Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. AUTISME

Autisme adalah salah satu gangguan perilaku pada awal kehidupan anak yang
disebabkan oleh gangguan perkembangan otak yang ditandai dengan ciri pokok
yaitu terganggunya perkembangan komunikasi sosial, interaksi sosial, dan
imajinasi sosial. Mereka dengan gejala autisme menampilkan perilaku yang
bersifat repetitive. Autisme merupakan suatu kondisi mengenai seseorang sejak
lahir ataupun saat masa balita yang membuat dirinya tidak dapat membentuk
hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Akibatnya anak tersebut terisolasi
dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat yang
obsesif.

II.I. DEFINISI AUTISME

Autisme berasal dari bahasa Yunani “autos” yang berarti segala sesuatu yang
mengarah pada diri sendiri. Istilah autisme dipergunakan untuk menunjukkan
suatu gejala psikosis pada anak-anak yang unik dan menonjol yang sering disebut
dengan sindroma Kanner.

Pada awalnya istilah “autisme” diambilnya dari gangguan skizofrenia, dimana


menggambarkan perilaku pasien skizofrenia yang menarik diri dari dunia luar dan
menciptakan dunia fantasinya sendiri. Namun ada perbedaan yang jelas antara
penyebab dari autisme pada penderita skizofrenia dengan penyandang autisme
infantile. Pada skizofrenia, autisme disebabkan dampak area gangguan jiwa yang
di dalamnya terkandung halusinasi dan delusi yang berlangsung minimal selama 1
bulan, sedangkan pada anak-anak dengan autisme infantile terdapat kegagalan
dalam perkembangan yang tergolong dalam kriteria gangguan pervasive dengan
kehidupan autistik yang tidak disertai dengan halusinasi dan delusi (DSM IV,
1995).
II.II. EPIDEMIOLOGI
Jumlah anak yang terkena autisme makin betambah. Di Canada dan Jepang
pertambahan ini mencapai 40% sejak tahun 1980. Di California pada tahun 2002
disimpulkan terdapat 9 kasus autis per-harinya.

Autisme mempengaruhi sekitar 0,5-1 dalam 1000 anak dengan rasio antara laki-
laki dan wanita 4:1. Menurut suatu studi, autisme meningkat di populasi kanak-
kanak. Pada tahun 1966, 4-5 bayi per 10.000 kelahiran dikembangkan autisme,
sedangkan pada tahun 2003, dua studi menunjukkan bahwa antara 14-39 bayi per
10.000 mengembangkan gangguan tersebut.

Badan Pusat Statistik mencatat, saat ini 1,5 juta anak di Indonesia yang
mengalami autis. Namun, karena terbatasnya sarana pendidikan luar biasa, baru
sekitar 50.000 anak yang mengenyam pendidikan. Diperkirakan 75-80%
penyandang autis ini mempunyai retardasi mental, sedangkan 20% dari mereka
mempunyai kemampuan yang cukup tinggi untuk bidang-bidang tertentu.

Estimasi prevalensi (peluang terjadinya) autisme antara 4-5 pasien/10.000


individu. Berdasarkan penelitian akhir-akhir ini diperkirakan prevalensi
meningkat menjadi 10-12/10.000 individu. Namun, mengingat pola hidup kurang
sehat di Negara maju pun sudah merambah masyarakat kota-kota besar di
Indonesia, fenomenanya diyakini mirip di seluruh dunia.

II.III. ETIOLOGI AUTISME

Etiologi pasti dari autis belum sepenuhnya jelas. Beberapa teori yang
menjelaskan tentang autisme yaitu:

1. Teori Psikoanalitik
Teori yang dikemukakan oleh Bruto Bettelheim (1967) menyatakan bahwa
autisme terjadi karena penolakan orangtua terhadap anaknya. Anak menolak
orang tuanya dan mampu merasakan perasaan negatif mereka. Anak tersebut
meyakini bahwa dia tidak memiliki dampak apapun pada dunia sehingga
menciptakan ”benteng kekosongan” untuk melindungi dirinya dari
penderitaan dan kekecewaan.

2. Teori Genetika
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki 3-4 kali beresiko lebih
tinggi dari wanita. Sementara risiko autis jika memiliki saudara kandung yang
juga autis sekitar 3%. Kelainan gen dari pembentuk metalotianin juga
berpengaruh pada kejadian autis. Metalotianin adalah kelompok protein yang
merupakan mekanisme kontrol tubuh terhadap tembaga dan seng. Fungsi
lainnya yaitu perkembangan sel saraf, detoksifikasi logam berat, pematangan
saluran cerna, dan penguat sistem imun. Disfungi metalotianin akan
menyebabkan penurunan produksi asam lambung, ketidakmampuan tubuh
untuk membuang logam berat dan kelainan sistem imun yang sering
ditemukan pada orang autis. Teori ini juga dapat menerangkan penyebab
lebih berisikonya laki-laki dibanding perempuan. Hal ini disebabkan karena
sintesis metalotianin ditingkatkan oleh estrogen dan progesteron.

3. Studi biokimia dan riset neurologis


Pemeriksaan post mortem otak dari beberapa penderita autistik menunjukkan
adanya dua daerah di dalam sistem limbik yang kurang berkembang yaitu
amygdala dan hippocampu. Kedua daerah ini bertanggung jawab atas emosi,
agresi, sensory input, dan belajar. Penelitian ini juga menemukan adanya
defisiensi sel Purkinje di serebelum. Dengan menggunakan MRI, telah
ditemukan dua daerah di serebelum, lobulus VI dan VII yang pada individu
autistik secara nyata lebih kecil daripada orang normal. Satu dari kedua
daerah ini dipahami sebagai pusat yang bertanggung jawab atas perhatian.
Dari segi biokimia jaringan otak, banyak penderita autistik menunjukkan
kenaikan dari serotonin dalam darah dan cairan serebrospinal dibandingkan
dengan orang normal.
II.IV. PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI AUTISME

Stabilitas intelegensia dan emosional seseorang tergantung pada motif-motif


internal seperti halnya informasi dari luar otak dan tubuhnya. Orang-orang yang
autistik mempunyai kecerdasan otak yang menampilkan dunia mereka dan yang
mengatur kesehatan jasmani mereka, tetapi mereka mempunyai permasalahan
berat dengan kepedulian, mempelajari dan meneliti tindakan, mereka juga
megalami kesulitan dengan berbagai permasalahan internal, serta regulasi diri.
Keterbatasan yang paling sering terlihat adalah persepsi dan responsivitas
terhadap apa yang sedang terjadi di dalam diri orang lain- bagaimana perasaan
mereka, apa yang sedang mereka sadari dan apa yang ingin mereka lakukan.
Untuk memahami gambaran psikologis yang khas tersebut diperlukan pemahaman
mengenai teori bagaimana otak mampu memetakan tubuh dan perilaku orang lain.

IV.I. Anatomi Otak

Penelitian post mortem menunjukkan adanya abnormalitas di daerah-daerah yang


berbeda pada otak anak-anak dan orang dewasa penyandang autisme yang
bebeda-beda pula. Pada beberapa bagian dijumpai adanya abnormalitas, biasanya
di lobus frontalis ( yang bertanggung jawab untuk pengaturan dan kontrol), atau
di system limbic ( bertanggung jawab untuk regulasi dan emosional), atau di
batang otak dan ventrikel ke-IV (bertanggung jawab untuk koordinasi gerak). Pada
penelitian ini tidak dijumpai abnormalitas tunggal, serta masih belum dapat
dipastikan abnormalitas mana yang khusus untuk autisme.

IV.II. Kimia Otak

Kimia otak yang paling jelas dijumpai abnormal kadarnya pada anak autisme
adalah Serotonin – hydroxytryptamine (5-HT), yaitu sebagai neurotransmitter
yang bekerja sebagai penghantar sinyal di sel-sel syaraf. Anak-anak penyandang
utisme dijumpai 30% dan 50% mempunyai kadar serotonin tinggi dalam darah.

IV.III. Hubungan Antara Kelainan Otak dan Gejala Klinis


Gangguan pada srebelum atau otak kecil dapat menyebabkan reaksi atensi yang
lebih lambat, kesulitan dalam pemrosesan persepsi atau membedakan target,
overselektivitas dan kegagalan mengeksplorasi lingkungan. Derajat orientasi yang
lambat terhadap stimulus visual berhubungan dengan kelainan serebelum, bukan
dengan kelainan frontal. Kerusakan pada jaras serebelum-talamus-frontal
menyebabkan kesulitan dalam hal belajar suatu prosedur.

Pada anak normal, serebelum atau otak kecil mengalami aktivasi selama anak
melakukan eksekusi motorik, belajar sensori-motor, atensi, working memmory,
dan bahasa. Gangguan berat pada serebelum akan menyebabkan gangguan pada
fungsi-fungsi tersebut.

IV.IV. Patofisiologi Autisme


Terdapat beberapa teori yang merujuk pada patofisiologi terjadinya autisme pada
anak. Berikut adalah beberapa teori yang dapat menyebabkan terjadinya autisme :
 Teori Ketidak seimbangan Neurotransmiter
Bahan-bahan kimiawi monoamine, 5HT (5 hdroxytryptamine/serotonine)
dan cathecolamine (adrenalin atau epinephrine, dopamine, dan noradrenaline)
telah banyak diteliti secara luas pada autisme karena keterlibatannya dalam
menimbulkan gangguan tingkah laku dan efek dari dari antagonis dopamine yang
mengurangi gejala-gejala atau tingkah laku pada autisme.

Norephineprine (NE) dan Epinephrine terlibat dalam mengatur perhatian


dan stimulasi, gangguan pada transpor neurotransmiter ini juga dikaitkan dengan
autisme. Bahan-bahan ini berfungsi untuk system sensoris, belajar, ingatan, nafsu
makan, tidur dan fungsi motorik. Sehingga adanya ketidak seimbangan
neurotansmiter tersebut dapat mengakibatkan gangguan-gangguan fungsinya.

Dan beberapa penelitian telah mendeteksi kenaikan 5HT didalam darah


pada pasien-pasien autistik, selain itu juga adanya peninggian serotonin platelet
dalam darah dan urin. Maka pemberian inhibitor serotonin memperbaiki gejala-
gejala autisme.
Wanita hamil dalam keadaan normal mempunyai kadar Dopamine dan
Serotonine serum maternal meninggi dan diekspresikan pada jonjot plasenta.
Neurotransmitter ini berfungsi pada regulasi pertumbuhan dan kehidupan sel saraf
/otak bayi. Aktivitas enzim Dopamine Beta Hydroxylase (DBH) serum menurun
pada hampir semua ibu yang mempunyai 2 anak laki-laki autistik (multipleks).
Penurunan ini berhubungan dengan alel spesifik DBH yang disebut DBH- (ada
tanda minus). Karena DBH berfungsi untuk mengkonversi Dopamine ke
Norepinephrine, maka Dopamine dalam sirkulasi akan meninggi pada ibu yang
mempunyai alel DBH- homozigot. Kenaikan Dopamine level bersama-sama
dengan kenaikan normal Dopamine dan 5HT selama kehamilan akan mengganggu
sistem penghantar sel-sel saraf sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan
awal bayi dan diduga dapat menyebabkan autisme/PDD.

 Teori Gangguan Pencernaan ( Inflamantory Bowel Disease) dan


Imunisasi
Telah diketahui bahwa penyandang Autistik mempunyai sistem
pencernaan yang kurang sempurna. Makanan tersebut berupa susu sapi (casein)
dan tepung terigu (gluten) yang tidak tercerna dengan sempurna. Protein dari
kedua makanan ini tidak semua berubah menjadi asam amino yang seharusnya
dibuang lewat urine. Ternyata pada penyandang autistik, peptide ini diserap
kembali oleh tubuh, masuk kedalam aliran darah, masuk ke otak dan dirubah oleh
reseptor opioid menjadi morphin yaitu casomorphin dan gliadorphin, yang
mempunyai efek merusak sel-sel otak dan membuat fungsi otak terganggu. Fungsi
otak yang terkena biasanya adalah fungsi kognitif, reseptif, atensi dan perilaku.

Vaksin MMR yang diduga memicu reaksi autoimunitas tubuh terhadap


myelin basic protein (MBP) atau protein myelin (lemak pelindung) pada otak
yang terdapat pada grup anak-anak rentan. Reaksi tersebut dapat menyebabkan
kerusakan dari sel-sel saraf otak. Selain itu juga dikatakan bahwa vaksin MMR
juga dapat memicu peradangan dari intestinal, yang menyebabkan toksin beredar
dalam sirkulasi darah. Dan toksin tersebut diduga masuk kedalam jaringan otak
yang menyebabkan kerusakan dan dimanifestasikan sebagai gejala klinis dari
autisme. Teori didapat berdasarkan data patologi usus halus yang berhubungan
dengan jenis virus dari vaksin campak, dan temuan genome virus yang berasal
dari vaksin dalam jaringan usus halus dan sel-sel mononuklear di bagian tepi
darah satu subkelompok anak-anak autis.

Dan Vaksin yang mengandung Thimerosal, atau dikenal pula Sodium 2-


etilmerkuri Thiosalisilat atau Sodium-2etilmerkuriotihiobenzoate, suatu senyawa
merkuri organik yang bersifat neurotoksik jika tidak dapat dimeaboloime tubuh
dan telah lama digunakan sebagai pengawet dan penstabil dalam vaksin.
Normalnya kandungan merkuri dalm thiomerosal adalah gugus etilmerkuri dari
senyawa organik yang akan dimetabolisme bila masuk kedalam tubuh hingga
kemudian diekskresi melalui saluran cerna, tapi jika melebihi ambang batas yang
tidak dapat ditoleransi oleh anak, dan masuk ke peredaran darah sehingga
mencapai otak maka dapat meningkatkan jumlah kematian saraf atau sel-sel otak
yang dapat menyebakan autisme. Menurut WHO kadar Thimerosal dalam vaksin
yang diperbolehkan adalah 0,005%-0,02%.

I. MANIFESTASI KLINIS AUTISME


a. Gangguan kualitatif dalam interaksi social
Interaksi social pada anak autistic dibagi dalam 3 kelompok :
1. Kelompok yang menyendiri (aloof): banyak terlihat pada anak-anak
yang menarik diri, acuh tak acuh dan akan kesal bila diadakan
pendekatan sosial serta menunjukkan perilaku dan perhatian yang
terbatas atau tidak hangat
2. Kelompok yang pasif : dapat menerima pendekatan social dan
bermaind engan anak lain jika pola permainanannya disesuaikan
dengan dirinya.
3. Kelompok yang aktif tapi aneh : secara spontan akan mendekati
anak lain, namun interaksi ini sering kali tidak sesuai dan sering
hanya sepihak.
Hambatan social pada autism berubah sesuai dengan
perkembangan usia, biasanya dengan bertambahnya usia hambatan
tampak semakin berkurang.
 Sejak tahun pertama, anak autistik mungkin telah menunjukkan
adanya gangguan pada interaksi sosial yang timbal balik, seperti
menolak unutk disayang atau dipeluk, tidak menyambut ajakan
ketika akan diangkat dengan mengangkat kedua lengannya, kurang
dapat meniru pembicaraan atau gerakan badan, gagal menujukkan
suatu obyek kepada orang lain, adanya gerakan pandangan mata
yang abnormal.
 Permainan yang bersifat timbale balik mungkin tidak akan terjadi.
 Sebagian anak autistik tampak acuh tak acuh atau tidak bereaksi
terhadap pendekatan orangtuanya, sebagian lainnya malah merasa
cemas bila berpisah dan melekat pada orangtuanya.
 Anak-anak ini gagal dalam mengembangkan permainan bersama
teman-temannya, mereka lebih suka bermain sendiri.
 Keinginan untuk menyendiri yang sering tampak pada masa kanak
akan makin menghilang dengan bertambahnya usia.
 Walaupun mereka berminat untuk mengadakan hubungan dengan
teman, seringkali terdapat hambatan karena ketidakmampuan
mereka unutk memahami aturan-aturan yang berlaku di dalam
interaksi sosial. Kesadaran sosial yang kurang ini mungkin yang
menyebabkan mereka tidak mampu untuk memahami ekspresi
wajah orang, ataupun untuk mengekspresikan perasaannya baik
dalam bentuk vokal maupun ekspresi wajah. Kondisi ini
menyebabkan anak autisme tidak dapat berempati kepada orang
lain yang merupakan suatu keubutuhan penting pada interaksi
sosial yang normal.
b. Hambatan kualitatif dalam komunikasi verbal atau nonverbal
dan dalam bermain :
 Keterlambatan dan abnormalitas dalam berbahasa dan berbicara
merupakan keluhan yang sering diajukan para orangtua, sekitar
50% mengalami hal ini.
 Bergumam yang biasanya muncul sebelum dapat mengucapkan
kata-kata, mungkin tidak nampak pada anak autis.
 Sering mereka tidak memahami ucapan yang ditujukan pada
mereka.
 Biasanya mereka tidak menunjuk ataupun memakai gerakan tubuh
untuk menyampaikan keinginannya, tetapi dengan mengambil
tangan orangtuanya untuk dipakai mengambil obyek yang
dimaksud.
 Mereka mengalami kesukaran dalam memahami arti kata-kata dan
juga kesukaran dalam menggunakan bahasa dalam konteks yang
sesuai atau benar.
 Satu kata yang mempunyai banyak arti mungkin sulit untuk dapat
dimengerti oleh mereka.
 Anak autis sering mengulang kata-kata yang baru saja mereka
dengar atau pernah ia dengar sebelumnya tanpa maksud untuk
berkomunikasi.
 Bila bertanya sering menggunakan kata ganti orang dengan
terbalik, ‘saya’ jadi ‘kamu’ dan menyebut diri sendiri sebagai ‘kamu’.
 Sering berbicara pada diri sendiri dan mengulang potongan kata
atau lagu dari iklan televisi dan mengucapkannya di muka orang
lain dalam suasana yang tidak sesuai.
 Pengunaan kata-kata yang ‘aneh’ atau dalam arti kiasan, seperti
seorang anak berkata ‘sembilan’ setiap kali ia melihat kereta api.
 Sukar berkomunikasi walaupun dapat berbicara dengan baik,
karena tidak tahu kapan giliran mereka bicara, memilih topik
bicaranya. Mereka akan terus mengulang pertanyaan biarpun
mereka telah mengetahui jawabannya atau memperpanjang
pembicaraan tentang topik yang mereka sukai tanpa mempedulikan
lawan bicaranya.
 Bicaranya sering monoton, kaku, atau menjemukan.
 Sukar mengatur volume suara, tidak tahu kapan mesti
merendahkan volume suara, misal di restoran atau sedang
membicarakan hal-hal yang bersifat pribadi.
 Sukar mengekspresikan perasaan atau emosinya melalui nada
suara.
 Komunikasi nonverbal juga mengalami gangguan. Mereka sering
tidak menggunakan gerakan tubuh dalam berkomunikasi unutk
mengekspresikan perasaannya atau untuk meraba-rasakan
perasaan orang lain, misalnya menggelengkan kepala,
melambaikan tangan, mengangkat alis dsb.
C. Aktivitas dan minat yang terbatas :
 Abnormalitas dalam bermain terlihat pada anak autistik, seperti
stereotipi, diulang-ulang, dan tidak kreatif. Beberapa anak tidak
menggunakan mainannya dengan sesuai, juga kemampuannya
untuk menggantikan suatu benda dengan benda lain yang sejenis
sering tidak sesuai.
 Anak autistik menolak adanya perubahan lingkungan dan rutinitas
baru. Contohnya serorang anak autistik akan mengalami kesukaran
bila jalan yang biasa ia tempuh ke sekolah diubah atau piring yang
biasa ia pakai unutk makan diganti. Mainan baru mungkin akan
ditolak sampai berminggu-minggu kemudian baru bisa ia terima.
Mereka kadang juga memaksakan rutinitas pada orang lain,
contohnya seorang anak laki-laki akan menangis bila waktu naik
tangga ibu tidak menggunakan kaki kanannya lebih dulu.
 Mereka juga sering memaksa orangtua unutk mengulang suatu
kata atau potongan kata.
 Dalam hal minat : terbatas, sering aneh dan diulang-ulang. Misal
mereka sering membuang waktu berjam-jam hanya untuk
memainkan sakelar listrik, memutar-mutar botol, atau mengingat-
ingat rute kereta-api.
 Sulit dipisahkan dari suatu benda yang tidak lazim dan menolak
meninggalkan rumah tanpa benda tersebuh, misalnya seorang
anak laki-laki yang selalu membawa penghisap debu kemanapun.
 Stereotipi tampak pada hampir semua anak autis termasuk
melompat naik turun, memainkan jari-jari tangannya di depan mata,
menggoyang-goyang tubuhnya, atau menyeringai.
 Mereka juga menyukai obyek yang berputar, seperti memandang
putaran kipas angin, roda mobil, atau mesin cuci.
d. Gangguan kognitif :
Hampir 75-80% anak autistik mengalami retardasi mental, dengan
derajat retardasinya rata-rata sedang. Beberapa orang autistik
menunjukkan kemampuan memecahkan masalah yang luar biasa, seperti
mempunyai daya ingat yang sangat baik, kemampuan membaca yang di
atas batas penampilan intelektualnya (hiperleksia).
e. Gangguan pada perilaku motorik
Kebanyakan anak autistik menunjukkan adanya stereotipi, seperti
bertepuk-tepuk tangan, menggoyang-goyang tubuh. Hiperaktivitas biasa
terjadi terutama pada anak prasekolah. Beberapa anak juga menunjukkan
perhatian yang tersebar dan impulsivitas. Juga didapatkan adanya
koordinasi motorik yang terganggu, tiptoe walking, clumsiness, kesulitan
belajar mengikat tali sepatu, menyikat gigi, memotong makanan,
mengancing baju.
f. Reaksi abnormal terhadap perangsangan indera
Beberapa anak menunjukkan hipersensitivitas terhadap suara
(hiperakusis) dan menutup telinganya bila mendengar suara yang keras
seperti suara petasan, gonggongan anjing, atau sirine polisi. Anak lain
mungkin justru lebih tertarik dengan suara jam tangan, atau remasan
kertas. Sinar yang terang, termasuk sinar lampu sorot di ruang praktek
dokter gigi, mungkin membuatnya tegang, walau beberapa anak malah
menyukai sinar. Mereka mungkin sangat sensitif terhadap sentuhan,
memakai baju yang terbuat dari serat yang kasar, seperti wol, atau baju
dengan label yang masih menempel, atau berganti baju dari lengan
pendek menjadi lengan panjang, semua itu dapat membuat mereka
temper tantrums. Di lain pihak ada juga anak yang tidak peka terhadap
rasa sakit dan tidak menangis saat mengalami luka yang parah. Anak
mungkin tertarik pada rangsang indera tertentu seperti obyek yang
berputar.
g. Gangguan tidur dan makan
Gangguan tidur berupa terbaliknya pola tidur, terbangun tengah
malam. Gangguan makan berupa keengganan terhadap makanan tertentu
karena tidak menyukai tekstur atau baunya, menuntut hanya makan jenis
makanan yang terbatas, menolak mencoba makanan baru, atau pika
(makan zat-zat yang bukan makanan, misal debu, pasir, dll.) dapat sangat
menyulitkan para orang tua.
h. Gangguan afek dan mood atau perasaan atau emosi
Beberapa anak menunjukkan perubahan mood yang tiba-tiba,
mungkin menangis atau tertawa tanpa alasan yang jelas. Sering tampak
tertawa sendiri, beberapa anak tampaknya mudah menjadi emosional.
Rasa takut yang sangat kadang-kadang muncul terhadap obyek yang
sebetulnya tidak menakutkan. Cemas perpisahan yang berat, juga depresi
berat mungkin ditemukan pada anak autistik.
i. Perilaku yang membahayakan diri sendiri dan agresivitas melawan
orang lain
Ada kemungkinan mereka menggigit lengan, tangan atau jari
sendiri, sampai berdarah. Membentur-benturkan kepala, mencubit,
menarik rambut sendiri atau memukuli diri sendiri. Temper tantrums,
ledakan agresivitas tanpa pemicu, kurangnya perasaan terhadap bahaya
dapat terjadi pada anak autistik.
j. Gangguan kejang
Terdapat kejang epilepsi pada sekitar 10-25% anak autistik. Ada
korelasi yang tinggi antara serangan kejang dengan beratnya retardasi
mental dan derajat disfungsi susunan saraf pusat.

II. DIAGNOSA
1. Anamnesa : Informasi tentang emosi anak, sosial, komunikasi,
kemampuan kognitif .
2. Observasi langsung dan interaksi.
Orang tua dan anggota keluarga ataupun pengasuh harus terlibat
dalam pemeriksaan ini supaya didapatkan informasi yang penting
diketahui oleh pemeriksa
Pemeriksaan medis (disesuaikan dengan kebutuhan anak)
 Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan neurologis
 Tes neuropsikologis
 Tes pendengaran dengan BERA atau tes lain
 Tes ketajaman penglihatan
 Berbagai rating scales, misalnya CARS (Childhool Autism Rating
Scale), GARS (Gillian Autism Rating Scale), dll.
 MRI (Magnetic Resonance Imaging), Ct Scan, Brain Mapping,
SPECT dan PET
 EEG (electroencephalogram)
 Pemeriksaan sitogenetik untuk abnormalitas kromosom
 Pemeriksaan lain yang belum berdasarkan Evidence Based
Medicine misal : analisis tinja, rambut, alergi, imunologis, jamur,
tiroid, antimyelin basic protein, dll.

Berdasarkan DSM-IV
A. Harus ada sedikitnya 6 gejala dari (1), (2), dan (3) dengan minimal
harus ada 2 gejala dari (1), dan satu gejala masing-masing dari (2) dan
(3)
(1). Gangguan kualitatif dalam interaksi social, minimal harus ada 2
manifestasi.
a. Hendaya dalam perilaku nonverbal seperti : kontak mata sangat
kurang, ekspresi muka kurang hidup, sikap tubuh atau gerak tubuh
dalam interaksi sosial.
b. Kegagalan dalam berhubungan dengan anak sebaya sesuai
dengan perkembangannya.
c. Tidak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain.
d. Kurangnya hubungan sosial dan emosional.
(2). Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi, minimal 1 gejala di
bwah ini :
a. Bicara terlambat atau bahkan sama sekali tak berkembang (tak
ada usaha untuk mengimbangi komunikasi dengan cara lain tanpa
bicara).
b. Bila bisa bicara tidak dipakai untuk komunikasi.
c. Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang.
d. Cara bermain kurang variasi, kurang imajinatif dan kurang bisa
meniru.
(3). Suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku,
minat, dan kegiatan. Sedikitnya harus ada 1 gejala di bawah ini :
a. Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang sangat
khas dan berlebihan.
b. Terpaku pada satu kegiatan ritual atau rutin yang tidak ada
gunanya.
c. Terdapat gerakan-gerkan aneh yang khas berulang-ulang.
d. Seringkali terpukau pada bagian-bagian benda.
B. Sebelum usia 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan
dalam bidang :
1. Interaksi social
2. Bicara dan berbahasa
3. Cara bermain yang kurang variasi
C. Gangguan tersebut buka disebabkan karena sindrom Rett atau
gangguan disintegrative masa kanak-kanak (Childhood Disintegrative
Disorder).

Diagnosa berdasarkan PPDGJ III


Autisme masa kanak
 Gangguan perkembangan pervasif yang ditandai oleh adanya
kelainan dan/atau hendaya perkembangan yang muncul sebelum
usia 3 tahun, dan dengan ciri kelainan fungsi dalam tiga bidang :
interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku yang terbatas dan
berulang.
 Biasanya tidak jelas ada periode perkembangan yang normal
sebelumnya, tetapi bila ada, kelainan perkembangan sudah
menjadi jelas sebelum usia 3 tahun, sehingga diagnosis sudah
dapat ditegakkkan. Tetapi gejala-gejalanya (sindrom) dapat
didiagnosis pada semua kelompok umur.
 Selalu ada hendaya kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal
baik (reciprocal social interaction). Ini berbentuk apresiasi yang
tidak adekuat terhadap isyarat sosio-emosional, yang tampak
sebagai kurangnya respons terhadap emosi orang lain dan/atau
kurangnya modulasi terhadap perilaku dalam konteks sosial;
buruk dalam menggunakan isyarat sosial dan integrasi yang
lemah dalam perilaku sosial, emosional dan komunikatif, dan
khususnya, kurangnya respons timbal balik sosio-emosional.
 Demikian juga terdapat hendaya kualitatif dalam komunikasi. Ini
berbentuk kurangnya penggunaan keterampilan bahasa yang
dimiliki di dalam hubungan sosial; hendaya dalam permainan
imaginatif dan imitasi sosial; keserasian yang buruk dan
kurangnya interaksi timbal balik dalam percakapan; buruknya
keluwesan dalam bahasa ekspresif dan kreativitas dan fantasi
dalam proses pikir yang relatif kurang; kurangnya respons
emosional terhadap ungkapan verbal dan non-verbal orang lain;
hendaya dalam menggunakan variasi irama atau penekanan
sebagai modulasi komunikatif; dan kurangnya isyarat tubuh untuk
menekankan atau memberi arti tambahan dalam komunikasi lisan.
 Kondisi ini juga ditandai oleh pola perilaku, minat dan kegiatan
yang terbatas, berulang dan stereotipik. Ini berbentuk
kecenderungan untuk bersikap kaku dan rutin dalam berbagai
aspek kehidupan sehari-hari; biasanya berlaku untuk kegiatan
baru dan juga kebiasaan sehari-hari serta pola bermain. Terutama
sekali dalam masa kanak yang dini, dapat terjadi kelekatan yang
khas terhadap benda-benda yang aneh, khususnya benda yang
tidak lunak. Anak dapat memaksakan suatu kegiatan rutin dalam
ritual yang sebetulnya tidak perlu; dapat terjadi preokupasi yang
stereotipik terhadap suatu minat seperti tanggal, rute atau jadwal;
sering terdapat stereotipi motorik; sering menunjukkan minat
khusus terhadap segi-segi nonfungsional dari benda-benda
(misalnya bau atau rasanya); dan terdapat penolakan terhadap
perubahan dari rutinitas atau dalam detil dari lingkungan hidup
pribadi (seperti perpindahan mebel atau hiasan dalam rumah).
 Semua tingkatan IQ dapat ditemukan dalam hubungannya dengan
autisme, tetapi pada tiga perempat kasus secara signifikan
tedapat retardasi mental.
Autisme tak khas
 Gangguan perkembangan pervasif yang
berbeda dari autisme dalam hal usia onset
maupun tidak terpenuhinya ketiga kriteria
diagnostik. Jadi kelainan dan/atau hendaya
perkembangan menjadi jelas untuk pertama
kalinya pada usia setelah 3 tahun; dan/atau
tidak cukup menunjukkan kelainan dalam satu
atau dua dari tiga bidang psikopatologi yang
dibutuhkan untuk diagnosis autisme (interaksi
sosial tibmal-balik komunikasi, dan perilaku
terbatas, stereotipik, dan berulang) meskipun
terdapat kelianan yang khas daalam bidang
lain.
 Autisme tak khas sering muncul pada individu
dengan retardasi mental yang berat, yang
sangat rendah kemampuannya, sehingga
pasien tidak mampu menampakkan gejala
yang cukup untuk menegakkan diagnosis
autisme; ini juga tampak pada individu dengan
gangguan perkembangan yang khas dari
bahasa reseptif yang berat.

III. DIAGNOSIS BANDING


1. Skizofrenia dengan onset masa anak-anak
Skizofrenia jarang pada anak-anak di bawah 5 tahun. Skizofrenia disertai
dengan halusinasi atau waham, dengan insidensi kejang dan retardasi mental yang
lebih rendah dan dengan I.Q yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak
autistik.9

Kriteria Gangguan Autistik Skizofrenia dengan onset


masa anak-anak
Usia onset <38 bulan >5 tahun
Insidensi 2-5 dalam 10.000 Tidak diketahui,
kemungkinan sama atau
bahkan lebih jarang
Rasio jenis kelamin 3-4:1 1,67:1
(L:P)
Riwayat keluarga Tidak naik atau Naik
skizofrenia kemungkinan tidak naik
Status sosioekonomi Terlalu mewakili Lebih sering pada SSE
kelompok SSE tinggi Rendah
(artefak)
Penyulit prenatal dan Lebih sering pada Lebih jarang pada
perinatal dan gangguan autistik skizofrenia
disfungsi otak
karakteristik perilaku Gagal untuk Halusinasi dan waham,
mengembangkan gangguan pikiran
hubungan
: tidak ada bicara
(ekolalia);
frasa stereotipik; tidak ada
atau buruknya
pemahaman
bahasa; kegigihan atas
kesamaan dan stereotipik.
fungsi adaptif Biasanya selalu terganggu Pemburukan fungsi
Tingkat inteligensi Pada sebagian besar kasus Dalam rentang normal,
subnormal, sering sebagian besar normal
terganggu parah (70%) bodoh (15%-70%)
Pola I.Q. Jelas tidak rata Lebih rata
Kejang Grand mal 4-32% Tidak ada atau insidensi
Rendah
2. Retardasi mental dengan gangguan emosional/perilaku
Kira-kira 40% anak autistik adalah teretardasi sedang, berat atau sangat
berat, dan anak yang teretardasi mungkin memiliki gejala perilaku yang termasuk
ciri autistik. Ciri utama yang membedakan antara gangguan autistik dan retardasi
mental adalah :9
1. Anak teretardasi mental biasanya berhubungan dengan orang tua atau
anak-anak lain dengan cara yang sesuai dengan umur mentalnya.
2. Mereka menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dengan orang lain.
3. Mereka memilki sifat gangguan yang relatif tetap tanpa pembelahan
fungsi.9
3. Gangguan bahasa reseptif /ekspresif campuran
Sekelompok anak dengan gangguan bahasa reseptif/ekspresif memiliki ciri
mirip autistik.9
Kriteria Gangguan autistik Gangguan bahasa
reseptif/ekspresif
campuran
Insidensi 2-5 dalam 10.000 5 dalam 10.000
Ratio jenis kelamin (L:P) 3-4 : 1 sama atau hampir sama
Riwayat keluarga adanya 25 % kasus 25 % kasus
keterlambatan bicara /
gangguan bahasa
Ketulian yang sangat jarang tidak jarang
Berhubungan
Komunikasi nonverbal tidak ada/rudimenter Ada
(gerak gerik, dll)
Kelainan bahasa lebih sering lebih jarang
(misalnya ekolalia, frasa
stereotipik diluar
konteks)
Gangguan artikulasi lebih jarang lebih sering
Tingkat intelegensia sering terganggu parah Walaupun mungkin
terganggu, seringkali
kurang parah
Pola test IQ tidak rata, rendah pada lebih rata, walaupun IQ
skor verbal, rendah pada verbal lebih rendah dari
sub test pemahaman IQ kinerja
Perilaku autistik, lebih sering dan lebih tidak ada atau jika ada,
gangguan kehuidupan parah kurang parah
sosial, aktivitas
stereotipik dan ritualistik
Permainan imaginatif tidak ada/rudimenter biasanya ada
4. Afasia didapat dengan kejang
Afasia didapat dengan kejang adalah kondisi yang jarang yang kadang
sulit dibedakan dari gangguan autistik dan gangguan disintegratif masa anak-anak.
Anak-anak dengan kondisi ini normal untuk beberapa tahun sebelum kehilangan
bahasa reseptif dan ekspresifnya selama periode beberapa minggu atau beberapa
bulan. Sebagian akan mengalami kejang dan kelainan EEG menyeluruh pada saat
onset, tetapi tanda tersebut biasanya tidak menetap. Suatu gangguan yang jelas
dalam pemahaman bahasa yang terjadi kemudian, ditandai oleh pola berbicara
yang menyimpang dan gangguan bicara. Beberapa anak pulih tetapi dengan
gangguan bahasa residual yang cukup besar.9
5. Ketulian kongenital atau gangguan pendengaraan parah
Anak-anak autistik sering kali dianggap tuli oleh karena anak-anak
tersebut sering membisu atau menunjukkan tidak adanya minat secara selektif
terhadap bahasa ucapan. Ciri-ciri yang membedakan yaitu bayi autistik mungkin
jarang berceloteh sedangkan bayi yang tuli memiliki riwayat celoteh yang relatif
normal dan selanjutnya secara bertahap menghilang dan berhenti pada usia 6
bulan – 1 tahun. Anak yang tuli berespon hanya terhadap suara yang keras,
sedangkan anak autistik mungkin mengabaikan suara keras atau normal dan
berespon hanya terhadap suara lunak atau lemah. Hal yang terpenting, audiogram
atau potensial cetusan auditorik menyatakan kehilangan yang bermakna pada anak
yang tuli. Tidak seperti anak-anak autistik, anak-anak tuli biasanya dekat dengan
orang tuanya, mencari kasih sayang orang tua dan sebagai bayi senang
digendong.9
6. Pemutusan psikososial
Gangguan parah dalam lingkungan fisik dan emosional (seperti pemisahan
dari ibu, kekerdilan psikososial, perawatan di rumah sakit, dan gagal tumbuh)
dapat menyebabkan anak tampak apatis, menarik diri, dan terasing. Keterampilan
bahasa dan motorik dapat terlambat. Anak-anak dengan tanda tersebut hamper
selalu membaik dengan cepat jika ditempatkan dalam lingkungan psikososial
yang menyenangkan dan diperkaya, yang tidak terjadi pada anak autistik.9

IV. PENANGANAN AUTISME


Penanganan anak-anak autisme sangat sukar untuk disembuhkan. Bukan
saja oleh karena isolasi mentalnya sudah merupakan dunia anak yang sudah
mantap dan yang disenangi, akan tetapi semua anggota rumah tangga harus ikut
serta dalam terapi kelompok.7 Gangguan autisme tidak bisa disembuhkan secara
total tetapi gejala-gejala yang timbul dapat dikurangi semaksimal mungkin agar
anak tersebut dapat berbaur dalam lingkungan yang normal. 8
Penanganan yang baik untuk gangguan autisme adalah dengan terapi
terpadu. Terapi terpadu ini melibatkan keluarga ,psikiater,psikolog,neurolog,
dokter anak,terapis bicara dan pendidik.8
Beberapa terapi yang dapat dijalankan antara lain:
a. Terapi medikamentosa
b. Terapi psikolog
c. Terapi wicara
d. Dll.
a. Terapi medikamentosa
Pemberian obat pada anak harus didasarkan pada diagnosis yang tepat,
pemakaian obat yang tepat, pemantauan ketat terhadap efek samping dan
mengenali cara kerja obat. Perlu diingat bahwa setiap anak memiliki ketahanan
yang berbeda-beda terhadap efek obat, dosis obat dan efek samping. Oleh karena
itu perlu ada kehati-hatian dari orang tua dalam pemberian obat yang umumnya
berlangsung jangka panjang. Saat ini pemakaian obat diarahkan untuk
memperbaiki respon anak sehingga diberikan obat-obat psikotropika jenis baru
seperti obat-obat antidepressan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor)
yang bisa memberikan keseimbangan antara neurotransmitter serotonin dan
dopamin. Yang diinginkan dalam pemberian obat ini adalah dosis yang paling
minimal namun paling efektif dan tanpa efek samping. Pemakaian obat akan
sangat membantu untuk memperbaiki respon anak terhadap lingkungan sehingga
ia lebih mudah menerima tata laksana terapi lainnya. Bila kemajuan yang dicapai
cukup baik, maka pemberian obat dapat dikurangi bahkan dihentikan.
b. Terapi psikolog
Pada umumnya pengobatan difokus pada inti dari gangguan. Penyandang
autisme biasanya kurang motivasi untuk menanggapi rangsangan yang kompleks,
ini merupakan inti masalah dan intervensi yang diberikan harus ditujukan untuk
memotivasi agar dapat memulai berinteraksi sosial.1

Beberapa pendekatan yang komprehensif dalam intervensi autisme memiliki


tujuan :8
1. Membantu perkembangan kognitif, bahasa dan sosial yang normal.
2. Meningkatkan kemampuan belajar anak autistik.
3. Mengurangi kekakuan dan perilaku stereotype dengan
meningkatkan interaksi penyandang autis dengan orang lain dan
tidak membiarkannya “hidup sendiri” . Interaksi yang kurang justru
akan menyebabkan munculnya perilaku-perilaku yang tidak
dikehendaki. Dalam hal ini pemberian mainan yang bervariasi juga
dapat mengurangi kekakuan ini.
4. Mengurangi perilaku maladaptive seperti temper tantrum dan melukai
diri sendiri.
5. Mengurangi stress pada keluarga penderita autisme
Setelah seorang anak didiagnosa autisme, orang tua perlu diberikan
pengertian mengenai kondisi anak dan mampu menerima anak mereka yang
menderita autis. Mereka juga dilibatkan dalam proses terapi ( Home training ).
Konsep yang ada dalam home training ini adalah orang tua belajar dan dilatih
untuk dapat melakukan sendiri terapi yang dilakukan psikolog/terapis. Terapi
tidak hanya dilakukan oleh terapis tetapi juga oleh keluarga di rumah. Terapi yang
intensif akan meminimalisir kemungkinan hilangnya kemampuan yang telah
dilatih dan dikuasai anak.
c. Terapi wicara
Umumnya hampir semua penyandang autisme menderita gangguan bicara
dan berbahasa. Oleh karena itu terapi wicara pada penyandang autisme merupakan
keharusan. Penanganannya berbeda dengan penderita gangguan bicara oleh sebab
lain. Terapi wicara ini diberikan agar kemampuan berkomunikasi pada
penyandang autis dapat bertambah begitu pula agar terciptanya interaksi dengan
orang lain.8

V. PROGNOSIS

Prognosis anak autisme dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:

 Berat ringannya gejala atau kelainan otak


 Usia, diagnosis dini sangat penting oleh karena semakin muda umur
anak saat dimulainya terapi semakin besar kemungkinan untuk
berhasil
 Kecerdasan, makin cerdas anak tersebut makin baik prognosisnya
 Bicara dan bahasa, 20% anak autis tidak mampu berbicara seumur
hidup, sedangkan sisanya mempunyai kemampuan bicara dengan
kefasihan yang berbeda-beda.
 Terapi yang intensif dan terpadu. Penanganan/intervensi terapi pada
anak autisme harus dilakukan dengan intensif dan terpadu. Seluruh
keluarga harus terlibat untuk memacu komunikasi dengan anak.
Penanganan anak autisme memerlukan kerjasama tim yang terpadu
yang berasal dari berbagai disiplin ilmu antara lain psikiater,
psikolog, neurolog, dokter anak, terapis bicara dan pendidik.
Prognosis untuk penderita autisme tidak selalu buruk. Pada gangguan
autisme, anak yang mempunyai IQ diatas 70 dan mampu
menggunakan komunikasi bahasa mempunyai prognosis yang baik.
Berdasarkan gangguan pada otak, autisme tidak dapat sembuh total
tetapi gejalanya dapat dikurangi, perilaku dapat diubah ke arah positif
dengan berbagai terapi.

II. TERAPI SNOEZELEN


Snoezelen memberikan pengaruh melalui rangsangan pada Sistem Saraf Pusat
(SSP). Stimulasi rangsangan yang diberikan melalui penglihatan, pendengaran,
sentuhan, rasa kecap, aroma, sistem keseimbangan atau vetibular, dan juga
proprioseptif.

II.I.DEFINISI DAN PERKEMBANGAN TERAPI SNOZELEN


Pada pertengahan tahun 1960-an dua psikolog asal Amerika, yaitu Cleland dan
Clark, mengembangkan konsep multi-sensory environment. Mereka
mengungkapkan pendapt bahwa stimulasi sensori dapat membantu perbaikan
secara klinis, memperbaiki masalah komunikasi, dan perilaku pada penderita
disabilitas. Pada saat itu, mereka membuat “sensory cafetarias” yang merupakan
sebuah ruangan, dengan lingkungan yang menstimulasi dan memberikan
rangsangan pada pasien dengan gangguan kognitif dan gangguan secara fisik.
Pada saat yang bersamaan pasien dapat merasakan penglihatan, pendengaran,
penciuman, dan perabaan yang berbeda-beda.
Pada akhir tahun 1970-an terapis asal Belanda, bernama Jan Hulsegge dan Ad
Verheul bekerja khusus untuk orang-orang dengan disabilitas intelektual dan
mengembangkan konsep multi-sensory environment. Mereka mengembangkan
konsep tersebut yang kemudian dikenal dengan nama “Snoezelen” yang berasal
dari dua kata dalam bahasa Belanda, yaitu ‘snuffelen’ yang dalam bahasa Inggris
diartikan sebagai ‘to sniff’; dan ‘doezelen’ yang dalam bahasa Inggris diartikan
sebagai ‘to doze’.
Proyek pertama Hulsegge dan Verheul sangat sederhana, yaitu sebuah kolam,
diberikan atap, dengan pemisah yang terbuat dari plastik. Kemudian diberikan
tambahan berupa kertas yang ditiup, diberikan warna-warna dengan cat air, dan
ditamplikan di layar. Utuk rangsang auditori, diberikan musik instrumen. Ada
benda-benda juga yang bisa disentuh. Untuk rangsang penciuman, diberikan
sabun dan makanan beraroma.
Hulsegge dan Verheul kemudian memperhatikan proses yang dialami oleh para
pasien. Pasien yang diberikan terapi tersebut memiliki gangguan fungsi dan
gangguan komunikasi, baik secara verbal maupun non-verbal. Berdasarkan hasil
pengamatan mereka, terdapat perbaikan bagi para pasien tersebut.
Keberhasilan Husegge dan Verheul ini kemudian menarik perhatian banyak
terapis. Sehingga terapis-terapis mulai membangun ruangan permanen untuk
terapi Snoezelen tersebut.
Hingga saat ini terdapat banyak perusahaan atau yayasan yang mengandalkan
terapi Snoezelen. Sebuah perusahaan di Inggris, membuat hak cipta atas terapi
Snoezelen, dengan nama ROMPA International. Perusahaan ini membangun
lingkungan atau ruangan Snoezelen yang kemudian digunakan untuk tujuan
pengembangan kesehatan.
Selama dua dekade terakhir ini, telah terdapat ribuan instalasi yang menggunakan
Snoezelen sebagai salah satu modalitas mereka di 30 negara. Beberapa negara
yang mengandalkan terapi ini adalah Israel, Australia, dan Filipina. Berbagai
macam alat juga diproduksi untuk melengkapi terapi ruangan Snoezelen dan
terbuat dari berbagai bahan yang semakin berkembang.
Di Amerika Utara, beberapa ruangan Snoezelen dibuat menarik. Misalnya,
“Jungle Room”, di mana di sana terdapat pepohonan interaktif, berjalan di antara
pepohonan, dan rumah pohon. Untuk sensasi taktil, diberikan udara yang lembap
dan atmosfer dengan aroma rumput. Contoh lain, yang seringkali diminati oleh
orang lanjut usia, adalah “Igloo”. Terdapat suara dengan musik-musik yang
menenangkan, cahaya yang berkedadap-kedip, dan terdapat selimut untuk
membuat seakan-akan berada di dalam rumah es. Semua komponen tersebut
dikombinasikan untuk membuat luangkungan yang tenang dan damai. Tidak
hanya orang lanjut usia, pelajar pun dapat menggunakan untuk berelaksasi dan
belajar menghadapi tekanan dari sekolah.
II.II.TEORI DAN FILOSOFI TERAPI SNOEZELLEN
Dasar dari terapi ruang Snoezelen adalah lingkungan dengan multi-sensori
(MSE). Seringkali juga dikenal sebagai ruangan dengan banyak stimulus.
Ruangan ini didesain untuk memberikan stimulasi sensori berupa cahaya, suara,
sentuhan, dan aroma, dengan cara yang aman. Diharapkan di sana terjadi proses
sensori dan juga fisik.
Ruangan terapi Snoezelen membutuhkan modalitas sensori, sehingga pasien
mampu berinteraksi di dalam ruangan tersebut. Empat modalitas sensori, seperti
visual, perabaan, penciuman, dan pendengaran harus memberikan stimulasi pada
setiap sesi terapi tersebut. Hal tersebut bertujuan untuk mempertajam fungsi
sensori.
Pasien yang dimasukkan ke dalam ruangan tersebut dapat ditemani juga dengan
orang yang merawatnya. Atau bisa dimasukkan sendirian. Pemilihan ruangan
dapat dibantu oleh orang yang merawat, apabila pasien tidak dapat memilih
sendiri. Diharapkan pasien dapat beradaptasi terlebih dahulu dengan ruangan
terapi Snoezelen.
Stimulasi sensori yang diberikan harus dapat dikontrol. Intensitasnya dapat
ditambah dan dikurangi, sesuai kebutuhan. Untuk interaksi, bisa secara pasif
maupun aktif, atau kombinasi. Kombinasi stimulasi sensori yang diberikan perlu
disesuaikan dengan kebutuhan pasien, motivasi, kesenangan, relaksasi, dan
kebutuhan terapi/edukasi pasien itu sendiri.
Tidak ada keharusan dalam terapi ruang Snoezelen. Pasien dapat masuk ke dalam
ruang terapi Snoezelen, mendapatkan rangsang stimulus sensori dari interaksi di
dalam ruangan tersebut. Bagaimana pasien menanggapi, reaksinya dapat
tergantung dari masing-masing orang. Pasien diperkenankan bergerak bebas di
dalam ruangan tersebut. Orang yang merawat maupun terapis harus memberikan
kebebasan bagi pasien untuk dapat menikmati terapi tersebut.
Beberapa pasien mungkin mengalami keterbatasan pada salah satu panca indera.
untuk menangkap stimulus sensori yang terdapat di dalam ruang terapi Snoezelen.
Hal tersebut tidak mengurangi manfaat terapi ruang Snoezelen. Pasien dapat
dengan bebas menggunakan kemampuan sensori nya yang lain secara maksimal.
Terapi ruang Snoezelen harus sesuai dengan konsepnya, yaitu intensitas
stimulusnya dapat dikontrol oleh terapis juga dan juga mampu menikmati terapi
dan relaksasi sesuai dengan kemampuannya. Diharapkan juga dapat memberikan
stimulasi kognitif pada proses eksplorasi ruang terapi Snoezelen dan relaksasinya.

II.III. KEUNTUNGAN RUANG TERAPI SNOEZELEN


Keuntungan dari terapi dengan menggunakan Ruang Snoezelen bisa didapatkan
pasien dan orang yang merawatnya. Berbagai masalah yang dihadapi, seperti
keterbatasan gerak, gangguan pendengaran, berkurangnya kemampuan melihat,
ruang gerak yang terbatas, gangguan perilaku, nyeri, dan berbagai macam masalah
yang dihadapi membuat pasien tidak mampu menikmati hidupnya. Terapi dengan
ruang Snoezelen mampu menjembatani masalah-masalah yang dihadapi oleh
psien dengan interaksi dan eksplorasi di dalam ruang Snoezelen.
Berikut adalah beberapa keuntungan yang bisa didapatkan pasien yang diberikan
terapi ruang Snoezelen.
1. Kemampuan Sosial dan Emosional
- Meningkatkan kesadaran akan diri sendiri
- Meningkatkan komunikasi, kemampuan berbagai, dan interaksi
sosial
- Memberikan rasa nyaman dan aman saat merasakan sensasi sensori
- Meningkatkan kemampuan memilih
- Menurunkan rangsang nyeri
- Memberikan kesempatan untuk menikmati eksplorasi
- Memberikan suasana damai dan relaksasi
2. Kemampuan Sensorik dan Motorik
- Meningkatkan kemampuan koordinasi dan motorik
- Mengembalikan kemampuan mendengar, melihat, mencium,
menyentuh, dan mengecap
- Meningkatkan partisipasi pasien untuk mau mengeksplorasi
lingkungan sekitar
3. Kemampuan Kognitif
- Meningkatkan kewaspadaan
- Meningkatkan atensi dan konsentrasi
- Meningkatkan bahasa dengan memproduksi suara vokal.
- Meningkatkan kreativitas
- Meningkatkan pengembangan kognitif dengan meningkatkan
fungsi otak
- Memahami sensasi sebab dan akibat
Setelah memahami keuntungan yang bisa didapatkan dari terapi ruang Snoezelen,
berikut adalah beberapa penyakit yang dapat membaik setelah diberikan terapi
ruang Snoezelen :
- Gangguan Atensi dan Penyakit Hiperaktif
- Autisme
- Dementia dan Penyakit Alzheimer
- Depresi
- Disabilitas
- Penyakit Stress Pasca Trauma
- Masalah Mengolah Sensori
- Stroke
- Trauma Kepala
- Gangguan penglihatan
- Retardasi Mental

III. TERAPI RUANG SNOEZELEN PADA PENDERITA AUTISME


Ruang Snoezelen, seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, memberikan
berbagai macam rangsangan stimulus sensori. Stimulasi visual dengan
memberikan aneka balon dari sabun yang berwarna, atau gambar-gambar yang
ditampilkan di proyektor. Rangsang suara dapat diberikan dari pemutar lagu
instrumental yang memberikan efek relaksasi, getaran dari peralatan, suara angin,
dan berbagai macam musik. Rangsang penciuman dapat diberikan dari aroma
therapy, parfum yang familiar, dan aroma sabun yang biasa digenakan. Untuk
pengecapan, dapat diberikan dalam bentuk aroma makanan yang disukai atau
teksturnya. Rangsang sentuh dapat diberikan dari getaran alat, beban selimut
dengan permukaan kain yang berbeda. Stimulasi proprioseptif dan vestibular,
seperti gerakan, dapat diberikan dengan kursi yang bergerak, atau kuda-kudaan.
Barang-barang yang sengaja diberikan di dalam ruangan atau digantung juga bisa
membantu rangsang tersebut, agar bisa disentuh dan digapai.
Pada penderita autisme, terdapat beberapa hal yang menjadi fokus kendala.
Perilaku penderita autisme terganggu, terutama pada tiga komponen. Pertama
adalah gangguan interaksi sosial. Di mana pada penderita autisme terdapat
keterbatasan kontak mata, ekspresi wajah, dan gestur sosial. Yang kedua adalah
gangguan memproses sensori, dapat berarti tidak mampu memaknai dan
merasakan dunia tempat tinggalnya. Sehingga penderita autisme mudah jatuh
dalam kondisi depresi. Yang terakhir, salah satu yang paling penting, adalah
gangguan komunikasi. Penderita autisme, biasanya mengalami keterlambatan
kemampuan bicara dan tidak mampu untuk belajar berkomunikasi.
Sebelum melakukan terapi ruang Snoezelen pada penderita Autisme, penting
untuk melakukan beberapa penilaian. Penilaian dan evaluasi dibutuhkan untuk
mengetahui seberapa besar manfaat terapi ruang Snoezelen pada penderita
Autisme.
Berikut ini adalah beberapa peralatan evaluasi dan penilaian yang dapat dilakukan
sebelum memberikan terapi ruang Snoezelen :
- The Sensory Assesment and Profiling Tool
Penilaian ini mengidentifikasi pilihan sensori yang dominan pada
seseorang. Penilaian ini direkomendasikan dilakukan sebelum
memulai terapi ruang Snoezelen untuk memberikan pilihan terapi
ruang Snoezelen yang paling cocok. Penilaian ini dapat membantu
orang yang merawat untuk menemani penderita melalui masa-masa
adaptasi pada saat sebelum memulai terapi dan selama terapi.
- The Sensory Profile
Penilaian ini membantu mengidentifikasi seberapa banyak
stimulasi yang dibutuhkan. Penilaian awal ini juga dapat
mengetahui ambang batas seseorang terhadap stimulus tertentu.
Dengan informasi yang didapatkan dari penilaian ini, maka terapis
dapat mengatur intensitas stimulus di dalam ruang Snoezelen agar
sesuai dengan kebutuhan pasien.
- The Pool Activity Level Instrument for Occupational Profiling
Penilaian ini paling baik diberikan pada dewasa dengan atusime.
Penilaian ini juga memberikan panduan untuk menjalankan sesi
terapi ruang Snoezelen, karakteristik aktivititas yang sesuai, dan
bagaimana untuk memulai serta mengakhiri sesi tersebut.
- Multisensory environments information sheet
Penilaian ini membantu untuk mengevaluasi bagaimana proses
pemberian terapi ruang Snoezelen. Penilaian ini dapat mencatat
respon perilaku penderita dan dibandingkan dengan perilaku pada
umumnya yang terstandarisasi.

Anda mungkin juga menyukai