Anda di halaman 1dari 49

Pembiasaan Shalat Dhuha dalam Pembinaan

Akhlak Siswa di MI Miftahul Huda Mlokorejo


Kecamatan Puger Kabupaten Jember
11 f 2009 pada 4:12 am (Penelitian)
Tags: Pendidikan

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Allah Swt. menciptakan manusia hanya untuk beribadah kepada-Nya. Dalam rangka ibadah kepada

Allah Swt., manusia telah diberi petunjuk oleh-Nya. Petunjuk Allah Swt. tersebut dinamakan Ad-Din

(Agama). Agama adalah satu kata yang sangat mudah diucapkan dan mudah juga untuk menjelaskan

maksudnya (khususnya bagi orang awam), tetapi sangat sulit memberikan batasan (definisi) yang tepat

lebih-lebih bagi para pakar (Syihab, 1994: 209).

Kata agama berasal dari bahasa Sanskrit, yaitu A berarti “tidak”, dan Gama berarti “pergi”. Jadi, tidak

pergi, tetap di tempat, diwarisi turun temurun, karena agama memang mempunyai sifat demikian. Ada

yang mengatakan bahwa agama berarti teks atau kitab suci. Ada juga yang mengatakan Gam berarti

tuntunan, karena agama memang memberi tuntunan. Sedangkan kata Ad-Din dalam bahasa Samit

berarti undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab, kata ini mengandung arti menguasai,

menundukkan, patuh, utang, balasan, dan kebiasaan. Agama memang membawa peraturan yang

mengandung hukum yang harus dipatuhi. Agama memang menguasai diri seseorang dan membuat ia

tunduk serta patuh kepada Tuhan dengan menjalankan ajaran-ajaran agama (Usman, 2001: 11).

Menurut Nasr dalam Hariyanto (2003: 4), menyatakan bahwa manusia sangat membutuhkan agama,

tanpa agama ia belum menjadi manusia utuh. Setelah manusia dipisahkan dari agama, ia menjadi

gelisah, tak tenang dan mulai membuat atau menciptakan agama-agama semu. Selanjutnya Quraisy

Syihab mengatakan, Islam telah menegaskan bahwa agama (tauhid) merupakan kebutuhan yang
sifatnya alamiah (fitrah) dalam diri manusia (Hariyanto, 2003: 5).

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah Swt; (tetaplah atas) fitrah Allah Swt.

yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah Swt. (Itulah)

agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Ar-Rum: 30) (Depag RI, 2005:
574).

Selanjutnya Allah juga berfirman dalam Al Qur’an surat Ali Imron: 19

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah Swt. hanyalah Islam…” (QS. Ali-Imran: 19) (Depag RI,
2005: 65).
Islam adalah nama yang diberikan Allah Swt. kepada agama yang disampaikan-Nya kepada Nabi

Muhammad Saw. Perkataan agama berarti menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah Swt., mematuhi

perintah-Nya, dan menghentikan larangan-Nya. Agama yang diakui Allah Swt. ialah Islam, dengan

pengertian agama yang mengandung ajaran patuh kepada Allah Swt., beribadah dan memuja Allah

Swt. semata-mata. Dengan menyerahkan diri kepada Allah Swt., mematuhi perintah-Nya, manusia

akan selamat di dunia dan akhirat, jasmani dan rohani, pribadi dan masyarakat (Fachruddin, 1992:

94). Menurut Razak dalam Hariyanto (2003: 6), bahwa Islam adalah agama samawi (agama langit) yang

terakhir dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. yang diyakini akan membawa kebahagiaan dan

keselamatan baik di dunia maupun di akhirat.

Dalam konsep Ad-Din Al-Islam, sebagaimana terdapat dalam Al Qur’an dan dalam penjelasan Rasul-

Nya, ia mengatur hubungan, baik hubungan vertikal (hubungan manusia dengan Tuhan-Nya), maupun

hubungan horisontal (hubungan antara manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam sekitar)

(Usman, 2001: 13).

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa Allah Swt. menciptakan manusia hanya untuk
beribdah kepada-Nya. Sebagaimana Firmannya dalam Al Qur’an surat Ad-Dzariyat: 56.

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (QS.
Ad-Dzariyat: 56) (Depag RI, 2005: 756).

Secara filosofis, ibadah dalam Islam tidak semata-mata bertujuan untuk menyembah Allah Swt. Sebab,

disembah atau tidak disembah, Allah Swt. tetaplah Allah Swt. Esensi ketuhanan Allah Swt. tidak pernah

berkurang sedikit pun apabila manusia dan seluruh makhluk di jagat raya ini tidak menyembah-Nya.

Ibadah merupakan upaya mendekatkan diri kepada Allah Swt. Allah Swt. adalah eksistensi Yang

Mahasuci yang tidak dapat didekati kecuali oleh yang suci. Diakui oleh para ulama dan para peneliti

atau pakar, bahwa salah satu ibadah yang sangat penting dalam Islam adalah shalat. Shalat memiliki

kedudukan istimewa baik dilihat dari cara memperoleh perintahnya yang dilakukan secara langsung,

kedudukan shalat itu sendiri dalam agama maupun dampak atau fadilahnya.

Kedudukan shalat dalam agama Islam sebagai ibadah yang menempati posisi penting yang tidak dapat

digantikan oleh ibadah apa pun juga, shalat merupakan tiang agama yang tidak akan dapat tegak
kecuali dengan shalat. Shalat adalah ibadah yang pertama kali diwajibkan oleh Allah Swt. kepada

hamba-Nya, perintah kewajibannya disampaikan langsung oleh Allah Swt. melalui dialog dengan

Rasul-Nya pada malam Mi’raj. Shalat juga merupakan amalan yang mula-mula akan dihisab (Ar-

Rahbawi, 2001: xii).

Djalaludin Ancok dalam Hariyanto (2003: xix) menjelaskan, bahwa shalat adalah suatu kegiatan fisik

dan mental-spiritual yang memberikan makna baik bagi hubungan dengan Allah Swt., hubungan

dengan sesama manusia, dan hubungan dengan diri sendiri. Dengan demikian, menurut Al-Mahfani
(2008: 30), shalat merupakan suatu ibadah (ibadah yang paling utama), dalam proses penghambaan
dan pendekatan diri kepada Allah Swt.. Shalat yang dikerjakan dengan ikhlas sepenuh hati karena

Allah Swt., akan menumbuhkan sensasi kenikmatan tersendiri.


Ibadah shalat dalam garis besarnya, dibagi kepada dua jenis, yaitu: pertama, shalat yang difardlukan,

dinamai shalat maktubah; dan yang kedua, shalat yang tidak difardlukan, dinamai shalat sunah (As-

Syiddieqy, 2001: 287). Shalat sunah ialah shalat yang dianjurkan kepada orang mukallaf untuk

mengerjakannya sebagai tambahan bagi shalat fardlu, tetapi tidak diharuskan. Ia disyariatkan untuk

menambal kekurangan yang mungkin terjadi pada shalat-shalat fardlu disamping karena shalat itu

mengandung keutamaan yang tidak terdapat pada ibadah-ibadah lain.

Shalat sunah tersebut terbagi menjadi dua bagian, yaitu: pertama: shalat-shalat sunah yang tidak

disunatkan berjamaah, seperti shalat sunah Rawatib, shalat sunah witir (kecuali pada bulan

Ramadhan), shalat sunah Dhuha, shalat sunah tahiyyat al-masjid, shalat tasbih, shalat istikharah,

sunah Hajat, sunah Taubah, sunah Tahajjud, dan shalat sunah Mutlak. Dan kedua: shalat sunah yang

disunatkan berjamaah, seperti shalat sunah ‘Id al-fitri, shalat sunah ‘Id al-Adha, shalat sunah Kusuf

(gerhana matahari), shalat sunah Khusuf (gerhana bulan), shalat sunah Istisqa’, dan shalat sunah

Tarawih (NN, 2008: 18).

Shalat Dhuha merupakan salah satu di antara shalat-shalat sunah yang sangat dianjurkan oleh

Rasulullah Saw. Banyak penjelasan para ulama, bahkan keterangan Rasulullah Saw. yang menyebutkan

berbagai keutamaan dan keistimewaan shalat Dhuha bagi mereka yang melaksanakannya (Alim, 2008:

63). Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa manusia tidak hanya terdiri dari dimensi lahiriyah fisik dan

psikis saja, melainkan juga dimensi batin spiritual. Memenuhi kebutuhan fisik dan psikis saja serta

merasa cukup dengan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan ini tentunya akan menyebabkan

ketidakseimbangan dalam diri kita, karena cara seperti itu tidak dapat memenuhi kebutuhan kita

secara keseluruhan. Oleh karena itu, salah satu keutamaan shalat Dhuha adalah untuk memenuhi

kebutuhan kedua dimensi diri tersebut.

Secara garis besar, ajaran agama Islam mengandung tiga hal pokok, yaitu aspek keyakinan (aqidah),

aspek ritual atau norma (syari’ah), dan aspek perilaku (akhlak). Aspek keyakinan yaitu suatu ikatan

seseorang dengan Tuhan yang diyakininya. Aqidah Islam adalah tauhid, yang meyakini ke-Esaan Allah

Swt. baik Dzat maupun sifatnya. Aspek syari’ah yaitu aturan atau hukum yang mengatur hubungan

manusia dengan Allah Swt., manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alam. Sedangkan

aspek akhlak yaitu aspek perilaku yang tampak pada diri seseorang dalam hubungan dengan dirinya,

sesama manusia, dan alam sekitar.

Keberimanan seseorang seluruhnya diukur oleh hal-hal yang bersifat akhlaqi, termasuk shalat, sebab

seseorang yang melakukan shalat dengan makna yang sebenarnya, akan efektif untuk merealisasikan

tanha ‘anil fakhsya’i wal munkar, di mana dengannya akan tercipta masyarakat yang damai, aman dan

harmonis. Indikasi bahwa akhlak dapat dipelajari dengan metode pembiasaan, meskipun pada awalnya

anak didik menolak atau terpaksa melakukan suatu perbuatan atau akhlak yang baik, tetapi setelah

lama dipraktekkan, secara terus-menerus dibiasakan akhirnya anak mendapatkan akhlak mulia.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa shalat itu dibagi menjadi dua macam, yaitu: shalat fardlu

dan shalat sunah. Shalat sunah tersebut dibagi lagi menjadi menjadi beberapa macam. Dalam
penelitian ini, peneliti lebih mengkhususkan pada shalat sunah Dhuha. Sedangkan lokasi penelitian ini
dilakukan di MI Miftahul Huda Mlokorejo, karena dalam tiga tahun terakhir ini lembaga tersebut telah

menerapkan pembiasaan shalat Dhuha kepada siswanya secara rutin, tiga kali dalam seminggu.

Hasil observasi sementara yang dilakukan oleh peneliti di MI Miftahul Huda Mlokorejo adalah sebagai

berikut, di mana siswa MI Miftahul Huda sebelum diterapkannya pembiasaan shalat Dhuha, mereka

kurang produktif dalam memanfaatkan waktu, di saat istirahat mereka hanya dengan bermain-main

saja. Setelah para guru dan pengurus yayasan mengadakan musyawarah, disepakati bahwa shalat

Dhuha harus diterapkan bagi siswa minimal tiga kali dalam seminggu. MI Miftahul Huda Mlokorejo,

mulai diterapkannya shalat Dhuha pada tahun 2006 hingga sekarang telah banyak memberikan

pengaruh dan pembinaan akhlak bagi siswa dan juga respon dari orang tua siswa.

Dari latar belakang tersebut di atas, maka peneliti ingin mencermati dan mengkaji secara lebih

mendalam dan ilmiah, akan Pembiasaan shalat Dhuha dalam pembinaan akhlak siswa (Studi kasus di
MI Miftahul Huda Mlokorejo kecamatan Puger kabupaten Jember).

B. ALASAN PEMILIHAN JUDUL

Alasan pemilihan judul penelitian ilmiah, merupakan hal yang harus ada agar peneliti dapat

memperkuat konsisten diri dalam mengangkat judul, adapun alasan-alasan memilih judul tersebut

adalah :

1. Alasan Obyektif

a. Pembiasaan merupakan salah satu metode yang digunakan dalam pendidikan untuk mencapai

tujuan pendidikan

b. Shalat adalah salah satu amal ibadah yang paling utama dan yang akan pertama kali di hisab

(diperhitungkan), serta yang menentukan amal ibadah lainnya

c. Shalat Dhuha merupakan shalat sunah yang dianjurkan Rasulullah Saw. (muakad), dan memiliki

beberapa keutamaan atau fadilah

d. Akhlak adalah sebagai cerminan dari jiwa dan iman seseorang. Jika jiwanya baik maka akhlaknya

juga baik, begitu juga sebaliknya, jika jiwanya buruk, maka akhlaknya akan buruk pula.

e. Peneliti ingin mengkaji tentang pembiasaan shalat Dhuha dalam pembinaan akhlak siswa

2. Alasan Subyektif

a. Judul tersebut menarik untuk dikaji dan diteliti, serta masih dalam ruang lingkup disiplin ilmu yang

ditekuni peneliti yaitu adanya kesesuaian dengan Jurusan Tarbiyah

b. Shalat Dhuha itu sering kali tidak di kerjakan, karena waktunya bersamaan dengan aktifitas dan

kesibukan kita di pagi hari

c. Banyak orang yang tidak memahami tentang keutamaan-keutamaan shalat Dhuha. Oleh karena itu,
peneliti akan memaparkan berbagai keutamaan shalat Dhuha.

C. FOKUS PENELITIAN
1. Fokus Penelitian
Bagaimana pembiasaan shalat Dhuha dalam pembinaan akhlak siswa (Studi kasus di MI Miftahul Huda

Mlokorejo kecamatan Puger kabupaten Jember)


2. Sub Fokus Penelitian

a. Bagaimana program pembiasaan shalat Dhuha dalam pembinaan akhlak siswa di MI Miftahul Huda

Mlokorejo

b. Bagaimana pelaksanaan pembiasaan shalat Dhuha dalam pembinaan akhlak siswa di MI Miftahul

Huda Mlokorejo

c. Bagaimana dampak pembiasaan shalat Dhuha terhadap pembinaan akhlak siswa di MI Miftahul Huda
Mlokorejo

D. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan suatu penelitian adalah upaya untuk memecahkan masalah. Arikunto (2002: 55) menambah,

tujuan penelitian adalah rumusan kalimat yang menunjukan adanya sesuatu hal yang diperoleh setelah

penelitian selesai.

1. Tujuan Umum

Untuk mengkaji pembiasaan shalat Dhuha dalam pembinaan akhlak siswa (Studi kasus di MI Miftahul

Huda Mlokoreja kecamatan Puger kabupaten Jember)

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mendeskripsikan program pembiasaan shalat Dhuha dalam pembinaan akhlak siswa di MI

Miftahul Huda Mlokorejo

b. Untuk mendeskripsikan pelaksanaan pembiasaan shalat Dhuha dalam pembinaan akhlak siswa di MI

Miftahul Huda Mlokorejo

c. Untuk mendeskripsikan dampak pembiasaan shalat Dhuha terhadap pembinaan akhlak siswa di MI
Miftahul Huda Mlokorejo

E. MANFAAT PENELITIAN

1. Bagi peneliti, penelitian ini menjadi tolok ukur seberapa dalam pengetahuan dan wawasan terkait

dengan pembiasaan shalat Dhuha dalam pembinaan akhlak siswa dan juga sebagai sarana latihan

dalam pengembangan keilmuan dalam keterampilan penyusunan karya ilmiah

2. Bagi MI Miftahul Huda Mlokorejo, selaku subyek penelitian, hasil penelitian ini dapat digunakan

untuk mengetahui dan meningkatkan pembiasaan shalat Dhuha dalam pembinaan akhlak siswa
3. Bagi STAIN Jember, penelitian diharapkan agar dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
perkembangan keilmuan khususnya pada Jurusan Tarbiyah

F. DEFINISI OPERASIONAL

Dalam definisi operasional kita dapat mengetahui keberhasilan atau kegagalan suatu konsep. Hal ini,

disebabkan defini operasional merupakan petunjuk tentang pengukuran variabel. Adapun definisi

operasional pada judul skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Pembiasaan berasal dari kata dasar “biasa” yang berarti sebagai sedia kala, sebagai yang sudah-
sudah, tidak menyalahi adat, atau tidak aneh. (Poerwadarminta, 2007: 153). Dengan adanya prefiks

“pe” dan suffiks “an” menunjukkan arti proses. Sehingga pembiasaan dapat diartikan dengan proses
membuat sesuatu atau seseorang menjadi biasa atau terbiasa.

2. Shalat Dhuha adalah shalat sunah yang dikerjakan pada pagi hari, dimulai ketika matahari mulai

naik sepenggalah atau setelah terbit matahari (sekitar jam 07.00) sampai sebelum masuk waktu

Dzuhur ketika matahari belum naik pada posisi tengah-tengah (Al Mahfani, 2008: 11).

3. Akhlak adalah perbuatan manusia yang berasal dari dorongan jiwanya karena kebiasaan, tanpa

memerlukan pikiran terlebih dahulu. Maka gerakan refleks, denyut jantung, dan kedipan mata tidak
dapat disebut akhlak (Mustofa, 2005).

G. SISTEMATIKA PEMBAHASAN

Dalam sistematika pembahasan ini akan dijelaskan kerangka pemikiran yang digunakan dalam

menyusun skripsi ini, yang mana pembahasannya dibagi menjadi dua, yaitu pembahasan secara

teoritis berdasarkan literatur yang ada, serta pembahasan analisis yang berdasarkan data-data yang

diperoleh dilapangan, untuk mempermudah dan memperjelas proses penyusunan skripsi ini. Adapun

sistematika pembahasan tersebut sebagai berikut:

Pada Bab satu akan dijelaskan mengenai latar belakang, alasan pemilihan judul, fokus penelitian,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional, dan sistematika pembahasan. Fungsi dari

bab satu ini adalah untuk memperoleh gambaran umum dari skripsi ini.

Pada Bab dua akan dijelaskan mengenai; kajian konseptual, yaitu tentang pembiasaan, shalat Dhuha,

dan akhlak; penelitian terdahulu, yaitu mencantumkan berbagai hasil penelitian terdahulu yang terkait

dengan penelitian ini; dan kajian teoritik, antara lain kajian tentang shalat Dhuha dan kajian tentang

akhlak. Fungsi dari bab dua ini adalah untuk mengetahui hasil-hasil dari penelitian yang pernah ada

dalam bidang yang sama, serta membicarakan teori yang terkait dengan topik penelitian ini.

Pada Bab tiga akan dijelaskan mengenai metode penelitian, meliputi: pendekatan dan jenis penelitian,

lokasi penelitian, sumber dan jenis penelitian, teknik pengumpulan data, analisa data, keabsahan data,

dan tahap-tahap penelitian. Fungsi bab tiga ini adalah untuk acuan atau pedoman dalam penelitian

ini, berupa langkah-langkah yang harus diikuti untuk menjawab pertanyaan dalam perumusan

masalah.

Pada Bab empat akan dijelaskan mengenai gambaran obyek penelitian, penyajian dan analisis data,

serta diskusi dan interpretasi. Fungsi bab empat ini adalah pemaparan data yang diperoleh dilapangan

dan juga untuk menarik kesimpulan dalam rangka menjawab masalah yang telah dirumuskan.

Pada Bab lima akan dipaparkan mengenai kesimpulan dan saran-saran. Fungsi dari bab lima ini adalah

sebagai rangkuman dari semua pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, sekaligus
penyampaian saran-saran bagi pihak yang terkait.

BAB II
KAJIAN KEPUSTAKAAN

A. KAJIAN KONSEPTUAL

1. Kajian Konseptual tentang Pembiasaan


Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata metode berarti cara yang teratur dan terpikir baik-baik

untuk mencapai suatu maksud (Poerwadarminta, 2007: 767). Secara bahasa metode berasal dari dua

kata yaitu meta dan hodos. Meta berarti “melalui.” dan hodos berarti “jalan atau cara”. Bila ditambah

logi sehingga menjadi metodologi berarti “ilmu pengetahuan tentang jalan atau cara yang harus dilalui

untuk mencapai tujuan”. Oleh karena kata logi yang berasal dari kata Yunani logos berarti “akal” atau

“ilmu”.

Sedangkan secara istilah, Edgar Bruce Wesley mendefinisikan metode dalam bidang pendidikan

sebagai rentetan kegiatan terarah bagi guru yang menyebabkan timbulnya proses belajar pada siswa.

Disisi lain Imam Barnadib mengartikan metode sebagai suatu sarana untuk menemukan, menguji dan

menyusun data yang diperlukan bagi pengembangan pendidikan (www.ridu0ne.wordpress.com).

Dengan demikian, secara umum metode adalah cara untuk mencapai sebuah tujuan dengan jalan yang

sudah ditentukan, dalam metode pendidikan dapat diartikan sebagai cara untuk mencapai tujuan

pendidikan sesuai kurikulum yang ditentukan.

Sedangkan kata pembiasaan berasal dari kata dasar “biasa” yang berarti sebagai sedia kala, sebagai

yang sudah-sudah, tidak menyalahi adat, atau tidak aneh. Kata “membiasakan” berarti melazimkan,

mengadatkan, atau menjadikan adat. Dan kata “kebiasaan” berarti sesuatu yang telah biasa dilakukan,

atau adat (Poerwadarminta, 2007: 153). Jadi, kata pembiasaan berasal dari kata dasar “biasa” yang

memperoleh imbuhan prefiks “pe” dan sufiks “an”, yang berarti proses membiasakan, yang pada

akhirnya akan menghasilkan suatu kebiasaan atau adat.

Berakhlak mulia merupakan bagian dari tujuan pendidikan di Indonesia. Dalam mendidik akhlak perlu

sebuah sistem atau metode yang tepat agar proses internalisasi dapat berjalan dengan baik, lebih

penting adalah anak mampu menerima konsep akhlak dengan baik serta mampu mewujudkan dalam

kehidupan keseharian. Abdurrahman an-Nahlawi mengatakan, metode pendidikan Islam sangat efektif

dalam membina akhlak anak didik, bahkan tidak sekedar itu metode pendidikan Islam memberikan

motivasi sehingga memungkinkan umat Islam mampu menerima petunjuk Allah Swt.

(www.riwayat.wordpress.com).

Al-Ghazali mengatakan, bahwa anak adalah amanah orang tuanya. Hatinya yang bersih adalah

permata berharga dan murni, yang kosong dari setiap tulisan dan gambar. Hati itu siap menerima

setiap tulisan dan cenderung pada setiap yang ia inginkan. Oleh karena itu, jika dibiasakan

mengerjakan yang baik, lalu tumbuh di atas kebaikan itu maka bahagialah ia di dunia dan akhirat,

orang tuanya pun mendapat pahala bersama. (www.riwayat.wordpress.com).

Pembiasaan mempunyai peranan yang sangat besar dalam kehidupan manusia, karena dengan

kebiasaan, seseorang mampu melakukan hal-hal penting dan berguna tanpa menggunakan energi dan

waktu yang banyak. Dari sini dijumpai bahwa dalam Al Qur’an menggunakan pembiasaan yang dalam

prosesnya akan menjadi kebiasaan sebagai salah satu cara yang menunjang tercapainya target yang

diinginkan dalam penyajian materi-materinya. Quraisy Syihab (1994: 198) mengakatan, bahwa

pembiasaan tersebut menyangkut segi-segi pasif maupun aktif. Namun, perlu diperhatikan bahwa
yang dilakukan menyangkut pembiasaan dari segi pasif hanyalah dalam hal-hal yang berhubungan
erat dengan kondisi ekonomi-sosial, bukan menyangkut kondisi kejiwaan yang berhubungan erat

dengan kaidah atau Etika. Sedangkan dalam hal yang bersifat aktif atau menuntut pelaksanaan,

ditemukan pembiasaan tersebut secara menyeluruh.

Al Qur’an menjadikan kebiasaan itu sebagai salah satu teknik atau metode pendidikan. Lalu ia

mengubah seluruh sifat-sifat baik menjadi kebiasaan, sehingga jiwa dapat menunaikan kebiasaan itu

tanpa terlalu payah, tanpa kehilangan banyak tenaga dan tanpa menemukan banyak kesulitan.

Menurut Zayadi (2005: 64), bahwa proses pembiasaan harus dimulai dan ditanamkan kepada anak

sejak dini. Potensi ruh keimanan manusia yang diberikan oleh Allah Swt. harus senantiasa dipupuk dan

dipelihara dengan memberikan pelatihan-pelatihan dalam ibadah. Jika pembiasaan sudah ditanamkan,

maka anak tidak akan merasa berat lagi untuk beribadah, bahkan ibadah akan menjadi bingkai amal

dan sumber kenikmatan dalam hidupnya karena mereka bisa berkomunikasi langsung dengan Allah

Swt. dan sesama manusia.

Lebih lanjut Muchtar (2005: 18) menyarankan, agar anak dapat melaksanakan shalat secara benar dan

rutin maka mereka perlu dibiasakan shalat sejak masih kecil, dari waktu ke waktu. Dalam hadits

Rasulullah Saw. memerintahkan kepada orang tua agar menyuruh anaknya untuk melakukan shalat

mulai umur tujuh tahun dan memukulnya (tanpa cedera atau bekas) ketika mereka berumur sepuluh

tahun atau lebih, apabila mereka tidak mengerjakannya (Djatnika, 1985: 49). Rasulullah Saw.
bersabda:

“Perintahkanlah anak-anakmu shalat apabila sampai umur tujuh tahun, dan pukullah (apabila

membangkang) apabila anak-anakmu berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah antara mereka tempat
tidurnya” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Hakim).

2. Kajian Konseptual tentang Shalat Dhuha

Menurut Hasan dalam Haryanto (2003: 59), shalat menurut bahasa Arab berarti berdo’a. Ditambahkan

oleh Ash-Shiddieqy (2001: 39), kata shalat dalam pengertian bahasa Arab ialah do’a memohon

kebajikan dan pujian.

Secara hakekat, shalat mengandung pengertian berharap hati (jiwa) kepada Allah Swt. dan

mendatangkan takut kepada-Nya, serta menumbuhkan di dalam jiwa rasa keagungan, kebesaran-Nya
dan kesempurnaan kekuasaan-Nya (Haryanto, 2003: 59). Menurut Ar-Rahbawi (2001: 169), Shalat

adalah ibadah yang terdiri dari perkataan dan perbuatan tertentu, yang dimulai dengan takbir dan

diakhiri dengan membaca salam. Lebih lanjut secara dimensi fikih, shalat adalah beberapa ucapan dan

beberapa perbuatan (gerakan tubuh) yang dimulai dengan takbir, disudahi dengan salam, yang

dengannya kita beribadat kepada Allah Swt., menurut syarat-syarat yang ditentukan (Ash-Shiddieqy,

2001: 39).
Allah Swt. berfirman:

“…Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan
mungkar….” (QS. Al-Ankabut: 45) (Depag RI, 2005: 566).
Sedangkan dhuha adalah nama waktu, yakni waktu selepas waktu Shubuh dan sebelum waktu Dzuhur

(www.bungasurgawi.co.cc). Istilah dhuha dapat ditemukan pada beberapa tempat dalam Al Qur’an,

kurang lebih pada tujuh tempat. Di satu tempat; (QS. Thoha: 59), (QS. Al-‘Araf: 98), dan (QS. An-

Nazi’at: 46), kata dhuha diartikan sebagai “pagi hari” atau sebagai “panas sinar matahari”. Di tempat

lainnya; (QS. Thaha: 119), istilah dhuha juga bisa mencakup kedua makna itu sehingga diartikan “sinar

matahari di pagi hari” (QS. As-Syam: 1). Pada tempat lain; (QS. An-Nadzi’yat: 29), kata dhuha diartikan

sebagai siang yang terang. Namun, makna dhuha ini barangkali tidak merujuk pada keadaan

terangnya siang di tengah hari yaitu dzuhur. Barangkali, dalam pengertian inilah kata dhuha diartikan

sebagai saat matahari naik sepenggalan (QS. Adh-Dhuha: 1). Oleh karena itu, kata dhuha dipahami

sebagian ulama, berdasarkan surat Adh-Dhuha dan Asy-Syam, sebagai cahaya matahari secara umum,

atau khususnya kehangatan cahaya matahari (Alim: 2008: 10-11).

Jadi, dapat disimpulkan, bahwa shalat Dhuha adalah salat sunah yang dilakukan pada waktu dhuha,

yaitu ketika matahari mulai naik sepenggalah (agak miring) sampai menjelang masuk waktu Dzuhur,

dan waktu yang paling utama adalah ketika mulai panas atau hangat.

3. Kajian Konseptual tentang Akhlak

Ibnu Katsir menjelaskan, bahwa hakikat makna khuluq (ٌ‫ ) ُخلُق‬adalah gambaran batin manusia yang

tetap (yaitu jiwa dan sifat-sifatnya), sedang khalqu ( ٌ‫ ) خ َْلق‬merupakan gambaran bentuk luarnya (raut

wajah, warna kulit, tinggi rendahnya tubuh dan lain sebagainya. Menurut Ibnu Maskawaih, akhlak

adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa

melalui pertimbangan pikiran (lebih dahulu).

Selanjutnya, Imam Al-Ghazali mengemukakan, bahwa akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam

jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak memerlukan

pertimbangan pikiran (lebih dahulu). Sedangkan Ahmad Amin menjelaskan, bahwa akhlak adalah

adatul iradah atau kehendak yang dibiasakan. (Mustofa, 2005: 12).

Menurut Ibnu ‘Ilaan Ash-Shiddieqy, bahwa akhlak adalah suatu pembawaan dalam diri manusia yang

dapat menimbulkan perbuatan baik, dengan cara yang mudah (tanpa dorongan dari orang lain).

Sedangkan Abu Bakar Al-Jazairy mengatakan, bahwa akhlak adalah bentuk kejiwaan yang tertanam

dalam diri manusia, yang menimbulkan perbuatan baik dan buruk, terpuji dan tercela dengan cara

yang sengaja (Mahyuddin, 2001: 3).

Dari beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan, bahwa akhlak adalah perbuatan manusia yang

berasal dari dorongan jiwanya karena kebiasaan, tanpa memerlukan pikiran terlebih dahulu. Maka
gerakan refleks, denyut jantung, dan kedipan mata tidak dapat disebut akhlak.

B. PENELITIAN TERDAHULU

Penelitian yang mempunyai relasi atau keterkaitan dengan penelitian ini antara lain seperti penelitian

skripsi yang ditulis oleh Hartono tahun 2004 dengan judul “Dampak Pelaksanaan Shalat Sunah Nafilah

Terhadap Akhlak Santri di Pondok Pesantren Al-Kautsar Kelurahan Gebang Kecamatan Patrang
Kabupaten Jember”. Hasil penelitia ini menjelaskan, bahwa pelaksanaan shalat sunah Nafilah (Tahajjud)
berdamapak positif terhadap akhlak santri, baik akhlak terhadap Allah Swt., akhlak terhadap sesama,

dan akhlak terhadap lingkungan.

Adapun dampak shalat Nafilah terhadap akhlak santri kepada Allah Swt. sebagai berikut:

a. Tawakkal, bahwa santri pondok pesantren Al-Kautsar setelah melaksanakan shalat Nafilah mereka

merasa lebih tawakal kepada Allah Swt. dalam menyerahkan semua urusan kepada Allah Swt. dalam

menyerahkan urusannya sesudah kerja keras dan usaha yang maksimal.

b. Syukur, bahwa santri pondok pesantren Al-Kautsar setelah melaksanakan shalat Nafilah senantiasa

lebih banyak bersyukur dengan perasaan hati, bersyukur dengan mengucapkan kalimat syukur, atau

pun bersyukur dengan memperbanyak ibadah badaniyah terhadap nikmat Allah Swt. yang kemudian ia

gunakan nikmat itu untuk menolong sesama manusia

c. Taubat, bahwa setelah santri pondok pesantren Al-Kautsar setelah melaksanakan shalat Nafilah

senantiasa bertaubat kepada Allah Swt., memohon ampunannya sesudah melakukan perbuatan

tercela, baik dilakukan dengan sengaja atau tidak

d. Ikhlas, bahwa santri pondok pesantren Al-Kautsar setelah melaksanakan shalat Nafilah semakin

kokoh imannya untuk selalu ikhlas dalam melaksanakan segala amal ibadah, baik ibadah mahdhah,

seperti shalat, puasa, zakat, dan haji; maupun ibadah ghairu mahdhah, seperti tolong menolong,

menyantuni fakir miskin dan anak yatim, serta berusaha menghindari riya’ yakni melakukan amal

ibadah karena ingin dilihat dan dipuji manusia, bukan karena Allah Swt. semata.

Sedangkan dampak shalat Nafilah terhadap akhlak santri kepada sesama manusia sebagai berikut:

a. Persamaan derajat, bahwa santri pondok pesantren Al-Kautsar setelah melaksanakan shalat Nafilah

lebih menyadari bahwa semua manusia itu adalah sama, tanpa ada perbedaan dihadapan Allah Swt.,

namun yang membedakannya adalah tingkat ketakwaan seseorang kepada-Nya

b. Bermasyarakat, bahwa santri pondok pesantren Al-Kautsar setelah melaksanakan shalat Nafilah

semakin merasa lapang dada untuk bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Mengingat bahwa

manusia selain makhluk individu juga merupakan makhluk sosial, seperti gotong royong dan

silaturrahmi. Kemudian setelah santri pondok pesantren Al-Kautsar melaksanakan shalat Nafilah

adalah adanya rasa timbulnya untuk senantiasa memelihara lingkungan agar tetap bersih dan sehat.

Penelitian lain, yaitu yang dilakukan oleh Yasifatul Khoiriyah dalam skripsinya yang berjudul “Aplikasi

Pembelajaran Pendidikan Agama Islam dalam Membina Akhlakul Karimah Siswa di SDN Kalitapen 03

Kecamatan Tapen Kabupaten Bondowoso Tahun Pelajaran 2004/2005”. Hasil dari penelitian ini

sebagai berikut:

a. Aplikasi pembelajaran aqidah dalam membina akhlak karimah siswa di SDN Kalitapen 03 Kecamatan

Tapen Kabupaten Bondowoso Tahun Pelajaran 2004/2005, diwujudkan dengan sikap saling

menyayangi dan mengasihi serta memiliki sifat jujur, baik kepada orang tua, guru, dan teman.

b. Aplikasi pembelajaran syari’ah dalam membina akhlak karimah siswa di SDN Kalitapen 03

Kecamatan Tapen Kabupaten Bondowoso Tahun Pelajaran 2004/2005, dapat dilaksanakan dengan

praktek shalat jamaah, puasa Ramadhan, mengeluarkan zakat, dengan harapan agar menghasilkan
akhlak mulia
c. Aplikasi pembelajaran akhlak dalam membina akhlak karimah siswa di SDN Kalitapen 03 Kecamatan

Tapen Kabupaten Bondowoso Tahun Pelajaran 2004/2005, diwujudkan dengan mengendalikan nafsu,

menghindari sifat dusta, baik terhadap orang lain maupun dirinya sendiri, serta memiliki sifat amanah

dan toleransi sudah cukup baik karena sudah membentuk akhlakul karimah siswa, baik kepada Allah

Swt., kepada sesama manusia, dan kepada lingkungannya.

Penelitian lain juga dilakukan oleh Aris Wibowo dalam skripsinya yang berjudul “Pengaruh Ibadah

Shalat terhadap Akhlak Siswa di Madrasah Ibtidaiyah Riyadus Sholihin Jember Tahun Pelajaran

2003/2004”. Dalam penelitian ini data yang diambil adalah 100 responden, yang terdiri dari siswa

kelas III sampai dengan kelas VI. Hasil analisis penelitian ini menunjukkan adanya hubungan positif

yang kuat dengan harga Q = 0,723. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh ibadah

shalat wajib terhadap akhlak siswa di Madrasah Ibtidaiyah Riyadus Sholihin Jember Tahun Pelajaran
2003/2004.

C. KAJIAN TEORITIK

1. Kajian Teoritik tentang Shalat Dhuha

Shalat Dhuha merupakan shalat sunah yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah Saw., sebab baliau

berpesan kepada para sahabatnya untuk mengerjakan shalat Dhuha sekaligus menjadikannya sebagai

wasiat. Wasiat yang diberikan kepada Rasulullah Saw. kepada satu orang berlaku untuk seluruh umat,

kecuali terdapat dalil yang menunjukkan kekhususan hukumnya bagi orang tersebut (Al Mahfani,

2008: 3).

a. Hukum Shalat Dhuha

Berkaitan dengan persoalan status hukum shalat Dhuha, Al Qur’an sendiri sebenarnya tidak

mengemukakan secara eksplisit perintah atau anjuran yang tegas atau jelas berkenaan dengan

pelaksanaan shalat tersebut. Ada beberapa kata dhuha yang bisa kita temukan dalam Al Qur’an, tetapi

kata-kata itu tampaknya tidak berkaitan dengan penetapan hukum shalat Dhuha. Oleh karena itu,

secara eksplisit kita tidak dapat menemukan dasar hukum yang tegas dan jelas dalam Al Qur’an

berkenaan dengan shalat Dhuha tersebut. Namun, hal itu tidak mengurangi arti penting dalam sahalat

Dhuha. Karena penjelasan yang tegas tentang anjuran pengamalan shalat Dhuha ini dapat kita

temukan dalam beberapa hadits. Berdasarkan hadits-hadits itulah kita dapat memberi pertimbangan

status dasar hukum shalat Dhuha.

Secara umum, status hukum shalat Dhuha, berdasarkan banyak hadits yang berkaitan, adalah sunah

(Alim, 2008: 2-3). Beberapa hadits berikut dapat dijadikan sandaran status hukum shalat Dhuha.
Kesunahan shalat Dhuha berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Harairah, sebagai berikut:

“Kekasihku Rasulullah Saw. mewasiatkan kepadaku tiga hal, yaitu puasa tiga hari, dua rakaat shalat
Dhuha, dan shalat Witir sebelum tidur.” (HR. Bukhari Muslim)

Dalam hadits lain yang senada juga dikabarkan bagaimana Siti Aisyah meneladani ketekunan
Rasulullah Saw. dalam melakukan shalat Dhuha.
Aisyah berkata, “Setiap kali aku melihat Rasulullah Saw. melaksanakan shalat Dhuha, aku pun pasti
melaksanakannya.” (HR. Bukhari Muslim)

Hadits-hadits mengenai shalat Dhuha yang dikemukakan di atas tidak sekedar menunjukkan status

hukum shalat Dhuha sebagai amalan sunah, melainkan juga mengabarkan bagaimana para sahabat

menunjukkan kecintaan mereka terhadap amalan itu (Alim, 2008: 8). Shalat Dhuha itu adalah ibadah

yang disunahkan. Karena itu, barang siapa yang menginginkan pahalanya, sebaiknya mengerjakannya

dan kalau tidak, tidak ada halangan pula meninggalkannya (Sabiq, 1993: 67).

Status hukum shalat Dhuha memang hanya sebagai amalan sunah. Namun, hal itu hendaknya tidak

dimengerti bahwa ia hanya amalan sunah yang tidak wajib dilaksanakan, melainkan ia adalah amalan

shalat sunah yang kedudukannya mendekati kedudukan amalan shalat wajib (Alim, 2008: 8). Menurut

Imam Nawawi dalam Alim (2008: 44) bahwa, shalat Dhuha adalah sunah mu’akkad (sangat

dianjurkan). Dengan kata lain, shalat Dhuha adalah shalat sunah istimewa sehingga kita dianjurkan

untuk tidak melalaikannya sebagaimana kita diwajibkan untuk tidak melalaikan pelaksanaan shalat-
shalat wajib.

b. Waktu Shalat Dhuha

Menurut Quraisy Syihab dalam Alim (2008: 16), bahwa waktu dhuha adalah waktu ketika matahari

mulai merayap naik meninggalkan tempat terbitnya, hingga ia tampak membayang sampai menjelang

tengah hari. Selanjutnya Ar-Rahbawi (2001: 307) menjelaskan, bahwa waktu shalat Dhuha dimulai

sejak matahari sudah naik kira-kira sepenggalah sampai dengan tergelincir, tetapi yang lebih utama

ialah dikerjakan sesudah lewat seperempat siang hari.


Hal ini didasarkan pada hadits dari Zaid bin Arqam, sebagai berikut:

“Shalat awwabiin (orang-orang yang kembali kepada Allah Swt. atau bertaubat) adalah ketika anak
unta mulai kepanasan.” (HR. Ahmad, Muslim, dan Turmidzi)

Shalat Dhuha tidak bisa dilakukan di saat matahari sedang terbit, karena pada saat itu kaum muslimin

dilarang melakukan shalat apa pun. Oleh karena itu, agar waktu pelaksanaan shalat Dhuha tidak

terlalu berdekatan dengan saat-saat yang dilarangnya pelaksanaan shalat, waktu yang paling utama

untuk melaksanakannya adalah ketika matahari terasa mulai panas atau ketika matahari cukup tinggi

di sebelah timur, menjelang siang.


Hal ini berdasarkan hadits dari Sa’id bin Nafi’, sebagai berikut:

“Janganlah kalian shalat pada saat matahari terbit karena sesungguhnya ia terbit di antara kedua
tanduk setan.” (HR. Ahmad).

Berikut ini keterangan dari Rasulullah Saw. yang juga bisa dijadikan dasar dalam penentuan waktu
pelaksanaan shalat Dhuha.
Ali bin Abu Thalib ra. Berkata, “Rasulullah Saw. shalat Dhuha pada saat (ketinggian) matahari di
sebelah timur sama dengan ketinggiannya pada waktu shalat Ashar di sebelah barat.” (HR. Ahmad)

Keterangan Ali bin Abu Thalib ini bisa menjadi salah satu penjelasan tentang tanda-tanda masuknya

waktu dhuha dan kapan shalat Dhuha itu bisa dimulai. Dalam hadits itu dikemukakan bahwa shalat

Dhuha dapat dilakukan ketika ketinggian matahari yang mulai terbit pada pagi hari di sebelah timur

sama dengan ketinggian matahari yang mulai terbenam pada sore hari di sebelah barat ketika masuk

waktu Azhar (Alim, 2008: 17-18).

Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa waktu shalat Dhuha dimulai ketika matahari mulai

naik sepenggalah atau setelah terbit matahari (sekitar jam 07.00) sampai sebelum masuk waktu

Dzuhur ketika matahari belum naik pada posisi tengah-tengah. Namun, lebih baik apabila dikerjakan

setelah matahari terik.

c. Rakaat Shalat Dhuha

Tidak seperti shalat-shalat wajib yang telah ditentukan jumlah rakaatnya masing-masing, shalat

sunah Dhuha tidak memiliki yang tegas mengenai rakaat yang harus dilakukan. Selain itu, tidak ada

juga keterangan tentang berapa batasan maksimal jumlah rakaatnya. Namun demikian, berdasarkan

keterangan sejumlah riwayat hadits yang ada, shalat Dhuha dapat dilakukan minimal dua rakaat

hingga delapan rakaat atau dua belas rakaat (Alim, 2008: 37).

Menurut Ar-Rahbawi (2001: 307), batas minimum shalat ini adalah dua rakaat, sedang maksimumnya

delapan rakaat. Rasjid (2006: 147) menjelaskan bahwa, shalat Dhuha ialah shalat sunah dua rakaat

atau lebih, sebanyak-banyaknya dua belas rakaat. Sedangkan sebagian ulama berpendapat bahwa

tidak ada batas bilangan rakaat shalat Dhuha. Ini adalah pendapat Abu Ja’far Thabari, Hulaimi, dan

Ruyani (Sabiq, 1993: 68).


Hadits di bawah ini mengisyaratkan bahwa shalat Dhuha bisa dilakukan sebanyak dua rakaat.

“Kekasihku Rasulullah Saw. mewasiatkan kepadaku tiga hal, yaitu puasa tiga hari, dua rakaat shalat
Dhuha, dan shalat Witir sebelum tidur.” (HR. Bukhari Muslim)

Terkadang Rasulullah Saw. melaksanakan shalat Dhuha sebanyak empat rakaat. Hal ini di dasarkan
pada hadits yang diriwayatkan dari Siti Aisyah di bawah ini.

“Rasulullah Saw. shalat Dhuha sebanyak empat rakaat dan menambah menurut kehendak Allah Swt.
(menurut kehendaknya).” (HR. Muslim dan Ahmad).

Sekalipun demikian, kita juga menemukan adanya riwayat hadits-hadits lain yang menunjukkan bahwa

Rasulullah Saw. melaksanakan shalat Dhuha sebanyak delapan rakaat. Berikut ini hadits dari Ummu
Hani’ binti Abu Tahalib.
“Bahwasannya Rasulullah Saw. pada yaumul fathi (penaklukan kota mekah) shalat sunah Dhuha
delapan rakaat dan mengucapkan salam pada setiap dua rakaat.” (HR. Abu Daud)

Hadits berikut ini juga tampak bahwa Rasulullah Saw. juga mengisyaratkan untuk melaksanakan shalat
Dhuha dua belas rakaat. Diriwayatkan dari Anas bin Malik Rasulullah Saw. bersabda:

“Barangsiapa shalat Dhuha dua belas rakaat maka Allah Swt. akan membangun untuknya istana dari
emas di surga.” (HR. Turmidzi dan Ibnu Majah)

Dari beberapa hadits di atas terdapat beberapa persepsi, namun Imam Nawawi dalam Alim (2008: 44)

menjelaskan, bahwa pada dasarnya hadits-hadits tersebut telah disepakati keshahihannya dan tidak

ada perselisihan di kalangan para muhaqqiq. Jadi, dapat disimpulkan bahwa semakin banyak jumlah

rakaat shalat Dhuha yang dikerjakan tentunya akan semakin baik. Namun demikian, hal yang lebih

penting lagi disini tampaknya bukan kuantitas jumlah rakaat shalat Dhuha, melainkan kualitas shalat

itu. Tidak kalah pentingnya adalah bahwa shalat Dhuha tersebut dilakukan secara konsisten (istiqomah

dan terus-menerus) walaupun hanya dengan dua rakaat dan tidak sekalipun melalaikannya.

d. Cara Melaksanakan Shalat Dhuha

Berkenaan dengan tatacara pelaksanaannya, shalat Dhuha dilakukan dua rakaat-dua rakaat dan

memberikan salam di setiap akhir dua rakaat tersebut. Jadi, ketika melaksanakan shalat Dhuha lebih

dari dua rakaat, kita tidak melaksanakannya sekaligus sebanyak empat, enam, atau delapan rakaat

dengan satu kali salam, melainkan tetap dua rakaat-dua rakaat dengan salam pada masing-masing

dua rakaat itu (Alim, 2008: 43). Shalat sunah Dhuha ini dilakukan seperti shalat-shalat lain, yang
berbeda hanya niatnya saja.

Adapun niat shalat Dhuha sebagai berikut:

“Saya berniat mengerjakan shalat sunah Dhuha dua rakaat, karena Allah Ta’alaa. Allah Maha Besar”

Al Mahfani (2008: 14) mengatakan, bahwa tidak ada bacaan niat tertentu dalam shalat, seperti

“ushalli” atau “nawaitu”. Tidak ada pula satupun dalil baik dari Al Qur’an atau hadits yang menjelaskan

tentang menjaharkan (mengeraskan) niat tersebut.

Sedangkan mengenai bacaan dalam shalat Dhuha, tidak ada keterangan dari Rasulullah Saw. mengenai

surat tertentu yang harus dibaca ketika shalat Dhuha. Kita dipersilahkan membaca surat apa pun

sesuai dengan kemampuan dan keinginan kita (Al Mahfani, 2008: 15). Namun, bacaan yang dianjurkan

Rasulullah Saw. adalah selepas membaca surat Al-Fatihah, ialah membaca surat Al-Syams pada rakaat

pertama dan membaca surat Al-Dhuha pada rakaat kedua (www.sanoesi.wordpress.com).

Setelah malaksanakan shalat Dhuha, dianjurkan untuk membaca do’a. Adapun salah satu do’a setelah
shalat Dhuha sebagai berikut:
“Ya Allah Swt., sesungguhnya waktu Dhuha adalah waktu Dhuha-Mu, keagungan adalah keagungan-

Mu, keindahan adalah keindahan-Mu, kekuatan adalah kekuatan-Mu, dan kekuasaan adalah

kekuasaan-Mu, penjagaan adalah penjagaan-Mu. Ya Allah Swt., jika rizkiku masih di atas langit maka

turunkanlah, jika ada di dalam bumi maka keluarkanlah, jika sukar maka mudahkanlah, jika haram

maka sucikanlah, jika jauh maka dekatkanlah, berkat waktu Dhuha-Mu, keagungan-Mu, keindahan-

Mu, kekuatan-Mu, dan kekuasaan-Mu. Limpahkanlah kepadaku karunia sebagaimana yang engkau
limpahkan kepada hamba-hamba-Mu yang shaleh”.

Do’a tersebut menunjukkan bahwa rezeki yang Allah Swt. anugerahkan untuk manusia bisa datang

dari segala arah dan penjuru. Rezeki tersedia di mana-mana. Setiap orang memiliki kesempatan yang

sama untuk meraih rezeki itu. Namun masalahnya, tidak setiap orang mengetahui letak rezekinya

masing-masing dan dengan cara apa meraihnya.

Pemaknaan do’a seperti ini sama sekali tidak mengajarkan kita untuk bersifat pasif. Pada

kenyataannya, tidak ada seorang pun yang diam dan tidak berbuat sesuatu sama sekali. Setidaknya,

perenungan akan keadaan nasib diri sendiri pada hari ini bisa menjadi langkah atau upaya untuk

perbaikan di hari esok. Pemaknaan seperti ini mengajarkan agar kita selalu bersikap optimis dan terus

aktif mengerahkan segala daya upaya untuk bisa eksis sekalipun dengan segala keterbatasan

kemampuan kita (Alim, 2008: 52).

e. Keutamaan Shalat Dhuha

Mengerjakan salat Dhuha dan menekuninya adalah merupakan salah satu perbuatan agung, mulia, dan

utama. Oleh karena itulah, shalat sunah Dhuha sangat dianjurkan oleh Rasulullah Saw. (www.cahaya-

islam.com). Alim (2008: 63-96) menjabarkan beberapa keutamaan-keutamaan yang terkandung

dalam shalat Dhuha adalah sebagai berikut:

1) Shalat Dhuha memiliki nilai seperti nilai amalan sedekah yang diperlukan oleh 360 persendian

tubuh dan orang yang melaksanakannya akan memperoleh ganjaran pahala sebanyak jumlah
persendian itu. Rasulullah Saw. bersabda:

“Pada setiap tubuh manusia diciptakan 360 persendian dan seharusnya orang yang bersangkutan

(pemilik sendi) bersedekah untuk setiap sendinya. Lalu para sahabat bertanya: ‘Ya Rasulullah Saw.,
siapa yang sanggup melaksanakannya?’ Rasulullah Saw. manjawab: ‘Membersihkan kotoran yang ada

di masjid atau menyingkirkan sesuatu (yang dapat mencelakakan orang) dari jalan raya. Apabila ia
tidak mampu, shalat Dhuha dua rakaat dapat menggantikannya’.” (HR. Ahmad dan Abu Daud).

2) Shalat Dhuha seseorang di awal hari menjanjikan tercukupinya kebutuhan orang tersebut di akhir
hari. Dalam sebuah hadits qudsi, Rasulullah Saw. bersabda:

Na’im bin Hamran berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw. berkata: ‘Wahai anak Adam, janganlah

sekali-kali engkau malas melakukan shalat empat rakaat pada pagi hari (shalat Dhuha) karena akan
kucukupkan kebutuhan hingga sore hari’.” (HR. Abu Daud).
3) Shalat Dhuha bisa membuat orang yang melaksanakannya (atas izin Allah Swt.) meraih keuntungan
(ghanimah) dengan cepat. Dalam hal ini Rasulullah Saw. bersabda:

Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash berkata, “Rasulullah Saw. berkata, ‘Perolehlah keuntungan (ghanimah) dan

cepatlah kembali!’ Mereka akhirnya saling berbicara tentang dekatnya tujuan (tempat) perang dan

banyaknya ghanimah (keuntungan) yang akan mereka peroleh secara cepatnya kembali (dari

peperangan). Lalu berkata, ‘Maukah kalian aku tunjukkan kepada tujuan paling dekat dari mereka

(musuh yang akan diperangi), paling banyak ghanimah (keuntungan)nya dan cepat kembali?’ Mereka

menjawab. ‘Ya!”, Rasul berkata lagi, ‘Barang siapa yang berwudlu kemudian masuk ke dalam masjid

untuk shalat Dhuha, dialah yang paling dekat tujuannya (tempat perangnya), lebih banyak
ghanimahnya, dan lebih cepat kembalinya.” (HR. Ahmad).

4) Orang yang bersedia meluangkan waktunya untuk melaksanakan shalat Dhuha delapan sampai dua

belas rakaat akan diberi ganjaran oleh Allah Swt. berupa sebuah rumah indah yang terbuat dari emas
kelak di akhirat. Hal ini terungkap dari kterangan Rasulullah Saw. yang didengar oleh Anas bin Malik:

Anas bin Malik berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda, ‘Siapa saja yang shalat

Dhuha dua belas rakaat, Allah Swt. akan membuatkan untuknya sebuah istana yang terbuat dari emas
di surga’.” (HR. Ibnu Majah)

5) Orang yang melaksanakan shalat Dhuha mendapatkan pahala sebesar pahala haji dan umrah.
Rasulullah Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang shalat Subuh berjamaah kemudian duduk berdzikir untuk Allah Swt. sampai

matahari terbit kemudian (dilanjutkan dengan) mengerjakan shalat Dhuha dua rakaat, maka baginya
seperti pahala haji dan umrah, sepenuhnya, sepenuhnya, sepenuhnya.” (HR. Tirmidzi)

6) Shalat Dhuha akan menggugurkan dosa-dosa orang yang senang melakukannya walaupun dosanya
itu sebanyak buih di lautan. Rasulullah Saw. bersabda:

Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw. bersabda, “Barang siapa yang menjaga shalat Dhuha, maka dosa-
dosanya diampuni walaupun dosanya itu sebanyak buih dilautan.” (HR. Tirmidzi)

7) Keutamaan lain yang disediakan Allah Swt. bagi orang yang merutinkan shalat Dhuha adalah bahwa

akan dibuatkan pintu khusus di surga kelak, yaitu pintu yang dinamakan pintu Dhuha (bab al-dhuha).
Rasulullah Saw. bersabda:

Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw. bersabda, “Di dalam surga terdapat pintu yang bernama bab al-

dhuha (pintu dhuha) dan pada hari kiamat nanti ada orang yang memanggil, ‘Di mana orang yang
senantiasa mengerjakan shalat Dhuha? Ini pintu kamu, masuklah dengan kasih saying (rahmat) Allah
Swt.’.” (HR. Tabrani)

Kemudian, lebih jauh Al Mahfani (2008: 221) menjelaskan, bahwa dalam shalat Dhuha juga memiliki

beberapa hikmah yang terkandung di dalamnya, antara lain:

1) Orang yang melakukan shalat Dhuha, maka hati menjadi tenang

Dalam melakukan aktivitas bekerja kita seringkali mendapat tekanan dan terlibat persaingan usaha

yang sangat tinggi. Akhirnya, pikiran menjadi kalut, hati tidak tenang, dan emosi tidak stabil. Oleh

karena itu, pada saat-saat seperti itulah shalat Dhuha sangat berperan penting. Meskipun

dilaksanakan lima atau sepuluh menit, shalat Dhuha mampu menyegarkan pikiran, menenangkan hati,

dan mengontrol emosi.

2) Dapat meningkatkan kecerdasan

Shalat Dhuha memang sangat mempengaruhi perkembangan kecerdasan seseorang. Utamanya

kecerdasan fisikal, emosional spiritual, dan intelektual. Hal ini mengingat waktu pelaksanaannya pada

awal atau di tengah aktivitas manusia mencari kebahagiaan hidup duniawi dan keajaiban gerakan

shalat itu sendiri.

Untuk kecerdasan fisikal, shalat Dhuha mampu meningkatkan kekebalan tubuh dan kebugaran fisik

karena dilakukan pada pagi hari ketika sinar matahari pagi masih baik untuk kesehatan. Untuk

kecerdasan emosional spiritual, dalam beraktivitas kita sering kali mengalami kegagalan, karena itu

kita sering mengeluh. Melaksanakan shalat Dhuha pada pagi hari sebelum beraktivitas dapat

menghindarkan diri dari berkeluh kesah. Selain itu, jika shalat Dhuha dilaksanakan secara rutin,

keuntungan yang didapat adalah mudahnya meraih prestasi akademik dan kesuksesan dalam hidup.

3) Pikiran menjadi lebih berkosentrasi

Otak yang mengalami keletihan karena berkurangnya asupan oksigen ke otak. Shalat Dhuha yang

dilakukan pada waktu istirahat (dari belajar atau bekerja) akan mengisi kembali asupan oksigen yang

ada di dalam otak. Otak membutuhkan asupan darah dan oksigen yang berguna untuk memacu kerja

sel-selnya.

4) Kesehatan fisik terjaga

Hal ini dapat dilihat dari tiga alasan, yaitu: pertama, shalat Dhuha dikerjakan ketika matahari mulai

menampakkan sinarnya. Sinar matahari pagi sangat baik untuk kesehatan. Pada waktu yang kondusif

ini merupakan waktu terbaik untuk ber-muwajjahah (menghadap) kepada Allah Swt.. Kedua, sebelum

shalat Dhuha, kita dijawibkan bersuci (mandi atau pun wudhu). Selain sebagai syarat sahnya shalat,

berwudhu bermanfaat bagi kesehatan jasmani dan rohani seseorang, sebab, wudhu menyimbolkan

agar kita selalu tetap bersih. Ketiga, Rangkaian gerakan shalat sarat akan hikmah dan manfaat bagi

kesehatan. Syaratnya, semua gerakan tersebut dilakukan dengan benar, tuma’ninah (perlahan dan

tidak terburu-buru), dan istiqomah (konsisten atau terus-menerus).

2. Kajian Teoritik tentang Akhlak


a. Pengertian Akhlak
Kata akhlak ( ََ ٌ‫أخألَق‬
ْ ) berasal dari bahasa Arab, yaitu jama’ dari khuluqun (ٌ‫ ) ُخلُق‬yang menurut bahasa

berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Kata tersebut mengandung segi-segi

persesuaian dengan perkataan khalqun ( ٌ‫ ) خ َْلق‬yang berarti kejadian, yang juga erat hubungannya

dengan khaliq ( ٌ‫ ) خَالِق‬yang berarti pencipta, demikian pula dengan makhluqun ( ٌ‫ ) َم ْخلُ ْوق‬yang berarti

yang diciptakan. Perumusan pengertian ini akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan adanya

hubungan baik antara khaliq dengan makhluk.

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa akhlak adalah perbuatan manusia yang berasal

dari dorongan jiwanya karena kebiasaan, tanpa memerlukan pikiran terlebih dahulu. Maka gerakan

refleks, denyut jantung, dan kedipan mata tidak dapat disebut akhlak.

Ada istilah lain yang lazim digunakan di samping kata akhlak ialah apa yang disebut Etika. Perkataan

ini berasal dari bahasa Yunani Ethos yang berarti “adat kebiasaan” (Mustofa, 2005: 14). Mashanah

(1986: 12) menjelaskan, bahwa kebiasaan (perbuatan) ini bukan menurut arti tata adat, melainkan tata

adab yaitu berdasarkan pada intisari atau sifat dasar manusia, baik dan buruk.

Dari pengertian di atas, Etika adalah ilmu yang menyelidiki, mana yang baik dan mana yang buruk

dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran.

Ada orang berpendapat bahwa Etika sama dengan akhlak. Persamaan itu memamg ada, karena

keduanya membahas masalah baik dan buruknya tingkah laku manusia. Tujuan Etika dalam

pandangan falsafah manusia ialah mendapatkan ideal yang sama bagi seluruh manusia di setiap waktu

dan tempat dan tentang ukuran laku yang baik dan buruk sejauh yang dapat diketahui oleh akal

pikiran manusia (Mustofa, 2005: 15). Menurut Masyhur (1994: 2), alat untuk mengukur baik dan buruk

dalam ilmu Etika ialah menggunakan penilaian akal pikiran manusia, sedangkan dalam ilmu akhlak

ialah menggunakan penilaian akal dan agama Islam.

Perbedaan lain antara akhlak dan Etika yaitu, akhlak itu lebih menjurus pada praktek, sedangkan Etika

menjurus kepada teori (Mashanah, 1986: 12). Dan dilihat dari sumbernya, Etika bersumber dari filsafat

Yunani, sedangkan akhlak bersumber dari Al Qur’an dan Hadits (Muhyiddin, 2001: 8).

Selain kata akhlak dan Etika, ada satu lagi kata yang dipergunakan yaitu moral. Moral berasal dari

bahasa Latin Mos yang jamaknya Mores yang berarti “adat atau tata cara”. Moral dalam bahasa

Indonesia disebut susila atau kesusilaan.

Menurut Mashanah (1986: 13), moral adalah yang sesuai dengan ide-ide umum tentang tindakan

manusia mana yang lebih wajar. Namun pada dasarnya istilah moral (kesusilaan) dan akhlak adalah

sama pengertiannya sebagai suatu norma untuk menyatakan perbuatan manusia. Jadi, istilah ini bukan

suatu bidang ilmu, tetapi merupakan suatu perbuatan (praktek) manusia. Mashanah (1986: 14)

menjelaskan perbedaan antara Etika dengan moral sebagai berikut: Etika lebih banyak bersifat teori,

moral bersifat praktek; Etika membicarakan bagaimana seharusnya, moral bagaimana adanya; Etika

menyelidiki, memikirkan dan mempertimbangkan tentang yang baik dan yang buruk, moral

mengatakan ukuran baik tentang tindakan manusia dalam kesatuan sosial terbatas; Etika memandang

laku perbuatan manusia secara universal, sedangkan moral secara lokal.


Selanjutnya (Mahyuddin, 2001: 8) menjelaskan, mengenai istilah akhlak dengan moral (kesusialaan)
dapat dilihat perbedaannya bila dipandang dari obyeknya, di mana akhlak menitik beratkan perbuatan

terhadap Tuhan dan sesama manusia, sedangkan moral hanya menitik beratkan perbuatan terhadap

sesama manusia saja. Maka istilah akhlak sifatnya teosentris (ketuhanan) dan moral bersifat

anthroposentris (kemanusiaan).

Dengan demikian, moral lebih dekat dengan akhlak, meski tidak sepenuhnya, ketimbang dengan Etika.

Meski demikian mesti dikatakan bahwa karakteristika akhlak adalah bersifat agamis, dan ini tidak ada

pada moral. Oleh karena itu akhlak lebih merupakan sebagai suatu paket atau barang jadi yang

bersifat normatif-mengikat, yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim,

tanpa mempertanyakan secara kritis, sehingga akhlak bisa disebut dengan moralitas islami. Studi

kritis terhadap moralitas itulah wilayah etika, sehingga moral tidak lain adalah obyek kajian daripada

etika. Dengan demikian kalau dibandingkan dengan penjelasan mengenai akhlak di atas, kiranya dapat

diketahui bahwa Etika lebih menunjuk pada ilmu akhlak, sedangkan moral lebih merupakan perbuatan

konkrit realisasi dari kekuatan jiwa.

Memang harus diakui, bagaimana pun manusia itu pada umumnya tahu akan adanya baik dan buruk.

Bukan selalu ia mengetahui dalam tindakannya tertentu, bahwa ia menjalankan sesuatu yang baik atau

yang buruk. Manusia pada suatu ketika dan pada umumnya tahu adanya baik dan buruk. Menurut

Poedjawijatna (2003: 27), bahwa pengetahuan adanya baik dan buruk itu disebut kesadaran etis atau

kesadaran moral.

Dari pengertian di atas, dapat dimengerti bahwa akhlak adalah tabiat atau sifat seseorang, yakni

keadaan jiwa yang terlatih, sehingga dalam jiwa tersebut benar-benar telah melekat sifat-sifat yang

melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa dipikirkan dan diangan-angan

lagi. Maksud perbuatan yang dilahirkan dengan mudah dan tanpa dipikirkan lagi di sini bukan berarti

perbuatan tersebut dilakukan dengan tidak sengaja atau tidak dikehendaki. Jadi perbuatan yang

dilakukan itu benar-benar sudah merupakan azimah, yakni kemauan yang kuat tentang suatu

perbuatan, oleh karenanya jelas perbuatan itu memang sengaja dikehendaki adanya. Hanya saja

karena keadaan yang demikian itu dilakukan secara kontinyu, sehingga sudah menjadi adat atau

kebiasaan untuk melakukannya, dan karenanya timbullah perbuatan itu dengan mudah tanpa dipikir

lagi (Mustofa, 2005: 15-16).

b. Sumber Akhlak

Sebagai salah satu bentuk akhlak religius, akhalak islami berbeda sumbernya dengan Etika. Jika Etika

bersumberkan dari pemikiran akal yakni filsafat Yunani, maka akhlak islami, seperti halnya Etika

religius pada umumnya, yaitu bersumberkan pada wahyu yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah. Itulah

sebabnya Etika bersifat sekuler, sedangkan akhlak islami bersifat religius. Meskipun demikian, akhlak

islami sebagai etika religius menjadikan filsafat Yunani sebagai sarana pengembangannya, sehingga

tidak sedikit yang kemudian menyebutkan bahwa akhlak islami sebenarnya merupakan perpaduan

antara doktrin islam dengan filsafat Yunani.

Persoalan akhlak di dalam Islam banyak dibicarakan dan dimuat pada Al Qur’an dan Hadits. Sumber
tersebut merupakan batasan-batasan dalam tindakan sehari-hari bagi manusia. Ada yang menjelaskan
arti baik dan buruk. Memberi informasi kepada umat, apa yang semestinya harus diperbuat dan

bagaimana harus bertindak. Sehingga dengan mudah dapat diketahui, apakah perbuatan itu terpuji

atau tercela, benar atau salah.

Sebagaimana yang telah diketahui bahwa akhlak Islam adalah merupakan sistem moral atau akhlak

yang berdasarkan Islam, yakni bertitik tolok dari aqidah yang diwahyukan Allah Swt. pada Rasul-Nya

yang kemudian agar disampaikan kepada umatnya. Karena akhlak Islam merupakan sistem akhlak

yang berdasarkan kepercayaan kepada Allah Swt., maka tentunya sesuai pula dengan dasar daripada

agama itu sendiri. Dengan demikian, dasar atau sumber pokok daripada akhlak Islam adalah Al Qur’an
dan Hadits yang merupakan sumber utama dari agama Islam itu sendiri (Mustofa, 2005: 149).

Allah Swt. berfirman:

“Dan Sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung (berkhlak mulia)”
(QS. Al Qalam: 4) (Depag RI, 2005: 826).

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah Saw. itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi

orang yang mengharap (rahmat) Allah Swt. dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut
Allah Swt.” (QS. Al Ahzab: 21).

Rasulullah Saw. bersabda:

“Sesungguhnya Aku diutus (sebagai Rasul) untuk menyempurnakan akhlak” (HR. Bukhari).

Dalam Islam, budi pekerti merupakan refleksi iman dari seseorang sebagai contoh (suri tauladan) yang

benar ialah Rasulullah Saw. Beliau memiliki akhlak yang sangat mulia, agung dan teguh, sehingga

tidak mustahil kalau Allah Swt. memilih beliau sebagai pemimpin umat manusia (Mustofa, 2005: 151).

Dengan demikian, dapatlah ditegaskan bahwa dasar atau sumber daripada akhlak Islam secara global

hanya ada dua, yaitu Al Qur’an dan Hadits. Kedua unsur dasar tersebut tidak dipisahkan, sebagaimana

yang telah disyari’atkan oleh Allah Swt. dan Rasul-Nya.

c. Pembagian Akhlak

Secara struktural, akhlak dapat diartikan sebagai perilaku yang telah berkonotasi baik. Akan tetapi,

dalam realita sehari-hari terdapat akhlak yang baik (akhlaq al-karimah) dan buruk (akhlaq al-

mazmumah). Akhlak yang baik adalah perilaku yang sesuai dengan norma ajaran Islam, sedangkan

akhlak yang buruk adalah perilaku yang tidak sesuai dengan norma ajaran Islam (Sauri, 2004: 126).

Menurut Ulama’ Akhlak menyatakan, bahwa akhlak yang baik merupakan sifat para Nabi dan orang-

orang Shiddiq, sedangkan akhlak buruk merupakan sifat setan dan orang-orang yang tercela. Akhlak

baik (akhlaq mahmudah) yaitu perbuatan baik terhdap Allah Swt., sesama manusia, dan makhluk-

makhluk lain, seperti Dan akhlak buruk (akhlaq madzmumah) yaitu perbuatan buruk terhadap Allah
Swt., sesama manusia, dan makhluk-makhluk lain (Mahyuddin, 2001: 9).
Sedangkan, dilihat dari orientasinya, akhlak terbagi menjadi tiga, yakni akhlak kepada Allah Swt.,

akhlak terhadap sesama manusia dan akhlak terhadap alam atau lingkungan. Dalam pembahasan ini,

penulis membatasi hanya meninjau akhlak baik dan buruk terhadap Allah Swt., dan terhadap sesama

manusia saja.

1) Ahlak terhadap Allah Swt.

Akhlak baik atau terpuji (akhlaqul mahmudah) terhadap Allah Swt. antara lain (Mahyuddin, 2001: 9-

15) :

a) Taubat (At Taubah)

Taubat yaitu suatu sikap yang menyesali perbuatan buruk yang pernah dilakukannya dan berusaha

menjauhinya, serta melaksanakan perbuatan baik.

Dalam Al Qur’an banyak menerangkan tentang masalah taubat, antara lain dalam surat An-Nisa’ ayat

17 dan 18 menerangkan bahwa taubat yang akan diterima oleh Allah Swt. adalah kesalahan yang telah

dilakukan dengan tidak direncana. Selanjunya, dalam surat An-Nahl ayat 119 menerangkan bahwa

kesalahan atau dosa yang dilakukan dengan tidak sengaja, lalu disadari perbuatan itu sebagai

tindakan yang mengandung dosa, dengan cara memperbaiki kembali sikap dan perilaku kita, maka

Allah Swt. pasti mengampuninya. Lalu, dalam surat At-Tahrim ayat 8 memerintahkan untuk

melakukan taubat nasuha, yang artinya taubat yang sebenarnya dengan cara berusaha semaksimal

mungkin, agar tidak akan melakukan perbuatan buruk, sebagaimana yang pernah dilakukannya.

Mahyuddin (2000: 42) menjelaskan, bahwa pendidikan taubat dalam Islam dimulai dari memberikan

keterangan sebagai ranah kognitif, lalu dihayati, dijiwai dan disikapi sebagai ranah afektif. Ini

merupakan suatu dasar motivasi yang kuat dalam diri manusia untuk mempraktekkan atau

mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari yang disebut dengan ranah psikomotorik.

b) Sabar (Ash Shabru)

Sabar yaitu suatu sikap yang betah atau dapat menahan diri pada kesulitan yang dihadapinya. Tetapi

tidak berarti bahwa sabar itu langsung menyerah tanpa upaya untuk melepaskan diri dari kesulitan

yang dihadapi oleh manusia. Maka sabar yang dimaksudkan adalah sikap yang diawali dengan ikhtiar,

lalu diakhiri dengan ridha dan ikhlas, bila seseorang dilanda suatu cobaan dari Allah Swt.

Dalam Al Qur’an banyak diterangkan masalah sabar, seperti dalam surat Ali Imran ayat 125 dan 200,

surat Hud ayat 11, 15, dan 17, serta surat Luqman ayat 17. Namun dari beberapa ayat Al Qur’an

tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa: pertama, manusia tidak pernah terlepas dari cobaan yang

sering menimpa dirinya, kedua, Allah Swt. tidak menyia-nyiakan manusia yang telah bersabar, tetapi

Ia selalu memberinya kekuatan batin dan pahala serta pertolongan, ketiga, kesabaran merupakan

kewajiban moral bagi setiap manusia, dan tergolong pekerjaan yang berat dilakukan. Tetapi bila

seseorang berhasil melakukannya, maka Allah Swt. memberinya imbalan yang sangat besar nilainya,

dan keempat, kesabaran tidak tumbuh dan berkembang begitu saja dalam diri setiap manusia, oleh

karena itu harus dijadikan materi pendidikan bagi setiap manusia (Mahyuddin, 2000: 46).

c) Syukur (Asy Syukru)


Syukur yaitu sikap yang ingin memanfaatkan dengan sebaik-baiknya, nikmat yang telah diberikan oleh
Allah Swt. kepadanya, baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Lalu disertai dengan peningkatan

pendekatan diri kepada Allah Swt.

Dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 153 dan 172, Allah Swt. memerintahkan agar hamba selalu

ingat pada-Nya, lalu mensyukurinya karena Dia-lah yang memberikan nikmatnya yang selalu

dikonsumsi oleh manusia. Dalam surat An-Nahl ayat 14, menerangkan bahwa nikmat itu bukan hanya

nikmat yang didapat didarat, tetapi di laut pun banyak nikmat yang disediakan oleh Allah Swt., dan

pada ayat 114 dikemukakan, bahwa orang-orang yang menyembah sesuatu selain Allah Swt., tidak
mendapatkan rizki dari Allah Swt. (Mahyuddin, 2000: 50).

d) Tawakkal (At-Tawakkal)

Tawakkal yaitu menyerahkan segala urusan kepada Allah Swt. setelah berbuat semaksimal mungkin,

untuk mendapatkan sesuatu yang diharapkannya. Oleh karena itu, syarat utama yang harus dipenuhi

bila seseorang ingin mendapatkan sesuatu yang diharapkannya, ia harus lebih dahulu berupaya sekuat

tenaga lalu menyerahkan ketenuannya kepada Allah Swt. Maka dengan cara demikian itu, manusia

dapat meraih kesuksesan dalam hidupnya.

e) Ikhlas (Al-Ikhlassh)

Ikhlas yaitu sikap mejauhkan diri dari riya’ (menunjuk-nunjukkan kepada orang lain) ketika

mengerjakan amal baik. Maka amalan seseorang dapat dikatakan jernih, bila dikerjakannya dengan

ikhlas. Muhammad Rasid Ridla dalam Mahyuddin (2000: 57) mengatakan, seseorang dapat mencapai

keridlaan Allah Swt. bila ia beribadah dengan dasar keikhlasan dan bekerja dengan dasar niat baik dan

kejujuran.

f) Raja’ (Ar-Rajaa’)

Raja’ yaitu sikap jiwa yang sedang menunggu (mengharapkan) sesuatu yang disenangi dari Allah Swt.,

setelah melakukan hal-hal yang menyebabkan terjadinya sesuatu yang diharapkannya. Oleh karena

itu, bila tidak mengerjakan penyebabnya, lalui menunggu sesuatu yang diharapkannya, maka hal itu

disebut tamanni atau khayalan.

g) Takut (Al-Khauf)

Takut yaitu sikap jiwa yang sedang menunggu sesuatu yang disenangi dari Allah Swt., maka manusia

perlu berupaya agar apa yang ditakutkan itu tidak akan terjadi.

Sedangkan akhlak buruk atau tercela (akhlaqul mudzmumah) terhadap Allah Swt. antara lain

(Mahyuddin, 2001: 15-20) :

a) Takabbur (Al-Kibru)

Takabbur yaitu suatu sikap yang menyombongkan diri, sehingga tidak mau mengakui kekuasaan Allah

Swt. di alam ini, termasuk mengingkari nikmat Allah Swt. yang ada padanya.

b) Musyrik (Al-Isyraaq)

Musyrik yaitu suatu sikap yang mempersekutukan Allah Swt. dengan makhluk-Nya, dengan cara

menganggapnya bahwa ada suatu makhluk yang menyamai kekuasaan-Nya


c) Murtad (Ar-Riddah)
Murtad yaitu suatu sikap yang meninggalkan atau keluar dari agama Islam, untuk menjadi kafir.

d) Munafiq (An-Nifaaq)

Munafiq yaitu suatu sikap yang menampilkan dirinya bertentangan dengan kemauan hatinya dalam
kehidupan beragama

e) Riya’ (Ar-Riyaa’)

Riya’ yaitu suatu sikap yang menunjuk-nunjukkan perbuatan baik yang dilakukannya. Maka ia bukan

berbuat bukan karena Allah Swt., melainkan hanya ingin dipuji oleh sesama manusia. Perbuatan ini

adalah kebalikan dari sikap ikhlas.

f) Boros atau berfoya-foya (Al-Israaf)

Boros atau berfoya-foya yaitu suatu perbuatan yang selalu melampaui batas-batas ketentuan agama.

Allah Swt. melarang bersikap boros, karena hal itu dapat melakukan dosa terhadap-Nya, merusak

perekonomian manusia, merusak hubungan sosial, serta merusak dirinya sediri.

g) Rakus atau tamak (Al-Hirshu atau Ath-Thama’u)

Rakus atau tamak yaitu suatu sikap yang tidak pernah merasa cukup, sehingga selalu ingin menambah

apa yang seharusnya ia miliki, tanpa memperhatikan hak-hak orang lain. Hal ini, termasuk kebalikan

dari rasa cukup (Al-Qanaah).

2) Akhlak terhadap Sesama Manusia

Akhlak baik atau terpuji (akhlaqul mahmudah) terhadap sesama manusia antara lain (Mahyuddin,

2001: 20-26) :

a) Belas kasihan dan sayang (Asy-Syafaqah)

Belas kasihan dan sayang yaitu sikap jiwa yang selalu ingin berbuat baik dan meyantuni orang lain.

Muhyudin (2000: 58) menjelaskan, bahwa penanaman rasa kasih sayang dalam setiap pribadi muslim

menjadi anjuran dalam Islam, lewat pendidikan dan pembiasaan. Rasa kasih sayang yang kuat dalam

diri manusia dapat menampilkan pribadi yang lemah lembut dalam pergaulannya. Orang yang

memiliki rasa kasih sayang dapat dinikmati oleh orang lain, baik dalam kehidupan sosial, kehidupan

ekonomi, maupun dalam kehidupan keagamaan.

b) Rasa persaudaraan (Al-Ikhaa’)

Rasa persaudaraan yaitu sikap jiwa yang selalu ingin berhubungan baik dan bersatu dengan orang

lain, karena ada keterikatan batin dengannya. Dalam Al Qur’an surat Ali Imran ayat 103, menerangkan

bahwa permusuhan itu adalah awal kehancuran dan permulaan siksaan neraka. Maka secara logika,

persaudaraan merupakan awal ketentraman dan kebahagiaan serta permulaan kenikmatan surga.

c) Memberi nasehat (An-Nashihah)

Memberi nasehat yaitu suatu upaya untuk memberi petunjuk-petunjuk yang baik kepada orang lain

dengan menggunakan perkataan, baik ketika orang yang dinasehati telah melakukan hal-hal yang

buruk, maupun belum. Sebab ketika ia telah melakukan perbuatan buruk, berarti diharapkan agar ia

berhenti melakukannya. Tetapi kalau dinasehati ketika ia belum melakukan perbuatan itu, berarti
diharapkan agar ia tidak akan melakukannya. Mahyuddin (2000: 61) mengatakan, pendidikan nasehat
berlaku bagi seluruh manusia, terutama diperlukan untuk memberikan tuntutan, arahan dan usulan

kepada orang yang sikapnya bergeser dari jalan yang benar.

d) Tolong menolong (An-Nashru)

Tolong menolong yaitu suatu upaya untuk membantu orang lain, agar tidak mengalami suatu

kesulitan. Islam sangat menganjurkan pendidikan kerohanian kepada umat Islam, antara lain mendidik

dan membangun manusia muslim yang suka memberi pertolongan kepada orang lain sesuai dengan

apa yang dibutuhkan orang lain kepadanya. Kalau ia mempunyai harta, maka ia menolong dengan

harta. Kalau ia memiliki ilmu, keterampilan dan keahliannya, maka ia memberi pertolongan dengan

ilmunya. Dan kalau ia memiliki kemampuan fisik dan tenaga, maka ia memberi pertolongan dengan

kekuatan fisiknya.

e) Suka memaafkan (Al-Afwu)

Suka memaafkan yaitu sikap dan perilaku seseorang yang suka memaafkan kesalahan orang lain yang

pernah diperbuat terhadapnya. Menurut Mahyuddin (2000: 85), sikap pemaaf sangat sulit dilakukan

oleh orang-orang awam bila ia pernah disakiti, tetapi ajaran Islam tetap menjadikannya sebagai ajaran

yang harus dilakukan, maka sikap ini harus ditanamkan pada diri setiap manusia, dengan melalui

proses pendidikan, yang tidak dibatasi oleh umur anak.

f) Menahan amarah (Khazmul Ghaizhi)

Menahan amarah yaitu upaya menahan emosi, agar tidak dikuasai oleh perasaan marah terhadap

orang lain.

g) Sopan santun (Al-Hilmu)

Sopan santun yaitu sikap jiwa yang lemah lembut terhadap orang lain, sehingga dalam perkataan dan

perbuatannya selalu mengandung adab-kesopanan yang mulia.

Akhlak buruk atau tercela (akhlaqul madzmumah) terhadap sesama manusia antara lain (Mahyuddin,

2001: 26-32) :

a) Mudah marah (Al-Ghadhab)

Mudah marah yaitu kondisi emosi seseorang yang tidak dapat ditahan oleh kesadarannya, sehingga

menonjolkan sikap dan perilaku yang tidak menyenangkan orang lain. Kemarahan dalam diri manusia

meruapakan bagian dari kejadian. Oleh karena itu, agama Islam memberikan tuntunan agar sifat itu

dapat dikendalikan dengan baik.

b) Iri hati atau dengki (Al-Hasadu atau Al-Hiqdu)

Iri hati atau dengki yaitu kejiwaan seseorang yang selalu menginginkan agar kenikmatan dan
kebahagiaan hidup orang lain bisa hilang sama sekali.

c) Mengadu-adu (An-Namimah)

Mengadu-adu yaitu suatu perilaku yang suka memindahkan perkataan seseorang kepada orang lain,

dengan maksud agar hubungan sosial keduanya rusak.

d) Mengumpat (Al-Ghibah)
Mengumpat yaitu suatu perilaku yang suka membicarakan keburujan seseorang kepada orang lain.
e) Bersikap congkak (Al-Ash’ru)

Bersikap congkak yaitu suatu sikap dan perilaku yang menampilkan kesombongan, baik dilihat dari

tingkah lakunya maupun perkataannya.

f) Sikap kikir (Al-Bukhlu)

Sikap kikir yaitu suatu sikap yang tidak mau memberikan nilai materi dan jasa kepada orang lain.

g) Berbuat aniaya (Azh-Zhulmu)

Berbuat aniaya yaitu suatu perbuatan yang merugikan orang lain, baik kerugian materiil mapun non-

materiil. Dan ada juga yang mengatakan, bahwa seseorang yang mengambil hak-hak orang lain,
termasuk perbuatan dzalim (menganiaya).

BAB III
METODE PENELITIAN

A. PENDEKATAN DAN JENIS PENELITIAN

Suatu penelitian dapat berhasil dengan baik atau tidak tergantung dari data yang diperoleh. Kualitas

suatu penelitian juga didukung pula oleh proses penglolahan yang dilakukan. Oleh karena itu, variabel

yang digunakan, alat-alat pengumpulan data, desain penelitian, dan alat-alat analisis serta hal-hal

yang dianggap perlu dalam penelitian harus tersedia. Metode penelitian dianggap paling penting

dalam menilai kualitas hasil penelitian. Keabsahan suatu penelitian ditentukan oleh metode penelitian

(Hariwijaya, 2008: 51).

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Sebagaimana (Yuswadi, 2005:

18) menjelaskan, bahwa sifat dari penelitian kualitatif yaitu mencari makna dari suatu fakta atau

fenomena, maka kesungguhan seorang peneliti dituntut ketika melakukan suatu observasi atau

pengamatan di lapangan. Seorang peneliti dalam penelitian kualitatif merupakan “instrument utama”

dalam proses pengumpulan data melalui pengamatan. Dalam penelitian kualitatif seorang peneliti

harus mampu melakukan proses imajinasi, berpikir secara abstrak, dan bahkan jika memungkinkan

dapat menghayati dan merasakan fenomena yang terjadi di lapangan.

Jenis metode penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti dan

menemukan informasi sebanyak-banyaknya dari suatu fenomena. Teorisasi dan hipotesis dalam
penelitian jenis ini kurang diperlukan (Hariwijaya, 2008: 22). Kualitatif deskriptif (descriptive research)

dimaksudkan untuk mendeskripsikan suatu situasi atau area populasi tertentu yang bersifat faktual
secara sistematis (Danim, 2002: 41).

B. LOKASI PENELITIAN

Lokasi atau tempat penelitian ini dilakukan di MI Miftahul Huda Mlokorejo kecamatan Puger kabupaten
Jember, tepatnya di Jln. Melati No. 17 desa Mlokorejo.

C. SUMBER DAN JENIS DATA


1. Sumber Data
Dalam penelitian kualitatif deskriptif ini, data yang terkumpul berbentuk kata-kata, gambar bukan

angka-angka. Kalaupun ada angka-angka, sifatnya hanya sebagai penunjang. Data yang diperoleh

meliputi transkip interview, catatan lapangan, foto, dokumen pribadi dan lain-lain (Danim, 2002: 51).

Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 2000: 3) mengemukakan, bahwa, sumber data utama dalam

penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan-tindakan, bisa juga berupa data tambahan seperti

dokumentasi dan lain-lain. Selain itu sumber data adalah informan, kegiatan yang bisa diamati dan
dokumen.

a. Informan

Informan adalah orang-orang tertentu yang dapat dijadikan sebagai sumber informasi yang

diperlukan oleh peneliti dalam proses penelitiannya, karena orang tersebut dianggap memiliki

pengetahuan tentang data-data atau informasi yang berkaitan dengan masalah yang telah dirumuskan

dalam penelitian tersebut. Dalam penelitian ini teknik penentuan informan dilakukan dengan cara

purposive sampling dan snowball sampling. purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel

(informan) dengan pertimbangan tertentu. Sedangkan snowball sampling adalah teknik pengambilan

sampel yang pada awalnya jumlahnya sedikit, lama-lama menjadi besar (Sugiyono, 2008: 218).

Hal ini dimaksudkan untuk memilih informan yang benar-benar relevan dan kompeten dengan

masalah penelitian sehingga data yang diperoleh dapat digunakan untuk membangun teori. Selain itu,

peneliti juga menggunakan infoman tambahan. Informan awal diminta untuk menunjuk orang lain

yang dapat memberikan informasi, dan kemudian informan ini diminta pula untuk menunjuk orang

lain yang dapat memberikan informasi, dan seterusnya sampai menunjukkan tingkat kejenuhan

infomasi. Artinya, bila dengan menambah informan hanya doperoleh informasi yang sama, berarti

jumlah informan sudah cukup (sebagai informan terakhir) karena informasinya sudah jenuh.

Dalam penelitian ini yang dipandang sebagai infoman awal (sumber informasi) adalah Kepala MI

Miftahul Huda Mlokorejo. Selanjutnya antara lain: para guru, para siswa, orang tua siswa, serta

masyarakat lainnya.

b. Peristiwa

Peristiwa atau kejadian yang berkaitan dengan masalah atau fokus penelitian yang akan diobservasi,

yaitu penerapan pembiasaan shalat Dhuha kaitannya dalam pembinaan akhlak siswa.

c. Dokumen

Dokumen sebagai sumber data lainnya yang bersifat melengkapi data utama yang relevan dengan

masalah dan fokus penelitian. Dokumen yang akan diperoleh antara lain meliputi tentang sejarah

berdirinya MI Miftahul Huda Mlokorejo, keadaan jumlah guru, jumlah siswa, dan lain sebagainya.

2. Jenis Data

Moleong (2000: 3) menegaskan, bahwa sesuai dengan data yang dipilih, maka jenis data dalam

penelitian kualitatif dibagi ke dalam kata-kata dan tindakan, tulisan, foto dan statistik. Jenis-jenis data

tersebut di atas semuanya dapat digunakan sebagai informasi yang diperlukan. Perlu ditegaskan,
bahwa keterangan berupa kata-kata atau cerita dari informan penelitian yang diwawancari dan
tindakan yang diamati, dalam penelitian kualitatif dijadikan sebagai data utama (primer), sedangkan

tulisan, foto, dan data statistik dari berbagai dokumen yang relevan dengan fokus penelitian dijadikan

sebagai data pelengkap (sekunder).

Dengan kata lain, data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber utama atau informan

yang diwawancarai. Sedangkan data sekunder merupakan data primer yang yang telah diolah lebih
lanjut dan telah disajikan oleh pihak lain.

D. TEKNIK PENGUMPULAN DATA

Dalam teknik pengumpulan data ini, peneliti menggunakan metode kualitatif partisipatif (fieldwork

relation). Di sinilah diperlukan kehadiran peneliti untuk tahu langsung kondisi dan fenomena di

lapangan, tidak cukup meminta bantuan orang atau sebatas mendengar penuturan secara jarak jauh

(Danim, 2002: 122). Oleh karena itu, Pada tahap ini, peneliti menggunakan tiga macam metode atau

teknik pengumpulan data, yaitu:

1. Observasi Partisipatif

Menurut Margono (2004:158), observasi adalah pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap

gejala yang tampak pada obyek penelitian. Subagyo (2004: 63), mengemukakan bahwa observasi

adalah pengamatan yang dilakukan secara sengaja, sistematis mengenai fenomena sosial dengan

gejala-gejala psikis untuk kemudian dilakukan pencatatan. Observasi sebagai alat pengumpulan data

dapat dilakukan secara spontan, dapat pula dengan daftar isian yang telah disiapkan.

Sedangkan Sugiono dalam Hariwijaya (2008: 63) menjelaskan, bahwa observasi merupakan suatu

proses komplek, suatu proses yang tersusun dari pelbagai proses biologis dan psikologis. Dua di

antara yang terpenting adalah proses-proses pengamatan dan ingatan. Menurut Nawawi (1995: 100),

Observasi ini langsung dilakukan terhadap obyek di tempat terjadi atau berlangsungnya peristiwa,

sehingga observer berada bersama obyek yang diselidiki.

Dengan teknik observasi pertisipatif, peneliti harus banyak memainkan peran selayaknya yang

dilakukan oleh subyek penelitian, pada situasi yang sama atau berbeda. Pada saat tercipta hubungan

baik antara peneliti dan subyek, peneliti bisa berperan serta dalam kegiatan-kegiatan subyek itu.

Kemudian peneliti bisa menarik diri lagi dari peran sertanya sehingga ia tidak kehilangan tujuan

utamanya. Peneliti yang terlalu terlibat atau berperan serta akan larut dalam pekerjaan subyek

penelitian, bisa kehilangan tujuan utamanya (Danim, 2002: 124).

Pedoman yang digunakan oleh peneliti adalah dengan daftar cek (chek list). Aspek yang diobservasi

antara lain: pertama, keadaan fisik sekolah, berupa kondisi lingkungan sekolah, keadaan fisik sekolah,

dan lain-lain; kedua, keperilakuan, seperti interaksi antar warga sekolah, perilaku siswa, dan lain-lain;
dan ketiga, pertumbuhan dan perkembangan guru dan siswa.

2. Interview atau Wawancara


Menurut Margono (2004: 165), interview adalah alat pengumpul informasi dengan cara mengajukan
sejumlah pertanyaan secara lisan dan dijawab secara lisan pula. Hariwijaya (2008: 64) menjelaskan,

interview dapat dilakukan melalui tatap muka (face to face) maupun menggunakan telepon.
Wawancara dipergunakan sebagai cara untuk memperoleh data dengan jalan mengadakan wawancara

dengan nara sumber atau responden.

Berdasarkan strukturnya, pada penelitian kualitatif ada dua jenis wawancara. Pertama, wawancara

relatif tertutup. Pada wawancara dengan format ini, pertanyaan-pertanyaan difokuskan pada topik-

topik khusus atau umum. Panduan wawancara dibuat cukup rinci. Pewawancara pun bekerja, sebagian

besar dipandu oleh item-item yang dibuatnya meskipun tetap terbuka berpikir divergen. Kedua,

wawancara yang terbuka. Pada wawancara ini, peneliti memberikan kebebasan diri dan mendorongnya

untuk berbicara secara luas dan mendalam. Pada wawancara dengan format terbuka, subyek penelitian

lebih kuat pengaruhnya dalam menentukan isi wawancara (Danim, 2002: 132).

Dalam hal ini, peneliti lebih banyak menggunakan wawancara tidak berstruktur (terbuka). Peneliti

hanya mengajukan sejumlah pertanyaan atau pertanyaan-pertanyaan yang mengundang jawaban atau

komentar subyek secara bebas. Pedoman wawancara pun hanya berupa pertanyaan-pertanyaan

singkat, dan membuka kemungkinan peneliti menerima jawaban panjang.

3. Dokumentasi

Menurut Arikunto (2002: 206), metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau

variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger,

agenda, dan sebagainya. Selanjutnya, Danim (2002: 175), membagi secara umum dokumen tersebut

menjadi dua macam, yaitu dokumen pribadi (personal document) dan dokumen resmi (official

document), kedua dokumen ini berbeda bentuk dan sifatnya, meskipun pada umumnya saling mengisi

atau saling melengkapi.

a. Dokumen pribadi

Dokumen tidak selalu berbentuk tulisan, melainkan dapat juga berupa foto atau rekaman lain, yang

dalam konteks ini bersifat milik atau melekat pada pribadi. Dokumen pribadi memuat catatan yang

dibuat sendiri oleh subyek yang bersangkutan. Isinya dapat berupa ungkapan perasaan, keyakinan-

keyakinan, tindakan, dan pengalaman-pengalamannya.

b. Dokumen resmi

Dokumen resmi berbeda dengan dokumen pribadi, meskipun dilihat dari keperluan penelitian sifatnya

dapat saling mengisi, saling melengkapi, atau bahkan mungkin bertolak belakang. Dokumen resmi

adalah dokumen Instansi. Isinya dapat memuat data subyek dalam konteks formal dan dapat juga

memuat data mengenai pribadi seseorang, berikut keterlibatannya dalam organisasi di tempat bekerja.

Dokumen resmi ini ada yang berupa dokumen internal kelembagaan, seperti sistem dan mekanisme

kerja, jumlah personal, potensi material lembaga, dan lain sebagainya. Dan juga bisa berupa dokumen
eksternal kelembagaan, yaitu dokumen-dokumen komunikasi dengan pihak luar.

E. ANALISIS DATA

Spradley dalam Moleong (2000: 91) mengartikan, analisis adalah penelaahan untuk mencari pola

(patterns) pada tahap ini peneliti banyak terlihat dalam kegiatan penyajian dan penampilan (display)
dari data yang dikumpulkan. Analisis dilakukan untuk menemukan pola. Caranya dengan melakukan
pengujian sistematik untuk menetapkan bagian-bagian, hubungan antar kajian, dan hubungan

terhadap keseluruhannya. Untuk dapat menemukan pola tersebut peneliti akan melakukan

penelusuran melalui catatan-catatan lapangan, hasil wawancara dan bahan-bahan yang dikumpulkan

untuk meningkatkan pemahaman terhadap semua hal yang dikumpulkan dan memungkinkan

menyajikan apa yang ditemukan.

Proses analisis data ini peneliti lakukan secara terus menerus, bersamaan dengan pengumpulan data

dan kemudian dilanjutkan setelah pengumpulan data dilakukan. Di dalam melakukan analisis data

peneliti mengacu kepada tahapan yang dijelaaskan Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2008: 246)

yang terdiri dari tiga tahapan yaitu: reduksi data (data reduction), penyajian data (data display) dan

penarikan kesimpulan atau verifikasi (conclusion drawing verivication).

1. Reduksi Data (data reduction)

Pada tahap ini, data yang diperoleh dari lokasi penelitian (data lapangan) dituangkan dalam uraian

atau laporan yang lengkap dan terinci. Laporan lapangan oleh peneliti akan direduksi, dirangkum,

dipilih hal-hal yang pokok, difokuskan pada hal-hal yang penting kemudian dicari tema atau polanya

dengan cara: diedit atau disunting, yaitu diperiksa atau dilakukan pengecekan tentang kebenaran

responden yang menjawab, kelengkapannya, apakah ada jawaban yang tidak sesuai atau tidak

konsisten. Kemudian, dilakukan coding atau pengkodean, yaitu pemberian tanda atau simbol atau

kode bagi tiap-tiap jawaban yang termasuk dalam ketegori yang sama. Dan selanjutnya, tabulasi atau

pentabelan, yaitu jawaban-jawaban yang serupa dikelompokkan dalam suatu table. Reduksi data ini

dilakukan secara terus menerus selama proses penelitian berlangsung.

2. Penyajian Data (data display)

Penyajian data atau display data dimaksudkan untuk memudahkan peneliti dalam melihat gambaran

secara keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari penelitian. Dengan kata lain merupakan

pengorganisasian data ke dalam bentuk tertentu sehingga kelihatan dengan sosoknya lebih utuh.

3. Penarikan Kesimpulan (Verifikasi)

Dalam penelitian kualitatif, penarikan kesimpulan dilakukan secara terus menerus sepanjang proses

penelitian berlangsung. Sejak awal memasuki lapangan dan selama proses pengumpulan data, peneliti

berusaha untuk menganalisis dan mencari makna dari data yang dikumpulkan yaitu dengan cara

mencari pola, tema, hubungan persamaan, hal-hal yang sering timbul, hipotesis dan sebagainya yang

dituangkan dalam kesimpulan yang masih bersifat tentatif, akan tetapi dengan bertambahnya data

melalui proses verifikasi secara terus menerus, maka akan diperoleh kesimpuan yang bersifat

grounded. Dengan kata lain, setiap kesimpulan senantiasa terus dilakukan verifikasi selama penelitian
berlangsung yang melibatkan interprestasi peneliti.

F. VALIDITAS DATA

Sugiyono (2008: 269), mengemukakan bahwa ada empat kriteria yang dapat digunakan untuk

memeriksa kevalidan data, yaitu derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability),


ketergantungan (dependability), dan kepastian (confirmability). Untuk memeriksa keabsahan data hasil
penelitian ini, akan dilakukan kegiatan sebagai berikut:

1. Derajat Kepercayaan (Credibility)

Penerapan konsep kriteria drajat kepercayaan ini berfungsi untuk melaksanakan inquiri sedemikian

rupa sehingga tingkat kepercayaan tingkat kepercayaan penemuannya dapat dicapai. Selain itu

berfungsi untuk mempertunjukkanderajat kepercayaan hasil-hasil penemuan dengan jalan penbuktian

oleh peneliti pada kenyataan ganda yang sedang diteliti. Kegiatan yang akan dilakukan untuk

memeriksa kredibilitas hasil penelitian adalah sebagai berikut:

a. Memperpanjang Masa Observasi

Dengan cara ini peneliti berharap mempunyai cukup waktu untuk betul-betul mengenal situasi

lingkungan, untuk melakukan hubungan baik dengan para informan di lokasi penelitian. Dengan

demikian, peneliti dapat mengecek kebenaran berbagai informasi dan data yang diperoleh sampai

dirasa benar.

Perpanjangan masa observasi ini dilakukan setelah waktu atau masa penelitian telah selesai. Hal ini

dilakukan agar dapat meningakatkan kepercayaan atau kredibilitas data. Langkah-langkah yang

dilakukan adalah dengan mengulang kembali tahap-tahap yang dilakukan sebelumnya atau

melakukan pengamatan dan wawancara lagi dengan sumber data yang pernah ditemui maupun yang

baru, dengan tujuan untuk mengecek kembali apakah data yang diberikan selama ini merupakan data

yang sudah benar atau tidak. Bila data yang diperoleh sebelumnya ternyata tidak benar, maka peneliti

melakukan pengamatan yang lebih luas lagi dan mendalam, sehingga diperoleh data yang kredibel.

b. Pembahasan Sejawat

Hasil kajian dari peneliti didiskusikan dengan orang lain yang mempunyai pengetahuan tentang pokok

penelitian dan juga tentang metode penelitian yang diterapkan. Pembicaraan ini bertujuan antara lain

untuk memperoleh kritik, saran dan pertanyaan-pertanyaan yang tajam dan menantang tingkat

kepercayaan akan kebenaran hasil penelitian.

c. Triangulasi

Triangulasi ini peneliti lakukan dengan maksud untuk mengecek kebenaran data tertentu dan

membandingkannya dengan data yang diperoleh dari sumber lain, pada berbagai fase penelitian

lapangan pada waktu yang berlainan triangulasi akan dilakukan dengan tiga cara yaitu triangulasi

dengan sumber data, metode, dan referensi.

d. Member Check

Member check akan peneliti lakukan pada setiap akhir wawancara dengan cara mengecek ulang garis

besar berbagai hal yang telah disampaikan informan berdasarkan catatan lapangan, hal ini dilakukan

dengan maksud agar informasi yang diperoleh dan digunakan dalam penelitian laporan penelitian

sesuai dengan apa yang dimaksud oleh informan.

2. Keteralihan (Transferability)

Nilai transfer ini berkenaan dengan pertanyaan, hingga mana hasil penelitian dapat diterapkan atau

digunakan dalam situasi lain. Keteralihan sebagai persoalan empiris bergantung pada kesamaan
antara konteks pengirim dan penerima. Untuk melakukan keteralihan tersebut peneliti berusaha
mencari dan mengumpulkan data kejadian empiris dalam konteks yang sama

3. Ketergantungan dan Kepastian

Untuk mengetahui, mengecek serta memastikan apakah hasil dari penelitian ini benar atau salah,

peneliti melakukan uji ketergantungan atau dependability. Pengujian dependability ini dilakukan

dengan cara melakukan audit terhadap keseluruhan proses penelitian. Caranya dilakukan oleh auditor

yang independen atau pembimbing untuk mengaudit keseluruhan aktivitas peneliti dalam melakukan

penelitian.

Oleh karena itu, peneliti akan mendiskuskannya dengan pembimbing, secara setahap demi setahap,

mengenai konsep-konsep yang dihasilkan di lapangan, setelah hasil penelitian dianggap benar,
diadakan seminar tertutup dan terbuka dengan mengundang teman sejawat dan pembimbing.

G. TAHAP-TAHAP PENELITIAN

Menurut Danim (2002: 85), kegiatan penelitian secara umum dapat dibagi dalam enam tahap (steps)

tertentu. Prakteknya keenam tahap ini tidak diikuti secara formal, melainkan dapat tumpang tindih.

Adapun tahapan yang dimaksud, yaitu sebagai berikut:

1. Tahap memilih masalah

Dalam tahap ini, peneliti memulai penelitian dengan perumusan masalah (problem statement), bukan

mengawalinya dengan judul. Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pembisaan shalat Dhuha

dalam pembinaan akhlak siswa. Masalah penelitian ini dipilih karena mengandung rasa ingin tahu baik

peneliti sendiri maupun pihak luar, relatif belum terlalu banyak yang diteliti orang lain, dan masih

banyak alasan-alasan lain.

2. Tahap mengumpulkan bahan yang relevan

Pada tahap ini, sumber pustaka yang dikumpulkan untuk dirujuk hanya benar-benar sangat erat

kaitannya dengan masalah pokok penelitian. Sumber pustaka tersebut antara lain: pertama, mengenai

metode pembiasaan, seperti bukunya Ahmad Zayadi. 2005. Tadzkiyah Pembelajaran Pendidikan

Agama Islam, Berdasarkan Pendekatan Kontekstual, Heri Jauhari Muchtar. 2005. Fikih Pendidikan,

Zakiyah Daradjat. 1992. Pendidikan Agama, dan lain-lain. Kedua, tentang ketentuan-ketentuan shalat

Dhuha, seperti bukunya Zezen Zainal Alim. 2008. The Power of Shalat Dhuha, M. Khalilurrahman Al

Mahfani. 2008. Berkah Shalat Dhuha. Tengku M. Habsyi Ash-Shiddieqy. 2001. Pedoman Shalat. Dan

ketiga, tentang akhlak, seperti bukunya Mahyuddin. 2000. Konsep dasar Pendidikan Akhlak dalam Al-

Qur’an dan Petunjuk Penerapannya dalam Hadits, dan 2001. Kuliah Ahlak Tasawuf. Mustofa. 2005.

Akhlak Tasawuf. Kahar Masyhur. 1994. Membina Moral dan Akhlak, dan lain-lain.

3. Tahap menentukan strategi dan pengembangan instrumen

Pada tahap ini, peneliti menentukan terlebih dahulu prosedur kerja atau metode penelitian. Metode

penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Dalam pengembangan instrumen, peneliti tidak menuntut

instrumen baku, karena instrumen utamanya adalah peneliti sendiri.

4. Tahap mengumpulkan data


Pada tahap ini, peneliti mengumpulkan data dengan tujuan untuk menjawab pertanyaan penelitian
dalam perumusan masalah yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam hal ini, peneliti menggunakan

tiga teknik, yaitu observasi partisipatif, wawancara terbuka, dan dokumentasi.

5. Manafsirkan data

Setelah data terkumpul, tahap selanjutnya adalah penafsiran data. Dengan cara memberikan makna

yang mendalam atas peristiwa atau fenomena yang diteliti. Disinilah ukuran bobot hasil penelitian

kualitatif bisa lebih unggul dibandingkan dengan penelitian kuantitatif.

6. Melaporkan hasil penelitian

Tahap terakhir adalah melaporkan hasil penelitian. Hasil penelitian ini berfungsi menjelaskan,

memprediksi, atau bahkan dapat berupa pengetahuan baru yang belum ditemukan sebelumnya.

Dalam laporan penelitian ini memuat seluruh kegiatan penelitian, mulai dari prosedur penelitian
hingga hasil dan kesimpulan penelitian.

BAB IV
HASIL PENELITIAN

A. LATAR BELAKANG OBYEK PENELITIAN

1. Sejarah Berdirinya MI Miftahul Huda

MI Miftahul Huda Mlokorejo berdiri pada tanggal 05 April 1963, madrasah ini berdiri dilatar belakangi

karena mengingat belum ada Lembaga Pendidikan Islam ala Nahdlatul Ulama (NU). Oleh karena itu,

dibentuklah susunan pengurus yaitu sebagai berikut:

Tabel 4.1.

Susunan Pengurus Pertama


MI Miftahul Huda Mlokorejo Tahun 1963

No. Nama Jabatan Ket.


1 Bapak Kusnan Ketua I

2 Bapak Imam Turmidzi Ketua II

3 Bapak Zainal Abidin Sekertaris

4 Bapak Imam Rohmat Bendahara

Sumber data: Tata Usaha MI Miftahul Huda

Selanjutnya, dalam sidang pengurus pertama, memutuskan dan menetapkan antara lain: Bapak Nur

Wahid sebagai Kepala Madrasah dan Bapak Zubaidi sebagai Wakil Kepala Madrasah.

Jumlah tenaga pendidik sebanyak empat orang, yaitu: Bapak Ngatman, Bapak Sucipto, Bapak Suhud,

dan Bapak Zaenal Abidin. Dengan siswa sebanyak 51 siswa, yang terdiri dari 28 laki-laki dan 23

perempuan. Kegiatan belajar mengajar dilaksanakan pada sore hari dalam satu kelas di rumah Bapak

Kusnan selama satu tahun, kamudian berpindah di rumah Bapak Turmidzi selama dua tahun.

Pada tahun 1965, para pengurus dibantu oleh masyarakat dapat mendirikan gedung, yang terdiri dari
satu ruang kantor dan tiga ruang kelas. Semakin lama jumlah siswa MI Miftahul Huda semakin banyak,

sehingga pada tahun 1966 sampai 1970 kegiatan belajar mengajar dilaksanakan pada pagi dan sore
hari secara bergantian kelas. Pada tahun 1970 madrasah mengikut sertakan siswanya untuk ujian-

ujian, baik negara maupun swasta.

Perlu diketahui, bahwa sebelum diberi nama MI Miftahul Huda, lembaga ini bernama Yayasan

Daruttarbiyah Watta’lim, lalu diganti dengan MINU, dan pada tahun 1971, madrasah ini bernama MI

Miftahul Huda.

Pada tahun 1971 hingga 1974, madrasah mengalami kemunduran sebagaimana air laut yang

terkadang pasang terkadang juga surut. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor, antara lain:

pertama, pada pihak pengurus yayasan tidak ada atau kurang ada kekompakan satu dengan yang lain,

dikarenakan pra pemilu tahun 1971 hingga berlarut sampai tahun 1974. Dan kedua, pada tahun 1974

tanaman petani terutama padi terserang hama wereng, sehingga para pengurus hendak membubarkan

diri. Tetapi berkat pertolongan Allah, pada tanggal 09 Januari 1974, MI Miftahul Huda mendapat

bantuan, pembinaan, dan menjadi anggota Lembaga Pendidikan Ma’arif Cabang Kencong, dengan

Surat Penetapan Nomor Regrestrasi 203/SP/A.G/I/74.

Meskipun dalam keadaan seperti bagaimanpun, madrasah tetap berjalan dengan lancar. Pada tahun

1983, pemerintah memberikan bantuan rehab ringan, namun dalam hal ini karena pelaksanaannya

kurang konsekuen, maka keadaan bangunan mengkhawatirkan, disebabkan banyak kekurangan bahan

bangunan. Akhirnya, pada tahun 1985 pengurus yayasan dapat membangun satu gedung baru yang

berada disebelah selatan madrasah.

Pada tahun 1986, pemerintah memberi bantuan rehab satu lokal gedung yang berada disebelah barat

madrasah. Selanjutnya, pada tahun 1988 mendapat bantuan lagi berupa BOFP sejumlah Rp. 400.000,-

(empat ratus ribu rupiah), kemudian uang bantuan tersebut digunakan sebagai penyempurnaan

gedung dan data-data madrasah. Dan pada tahun 1989, madrasah mendapat bantuan BOFP yang

kedua kalinya sebesar Rp. 600.000,- (enam ratus ribu rupiah), bantuan uang ini dipergunakan

melengkapi dan perawatan sarana prasarana, seperti meja kursi guru, almari, buku-buku, dan alat-

alat olah raga.

Dari tahun ke tahun MI Miftahul Huda sering mendapat kucuran bantuan dari pemerintah, baik berupa

uang maupun fasilitas lain. Sehingga pada tahun 2001, Departemen Agama Jember menerbitkan

Piagam Jenjang Akreditasi Madrasah Ibtidaiyah Nomor MM.23/PP.032/0192/2001.

Pada tahun 2007, madrasah mendapatkan bantuan DAK dari pemerintah senilai Rp. 250. 000. 000,-

(dua ratus lima puluh juta rupiah). Bantuan tersebut digunakan untuk merehab gedung madrasah dan

menambah beberapa ruang, seperti kamar mandi, perpustakaan, ruang UKS, gudang, dan sarana

prasarana lainnya. Selain itu, bantuan tersebut juga berupa fasilitas belajar mengajar seperti buku-

buku, alat peraga (KIT), CD pembelajaran, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, madrasah hingga

sekarang ini mengalami kemajuan yang sangat pesat dan banyak menerima siswa baru.

Mulai berdiri hingga sekarang MI Miftahul Huda Mlokorejo mengalami empat kali periode atau

pergantian Kepala Madrasah. Adapun periodeisasi jabatan Kepala Madrasah di MI Miftahul Huda

Mlokorejo tersebut dapat dilihat pada tabel 4.2. berikut ini:


Tabel. 4.2.
Periode Jabatan Kepala Sekolah MI Miftahul Huda Mlokorejo

No. Nama Periode

1 Bapak Nur Wahid 1963 – 1971

2 Bapak H. Aminuddin 1971 – 1979

3 Bapak Sucipto 1979 – 2005

4 Bapak Edi Imam Munajad 2005 – Sekarang


Sumber data: Tata Usaha MI Miftahul Huda

2. Letak Geografis MI Miftahul Huda

MI Miftahul Huda terletak di sebelah barat desa Mlokorejo, tepatnya di Jln. Melati No. 17 Mlokorejo

kecamatan Puger kabupaten Jember. Adapun batas-batas madrasah ini adalah sebagai berikut:

a. Sebelah Utara berbatasan dengan persawahan

b. Sebelah Timur berbatasan dengan dusun Sembungan

c. Sebelah Selatan berbatasan dengan sungai dan jalan raya

d. Sebelah Barat berbatasan dengan dusun Krajan Barat

Untuk lebih jelas dapat dilihat pada identitas madrasah. Adapun identitas MI Miftahul Huda Mlokorejo

adalah sebagai berikut:

Nama Madrasah : MI Miftahul Huda

Nomor Statistik Madrasah : 112 35 09 03 058

Propinsi : Jawa Timur

Otonomi Daerah : Pemkab Jember

Kecamatan : Puger

Desa/Kelurahan : Mlokorejo

Jalan dan Nomor : Jln. Melati No. 17

Kode pos : 68164

Telepon : (0336) 722 7204

Status Sekolah : Swasta


Surat Keputusan / SK : MM/23/PP.03.2/0192/2001

Penerbit SK : Kepala Departemen Agama Jember

Tahun berdiri : 1963

KBM : Pagi

Bangunan sekolah : Milik Yayasan

Jarak ke pusat Kecamatan : 5 Km

Jarak ke pusat Otoda : 35 Km


Terletak pada lintasan : Pedesaan
Organisasi Penyelenggara : YPPI Bola Dunia

3. Visi dan Misi


a. Visi MI Miftahul Huda

Berguna bagi nusa dan bangsa, serta bahagia dunia dan akhirat.

Dengan indikator: Ad-din (Religius), Al-Aql (Intelektual), Al-Haya’ (Integritas), dan Al-Amalus Sholih

(Prestasi).

b. Misi MI Miftahul Huda

1) Mengembangkan Pendidikan Agama Islam dan Umum yang terpadu dan senergis

2) Mengembagkan nilai-nilai kemanusiaan universal, keadilan, kesejajaran, dan pendidikan untuk

semua

3) Mengembangkan potensi akademik dan potensi siswa untuk mengantisipasi perubahan masa depan

4. Tujuan dan Sasaran

a. Tujuan MI Miftahul Huda

1) Pada tahun 2008/2009, lulusan MI Miftahul Huda ditargetkan 80 % masuk SLTP favorit

2) Pada tahun 2008/2009, 100 % siswa MI Miftahul Huda lulus Ujian Nasional

3) Pada tahun 2008/2009, semua siswa lulus yang mampu membaca dan menulis Al Qur’an dengan

baik dan benar (lulus tashih) mencapai 85 %

4) Pada tahun 2008/2009, rata-rata nilai Matematika, IPA, dan Bahasa Indonesia yang mencapai siswa

lulusan mencapai 90 %.

b. Sasaran (target) MI Miftahul Huda

1) Unggul dalam aktivitas keagamaan

2) Unggul dalam tingkah laku

3) Unggul dalam akademik

4) Unggul dalam kedisiplinan

5. Struktur Organisasi

Setiap lembaga atau suatu organisasi pasti didalamnya terdapat struktur organisasi yang berguna

memperjelas hubungan antar pimpinan dan anggota yang dimpimpinnya. Adapun struktur organisasi

MI Miftahul Huda Mlokorejo tahun 2008/2009 dapat dilihat pada bagan 4.1.

Madrasah merupakan sistem pendidikan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat

secara demokratis. Sehingga madrasah sebagai lembaga pendidikan diharapkan mampu mengemban

amanah masyarakat. Oleh karena itu, di bentuklah susunan pengurus komite madrasah. Adapun

struktur pengurus komite MI Miftahul Huda Mlokorejo dapat dilihat pada bagan 4.2. sebagai berikut:

6. Keadaan Guru dan Karyawan

Guru adalah suatu komponen utama dalam sistem pendidikan yang secara bersama-sama dengan

komponen lainnya mencapai tujuan pendidikan. Guru merupakan unsur penting dalam meningkatkan

mutu pelajaran. Oleh karena itu ketersediaan guru harus sesuai dengan kondisi siswa. Disamping itu,

semua guru diharapkan memiliki kualifikasi yang baik, karena guru memiliki peran yang besar dalam

rangka memberikan layanan bimbingan dan pembelajaran kepada siswa.

Adapun keadaan atau jumlah guru MI Miftahul Huda Mlokorejo tahun pelajaran 2008/2009, sebagai
berikut:
Tabel. 4.3.

Data Tenaga Edukatif/Guru


MI Miftahul Huda Mlokorejo Tahun Pelajaran 2008/2009

No Nama Status Mata Pelajaran Lulusan

1 Edi Imam Munajat GTT Fiqih, Penjaskes, dan

Aqidah Akhlak D2

2 Syamsul Hadi GTT Qur`an Hadits, Bhs. Indonesia, Aqidah Akhlak, Fiqih, Bahasa Arab, SKI, dan

Penjaskes D2

3 Kadir GTT Sains dan Aqidah Ahlak MA

4 Lailatul Masfufah GTT MTK, Bhs. Indonesia, Bhs. Inggris, Bhs. Daerah, dan Kertakes D2

5 Ana Nanik A. GTT Fiqih, Bhs. Iggris, dan Kertakes D2

6 Arief Firman A. GTT PKn S1

7 Zaenal Abidin Guru Profesi Qur`an Hadits, PKn, dan

Aqidah Akhlak S1

8 Husniyah GTT Guru Kelas I MA

9 Iin Zunaidah Amin GTT Guru Kelas II D2

10 Imron Fauzi GTT PKn, SKI, dan IPA MA

11 Ida Suhartini PNS MTK, Bhs.Daerah, dan IPS S1

12 Siti Nur Khasanah GTT Bhs .Indonesia, IPS, dan SKI MA

Sumber data: Tata Usaha MI Miftahul Huda

Disamping guru, yang memiliki peran yang sangat penting adalah karyawan. Sama halnya dengan

guru, karyawan harus memiliki kemampuan yang handal dan mumpuni sesuai dengan pekerjaan

masing-masing. Secara kuantitas, jumlah karyawan harus sesuai dengan luas dan kedalaman

pekerjaan yang ada di madrasah.

Adapun keadaan atau jumlah karyawan MI Miftahul Huda Mlokorejo tahun pelajaran 2008/2009,

sebagai berikut:

Tabel. 4.4.

Data Tenaga Administratif/karyawan


MI Miftahul Huda Mlokorejo Tahun Pelajaran 2008/2009

No Nama Bagian Lulusan

3 Kadir Bag. Keuangan MA

4 Lailatul Masfufah Bag. Perpustakaan D2

6 Arief Firman Afandi Bag. Tata Usaha S1

7 Zaenal Abidin Bag. Humas S1


8 Husniyah Bag. Kebersihan MA
9 Iin Zunaidah Amin Bag. Koperasi D2

10 Imron Fauzi Bag. BP/BK MA


11 Ida Suahrtini Bag. Kesenian S1

12 Siti Nur Khasanah Bag. UKS MA

13 Sudjarno Penjaga Madrasah MA


Sumber data: Tata Usaha MI Miftahul Huda

7. Keadaan Siswa

Keadaan siswa keseluruhan pada tahun pelajaran 2008/2009, berjumlah 155 siswa, di mana terbagi

menjadi beberapa tingkat, yaitu:

a. Kelas I berjumlah : 23 siswa

b. Kelas II berjumlah : 23 siswa

c. Kelas III bejumlah : 27 siswa

d. Kelas IV bejumlah : 25 siswa

e. Kelas V bejumlah : 26 siswa

f. Kelas VI bejumlah : 21 siswa

Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah data jumlah siswa MI Miftahul Huda Mlokorejo berdasarkan
kelompok belajar pada tahun pelajaran 2008/2009:

Tabel. 4.5.

Data Jumlah Siswa MI Miftahul Huda Mlokorejo


berdasarkan Kelompok Belajar Tahun Pelajaran 2008/2009

No. Kelas Laki-laki Perempuan Jumlah

1 I 11 12 23

2 II 20 13 23

3 III 15 12 27
4 IV 13 12 25

5 V 12 14 26

6 VI 12 14 21

Jumlah 82 73 155

Sumber data: Tata Usaha MI Miftahul Huda

Adapun keadaan atau jumlah siswa MI Miftahul Huda Mlokorejo berdasarkan usia pada tahun pelajaran

2008/2009, sebagai berikut:

Tabel. 4.6.

Data Jumlah Siswa MI Miftahul Huda


Mlokorejo berdasarkan Usia Tahun Pelajaran 2008/2009

No. Usia Laki-laki Perempuan Jumlah

1 ≤ 7 Tahun 2 1 3
2 7 – 9 Tahun 43 36 79
3 10 – 12 Tahun 36 32 68

4 12 ≥ 3 2 5

Jumlah 84 71 155

Sumber data: Tata Usaha MI Miftahul Huda

Adapun keadaan atau jumlah siswa MI Miftahul Huda Mlokorejo berdasarkan jenis pekerjaan orang tua

pada tahun pelajaran 2008/2009, sebagai berikut:

Tabel. 4.7.

Data Jumlah Siswa MI Miftahul Huda Mlokorejo


berdasarkan Pekerjaan Orang tua Tahun Pelajaran 2008/2009

No. Pekerjaan

Orang tua Laki-laki Perempuan Jumlah

1 Petani 42 49 91

2 Pedagang 11 18 29

3 Pegawai Negeri 3 9 12

4 Lain-lain 13 10 23

Jumlah 69 86 155

Sumber data: Tata Usaha MI Miftahul Huda

Keadaan jumlah siswa MI Miftahul Huda Mlokorejo dari tahun ke tahun mengalami perkembangan

yang cukup pesat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan atau grafik berikut ini:

Bagan 4.3.

Perkembangan Jumlah Siswa


MI Miftahul Huda Mlokorejo dalam empat tahun terakhir

Sumber data: Tata Usaha MI Miftahul Huda

8. Keadaan Sarana Prasarana

Unsur penunjang yang membantu terlaksananya kelancaran proses belajar mengajar di MI Miftahul

Huda Mlokorejo adalah tersedianya sarana dan prasarana yang cukup memadai. Adapun komponen-

komponen sarana dan prasarana yang ada sebagai berikut:

Tabel. 4.8.

Data Sarana Prasarana


MI Miftahul Huda Mlokorejo Tahun Pelajaran 2008/2009

No. Jenis Jumlah Keadaan Ket.

1 Ruang Kepala Sekolah 1 Baik

2 Ruang Guru 1 Baik

3 Ruang BP – –
4 Ruang Tamu 1 Baik
5 Ruang UKS 1 Baik

6 Ruang Media dan PBM – –

7 Ruang Penjaga Madrasah 1 Baik

8 Ruang Kelas 6 Baik

9 Perpustakaan 1 Baik

10 Koperasi 1 Baik

11 Masjid 1 Baik

12 Gudang 1 Baik

13 Kamar mandi putera 1 Baik

14 Kamar mandi puteri 1 Baik

Sumber data: Tata Usaha MI Miftahul Huda

Adapun komponen-komponen inventaris MI Miftahul Huda pada tahun pelajaran 2008/2009 sebagai

berikut:

Tabel. 4.9.

Data Inventaris MI Miftahul Huda


Mlokorejo Tahun Pelajaran 2008/2009

No. Jenis Barang Jumlah Keadaan Ket.

1 Komputer 1 Paket Baik

2 Rak buku perpustakaan 4 Buah Baik

3 Lemari arsip 1 Buah Cukup baik

4 Lemari piala 1 Buah Cukup baik

5 Lemari dan rak buku guru 1 Buah Baik

6 Lemari perlengkapan 4 Buah Baik

7 Lemari kelas 6 Buah Baik

8 KIT IPA 3 Paket Baik

9 KIT Matematika 3 Paket Baik

10 KIT Bahasa Inggris 3 Paket Baik

11 KIT Bahasa Indonesia 3 Paket Baik

12 KIT IPS (Geografi) 3 Paket Baik

13 CD Interaktif 5 Paket Baik

14 Globe dan Peta 10 Buah Baik

15 Mesin foto copy 1 Buah Baik

16 VCD dan Sound sistem 1 Paket Baik

17 Perlengkapan olah raga 1 Paket Cukup baik

Sumber data: Tata Usaha MI Miftahul Huda

A. PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA


Dalam pembahasan ini akan diungkapkan tentang kondisi yang sebenarnya tentang pembiasaan shalat
Dhuha dalam pembinaan akhlak siswa di MI Miftahul Huda Mlokorejo. Sebagaimana yang telah

dijelaskan pada Bab III, bahwa penelitian ini menggunakan metode atau teknik observasi partisipatif,

wawancara, dan dokumenter sebagai alat untuk memperoleh data yang berkaitan dengan obyek

penelitian yang diteliti. Oleh karena itu, dalam pembahasan ini akan dipaparkan secara rinci dan

sistematis tentang obyek yang diteliti, dan hal itu mengacu pada fokus penelitian adalah sebagai

berikut:

1. Program Pembiasaan Shalat Dhuha dalam Pembinaan Akhlak Siswa

Pembiasaan shalat Dhuha telah diterapkan di MI Miftahul Huda Mlokorejo kurang lebih selama tiga

tahun. Sesuai dengan salah satu hasil rapat dewan guru pada tanggal 22 Juli 2006 telah tercapai

secara mufakat memutuskan, bahwa program pembiasaan shalat Dhuha dipandang perlu untuk

dijalankan sebagai suatu langkah strategis untuk membina akhlak siswa (Notulen, No. 12 tanggal 22

Juli 2006).

Dari hasil wawancara dengan Bapak Syamsul Hadi menjelaskan, bahwa hal ini dilatar belakangi karena

sebelum diterapkannya pembiasaan shalat Dhuha ini, siswa dipandang kurang produktif dalam

memanfaatkan waktu istirahat mereka, contohnya seperti bermain sepeda, bermain di luar lingkungan

madrasah, terlalu boros membelanjakan uang sakunya, sering mengganggu teman di dalam kelas,

sering terlambat ketika bel masuk dibunyikan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, program

pembiasaan shalat Dhuha ini harus diterapkan bagi siswa (Wawancara pada tanggal 28 April 2009

pukul 09.30 Wib di dalam masjid).

Bapak Edi Imam Munajad juga menjelaskan, bahwa pembiasaan shalat Dhuha ini diterapkan dalam

rangka supaya siswa dapat memanfaatkan waktu istirahatnya dengan baik dan melatih mereka untuk

selalu membiasakan beribadah shalat tepat waktu, salah satunya seperti shalat Dhuha. Kalau siswa

sudah terbiasa shalat tepat waktu, insyaallah kegiatan-kegiatan lain yang mereka kerjakan akan tepat

waktu pula. Selain itu, dengan adanya shalat Dhuha ini, suasana madrasah menjadi agamis atau

bahkan seperti di pondok pesantren. Jadi, siswa tidak hanya menguasai teori-teori materi pelajaran

saja, tetapi mereka diharapkan tidak melupakan ritual-ritual ibadah, salah satunya adalah shalat

Dhuha (Wawancara pada tanggal 27 April 2009 pukul 07.30 Wib di ruang Kepala Madrasah).

Selanjutnya, Ibu Iin Zunaidah mengatakan, bahwa pembiasaan shalat Dhuha ini bertujuan agar siswa

terus mengingat Allah Swt. di saat mereka disibukkan dengan kegiatan-kegiatan belajar yang sangat

menumpuk, karena salah satu upaya untuk mengingat Allah Swt. adalah dengan melaksanakan shalat.

Jadi, siswa tidak hanya diharuskan berpusing-pusing mengerjakan dan memikirkan tugas atau soal-

soal yang diberikan oleh guru (Wawancarai pada tanggal 27 April 2009 pukul 11.00 Wib di ruang

guru). Di saat yang bersamaan Ibu Siti Nur Hasanah juga menjelaskan bahwa, pembiasaan shalat

Dhuha ini dilaksanakan agar siswa dapat membiasakannya di rumah mereka masing-masing. Selain

itu, siswa dapat lebih menghemat uang sakunya, karena waktu istirahat mereka digunakan untuk

shalat Dhuha, tidak untuk jajan (membeli makanan atau kue).

Bapak Zaenal Abidin menjelaskan, bahwa pembiasaan shalat Dhuha ini dilaksanakan selain bertujuan
untuk melatih beribadah kepada siswa, diharapkan mereka juga menjadi lebih dekat atau akrab
dengan sesama teman dan lebih menjaga sopan santun terhadap para guru, atau bahkan terhadap

orang tua. Karena shalat Dhuha ini dilaksanakan dengan bersama-sama dalam satu masjid, jadi secara

tidak langsung mereka saling menjaga hubungan baik dengan sesama dan tidak saling mengganggu,

serta lebih menjaga sopan santun terhadap para guru (Wawancara pada tanggal 28 April 2009 setelah

shalat Dhuha, pukul 10.00 Wib di emperan masjid).

Pembiasaan shalat Dhuha ini merupakan salah satu kegiatan ekstrakulikuler yang ada di MI Miftahul

Huda. Kegiatan ekstrakulikuler merupakan kegiatan yang dilakukan disekolah atau tempat lain (dalam

masyarakat) untuk menunjang program pengajaran. Kegiaan ini bertujuan untuk menambah dan

memperluas pengetahuan siswa tentang berbagai bidang atau pembahasan pendidikan agama Islam.

Dari hasil observasi, bahwa kegiatan shalat Dhuha ini diberlakukan untuk siswa kelas IV, V, dan VI.

Bagi siswa diwajibkan membawa perlengkapan shalat masing-masing. Untuk yang laki-laki membawa

sarung dan peci (songkok), sedangkan yang perempuan membawa mukenah.

Dari beberapa keterangan di atas, maka dapat dianalisa bahwa munculnya program pembiasaan shalat

Dhuha di MI Miftahul Huda Mlokorejo dilatarbalakangi karena sebelum diterapkannya pembiasaan

shalat Dhuha, siswa kurang produktif dalam memanfaatkan waktu. Oleh karena itu, pembiasaan shalat

Dhuha ini selain bertujuan untuk pembinaan akhlak siswa, juga bertujuan untuk melatih siswa dalam

memanfaatkan waktu mereka.

2. Pelaksanaan Pembiasaan Shalat Dhuha dalam Pembinaan Akhlak Siswa

Pembiasaan shalat Dhuha di MI Miftahul Huda Mlokorejo dilaksanakan tiga kali dalam seminggu, yaitu

pada hari selasa, kamis, dan sabtu. Shalat Dhuha ini dimulai pada pukul 09.00 sampai 10.00 Wib.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel. 4.10.
Jadwal Pembiasaan Shalat Dhuha

No. Hari Jam Guru/Imam

Shalat Dhuha

1 Selasa 09.00 Wib Edi Imam Munajad

2 Kamis 09.00 Wib Zainal Abidin

3 Sabtu 09.00 Wib Syamsul Hadi

Sumber data: Tata Usaha MI Miftahul Huda

Dari hasil observasi terlihat, bahwa shalat Dhuha ini dilaksanakan di dalam masjid yang berada di

depan madrasah. Pelaksanaannya pada saat istirahat pertama atau setelah jam kedua pelajaran.

Sebelum melaksanakan shalat Dhuha siswa diawasi dan dipersiapkan oleh guru yang mengajar pada

jam kedua tersebut, seperti memeriksa perlengkapan shalat, mengawasi cara berwudlu siswa, sampai

dimulainya pelaksanaan shalat Dhuha. Sedangkan bagi guru yang telah ditunjuk sebagai imam shalat

Dhuha diharuskan berada di dalam masjid sebelum para siswa memasuki masjid.

Shalat Dhuha ini dilaksanakan dengan cara berjamaah pada dua rakaat pertama, dan dua rakaat
selanjutnya dilaksanakan dengan sendiri-sendiri. Setelah shalat Dhuha selesai, siswa membaca do’a
shalat Dhuha bersama-sama, kemudian diakhiri dengan membaca ayat-ayat Al Qur’an yang dibimbing

oleh guru. Dalam hal ini, Bapak Syamsul Hadi mengatakan, bahwa apabila ada siswa yang terlambat

atau tidak mengikuti shalat Dhuha atau kegiatan membaca Al Qur’an, maka ia akan dihukum dengan

membaca Al Qur’an surat Yasin dan diawasi oleh guru yang bersangkutan (Wawancara pada tanggal 29

April 2009 pukul 10.00 Wib di ruang guru).

3. Dampak Pembiasaan Shalat Dhuha dalam Pembinaan Akhlak Siswa

a. Akhlak terhadap Allah Swt. (hablu mina allah)

Jika ditinjau dari segi hubungan vertikal (hablu mina allah), shalat Dhuha merupakan satu bentuk amal

ibadah untuk mengingat Allah Swt. sebagai penciptanya yang wajib disembah. Senada dengan hal

tersebut, Bapak Edi Imam Munajat menjelaskan, bahwa selalu ingat kepada Allah Swt. akan

menumbuhkan sifat optimis (kepastian) pada diri siswa dan menyadarkannya bahwa ia tidak sendirian.

Ia pun meyakini bahwa Allah Swt. senantiasa dekat dengannya. Jadi, mereka menjadi sadar bahwa

semua kegiatan atau perbuatannya selalu diawasi oleh Allah Swt. (Wawancara pada tanggal 02 Mei

2009 pukul 11.00 Wib di ruang guru).

Pada umumnya, manusia cenderung mengingat Allah Swt. ketika memiliki masalah atau musibah saja,

bahkan terkadang kesibukan dapat menjadikan mereka lupa terhadap Allah Swt. Tetapi dalam hal ini,

siswa di MI Miftahul Huda cukup terlatih dan terbiasa untuk selalu ingat kepada Allah Swt. di saat suka

maupun duka. Bapak Syamsul Hadi mengatakan, bahwa walaupun kegiatan belajar siswa di madrasah

sangat menumpuk, bukan berarti siswa juga lupa akan kewajibannya, yaitu mengingat Allah Swt. Salah

satu cara mengingat Allah Swt. yaitu dengan membiasakan siswa untuk shalat Dhuha dan berdo’a

(Wawancara pada tanggal 30 April 2009 pukul 19.00 Wib di rumahnya).

Lebih lanjut, Ibu Ida Suhartini (biasa disebut oleh para guru sebagai pakar kesehatan) saat

diwawancarai mengatakan, bahwa karena shalat Dhuha dilaksanakan pada pagi hari, tepatnya pada

waktu yang paling kondusif, saat-saat seperti itu biasanya pikiran siswa masih tenang, badan masih

bugar, dan tenaga masih kuat. Oleh karena itu, pada saat seperti ini adalah saat yang tepat untuk

mengingat Allah Swt. atas segala karunianya, yang wujudnya melalui shalat Dhuha (Wawancara pada

tanggal 01 Mei 2009 pukul 07.00 Wib di depan ruang kelas III).

Dari beberapa kerangan di atas, maka dapat dianalisa bahwa dengan diterapkannya pembiasaan shalat

Dhuha ini siswa dapat selalu ingat kepada Allah Swt., baik saat sibuk maupun tidak, dan baik suka

maupun duka.

Dampak shalat Dhuha yang paling dirasakan oleh siswa MI Miftahul Huda, bahwa mereka lebih

meningkatkan perasaan bersyukur kepada Allah Swt., karena Dia-lah yang telah memberikan segala

nikmat, dan nikmat Allah Swt. itu tidak dapat dihitung jumlahnya. Syukur inilah yang merupakan salah

satu bentuk akhlak mahmudah siswa kepada Allah Swt. Bersyukur dapat dilakukan dengan beberapa

cara, yaitu syukur dengan hati, dengan ucapan maupun dengan perbuatan.

Syukur dengan hati ini dilakukan dengan menyadari sepenuhnya bahwa nikmat yang diperolehnya

semata-mata karena anugerah dan kemurahan Allah Swt. Syukur dengan hati dapat mengantarkan
siswa untuk menerima segala nikmat Allah Swt. dengan penuh kerelaan tanpa mengerutu dan
keberatan betapa pun kecilnya nikmat tersebut. Hal ini terbukti ketika peneliti melakukan observasi

terhadap kondisi siswa, dari hasil observasi tersebut menunjukkan kesederhanaan siswa, baik dari

segi busana maupun tingkah laku mereka. Salah satu siswa bernama Hidayatullah kelas V saat

diwawancarai mengatakan, bahwa ia merasa apa yang diberikan oleh Allah Swt. kepadanya adalah

yang terbaik baginya (Wawancara pada tanggal 02 Mei 2009 pukul 09.30 Wib di emperan masjid).

Sedangkan syukur dengan ucapan, ketika hati siswa sangat yakin bahwa segala nikmat yang diperoleh

itu bersumber dari Allah Swt., secara spontan dari lidahnya terucap kalimat “al-hamdilillah”.

Karenanya, apabila ia memperoleh nikmat dari seseorang, lisannya tetap memuji Allah Swt. Dalam hal

ini, dari hasil wawancara dengan Bapak Edi Imam Munajad (Kepala Madrasah sekaligus guru akidah

akhlak) beliau mengatakan, bahwa setiap akhir pelajaran beliau selalu memberikan nasehat kepada

para siswa untuk selalu bersyukur, paling tidak dengan mengucapkan kalimat “al-hamdulillah” ketika

mendapatkan nikmat, sekecil apapun (Wawancara pada tanggal 01 Mei 2009 pukul 11.30 Wib di depan

ruang kelas V).

Selain bersyukur dengan hati dan ucapan, siswa juga dapat merealisasikannya dalam kehidupan

sehari-hari. Hal ini terlihat, karena siswa cukup bisa mempergunakan nikmat tersebut dengan sebaik-

baiknya. Selain itu, mereka juga berusaha untuk menjaga nikmat tersebut, misalnya ketika menerima

nikmat berupa seragam, mereka berusaha merawatnya dengan cara mencuci ketika kotor, menyetrika

agar rapi, dan menyimpannya dalam lemari. Ketika dianugerahi nikmat kesehatan, siswa dapat

menjaga tubuh untuk tetap sehat dan bugar, agar terhindar dari sakit.

Dari beberapa uraian di atas, maka dapat dianalisa bahwa dengan adanya pembiasaan shalat Dhuha ini

siswa cukup mampu menerapkan rasa syukur mereka atas segala nikmat Allah Swt., baik melalui

ucapan maupun perbuatan.

Islam menuntut kita untuk berikhtiar (berusaha), berdo’a, dan tawakkal. Ikhtiar merupakan suatu

bentuk kesungguhan kita dalam menggapai keinginan. Adapun do’a adalah wujud pengakuan kita

akan Dzat Yang Mahakuasa. Sedangkan tawakkal adalah implementasi dari pengakuan kelemahan dan

kekurangan kita. Setelah segala usaha kita lakukan dengan segenap kemampuan yang dimiliki dan

berdo’a sungguh-sungguh, kita serahkan hasilnya kepada Allah Swt.

Dampak shalat Dhuha terhadap akhlak siswa lainnya yaitu, setelah siswa melaksanakan shalat Dhuha,

mereka merasa lebih tawakkal, menyerahkan segala urusan kepada Allah Swt. setelah mereka

berusaha semaksimalnya. Hal ini disebabkan karena mereka yakin bahwa dengan melaksanakan shalat

Dhuha, maka Allah Swt. akan mempermudah segala urusan. Hasil wawancara dengan Ibu Husniyah,

guru kelas I, beliau mengatakan bahwa keyakinan seperti ini dapat menenangkan hati dan

menghindarkan siswa dari depresi, stres, putus asa, dan tekanan batin lainnya manakala keinginannya

tidak tercapai (Wawancara pada tanggal 02 Mei 2009 di ruang guru).

Selanjutnya, ketika peneliti menanyai salah satu siswi yang bernama Betika Uliyani kelas VI setelah

melaksanakan shalat Dhuha tentang dampak shalat Dhuha terhadap hasil belajarnya, ia menjawab,

“Kalau saya giat dan rajin belajar, maka akan memperoleh hasil nilai yang bagus, tetapi kalau saya
tidak giat atau malas belajar pasti hasil nilainya akan buruk pula”. Ia juga mengakui dengan
melaksanakan shalat Dhuha, ia menjadi bersemangat untuk belajar, karena dengan shalat Dhuha

dapat menghilangkan pikiran yang kalut, dan menjadikan pikiran lebih berkosentrasi pada pelajaran

(Wawancara pada tanggal 02 Mei 2009 di dalam masjid).

Hasil wawancara dengan Bapak Edi Imam Munajat mengatakan, jika pada waktu istirahat siswa

mempergunakan untuk shalat Dhuha, berdo’a, dan tawakkal, maka siswa dapat belajar dengan

maksimal. Dengan begitu, transfer ilmu dari guru kepada siswa menjadi lebih optimal (Wawancara

pada tangal 01 Mei 2009 pukul 11.30 Wib di depan ruang kelas V). Selanjutnya, Bapak Kadir juga

menambahkan, bahwa hati siswa menjadi lebih tenang dan bersemangat untuk belajar, sebab mereka

yakin bahwa Allah Swt. senantiasa mengawasi dan menaunginya dengan Rahmat dan Kasih sayang.

Misalnya, apabila salah satu siswa berharap hasil ulangannya mendapatkan nilai di atas 80, tetapi al-

hasil harapan itu tidak terealisasikan, ia tidak putus asa atau tidak bersemangat, namun sebaliknya,

siswa dapat menginstropeksi diri dan mengevaluasi diri mereka sendiri (Wawancara pada tanggal 02

Mei 2009 pukul 07.00 Wib).

Dari beberapa keterangan di atas, maka dapat dianalisa bahwa dengan adanya pembiasaan shalat

Dhuha ini siswa merasa lebih tawakkal, dan menyerahkan segala urusan kepada Allah Swt. setelah

mereka berusaha semaksimalnya dengan cara giat dan rajin belajar, baik di rumah maupun di

madrasah.

Seseorang dapat mencapai keridhaan Allah Swt. bila ia beribadah dengan dasar keikhlasan dan bekerja

dengan niat baik dan kejujuran. Keikhlasan beribadah dapat ditandai dengan upaya menjauhi syirik,

tidak menunjuk-menunjukan suatu amal kepada orang lain dan tidak mencari kepopuleran atau

kemasyhuran nama. Ikhlas dalam melaksanakan amal shaleh merupakan upaya yang harus dicetak

dalam diri manusia, karena ikhlas merupakan sikap ketulusan hati dalam diri manusia.

Dalam hal ini, dengan melaksanakan shalat Dhuha para siswa MI Miftahul Huda dapat meningkatkan

ketulusan hati kepada Allah Swt. dalam melaksanakan perbuatan terpuji, baik perbuatan yang

berhubungan dengan Allah Swt., maupun perbuatan yang berhubungan dengan sesama manusia.

Sebagaimana hasil wawancara dengan Ibu Siti Nur Khasanah yang menjelaskan, bahwa pembiasaan

shalat Dhuha ini dilaksanakan salah satu tujuannya adalah agar siswa dapat lebih menghemat uang

sakunya, karena waktu istirahat mereka digunakan untuk shalat Dhuha, tidak untuk jajan (membeli

makanan atau kue) (Wawancara pada tanggal 27 April 2009 di ruang guru).

Selanjutnya, Ibu Lailatul Masfufah saat diwawancarai menjelaskan, bahwa dengan adanya kegiatan ini,

waktu istirahat siswa digunakan untuk melaksanakan shalat Dhuha. Oleh karena itu, siswa dapat

menyisihkan sebagian uang saku mereka pada saat istirahat pertama, dan sifat keikhlasan terlihat

ketika mereka mengeluarkan sedekah amal jariyah (Wawancara pada tanggal 01 Mei 2009 pukul 07.30

Wib di depan ruang kelas V). Peneliti sendiri melihat beberapa siswa sedang memasukan sebagian

uang saku mereka ke dalam kotak amal yang terletak di masjid, tanpa diperintah oleh siapa pun.

Dari hasil observasi, siswa juga dilatih dan dibiasakan untuk gemar mengeluarkan amal jariyah. Setiap

hari jum’at dengan ikhlas siswa menyisihkan sebagian uang saku mereka untuk disedekahkan,
kegiatan ini biasa disebut dengan jum’at amal. Ibu Lailatul Masfufah juga menjelaskan, bahwa
sebenarnya dana dari kegiatan jum’at amal ini bukan disumbangkan kepada orang lain, tetapi dana ini

digunakan untuk kepentingan siswa sendiri, misalnya ada salah satu siswa yang sakit, maka untuk

membantunya diambilkan dari dana hasil kegiatan jum’at amal tersebut.

Dari beberapa keterangan di atas, maka dapat dianalisa bahwa dengan adanya pembiasaan shalat

Dhuha ini siswa dapat meningkatkan sikap keikhlasan, salah satunya melalui amal jariyah atau

sedekah yang mereka keluarkan, bukan karena perintah dari siapa pun, tetapi memang karena Allah
Swt. (lillahi ta’ala).

b. Akhlak terhadap Sesama Manusia (hablu mina annas)

Dampak shalat Dhuha terhadap pembinaan akhlak siswa terhadap sesama manusia, salah satunya

yaitu dapat menumbuhkan rasa persaudaraan dan kasih sayang antar siswa, serta hubungan antara

siswa dengan guru. Dalam hal ini, Bapak Zaenal Abidin mengatakan, bahwa tujuan diterapkannya

pembiasaan shalat Dhuha ini, salah satunya agar siswa lebih menyadari tentang pentingnya rasa

persaudaraan. Karena pelaksanaan shalat Dhuha ini dilakukan dengan bersama-sama, maka secara

tidak langsung mereka telah menciptakan hubungan yang harmonis atau keakraban antar siswa dan

juga guru (Wawancara pada tanggal 28 April 2009 setelah shalat Dhuha, pukul 10.00 Wib di emperan

masjid).

Kemudian Bapak Kadir mengatakan, rasa persaudaraan siswa ini diaplikasikan dalam bentuk

silaturrahmi, baik antar siswa maupun siswa dengan guru (Wawancara pada tanggal 02 Mei 2009

pukul 12.00 Wib di depan ruang kelas II). Apabila dicermati lebih jauh, silaturrahmi dapat mempererat

tali persaudaraan. Tali persaudaraan yang kuat memudahkan kita berbagi solusi untuk mengatasi

masalah kehidupan. Dengan mudahnya kita memperoleh solusi hidup, otomatis akan menghindarkan

kita dari perasaan tertekan, stres, dan sejenisnya.

Dari keterangan di atas, maka dapat dianalisa bahwa dengan adanya pembiasaan shalat Dhuha ini

siswa dapat menyadari akan pentingnya rasa persaudaraan. Hal ini diaplikasikan dengan menyambung

tali silaturrahmi, baik antar siswa maupun siswa dengan para guru.

Pembiasaan shalat Dhuha juga berdampak pada pembinaan adab kesopanan siswa, baik perkataan

maupun perbuatan. Ibu Iin Zunaidah menjelaskan, bahwa siswa harus dibiasakan dan dilatih untuk

selalu menjaga kesopanan, baik terhadap orang tua, guru, maupun sesama teman (Wawancara pada

tanggal 03 Mei 2009 di rumahnya). Dalam hal ini, siswa cukup menjaga adab kesopanan, misalnya

mereka selalu mengucapkan salam ketika masuk atau keluar kelas, mencium tangan setiap guru

ketika bertemu, dan berbicara dengan lemah lembut kepada setiap orang, terutama orang yang lebih

tua.

Salah satu orang tua siswa yang bernama Ibu Umi Hanik saat diwawancarai beliau mengatakan, bahwa

setelah anaknya dibiasakan shalat Dhuha setiap pagi di madrasah, anaknya mengalami banyak

perubahan, terutama akhlaknya, misalnya setiap berangkat ke madrasah ia selalu mengucapkan salam

dan mencium tangan orang tuanya (Wawancara pada tanggal 03 Mei 2009 pukul 20.00 Wib di
rumahnya).
Dari keterangan di atas, maka dapat dianalisa bahwa dengan adanya pembiasaan shalat Dhuha ini

siswa cukup mampu menerapkan adab kesopanan terhadap setiap orang, terutama orang tua dan

guru, baik berupa perkataan maupun perbuatan.

Selain sikap kesopanan, dampak pembiasaan shalat Dhuha lainnya adalah siswa menjadi lebih tenang

dan dapat menahan amarah mereka. Ibu Ida Suhartini mengatakan, bahwa di tengah-tengah rutinitas

kegiatan belajar mengajar, siswa sering mengalami tekanan. Akibatnya, pikiran menjadi kalut, hati

tidak tenang, dan emosi tidak stabil. Keadaan seperti ini tentunya tidak kondusif untuk belajar, karena

dapat merusak kosentrasi dan mengganggu keharmonisan antar siswa, yang akhirnya prestasi mereka

pun menjadi korban (Wawancara pada tanggal 02 Mei 2009 pukul 10.30 Wib di ruang guru). Oleh

karena itu, untuk mengatasi keadaan seperti itu, siswa harus berupaya untuk selalu melaksanakan

shalat Dhuha. Hasilnya, pikiran menjadi tenang, dan emosi menjadi terkontrol.

Dari beberapa keterangan di atas, maka dapat dianalisa bahwa dengan adanya pembiasaan shalat

Dhuha ini siswa dapat mengontrol emosi atau amarah mereka, selain itu pikiran dan hati siswa juga

menjadi lebih tenang, sehingga akan memperlancar proses belajar.

Selain sikap-sikap yang telah dipaparkan di atas, dampak shalat Dhuha terhadap pembinaan akhlak

siswa selanjutnya adalah tertanamnya sifat jujur pada diri siswa. Jujur merupakan sifat yang terpancar

dari dalam hati yang mulia dan memantulkan berbagai sifat terpuji. Orang yang jujur berani

menyatakan sikap secara transparan dan terbebas dari segala kepentingan, kepalsuan, serta penipuan.

Bapak Syamsul Hadi menjelaskan, bahwa kejujuran adalah hal mutlak yang harus dimiliki siswa dalam

usaha untuk meningkatkan prestasi. Misalnya, ketika siswa mengerjakan soal ujian, maka mereka

harus jujur dalam menyelesaikan soal-soal tersebut (Wawancara pada tanggal 01 Mei 2009 pukul

12.00 Wib di ruang guru). Dalam hal ini, para guru sering menyampaikan dan menanamkan sebuah

motto kepada siswa bahwa “kejujuran adalah kunci dari kesuksesan”.

Dari keterangan di atas, maka dapat dianalisa bahwa dengan membiasakan shalat Dhuha siswa

menjadi lebih memiliki sifat jujur, baik perkataan maupun perbuatan. Hal ini terbukti karena siswa

selalu mengungkapkan apa adanya ketika sedang berbicara dengan guru, selain itu juga ketika mereka
mengerjakan soal-soal ujian.

B. DISKUSI DAN INTERPRETASI

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada Bab sebelumnya, bahwa data ini diperoleh dari hasil observasi

partisipatif, wawancara, dan dokumenter. Setelah dilakukan pengecekan ulang tentang kevalidannya,

hal ini sesuai dengan kanyataan yang sebenarnya di lapangan. Selanjutnya pada pembahasan ini akan

didiskusikan apa yang menjadi temuan dalam penelitian ini, kemudian diinterpretasikan sebagai

jawaban dan tanggapan terhadap apa yang dipaparkan sebelumnya. Adapun diskusi dan interpretasi
tersebut adalah sebagai berikut:

1. Program Pembiasaan Shalat Dhuha dalam Pembinaan Akhlak Siswa


Berdasarkan penyajian dan analisa data di atas dijelaskan, bahwa munculnya program pembiasaan

shalat Dhuha di MI Miftahul Huda dilatarbalakangi karena sebelum diterapkannya pembiasaan shalat
Dhuha, siswa kurang produktif dalam memanfaatkan waktu. Oleh karena itu, pembiasaan shalat

Dhuha ini selain bertujuan untuk pembinaan akhlak siswa, juga bertujuan untuk melatih siswa dalam

memanfaatkan waktu mereka.

Dengan demikian, maka dapat diinterpretasikan, bahwa penerapan program pembiasaan shalat Dhuha

di MI Miftahul Huda sangat tepat dalam rangka memecahkan masalah siswa, yaitu kurang produktif

dalam memanfaatkan waktu dan juga untuk pembinaan akhlak siswa, baik terhadap Allah Swt.

maupun terhadap sesama manusia.

2. Pelaksanaan Pembiasaan Shalat Dhuha dalam Pembinaan Akhlak Siswa

Pembiasaan shalat Dhuha di MI Miftahul Huda dilaksanakan tiga kali dalam seminggu, yaitu pada hari

selasa, kamis, dan sabtu. Shalat ini dimulai pada pukul 09.00 sampai 10.00 Wib. Kegiatan ini

dilaksanakan dengan cara berjamaah pada dua rakaat pertama, dan dua rakaat selanjutnya

dilaksanakan dengan sendiri-sendiri. Setelah shalat Dhuha selesai siswa membaca do’a shalat Dhuha

bersama-sama, kemudian diakhiri dengan membaca ayat-ayat Al Qur’an yang dibimbing oleh guru.

Dengan demikian, maka dapat diinterpretasikan bahwa program pembiasaan shalat Dhuha di MI

Miftahul Huda sudah dilaksanakan dengan efektif dan efisien, karena ini merupakan program yang

sangat diperlukan oleh siswa dalam pembinaan akhlak. Selain itu dalam pelaksanaannya juga sudah

sesuai dengan ketentuan-ketentuan Islam yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. dan telah dijadikan

sebagai runitas atau kontinuitas, yaitu secara terus-menerus.

3. Dampak Pembiasaan Shalat Dhuha dalam Pembinaan Akhlak Siswa

a. Akhlak terhadap Allah Swt. (hablu mina allah)

Berdasarkan penyajian dan analisa data, disebutkan bahwa terdapat beberapa dampak dari

pembiasaan shalat Dhuha terhadap pembinaan akhlak siswa kepada Allah Swt. di MI Miftahul Huda,

yaitu sebagai berikut: Pertama, dengan adanya pembiasaan shalat Dhuha ini siswa cukup mampu

menerapkan rasa syukur mereka atas segala nikmat Allah Swt., baik melalui ucapan maupun

perbuatan. Kedua, dengan adanya pembiasaan shalat Dhuha ini siswa merasa lebih tawakkal, dan

menyerahkan segala urusan kepada Allah Swt. setelah mereka berusaha semaksimalnya dengan cara

giat dan rajin belajar, baik di rumah maupun di madrasah. Dan ketiga, dengan adanya pembiasaan

shalat Dhuha ini siswa dapat meningkatkan sikap keikhlasan, salah satunya melalui amal jariyah atau

sedekah yang mereka keluarkan, bukan karena perintah dari siapa pun, tetapi memang karena Allah

Swt.

Dengan demikian, maka dapat diinterpretasikan bahwa dampak pembiasaan shalat Dhuha terhadap

pembinaan akhlak siswa kepada Allah Swt. di MI Miftahul Huda cukup berhasil, karena siswa cukup

mampu menerapkan beberapa sikap atau akhlak terpuji terhadap Allah Swt., yaitu siswa lebih

bersyukur kepada Allah Swt. atas segala nikmat-Nya, lebih tawakkal setelah mereka berusaha dan

berdo’a, serta siswa juga lebih memiliki sifat ikhlas dalam setiap perbuatannya dan diniatkan karena

Allah Swt. (lillahi ta’ala).

b. Akhlak terhadap Sesama Manusia (hablu mina annas)


Dampak shalat Dhuha terhadap pembinaan Akhlak siswa terhadap sesama manusia di MI Miftahul
Huda, antara lain: Pertama, dengan adanya pembiasaan shalat Dhuha ini siswa dapat menyadari akan

pentingnya rasa persaudaraan. Hal ini diaplikasikan dengan menyambung tali silaturrahmi, baik antar

siswa maupun siswa dengan guru. Kedua, dengan adanya pembiasaan shalat Dhuha ini siswa cukup

mampu menerapkan adab kesopanan terhadap setiap orang, terutama orang tua dan guru, baik

berupa perkataan maupun perbuatan. Ketiga, dengan adanya pembiasaan shalat Dhuha ini siswa dapat

mengontrol emosi atau amarah, selain itu pikiran dan hati siswa juga menjadi lebih tenang, sehingga

akan memperlancar proses belajar. Dan keempat, siswa juga menjadi lebih memiliki sifat jujur, baik

berupa perkataan maupun perbuatan.

Dari keterangan di atas, maka dapat diinterpretasikan bahwa dampak pembiasaan shalat Dhuha

terhadap pembinaan akhlak siswa kepada sesama manusia di MI Miftahul Huda dapat dikatakan sudah

cukup berhasil, karena siswa cukup mampu menerapkan beberapa sikap atau akhlak terpuji terhadap

sesama manusia, yaitu rasa persaudaraan yang diaplikasikan melalui silaturrahmi, sopan santun

terhadap setiap orang, dapat menahan amarah atau emosi, dan juga bersikap jujur, baik perkataan
maupun perbuatan.

BAB V
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari keterangan yang telah dipaparkan pada Bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut:

1. Munculnya program pembiasaan shalat Dhuha di MI Miftahul Huda dilatarbalakangi karena sebelum

diterapkannya pembiasaan shalat Dhuha, siswa kurang produktif dalam memanfaatkan waktu. Oleh

karena itu, pembiasaan shalat Dhuha ini selain bertujuan untuk pembinaan akhlak siswa, baik akhlak

terhadap Allah Swt. maupun terhadap sesama manusia. Selain itu, juga bertujuan untuk melatih siswa

dalam memanfaatkan waktu.

2. Pembiasaan shalat Dhuha di MI Miftahul Huda dilaksanakan tiga kali dalam seminggu, yaitu pada

hari selasa, kamis, dan sabtu. Shalat ini dimulai pada pukul 09.00 sampai 10.00 Wib. Kegiatan ini

dilaksanakan dengan cara berjamaah pada dua rakaat pertama, dan dua rakaat selanjutnya
dilaksanakan dengan sendiri-sendiri. Setelah shalat Dhuha selesai siswa membaca do’a shalat Dhuha

bersama-sama, kemudian diakhiri dengan membaca ayat-ayat Al Qur’an yang dibimbing oleh guru.
3. Dampak pembiasaan shalat Dhuha terhadap pembinaan akhlak siswa, yaitu sebagai berikut:

a. Akhlak terhadap Allah Swt.

1) Dampak pembiasaan shalat Dhuha di MI Miftahul Huda yaitu siswa cukup mampu menerapkan rasa

syukur mereka atas segala nikmat Allah Swt. baik melalui ucapan maupun perbuatan.

2) Dampak pembiasaan shalat Dhuha di MI Miftahul Huda yaitu siswa merasa lebih tawakkal setelah
mereka berusaha semaksimalnya dengan cara giat dan rajin belajar, baik di rumah maupun di

madrasah.
3) Dampak pembiasaan shalat Dhuha di MI Miftahul Huda yaitu siswa dapat meningkatkan sikap

keikhlasan, salah satunya melalui amal jariyah atau sedekah yang mereka keluarkan, bukan karena

perintah dari siapa pun, tetapi memang karena Allah Swt.

b. Akhlak terhadap sesama manusia

1) Dampak pembiasaan shalat Dhuha di MI Miftahul Huda yaitu siswa dapat menyadari akan

pentingnya rasa persaudaraan. Hal ini diaplikasikan dengan menyambung tali silaturrahmi, baik antar

siswa maupun siswa dengan guru.

2) Dampak pembiasaan shalat Dhuha di MI Miftahul Huda yaitu siswa cukup mampu menerapkan adab

kesopanan terhadap setiap orang, terutama orang tua dan guru, baik berupa perkataan maupun

perbuatan.

3) Dampak pembiasaan shalat Dhuha di MI Miftahul Huda yaitu siswa dapat mengontrol emosi atau

amarah, selain itu pikiran dan hati siswa juga menjadi lebih tenang, sehingga akan memperlancar

proses belajar.

4) Dampak pembiasaan shalat Dhuha di MI Miftahul Huda yaitu siswa menjadi lebih memiliki sifat
jujur, baik perkataan maupun perbuatan.

B. SARAN-SARAN

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka ada beberapa saran yang perlu peneliti sampaikan kepada

lembaga MI Miftahul Huda Mlokorejo, diantaranya:

1. Setelah ditetapkan dan diterapkan program pembiasaan shalat Dhuha, maka alangkah baiknya

apabila kegiatan ini tetap dipertahankan dan dikembangkan dalam rangka mencapai tujuan yang telah

ditetapkan sebelumnya

2. Dalam pelaksanaannya, hendaknya kegiatan shalat Dhuha ini dilaksanakan secara bersama-sama

oleh siswa dan semua dewan guru

3. Diharapkan para dewan guru selalu memberi motivasi dan semangat kepada siswa dalam

melaksanakan kegiatan shalat Dhuha, sehingga tidak ada unsur paksaan dalam diri siswa untuk

mengikuti kegiatan ini

4. Sebaiknya para dewan guru memberi suri tauladan kepada siswa, baik berupa perkataan maupun
perbuatan.

Anda mungkin juga menyukai