslim, dan Turmidzi)
Shalat Dhuha tidak bisa dilakukan di saat matahari sedang terbit, karena pada saat itu kaum muslimin
dilarang melakukan shalat apa pun. Oleh karena itu, agar waktu pelaksanaan shalat Dhuha tidak
terlalu berdekatan dengan saat-saat yang dilarangnya pelaksanaan shalat, waktu yang paling utama
untuk melaksanakannya adalah ketika matahari terasa mulai panas atau ketika matahari cukup tinggi
“Janganlah kalian shalat pada saat matahari terbit karena sesungguhnya ia terbit di antara kedua
tanduk setan.” (HR. Ahmad).
Berikut ini keterangan dari Rasulullah Saw. yang juga bisa dijadikan dasar dalam penentuan waktu
pelaksanaan shalat Dhuha.
Ali bin Abu Thalib ra. Berkata, “Rasulullah Saw. shalat Dhuha pada saat (ketinggian) matahari di
sebelah timur sama dengan ketinggiannya pada waktu shalat Ashar di sebelah barat.” (HR. Ahmad)
Keterangan Ali bin Abu Thalib ini bisa menjadi salah satu penjelasan tentang tanda-tanda masuknya
waktu dhuha dan kapan shalat Dhuha itu bisa dimulai. Dalam hadits itu dikemukakan bahwa shalat
Dhuha dapat dilakukan ketika ketinggian matahari yang mulai terbit pada pagi hari di sebelah timur
sama dengan ketinggian matahari yang mulai terbenam pada sore hari di sebelah barat ketika masuk
Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa waktu shalat Dhuha dimulai ketika matahari mulai
naik sepenggalah atau setelah terbit matahari (sekitar jam 07.00) sampai sebelum masuk waktu
Dzuhur ketika matahari belum naik pada posisi tengah-tengah. Namun, lebih baik apabila dikerjakan
Tidak seperti shalat-shalat wajib yang telah ditentukan jumlah rakaatnya masing-masing, shalat
sunah Dhuha tidak memiliki yang tegas mengenai rakaat yang harus dilakukan. Selain itu, tidak ada
juga keterangan tentang berapa batasan maksimal jumlah rakaatnya. Namun demikian, berdasarkan
keterangan sejumlah riwayat hadits yang ada, shalat Dhuha dapat dilakukan minimal dua rakaat
hingga delapan rakaat atau dua belas rakaat (Alim, 2008: 37).
Menurut Ar-Rahbawi (2001: 307), batas minimum shalat ini adalah dua rakaat, sedang maksimumnya
delapan rakaat. Rasjid (2006: 147) menjelaskan bahwa, shalat Dhuha ialah shalat sunah dua rakaat
atau lebih, sebanyak-banyaknya dua belas rakaat. Sedangkan sebagian ulama berpendapat bahwa
tidak ada batas bilangan rakaat shalat Dhuha. Ini adalah pendapat Abu Ja’far Thabari, Hulaimi, dan
“Kekasihku Rasulullah Saw. mewasiatkan kepadaku tiga hal, yaitu puasa tiga hari, dua rakaat shalat
Dhuha, dan shalat Witir sebelum tidur.” (HR. Bukhari Muslim)
Terkadang Rasulullah Saw. melaksanakan shalat Dhuha sebanyak empat rakaat. Hal ini di dasarkan
pada hadits yang diriwayatkan dari Siti Aisyah di bawah ini.
“Rasulullah Saw. shalat Dhuha sebanyak empat rakaat dan menambah menurut kehendak Allah Swt.
(menurut kehendaknya).” (HR. Muslim dan Ahmad).
Sekalipun demikian, kita juga menemukan adanya riwayat hadits-hadits lain yang menunjukkan bahwa
Rasulullah Saw. melaksanakan shalat Dhuha sebanyak delapan rakaat. Berikut ini hadits dari Ummu
Hani’ binti Abu Tahalib.
“Bahwasannya Rasulullah Saw. pada yaumul fathi (penaklukan kota mekah) shalat sunah Dhuha
delapan rakaat dan mengucapkan salam pada setiap dua rakaat.” (HR. Abu Daud)
Hadits berikut ini juga tampak bahwa Rasulullah Saw. juga mengisyaratkan untuk melaksanakan shalat
Dhuha dua belas rakaat. Diriwayatkan dari Anas bin Malik Rasulullah Saw. bersabda:
“Barangsiapa shalat Dhuha dua belas rakaat maka Allah Swt. akan membangun untuknya istana dari
emas di surga.” (HR. Turmidzi dan Ibnu Majah)
Dari beberapa hadits di atas terdapat beberapa persepsi, namun Imam Nawawi dalam Alim (2008: 44)
menjelaskan, bahwa pada dasarnya hadits-hadits tersebut telah disepakati keshahihannya dan tidak
ada perselisihan di kalangan para muhaqqiq. Jadi, dapat disimpulkan bahwa semakin banyak jumlah
rakaat shalat Dhuha yang dikerjakan tentunya akan semakin baik. Namun demikian, hal yang lebih
penting lagi disini tampaknya bukan kuantitas jumlah rakaat shalat Dhuha, melainkan kualitas shalat
itu. Tidak kalah pentingnya adalah bahwa shalat Dhuha tersebut dilakukan secara konsisten (istiqomah
dan terus-menerus) walaupun hanya dengan dua rakaat dan tidak sekalipun melalaikannya.
Berkenaan dengan tatacara pelaksanaannya, shalat Dhuha dilakukan dua rakaat-dua rakaat dan
memberikan salam di setiap akhir dua rakaat tersebut. Jadi, ketika melaksanakan shalat Dhuha lebih
dari dua rakaat, kita tidak melaksanakannya sekaligus sebanyak empat, enam, atau delapan rakaat
dengan satu kali salam, melainkan tetap dua rakaat-dua rakaat dengan salam pada masing-masing
dua rakaat itu (Alim, 2008: 43). Shalat sunah Dhuha ini dilakukan seperti shalat-shalat lain, yang
berbeda hanya niatnya saja.
“Saya berniat mengerjakan shalat sunah Dhuha dua rakaat, karena Allah Ta’alaa. Allah Maha Besar”
Al Mahfani (2008: 14) mengatakan, bahwa tidak ada bacaan niat tertentu dalam shalat, seperti
“ushalli” atau “nawaitu”. Tidak ada pula satupun dalil baik dari Al Qur’an atau hadits yang menjelaskan
Sedangkan mengenai bacaan dalam shalat Dhuha, tidak ada keterangan dari Rasulullah Saw. mengenai
surat tertentu yang harus dibaca ketika shalat Dhuha. Kita dipersilahkan membaca surat apa pun
sesuai dengan kemampuan dan keinginan kita (Al Mahfani, 2008: 15). Namun, bacaan yang dianjurkan
Rasulullah Saw. adalah selepas membaca surat Al-Fatihah, ialah membaca surat Al-Syams pada rakaat
Setelah malaksanakan shalat Dhuha, dianjurkan untuk membaca do’a. Adapun salah satu do’a setelah
shalat Dhuha sebagai berikut:
“Ya Allah Swt., sesungguhnya waktu Dhuha adalah waktu Dhuha-Mu, keagungan adalah keagungan-
Mu, keindahan adalah keindahan-Mu, kekuatan adalah kekuatan-Mu, dan kekuasaan adalah
kekuasaan-Mu, penjagaan adalah penjagaan-Mu. Ya Allah Swt., jika rizkiku masih di atas langit maka
turunkanlah, jika ada di dalam bumi maka keluarkanlah, jika sukar maka mudahkanlah, jika haram
maka sucikanlah, jika jauh maka dekatkanlah, berkat waktu Dhuha-Mu, keagungan-Mu, keindahan-
Mu, kekuatan-Mu, dan kekuasaan-Mu. Limpahkanlah kepadaku karunia sebagaimana yang engkau
limpahkan kepada hamba-hamba-Mu yang shaleh”.
Do’a tersebut menunjukkan bahwa rezeki yang Allah Swt. anugerahkan untuk manusia bisa datang
dari segala arah dan penjuru. Rezeki tersedia di mana-mana. Setiap orang memiliki kesempatan yang
sama untuk meraih rezeki itu. Namun masalahnya, tidak setiap orang mengetahui letak rezekinya
Pemaknaan do’a seperti ini sama sekali tidak mengajarkan kita untuk bersifat pasif. Pada
kenyataannya, tidak ada seorang pun yang diam dan tidak berbuat sesuatu sama sekali. Setidaknya,
perenungan akan keadaan nasib diri sendiri pada hari ini bisa menjadi langkah atau upaya untuk
perbaikan di hari esok. Pemaknaan seperti ini mengajarkan agar kita selalu bersikap optimis dan terus
aktif mengerahkan segala daya upaya untuk bisa eksis sekalipun dengan segala keterbatasan
Mengerjakan salat Dhuha dan menekuninya adalah merupakan salah satu perbuatan agung, mulia, dan
utama. Oleh karena itulah, shalat sunah Dhuha sangat dianjurkan oleh Rasulullah Saw. (www.cahaya-
1) Shalat Dhuha memiliki nilai seperti nilai amalan sedekah yang diperlukan oleh 360 persendian
tubuh dan orang yang melaksanakannya akan memperoleh ganjaran pahala sebanyak jumlah
persendian itu. Rasulullah Saw. bersabda:
“Pada setiap tubuh manusia diciptakan 360 persendian dan seharusnya orang yang bersangkutan
(pemilik sendi) bersedekah untuk setiap sendinya. Lalu para sahabat bertanya: ‘Ya Rasulullah Saw.,
siapa yang sanggup melaksanakannya?’ Rasulullah Saw. manjawab: ‘Membersihkan kotoran yang ada
di masjid atau menyingkirkan sesuatu (yang dapat mencelakakan orang) dari jalan raya. Apabila ia
tidak mampu, shalat Dhuha dua rakaat dapat menggantikannya’.” (HR. Ahmad dan Abu Daud).
2) Shalat Dhuha seseorang di awal hari menjanjikan tercukupinya kebutuhan orang tersebut di akhir
hari. Dalam sebuah hadits qudsi, Rasulullah Saw. bersabda:
Na’im bin Hamran berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw. berkata: ‘Wahai anak Adam, janganlah
sekali-kali engkau malas melakukan shalat empat rakaat pada pagi hari (shalat Dhuha) karena akan
kucukupkan kebutuhan hingga sore hari’.” (HR. Abu Daud).
3) Shalat Dhuha bisa membuat orang yang melaksanakannya (atas izin Allah Swt.) meraih keuntungan
(ghanimah) dengan cepat. Dalam hal ini Rasulullah Saw. bersabda:
Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash berkata, “Rasulullah Saw. berkata, ‘Perolehlah keuntungan (ghanimah) dan
cepatlah kembali!’ Mereka akhirnya saling berbicara tentang dekatnya tujuan (tempat) perang dan
banyaknya ghanimah (keuntungan) yang akan mereka peroleh secara cepatnya kembali (dari
peperangan). Lalu berkata, ‘Maukah kalian aku tunjukkan kepada tujuan paling dekat dari mereka
(musuh yang akan diperangi), paling banyak ghanimah (keuntungan)nya dan cepat kembali?’ Mereka
menjawab. ‘Ya!”, Rasul berkata lagi, ‘Barang siapa yang berwudlu kemudian masuk ke dalam masjid
untuk shalat Dhuha, dialah yang paling dekat tujuannya (tempat perangnya), lebih banyak
ghanimahnya, dan lebih cepat kembalinya.” (HR. Ahmad).
4) Orang yang bersedia meluangkan waktunya untuk melaksanakan shalat Dhuha delapan sampai dua
belas rakaat akan diberi ganjaran oleh Allah Swt. berupa sebuah rumah indah yang terbuat dari emas
kelak di akhirat. Hal ini terungkap dari kterangan Rasulullah Saw. yang didengar oleh Anas bin Malik:
Anas bin Malik berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda, ‘Siapa saja yang shalat
Dhuha dua belas rakaat, Allah Swt. akan membuatkan untuknya sebuah istana yang terbuat dari emas
di surga’.” (HR. Ibnu Majah)
5) Orang yang melaksanakan shalat Dhuha mendapatkan pahala sebesar pahala haji dan umrah.
Rasulullah Saw. bersabda:
“Barangsiapa yang shalat Subuh berjamaah kemudian duduk berdzikir untuk Allah Swt. sampai
matahari terbit kemudian (dilanjutkan dengan) mengerjakan shalat Dhuha dua rakaat, maka baginya
seperti pahala haji dan umrah, sepenuhnya, sepenuhnya, sepenuhnya.” (HR. Tirmidzi)
6) Shalat Dhuha akan menggugurkan dosa-dosa orang yang senang melakukannya walaupun dosanya
itu sebanyak buih di lautan. Rasulullah Saw. bersabda:
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw. bersabda, “Barang siapa yang menjaga shalat Dhuha, maka dosa-
dosanya diampuni walaupun dosanya itu sebanyak buih dilautan.” (HR. Tirmidzi)
7) Keutamaan lain yang disediakan Allah Swt. bagi orang yang merutinkan shalat Dhuha adalah bahwa
akan dibuatkan pintu khusus di surga kelak, yaitu pintu yang dinamakan pintu Dhuha (bab al-dhuha).
Rasulullah Saw. bersabda:
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw. bersabda, “Di dalam surga terdapat pintu yang bernama bab al-
dhuha (pintu dhuha) dan pada hari kiamat nanti ada orang yang memanggil, ‘Di mana orang yang
senantiasa mengerjakan shalat Dhuha? Ini pintu kamu, masuklah dengan kasih saying (rahmat) Allah
Swt.’.” (HR. Tabrani)
Kemudian, lebih jauh Al Mahfani (2008: 221) menjelaskan, bahwa dalam shalat Dhuha juga memiliki
Dalam melakukan aktivitas bekerja kita seringkali mendapat tekanan dan terlibat persaingan usaha
yang sangat tinggi. Akhirnya, pikiran menjadi kalut, hati tidak tenang, dan emosi tidak stabil. Oleh
karena itu, pada saat-saat seperti itulah shalat Dhuha sangat berperan penting. Meskipun
dilaksanakan lima atau sepuluh menit, shalat Dhuha mampu menyegarkan pikiran, menenangkan hati,
kecerdasan fisikal, emosional spiritual, dan intelektual. Hal ini mengingat waktu pelaksanaannya pada
awal atau di tengah aktivitas manusia mencari kebahagiaan hidup duniawi dan keajaiban gerakan
Untuk kecerdasan fisikal, shalat Dhuha mampu meningkatkan kekebalan tubuh dan kebugaran fisik
karena dilakukan pada pagi hari ketika sinar matahari pagi masih baik untuk kesehatan. Untuk
kecerdasan emosional spiritual, dalam beraktivitas kita sering kali mengalami kegagalan, karena itu
kita sering mengeluh. Melaksanakan shalat Dhuha pada pagi hari sebelum beraktivitas dapat
menghindarkan diri dari berkeluh kesah. Selain itu, jika shalat Dhuha dilaksanakan secara rutin,
keuntungan yang didapat adalah mudahnya meraih prestasi akademik dan kesuksesan dalam hidup.
Otak yang mengalami keletihan karena berkurangnya asupan oksigen ke otak. Shalat Dhuha yang
dilakukan pada waktu istirahat (dari belajar atau bekerja) akan mengisi kembali asupan oksigen yang
ada di dalam otak. Otak membutuhkan asupan darah dan oksigen yang berguna untuk memacu kerja
sel-selnya.
Hal ini dapat dilihat dari tiga alasan, yaitu: pertama, shalat Dhuha dikerjakan ketika matahari mulai
menampakkan sinarnya. Sinar matahari pagi sangat baik untuk kesehatan. Pada waktu yang kondusif
ini merupakan waktu terbaik untuk ber-muwajjahah (menghadap) kepada Allah Swt.. Kedua, sebelum
shalat Dhuha, kita dijawibkan bersuci (mandi atau pun wudhu). Selain sebagai syarat sahnya shalat,
berwudhu bermanfaat bagi kesehatan jasmani dan rohani seseorang, sebab, wudhu menyimbolkan
agar kita selalu tetap bersih. Ketiga, Rangkaian gerakan shalat sarat akan hikmah dan manfaat bagi
kesehatan. Syaratnya, semua gerakan tersebut dilakukan dengan benar, tuma’ninah (perlahan dan
berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Kata tersebut mengandung segi-segi
persesuaian dengan perkataan khalqun ( ٌ ) خ َْلقyang berarti kejadian, yang juga erat hubungannya
dengan khaliq ( ٌ ) خَالِقyang berarti pencipta, demikian pula dengan makhluqun ( ٌ ) َم ْخلُ ْوقyang berarti
yang diciptakan. Perumusan pengertian ini akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan adanya
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa akhlak adalah perbuatan manusia yang berasal
dari dorongan jiwanya karena kebiasaan, tanpa memerlukan pikiran terlebih dahulu. Maka gerakan
refleks, denyut jantung, dan kedipan mata tidak dapat disebut akhlak.
Ada istilah lain yang lazim digunakan di samping kata akhlak ialah apa yang disebut Etika. Perkataan
ini berasal dari bahasa Yunani Ethos yang berarti “adat kebiasaan” (Mustofa, 2005: 14). Mashanah
(1986: 12) menjelaskan, bahwa kebiasaan (perbuatan) ini bukan menurut arti tata adat, melainkan tata
adab yaitu berdasarkan pada intisari atau sifat dasar manusia, baik dan buruk.
Dari pengertian di atas, Etika adalah ilmu yang menyelidiki, mana yang baik dan mana yang buruk
dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran.
Ada orang berpendapat bahwa Etika sama dengan akhlak. Persamaan itu memamg ada, karena
keduanya membahas masalah baik dan buruknya tingkah laku manusia. Tujuan Etika dalam
pandangan falsafah manusia ialah mendapatkan ideal yang sama bagi seluruh manusia di setiap waktu
dan tempat dan tentang ukuran laku yang baik dan buruk sejauh yang dapat diketahui oleh akal
pikiran manusia (Mustofa, 2005: 15). Menurut Masyhur (1994: 2), alat untuk mengukur baik dan buruk
dalam ilmu Etika ialah menggunakan penilaian akal pikiran manusia, sedangkan dalam ilmu akhlak
Perbedaan lain antara akhlak dan Etika yaitu, akhlak itu lebih menjurus pada praktek, sedangkan Etika
menjurus kepada teori (Mashanah, 1986: 12). Dan dilihat dari sumbernya, Etika bersumber dari filsafat
Yunani, sedangkan akhlak bersumber dari Al Qur’an dan Hadits (Muhyiddin, 2001: 8).
Selain kata akhlak dan Etika, ada satu lagi kata yang dipergunakan yaitu moral. Moral berasal dari
bahasa Latin Mos yang jamaknya Mores yang berarti “adat atau tata cara”. Moral dalam bahasa
Menurut Mashanah (1986: 13), moral adalah yang sesuai dengan ide-ide umum tentang tindakan
manusia mana yang lebih wajar. Namun pada dasarnya istilah moral (kesusilaan) dan akhlak adalah
sama pengertiannya sebagai suatu norma untuk menyatakan perbuatan manusia. Jadi, istilah ini bukan
suatu bidang ilmu, tetapi merupakan suatu perbuatan (praktek) manusia. Mashanah (1986: 14)
menjelaskan perbedaan antara Etika dengan moral sebagai berikut: Etika lebih banyak bersifat teori,
moral bersifat praktek; Etika membicarakan bagaimana seharusnya, moral bagaimana adanya; Etika
menyelidiki, memikirkan dan mempertimbangkan tentang yang baik dan yang buruk, moral
mengatakan ukuran baik tentang tindakan manusia dalam kesatuan sosial terbatas; Etika memandang
terhadap Tuhan dan sesama manusia, sedangkan moral hanya menitik beratkan perbuatan terhadap
sesama manusia saja. Maka istilah akhlak sifatnya teosentris (ketuhanan) dan moral bersifat
anthroposentris (kemanusiaan).
Dengan demikian, moral lebih dekat dengan akhlak, meski tidak sepenuhnya, ketimbang dengan Etika.
Meski demikian mesti dikatakan bahwa karakteristika akhlak adalah bersifat agamis, dan ini tidak ada
pada moral. Oleh karena itu akhlak lebih merupakan sebagai suatu paket atau barang jadi yang
bersifat normatif-mengikat, yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim,
tanpa mempertanyakan secara kritis, sehingga akhlak bisa disebut dengan moralitas islami. Studi
kritis terhadap moralitas itulah wilayah etika, sehingga moral tidak lain adalah obyek kajian daripada
etika. Dengan demikian kalau dibandingkan dengan penjelasan mengenai akhlak di atas, kiranya dapat
diketahui bahwa Etika lebih menunjuk pada ilmu akhlak, sedangkan moral lebih merupakan perbuatan
Memang harus diakui, bagaimana pun manusia itu pada umumnya tahu akan adanya baik dan buruk.
Bukan selalu ia mengetahui dalam tindakannya tertentu, bahwa ia menjalankan sesuatu yang baik atau
yang buruk. Manusia pada suatu ketika dan pada umumnya tahu adanya baik dan buruk. Menurut
Poedjawijatna (2003: 27), bahwa pengetahuan adanya baik dan buruk itu disebut kesadaran etis atau
kesadaran moral.
Dari pengertian di atas, dapat dimengerti bahwa akhlak adalah tabiat atau sifat seseorang, yakni
keadaan jiwa yang terlatih, sehingga dalam jiwa tersebut benar-benar telah melekat sifat-sifat yang
melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa dipikirkan dan diangan-angan
lagi. Maksud perbuatan yang dilahirkan dengan mudah dan tanpa dipikirkan lagi di sini bukan berarti
perbuatan tersebut dilakukan dengan tidak sengaja atau tidak dikehendaki. Jadi perbuatan yang
dilakukan itu benar-benar sudah merupakan azimah, yakni kemauan yang kuat tentang suatu
perbuatan, oleh karenanya jelas perbuatan itu memang sengaja dikehendaki adanya. Hanya saja
karena keadaan yang demikian itu dilakukan secara kontinyu, sehingga sudah menjadi adat atau
kebiasaan untuk melakukannya, dan karenanya timbullah perbuatan itu dengan mudah tanpa dipikir
b. Sumber Akhlak
Sebagai salah satu bentuk akhlak religius, akhalak islami berbeda sumbernya dengan Etika. Jika Etika
bersumberkan dari pemikiran akal yakni filsafat Yunani, maka akhlak islami, seperti halnya Etika
religius pada umumnya, yaitu bersumberkan pada wahyu yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah. Itulah
sebabnya Etika bersifat sekuler, sedangkan akhlak islami bersifat religius. Meskipun demikian, akhlak
islami sebagai etika religius menjadikan filsafat Yunani sebagai sarana pengembangannya, sehingga
tidak sedikit yang kemudian menyebutkan bahwa akhlak islami sebenarnya merupakan perpaduan
Persoalan akhlak di dalam Islam banyak dibicarakan dan dimuat pada Al Qur’an dan Hadits. Sumber
tersebut merupakan batasan-batasan dalam tindakan sehari-hari bagi manusia. Ada yang menjelaskan
arti baik dan buruk. Memberi informasi kepada umat, apa yang semestinya harus diperbuat dan
bagaimana harus bertindak. Sehingga dengan mudah dapat diketahui, apakah perbuatan itu terpuji
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa akhlak Islam adalah merupakan sistem moral atau akhlak
yang berdasarkan Islam, yakni bertitik tolok dari aqidah yang diwahyukan Allah Swt. pada Rasul-Nya
yang kemudian agar disampaikan kepada umatnya. Karena akhlak Islam merupakan sistem akhlak
yang berdasarkan kepercayaan kepada Allah Swt., maka tentunya sesuai pula dengan dasar daripada
agama itu sendiri. Dengan demikian, dasar atau sumber pokok daripada akhlak Islam adalah Al Qur’an
dan Hadits yang merupakan sumber utama dari agama Islam itu sendiri (Mustofa, 2005: 149).
“Dan Sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung (berkhlak mulia)”
(QS. Al Qalam: 4) (Depag RI, 2005: 826).
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah Saw. itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah Swt. dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut
Allah Swt.” (QS. Al Ahzab: 21).
“Sesungguhnya Aku diutus (sebagai Rasul) untuk menyempurnakan akhlak” (HR. Bukhari).
Dalam Islam, budi pekerti merupakan refleksi iman dari seseorang sebagai contoh (suri tauladan) yang
benar ialah Rasulullah Saw. Beliau memiliki akhlak yang sangat mulia, agung dan teguh, sehingga
tidak mustahil kalau Allah Swt. memilih beliau sebagai pemimpin umat manusia (Mustofa, 2005: 151).
Dengan demikian, dapatlah ditegaskan bahwa dasar atau sumber daripada akhlak Islam secara global
hanya ada dua, yaitu Al Qur’an dan Hadits. Kedua unsur dasar tersebut tidak dipisahkan, sebagaimana
c. Pembagian Akhlak
Secara struktural, akhlak dapat diartikan sebagai perilaku yang telah berkonotasi baik. Akan tetapi,
dalam realita sehari-hari terdapat akhlak yang baik (akhlaq al-karimah) dan buruk (akhlaq al-
mazmumah). Akhlak yang baik adalah perilaku yang sesuai dengan norma ajaran Islam, sedangkan
akhlak yang buruk adalah perilaku yang tidak sesuai dengan norma ajaran Islam (Sauri, 2004: 126).
Menurut Ulama’ Akhlak menyatakan, bahwa akhlak yang baik merupakan sifat para Nabi dan orang-
orang Shiddiq, sedangkan akhlak buruk merupakan sifat setan dan orang-orang yang tercela. Akhlak
baik (akhlaq mahmudah) yaitu perbuatan baik terhdap Allah Swt., sesama manusia, dan makhluk-
makhluk lain, seperti Dan akhlak buruk (akhlaq madzmumah) yaitu perbuatan buruk terhadap Allah
Swt., sesama manusia, dan makhluk-makhluk lain (Mahyuddin, 2001: 9).
Sedangkan, dilihat dari orientasinya, akhlak terbagi menjadi tiga, yakni akhlak kepada Allah Swt.,
akhlak terhadap sesama manusia dan akhlak terhadap alam atau lingkungan. Dalam pembahasan ini,
penulis membatasi hanya meninjau akhlak baik dan buruk terhadap Allah Swt., dan terhadap sesama
manusia saja.
Akhlak baik atau terpuji (akhlaqul mahmudah) terhadap Allah Swt. antara lain (Mahyuddin, 2001: 9-
15) :
Taubat yaitu suatu sikap yang menyesali perbuatan buruk yang pernah dilakukannya dan berusaha
Dalam Al Qur’an banyak menerangkan tentang masalah taubat, antara lain dalam surat An-Nisa’ ayat
17 dan 18 menerangkan bahwa taubat yang akan diterima oleh Allah Swt. adalah kesalahan yang telah
dilakukan dengan tidak direncana. Selanjunya, dalam surat An-Nahl ayat 119 menerangkan bahwa
kesalahan atau dosa yang dilakukan dengan tidak sengaja, lalu disadari perbuatan itu sebagai
tindakan yang mengandung dosa, dengan cara memperbaiki kembali sikap dan perilaku kita, maka
Allah Swt. pasti mengampuninya. Lalu, dalam surat At-Tahrim ayat 8 memerintahkan untuk
melakukan taubat nasuha, yang artinya taubat yang sebenarnya dengan cara berusaha semaksimal
mungkin, agar tidak akan melakukan perbuatan buruk, sebagaimana yang pernah dilakukannya.
Mahyuddin (2000: 42) menjelaskan, bahwa pendidikan taubat dalam Islam dimulai dari memberikan
keterangan sebagai ranah kognitif, lalu dihayati, dijiwai dan disikapi sebagai ranah afektif. Ini
merupakan suatu dasar motivasi yang kuat dalam diri manusia untuk mempraktekkan atau
Sabar yaitu suatu sikap yang betah atau dapat menahan diri pada kesulitan yang dihadapinya. Tetapi
tidak berarti bahwa sabar itu langsung menyerah tanpa upaya untuk melepaskan diri dari kesulitan
yang dihadapi oleh manusia. Maka sabar yang dimaksudkan adalah sikap yang diawali dengan ikhtiar,
lalu diakhiri dengan ridha dan ikhlas, bila seseorang dilanda suatu cobaan dari Allah Swt.
Dalam Al Qur’an banyak diterangkan masalah sabar, seperti dalam surat Ali Imran ayat 125 dan 200,
surat Hud ayat 11, 15, dan 17, serta surat Luqman ayat 17. Namun dari beberapa ayat Al Qur’an
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa: pertama, manusia tidak pernah terlepas dari cobaan yang
sering menimpa dirinya, kedua, Allah Swt. tidak menyia-nyiakan manusia yang telah bersabar, tetapi
Ia selalu memberinya kekuatan batin dan pahala serta pertolongan, ketiga, kesabaran merupakan
kewajiban moral bagi setiap manusia, dan tergolong pekerjaan yang berat dilakukan. Tetapi bila
seseorang berhasil melakukannya, maka Allah Swt. memberinya imbalan yang sangat besar nilainya,
dan keempat, kesabaran tidak tumbuh dan berkembang begitu saja dalam diri setiap manusia, oleh
karena itu harus dijadikan materi pendidikan bagi setiap manusia (Mahyuddin, 2000: 46).
Dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 153 dan 172, Allah Swt. memerintahkan agar hamba selalu
ingat pada-Nya, lalu mensyukurinya karena Dia-lah yang memberikan nikmatnya yang selalu
dikonsumsi oleh manusia. Dalam surat An-Nahl ayat 14, menerangkan bahwa nikmat itu bukan hanya
nikmat yang didapat didarat, tetapi di laut pun banyak nikmat yang disediakan oleh Allah Swt., dan
pada ayat 114 dikemukakan, bahwa orang-orang yang menyembah sesuatu selain Allah Swt., tidak
mendapatkan rizki dari Allah Swt. (Mahyuddin, 2000: 50).
d) Tawakkal (At-Tawakkal)
Tawakkal yaitu menyerahkan segala urusan kepada Allah Swt. setelah berbuat semaksimal mungkin,
untuk mendapatkan sesuatu yang diharapkannya. Oleh karena itu, syarat utama yang harus dipenuhi
bila seseorang ingin mendapatkan sesuatu yang diharapkannya, ia harus lebih dahulu berupaya sekuat
tenaga lalu menyerahkan ketenuannya kepada Allah Swt. Maka dengan cara demikian itu, manusia
e) Ikhlas (Al-Ikhlassh)
Ikhlas yaitu sikap mejauhkan diri dari riya’ (menunjuk-nunjukkan kepada orang lain) ketika
mengerjakan amal baik. Maka amalan seseorang dapat dikatakan jernih, bila dikerjakannya dengan
ikhlas. Muhammad Rasid Ridla dalam Mahyuddin (2000: 57) mengatakan, seseorang dapat mencapai
keridlaan Allah Swt. bila ia beribadah dengan dasar keikhlasan dan bekerja dengan dasar niat baik dan
kejujuran.
f) Raja’ (Ar-Rajaa’)
Raja’ yaitu sikap jiwa yang sedang menunggu (mengharapkan) sesuatu yang disenangi dari Allah Swt.,
setelah melakukan hal-hal yang menyebabkan terjadinya sesuatu yang diharapkannya. Oleh karena
itu, bila tidak mengerjakan penyebabnya, lalui menunggu sesuatu yang diharapkannya, maka hal itu
g) Takut (Al-Khauf)
Takut yaitu sikap jiwa yang sedang menunggu sesuatu yang disenangi dari Allah Swt., maka manusia
perlu berupaya agar apa yang ditakutkan itu tidak akan terjadi.
Sedangkan akhlak buruk atau tercela (akhlaqul mudzmumah) terhadap Allah Swt. antara lain
a) Takabbur (Al-Kibru)
Takabbur yaitu suatu sikap yang menyombongkan diri, sehingga tidak mau mengakui kekuasaan Allah
Swt. di alam ini, termasuk mengingkari nikmat Allah Swt. yang ada padanya.
b) Musyrik (Al-Isyraaq)
Musyrik yaitu suatu sikap yang mempersekutukan Allah Swt. dengan makhluk-Nya, dengan cara
d) Munafiq (An-Nifaaq)
Munafiq yaitu suatu sikap yang menampilkan dirinya bertentangan dengan kemauan hatinya dalam
kehidupan beragama
e) Riya’ (Ar-Riyaa’)
Riya’ yaitu suatu sikap yang menunjuk-nunjukkan perbuatan baik yang dilakukannya. Maka ia bukan
berbuat bukan karena Allah Swt., melainkan hanya ingin dipuji oleh sesama manusia. Perbuatan ini
Boros atau berfoya-foya yaitu suatu perbuatan yang selalu melampaui batas-batas ketentuan agama.
Allah Swt. melarang bersikap boros, karena hal itu dapat melakukan dosa terhadap-Nya, merusak
Rakus atau tamak yaitu suatu sikap yang tidak pernah merasa cukup, sehingga selalu ingin menambah
apa yang seharusnya ia miliki, tanpa memperhatikan hak-hak orang lain. Hal ini, termasuk kebalikan
Akhlak baik atau terpuji (akhlaqul mahmudah) terhadap sesama manusia antara lain (Mahyuddin,
2001: 20-26) :
Belas kasihan dan sayang yaitu sikap jiwa yang selalu ingin berbuat baik dan meyantuni orang lain.
Muhyudin (2000: 58) menjelaskan, bahwa penanaman rasa kasih sayang dalam setiap pribadi muslim
menjadi anjuran dalam Islam, lewat pendidikan dan pembiasaan. Rasa kasih sayang yang kuat dalam
diri manusia dapat menampilkan pribadi yang lemah lembut dalam pergaulannya. Orang yang
memiliki rasa kasih sayang dapat dinikmati oleh orang lain, baik dalam kehidupan sosial, kehidupan
Rasa persaudaraan yaitu sikap jiwa yang selalu ingin berhubungan baik dan bersatu dengan orang
lain, karena ada keterikatan batin dengannya. Dalam Al Qur’an surat Ali Imran ayat 103, menerangkan
bahwa permusuhan itu adalah awal kehancuran dan permulaan siksaan neraka. Maka secara logika,
persaudaraan merupakan awal ketentraman dan kebahagiaan serta permulaan kenikmatan surga.
Memberi nasehat yaitu suatu upaya untuk memberi petunjuk-petunjuk yang baik kepada orang lain
dengan menggunakan perkataan, baik ketika orang yang dinasehati telah melakukan hal-hal yang
buruk, maupun belum. Sebab ketika ia telah melakukan perbuatan buruk, berarti diharapkan agar ia
berhenti melakukannya. Tetapi kalau dinasehati ketika ia belum melakukan perbuatan itu, berarti
diharapkan agar ia tidak akan melakukannya. Mahyuddin (2000: 61) mengatakan, pendidikan nasehat
berlaku bagi seluruh manusia, terutama diperlukan untuk memberikan tuntutan, arahan dan usulan
Tolong menolong yaitu suatu upaya untuk membantu orang lain, agar tidak mengalami suatu
kesulitan. Islam sangat menganjurkan pendidikan kerohanian kepada umat Islam, antara lain mendidik
dan membangun manusia muslim yang suka memberi pertolongan kepada orang lain sesuai dengan
apa yang dibutuhkan orang lain kepadanya. Kalau ia mempunyai harta, maka ia menolong dengan
harta. Kalau ia memiliki ilmu, keterampilan dan keahliannya, maka ia memberi pertolongan dengan
ilmunya. Dan kalau ia memiliki kemampuan fisik dan tenaga, maka ia memberi pertolongan dengan
kekuatan fisiknya.
Suka memaafkan yaitu sikap dan perilaku seseorang yang suka memaafkan kesalahan orang lain yang
pernah diperbuat terhadapnya. Menurut Mahyuddin (2000: 85), sikap pemaaf sangat sulit dilakukan
oleh orang-orang awam bila ia pernah disakiti, tetapi ajaran Islam tetap menjadikannya sebagai ajaran
yang harus dilakukan, maka sikap ini harus ditanamkan pada diri setiap manusia, dengan melalui
Menahan amarah yaitu upaya menahan emosi, agar tidak dikuasai oleh perasaan marah terhadap
orang lain.
Sopan santun yaitu sikap jiwa yang lemah lembut terhadap orang lain, sehingga dalam perkataan dan
Akhlak buruk atau tercela (akhlaqul madzmumah) terhadap sesama manusia antara lain (Mahyuddin,
2001: 26-32) :
Mudah marah yaitu kondisi emosi seseorang yang tidak dapat ditahan oleh kesadarannya, sehingga
menonjolkan sikap dan perilaku yang tidak menyenangkan orang lain. Kemarahan dalam diri manusia
meruapakan bagian dari kejadian. Oleh karena itu, agama Islam memberikan tuntunan agar sifat itu
Iri hati atau dengki yaitu kejiwaan seseorang yang selalu menginginkan agar kenikmatan dan
kebahagiaan hidup orang lain bisa hilang sama sekali.
c) Mengadu-adu (An-Namimah)
Mengadu-adu yaitu suatu perilaku yang suka memindahkan perkataan seseorang kepada orang lain,
d) Mengumpat (Al-Ghibah)
Mengumpat yaitu suatu perilaku yang suka membicarakan keburujan seseorang kepada orang lain.
e) Bersikap congkak (Al-Ash’ru)
Bersikap congkak yaitu suatu sikap dan perilaku yang menampilkan kesombongan, baik dilihat dari
Sikap kikir yaitu suatu sikap yang tidak mau memberikan nilai materi dan jasa kepada orang lain.
Berbuat aniaya yaitu suatu perbuatan yang merugikan orang lain, baik kerugian materiil mapun non-
materiil. Dan ada juga yang mengatakan, bahwa seseorang yang mengambil hak-hak orang lain,
termasuk perbuatan dzalim (menganiaya).
BAB III
METODE PENELITIAN
Suatu penelitian dapat berhasil dengan baik atau tidak tergantung dari data yang diperoleh. Kualitas
suatu penelitian juga didukung pula oleh proses penglolahan yang dilakukan. Oleh karena itu, variabel
yang digunakan, alat-alat pengumpulan data, desain penelitian, dan alat-alat analisis serta hal-hal
yang dianggap perlu dalam penelitian harus tersedia. Metode penelitian dianggap paling penting
dalam menilai kualitas hasil penelitian. Keabsahan suatu penelitian ditentukan oleh metode penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Sebagaimana (Yuswadi, 2005:
18) menjelaskan, bahwa sifat dari penelitian kualitatif yaitu mencari makna dari suatu fakta atau
fenomena, maka kesungguhan seorang peneliti dituntut ketika melakukan suatu observasi atau
pengamatan di lapangan. Seorang peneliti dalam penelitian kualitatif merupakan “instrument utama”
dalam proses pengumpulan data melalui pengamatan. Dalam penelitian kualitatif seorang peneliti
harus mampu melakukan proses imajinasi, berpikir secara abstrak, dan bahkan jika memungkinkan
Jenis metode penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti dan
menemukan informasi sebanyak-banyaknya dari suatu fenomena. Teorisasi dan hipotesis dalam
penelitian jenis ini kurang diperlukan (Hariwijaya, 2008: 22). Kualitatif deskriptif (descriptive research)
dimaksudkan untuk mendeskripsikan suatu situasi atau area populasi tertentu yang bersifat faktual
secara sistematis (Danim, 2002: 41).
B. LOKASI PENELITIAN
Lokasi atau tempat penelitian ini dilakukan di MI Miftahul Huda Mlokorejo kecamatan Puger kabupaten
Jember, tepatnya di Jln. Melati No. 17 desa Mlokorejo.
angka-angka. Kalaupun ada angka-angka, sifatnya hanya sebagai penunjang. Data yang diperoleh
meliputi transkip interview, catatan lapangan, foto, dokumen pribadi dan lain-lain (Danim, 2002: 51).
Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 2000: 3) mengemukakan, bahwa, sumber data utama dalam
penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan-tindakan, bisa juga berupa data tambahan seperti
dokumentasi dan lain-lain. Selain itu sumber data adalah informan, kegiatan yang bisa diamati dan
dokumen.
a. Informan
Informan adalah orang-orang tertentu yang dapat dijadikan sebagai sumber informasi yang
diperlukan oleh peneliti dalam proses penelitiannya, karena orang tersebut dianggap memiliki
pengetahuan tentang data-data atau informasi yang berkaitan dengan masalah yang telah dirumuskan
dalam penelitian tersebut. Dalam penelitian ini teknik penentuan informan dilakukan dengan cara
purposive sampling dan snowball sampling. purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel
(informan) dengan pertimbangan tertentu. Sedangkan snowball sampling adalah teknik pengambilan
sampel yang pada awalnya jumlahnya sedikit, lama-lama menjadi besar (Sugiyono, 2008: 218).
Hal ini dimaksudkan untuk memilih informan yang benar-benar relevan dan kompeten dengan
masalah penelitian sehingga data yang diperoleh dapat digunakan untuk membangun teori. Selain itu,
peneliti juga menggunakan infoman tambahan. Informan awal diminta untuk menunjuk orang lain
yang dapat memberikan informasi, dan kemudian informan ini diminta pula untuk menunjuk orang
lain yang dapat memberikan informasi, dan seterusnya sampai menunjukkan tingkat kejenuhan
infomasi. Artinya, bila dengan menambah informan hanya doperoleh informasi yang sama, berarti
jumlah informan sudah cukup (sebagai informan terakhir) karena informasinya sudah jenuh.
Dalam penelitian ini yang dipandang sebagai infoman awal (sumber informasi) adalah Kepala MI
Miftahul Huda Mlokorejo. Selanjutnya antara lain: para guru, para siswa, orang tua siswa, serta
masyarakat lainnya.
b. Peristiwa
Peristiwa atau kejadian yang berkaitan dengan masalah atau fokus penelitian yang akan diobservasi,
yaitu penerapan pembiasaan shalat Dhuha kaitannya dalam pembinaan akhlak siswa.
c. Dokumen
Dokumen sebagai sumber data lainnya yang bersifat melengkapi data utama yang relevan dengan
masalah dan fokus penelitian. Dokumen yang akan diperoleh antara lain meliputi tentang sejarah
berdirinya MI Miftahul Huda Mlokorejo, keadaan jumlah guru, jumlah siswa, dan lain sebagainya.
2. Jenis Data
Moleong (2000: 3) menegaskan, bahwa sesuai dengan data yang dipilih, maka jenis data dalam
penelitian kualitatif dibagi ke dalam kata-kata dan tindakan, tulisan, foto dan statistik. Jenis-jenis data
tersebut di atas semuanya dapat digunakan sebagai informasi yang diperlukan. Perlu ditegaskan,
bahwa keterangan berupa kata-kata atau cerita dari informan penelitian yang diwawancari dan
tindakan yang diamati, dalam penelitian kualitatif dijadikan sebagai data utama (primer), sedangkan
tulisan, foto, dan data statistik dari berbagai dokumen yang relevan dengan fokus penelitian dijadikan
Dengan kata lain, data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber utama atau informan
yang diwawancarai. Sedangkan data sekunder merupakan data primer yang yang telah diolah lebih
lanjut dan telah disajikan oleh pihak lain.
Dalam teknik pengumpulan data ini, peneliti menggunakan metode kualitatif partisipatif (fieldwork
relation). Di sinilah diperlukan kehadiran peneliti untuk tahu langsung kondisi dan fenomena di
lapangan, tidak cukup meminta bantuan orang atau sebatas mendengar penuturan secara jarak jauh
(Danim, 2002: 122). Oleh karena itu, Pada tahap ini, peneliti menggunakan tiga macam metode atau
1. Observasi Partisipatif
Menurut Margono (2004:158), observasi adalah pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap
gejala yang tampak pada obyek penelitian. Subagyo (2004: 63), mengemukakan bahwa observasi
adalah pengamatan yang dilakukan secara sengaja, sistematis mengenai fenomena sosial dengan
gejala-gejala psikis untuk kemudian dilakukan pencatatan. Observasi sebagai alat pengumpulan data
dapat dilakukan secara spontan, dapat pula dengan daftar isian yang telah disiapkan.
Sedangkan Sugiono dalam Hariwijaya (2008: 63) menjelaskan, bahwa observasi merupakan suatu
proses komplek, suatu proses yang tersusun dari pelbagai proses biologis dan psikologis. Dua di
antara yang terpenting adalah proses-proses pengamatan dan ingatan. Menurut Nawawi (1995: 100),
Observasi ini langsung dilakukan terhadap obyek di tempat terjadi atau berlangsungnya peristiwa,
Dengan teknik observasi pertisipatif, peneliti harus banyak memainkan peran selayaknya yang
dilakukan oleh subyek penelitian, pada situasi yang sama atau berbeda. Pada saat tercipta hubungan
baik antara peneliti dan subyek, peneliti bisa berperan serta dalam kegiatan-kegiatan subyek itu.
Kemudian peneliti bisa menarik diri lagi dari peran sertanya sehingga ia tidak kehilangan tujuan
utamanya. Peneliti yang terlalu terlibat atau berperan serta akan larut dalam pekerjaan subyek
Pedoman yang digunakan oleh peneliti adalah dengan daftar cek (chek list). Aspek yang diobservasi
antara lain: pertama, keadaan fisik sekolah, berupa kondisi lingkungan sekolah, keadaan fisik sekolah,
dan lain-lain; kedua, keperilakuan, seperti interaksi antar warga sekolah, perilaku siswa, dan lain-lain;
dan ketiga, pertumbuhan dan perkembangan guru dan siswa.
interview dapat dilakukan melalui tatap muka (face to face) maupun menggunakan telepon.
Wawancara dipergunakan sebagai cara untuk memperoleh data dengan jalan mengadakan wawancara
Berdasarkan strukturnya, pada penelitian kualitatif ada dua jenis wawancara. Pertama, wawancara
relatif tertutup. Pada wawancara dengan format ini, pertanyaan-pertanyaan difokuskan pada topik-
topik khusus atau umum. Panduan wawancara dibuat cukup rinci. Pewawancara pun bekerja, sebagian
besar dipandu oleh item-item yang dibuatnya meskipun tetap terbuka berpikir divergen. Kedua,
wawancara yang terbuka. Pada wawancara ini, peneliti memberikan kebebasan diri dan mendorongnya
untuk berbicara secara luas dan mendalam. Pada wawancara dengan format terbuka, subyek penelitian
lebih kuat pengaruhnya dalam menentukan isi wawancara (Danim, 2002: 132).
Dalam hal ini, peneliti lebih banyak menggunakan wawancara tidak berstruktur (terbuka). Peneliti
hanya mengajukan sejumlah pertanyaan atau pertanyaan-pertanyaan yang mengundang jawaban atau
komentar subyek secara bebas. Pedoman wawancara pun hanya berupa pertanyaan-pertanyaan
3. Dokumentasi
Menurut Arikunto (2002: 206), metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau
variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger,
agenda, dan sebagainya. Selanjutnya, Danim (2002: 175), membagi secara umum dokumen tersebut
menjadi dua macam, yaitu dokumen pribadi (personal document) dan dokumen resmi (official
document), kedua dokumen ini berbeda bentuk dan sifatnya, meskipun pada umumnya saling mengisi
a. Dokumen pribadi
Dokumen tidak selalu berbentuk tulisan, melainkan dapat juga berupa foto atau rekaman lain, yang
dalam konteks ini bersifat milik atau melekat pada pribadi. Dokumen pribadi memuat catatan yang
dibuat sendiri oleh subyek yang bersangkutan. Isinya dapat berupa ungkapan perasaan, keyakinan-
b. Dokumen resmi
Dokumen resmi berbeda dengan dokumen pribadi, meskipun dilihat dari keperluan penelitian sifatnya
dapat saling mengisi, saling melengkapi, atau bahkan mungkin bertolak belakang. Dokumen resmi
adalah dokumen Instansi. Isinya dapat memuat data subyek dalam konteks formal dan dapat juga
memuat data mengenai pribadi seseorang, berikut keterlibatannya dalam organisasi di tempat bekerja.
Dokumen resmi ini ada yang berupa dokumen internal kelembagaan, seperti sistem dan mekanisme
kerja, jumlah personal, potensi material lembaga, dan lain sebagainya. Dan juga bisa berupa dokumen
eksternal kelembagaan, yaitu dokumen-dokumen komunikasi dengan pihak luar.
E. ANALISIS DATA
Spradley dalam Moleong (2000: 91) mengartikan, analisis adalah penelaahan untuk mencari pola
(patterns) pada tahap ini peneliti banyak terlihat dalam kegiatan penyajian dan penampilan (display)
dari data yang dikumpulkan. Analisis dilakukan untuk menemukan pola. Caranya dengan melakukan
pengujian sistematik untuk menetapkan bagian-bagian, hubungan antar kajian, dan hubungan
terhadap keseluruhannya. Untuk dapat menemukan pola tersebut peneliti akan melakukan
penelusuran melalui catatan-catatan lapangan, hasil wawancara dan bahan-bahan yang dikumpulkan
untuk meningkatkan pemahaman terhadap semua hal yang dikumpulkan dan memungkinkan
Proses analisis data ini peneliti lakukan secara terus menerus, bersamaan dengan pengumpulan data
dan kemudian dilanjutkan setelah pengumpulan data dilakukan. Di dalam melakukan analisis data
peneliti mengacu kepada tahapan yang dijelaaskan Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2008: 246)
yang terdiri dari tiga tahapan yaitu: reduksi data (data reduction), penyajian data (data display) dan
Pada tahap ini, data yang diperoleh dari lokasi penelitian (data lapangan) dituangkan dalam uraian
atau laporan yang lengkap dan terinci. Laporan lapangan oleh peneliti akan direduksi, dirangkum,
dipilih hal-hal yang pokok, difokuskan pada hal-hal yang penting kemudian dicari tema atau polanya
dengan cara: diedit atau disunting, yaitu diperiksa atau dilakukan pengecekan tentang kebenaran
responden yang menjawab, kelengkapannya, apakah ada jawaban yang tidak sesuai atau tidak
konsisten. Kemudian, dilakukan coding atau pengkodean, yaitu pemberian tanda atau simbol atau
kode bagi tiap-tiap jawaban yang termasuk dalam ketegori yang sama. Dan selanjutnya, tabulasi atau
pentabelan, yaitu jawaban-jawaban yang serupa dikelompokkan dalam suatu table. Reduksi data ini
Penyajian data atau display data dimaksudkan untuk memudahkan peneliti dalam melihat gambaran
secara keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari penelitian. Dengan kata lain merupakan
pengorganisasian data ke dalam bentuk tertentu sehingga kelihatan dengan sosoknya lebih utuh.
Dalam penelitian kualitatif, penarikan kesimpulan dilakukan secara terus menerus sepanjang proses
penelitian berlangsung. Sejak awal memasuki lapangan dan selama proses pengumpulan data, peneliti
berusaha untuk menganalisis dan mencari makna dari data yang dikumpulkan yaitu dengan cara
mencari pola, tema, hubungan persamaan, hal-hal yang sering timbul, hipotesis dan sebagainya yang
dituangkan dalam kesimpulan yang masih bersifat tentatif, akan tetapi dengan bertambahnya data
melalui proses verifikasi secara terus menerus, maka akan diperoleh kesimpuan yang bersifat
grounded. Dengan kata lain, setiap kesimpulan senantiasa terus dilakukan verifikasi selama penelitian
berlangsung yang melibatkan interprestasi peneliti.
F. VALIDITAS DATA
Sugiyono (2008: 269), mengemukakan bahwa ada empat kriteria yang dapat digunakan untuk
Penerapan konsep kriteria drajat kepercayaan ini berfungsi untuk melaksanakan inquiri sedemikian
rupa sehingga tingkat kepercayaan tingkat kepercayaan penemuannya dapat dicapai. Selain itu
oleh peneliti pada kenyataan ganda yang sedang diteliti. Kegiatan yang akan dilakukan untuk
Dengan cara ini peneliti berharap mempunyai cukup waktu untuk betul-betul mengenal situasi
lingkungan, untuk melakukan hubungan baik dengan para informan di lokasi penelitian. Dengan
demikian, peneliti dapat mengecek kebenaran berbagai informasi dan data yang diperoleh sampai
dirasa benar.
Perpanjangan masa observasi ini dilakukan setelah waktu atau masa penelitian telah selesai. Hal ini
dilakukan agar dapat meningakatkan kepercayaan atau kredibilitas data. Langkah-langkah yang
dilakukan adalah dengan mengulang kembali tahap-tahap yang dilakukan sebelumnya atau
melakukan pengamatan dan wawancara lagi dengan sumber data yang pernah ditemui maupun yang
baru, dengan tujuan untuk mengecek kembali apakah data yang diberikan selama ini merupakan data
yang sudah benar atau tidak. Bila data yang diperoleh sebelumnya ternyata tidak benar, maka peneliti
melakukan pengamatan yang lebih luas lagi dan mendalam, sehingga diperoleh data yang kredibel.
b. Pembahasan Sejawat
Hasil kajian dari peneliti didiskusikan dengan orang lain yang mempunyai pengetahuan tentang pokok
penelitian dan juga tentang metode penelitian yang diterapkan. Pembicaraan ini bertujuan antara lain
untuk memperoleh kritik, saran dan pertanyaan-pertanyaan yang tajam dan menantang tingkat
c. Triangulasi
Triangulasi ini peneliti lakukan dengan maksud untuk mengecek kebenaran data tertentu dan
membandingkannya dengan data yang diperoleh dari sumber lain, pada berbagai fase penelitian
lapangan pada waktu yang berlainan triangulasi akan dilakukan dengan tiga cara yaitu triangulasi
d. Member Check
Member check akan peneliti lakukan pada setiap akhir wawancara dengan cara mengecek ulang garis
besar berbagai hal yang telah disampaikan informan berdasarkan catatan lapangan, hal ini dilakukan
dengan maksud agar informasi yang diperoleh dan digunakan dalam penelitian laporan penelitian
2. Keteralihan (Transferability)
Nilai transfer ini berkenaan dengan pertanyaan, hingga mana hasil penelitian dapat diterapkan atau
digunakan dalam situasi lain. Keteralihan sebagai persoalan empiris bergantung pada kesamaan
antara konteks pengirim dan penerima. Untuk melakukan keteralihan tersebut peneliti berusaha
mencari dan mengumpulkan data kejadian empiris dalam konteks yang sama
Untuk mengetahui, mengecek serta memastikan apakah hasil dari penelitian ini benar atau salah,
peneliti melakukan uji ketergantungan atau dependability. Pengujian dependability ini dilakukan
dengan cara melakukan audit terhadap keseluruhan proses penelitian. Caranya dilakukan oleh auditor
yang independen atau pembimbing untuk mengaudit keseluruhan aktivitas peneliti dalam melakukan
penelitian.
Oleh karena itu, peneliti akan mendiskuskannya dengan pembimbing, secara setahap demi setahap,
mengenai konsep-konsep yang dihasilkan di lapangan, setelah hasil penelitian dianggap benar,
diadakan seminar tertutup dan terbuka dengan mengundang teman sejawat dan pembimbing.
G. TAHAP-TAHAP PENELITIAN
Menurut Danim (2002: 85), kegiatan penelitian secara umum dapat dibagi dalam enam tahap (steps)
tertentu. Prakteknya keenam tahap ini tidak diikuti secara formal, melainkan dapat tumpang tindih.
Dalam tahap ini, peneliti memulai penelitian dengan perumusan masalah (problem statement), bukan
mengawalinya dengan judul. Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pembisaan shalat Dhuha
dalam pembinaan akhlak siswa. Masalah penelitian ini dipilih karena mengandung rasa ingin tahu baik
peneliti sendiri maupun pihak luar, relatif belum terlalu banyak yang diteliti orang lain, dan masih
Pada tahap ini, sumber pustaka yang dikumpulkan untuk dirujuk hanya benar-benar sangat erat
kaitannya dengan masalah pokok penelitian. Sumber pustaka tersebut antara lain: pertama, mengenai
metode pembiasaan, seperti bukunya Ahmad Zayadi. 2005. Tadzkiyah Pembelajaran Pendidikan
Agama Islam, Berdasarkan Pendekatan Kontekstual, Heri Jauhari Muchtar. 2005. Fikih Pendidikan,
Zakiyah Daradjat. 1992. Pendidikan Agama, dan lain-lain. Kedua, tentang ketentuan-ketentuan shalat
Dhuha, seperti bukunya Zezen Zainal Alim. 2008. The Power of Shalat Dhuha, M. Khalilurrahman Al
Mahfani. 2008. Berkah Shalat Dhuha. Tengku M. Habsyi Ash-Shiddieqy. 2001. Pedoman Shalat. Dan
ketiga, tentang akhlak, seperti bukunya Mahyuddin. 2000. Konsep dasar Pendidikan Akhlak dalam Al-
Qur’an dan Petunjuk Penerapannya dalam Hadits, dan 2001. Kuliah Ahlak Tasawuf. Mustofa. 2005.
Akhlak Tasawuf. Kahar Masyhur. 1994. Membina Moral dan Akhlak, dan lain-lain.
Pada tahap ini, peneliti menentukan terlebih dahulu prosedur kerja atau metode penelitian. Metode
penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Dalam pengembangan instrumen, peneliti tidak menuntut
5. Manafsirkan data
Setelah data terkumpul, tahap selanjutnya adalah penafsiran data. Dengan cara memberikan makna
yang mendalam atas peristiwa atau fenomena yang diteliti. Disinilah ukuran bobot hasil penelitian
Tahap terakhir adalah melaporkan hasil penelitian. Hasil penelitian ini berfungsi menjelaskan,
memprediksi, atau bahkan dapat berupa pengetahuan baru yang belum ditemukan sebelumnya.
Dalam laporan penelitian ini memuat seluruh kegiatan penelitian, mulai dari prosedur penelitian
hingga hasil dan kesimpulan penelitian.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
MI Miftahul Huda Mlokorejo berdiri pada tanggal 05 April 1963, madrasah ini berdiri dilatar belakangi
karena mengingat belum ada Lembaga Pendidikan Islam ala Nahdlatul Ulama (NU). Oleh karena itu,
Tabel 4.1.
Selanjutnya, dalam sidang pengurus pertama, memutuskan dan menetapkan antara lain: Bapak Nur
Wahid sebagai Kepala Madrasah dan Bapak Zubaidi sebagai Wakil Kepala Madrasah.
Jumlah tenaga pendidik sebanyak empat orang, yaitu: Bapak Ngatman, Bapak Sucipto, Bapak Suhud,
dan Bapak Zaenal Abidin. Dengan siswa sebanyak 51 siswa, yang terdiri dari 28 laki-laki dan 23
perempuan. Kegiatan belajar mengajar dilaksanakan pada sore hari dalam satu kelas di rumah Bapak
Kusnan selama satu tahun, kamudian berpindah di rumah Bapak Turmidzi selama dua tahun.
Pada tahun 1965, para pengurus dibantu oleh masyarakat dapat mendirikan gedung, yang terdiri dari
satu ruang kantor dan tiga ruang kelas. Semakin lama jumlah siswa MI Miftahul Huda semakin banyak,
sehingga pada tahun 1966 sampai 1970 kegiatan belajar mengajar dilaksanakan pada pagi dan sore
hari secara bergantian kelas. Pada tahun 1970 madrasah mengikut sertakan siswanya untuk ujian-
Perlu diketahui, bahwa sebelum diberi nama MI Miftahul Huda, lembaga ini bernama Yayasan
Daruttarbiyah Watta’lim, lalu diganti dengan MINU, dan pada tahun 1971, madrasah ini bernama MI
Miftahul Huda.
Pada tahun 1971 hingga 1974, madrasah mengalami kemunduran sebagaimana air laut yang
terkadang pasang terkadang juga surut. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor, antara lain:
pertama, pada pihak pengurus yayasan tidak ada atau kurang ada kekompakan satu dengan yang lain,
dikarenakan pra pemilu tahun 1971 hingga berlarut sampai tahun 1974. Dan kedua, pada tahun 1974
tanaman petani terutama padi terserang hama wereng, sehingga para pengurus hendak membubarkan
diri. Tetapi berkat pertolongan Allah, pada tanggal 09 Januari 1974, MI Miftahul Huda mendapat
bantuan, pembinaan, dan menjadi anggota Lembaga Pendidikan Ma’arif Cabang Kencong, dengan
Meskipun dalam keadaan seperti bagaimanpun, madrasah tetap berjalan dengan lancar. Pada tahun
1983, pemerintah memberikan bantuan rehab ringan, namun dalam hal ini karena pelaksanaannya
kurang konsekuen, maka keadaan bangunan mengkhawatirkan, disebabkan banyak kekurangan bahan
bangunan. Akhirnya, pada tahun 1985 pengurus yayasan dapat membangun satu gedung baru yang
Pada tahun 1986, pemerintah memberi bantuan rehab satu lokal gedung yang berada disebelah barat
madrasah. Selanjutnya, pada tahun 1988 mendapat bantuan lagi berupa BOFP sejumlah Rp. 400.000,-
(empat ratus ribu rupiah), kemudian uang bantuan tersebut digunakan sebagai penyempurnaan
gedung dan data-data madrasah. Dan pada tahun 1989, madrasah mendapat bantuan BOFP yang
kedua kalinya sebesar Rp. 600.000,- (enam ratus ribu rupiah), bantuan uang ini dipergunakan
melengkapi dan perawatan sarana prasarana, seperti meja kursi guru, almari, buku-buku, dan alat-
Dari tahun ke tahun MI Miftahul Huda sering mendapat kucuran bantuan dari pemerintah, baik berupa
uang maupun fasilitas lain. Sehingga pada tahun 2001, Departemen Agama Jember menerbitkan
Pada tahun 2007, madrasah mendapatkan bantuan DAK dari pemerintah senilai Rp. 250. 000. 000,-
(dua ratus lima puluh juta rupiah). Bantuan tersebut digunakan untuk merehab gedung madrasah dan
menambah beberapa ruang, seperti kamar mandi, perpustakaan, ruang UKS, gudang, dan sarana
prasarana lainnya. Selain itu, bantuan tersebut juga berupa fasilitas belajar mengajar seperti buku-
buku, alat peraga (KIT), CD pembelajaran, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, madrasah hingga
sekarang ini mengalami kemajuan yang sangat pesat dan banyak menerima siswa baru.
Mulai berdiri hingga sekarang MI Miftahul Huda Mlokorejo mengalami empat kali periode atau
pergantian Kepala Madrasah. Adapun periodeisasi jabatan Kepala Madrasah di MI Miftahul Huda
MI Miftahul Huda terletak di sebelah barat desa Mlokorejo, tepatnya di Jln. Melati No. 17 Mlokorejo
kecamatan Puger kabupaten Jember. Adapun batas-batas madrasah ini adalah sebagai berikut:
Untuk lebih jelas dapat dilihat pada identitas madrasah. Adapun identitas MI Miftahul Huda Mlokorejo
Kecamatan : Puger
Desa/Kelurahan : Mlokorejo
KBM : Pagi
Berguna bagi nusa dan bangsa, serta bahagia dunia dan akhirat.
Dengan indikator: Ad-din (Religius), Al-Aql (Intelektual), Al-Haya’ (Integritas), dan Al-Amalus Sholih
(Prestasi).
1) Mengembangkan Pendidikan Agama Islam dan Umum yang terpadu dan senergis
semua
3) Mengembangkan potensi akademik dan potensi siswa untuk mengantisipasi perubahan masa depan
1) Pada tahun 2008/2009, lulusan MI Miftahul Huda ditargetkan 80 % masuk SLTP favorit
2) Pada tahun 2008/2009, 100 % siswa MI Miftahul Huda lulus Ujian Nasional
3) Pada tahun 2008/2009, semua siswa lulus yang mampu membaca dan menulis Al Qur’an dengan
4) Pada tahun 2008/2009, rata-rata nilai Matematika, IPA, dan Bahasa Indonesia yang mencapai siswa
lulusan mencapai 90 %.
5. Struktur Organisasi
Setiap lembaga atau suatu organisasi pasti didalamnya terdapat struktur organisasi yang berguna
memperjelas hubungan antar pimpinan dan anggota yang dimpimpinnya. Adapun struktur organisasi
MI Miftahul Huda Mlokorejo tahun 2008/2009 dapat dilihat pada bagan 4.1.
Madrasah merupakan sistem pendidikan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat
secara demokratis. Sehingga madrasah sebagai lembaga pendidikan diharapkan mampu mengemban
amanah masyarakat. Oleh karena itu, di bentuklah susunan pengurus komite madrasah. Adapun
struktur pengurus komite MI Miftahul Huda Mlokorejo dapat dilihat pada bagan 4.2. sebagai berikut:
Guru adalah suatu komponen utama dalam sistem pendidikan yang secara bersama-sama dengan
komponen lainnya mencapai tujuan pendidikan. Guru merupakan unsur penting dalam meningkatkan
mutu pelajaran. Oleh karena itu ketersediaan guru harus sesuai dengan kondisi siswa. Disamping itu,
semua guru diharapkan memiliki kualifikasi yang baik, karena guru memiliki peran yang besar dalam
Adapun keadaan atau jumlah guru MI Miftahul Huda Mlokorejo tahun pelajaran 2008/2009, sebagai
berikut:
Tabel. 4.3.
Aqidah Akhlak D2
2 Syamsul Hadi GTT Qur`an Hadits, Bhs. Indonesia, Aqidah Akhlak, Fiqih, Bahasa Arab, SKI, dan
Penjaskes D2
4 Lailatul Masfufah GTT MTK, Bhs. Indonesia, Bhs. Inggris, Bhs. Daerah, dan Kertakes D2
Aqidah Akhlak S1
Disamping guru, yang memiliki peran yang sangat penting adalah karyawan. Sama halnya dengan
guru, karyawan harus memiliki kemampuan yang handal dan mumpuni sesuai dengan pekerjaan
masing-masing. Secara kuantitas, jumlah karyawan harus sesuai dengan luas dan kedalaman
Adapun keadaan atau jumlah karyawan MI Miftahul Huda Mlokorejo tahun pelajaran 2008/2009,
sebagai berikut:
Tabel. 4.4.
7. Keadaan Siswa
Keadaan siswa keseluruhan pada tahun pelajaran 2008/2009, berjumlah 155 siswa, di mana terbagi
Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah data jumlah siswa MI Miftahul Huda Mlokorejo berdasarkan
kelompok belajar pada tahun pelajaran 2008/2009:
Tabel. 4.5.
1 I 11 12 23
2 II 20 13 23
3 III 15 12 27
4 IV 13 12 25
5 V 12 14 26
6 VI 12 14 21
Jumlah 82 73 155
Adapun keadaan atau jumlah siswa MI Miftahul Huda Mlokorejo berdasarkan usia pada tahun pelajaran
Tabel. 4.6.
1 ≤ 7 Tahun 2 1 3
2 7 – 9 Tahun 43 36 79
3 10 – 12 Tahun 36 32 68
4 12 ≥ 3 2 5
Jumlah 84 71 155
Adapun keadaan atau jumlah siswa MI Miftahul Huda Mlokorejo berdasarkan jenis pekerjaan orang tua
Tabel. 4.7.
No. Pekerjaan
1 Petani 42 49 91
2 Pedagang 11 18 29
3 Pegawai Negeri 3 9 12
4 Lain-lain 13 10 23
Jumlah 69 86 155
Keadaan jumlah siswa MI Miftahul Huda Mlokorejo dari tahun ke tahun mengalami perkembangan
yang cukup pesat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan atau grafik berikut ini:
Bagan 4.3.
Unsur penunjang yang membantu terlaksananya kelancaran proses belajar mengajar di MI Miftahul
Huda Mlokorejo adalah tersedianya sarana dan prasarana yang cukup memadai. Adapun komponen-
Tabel. 4.8.
3 Ruang BP – –
4 Ruang Tamu 1 Baik
5 Ruang UKS 1 Baik
9 Perpustakaan 1 Baik
10 Koperasi 1 Baik
11 Masjid 1 Baik
12 Gudang 1 Baik
Adapun komponen-komponen inventaris MI Miftahul Huda pada tahun pelajaran 2008/2009 sebagai
berikut:
Tabel. 4.9.
dijelaskan pada Bab III, bahwa penelitian ini menggunakan metode atau teknik observasi partisipatif,
wawancara, dan dokumenter sebagai alat untuk memperoleh data yang berkaitan dengan obyek
penelitian yang diteliti. Oleh karena itu, dalam pembahasan ini akan dipaparkan secara rinci dan
sistematis tentang obyek yang diteliti, dan hal itu mengacu pada fokus penelitian adalah sebagai
berikut:
Pembiasaan shalat Dhuha telah diterapkan di MI Miftahul Huda Mlokorejo kurang lebih selama tiga
tahun. Sesuai dengan salah satu hasil rapat dewan guru pada tanggal 22 Juli 2006 telah tercapai
secara mufakat memutuskan, bahwa program pembiasaan shalat Dhuha dipandang perlu untuk
dijalankan sebagai suatu langkah strategis untuk membina akhlak siswa (Notulen, No. 12 tanggal 22
Juli 2006).
Dari hasil wawancara dengan Bapak Syamsul Hadi menjelaskan, bahwa hal ini dilatar belakangi karena
sebelum diterapkannya pembiasaan shalat Dhuha ini, siswa dipandang kurang produktif dalam
memanfaatkan waktu istirahat mereka, contohnya seperti bermain sepeda, bermain di luar lingkungan
madrasah, terlalu boros membelanjakan uang sakunya, sering mengganggu teman di dalam kelas,
sering terlambat ketika bel masuk dibunyikan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, program
pembiasaan shalat Dhuha ini harus diterapkan bagi siswa (Wawancara pada tanggal 28 April 2009
Bapak Edi Imam Munajad juga menjelaskan, bahwa pembiasaan shalat Dhuha ini diterapkan dalam
rangka supaya siswa dapat memanfaatkan waktu istirahatnya dengan baik dan melatih mereka untuk
selalu membiasakan beribadah shalat tepat waktu, salah satunya seperti shalat Dhuha. Kalau siswa
sudah terbiasa shalat tepat waktu, insyaallah kegiatan-kegiatan lain yang mereka kerjakan akan tepat
waktu pula. Selain itu, dengan adanya shalat Dhuha ini, suasana madrasah menjadi agamis atau
bahkan seperti di pondok pesantren. Jadi, siswa tidak hanya menguasai teori-teori materi pelajaran
saja, tetapi mereka diharapkan tidak melupakan ritual-ritual ibadah, salah satunya adalah shalat
Dhuha (Wawancara pada tanggal 27 April 2009 pukul 07.30 Wib di ruang Kepala Madrasah).
Selanjutnya, Ibu Iin Zunaidah mengatakan, bahwa pembiasaan shalat Dhuha ini bertujuan agar siswa
terus mengingat Allah Swt. di saat mereka disibukkan dengan kegiatan-kegiatan belajar yang sangat
menumpuk, karena salah satu upaya untuk mengingat Allah Swt. adalah dengan melaksanakan shalat.
Jadi, siswa tidak hanya diharuskan berpusing-pusing mengerjakan dan memikirkan tugas atau soal-
soal yang diberikan oleh guru (Wawancarai pada tanggal 27 April 2009 pukul 11.00 Wib di ruang
guru). Di saat yang bersamaan Ibu Siti Nur Hasanah juga menjelaskan bahwa, pembiasaan shalat
Dhuha ini dilaksanakan agar siswa dapat membiasakannya di rumah mereka masing-masing. Selain
itu, siswa dapat lebih menghemat uang sakunya, karena waktu istirahat mereka digunakan untuk
Bapak Zaenal Abidin menjelaskan, bahwa pembiasaan shalat Dhuha ini dilaksanakan selain bertujuan
untuk melatih beribadah kepada siswa, diharapkan mereka juga menjadi lebih dekat atau akrab
dengan sesama teman dan lebih menjaga sopan santun terhadap para guru, atau bahkan terhadap
orang tua. Karena shalat Dhuha ini dilaksanakan dengan bersama-sama dalam satu masjid, jadi secara
tidak langsung mereka saling menjaga hubungan baik dengan sesama dan tidak saling mengganggu,
serta lebih menjaga sopan santun terhadap para guru (Wawancara pada tanggal 28 April 2009 setelah
Pembiasaan shalat Dhuha ini merupakan salah satu kegiatan ekstrakulikuler yang ada di MI Miftahul
Huda. Kegiatan ekstrakulikuler merupakan kegiatan yang dilakukan disekolah atau tempat lain (dalam
masyarakat) untuk menunjang program pengajaran. Kegiaan ini bertujuan untuk menambah dan
memperluas pengetahuan siswa tentang berbagai bidang atau pembahasan pendidikan agama Islam.
Dari hasil observasi, bahwa kegiatan shalat Dhuha ini diberlakukan untuk siswa kelas IV, V, dan VI.
Bagi siswa diwajibkan membawa perlengkapan shalat masing-masing. Untuk yang laki-laki membawa
Dari beberapa keterangan di atas, maka dapat dianalisa bahwa munculnya program pembiasaan shalat
shalat Dhuha, siswa kurang produktif dalam memanfaatkan waktu. Oleh karena itu, pembiasaan shalat
Dhuha ini selain bertujuan untuk pembinaan akhlak siswa, juga bertujuan untuk melatih siswa dalam
Pembiasaan shalat Dhuha di MI Miftahul Huda Mlokorejo dilaksanakan tiga kali dalam seminggu, yaitu
pada hari selasa, kamis, dan sabtu. Shalat Dhuha ini dimulai pada pukul 09.00 sampai 10.00 Wib.
Tabel. 4.10.
Jadwal Pembiasaan Shalat Dhuha
Shalat Dhuha
Dari hasil observasi terlihat, bahwa shalat Dhuha ini dilaksanakan di dalam masjid yang berada di
depan madrasah. Pelaksanaannya pada saat istirahat pertama atau setelah jam kedua pelajaran.
Sebelum melaksanakan shalat Dhuha siswa diawasi dan dipersiapkan oleh guru yang mengajar pada
jam kedua tersebut, seperti memeriksa perlengkapan shalat, mengawasi cara berwudlu siswa, sampai
dimulainya pelaksanaan shalat Dhuha. Sedangkan bagi guru yang telah ditunjuk sebagai imam shalat
Dhuha diharuskan berada di dalam masjid sebelum para siswa memasuki masjid.
Shalat Dhuha ini dilaksanakan dengan cara berjamaah pada dua rakaat pertama, dan dua rakaat
selanjutnya dilaksanakan dengan sendiri-sendiri. Setelah shalat Dhuha selesai, siswa membaca do’a
shalat Dhuha bersama-sama, kemudian diakhiri dengan membaca ayat-ayat Al Qur’an yang dibimbing
oleh guru. Dalam hal ini, Bapak Syamsul Hadi mengatakan, bahwa apabila ada siswa yang terlambat
atau tidak mengikuti shalat Dhuha atau kegiatan membaca Al Qur’an, maka ia akan dihukum dengan
membaca Al Qur’an surat Yasin dan diawasi oleh guru yang bersangkutan (Wawancara pada tanggal 29
Jika ditinjau dari segi hubungan vertikal (hablu mina allah), shalat Dhuha merupakan satu bentuk amal
ibadah untuk mengingat Allah Swt. sebagai penciptanya yang wajib disembah. Senada dengan hal
tersebut, Bapak Edi Imam Munajat menjelaskan, bahwa selalu ingat kepada Allah Swt. akan
menumbuhkan sifat optimis (kepastian) pada diri siswa dan menyadarkannya bahwa ia tidak sendirian.
Ia pun meyakini bahwa Allah Swt. senantiasa dekat dengannya. Jadi, mereka menjadi sadar bahwa
semua kegiatan atau perbuatannya selalu diawasi oleh Allah Swt. (Wawancara pada tanggal 02 Mei
Pada umumnya, manusia cenderung mengingat Allah Swt. ketika memiliki masalah atau musibah saja,
bahkan terkadang kesibukan dapat menjadikan mereka lupa terhadap Allah Swt. Tetapi dalam hal ini,
siswa di MI Miftahul Huda cukup terlatih dan terbiasa untuk selalu ingat kepada Allah Swt. di saat suka
maupun duka. Bapak Syamsul Hadi mengatakan, bahwa walaupun kegiatan belajar siswa di madrasah
sangat menumpuk, bukan berarti siswa juga lupa akan kewajibannya, yaitu mengingat Allah Swt. Salah
satu cara mengingat Allah Swt. yaitu dengan membiasakan siswa untuk shalat Dhuha dan berdo’a
Lebih lanjut, Ibu Ida Suhartini (biasa disebut oleh para guru sebagai pakar kesehatan) saat
diwawancarai mengatakan, bahwa karena shalat Dhuha dilaksanakan pada pagi hari, tepatnya pada
waktu yang paling kondusif, saat-saat seperti itu biasanya pikiran siswa masih tenang, badan masih
bugar, dan tenaga masih kuat. Oleh karena itu, pada saat seperti ini adalah saat yang tepat untuk
mengingat Allah Swt. atas segala karunianya, yang wujudnya melalui shalat Dhuha (Wawancara pada
tanggal 01 Mei 2009 pukul 07.00 Wib di depan ruang kelas III).
Dari beberapa kerangan di atas, maka dapat dianalisa bahwa dengan diterapkannya pembiasaan shalat
Dhuha ini siswa dapat selalu ingat kepada Allah Swt., baik saat sibuk maupun tidak, dan baik suka
maupun duka.
Dampak shalat Dhuha yang paling dirasakan oleh siswa MI Miftahul Huda, bahwa mereka lebih
meningkatkan perasaan bersyukur kepada Allah Swt., karena Dia-lah yang telah memberikan segala
nikmat, dan nikmat Allah Swt. itu tidak dapat dihitung jumlahnya. Syukur inilah yang merupakan salah
satu bentuk akhlak mahmudah siswa kepada Allah Swt. Bersyukur dapat dilakukan dengan beberapa
cara, yaitu syukur dengan hati, dengan ucapan maupun dengan perbuatan.
Syukur dengan hati ini dilakukan dengan menyadari sepenuhnya bahwa nikmat yang diperolehnya
semata-mata karena anugerah dan kemurahan Allah Swt. Syukur dengan hati dapat mengantarkan
siswa untuk menerima segala nikmat Allah Swt. dengan penuh kerelaan tanpa mengerutu dan
keberatan betapa pun kecilnya nikmat tersebut. Hal ini terbukti ketika peneliti melakukan observasi
terhadap kondisi siswa, dari hasil observasi tersebut menunjukkan kesederhanaan siswa, baik dari
segi busana maupun tingkah laku mereka. Salah satu siswa bernama Hidayatullah kelas V saat
diwawancarai mengatakan, bahwa ia merasa apa yang diberikan oleh Allah Swt. kepadanya adalah
yang terbaik baginya (Wawancara pada tanggal 02 Mei 2009 pukul 09.30 Wib di emperan masjid).
Sedangkan syukur dengan ucapan, ketika hati siswa sangat yakin bahwa segala nikmat yang diperoleh
itu bersumber dari Allah Swt., secara spontan dari lidahnya terucap kalimat “al-hamdilillah”.
Karenanya, apabila ia memperoleh nikmat dari seseorang, lisannya tetap memuji Allah Swt. Dalam hal
ini, dari hasil wawancara dengan Bapak Edi Imam Munajad (Kepala Madrasah sekaligus guru akidah
akhlak) beliau mengatakan, bahwa setiap akhir pelajaran beliau selalu memberikan nasehat kepada
para siswa untuk selalu bersyukur, paling tidak dengan mengucapkan kalimat “al-hamdulillah” ketika
mendapatkan nikmat, sekecil apapun (Wawancara pada tanggal 01 Mei 2009 pukul 11.30 Wib di depan
Selain bersyukur dengan hati dan ucapan, siswa juga dapat merealisasikannya dalam kehidupan
sehari-hari. Hal ini terlihat, karena siswa cukup bisa mempergunakan nikmat tersebut dengan sebaik-
baiknya. Selain itu, mereka juga berusaha untuk menjaga nikmat tersebut, misalnya ketika menerima
nikmat berupa seragam, mereka berusaha merawatnya dengan cara mencuci ketika kotor, menyetrika
agar rapi, dan menyimpannya dalam lemari. Ketika dianugerahi nikmat kesehatan, siswa dapat
menjaga tubuh untuk tetap sehat dan bugar, agar terhindar dari sakit.
Dari beberapa uraian di atas, maka dapat dianalisa bahwa dengan adanya pembiasaan shalat Dhuha ini
siswa cukup mampu menerapkan rasa syukur mereka atas segala nikmat Allah Swt., baik melalui
Islam menuntut kita untuk berikhtiar (berusaha), berdo’a, dan tawakkal. Ikhtiar merupakan suatu
bentuk kesungguhan kita dalam menggapai keinginan. Adapun do’a adalah wujud pengakuan kita
akan Dzat Yang Mahakuasa. Sedangkan tawakkal adalah implementasi dari pengakuan kelemahan dan
kekurangan kita. Setelah segala usaha kita lakukan dengan segenap kemampuan yang dimiliki dan
Dampak shalat Dhuha terhadap akhlak siswa lainnya yaitu, setelah siswa melaksanakan shalat Dhuha,
mereka merasa lebih tawakkal, menyerahkan segala urusan kepada Allah Swt. setelah mereka
berusaha semaksimalnya. Hal ini disebabkan karena mereka yakin bahwa dengan melaksanakan shalat
Dhuha, maka Allah Swt. akan mempermudah segala urusan. Hasil wawancara dengan Ibu Husniyah,
guru kelas I, beliau mengatakan bahwa keyakinan seperti ini dapat menenangkan hati dan
menghindarkan siswa dari depresi, stres, putus asa, dan tekanan batin lainnya manakala keinginannya
Selanjutnya, ketika peneliti menanyai salah satu siswi yang bernama Betika Uliyani kelas VI setelah
melaksanakan shalat Dhuha tentang dampak shalat Dhuha terhadap hasil belajarnya, ia menjawab,
“Kalau saya giat dan rajin belajar, maka akan memperoleh hasil nilai yang bagus, tetapi kalau saya
tidak giat atau malas belajar pasti hasil nilainya akan buruk pula”. Ia juga mengakui dengan
melaksanakan shalat Dhuha, ia menjadi bersemangat untuk belajar, karena dengan shalat Dhuha
dapat menghilangkan pikiran yang kalut, dan menjadikan pikiran lebih berkosentrasi pada pelajaran
Hasil wawancara dengan Bapak Edi Imam Munajat mengatakan, jika pada waktu istirahat siswa
mempergunakan untuk shalat Dhuha, berdo’a, dan tawakkal, maka siswa dapat belajar dengan
maksimal. Dengan begitu, transfer ilmu dari guru kepada siswa menjadi lebih optimal (Wawancara
pada tangal 01 Mei 2009 pukul 11.30 Wib di depan ruang kelas V). Selanjutnya, Bapak Kadir juga
menambahkan, bahwa hati siswa menjadi lebih tenang dan bersemangat untuk belajar, sebab mereka
yakin bahwa Allah Swt. senantiasa mengawasi dan menaunginya dengan Rahmat dan Kasih sayang.
Misalnya, apabila salah satu siswa berharap hasil ulangannya mendapatkan nilai di atas 80, tetapi al-
hasil harapan itu tidak terealisasikan, ia tidak putus asa atau tidak bersemangat, namun sebaliknya,
siswa dapat menginstropeksi diri dan mengevaluasi diri mereka sendiri (Wawancara pada tanggal 02
Dari beberapa keterangan di atas, maka dapat dianalisa bahwa dengan adanya pembiasaan shalat
Dhuha ini siswa merasa lebih tawakkal, dan menyerahkan segala urusan kepada Allah Swt. setelah
mereka berusaha semaksimalnya dengan cara giat dan rajin belajar, baik di rumah maupun di
madrasah.
Seseorang dapat mencapai keridhaan Allah Swt. bila ia beribadah dengan dasar keikhlasan dan bekerja
dengan niat baik dan kejujuran. Keikhlasan beribadah dapat ditandai dengan upaya menjauhi syirik,
tidak menunjuk-menunjukan suatu amal kepada orang lain dan tidak mencari kepopuleran atau
kemasyhuran nama. Ikhlas dalam melaksanakan amal shaleh merupakan upaya yang harus dicetak
dalam diri manusia, karena ikhlas merupakan sikap ketulusan hati dalam diri manusia.
Dalam hal ini, dengan melaksanakan shalat Dhuha para siswa MI Miftahul Huda dapat meningkatkan
ketulusan hati kepada Allah Swt. dalam melaksanakan perbuatan terpuji, baik perbuatan yang
berhubungan dengan Allah Swt., maupun perbuatan yang berhubungan dengan sesama manusia.
Sebagaimana hasil wawancara dengan Ibu Siti Nur Khasanah yang menjelaskan, bahwa pembiasaan
shalat Dhuha ini dilaksanakan salah satu tujuannya adalah agar siswa dapat lebih menghemat uang
sakunya, karena waktu istirahat mereka digunakan untuk shalat Dhuha, tidak untuk jajan (membeli
makanan atau kue) (Wawancara pada tanggal 27 April 2009 di ruang guru).
Selanjutnya, Ibu Lailatul Masfufah saat diwawancarai menjelaskan, bahwa dengan adanya kegiatan ini,
waktu istirahat siswa digunakan untuk melaksanakan shalat Dhuha. Oleh karena itu, siswa dapat
menyisihkan sebagian uang saku mereka pada saat istirahat pertama, dan sifat keikhlasan terlihat
ketika mereka mengeluarkan sedekah amal jariyah (Wawancara pada tanggal 01 Mei 2009 pukul 07.30
Wib di depan ruang kelas V). Peneliti sendiri melihat beberapa siswa sedang memasukan sebagian
uang saku mereka ke dalam kotak amal yang terletak di masjid, tanpa diperintah oleh siapa pun.
Dari hasil observasi, siswa juga dilatih dan dibiasakan untuk gemar mengeluarkan amal jariyah. Setiap
hari jum’at dengan ikhlas siswa menyisihkan sebagian uang saku mereka untuk disedekahkan,
kegiatan ini biasa disebut dengan jum’at amal. Ibu Lailatul Masfufah juga menjelaskan, bahwa
sebenarnya dana dari kegiatan jum’at amal ini bukan disumbangkan kepada orang lain, tetapi dana ini
digunakan untuk kepentingan siswa sendiri, misalnya ada salah satu siswa yang sakit, maka untuk
Dari beberapa keterangan di atas, maka dapat dianalisa bahwa dengan adanya pembiasaan shalat
Dhuha ini siswa dapat meningkatkan sikap keikhlasan, salah satunya melalui amal jariyah atau
sedekah yang mereka keluarkan, bukan karena perintah dari siapa pun, tetapi memang karena Allah
Swt. (lillahi ta’ala).
Dampak shalat Dhuha terhadap pembinaan akhlak siswa terhadap sesama manusia, salah satunya
yaitu dapat menumbuhkan rasa persaudaraan dan kasih sayang antar siswa, serta hubungan antara
siswa dengan guru. Dalam hal ini, Bapak Zaenal Abidin mengatakan, bahwa tujuan diterapkannya
pembiasaan shalat Dhuha ini, salah satunya agar siswa lebih menyadari tentang pentingnya rasa
persaudaraan. Karena pelaksanaan shalat Dhuha ini dilakukan dengan bersama-sama, maka secara
tidak langsung mereka telah menciptakan hubungan yang harmonis atau keakraban antar siswa dan
juga guru (Wawancara pada tanggal 28 April 2009 setelah shalat Dhuha, pukul 10.00 Wib di emperan
masjid).
Kemudian Bapak Kadir mengatakan, rasa persaudaraan siswa ini diaplikasikan dalam bentuk
silaturrahmi, baik antar siswa maupun siswa dengan guru (Wawancara pada tanggal 02 Mei 2009
pukul 12.00 Wib di depan ruang kelas II). Apabila dicermati lebih jauh, silaturrahmi dapat mempererat
tali persaudaraan. Tali persaudaraan yang kuat memudahkan kita berbagi solusi untuk mengatasi
masalah kehidupan. Dengan mudahnya kita memperoleh solusi hidup, otomatis akan menghindarkan
Dari keterangan di atas, maka dapat dianalisa bahwa dengan adanya pembiasaan shalat Dhuha ini
siswa dapat menyadari akan pentingnya rasa persaudaraan. Hal ini diaplikasikan dengan menyambung
tali silaturrahmi, baik antar siswa maupun siswa dengan para guru.
Pembiasaan shalat Dhuha juga berdampak pada pembinaan adab kesopanan siswa, baik perkataan
maupun perbuatan. Ibu Iin Zunaidah menjelaskan, bahwa siswa harus dibiasakan dan dilatih untuk
selalu menjaga kesopanan, baik terhadap orang tua, guru, maupun sesama teman (Wawancara pada
tanggal 03 Mei 2009 di rumahnya). Dalam hal ini, siswa cukup menjaga adab kesopanan, misalnya
mereka selalu mengucapkan salam ketika masuk atau keluar kelas, mencium tangan setiap guru
ketika bertemu, dan berbicara dengan lemah lembut kepada setiap orang, terutama orang yang lebih
tua.
Salah satu orang tua siswa yang bernama Ibu Umi Hanik saat diwawancarai beliau mengatakan, bahwa
setelah anaknya dibiasakan shalat Dhuha setiap pagi di madrasah, anaknya mengalami banyak
perubahan, terutama akhlaknya, misalnya setiap berangkat ke madrasah ia selalu mengucapkan salam
dan mencium tangan orang tuanya (Wawancara pada tanggal 03 Mei 2009 pukul 20.00 Wib di
rumahnya).
Dari keterangan di atas, maka dapat dianalisa bahwa dengan adanya pembiasaan shalat Dhuha ini
siswa cukup mampu menerapkan adab kesopanan terhadap setiap orang, terutama orang tua dan
Selain sikap kesopanan, dampak pembiasaan shalat Dhuha lainnya adalah siswa menjadi lebih tenang
dan dapat menahan amarah mereka. Ibu Ida Suhartini mengatakan, bahwa di tengah-tengah rutinitas
kegiatan belajar mengajar, siswa sering mengalami tekanan. Akibatnya, pikiran menjadi kalut, hati
tidak tenang, dan emosi tidak stabil. Keadaan seperti ini tentunya tidak kondusif untuk belajar, karena
dapat merusak kosentrasi dan mengganggu keharmonisan antar siswa, yang akhirnya prestasi mereka
pun menjadi korban (Wawancara pada tanggal 02 Mei 2009 pukul 10.30 Wib di ruang guru). Oleh
karena itu, untuk mengatasi keadaan seperti itu, siswa harus berupaya untuk selalu melaksanakan
shalat Dhuha. Hasilnya, pikiran menjadi tenang, dan emosi menjadi terkontrol.
Dari beberapa keterangan di atas, maka dapat dianalisa bahwa dengan adanya pembiasaan shalat
Dhuha ini siswa dapat mengontrol emosi atau amarah mereka, selain itu pikiran dan hati siswa juga
Selain sikap-sikap yang telah dipaparkan di atas, dampak shalat Dhuha terhadap pembinaan akhlak
siswa selanjutnya adalah tertanamnya sifat jujur pada diri siswa. Jujur merupakan sifat yang terpancar
dari dalam hati yang mulia dan memantulkan berbagai sifat terpuji. Orang yang jujur berani
menyatakan sikap secara transparan dan terbebas dari segala kepentingan, kepalsuan, serta penipuan.
Bapak Syamsul Hadi menjelaskan, bahwa kejujuran adalah hal mutlak yang harus dimiliki siswa dalam
usaha untuk meningkatkan prestasi. Misalnya, ketika siswa mengerjakan soal ujian, maka mereka
harus jujur dalam menyelesaikan soal-soal tersebut (Wawancara pada tanggal 01 Mei 2009 pukul
12.00 Wib di ruang guru). Dalam hal ini, para guru sering menyampaikan dan menanamkan sebuah
Dari keterangan di atas, maka dapat dianalisa bahwa dengan membiasakan shalat Dhuha siswa
menjadi lebih memiliki sifat jujur, baik perkataan maupun perbuatan. Hal ini terbukti karena siswa
selalu mengungkapkan apa adanya ketika sedang berbicara dengan guru, selain itu juga ketika mereka
mengerjakan soal-soal ujian.
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada Bab sebelumnya, bahwa data ini diperoleh dari hasil observasi
partisipatif, wawancara, dan dokumenter. Setelah dilakukan pengecekan ulang tentang kevalidannya,
hal ini sesuai dengan kanyataan yang sebenarnya di lapangan. Selanjutnya pada pembahasan ini akan
didiskusikan apa yang menjadi temuan dalam penelitian ini, kemudian diinterpretasikan sebagai
jawaban dan tanggapan terhadap apa yang dipaparkan sebelumnya. Adapun diskusi dan interpretasi
tersebut adalah sebagai berikut:
shalat Dhuha di MI Miftahul Huda dilatarbalakangi karena sebelum diterapkannya pembiasaan shalat
Dhuha, siswa kurang produktif dalam memanfaatkan waktu. Oleh karena itu, pembiasaan shalat
Dhuha ini selain bertujuan untuk pembinaan akhlak siswa, juga bertujuan untuk melatih siswa dalam
Dengan demikian, maka dapat diinterpretasikan, bahwa penerapan program pembiasaan shalat Dhuha
di MI Miftahul Huda sangat tepat dalam rangka memecahkan masalah siswa, yaitu kurang produktif
dalam memanfaatkan waktu dan juga untuk pembinaan akhlak siswa, baik terhadap Allah Swt.
Pembiasaan shalat Dhuha di MI Miftahul Huda dilaksanakan tiga kali dalam seminggu, yaitu pada hari
selasa, kamis, dan sabtu. Shalat ini dimulai pada pukul 09.00 sampai 10.00 Wib. Kegiatan ini
dilaksanakan dengan cara berjamaah pada dua rakaat pertama, dan dua rakaat selanjutnya
dilaksanakan dengan sendiri-sendiri. Setelah shalat Dhuha selesai siswa membaca do’a shalat Dhuha
bersama-sama, kemudian diakhiri dengan membaca ayat-ayat Al Qur’an yang dibimbing oleh guru.
Dengan demikian, maka dapat diinterpretasikan bahwa program pembiasaan shalat Dhuha di MI
Miftahul Huda sudah dilaksanakan dengan efektif dan efisien, karena ini merupakan program yang
sangat diperlukan oleh siswa dalam pembinaan akhlak. Selain itu dalam pelaksanaannya juga sudah
sesuai dengan ketentuan-ketentuan Islam yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. dan telah dijadikan
Berdasarkan penyajian dan analisa data, disebutkan bahwa terdapat beberapa dampak dari
pembiasaan shalat Dhuha terhadap pembinaan akhlak siswa kepada Allah Swt. di MI Miftahul Huda,
yaitu sebagai berikut: Pertama, dengan adanya pembiasaan shalat Dhuha ini siswa cukup mampu
menerapkan rasa syukur mereka atas segala nikmat Allah Swt., baik melalui ucapan maupun
perbuatan. Kedua, dengan adanya pembiasaan shalat Dhuha ini siswa merasa lebih tawakkal, dan
menyerahkan segala urusan kepada Allah Swt. setelah mereka berusaha semaksimalnya dengan cara
giat dan rajin belajar, baik di rumah maupun di madrasah. Dan ketiga, dengan adanya pembiasaan
shalat Dhuha ini siswa dapat meningkatkan sikap keikhlasan, salah satunya melalui amal jariyah atau
sedekah yang mereka keluarkan, bukan karena perintah dari siapa pun, tetapi memang karena Allah
Swt.
Dengan demikian, maka dapat diinterpretasikan bahwa dampak pembiasaan shalat Dhuha terhadap
pembinaan akhlak siswa kepada Allah Swt. di MI Miftahul Huda cukup berhasil, karena siswa cukup
mampu menerapkan beberapa sikap atau akhlak terpuji terhadap Allah Swt., yaitu siswa lebih
bersyukur kepada Allah Swt. atas segala nikmat-Nya, lebih tawakkal setelah mereka berusaha dan
berdo’a, serta siswa juga lebih memiliki sifat ikhlas dalam setiap perbuatannya dan diniatkan karena
pentingnya rasa persaudaraan. Hal ini diaplikasikan dengan menyambung tali silaturrahmi, baik antar
siswa maupun siswa dengan guru. Kedua, dengan adanya pembiasaan shalat Dhuha ini siswa cukup
mampu menerapkan adab kesopanan terhadap setiap orang, terutama orang tua dan guru, baik
berupa perkataan maupun perbuatan. Ketiga, dengan adanya pembiasaan shalat Dhuha ini siswa dapat
mengontrol emosi atau amarah, selain itu pikiran dan hati siswa juga menjadi lebih tenang, sehingga
akan memperlancar proses belajar. Dan keempat, siswa juga menjadi lebih memiliki sifat jujur, baik
Dari keterangan di atas, maka dapat diinterpretasikan bahwa dampak pembiasaan shalat Dhuha
terhadap pembinaan akhlak siswa kepada sesama manusia di MI Miftahul Huda dapat dikatakan sudah
cukup berhasil, karena siswa cukup mampu menerapkan beberapa sikap atau akhlak terpuji terhadap
sesama manusia, yaitu rasa persaudaraan yang diaplikasikan melalui silaturrahmi, sopan santun
terhadap setiap orang, dapat menahan amarah atau emosi, dan juga bersikap jujur, baik perkataan
maupun perbuatan.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari keterangan yang telah dipaparkan pada Bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Munculnya program pembiasaan shalat Dhuha di MI Miftahul Huda dilatarbalakangi karena sebelum
diterapkannya pembiasaan shalat Dhuha, siswa kurang produktif dalam memanfaatkan waktu. Oleh
karena itu, pembiasaan shalat Dhuha ini selain bertujuan untuk pembinaan akhlak siswa, baik akhlak
terhadap Allah Swt. maupun terhadap sesama manusia. Selain itu, juga bertujuan untuk melatih siswa
2. Pembiasaan shalat Dhuha di MI Miftahul Huda dilaksanakan tiga kali dalam seminggu, yaitu pada
hari selasa, kamis, dan sabtu. Shalat ini dimulai pada pukul 09.00 sampai 10.00 Wib. Kegiatan ini
dilaksanakan dengan cara berjamaah pada dua rakaat pertama, dan dua rakaat selanjutnya
dilaksanakan dengan sendiri-sendiri. Setelah shalat Dhuha selesai siswa membaca do’a shalat Dhuha
bersama-sama, kemudian diakhiri dengan membaca ayat-ayat Al Qur’an yang dibimbing oleh guru.
3. Dampak pembiasaan shalat Dhuha terhadap pembinaan akhlak siswa, yaitu sebagai berikut:
1) Dampak pembiasaan shalat Dhuha di MI Miftahul Huda yaitu siswa cukup mampu menerapkan rasa
syukur mereka atas segala nikmat Allah Swt. baik melalui ucapan maupun perbuatan.
2) Dampak pembiasaan shalat Dhuha di MI Miftahul Huda yaitu siswa merasa lebih tawakkal setelah
mereka berusaha semaksimalnya dengan cara giat dan rajin belajar, baik di rumah maupun di
madrasah.
3) Dampak pembiasaan shalat Dhuha di MI Miftahul Huda yaitu siswa dapat meningkatkan sikap
keikhlasan, salah satunya melalui amal jariyah atau sedekah yang mereka keluarkan, bukan karena
1) Dampak pembiasaan shalat Dhuha di MI Miftahul Huda yaitu siswa dapat menyadari akan
pentingnya rasa persaudaraan. Hal ini diaplikasikan dengan menyambung tali silaturrahmi, baik antar
2) Dampak pembiasaan shalat Dhuha di MI Miftahul Huda yaitu siswa cukup mampu menerapkan adab
kesopanan terhadap setiap orang, terutama orang tua dan guru, baik berupa perkataan maupun
perbuatan.
3) Dampak pembiasaan shalat Dhuha di MI Miftahul Huda yaitu siswa dapat mengontrol emosi atau
amarah, selain itu pikiran dan hati siswa juga menjadi lebih tenang, sehingga akan memperlancar
proses belajar.
4) Dampak pembiasaan shalat Dhuha di MI Miftahul Huda yaitu siswa menjadi lebih memiliki sifat
jujur, baik perkataan maupun perbuatan.
B. SARAN-SARAN
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka ada beberapa saran yang perlu peneliti sampaikan kepada
1. Setelah ditetapkan dan diterapkan program pembiasaan shalat Dhuha, maka alangkah baiknya
apabila kegiatan ini tetap dipertahankan dan dikembangkan dalam rangka mencapai tujuan yang telah
ditetapkan sebelumnya
2. Dalam pelaksanaannya, hendaknya kegiatan shalat Dhuha ini dilaksanakan secara bersama-sama
3. Diharapkan para dewan guru selalu memberi motivasi dan semangat kepada siswa dalam
melaksanakan kegiatan shalat Dhuha, sehingga tidak ada unsur paksaan dalam diri siswa untuk
4. Sebaiknya para dewan guru memberi suri tauladan kepada siswa, baik berupa perkataan maupun
perbuatan.