Anda di halaman 1dari 14

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Diabetes melitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh
kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia (Brunner dan Suddarth,2002).
Diabetes Melitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang
disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan
insulin baik absolut maupun relatif (Arjatmo, 2002).

B. Etiologi
1. Diabetes tipe I:
a. Faktor genetik
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi mewarisi suatu
predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe I. Kecenderungan
genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA (Human
Leucocyte Antigen) terrtentu. HLA merupakan kumpulan gen yang bertanggung
jawab atas antigen transplantasi dan proses imun lainnya. Sembilan puluh lima persen
pasien berkulit putih (caucasian) dengan diabetes tipe I meningkat tiga hingga lima
kali lipat pada individu yang memiliki salah satu dari kedua tipe HLA ini. Resiko
tersebut meningkat sampai 10 hingga 20 kali lipat pada individu yang memiliki tipe
HLA DR3 maupun DR4 (jika dibandingkan dengan populasi umum).
b. Faktor-faktor imunologi
Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respon autoimun. Respon ini
merupakan respons abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh
dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah
sebagai jaringan asing. Yaitu otoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan
insulin endogen (internal) terdeteksi pada saat diagnosis dibuat dan bahkan beberapa
tahun sebelum tibulnya tanda-tanda klinis diabetes tipe I.
c. Faktor lingkungan
Faktor-faktor eksternal (lingkungan) dapat memicu destruksi sel beta. Sebagai
contoh, hasil penyelidikan yang menyatakan bahwa virus atau toksin dapat memicu
proses otoimun yang menimbulkan destruksi sel beta.Interaksi antara faktor-faktor
genetik, imunologi dan lingkungan dalam etiologi diabetes tipe I merupakan pokok
perhatian riset yang terus berlanjut. Meskipun kejadian yang menimbulkan destruksi
sel beta tidak dimengerti sepenuhnya, namun pernyataan bahwa kerentanan genetik
merupakan faktor dasar yang melandasi proses terjadinya diabetes tipe I merupakan
hal yang secara umun dapat diterima.
2. Diabetes Tipe II
Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi
insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik memegang peranan
dalam proses terjadinya resistensi insulin. Selain itu terdapat pula faktor-faktor resiko
tertentu yang berhubungan dengan proses terjadinya diabetes tipe II, yaitu :
a. Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 th)
b. Obesitas
c. Riwayat keluarga
d. Kelompok etnik (di Amerika Serikat, golongan Hispanik serta penduduk asli
Amerika tertentu memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk terjadinya
diabetes tipe II dibandingkan dengan golongan Afro-Amerika)

C. Klasifikasi
Klasifikasi diabetes mellitus sebagai berikut :
1. Tipe I yaitu Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM)
Merupakan defisiensi insulin karena kerusakan sel-sel langerhans yang berhubungan
dengan tipe HLA (human Leucocyte Antigen) spesifik, predisposisi pada insulitis
fenomena autoimun (cenderung ketosis dan terjadi pada semua usia muda). Kelainan
ini terjadi karena kerusakan sistem imunitas (kekebalan tubuh) yang kemudian
merusak sel-sel pulau langerhans di pankreas. Kelainan ini berdampak pada
penurunan produksi insulin.
2. Tipe II yaitu Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM)
Merupakan diabetes resisten, lebih sering pada dewasa, tapi dapat terjadi pada semua
umur. Kebanyakan penderita kelebihan berat badan, ada kecenderungan familiar,
mungkin perlu insulin pada saat hiperglikemik selama stres.
3. Diabetes mellitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya
Adalah Diabetes Melitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom tertentu
hiperglikemik terjadi karena penyakit lain; penyakit pankreas, hormonal, obat atau
bahan kimia, endokrinopati, kelainan reseptor insulin, sindroma genetik tertentu.
Pada pankreas seperti pankreatitis akan berdampak pada kerusakan anatomis dan
fungsional organ pankreas akibat aktivitas toksik baik karena bakteri maupun kimia.
Kerusakan berdampak pada penurunan insulin.
Penyakit hormonal seperti kelebihan hormon glukokortikoid (dari korteks adrenal)
akan berdampak pada peningkatan glukosa dalam darah. Peningkatan glukosa dalam
darah ini akan meningkatkan beban kerja dari insulin untuk memfasilitasi gulosa
masuk dalan sel. Peningkatan beban kerja ini akan berakibat pada penurunan prosuk
insulin.
Pemberian zat kimia/obat-obatan seperti hidrokortidon akan berdampak pada
peningkatan glukosa dalam darah karena dampaknya seperti glukokortikoid.
Endokrinopati (kematian prodiksi hormone) seperti kelenjar hipofisis akan berdampak
sistemik bagi tubuh. Karena semua produk hormon akan dialirkan keseluruh tubuh
melalui aliran darah. Kelainan ini berdampak pada penurunan metabolisme baik
karbohidrat, protein maupun lemak yang dalam perjalanannya akan mempengaruhi
produksi insulin.
4. Impaired Glukosa Tolerance (ganguan toleransi glukosa)
Kadar glukosa antara normal dan diabetes, dapat menjadi diabetes atau menjadi
normal atau tetap tidak berubah.
5. Gastrointestinal Diabetes Melitus (GDM)
Merupakan intoleransi glukosa yang terjadi selama kehamilan. Dalan kehamilan
terjadi perubahan metabolisme endokrin dan karbohidrat yang menunjang pemanasan
makanan bagi janin serta persiapan menyusui. Menjelang aterm, kebutuhan insulin
meningkat sehingga mencapai 3 kali lipat dari keadaan normal.bila seorang ibu tidak
mampu meingkatkan produksi insulin sehingga relatif hipoinsulin maka
mengakibatkan hiperglikemi. Resistensi insulin juga disebabkan oleh adanya hormon
estrogen, progresteron, prolaktin dan plasenta laktogen. Hormon tersebut
mempengaruhi reseptor insulin pada sel sehingga mengurangi aktivitas insulin.

D. Patofisiologi
1. DM Tipe I
Pada Diabetes tipe I terdapat ketidak mampuan pankreas menghasilkan insulin
karena hancurnya sel-sel beta pulau langerhans. Dalam hal ini menimbulkan
hiperglikemia puasa dan hiperglikemia post prandial. Dengan tingginya konsentrasi
glukosa dalam darah, maka akan muncul glukosuria (glukosa dalam darah) dan
ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan (diuresis
osmotic) sehingga pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliurra) dan
rasa haus (polidipsia). Defesiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan
lemak sehingga terjadi penurunan berat badan akan muncul gejala peningkatan selera
makan (polifagia). Akibat yang lain yaitu terjadinya proses glikogenolisis (pemecahan
glukosa yang disimpan) dan glukogeonesis tanpa hambatan sehingga efeknya berupa
pemecahan lemak dan terjadi peningkatan keton yangdapat mengganggu
keseimbangan asam basa dan mangarah terjadinya ketoasidosis (Corwin, 2000)

2. DM Tipe II
Terdapat dua masalah utama pada DM Tipe II yaitu resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin. Normalnya insulin akan berkaitan pada reseptor kurang dan meskipun
kadar insulin tinggi dalam darah tetap saja glukosa tidak dapat masuk kedalam sel
sehingga sel akan kekurangan glukosa. Mekanisme inilah yang dikatakan sebagai
resistensi insulin. Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya
glukosa dalam darah yang berlebihan maka harus terdapat peningkatan jumlah insulin
yang disekresikan. Namun demikian jika sel-sel beta tidak mampu mengimbanginya
maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadilah DM tipe II (Corwin, 2000)

E. Manifestasi Klinis
1. Poliuria
Kekurangan insulin untuk mengangkut glukosa melalui membrane dalam sel
menyebabkan hiperglikemia sehingga serum plasma meningkat atau hiperosmolariti
menyebabkan cairan intrasel berdifusi kedalam sirkulasi atau cairan intravaskuler,
aliran darah ke ginjal meningkat sebagai akibat dari hiperosmolariti dan akibatnya akan
terjadi diuresis osmotic (poliuria).
2. Polidipsia
Akibat meningkatnya difusi cairan dari intrasel kedalam vaskuler menyebabkan
penurunan volume intrasel sehingga efeknya adalah dehidrasi sel. Akibat dari
dehidrasi sel mulut menjadi kering dan sensor haus teraktivasi menyebabkan seseorang
haus terus dan ingin selalu minum (polidipsia).
3. Poliphagia
Karena glukosa tidak dapat masuk ke sel akibat dari menurunnya kadar insulin maka
produksi energi menurun, penurunan energi akan menstimulasi rasa lapar. Maka reaksi
yang terjadi adalah seseorang akan lebih banyak makan (poliphagia).
4. Rasa lelah kelemahan otot akibat gangguan aliran darah pada pasien diabetes lama,
katabolisme protein di otot dan ketidakmampuan sebagian besar sel untuk
menggunakkan glukosa sebagai energi.
5. Peningkatan angka infeksi akibat penurunan protein sebagai pembentuk antibody,
peningkatan konsentrasi glukosa disertai mukus, gangguan fungsi imun, dan
penurunan aliran darah pada penderita diabetes kronik.
6. Kelainan kulit
Kelainan kulit berupa gatal-gatal biasanya terjadi di daerah ginjal. Lipatan kulit seperti
diketiak dan bawah payudara. Biasanya akibat tumbuhnya jamur.
7. Kesemutan rasa baal akibat terjadinya neuropati
Pada penderita DM regenerasi sel persarafan mengalami gangguan akibat kekurangan
bahan dasar utama yang berasal dari unsur protein. Akibatnya banyak sel persarafan
terutama perifer mengalami kerusakan.
8. Luka atau bisul yang tidak sembuh-sembuh
Proses penyembuhan luka membutuhkan bahan dasar utama dari protein dan unsur
makanan yang lain. Pada penderita DM bahan protein banyak di formulasikan untuk
kebutuhan energi sel sehingga bahan yang dipergunakkan untuk penggantian jaringan
yang rusak mengalami gangguan. Selain itu luka yang sulit sembuh juga dapat
diakibatkan oleh pertumbuhan mikroorganisme yang cepat pada penderita DM.
9. Mata kabur disebabkan katarak atau gangguan refraksi akibat perubahan pada lensa
oleh hiperglikemia. Mungkin juga disebabkan kelainan pada corpus vitreum.

F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Gula Darah Puasa (GDO) 70-110 mg/dl
Kriteria diagnostik untuk DM > 140 mg/dl paling sedikit dalam dua kali pemeriksaan.
Atau > 140 mg/dl disertai gejala klasik hiperglikemia, atau IGT 115-140 mg/dl.
2. Gula darah 2 jam post prondial <140 mg/dl
Digunakan untuk skrining atau evaluasi pengobatan bukan diagnostik.
3. Gula darah sewaktu <140 mg/dl
Digunakan untuk skrining bukan diagnostik.
4. Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
GD < 115 mg/dl ½ jam, 1 jam, 1 ½ jam < 200 mg/dl, 2 jam < 140 mg/dl. TTGO
dilakukan hanya pada pasien yang telah bebas dan diet dan beraktivitas fisik 3 hari
sebelum tes tidak dianjurkan pada:
a. Hiperglikemi yang sedang puasa
b. Orang yang mendapat thiazide, dilantin, propanolol, lasik, thyroid, estrogen, pil
KB, steroid.
c. Pasien yang dirawat atau sakit akut atau pasien inaktif.
5. Tes Toleransi Glukosa Intravena (TTGI)
Dilakukan jika TTGO merupakan kontra indikasi atau terdapat kelainan
gastrointestinal yang mempengaruhi absorbsi glukosa.
6. Tes Toleransi Kortison Glukosa
Digunakan jika TTGO tidak bermakna, kortison menyebabkan peningkatan kadar
gula darah abnormal dan menurunkan penggunaan gula darah perifer pada orang yang
berpredisposisi menjadi DM kadar glukosa darah 140 mg/dl pada akhir 2 jam
dianggap sebagai hasil positif.
7. Glycosatet Hemoglobin
Berguna dalam memantau kadar glukosa darah rata-rata selama lebih dari 3 bulan.
8. C-Pepticle 1-2 mg/dl (puasa) 5-6 kali meningkat setelah pemberian glukosa.
Untuk mengukur proinsulin (produks samping yang tak aktif secara biologis) dari
pembentukan insulin dapat membantu mengetahui sekresi insulin.
9. Insulin serum puasa : 2-20 mu/ml post glukosa sampai 120 mu/ml, tidak digunakan
secara luas dalam klinik. Dapat digunakan dalam diagnosa banding hipoglikemia atau
dalam penelitian diabetes.

G. Penatalaksanaan
Diabetes Mellitus jika tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan berbagai penyakit
dan diperlukan kerjasama semua pihak ditingkat pelayanan kesehatan. Untuk mencapai
tujuan tersebut dilakukan berbagai usaha dan akan diuraikan sebagai berikut :
1. Diet
Syarat diet DM hendaknya dapat:
a. Memperbaiki kesehatan umum penderita
b. Mengarahkan pada berat badan normal
c. Menormalkan pertumbuhan DM anak dan DM dewasa muda
d. Mempertahankan kadar KGD normal
e. Menekan dan menunda timbulnya penyakit angiopati diabetik
f. Memberikan modifikasi diit sesuai dengan keadaan penderita.
g. Menarik dan mudah diberikan
2. Prinsip diet DM, adalah:
a. Jumlah sesuai kebutuhan
b. Jadwal diet ketat
c. Jenis: boleh dimakan/tidak
3. Latihan Jasmani
Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih 30
menit yang disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penyakit penyerta. Sebagai
contoh olah raga ringan adalah berjalan kaki biasa selama 30 menit, olehraga sedang
berjalan cepat selama 20 menit dan olah raga berat jogging.
Beberapa kegunaan latihan teratur setiap hari bagi penderita DM, adalah:
a. Meningkatkan kepekaan insulin (glukosa uptake), apabila dikerjakan setiap 1 ½
jam sesudah makan, berarti pula mengurangi insulin resisten pada penderita
dengan kegemukan atau menambah jumlah reseptor insulin dan meningkatkan
sensitivitas insulin dengan reseptornya.
b. Mencegah kegemukan apabila ditambah latihan pagi dan sore
c. Memperbaiki aliran perifer dan menambah supply oksigen
d. Meningkatkan kadar kolesterol-high density lipoprotein
e. Kadar glukosa otot dan hati menjadi berkurang, maka latihan akan dirangsang
pembentukan glikogen baru
f. Menurunkan kolesterol (total) dan trigliserida dalam darah karena pembakaran
asam lemak menjadi lebih baik.
4. Obat Hipoglikemik
a. Sulfonilurea
Obat golongan sulfonylurea bekerja dengan cara :
1). Menstimulasi penglepasan insulin yang tersimpan.
2). Menurunkan ambang sekresi insulin.
3). Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa.
Obat golongan ini biasanya diberikan pada pasien dengan BB normal dan masih
bisa dipakai pada pasien yang beratnya sedikit lebih. Klorpropamid kurang
dianjurkan pada keadaan insufisiensi renal dan orangtua karena resiko
hipoglikema yang berkepanjangan, demikian juga gibenklamid. Glukuidon juga
dipakai untuk pasien dengan gangguan fungsi hati atau ginjal.
b. Biguanid
Preparat yang ada dan aman dipakai yaitu metformin. Sebagai obat tunggal
dianjurkan pada pasien gemuk (imt 30) untuk pasien yang berat lebih (imt 27-30)
dapat juga dikombinasikan dengan golongan sulfonylurea.
c.Insulin
Indikasi pengobatan dengan insulin adalah :
1). Semua penderita DM dari setiap umur (baik IDDM maupun NIDDM) dalam
keadaan ketoasidosis atau pernah masuk kedalam ketoasidosis.
2). DM dengan kehamilan/ DM gestasional yang tidak terkendali dengan diet
(perencanaan makanan).
3). DM yang tidak berhasil dikelola dengan obat hipoglikemik oral dosif maksimal.
Dosis insulin oral atau suntikan dimulai dengan dosis rendah dan dinaikkan
perlahan –lahan sesuai dengan hasil glukosa darah pasien. Bila sulfonylurea atau
metformin telah diterima sampai dosis maksimal tetapi tidak tercapai sasaran
glukosa darah maka dianjurkan penggunaan kombinasi sulfonylurea dan insulin.
d. Penyuluhan untuk merancanakan pengelolaan sangat penting untuk mendapatkan
hasil yang maksimal. Edukator bagi pasien diabetes yaitu pendidikan dan
pelatihan mengenai pengetahuan dan keterampilan yang bertujuan menunjang
perubahan perilaku untuk meningkatkan pemahaman pasien akan penyakitnya,
yang diperlukan untuk mencapai keadaan sehat yang optimal. Penyesuaian
keadaan psikologik kualifas hidup yang lebih baik. Edukasi merupakan bagian
integral dari asuhan keperawatan diabetes (Bare & Suzanne, 2002)

H. Komplikasi
1. Komplikasi Akut
a. Hipoglikemia dan hiperglikemia
b. Penyakit makrovaskuler : mengenai pembuluh darah besar, penyakit jantung
koroner (cerebrovaskuler, penyakit pembuluh darah kapiler).
c. Penyakit mikrovaskuler, mengenai pembuluh darah kecil, retinopati, nefropati.
Neuropati saraf sensorik (berpengaruh pada ekstrimitas), saraf otonom berpengaruh
pada gastro intestinal, kardiovaskuler (Suddarth and Brunner, 1990).
2. Komplikasi kronik
Umumnya terjadi 10 sampai 15 tahun. Komplikasi kronik yaitu :
a. Makrovaskular (penyakit pembuluh darah besar), mengenai sirkulasi koroner,
vaskular perifer dan vaskular selebral.
b. Mikrovaskular (penyakit pembuluh darah kecil), mengenai mata (retinopati) dan ginjal
(nefropati). Kontrol kadar glukosa darah untuk memperlambat atau menunda awitan
baik komplikasi mikrovaskular maupun makrovaskular.
c. Penyakit neuropati, mengenai saraf sensorik-motorik dan autonomi serta menunjang
masalah seperti impotensi dan ulkus pada kaki.
3. Komplikasi menahun Diabetes Mellitus
a. Neuropati diabetik
b. Retinopati diabetik
c. Nefropati diabetik
d. Proteinuria
e. Kelainan koroner
f. Ulkus/gangren (Soeparman, 1987, hal 377)
Terdapat lima grade ulkus diabetikum antara lain:
1) Grade 0 : tidak ada luka
2) Grade I : kerusakan hanya sampai pada permukaan kulit
3) Grade II : kerusakan kulit mencapai otot dan tulang
4) Grade III : terjadi abses
5) Grade IV : Gangren pada kaki bagian distal
6) Grade V : Gangren pada seluruh kaki dan tungkai bawah distal.
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Anamnese
a. Identitas
Identitas pada klien yang harus diketahui diantaranya: nama, umur, agama,
pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis kelamin, status perkawinan, dan
penanggung biaya.
b. Keluhan utama
Penderita biasanya datang dengan keluhan badan terasa sangat lemas sekali
disertai penglihatan yang kabur. Meskipun muncul keluhan banyak kencing
(poliuria) kadang penderita belum tahu kalau itu salah satu tanda penyakit diabetes
melitus.
c. Riwayat penyakit
Riwayat penyakit ini biasanya yang dominan adalah munculnya sering buang air
kecil (poliuria), sering lapar dan haus (polidipsi dan polifagia), sebelumnya
penderita mempunyai berat badan yang berlebih. Biasanya penderita belum
menyadari kalau itu merupakan perjalanan penyakit diabetes melitus. Penderita
baru tahu kalau sudah memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan.
d. Riwayat kesehatan dahulu
Diabetes dapat terjadi saat kehamilan, yang terjadi hanya saat hamil saja dan
biasanya tidak dialami setelah melahirkan namun perlu di waspadai akan
kemungkinan mengalami diabetes yang sesungguhnya dikemudian hari. Diabetes
sekunder umumnya digambarkan sebagai kondisi penderita yang pernah
mengalami suatu penyakit dan mengkonsumsi obat-obatan atau zat kimia tertentu.
Penyakit yang dapat menjadi pemicu timbulnya diabetes melitus dan perlu
dilakukan pengkajian diantaranya :
1). Penyakit pankreas
2). Gangguan penerimaan insulin
3). Gangguan hormonal
4). Pemberian obat-obatan seperti :
a). Glukokortikoid (sebagai obat radang)
b). Furosemid (sebagai diuretik)
c). Thiazid (sebagai diuretik)
d). Beta bloker (untuk mengobati gangguan jantung)
e).Produk yang mengandung estrogen (kontrasepsi oral dan terapi sulih
hormon).
e. Riwayat kesehatan keluarga
Diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap diabetes, karena
kelainan gen yang mengakibatkan tubuhnya tak dapat menghasilkan insulin dengan
baik akan disampaikan informasinya pada keturunan berikutnya. (Vitahealth,
2004).
f. Aktivitas / istrahat.
Tanda :
1) Lemah, letih, susah, bergerak / susah berjalan, kram otot, tonus otot menurun.
2) Tachicardi, tachipnea pada keadaan istrahat/daya aktivitas.
3) Letargi / disorientasi, koma.
g. Sirkulasi
Tanda :
1) Adanya riwayat hipertensi : infark miokard akut, kesemutan pada ekstremitas
dan tachicardia.
2) Perubahan tekanan darah postural : hipertensi, nadi yang menurun / tidak ada.
3) Disritmia, krekel : DVJ
h. Neurosensori
Gejala : Pusing / pening, gangguan penglihatan, disorientasi : mengantuk, lifargi,
stuport / koma (tahap lanjut). Sakit kepala, kesemutan, kelemahan pada otot,
parestesia, gangguan penglihatan, gangguan memori (baru, masa lalu) : kacau
mental, refleks fendo dalam (RTD) menurun (koma), aktifitas kejang.
i. Nyeri / Kenyamanan
Gejala : Abdomen yang tegang / nyeri (sedang berat), wajah meringis dengan
palpitasi : tampak sangat berhati – hati.
j. Keamanan
Gejala :
1) Kulit kering, gatal : ulkus kulit, demam diaporesis.
2) Menurunnya kekuatan immune / rentang gerak, parastesia / paralysis otot
termasuk otot – otot pernapasan (jika kadar kalium menurun dengan cukup
tajam).
3) Urine encer, pucat, kuning, poliuria (dapat berkembang menjadi oliguria /
anuria jika terjadi hipololemia barat).
4) Abdomen keras, bising usus lemah dan menurun : hiperaktif (diare).
B. Diagnosa Keperawatan
1. Defisit volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
defisiensi insulin/penurunan intake oral : anoreksia, abnominal pain, gangguan
kesadaran/hipermetabolik akibat pelepasan hormone stress, epinefrin, cortisol, GH
atau karena proses luka.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya luka.
4. Resiko infeksi berhubungan dengan peningkatan glukosa darah

C.Intervensi Keperawatan
1. Defisit volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik,
Tujuan : Klien akan mendemonstrasikan hidrasi adekuat, dengan kriteria :
a. Nadi perifer dapat teraba, turgor kulit baik.
b. Vital sign dalam batas normal, haluaran urine lancer.
c. Kadar elektrolit dalam batas normal

Intervensi :
Intervensi Rasional

1. Kaji pengeluaran urine 1. Membantu dalam memperkirakan kekurangan


volume total, tanda dan gejala mungkin sudah
ada pada beberapa waktu sebelumnya, adanya
proses infeksi mengakibatkan demam dan
keadaan hipermetabolik yang menigkatkan
kehilangan cairan.
2. Perubahan tanda-tanda vital dapat diakibatkan
2. Pantau tanda-tanda vital oleh rasa nyeri dan merupakan indikator untuk
menilai keadaan perkembangan penyakit.
3. Paru-paru mengeluarkan asam karbonat
melalui pernapasan menghasilkan alkalosis
3. Monitor pola napas respiratorik, ketoasidosis pernapasan yang
berbau aseton berhubungan dengan pemecahan
asam aseton dan asetat.

4. Koreksi hiperglikemia dan


asidosis akan mempengaruhi
4. Observasi frekuensi dan kualitas pernapasan pola dan frekuensi
pernapasan. Pernapasan
dangkal, cepat, dan sianosis
merupakan indikasi dari
kelelahan pernapasan,
hilangnya kemampuan untuk
melakukan kompensasi pada asidosis.
5. Timbang berat badan 5. Memberikan perkiraan kebutuhan akan cairan
pengganti fungsi ginjal dan keefektifan dari
terapi yang diberikan.
6. Pemberian cairan sesuai dengan indikasi 6. Tipe dan jenis cairan tergantung pada derajat
kekurangan cairan dan respon

2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan defisiensi


insulin/penurunan intake oral: anoreksia, abnominal pain, gangguan
kesadaran/hipermetabolik akibat pelepasan hormone stress, epinefrin, cortisol, GH atau
karena proses luka.
Tujuan : Klien akan mengkonsumsi secara tepat jumlah kebutuhan kalori atau nutrisi
yang di programkan dengan kriteria :
a. Peningkatan barat badan.
b. Pemeriksaan albumin dan globulin dalam batas normal.
c. Turgor kulit baik, mengkonsumsi makanan sesuai program.
Intervensi Rasional
1. Timbang berat badan. 1. Penurunan berat badan menunjukkan tidak
ada kuatnya nutrisi klien.Hiperglikemia dan
2. ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
2. Auskultasi bowel sound. menyebabkan penurunan motilifas usus.
Apabila penurunan motilitas usus
berlangsung lama sebagai akibat neuropati
syaraf otonom yang berhubungan dengan
sistem pencernaan.
3. Pemberian makanan oral dan lunak
berfungsi untuk meresforasi fungsi usus dan
3. Berikan makanan lunak / cair. diberikan pada klien dgn tingkat kesadaran
baik.

4. Metabolisme KH akan menurunkan


4. Observasi tanda hipoglikemia misalnya : kadarglukosa dan bila saat itu
penurunan tingkat kesadaran, permukaan diberikaninsulin akan menyebabkan
teraba dingin, denyut nadi cepat, lapar, hipoglikemia.
kecemasan dan nyeri kepala.

5. Berikan Insulin. 5. Akan mempercepat pengangkutan glukosa


kedalam sel.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya luka.
Tujuan : Klien akan mempertahankan integritas kulit tetap utuh dan terhindar dari
inteksi dengan Kriteria hasil :
a. Tidak ada tanda – tanda infeksi.
b. Tidak ada luka.
c. Tidak ditemukan adanya perubahan warna kulit.
Intervensi Rasional
1. Observasi tanda – tanda 1. Kemerahan, edema, luka drainase, cairan
Infeksi dari luka menunjukkan adanya infeksi.
2. Mencegah cross contamination
2. Ajarkan klien untuk mencuci tangan dengan (kontaminasi silang).
baik, untuk mempertahankan
kebersihan tangan pada saat melakukan
prosedur.
3. Gangguan sirkulasi perifer dapat terjadi bila
3. Pertahankan kebersihan kulit. menempatkan pasien pada kondisi resiko
iritasi kulit.

4. Peningkatan pengeluaran urine akan


4. Dorong klien mengkonsumsi diet secara mencegah statis dan mempertahankan PH
adekuat dan intake cairan 3000 ml/hari. urine yang dapat mencegah terjadinya
perkembangan bakteri.
5. Mencegah terjadinya perkembangan
5. Antibiotik bila ada indikasi bakteri.

4. Resiko infeksi berhubungan dengan peningkatan glukosa darah


Tujuan : Klien dapat mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/menurunkan
resiko infeksi dan klien dapat mendemonstrasikan teknik, perubahan gaya
hidup untuk mencegah terjadinya infeksi dengan kriteria hasil :
a. Luka sembuh
b. Tidak ada edema sekitar luka.
c. Tidak terdapat pus, luka cepat mengering.

Intervensi Rasional
1. Observasi tanda-tanda infeksi dan 1. Pasien mungkin masuk dengan infeksi
peradangan. yang biasanya telah mencetuskan
keadaan ketoasidosis atau dapat
mengalami infeksi nosokomial.

2. Mencegah timbulnya infeksi silang.


2. Tingkatkan upaya untuk pencegahan
dengan melakukan cuci tangan yang baik
pada semua orang yang berhubungan
dengan pasien termasuk pasiennya sendiri.
3. Pertahankan teknik aseptik pada prosedur 3. Kadar glukosa yang tinggi dalam darah
invasif. akan menjadi media terbaik bagi
pertumbuhan kuman.
4. Berikan perawatan kulit dengan teratur
4. Sirkulasi perifer bisa terganggu yang
menempatkan pasien pada peningkatan
resiko terjadinya kerusakan pada
kulit/iritasi kulit dan infeksi.
5. Lakukan perubahan posisi, anjurkan batuk
efektif dan nafas dalam. 5. Membantu dalam memventilasi semua
daerah paru dan memobilisasi sekret.
DAFTAR PUSTAKA

Almatsier sunita,2005, Penuntun Diet, Gramedia:Jakarta


Bare & Suzanne, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume 2, (Edisi 8),
EGC:Jakarta
Brunner & Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Ed 8. EGC :Jakarta
Carpenito, 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, (Edisi 2), EGC:Jakarta
C.Long Barbara,1996, Perawatan Medikal Bedah, EGC:Jakarta
Corwin,. J. Elizabeth, 2001, Patofisiologi, EGC:Jakarta
Ganong, 1997, Fisiologi Kedokteran, EGC, Jakarta
Gibson, John, 2003, Anatomi dan Fisiologi Modern untuk Perawat, EGC:Jakarta
Guyton dan Hall, 1997, Fisiologi Kedokteran, (Edisi 9), EGC:Jakarta
Jan Tambayong, dr. (2000). Patofisiologi Untuk Keperawatan. EGC :Jakarta
FKUI, 1979, Patologi, FKUI: Jakarta
Price. S.A. (1995). Patofisiologi, Edisi Kedua, EGC :Jakarta
Tarwoto, dkk, 2012, Keperawatan Medikal Bedah Gangguang Sistem Endokrin. TIM:Jakarta

Anda mungkin juga menyukai