TINJAUAN PUSTAKA
I. AUTISME
Autisme adalah salah satu gangguan perilaku pada awal kehidupan anak yang
disebabkan oleh gangguan perkembangan otak yang ditandai dengan ciri pokok
yaitu terganggunya perkembangan komunikasi sosial, interaksi sosial, dan
imajinasi sosial. Mereka dengan gejala autisme menampilkan perilaku yang
bersifat repetitive. Autisme merupakan suatu kondisi mengenai seseorang sejak
lahir ataupun saat masa balita yang membuat dirinya tidak dapat membentuk
hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Akibatnya anak tersebut terisolasi
dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat yang
obsesif.
Autisme berasal dari bahasa Yunani “autos” yang berarti segala sesuatu yang
mengarah pada diri sendiri. Istilah autisme dipergunakan untuk menunjukkan
suatu gejala psikosis pada anak-anak yang unik dan menonjol yang sering disebut
dengan sindroma Kanner.
Autisme mempengaruhi sekitar 0,5-1 dalam 1000 anak dengan rasio antara laki-
laki dan wanita 4:1. Menurut suatu studi, autisme meningkat di populasi kanak-
kanak. Pada tahun 1966, 4-5 bayi per 10.000 kelahiran dikembangkan autisme,
sedangkan pada tahun 2003, dua studi menunjukkan bahwa antara 14-39 bayi per
10.000 mengembangkan gangguan tersebut.
Badan Pusat Statistik mencatat, saat ini 1,5 juta anak di Indonesia yang
mengalami autis. Namun, karena terbatasnya sarana pendidikan luar biasa, baru
sekitar 50.000 anak yang mengenyam pendidikan. Diperkirakan 75-80%
penyandang autis ini mempunyai retardasi mental, sedangkan 20% dari mereka
mempunyai kemampuan yang cukup tinggi untuk bidang-bidang tertentu.
Etiologi pasti dari autis belum sepenuhnya jelas. Beberapa teori yang
menjelaskan tentang autisme yaitu:
1. Teori Psikoanalitik
Teori yang dikemukakan oleh Bruto Bettelheim (1967) menyatakan bahwa
autisme terjadi karena penolakan orangtua terhadap anaknya. Anak menolak
orang tuanya dan mampu merasakan perasaan negatif mereka. Anak tersebut
meyakini bahwa dia tidak memiliki dampak apapun pada dunia sehingga
menciptakan ”benteng kekosongan” untuk melindungi dirinya dari
penderitaan dan kekecewaan.
2. Teori Genetika
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki 3-4 kali beresiko lebih
tinggi dari wanita. Sementara risiko autis jika memiliki saudara kandung yang
juga autis sekitar 3%. Kelainan gen dari pembentuk metalotianin juga
berpengaruh pada kejadian autis. Metalotianin adalah kelompok protein yang
merupakan mekanisme kontrol tubuh terhadap tembaga dan seng. Fungsi
lainnya yaitu perkembangan sel saraf, detoksifikasi logam berat, pematangan
saluran cerna, dan penguat sistem imun. Disfungi metalotianin akan
menyebabkan penurunan produksi asam lambung, ketidakmampuan tubuh
untuk membuang logam berat dan kelainan sistem imun yang sering
ditemukan pada orang autis. Teori ini juga dapat menerangkan penyebab
lebih berisikonya laki-laki dibanding perempuan. Hal ini disebabkan karena
sintesis metalotianin ditingkatkan oleh estrogen dan progesteron.
Kimia otak yang paling jelas dijumpai abnormal kadarnya pada anak autisme
adalah Serotonin – hydroxytryptamine (5-HT), yaitu sebagai neurotransmitter
yang bekerja sebagai penghantar sinyal di sel-sel syaraf. Anak-anak penyandang
utisme dijumpai 30% dan 50% mempunyai kadar serotonin tinggi dalam darah.
Pada anak normal, serebelum atau otak kecil mengalami aktivasi selama anak
melakukan eksekusi motorik, belajar sensori-motor, atensi, working memmory,
dan bahasa. Gangguan berat pada serebelum akan menyebabkan gangguan pada
fungsi-fungsi tersebut.
II. DIAGNOSA
1. Anamnesa : Informasi tentang emosi anak, sosial, komunikasi,
kemampuan kognitif .
2. Observasi langsung dan interaksi.
Orang tua dan anggota keluarga ataupun pengasuh harus terlibat
dalam pemeriksaan ini supaya didapatkan informasi yang penting
diketahui oleh pemeriksa
Pemeriksaan medis (disesuaikan dengan kebutuhan anak)
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan neurologis
Tes neuropsikologis
Tes pendengaran dengan BERA atau tes lain
Tes ketajaman penglihatan
Berbagai rating scales, misalnya CARS (Childhool Autism Rating
Scale), GARS (Gillian Autism Rating Scale), dll.
MRI (Magnetic Resonance Imaging), Ct Scan, Brain Mapping,
SPECT dan PET
EEG (electroencephalogram)
Pemeriksaan sitogenetik untuk abnormalitas kromosom
Pemeriksaan lain yang belum berdasarkan Evidence Based
Medicine misal : analisis tinja, rambut, alergi, imunologis, jamur,
tiroid, antimyelin basic protein, dll.
Berdasarkan DSM-IV
A. Harus ada sedikitnya 6 gejala dari (1), (2), dan (3) dengan minimal
harus ada 2 gejala dari (1), dan satu gejala masing-masing dari (2) dan
(3)
(1). Gangguan kualitatif dalam interaksi social, minimal harus ada 2
manifestasi.
a. Hendaya dalam perilaku nonverbal seperti : kontak mata sangat
kurang, ekspresi muka kurang hidup, sikap tubuh atau gerak tubuh
dalam interaksi sosial.
b. Kegagalan dalam berhubungan dengan anak sebaya sesuai
dengan perkembangannya.
c. Tidak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain.
d. Kurangnya hubungan sosial dan emosional.
(2). Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi, minimal 1 gejala di
bwah ini :
a. Bicara terlambat atau bahkan sama sekali tak berkembang (tak
ada usaha untuk mengimbangi komunikasi dengan cara lain tanpa
bicara).
b. Bila bisa bicara tidak dipakai untuk komunikasi.
c. Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang.
d. Cara bermain kurang variasi, kurang imajinatif dan kurang bisa
meniru.
(3). Suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku,
minat, dan kegiatan. Sedikitnya harus ada 1 gejala di bawah ini :
a. Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang sangat
khas dan berlebihan.
b. Terpaku pada satu kegiatan ritual atau rutin yang tidak ada
gunanya.
c. Terdapat gerakan-gerkan aneh yang khas berulang-ulang.
d. Seringkali terpukau pada bagian-bagian benda.
B. Sebelum usia 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan
dalam bidang :
1. Interaksi social
2. Bicara dan berbahasa
3. Cara bermain yang kurang variasi
C. Gangguan tersebut buka disebabkan karena sindrom Rett atau
gangguan disintegrative masa kanak-kanak (Childhood Disintegrative
Disorder).
V. PROGNOSIS