Anda di halaman 1dari 33

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI

Rheumatoid arthritis (RA) adalah suatu keadaan kronis dan biasanya merupakan

kelainan inflamasi progresif dengan etiologi yang belum diketahui yang dikarakterisasi

dengan sendi simetrik poliartikular dan manifestasi sistemik.5 Rheumatoid arthritis juga

didefinisikan sebagai inflamasi kronis yang umum disebabkan oleh kelainan autoimun

dengan etiologi yang belum diketahui. Inflamasi pada RA akan mengakibatkan

penghancuran pada kartilago dan tulang persendian. Kejadian inflamasi ini melibatkan

bagian-bagian sendi terutama membran sinovial (membran yang membungkus sendi

berisi cairan sinovial). Kesehatan penderita RA akan menurun dikarenakan rasa nyeri,

kelelahan, ketidakmampuan fungsional tubuh, serta ekonomi pasien yang dapat melemah

akibat perkembangan penyakit yang progresif.6

2. EPIDEMIOLOGI

RA sekitar 0,5-1% dari populasi dewasa di seluruh dunia dan rata-rata

mengenai wanita dewasa. RA menimpa hampir 2 juta orang dewasa di Amerika

Serikat. dengan prevalensi 1,3 juta. Biaya tahunan rata-rata RA per orang di Amerika

Serikat adalah $ 12.558.7 Daerah di Eropa prevalensi AR sekitar 1% pada kaukasia

dewasa; Perancis sekitar 0,3%, Inggris dan Finlandia sekitar 0,8% dan Amerika

Serikat 1,1% sedangkan di Cina sekitar 0,28%. Jepang sekitar 1,7% dan India 0,75%.

Insiden di Amerika dan Eropa Utara mencapai 20-50/100000 dan Eropa Selatan

hanya 9-24/1000003-4. Di Indonesia dari hasil survey epidemiologi di Bandungan

Jawa Tengah didapatkan prevalensi AR 0,3 %5, sedang di Malang pada penduduk
berusia diatas 40 tahun didapatkan prevalensi AR 0,5 % di daerah Kotamadya dan

0,6% di daerah Kabupaten6. Di Poliklinik Reumatologi RSUPN Cipto

Mangunkusumo Jakarta, pada tahun 2000 kasus baru Artritis Reumatoid merupakan

4,1% dari seluruh kasus baru. Di poliklinik reumatologi RS Hasan Sadikin didapatkan

9% dari seluruh kasus reumatik baru pada tahun 2000-2002.8

3. ETIOLOGI

Penyebab dari rheumatoid arthritis (RA) tidak diketahui secara pasti, tetapi

diperkirakan multifaktorial, dengan interaksi yang kompleks antar gen dan

lingkungan. namun berikut ini diduga yang menyebabkan RA :9

1) Faktor genetik

Faktor genetik berperan penting terhadap kejadian RA, dengan angka

kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60%. Yang paling kuat dari faktor

genetik adalah major histocompatibility complex (MHC) yang menyandi

urutan asam amino yang memprediksi kesamaan struktural dalam antigen

leukosit manusia (HLA) alur ikatan peptide dan disebut agregat “Shared

epitope”

2) Hormon sex
Prevalensi RA lebih besar pada perempuan dibandingkan dengan laki –

laki, sehingga diduga hormon sex berperan dalam perkembangan penyakit

ini.

3) Faktor infeksi

Beberapa bakteri dan virus diduga sebagai agen penyebab penyakit RA.

Organisme ini diduga menginfeksi sel induk dan merubah reaktivitas atau

respon sel T sehingga mencetuskan timbulnya penyakit.

4. PATOFISIOLOGI

Rheumatoid arthritis (RA) merupakan perubahan konformasi pada sendi akibat

adanya inflamasi kronis pada persendian tersebut. Inflamasi ini disebabkan karena adanya

kelainan pada sistem imun. RA kerap dihubungkan dengan adanya hipersensitivitas tipe III

dan adanya kelainan autoimun yang memicu teraktivasinya sistem imun secara berlebihan.

1. Patofisiologi Hipersensitivitas tipe III

Secara umum, hipersensitivitas tipe III adalah kelainan sistem imun yang

disebabkan adanya kompleks antibodi (imunoglobulin) yang kemudian menjadi suatu

antigen yang mengaktivasi jalur komplemen. Karena kompleks antibodi ini mengaktivasi

jalur komplemen klasik, maka akan terjadi sekresi protein-protein imun dan sel-sel imun
yang kemudian dapat memicu reaksi inflamasi sehingga dapat melukai sel ataupun bagian

dimana kompleks imun tersebut terbentuk seperti persendian dan glomerulus nefron.

Berbeda dengan hipersensitivitas tipe II, kompleks imun yang terbentuk

disebabkan oleh antigen yang terlarut dalam cairan (plasma, sinovial, dan cairan tubuh

lain) sehingga tidak terjadi kompleks dengan sel tubuh. Hipersensitivitas tipe III ini dipicu

oleh berbagai sebab seperti kelainan autoimun, toxin bakteri, maupun antigen yang

terpapar dari luar seperti spora jamur.10

Proses yang terjadi adalah sebagai berikut :

Gambar 1. Pembentukan kompleks imun

Hipersensitivitas tipe III ini diawali dengan adanya antigen yang khusus yang dapat

memicu pembentukan kompleks dari imunoglobulin tertentu. Beberapa antigen yang dapat

memicu kompleks antibodi adalah antigen dari dalam diri (autoimun) seperti vimetin,

fibrin, dll, kemudian dikatakan adanya infeksi dari bakteri dan virus, serta adanya alergen

seperti spoa dari aspergilus yang menyebabkan terjadinya kompleks antibodi ada paru-

paru. Kompleks antibodi kemudian akan terdeposit pada jaringan terdekat.10


Gambar 2. Aktivasi jalur komplemen klasik

Adanya timbunan kompleks imun pada jaringan ini menyebabkan teraktivasinya

protein komplemen tipe 1 (C1) yang kemudian memicu teraktivasinya komplemen jalur

klasik. Protein C1 akan menempel pada Fc di kompleks imun tersebut. Protein C1 (terdiri

dari C1 q,r,s) akan membelah protein C4 menjadi C4a dan C4b dimana C4b akan

menempel pada kompleks imun sebagai anafilotoksin yang memacu inflamasi. Selain itu,

protein C1 akan membelah protein C2 menjadi protein C2a dan C2b dimana protein C2b

akan menempel pada C4b membentuk C3 konvertase yang mengubah C3 menjadi C3a dan

C3b. C3b memiliki 2 peran yang pertama bergabung dengan C3 konvertase membentuk

C5 konvertase dan yang kedua menempel pada permukaan kompleks imun dan berperan

sebagai opsonin bagi fagosit. C5 konvertase akan membelah C5 menjadi C5a sebagai

opsonin dan C5b sebagai MAC (membrane attack complex) bersama dengan protein

komplemen lain (C7, C8, dan C9).10


Gambar 3. Inflamasi pada sel target

Pada akhirnya, akan terjadi migrasi sel-sel imun seperti netrofil, basofil, dan

eosinofil yang juga melepaskan mediator-mediator inflamasi dan menyebabkan

peradangan sendi.10

2. Patofisiologi Rheumatoid Arthritis Terkait Hipersensitivitas Tipe III

Rheumatoid Arthritis merupakan penyakit yang dapat terjadi karena penyebab

internal berupa genetik maupun eksternal berupa antigen-antigen khusus (toksin bakteri

dan rokok). Dari segi genetik, seseorang akan mengalami peningkatan prosentase

menderita RA apabila pada DNA nya terdapat gen HLA-DRB1 yang diekspresikan.

Pengekspresian gen ini akan menyebabkan perubahan epitope pada sel limfosti yang

nantinya akan berikatan dengan MHC dan menghasilkan antibodi IgG yang berbeda pada

orang normal. Antibodi ini disebut dengan ACPA (Anti Citrunillated Protein Antigen).

ACPA akan berikatan dengan protein-protein tersitrunilasi dan menyebabkan

pembentukan kompleks imun pada sendi yang disebut Rheumatoid Factor (RF).11

Selain adanya gen HLA-DRB1 yang diekspresikan, beberapa faktor eksternal juga

mempengaruhi terjadinya RA. Salah satu agen yang paling banyak menyebabkan RA

adalah rokok. Rokok dapat memicu terjadinya sitrunilasi pada protein-protein yang berada

dalam jaringan ikat seperti vimetin. Vimetin merupakan protein yang terdapat banyak

pada sel-sel jaringan ikat terutama persendian. Pada penderita RA, vimetin tersitrunilasi
merupakan antigen utama pemicu kelainan ini. Selain itu, beberapa sekret bakteri dapat

menyebabkan terjadinya sitrunilasi tersebut (Klareskog, 2006). Apabila terdapat sitrunilasi

protein maka akan terbentuk antigen tersitrunilasi dan ACPA akan berikatan dengan

antigen tersebut sehingga terjadilah kompleks imun (RF). Dalam diagnosisnya, ACPA

positif belum tentu menunjukkan adanya RF. Hal ini dikarenakan walaupun terdapat

ACPA, namun belum tentu seorang penderita terpapar dengan antigen tersitrunilasi

sehingga belum tentu terbentuk kompleks imun.12 Selain itu, walaupun tidak

diekspresikanya gen HLA-DRB1, dengan adanya antigen RA (protein tersitrunilasi),

aktivasi sel-sel imun pada cairan sinovial akan terjadi sehingga menyebabkan

terbentuknya IgG yang berlebihan dan membentuk kompleks.13

3. Peradangan Sendi Akibat Reaksi Imun pada Rheumatoid Arthritis

Pada penderita RA, dalam cairan sinovialnya terdapat banyak sel myeloid dan sel

dendrit yang melimpah. Sel-sel ini akan terkatifasi dengan adanya antigen berupa protein

tersitrunilasi. Sel T helper terutama Th 1 dan Th17 yang teraktivasi akan menghasilkan

berbagai mediator-mediator inflamasi seperti IL-17, IL-17F, IL-22, dan TNF alfa

sedangkan sel dendrit dan myeloid akan menghasilkan IL-1beta, IL-6, IL-21, dan, TGF-

beta. Protein-protein inflamasi ini akan menyebabkan deferensiasi IL-17 meningkat dan

menurunkan deferensiasi sel T regulatory (sel T yang dapat menekan sistem imun). Pada

penderita RA, ditemukan dalam cairan sinovialnya sel T regulatory yang memiliki

penurunan fungsi, sehingga tidak ada proses supresi dari mediator-mediator inflamasi. Hal

ini mengakibatkan adanya inflamasi pada daerah persendian. Sel B (CD20) yang

membantu Sel T pada membran sinovial juga akan membentuk sel B plasma yang akan

mensekresikan IgG. Pada orang dengan alele HSL-DRB1, IgG yang dihasilkan merupakan

IgG dengan FC anti protein tersitrunilasi (ACPA) sehingga akan membentuk kompleks
imun dengan protein tersitrunilasi. Akibatnya, protein komplemen akan teraktivasi

menggunakan jalur klasik sehingga terjadi kerusakan pada persendian.11

Gambar 4. Regulasi sel-sel imun pada proses inflamasi sendi

Selain itu, sel-sel imun yang lain juga berperan dalam proses inflamasi seperti

netrofil, makrofag, sel mast, dan NK-cells. Makrofag akan mensekresikan mediator-

mediator inflamasi seperti IL-6, IL-1, (juga 12, 15, 18, dan 23) dan TNF alfa. Selain itu,

makrofag akan memfagositosis sel-sel tulang pada persendian sehingga menyebabkan

kerusakan sendi. Selain makrofag, netrofil juga berperan dalam patogenesis RA, sebagai

pensintesis sitokin dan senyawa oksigen reaktif. Sel Mast juga berperan dalam mensintesis

beberapa kemokin dan amina vasoaktif penyebab inflamasi pada sendi.12


Beberapa sitokin yang berperan penting dalam patogenesis RA adalah IL-1, IL-6,

dan TNF alfa. Ketiga sitokin ini akan menyebabkan osteoklas sehingga menyebabkan

deformasi sendi. Keseluruhan sitokin yang diseksresikan oleh sel-sel imun melalui protein

reseptor tirosin kinase dengan jalur JAK.11

5. MANIFESTASI KLINIS

Gejala umum rheumatoid arthritis datang dan pergi, tergantung pada tingkat

peradangan jaringan. Ketika jaringan tubuh meradang, penyakit ini aktif. Ketika jaringan

berhenti meradang, penyakit ini tidak aktif. Remisi dapat terjadi secara spontan atau dengan

pengobatan dan pada minggu-minggu terakhir bisa bulan atau tahun. Selama remisi, gejala

penyakit hilang dan orang-orang pada umumnya merasa sehat ketika penyakit ini aktif lagi

(kambuh) ataupun gejala kembali.14

Ketika penyakit ini aktif gejala dapat termasuk kelelahan, kehilangan energi,

kurangnya nafsu makan, demam kelas rendah, nyeri otot dan sendi dan kekakuan. Otot dan

kekauan sendi biasanya paling sering di pagi hari. Disamping itu juga manifestasi klinis

rheumatoid arthritis sangat bervariasi dan biasanya mencerminkan stadium serta beratnya

penyakit. Rasa nyeri, pembengkakan, panas, eritema dan gangguan fungsi merupakan

gambaran klinis yang klasik untuk rheumatoid arthritis.14

Gejala sistemik dari rheumatoid arthritis adalah mudah capek, lemah, lesu, takikardi,

berat badan menurun, anemia. Pola karakteristik dari persendian yang terkena adalah : mulai

pada persendian kecil di tangan, pergelangan, dan kaki. Secara progresif mengenai

persendian, lutut, bahu, pinggul, siku, pergelangan kaki, tulang belakang serviks, dan

temporomandibular. Awitan biasanya akut, bilateral dan simetris. Persendian dapat teraba

hangat, bengkak, kaku pada pagi hari berlangsung selama lebih dari 30 menit. Deformitas

tangan dan kaki adalah hal yang umum.14

Jika ditinjau dari stadium penyakit, terdapat tiga stadium yaitu :


1. Stadium sinovitis

Pada stadium ini terjadi perubahan dini pada jaringan sinovial yang ditandai hiperemi,

edema karena kongesti, nyeri pada saat bergerak maupun istirahat, bengkak dan kekakuan.

2. Stadium destruksi

Pada stadium ini selain terjadi kerusakan pada jaringan sinovial terjadi juga pada jaringan

sekitarnya yang ditandai adanya kontraksi tendon.

3. Stadium deformitas

Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali, deformitas dan

gangguan fungsi secara menetap.

Keterbatasan fungsi sendi dapat terjadi sekalipun stadium pada penyakit yang dini

sebelum terjadi perubahan tulang dan ketika terdapat reaksi inflamasi yang akut pada sendi-

sendi tersebut. Persendian yang teraba panas, membengkak, tidak mudah digerakkan dan

pasien cendrung menjaga atau melinddungi sendi tersebut dengan imobilisasi. Imobilisasi

dalam waktu yang lama dapat menimbulkan kontraktur sehingga terjadi deformitas jaringan

lunak. Deformitas dapat disebabkan oleh ketidaksejajajran sendi yang terjadi ketika sebuah

tulang tergeser terhadap lainnya dan menghilangkan rongga sendi.14

Adapun tanda dan gejala yang umum ditemukan atau sangat serius terjadi pada lanjut

usia yaitu: sendi terasa kaku pada pagi hari, bermula sakit dan kekakuan pada daerah lutut,

bahu, siku, pergelangan tangan dan kaki, juga pada jari-jari, mulai terlihat bengkak setelah

beberapa bulan, bila diraba akan terasa hangat, terjadi kemerahan dan terasa sakit/nyeri, bila

sudah tidak tertahan dapat menyebabkan demam, dapat terjadi berulang.

Kerusakan sendi berlangsung dengan rasa sakit. Gejala khas pada arthritis adalah

nyeri sendi. Nyeri hebat di pagi hari setelah istirahat malam. Nyeri juga hebat ketika

beristirahat daripada ketika bekerja. Kekakuan sendi adalah gejala lain. Kekakuan otot-otot

selama pagi setelah bangun terlihat pada pasien rheumatoid arthritis serta osteoarthritis.
Namun, di antara pasien dengan osteoarthritis kekakuan pergi setelah sekitar setengah jam

aktivitas. Untuk pasien rheumatoid arthritis kekakuan dapat bertahan lebih lama. Sendi bisa

menjadi meradang. Hal ini ditandai dengan kehangatan dan kemerahan dari sendi. Ada

pembengkakan di atas sendi bersama dengan kemerahan. Sendi terasa panas dan menyakitkan

untuk disentuh. Seiring waktu sendi kecil dapat rusak dan menyebabkan cacat permanen.

Cacat yang disebabkan karena erosi tulang yang berakhir pada sendi, erosi kartilago dan

pecahnya tendon di sekitar sendi. Kelainan ini bersifat terlihat di tangan dan sendi jari.

Misalnya, ibu jari yang cacat dan ini kita disebut deformitas Boutonniere jempol. Ujung jari

melengkung atau disebut cacat leher angsa dll.15

Pada pasien rheumatoid arthritis mungkin terjadi radang di sekitar sendi. Ini muncul

sebagai lesi bengkak disebut nodul rematik. Ini biasanya tidak nyeri, keras, oval atau bulat

massa yang umum selama titik-titik tekanan seperti pergelangan tangan, siku, pergelangan

kaki dll. Nodul rheumatoid dapat juga terjadi pada mata atau organ lain seperti paru-paru.

Dalam paru-paru mereka dapat menyebabkan komplikasi seperti akumulasi cairan di dalam

dan sekitar paru-paru.Gejala lain dari rheumatoid arthritis adalah anemia atau rendahnya

jumlah sel darah merah. Hal ini karena mungkin ada kekurangan produksi sel darah merah

baru untuk menebus yang hilang. Jumlah trombosit juga dapat diubah.15

Beberapa pasien mungkin menderita radang pembuluh darah atau vaskulitis arthritis.

Komplikasi ini mungkin mengancam nyawa. Hal ini dapat menyebabkan ulserasi kulit yang

dapat terinfeksi, ulkus lambung dan kerusakan saraf. Ulkus lambung dapat menyebabkan

komplikasi seperti perdarahan atau perforasi dan patologi saraf dapat menyebabkan nyeri,

mati rasa atau kesemutan sensasi. Pembuluh darah dari otak dan jantung juga mungkin

terlibat menyebabkan serangan jantung atau stroke. Dalam hati mungkin ada akumulasi

cairan yang disebut pericarditis. Otot-otot jantung bisa meradang menyebabkan miokarditis.

Kondisi ini dapat menyebabkan gagal jantung. Beberapa orang mungkin mengalami
peningkatan mendadak dalam gejala dan ini disebut flare-up. Flare up biasanya sulit untuk

memprediksi dan dapat terjadi lebih sering pada pagi hari setelah bangun tidur .15

Rheumatoid arthritis secara keseluruhan memiliki dampak yang parah pada kualitas

hidup. Ada dampak yang parah pada fungsi fisik, sosial dan kesejahteraan emosional serta

kesehatan mental. Kondisi terkait lainnya dengan kondisi ini termasuk depresi dan

kecemasan.15

6. DIAGNOSIS

Pendekatan perawatan pasien dengan RA dapat digolongkan menjadi 2 grup :

 RA dini (early RA/ERA) didefinisikan sebagai pasien dengan gejala yang terjadi kurang

dari 3 bulan

 Pasien dengan penyakit tetap yang mempunyai gejala yang timbul karena inflamasi dan

/atau karena kerusakan sendi.

Tabel 3. Membedakan Arthritis Dengan Inflamasi Dari Arthritis Tanpa Inflamasi 16

Ciri-ciri Dengan Inflamasi Tanpa Inflamasi


Nyeri sendi Dengan aktivitas dan pada Dengan aktivitas
saat istirahat
Pembengkakan sendi Jaringan lunak Pada banyak tulang
Erythema local Kadang-kadang Tidak ada
Panas Lokal Berkali-kali Tidak ada
Kekakuan pagi hari > 30 menit < 30 menit
Gejala sistematik Umum, khususnya keletihan Tidak ada
Saat ini diagnosis AR di Indonesia mengacu pada kriteria diagnosis menurut American

College of Rheumatology/European League Against Rheumatism 2010 yaitu :8


Gambar 5. Kriteria Klasifikasi AR ACR/EULAR 2010 8

Dalam menegakkan diagnosis AR sangatlah penting untuk mengelompokkannya

berdasarkan waktu dimana dikatakan recent onset jika sudah menderita kurang dari 2 tahun.8

Setelah diagnosis AR ditegakkan, perlu ditentukan aktivitas penyakit (LED, CRP,

sinovitis), status fungsional, masalah mekanik sendi, gejala ekstraartikular serta adanya

kerusakan radiologis pada sendi yang terlibat. Apabila pasien AR akan mendapatkan

DMARD maka perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium awal meliputi darah perifer

lengkap, LED, CRP, RF atau ACPA, serta pemeriksaan fungsi hati dan ginjal karena

beberapa obat DMARD bersifat toksik terhadap hati dan ginjal. Sebaiknya pasien diperiksa

serologi untuk hepatitis B dan C terutama yang direncanakan untuk penggunaan MTX.8

Foto toraks diperlukan untuk mendeteksi ada tidaknya infeksi (misalnya tuberkulosis

paru), karena beberapa jenis DMARD dapat berpotensi meningkatkan kerentanan untuk

mendapat infeksi, dan manifestasi ekstra artikular pada paru. Pastikan wanita penderita AR

yang akan memakai DMARD tidak dalam keadaan hamil. Pemeriksaan rontgen tangan dan

atau kaki harus dilakukan karena kerusakan struktural.8

7. TATALAKSANA

Untuk penanganan yang komprehensif seharusnya meliputi pilar pengelolaan tersebut

dibawah ini:8
Gambar 6. Pilar pengelolaan pada RA8

I. Edukasi

Hal yang penting dalam pengobatan RA adalah perlunya penjelasan kepada pasien tentang

penyakitnya. Pasien harus diberitahu tentang program pengobatan, risiko dan keuntungan

pemberian obat dan modalitas pengobatan yang lain. Kerjasama dokter-pasien sangat penting

untuk meningkatkan kepatuhan berobat dan pada akhirnya akan meningkatkan hasil

pengobatan. Pasien RA dianjurkan untuk mempertahankan berat badan ideal, karena obesitas

akan memberi stress terhadap persendian, mengeksaserbasasi inflamasi dan berperan

terhadap risiko terjadinya osteoartritis. 8

II. Latihan/program rehabilitasi

Latihan fisik harus disesuaikan secara individual berdasarkan dengan kondisi penyakit

dan komorbiditas yang ada. Latihan aerobik dapat dikombinasikan dengan latihan penguatan

otot (regio terbatas atau menyeluruh), dan latihan untuk kelenturan, koordinasi dan kecekatan

tangan serta kebugaran tubuh. Terapi fisik dengan menggunakan laser kekuatan rendah dan

TENS (transcutaneous electrical nerve stimulation), efektif mengurangi nyeri dalam jangka

pendek. Kombinasi parafin (termoterapi) dan latihan aktif juga tampak efektif mengurangi

nyeri. Penggunaan ultrasound, muscular electro stimulation dan magnetotherapy masih belum
cukup bukti untuk bisa digunakan secara rutin, tetapi bisa dipertimbangkan pada kasus-kasus

tertentu yang tidak respon dengan terapi lainnya.8

Aplikasi termoterapi tunggal dan aplikasi dingin lokal, tampaknya tidak memberikan

manfaat klinis yang berarti. Pada penderita AR stadium lanjut perlu diberi penjelasan tentang

cara-cara proteksi sendi. Penggunaan alat bantu perlu dipertimbangkan pada penderita yang

memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.8

Pada periode inflamasi aktif maka ortotik statis dapat digunakan (pertama dalam

sehari penuh dan sesudahnya hanya pada malam hari). Kegunaannya seharusnya dievaluasi

secara periodik, dan ortotik yang tidak memberi manfaat sebaiknya tidak digunakan. Upaya

terapi psikologis (misalnya relaksasi, mengatasi stress dan memperbaiki pandangan hidup

yang positif) dapat membantu pasien AR menyesuaikan hidup dengan kondisi mereka.8

1. Farmakologi

a. Disease-modifying anti-rheumatic drugs (DMARDs)

Disease Modifying Anti Rheumatic Drugs (DMARD) memiliki potensi untuk mengurangi

kerusakan sendi, mempertahankan integritas dan fungsi sendi dan pada akhirnya mengurangi

biaya perawatan dan meningkatkan produktivitas pasien RA. Obat-obat DMARD yang sering

digunakan pada pengobatan RA adalah Metotreksat (MTX), Sulfasalazin, leflunomide,

klorokuin, siklosporin, azatioprin.8

Semua DMARD memiliki beberapa ciri yang sama yaitu bersifat relatif slow acting yang

memberikan efek setelah 1-6 bulan pengobatan kecuali agen biologik yang efeknya lebih

awal. Setiap DMARD mempunyai toksisitas masing-masing yang memerlukan persiapan dan

monitor dengan cermat. Keputusan untuk memulai pemberian DMARD harus dibicarakan

terlebih dahulu kepada pasien tentang risiko dan manfaat dari pemberian obat DMARD ini.8
Pemberian DMARD bisa diberikan tunggal atau kombinasi. Pada pasien-pasien yang tidak

respon atau respon minimal dengan pengobatan DMARD dengan dosis dan waktu yang

optimal, diberikan pengobatan DMARD tambahan atau diganti dengan DMARD jenis yang

lain.8

Penghambatan atau blokade tindakan sitokin dapat mengganggu jalur signaling penting

dalam respon imun normal, sehingga meningkatkan risiko infeksi dan / atau keganasan.

Misalnya, sebuah peningkatan risiko kejadian infeksi yang serius, termasuk tuberkulosis dan

infeksi yang disebabkan oleh patogen oportunistik, telah dilaporkan pada pasien dengan

biologi. Sebagai direkomendasikan dalam Ringkasan Karakteristik Produk agen biologis,

prescreening untuk tuberkulosis laten seharusnya dilakukan, dan kewaspadaan selama dan

setelah perawatan. Selain itu, terapi biologis sangat kontraindikasi dalam kasus infeksi aktif

berat, pasien immunocompromised dan insufisiensi jantung berat. Meskipun ada semakin

banyak bukti bahwa remisi penyakit dapat dipelihara lebih baik di awal dari tahap selanjutnya

dari penyakit, penggunaan agen biologis di tahap awal bisa terhambat terutama karena

masalah biaya. Akhirnya, beberapa penelitian mengklaim bahwa proporsi yang cukup besar

menunjukkan respon klinis yang tidak memadai, mulai dari 20% hingga 40% pasien dengan

rejimen pengobatan inhibitor TNF. 2

1) Methotrexate

Methotrexate dianggap sebagai obat pilihan DMARD oleh pakar rematologi untuk

mengobati RA. Methotrexate memiliki kontraindikasi dengan kehamilan dan ibu

menyusui. Selain itu, Methotrexate memiliki kontraindikasi dengan pasien penyakit

hati kronik, imunodefisiensi, kelainan darah, leukopenia, trombositopenia, dan

dengan pasien yang memiliki klirens kreatinin kurang dari 40 mL/menit.

Methotrexate bersifat teratogenik, sehingga harus dihindari pada pasian yang sedang

hamil. Selain itu, Methotrexate juga merupakan antagonis asam folat, sehingga dapat
menyebabkan defisiensi asam folat dalam tubuh. Methotrexate menghambat

produksi sitokin, menghambat biosintesis purin, dan menstimulasi pelepasan

adenosin, yang semuanya dapat sebagai antiinflamasi. Obat ini memiliki onset yang

cepat, hasilnya dapat dilihat 2- 3 minggu setelah terapi. Pemberian Methotrexate

dapat dilakukan dengan cara oral, intramuskular (i.m), atau secara subkutan.17

2) Leflunomide

Leflunomide merupakan DMARDs yang menghambat sintesis pirimidin,

menurunkan proliferasi limfosit dan modulasi dari inflamasi. Leflunomide diberikan

secara oral dengan dosis awal 100 mg perhari selama 3 hari, dan diikuti dosis harian

20 mg sehari. Leflunomide memiliki memiliki efektivitas yang sama dengan MTX.

Leflunomide dapat menyebabkan toksisitas di hari dan memiliki kontraindikasi

dengan pasien yang memiliki riwayat penyakit hati. Selain itu juga, Leflunomide

dapat menyebabkan toksisitas pada sumsum tulang dan juga bersifat teratogenik.17

3) Sulfasalazine

Sulfasalazine merupakan prodrug yang diubah oleh bakteri di kolon menjadi

sulfapyridine dan asam 5-aminosalisilat. Ketika sulfasalazine mencapai kolon,

bakteri-bakteri yang berada di kolon akan memutuskan hubungan antara kedua

molekul-molekul. Setelah memisah dari 5-ASA, sulfapyridine diserap kedalam

tubuh dan kemudian dikeluarkan dalam urin. Efek-efek sampingan ini termasuk

mual, rasa panas di dada (heartburn), sakit kepala, anemia, ruam kulit (skin rashes),

dan, dalam kejadian-kejadian yang jarang, hepatitis dan peradangan ginjal. Pada

pria-pria, sulfasalazine dapat mengurangi jumlah sperma. Pengurangan jumlah

sperma kembali normal setelah pemberhentian sulfasalazine atau oleh perubahan ke

suatu senyawa 5- ASA yang berbeda. Sulfasalazine digunakan dalam dosis hingga 2-

4 g / hari.17
Gambar 7. DMARD pada RA 10

CATATAN : Pemberian loading dose pada leflunomide sudah tidak dianjurkan lagi. Beberapa obat

yang bisa dipakai untuk pengelolaan AR seperti hidroksiklorokuin, preparat emas dan D-penicillamin

Tidak tersedia di Indonesia. Klorokuin mempunyai efektifitas yang setara dengan hidroksiklorokuilin

tapi dengan toksisitas yang lebih besar.8

MTX / DMARD lain + Prednisone + NSAID selama 3 bulan

poor
respon

DMARD DMARD DMARD


lain kombinasi biologi

poor
respon

DMARD triple combination (DMARD + biologi) +Prednison dosis rendah


Terapi kombinasi ini diperlukan untuk menekan lebih dari satu penyebab RA.

Kombinasi terapi yang sering digunakan adalah DMARD (MTX) dengan NSAID

maupun kortikosteroid. Dari kombinasi ini, penyebab imuologis dari RA dapat

dihambat dengan MTX, sedangkan rasa nyeri dari RA akibat peradangan dapat ditekan

dengan NSAID atau kortikosteroid. Penggunaan DMARD secara bersamaan juga

merupakan alternatif apabila single DMARD tidak berhasil. Hal ini penyebab RA tidak

hanya dikarenaan satu hal saja melainkan banyak. Penggunaan satu DMARD hanya

akan menghambat sebagian penyebab RA. Misalkan penggunaan MTX hanya akan

menghambat pembentukan sitokin dan sintesis purin, namun bila dilakukan kombinasi

dengan sulfasalazine dapat menyebabkan hambatan pada sintesis mediator inflamasi

yang lebih luas.17

Pengobatan lini kedua dari RA adalah menggunakan agen biologis. Agen biologis

merupakan DMARD dengan kerja spesifik, misal menghambat interaksi TNF alfa

dengan reseptornya, menghambat aktivasi dari sel B CD20, dan lain sebagainya. Efek

farmakologis yang ditimbulkan dari agen biologis memang lebih baik karena kerjanya

yang sepesifik. Akan tetapi harganya yang sangat mahal membuat obat ini menjadi lini

kedua dalam pengobatan RA.17

b. Terapi agen Biologis

Masing-masing pasien mempunyai gambaran klinik dan aktivitas penyakit yang berbeda-

beda dengan beberapa pasien tidak menunjukkan respon yang memuaskan bahkan dengan

kombinasi DMARD nonbiologik. Dengan ditemukannya agen biologik yang baru maka

timbul harapan adanya kontrol terhadap penyakit pada pasien-pasien. Semakin banyak bukti

menunjukkan efikasi agen biologi yang lebih baik pada pengobatan RA, akan tetapi respon

pasien dan adanya efek samping obat dapat berbeda-beda. Mengingat harga dan efek samping
serius yang dapat timbul pada obat ini, maka penggunaannya untuk penyakit reumatik seperti

RA, artritis Psoriatik, Spondilitis Ankilosa dan LES harus dilakukan oleh dokter konsultan

rematologi atau spesialis penyakit dalam yang sudah mendapat pelatihan khusus. Pasien yang

diberi obat ini seharusnya diberikan penjelasan yang memadai tentang risiko dan manfaat

jangka panjang obat tersebut. Beberapa Agen biologik dapat berkaitan dengan infeksi

bacterial yang serius, aktif kembalinya hepatitis B dan aktivasi TB. Khususnya untuk anti

TNF-alpha dimana Indonesia merupakan daerah endemis untuk Tb, maka skrining untuk Tb

harus dilakukan sebaik mungkin (termasuk tes tuberkulin dan foto toraks). Efek samping

DMARD biologik yang lain adalah reaksi infus, gangguan neurologis, reaksi kulit dan

keganasan.8

Agen biologis adalah obat yang direkayasa yang menargetkan peradangan sel tertentu,

interaksi seluler, dan sitokin yang memediasi kerusakan jaringan terkait RA. Seperti itu agen

dirancang untuk mengurangi tanda dan gejala RA dan memperlambat perkembangan

penyakit. Biologis target pertama untuk RA yakni antagonis tumor necrosis factor (TNF)

yakni etanercept telah disetujui oleh Food and Drug Administrasi AS (FDA) tahun 1998.

Sejak itu, tersedia: TNF antagonis yakni infliximab dan adalimumab; interleukin (IL) -1

inhibitor yakni anakinra ; penghambat ko-stimulasi aktivasi sel T yakni abatacept dan agen

deplesi sel B yakni rituximab.18 Pegol certolizumab, Golimumab. Tocilizumab – antibodi

monoklonal (MAB) yang bekerja menghambat reseptor interleukin-6 – merupakan agen

biologis terbaru yang disetujui oleh FDA di tahun 2010.19 Agen biologis seharusnya

dikombinasikan dengan DMARD, terutama methotrexate. Jika ingin menggunakan agen

biologis sebagai monoterapi, pilihan yang direkomendasikan adalah tocilizumab. Guideline

sebenarnya merekomendasikan tofacitinib, anggota Task force yakin dengan efikasi

tofacitinib untuk keluaran klinis, fungsi, dan struktur. Tetapi European Medicines Agency

belum menyetujui obat ini, sehingga tofacitinib akhirnya direkomendasikan hanya setelah
kegagalan 2 terapi biologis. Ditambahkan, pasien yang gagal pada terapi anti TNF pertama

kali dapat mencoba agen anti TNF lain, tetapi jangan berikan biosimilar infliximab setelah

kegagalan infliximab.4

Meskipun penyebab RA tidak diketahui, berbagai sel dan sitokin terlibat di dalamnya

pengembangan dan amplifikasi respon inflamasi. Antagonis TNF bekerja dengan

menghambat pengikatan TNF-α (sitokin proinflamasi) ke reseptornya. Etanercept adalah

protein fusi reseptor immunoglobulin (IgG1) sintetis yang mengikat khusus untuk TNF-α dan

TNF-β (limfotoxin); infliximab, adalimumab, dan golimumab bersifat antibodi monoklonal

(MAbs) diarahkan terhadap TNF-α. Certolizumab pegol adalah manusiawi monoklonal

fragmen anti-TNF-α antibodi Fab 'yang terkonjugasi dengan rantai polietilen glikol menjadi

perpanjangan waktu paruh plasma. Anakinra adalah protein rekombinan dengan urutan asam

amino yang mirip dengan endogen Inhibitor IL-1. Anakinra berikatan dengan reseptor tipe-1

IL-1 dan mencegah sinyal yang dimediasi IL-1 transduksi dalam sel target.32 Abatacept

adalah protein fusi IgG1 CTLA-4 yang mencegah sinyal ko-stimulasi diperlukan untu

aktivasi sel T, komponen penting dari RA respon inflamasi. Agen ini bertindak 'hulu' dalam

kaskade inflamasi dibandingkan dengan agen biologis lainnya. Rituximab adalah MAb yang

mengikat ke CD20, penanda sel diekspresikan pada sel B matang dan pra-sel B (tetapi bukan

sel plasma), yang mengakibatkan penipisan selektif CD20 + sel B melalui beberapa

mekanisme yang diusulkan. Interval waktu paruh dan dosis perawatan biologis yang tersedia

dirangkum dalam Faktor-faktor ini penting karena mempengaruhi frekuensi pengobatan,

biaya terapi, dan pilihan pengobatan pasien dan dokter. Misalnya, adalimumab memiliki

salah satu yang lebih panjang separuh hidup antagonis TNF, sekitar 14 hari, dan

membutuhkan dosis sekali setiap 2 minggu, sedangkan etanercept memiliki waktu paruh 4

hari dan membutuhkan dua kali seminggu atau dosis satu kali seminggu. Anakinra memiliki

waktu paruh terpendek dari biologik yang tersedia (4-6 jam) dan membutuhkan administrasi
harian. Rute administrasi biologi juga bisa mempengaruhi preferensi pasien dan dokter dan

biaya terapi (lihat di bawah). Etanercept, adalimumab, anakinra, certolizumab pegol, dan

golimumab digunakan sebagai Injeksi subkutan (SC). Sebaliknya, infliximab, abatacept, dan

rituximab memerlukan infus intravena (IV ). Tidak seperti abatacept, yang diberikan sebulan

sekali, atau infliximab, yang diberikan secara berkelanjutan setiap 8 minggu, pasien mungkin

lebih suka jadwal infus rituximab 2 infus 2 minggu terpisah, tanpa perawatan lebih lanjut

umumnya untuk ≥6 bulan. Pramedikasi dengan IV methylprednisolone (100 mg atau setara)

dianjurkan sebelum pemberian rituximab untuk mencegah reaksi infus serius. Secara

keseluruhan, biologi sangat efektif dalam mengurangi gejala RA, melambat perkembangan

penyakit, dan meningkatkan indeks fungsi fisik dan kualitas hidup. Respon klinis sering

cepat: kebanyakan pasien mengalami peningkatan dalam beberapa minggu memulai

pengobatan; dan antagonis TNF dapat memberikan manfaat sedini beberapa hari setelah

dosis pertama.

Proporsi lebih besar secara signifikan pasien yang diobati dengan infliximab, etanercept,

atau adalimumab mencapai ACR20, ACR50, atau Respons ACR70 dibandingkan pasien

kontrol dalam penelitian ini. Infliximab harus digunakan dalam kombinasi dengan MTX.Dari

catatan, pengembangan antibodi untuk infliximab mungkin berhubungan dengan penurunan

efikasi.Etanercept dapat digunakan dalam kombinasi dengan MTX atau sebagai monoterapi.

Namun, terapi kombinasi lebih unggul hal manfaat klinis dan radiografi: tanggapan ACR20

dicapai di 85% dari pasien yang menerima kombinasi etanercept dan terapi MTX.

Adalimumab dapat digunakan dalam kombinasi dengan MTX atau DMARD lainnya, atau

sebagai monoterapi.18 Secara ringkas dirangkum pada gambar 8 seperti di bawah ini :
1) Etanercept

Etanercept adalah protein fusi yang terdiri dari 2 reseptor TNF p75 terkait dengan

fragmen fc dari IgG1 manusia. Ikatan obat dengan TNF, sehingga secara biologis

membuat etanercept aktif dan mencegahnya berinteraksi dengan permukaan sel

reseptor TNF yang menyebabbkan aktivasi sel. Obat ini diberikan secara injeksi

subkutan, 50 mg sekali seminggu atau 25 mg dua kali seminggu. Pemberian

etanercept dihindari oleh pasien dengan multipel sklerosis. Banyak uji klinik telah
menggunakan etanercept pada pasien yang gagal terapinya menggunakan

DMARDs.17

2) Infliximab

Infliximab merupakan antibodi simerik gabungan dari IgG1 tikus dan manusia.

sebuah antibodi anti-TNF yang diciptakan dengan mengekspos tikus ke TNF

manusia. Bagian yang berikatan dari antibodi tersebut digabungkan ke bagian IgG

kontan manusia untuk mengurangi antigenitas dari protein asing. Antibodi tersebut,

ketika diinjeksikan pada manusia, berikatan dengan TNF dan mencegah interaksi

dengan reseptor TNF pada sel inflamasi. Infliximab diberikan secara infusi intavena

dengan dosis 3 mg/kg pada 0, 2, dan 6 minggu dan kemudian setiap 8 minggu.

Untuk mencegah pembentukan antibodi karena ada protein asing, methotrexate

seharusnya diberikan secara oral pada dosis tipikal yang digunakan untuk terapi RA

sepanjang pasien menggunakan infliximab. Infliximab diindikasikan untuk psoriatrik

artritis dan ankylosing spondylitis.17

3) Adalimumab

Adalimumab merupakan antibodi IgG1 manusia terhadap TNF. Karena tidak ada

komponen protein asing, adalimumab kurang antigenik dari pada infliximab. Obat

ini disediakan dalam bentuk injeksi 40 mg, yang diaplikasikan secara subkutan

setiap 14 hari.17

4) Antagonis reseptor IL-1

Anakinra adalah sebuah antagonis reseptor IL-1 yang merupakan antiinflamasi yang

terjadi secara alami. Dengan berikatan pada reseptor IL-1 pada sel target dapat

mencegah interaksi antara IL-1 dengan sel. IL-1 sangat penting dalam patogenesis

RA. IL-1 menstimulasi pelepasan faktor kemotaksis dan molekul adhesi, dan

memperantarai perpindahan dari leukosit ke jaringan. Selain itu juga melepaskan


faktor yang diketahui dapat memperbesar pembuluh darah dan direct sitotoksin yang

menghasilkan kerusakan jaringan.17

5) Abatacept

Abatacept merupakan modulator co-stimulan yang terbukti mengobati RA pada

pasien dengan untuk penyakit sedang hingga berat yang gagal mencapai respon yang

memadai dari satu atau lebih DMARD. Dengan berikatan pada reseptor CD80/CD86

di sel antigen, abatacept menghambat interaksi antara sel antigen dan sel T,

mencegah sel T mengativasi proses inflamasi, yang mana menghasilkan

pengurangan sitokin, proliferasi sel T, dan konsekuensi lainnya dari aktivasi sel T.

Abatacept adalah perpaduan protein yang digunakan pada ekstraseluler dari domain

4 dari antigen sitotoksik limfosit T ( bagian yang berikatan dengan obat) dan

fragmen dari domain fc dari modifikasi IgG manusia untuk mencegah fiksasi

komplemen. Obat ini diberikan dengan cara infus intravena berdasarkan berat pasien

( < 60 kg : 500 mg ; 60-100 kg : 750 mg ; > 100 kg ; 1000 mg) setiap 2 minggu

untuk 2 dosis setelah dosis awal dan kemudian setiap 4 minggu. Untuk pasien yang

gagal mencapai respon yang memadai dengan inhibitor TNF-alfa, setengahnya

memiliki respon klinis terhadap abatacept.17

Abatacept merupakan kontraindikasi yang berat dan infeksi yang tidak

terkontrol. Ini mungkin berhubungan dengan mode tindakan, seperti abatacept

memodulasi ko-stimulasi sel T tanpa depleting atau sel T yang benar-benar

terhambat. Jadi, untuk pasien dengan peningkatan risiko sepsis, profil manfaat /

risiko abatacept tampaknya menguntungkan, dengan pengecualian usia> 65 tahun,

dimana kejadian infeksi serius dilaporkan lebih tinggi usia <65 tahun. Abatacept

tidak kontraindikasi pada pasien dengan gagal jantung.21

6) Rituximab
Rituximab merupakan antibodi monoklonal simerik yang terdiri dari protein utama

manusia dengan bagian antigen berikatan berasal dari antibodi tikus untuk

mendapatkan protein CD20 pada permukaan sel dari sel limfosit B dewasa. Ikatan

rituximab dengan sel B menghasilkan deplesi perifer sel B, dengan pemulihan

bertahap setelah beberapa bulan. Efek berkepanjangan pada sel B menghasilkan

durasi aksi yang memungkinkan untuk terapi intermiten yang bervariasi berdasarkan

reaksi gejala arthritis. Rituximab berguna bagi pasien yang terapinya gagal

menggunakan methotrexate atau inhibitor TNF. 2 infus 1000 mg diberikan 2 minggu

secara terpisah.17

Rituximab merupakan kontraindikasi pada pasien dengan gagal jantung

NYHA Kelas IV atau penyakit jantung yang tidak terkontrol (parah), dan bukti

menunjukkan bahwa itu kurang cocok untuk pasien yang seronegatif. Rituximab

dengan frekuensi tinggi reaksi terkait pelepasan sitokin disertai dengan hipotensi dan

bronkospasme pada 10% pasien. Hipogammaglobulinaemia adalah masalah yang

tidak diketahui sehubungan dengan keamanan rituximab dalam jangka panjang

Deplesi sel-B jangka panjang, dalam beberapa pasien yang berlangsung selama

bertahun-tahun, adalah konsekuensi yang tidak diketahui mengenai keamanan terapi

untuk masa depan. Ketidakmampuan untuk memprediksi kejadian deplesi sel-B

menyediakan beberapa keraguan untuk melakukan Pengobatan pasien dengan

rituximab.21

7) Tocilizumab

Tocilizumab adalah yang pertama dikelas pengobatan RA dengan menargetkan

reseptor interleukin-6 (IL-6) yang merupakan zat kimia dalam tubuh yang

menyebabkan rasa sakit dan peradangan yang sistemik menetap yang dialami

penderita Artritis Rematoid. Tocilizumab adalah suatu antibodi yang menghambat


titik dimana IL-6 menempel pada permukaan sel. Ketika IL-6 tidak dapat menempel

pada sel, sel tidak dapat mengaktifkan sistem inflamasi pada RA. Tujuan dari terapi

dengan Tocilizumab adalah untuk mengurangi gejala dari RA, termasuk nyeri dan

bengkak. Studi lain juga menunjukkan hasil terapi dengan tocilizumab

memperlambat dan mencegah kerusakan lanjut pada sendi akibat penyakit RA.

Tocilizumab diberikan 4 mg per kg berat badan dengan cara diinjeksikan sekali

setiap 4 minggu.17

Tocilizumab muncul sangat cocok untuk pasien dengan fitur penyakit IL-6,

CRP tinggi, anemia penyakit kronis, keterlibatan sistemik dan kelelahan.

Penghambatan CRP dan neutropenia pada beberapa pasien (3,4%) perlu diwaspadai,

seperti tanda dan gejala sepsis dapat berkurang. Perforasi gastrointestinal dengan

adanya penyakit divertikular telah dilaporkan. Tocilizumab tidak kontraindikasi

pada pasien dengan gagal jantung. Pemantauan rutin lipid, enzim hati, neutrofil, dan

trombosit diperlukan pada pasien dengan penggunaan ini dan dapat mempengaruhi

analisis manfaat / risiko dari tocilizumab.21

8) Certolizumab pegol

Certolizumab pegol direkomendasikan untuk terapi penyakit Rheumatoid arthritis

yang telah mencoba MTX dan DMARDs lainnya selama 6 bulan, serta memiliki

rheumatoid arthritis “aktif” yang parah. Certolizumab pegol memiliki struktur yang

berbeda dengan inhibitor TNF lainnya. Certolizumab pegol terdiri dari fragmen

ikatan antibodi (Fab) dari antibodi monoklonal manusia terhadap konjugasi PEG

TNF, karena itu, tidak seperti agen lainnya, tidak mengandung fragmen Ig konstan.

Dosis yang direkomendasikan untuk RA adalah 400 mg ( 2 kali injeksi 200 mg)

untuk awal dan pada minggu kedua dan keempat, diikuti dengan dosis 20 mg setiap

minggu.17
9) Golimumab

Golimumab adalah inhibitor TNF-antibodi monoklonal yang menargetkan dan

menetralkan membran yang terikat TNF-alpha. Golimumab sedang diselidiki untuk

administrasi oleh subkutan (SC) injeksi dan intravena (IV) infus. Untuk awal,

Golimumab diberikan 50 mg secara subkutan sebulan sekali.17

Efikasi klinis (ACR20 tingkat respons 64,8% dalam abatacept dan 63,4% dalam

kelompok adalimumab) dan penghambatan perkembangan radiografi serupa dalam dua agen

ini. Tofacitinib sama efektifnya seperti adalimumab (ACR20 tingkat respons 51,5%, 52,6%,

dan 47,2% di antara pasien yang menerima 5 atau 10 mg tofacitinib atau mereka yang

mengonsumsi adalimumab). Hasil membuktikan bahwa khasiat certolizumab pegol tidak

berbeda secara signifikan dengan adalimumab, keduanya dalam kombinasi dengan MTX

(ACR20 tingkat respons 65% untuk certolizumab pegol dan 67% untuk adalimumab).

Perbandingan tidak langsung sangat menunjukkan keampuhan serupa dalam semua

bDMARD ketika digunakan dalam kombinasi dengan MTX. Secara umum, bDMARD

digunakan bersama dengan MTX. Namun, lebih dari sepertiga dari pasien tidak toleran

terhadap MTX dan kepatuhan rendah , terutama bila diberikan secara oral. Akibatnya, sekitar

30% pasien di praktek klinis diberikan menggunakan bDMARDs secara monoterapi. Di

samping MTX. Tocilizumab adalah agen biologis pertama yang menunjukkan signifikan

secara statistikefikasi klinis yang lebih unggul dibandingkan MTX saat digunakan pada

monoterapi, meskipun kira-kira dua pertiga pasien dalam kelompok MTX mencapai di dosis

tetap 20 mg / minggu pada minggu ke 8.20


Gambar 9. Perbandingan agen biologi dan kejadian infeksi 21

Gambar 10. Secara ringkas menurut AC2 2008 tentang penggunaan agen biologis pada

RA 18
Skema 1. Alur tatalaksana agen biologi pada RA21
Gambar 7. Agen biologi yang dipakai di Indonesia8

Biaya pada agen biologis pada RA.

Memang, masalah utama yang terkait dengan penggunaan biologik adalah

biaya: $ 1,200–1,400 per bulan ($ 14,400–16,800 per tahun) .Perkiraan menunjukkan

bahwa agen biologi telah meningkatkan total biaya langsung tahunan mengobati

pasien dengan RA 3 kali lipat. Namun, biaya keseluruhan dari agen biologi harus

mempertimbangkan manfaat dalam mengurangi dampak penyakit RA. Sampai saat

ini, beberapa analisis biaya-manfaat telah mengevaluasi biaya pengobatan pasien RA

dengan agen biologi. Analisis terbaru membandingkan biaya dan kualitas yang

disesuaikan angka kehidupan (QALYs) untuk infliximab, etanercept, adalimumab,

dan anakinra di AS. Dalam studi ini, infliximab adalah terapi yang paling mahal.

Dengan asumsi harga pembayaran $ 50.000 / QALY, probabilitas bahwa infliximab

adalah biaya efektif adalah <1%. Anakinra adalah yang paling murah, tetapi juga yang

paling efektif, menghasilkan sekitar 0,2 QALYs lebih kurang dari anti-TNFs.18

Penelitian ini menunjukkan bahwa biaya 12 bulan secara signifikan lebih

rendah untuk adalimumab (217 pasien) daripada infliximab (234 pasien): terapi

antagonis TNF dengan biaya, $ 12,853 vs $ 17.299 (P = 0,002); dan total biaya
perawatan kesehatan terkait RA, $ 14.764 vs. $ 20.566 (P = 0,002). Dalam penelitian

yang sama, biaya 12 bulan untuk adalimumab sebanding dengan mereka dengan

penggunaan etanercept. Para penulis mengakui bahwa biaya terkait RA yang lebih

besar untuk infliximab dari adalimumab dan etanercept mungkin mencerminkan

tingkat dosis eskalasi infliximab yang lebih tinggi. Dalam sebuah penelitian

retrospektif biaya rencana kesehatan AS terkait dengan RA, etanercept dikaitkan

dengan biaya obat dan rawat jalan yang lebih rendah daripada infliximab dan

adalimumab.Infliximab dan adalimuab memiliki total biaya kesehatan bulanan terkait

RA yang 1.55 kali dan 1,12 kali lebih besar, masing-masing, dari biaya untuk

etanercept. 18

Antagonis TNF paling hemat biaya bila digunakan sebagai agen lini ketiga

dalam urutan DMARDs: ICERs adalah £ 24.000 per QALY untuk etanercept; £

30.000 per QALY untuk adalimumab; dan £ 38.000 per QALY untuk infliximab.

Yang penting, efektivitas biaya agen-agen ini cenderung relatif lebih baik daripada di

Amerika Serikat, di mana penggunaan biologis pada pasien dengan penyakit ringan

hingga sedang lebih sering terjadi pada klinis. Perkiraan biaya untuk infliximab

hingga $ 30,287 per tahun, tergantung pada jadwal dosis yang digunakan, dan eskalasi

dosis substansial infliximab adalah umum.Dosis yang dianjurkan rejimen induksi 3

mg / kg IV (pada interval 0, 2, dan 6 minggu), diikuti oleh dosis pemeliharaan setiap 8

minggu. Namun, untuk pasien dengan respon yang tidak lengkap, dosis infliximab

dapat disesuaikan hingga 10 mg / kg, dan / atau interval pemberian dosis dapat

dikurangi menjadi sesingkat 4 minggu, yang dapat meningkatkan biaya pengobatan.

satu analisis data klaim AS menunjukkan bahwa 18% pasien yang diobati

adalimumab memiliki peningkatan dosis, sedangkan hampir 40% pasien yang diobati

dengan infliximab memiliki frekuensi infus atau dosis meningkat. Dosis eskalasi
etanercept jarang terjadi dan tidak dianjurkan karena kurangnya tunjangan tambahan

yang diamati. Ulasan terbaru, dengan efektivitas biaya yang didefinisikan sebagai

ICER di bawah US $ 50.000 - $ 100.000 per QALY, mengungkapkan bahwa

DMARD efektif biaya pada awal RA, anti-TNF adalah obat dengan biaya efektif jika

DMARD gagal, dan rituximab atau abatacept efektif biaya jika terapi anti-TNF gagal,

yang sejalan dengan rekomendasi EULAR.Satu studi memperkirakan bahwa

rituximab hemat biaya oleh standar Eropa dengan QALY / biaya ICER € 23,696

setelah satu tahun.18

Anda mungkin juga menyukai