Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

Kasus malaria di Indonesia berhasil dikendalikan, terbukti dengan adanya


penurunan jumlah kasus malaria yang terjadi. Angka kejadian pada tahun 2010
terdapat 465.764 kasus positif malaria dan angka ini telah menurun pada tahun
2015 menjadi 209.413 kasus, penurunan angka kejadian malaria atau annual
parasite incidence (API) secara nasional menjadi 0,85 per 1000 pada tahun 2015.
Angka kejadian menurun secara nasional, tetapi berdasarkan gambaran
peta persebaran penyakit malaria di Indonesia, daerah Indonesia timur masih
menjadi tempat yang rawan terjadi infeksi malaria. Hal tersebut membuat kita
tetap harus waspada karena malaria merupakan salah satu dari penyakit kesehatan
masyarakat yang berbahaya, dan merupakan pembunuh anak kecil dan ibu hamil
yang utama di banyak negara berkembang
Ibu hamil bukan hanya mudah terserang malaria, tetapi juga berisiko
terjadi komplikasi lebih tinggi bila dibandingkan dengan orang dewasa yang tidak
hamil. Komplikasi malaria dalam kehamilan beragam bukan hanya komplikasi
terhadap ibunya tetapi juga terhadap kehamilan, janin bahkan pertumbuhan
perkembangan bayi yang dilahirkan. Hal tersebut mendasari pentingnya
pengetahuan seorang praktisi ilmu kedokteran mengenai penegakan diagnosis dan
penatalaksanaan malaria, terutama dalam kasus ini malaria dalam kehamilan.
Penanganan kasus malaria terus berubah dari waktu ke waktu. Hal tersebut
disebabkan oleh meningkatnya resistensi parasit terhadap obat anti-malaria
sehingga praktisi harus waspada akan pembaharuan terapi yang diberikan dalam
pelayanan terhadap masyarakat, dalam hal ibu hamil, penanganan malaria tentu
memiliki batasan yang berbeda bila dibandingkan dengan penanganan malaria
secara umum.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
• Nama Pasien : Ny. RW
• Usia : 24 tahun
• Nama Suami : Tn. AU
• Pekerjaan Pasien : IRT
• Alamat :Waena Kampung
• Pendidikan : SMTA
• Tinggi Badan : 155 cm
• Berat Badan : 55kg
• Tanggal MRS : 19/2/2018
• Tanggal KRS : 24/2/2018
• No. RM : 28 09 06
• DPJP : dr. Titie, Sp.OG

Assesment Awal (19/2/2018)


Anamnesis
Seorang wanita, usia 24 tahun,datang ke RSUD Abepura dengan keluhan
bercak- bercak merah seluruh tubuh dan luka pada bibir. Hal ini dirasakan pasien
sejak 3 hari SMRS. Pada awalnya timbul bintik- bintik merah di kedua tangan
kemudian timbul di badan, leher, wajah, dan kedua kaki. Bintik – bintik terasa
panas dan gatal bila berkeringat. Pasien juga mengeluhkan awalnya bengkak pada
bibirnya, kemudian timbul luka dan berdarah.
Dua minggu yang lalu (7 Februari 2018), pasien merasa gatal- gatal di
seluruh tubuhnya. Pasien mengaku hal ini dialami setelah pasien memulai minum
obat ARV yang diterima dari Poli VCT kurang lebih 2 minggu. Pasien kemudian
berobat ke Poli Penyakit Dalam, dan diberi obat CTM. Pasien merasa gatal- gatal
menghilang.

2
Riwayat Alergi :
Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat Penyakit Keluarga:
Riwayat Pengobatan:

Pemeriksaan Fisik
• Keadaan Umum: Baik
• Kesan sakit : Sedang
• Kesadaran : compos mentis
• Tanda-tanda vital :
• Tekanan darah : 110/70 mmHg
• Nadi : 70 x/menit
• Respirasi : 20 x/menit
• Suhu : 37 0C
• Kepala :
• Wajah : skuama (+)
• Mukosa bibir : krusta (+), erosi (+)
• Mata :
• Konjunctiva : hiperemis +/+
• Sclera : ikterik +/+
• Leher : skuama (+), erosi (+)
• Mulut : krusta (+), erosi (+)
• Jantung : BJM, reguler, murmur (-)
• Paru : VBS ka=ki, Rh -/-, Wh -/-
• Abdomen : skuama (+)
• Genitalia : erosi (+)
• Ekstremitas : oedem +/+, akral hangat, CRT <2“

Usul Pemeriksaan
• Hematologi rutin
• GDS, BT, CT

3
• DDR
• VCT Antibodi
• HbsAg

Hematologi (7/2/2018)
• HB: 9.8 g/dL (↓)
• Ht : 29.8 % (↓)
• Leukosit: 12.300/mm3
• Trombosit: 14.000/mm3
• Eritrosit: 3.8 juta/mm3 (↓)
• MCV: 7.9 fL
• MCH: 26 pg/mL
• MCHC: 32.9 g/dL
CT: 5’00”
BT: 4’00”
Imunologi
• HbsAg: Non Reaktif
• Tes VCT Antibodi: Non Reaktif
• DDR: PV +++
Diagnosis Kerja
G1P0A0 gravida 32 minggu inpartu kala 1 fase aktif + Malaria vivax
Penatalaksanaan
• Persalinan Normal
• IVFD D5 20 tpm
• Inj Artesunat 2/ 0-12-24 j
• Paracetamol 2x500
• Asam Traneksamat /8 j
• Ranitidine 50 mg/12 j
Follow Up

4
Tanggal/ T (mmHg) N (bpm) R (x/menit) S (oC)
Jam
21-2-18/ 110/70 80 18 afebris
09.00
S: - Bercak kemerahan diseluruh tubuh yang terasa panas
- Luka pada bibir
- Demam, batuk berdahak
- Bengkak pada kedua tangan
Kes: CM KU: baik
O: TD = 110/70 mmHg, Nadi= 80 x/ menit
RR= 20 x/ menit, Suhu = 37,9
Sindrom Stevens – Johnson
A: HIV AIDS
Drug Induced Hepatitis

IVFD RL 20 tpm
P: Injeksi metilprednisolon 3x 62,5 mg
Injeksi Ranitidin 2x 1 ampul
Kotrimoksazol 2x1 tab
Hepadna 3x1tab
Sistenol 3x1 tab PO (jika demam)
Salep elox+ fuladic+bionic
Fungasol shampoo
Cek SGOT/ SGPT

Hasil Lab tanggal 13-12-17


HGB (g/dL) 9.2 WBC (10^3/uL) 11.01
RBC (10^6/uL) 3.74 EO% 1.0
HCT (%) 28.3 BASO% 0.2

5
MCV (fL) 75.7 NEUT% 74.9
MCH (pg) 24.6 LYMPH% 18.0
MCHC (g/dL) 32.5 MONO % 5.9
RDW-SD (fL) 49.8 PLT (10^3/uL) 19
RDW-CV (%) 19.0 DDR PV ++ GV +

Jawaban Konsul SpPD


• Artesunat Lanjut
• Clindamicin 300 mg 2x1
• Cek CT, BT, ADT
• Bila da perdarahan spontan cek trombosit, injeksi asam traneksamat/8 jam
Tanggal/Jam T (mmHg) N (bpm) R (x/menit) S (oC) TFU
14-12-17/ 110/80 80 20 36.5 3 Jari di bawah
08.55 pusat
S: Nyeri luka jahitan(+), BAK (+). Tanda Perdarahan (-)
O: Kes: CM KU: baik
TFU: 3 jari di bawah pusat
Kontraksi baik, lokia rubra, rupture perineum gr II
A: P1A0 Post partus prematurus spontan + Malaria tertiana + post
P: perineorrhaphy + trombositopenia + anemia ringan
Observasi tanda-tanda perdarahan, Cek CT, BT, HDT
IUFD RL 20 tpm
Clindamycin 2x300mg
Inj Asam tranexamat 500 mg/8 jam
Inj Artesunat 2FLc (0,12,24)
Darplex 1x3 tab (3 hari)
Paracetamol 3x500 mg PO
SF 1x1
Cefadroxil 2x500 mg PO (stop)

Hasil Lab tanggal 14-12-17


HGB (g/dL) 9.3 WBC (10^3/uL) 8.79
RBC (10^6/uL) 3.77 EO% 1.0
HCT (%) 28.2 BASO% 0.3
MCV (fL) 74.8 NEUT% 67.1

6
MCH (pg) 24.7 LYMPH% 25.3
MCHC (g/dL) 33 MONO % 6.3
RDW-SD (fL) 50.3 PLT (10^3/uL) 27
RDW-CV (%) 19.4 CT 5’00”
DDR Negatif BT 4’00”

Hasil Apusan Darah Tepi (14-12-17)


• Eritrosit: Anisositosis, dominasi normositik, mikrositik, normokrom, gv(+)
• Leukosit: Jumlah kesan cukup, granulosit imatur (stab+), granulotoksik
netrofil
• Trombosit: Jumlah kesan menurun, penyebaran tidak merata, trombosit
besar, giant platelet
• Kesan: observasi trombositopenia dengan gambaran anemia pada
penderita tertiana disertai infeksi bakterial

Tanggal/Jam T (mmHg) N (bpm) R (x/menit) S (oC) TFU


15-12-17/ 120/80 80 20 afebris 3 Jari di
08.15 bawah pusat
S: Keluhan (-). Tanda Perdarahan (-)
O: Kes: CM KU: baik
Lokia dbn
A: P1A0 Post partus prematurus spontan + Malaria tertian + post
perineorrhaphy + trombositopenia + anemia ringan
Observasi TTV, KU
P:
IUFD RL 24 tpm
Clindamycin 2x300 mg
Darplex 1x3 tab
Inj Artesunat 2FLc (0,12,24)
Paracetamol 3x500 mg PO
SF 1x1

7
Injeksi asam traneksamat stop, ganti oral asam traneksamat 3x1
Advis SpPD: BPL, control Poli

Hasil Lab tanggal 13-12-17


HGB (g/dL) WBC (10^3/uL)
RBC (10^6/uL) EO%
HCT (%) BASO%
MCV (fL) NEUT%
MCH (pg) LYMPH%
MCHC (g/dL) MONO %
RDW-SD (fL) PLT (10^3/uL) 81
RDW-CV (%)

8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Malaria merupakan penyakit infeksi sel darah merah oleh protozoa
yang disebarkan oleh gigitan vektor nyamuk Anopheles betina(White,
2014)
Malaria merupakan suatu penyakit infeksi akut maupun kronik
yang disebabkan oleh parasit Plasmodium yang menyerang eritrosit dan
ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual dalam darah, dengan
gejala demam, menggigil, anemia, dan pembesaran limpa.(IDI, 2014)

3.2 Etiologi
Infeksi malaria pada manusia disebabkan oleh Plasmodium
falciparum, P.vivax, P.malariae, P. Ovale dan P.knowlesi.

3.3 Epidemiologi

Gambar 3.1 Peta Epidemiologi Malaria di Dunia (CDC, 2017)

9
Malaria merupakan salah satu dari penyakit kesehatan masyarakat yang
berbahaya, merupakan pembunuh anak kecil dan ibu hamil yang utama di banyak
negara berkembang.(CDC, 2017)
 3.2 milyar orang hidup di daerah berisiko transmisi malaria di 106 negara
dan teritori dunia
 Pada tahun 2016, malaria mengakibatkan 216 episode klinis, 445.000
kematian. 91% angka kematian tersebut dilaporkan oleh WHO di regio
Afrika.

Gambar 3.2 Peta Endemisitas Malaria di Indonesia (IDI, 2017)


Di Indonesia, pada tahun 2010 terdapat 465.764 kasus positif malaria dan
angka ini telah menurun pada tahun 2015 menjadi 209.413 kasus,penurunan
angka kejadian Malaria atau annual parasite incidence (API) secara nasional
menjadi 0,85 per 1000 pada tahun 2015. Saat ini lebih dari 80% Kabupaten/Kota
di wilayah Jawa, Bali, dan Sumatera Barat telah mencapai Eliminasi Malaria.
Artinya, sekitar 74% penduduk Indonesia telah hidup di daerah Bebas Penularan
Malaria.(KemenkesRI, Inilah Fakta Keberhasilan Pengendalian Malaria, 2016)

3.4 Faktor Risiko


Orang yang paling berisiko terinfeksi adalah orang yang tinggal di daerah
endemis dengan atau tanpa imunitas terhadap infeksi malaria. Kelompok paling
berisiko adalah,

10
 Anak kecil, yang belum memiliki imunitas parsial terhadap malaria
 Wanita hamil, yang imunitasnya berkurang karena kehamilannya terutama
pada trimester pertama dan kedua kehamilan.
 Pelancong atau imigran dari daerah non-endemis yang tidak memiliki
imunitas terhadap malaria.(CDC, 2017)

Infeksi malaria pada ibu hamil trimester kedua dan ketiga lebih berisiko
menjadi malaria berat dibandingkan dengan penderita dewasa lainnya dan
biasanya diperberat dengan adanya hipoglikemi dan edema pulmonal. Mortalitas
pada wanita hamil 50% lebih tinggi dibandingkan dengan penderita dewasa lain
yang tidak hamil. Kematian janin dan kelahiran prematur sering terjadi.(WHO,
Guidelines for The Treatment of Malaria 3rd ed., 2015)

11
3.5 Patgenogenesis dan Patofisiologi Malaria

Gambar 3.3 Patogenesis-Patofisiologi Malaria

Pada infeksi P.vivax dan P. ovale sebagian dari parasit intrahepatik tidak
berkembang melainkan memasuki fase dorman yang disebut hipnozoit dan bisa

12
aktif kembali dalam beberapa minggu atau bulan kemudian sehingga
menyebabkan relaps pada infeksi kedua spesies tersebut.(White,
2014)Plasmodium vivaxmerupakan penginduksi pelepasan TNF yang lebih kuat
dari P.falciparum.Infeksi Plasmodium vivax juga dapat menyebabkan sitoadheren
walau tingkatnya 10 kali lebih rendah dari sitoadheren pada infeksi P.falciparum.
Sitoadhesi eritrosit terinfeksi plasmodium vivax (Pv-iE) dimediasi oleh protein
VIR yang dikode oleh P.vivax variant genes (vir).(Bruna, et al., 2010)
Periodisitas demam malaria menjadikan suatu terminologi jenis demam.
P.malariae memiliki siklus demam selama 72 hari pada infeksi yang tidak
ditangani yakni demam setiap hari ke 4 sehingga disebut malaria kuartana.
Malaria lainnya disebut malaria tertiana karena demam terjadi setiap hari ke 3
atau 48 hari siklus aseksual. Pada kasus infeksi P.falciparum demam terjadi setiap
hari sehingga disebut malaria tropika atau quotidian fever.(White, 2014)
Trombositopenia sering terjadi pada infeksi Plasmodium vivax dan
Plasmodium falciparum yang mungkin disebabkan karena gangguan koagulasi,
splenomegali, alterasi sumsum tulang, antibody-mediated platelet destruction,
stres oksidatif, dan peran platelet sebagai kofaktor pencetus malaria berat.
Kejadian perdarahan minor dilaporkan pada kasus infeksi malaria vivax, tetapi
secara keseluruhan, hemostasis primer masih terjaga karena kompensasi medula
dengan menghasilkan mega platelet oleh megakaryocytes.(Lacerda, Mourao,
Coelho, & Santos, 2011)

13
Gambar 3.4 Mekanisme Terjadinya Trombositopenia Pada Malaria
(Lacerda, Mourao, Coelho, & Santos, 2011)

3.6 Dasar Diagnosis dan Diagnosis Banding


Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis (Trias Malaria: panas –menggigil –
berkeringat), pemeriksaan fisik, dan ditemukannya parasit plasmodium pada
pemeriksaan mikroskopis hapusan darah tebal/tipis. (IDI, 2014)
Untuk anak <5 tahun diagnosis menggunakan MTBS namun pada daerah endemis
rendah dan sedang ditambahkan riwayat perjalanan ke daerah endemis dan
transfusi sebelumnya. Pada MTBS diperhatikan gejala demam dan atau pucat
untuk dilakukan pemeriksaan sediaan darah.(KemenkesRI, Buku Saku
Penatalaksanaan Kasus Malaria, 2017)
Diagnosis pasti malaria harus ditegakkan dengan pemeriksaan sediaan darah
secara mikroskopis atau uji diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test=RDT).
(KemenkesRI, Buku Saku Penatalaksanaan Kasus Malaria, 2017)
Klasifikasi
Klasifikasi diagnosis malaria berdasarkan Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di
Fasilitas Kesehatan Primer,(IDI, 2014)
1. Malaria falsiparum, ditemukan Plasmodium falsiparum
2. Malaria vivaks ditemukan Plasmodium vivax.
3. Malaria ovale, ditemukan Plasmodium ovale.
4. Malaria malariae, ditemukan Plasmodium malariae.
5. Malaria knowlesi, ditemukan Plasmodium knowlesi.

Anamnesis
Pada anamnesis sangat penting diperhatikan:
a. Keluhan: demam, menggigil, berkeringat dan dapat disertai sakit kepala,
mual, muntah, diare dan nyeri tot atau pegal-pegal.
b. Riwayat sakit malaria dan riwayat minum obat malaria.
c. Riwayat berkunjung ke daerah endemis malaria.
d. Riwayat tinggal di daerah endemis malaria
(KemenkesRI, Buku Saku Penatalaksanaan Kasus Malaria, 2017)

14
Pemeriksaan fsik
a. Suhu tubuh aksiler ≥ 37,5 °C
b. Konjungtiva atau telapak tangan pucat
c. Sklera ikterik
d. Pembesaran Limpa (splenomegali)
e. Pembesaran hati (hepatomegali)
(KemenkesRI, Buku Saku Penatalaksanaan Kasus Malaria, 2017)

Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan dengan mikroskop
Pemeriksaan sediaan darah (SD) tebal dan tipis di Puskesmas/lapangan/
rumah sakit/laboratorium klinik untuk menentukan:(KemenkesRI, Buku
Saku Penatalaksanaan Kasus Malaria, 2017)
a) Ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif).
b) Spesies dan stadium plasmodium.
c) Kepadatan parasit.

b. Pemeriksaan dengan uji diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test)


Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria,
dengan menggunakan metoda imunokromatograf. Sebelum menggunakan
RDT perlu dibaca petunjuk penggunaan dan tanggal kadaluarsanya.
Pemeriksaan dengan RDT tidak digunakan untuk mengevaluasi
pengobatan.(KemenkesRI, Buku Saku Penatalaksanaan Kasus Malaria,
2017)

15
Gambar 3.5 Alur Diagnosis Malaria
(KemenkesRI, Buku Saku Penatalaksanaan Kasus Malaria, 2017)

Diagnosis Malaria Berat


Malaria berat adalah: ditemukannya Plasmodium falciparum stadium aseksual
dengan minimal satu dari manifestasi klinis atau didapatkan temuan hasil
laboratorium(WHO, Guidelines for The Treatment of Malaria 3rd ed., 2015):
1. Perubahan kesadaran (GCS<11, Blantyre <3)
2. Kelemahan otot (tak bisa duduk/berjalan)
3. Kejang berulang-lebih dari dua episode dalam 24 jam
4. Distres pernafasan
5. Gagal sirkulasi atau syok: pengisian kapiler > 3 detik, tekanan
sistolik <80 mm Hg (pada anak: <70 mmHg)
6. Jaundice (bilirubin>3mg/dL dan kepadatan parasit >100.000)
7. Hemoglobinuria
8. Perdarahan spontan abnormal
9. Edema paru (radiologi, saturasi Oksigen <92%)

16
Gambaran laboratorium:
1. Hipoglikemi (gula darah <40 mg%)
2. Asidosis metabolik (bikarbonat plasma <15 mmol/L).
3. Anemia berat (Hb <5 gr% untuk endemis tinggi, <7gr% untuk
endemis sedang-rendah), pada dewasa Hb<7gr% atau hematokrit
<15%)
4. Hiperparasitemia (parasit >2 % eritrosit atau 100.000 parasit /μL di
daerah endemis rendah atau > 5% eritrosit atau 100.0000 parasit
/μl di daerah endemis tinggi)
5. Hiperlaktemia (asam laktat >5 mmol/L)
6. Hemoglobinuria
7. Gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum >3 mg%)
Diagnosis malaria vivax berat ditegakkan dengan kriteria klinis dan laboratorium
yang sama dengan malaria falciparum tetapi tanpa ketentuan kepadatan parasit
dalam darah.(WHO, Guidelines for The Treatment of Malaria 3rd ed., 2015)
Diagnosis malaria knowlesi berat ditegakkan dengan kriteria klinis dan
laboratorium yang sama dengan malaria falciparum tetapi dengan dua perbedaan
yakni, (WHO, Guidelines for The Treatment of Malaria 3rd ed., 2015)
 Hiperparasitemia P.knowlesi: densitas parasit > 100.000/uL
 Ikterik disertai densitas parasit >20.000/uL

Diagnosis Banding(IDI, 2014)


1. Demam Dengue
2. Demam Tifoid
3. Leptospirosis
4. Infeksi virus akut lainnya

3.7 Penatalaksanaan
Berikut penatalaksanaan menurut buku Panduan Praktik Klinis Bagi
Dokter Di Fasilitas Kesehatan Primer oleh IDI tahun 2014 dan penatalaksanaan
berdasarkan Buku Saku Penatalaksanaan Kasus Malaria oleh Kemenkes tahun
2017.
Pengobatan Malaria falsiparum

17
1. Lini pertama: dengan Fixed Dose Combination (FDC) yang terdiri dari
Dihydroartemisinin (DHA) + Piperakuin (DHP) tiap tablet mengandung
40 mg Dihydroartemisinin dan 320 mg Piperakuin. Untuk dewasa dengan
Berat Badan (BB) sampai dengan 59 kg diberikan DHP per oral 3 tablet
satu kali per hari selama 3 hari dan Primakuin 2 tablet sekali sehari satu
kali pemberian, sedangkan untuk BB >.60 kg diberikan 4 tablet DHP satu
kali sehari selama 3 hari dan Primaquin 3 tablet sekali sehari satu kali
pemberian. Dosis DHA = 2-4 mg/kgBB (dosis tunggal), Piperakuin = 16-
32 mg/kgBB (dosis tunggal), Primakuin = 0.75 mg/kgBB (dosis tunggal).
2. Lini kedua (pengobatan malaria falsiparum yang tidak respon terhadap
pengobatan DHP): Kina + Doksisiklin/ Tetrasiklin + Primakuin. Dosis
kina = 10 mg/kgBB/kali (3x/hari selama 7 hari), Doksisiklin = 3-5
mg/kgBB per hari (dewasa, 2x/hari selama7 hari) , 2,2 mg/kgBB/hari ( 8-
14 tahun, 2x/hari selama 7 hari) , Tetrasiklin = 4-5 mg/kgBB/kali (4x/hari
selama 7 hari).
(IDI, 2014)

Gambar 3.6 Tabel Dosis Pengobatan Malaria Falciparum


(KemenkesRI, Buku Saku Penatalaksanaan Kasus Malaria, 2017)

Pengobatan Malaria vivax dan Malaria ovale


1. Lini pertama: Dihydroartemisinin (DHA) + Piperakuin (DHP), diberikan
peroral satu kali per hari selama 3 hari, primakuin = 0.25 mg/kgBB/hari
(selama 14 hari).

18
2. Lini kedua (pengobatan malaria vivax yang tidak respon terhadap
pengobatan DHP): Kina + Primakuin. Dosis kina = 10 mg/kgBB/kali
(3x/hari selama 7 hari), Primakuin = 0.25 mg/kgBB (selama 14 hari).
(IDI, 2014)

Gambar 3.7 Tabel Dosis Pengobatan Malaria Vivax dan Ovale


(KemenkesRI, Buku Saku Penatalaksanaan Kasus Malaria, 2017)

Pengobatan malaria vivax yang relaps (kambuh):


Diberikan lagi regimen DHP yang sama tetapi dosis
primakuinditingkatkan menjadi 0,5 mg/kgBB/hari.(KemenkesRI, Buku Saku
Penatalaksanaan Kasus Malaria, 2017)
Dugaan relaps pada malaria vivax adalah apabila pemberian Primakiun
dosis 0,25 mg/kgBB/hari sudah diminum selama 14 hari dan penderita sakit
kembali dengan parasit positif dalam kurun waktu 3 minggu sampai 3 bulan
setelah pengobatan.

Pengobatan Malaria malariae


Cukup diberikan DHP 1 kali perhari selama 3 hari dengan dosis sama
dengan pengobatan malaria lainnya dan dengan dosis sama dengan pengobatan
malaria lainnya dan tidak diberikan Primakuin. (KemenkesRI, Buku Saku
Penatalaksanaan Kasus Malaria, 2017)

Pengobatan Malaria Berat

19
Artesunat intravena merupakan pilihan utama. Jika tidak tersedia dapat
diberikan kina drip.(KemenkesRI, Buku Saku Penatalaksanaan Kasus Malaria,
2017)
Kemasan dan cara pemberian artesunat: Artesunat parenteral tersedia
dalam vial yang berisi 60 mg serbuk kering asam artesunik dan pelarut dalam
ampul yang berisi natrium bikarbonat 5%. Keduanya dicampur untuk membuat 1
ml larutan sodium artesunat. Kemudian diencerkan dengan Dextrose 5% atau
NaCL 0.9% sebanyak 5 ml sehingga didapat konsentrasi 60 mg/6ml (10mg/ml).
Obat diberikansecara bolus perlahan-lahan. Artesunat diberikan dengan dosis 2.4
mg/kgbb intravena sebanyak 3 kali jam ke 0, 12, 24. Selanjutnya diberikan 2.4
mg/kgbb intravena setiap 24 jam sehari sampai penderita mampu minum obat.
Bila penderita sudah dapat minum obat, maka pengobatan dilanjutkan dengan
regimen DHP atau ACT lainnya (3 hari) + primakuin (sesuai dengan jenis
plasmodiumnya)

Pengobatan infeksi campuran antara Malaria falsiparum dengan Malaria


vivax/ Malaria ovale dengan DHP
Pada penderita dengan infeksi campuran diberikan DHP 1 kali per hari selama 3
hari, serta DHP 1 kali per hari selama 3 hari serta Primakuin dosis 0,25 mg/kgBB
selama 14 hari.(KemenkesRI, Buku Saku Penatalaksanaan Kasus Malaria, 2017)

Pengobatan Malaria Pada Ibu Hamil


Pengobatan malaria pada ibu hamil menurut Panduan Praktik Klinis Bagi
Dokter Di Fasilitas Kesehatan Primer tahun2014,(IDI, 2014)
1. Trimester pertama: Kina tablet 3x 10mg/ kg BB + Clindamycin
10mg/kgBB selama 7 hari.
2. Trimester kedua dan ketiga diberikan DHP tablet selama 3 hari.
Sementara pengobatan malaria pada ibu hamil menurut Buku Saku
Penatalaksanaan Kasus Malaria Tahun 2017, pada prinsipnya pengobatan malaria
pada ibu hamil sama dengan pengobatan pada orang dewasa lainnya. Pada ibu
hamil tidak diberikan Primakuin.Pengobatan mulai dari timester I-III

20
menggunakan ACT selama 3 hari.(KemenkesRI, Buku Saku Penatalaksanaan
Kasus Malaria, 2017)
Pengobatan malaria berat untuk ibu hamil dilakukan dengan memberikan
artesunat injeksi atau kina HCl drip intravena.(KemenkesRI, Buku Saku
Penatalaksanaan Kasus Malaria, 2017)

3.8 Pencegahan
Pencegahan yang dapat dilakukan antara lain,(IDI, 2014)
1. Menghindari gigitan nyamuk dengan kelambu atau repellen
2. Menghindari aktivitas di luar rumah pada malam hari
3. Mengobati pasien hingga sembuh misalnya dengan pengawasan minum
obat

Vaksin Malaria
RTS,S/AS01 (RTS,S) atau disebut juga sebagai Mosquirix™ merupakan
vaksin malaria pertama di dunia yang memberikan hasil proteksi parsial terhadap
malaria pada anak kecicl. Vaksin tersebut bekerja melawan infeksi P.falciparum
dan direkomendasikan oleh WHO penggunaannya di 3 negara benua afrika untuk
kemudian dievaluasi sebagai pencegahan malaria tambahan.
Pada fase uji coba ketiga yang dilakukan selama 5 tahun dari tahun 2008-
2014, dengan jumlah ssampel kurang lebih 15000 anak kecil dan infan di 7 negara
sub-Saharan Afrika, vaksin antimalaria dapat memberikan hasil pencegahan
sebanyak 4 dari 10 (39%) angka kejadian malaria dan 3 dari 10 (32%) angka
kejadian malaria berat.(WHO, Malaria, 2017)

3.9Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada masyarakat umum antara lain, (IDI, 2014)
1. Malaria serebral.
2. Anemia berat.
3. Gagal ginjal akut.
4. Edema paru atau ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome).

21
5. Hipoglikemia.
6. Gagal sirkulasi atau syok.
7. Perdarahan spontan dari hidung, gusi, alat pencernaan dan atau
disertaikelainan laboratorik adanya gangguan koagulasi intravaskular.
8. Kejang berulang > 2 kali per 24 jam pendidngan pada hipertermia.
9. Asidemia (pH darah <7.25) atau asidosis (biknat plasma < 15 mmol/L).
10. Makroskopik hemoglobinuria karena infeksi malaria akut

Komplikasi pada Ibu Hamil


Komplikasi malaria dalam kehamilan termasuk anemia, BBLR, kelahiran
prematur dan meningkatnya angka mortalitas perinatal. Infeksi malaria pada
kehamilan juga dapat disertai dengan peningkatan akumulasi parasit di spasium
intervilar plasenta yang pada saat bersamaan eritrosit menempel pada dinding
endotel. Adhesi atau sekuestrasi ini dimediasi oleh adanya antigen permukaan
(variant surface antigen /VSA) yang terbentuk pada permukaan eritrosit
terinfeksi. (Soma & Macdonald, 2012)
VSA kemudian berikatan engan kondroitin sulfat A di sinsitiotrofoblas
yang melapisi spatium intervillar. Sekuestrasi menyebabkan pengeluaran leukosit
pro inflamasi yang kemudian menyebabkan nekrosis dari jaringan plasenta.
Infeksi plasenta juga mengganggu invasi trofoblast sehingga terjadi gangguan
fungsi vaskular plasenta yang kemudian berpengaruh dalam pertumbuhan janin.
Selain mengganggu pertumbuhan janin, studi juga menyatakan adanya korelasi
antara plasental malaria dengan terjadinya hipertensi dalam kehamilan.(Soma &
Macdonald, 2012)
Wanita multigravida di daerah endemik lebih terlindungi dari malaria
plasental, hal tersebut mungkin disebabkan oleh antibodi maternal yang mencegah
sitoadhesi parasit ke jaringan plasenta. Proteksi ini sirna ketika wanita tersebut
pindah keluar dari daerah endemis dan kembali berisiko bila kembali ke daerah
endemis setelah beberapa waktu. (Soma & Macdonald, 2012)

Komplikasi pada Janin dan Bayi

22
Kejadian komplikasi perinatal dipengaruhi beberapa faktor termasuk
paritas maternal, status HIV dan kadar besi maternal. Hitung parasit dan infeksi
plasental yang tinggi lebih sering ditemui pada primigravida dan ibu dengan HIV
positif.(Soma & Macdonald, 2012)
Restriksi Pertumbuhan Fetal merupakan faktor risiko untuk peningkatan
angka mortalitas neonatal dan infan juga berpengaruh pada pertumbuhan
perkembangan post natal. Sementara kongenital malaria terjadi pada 0.3% infant
dari ibu terinfeksi malaria pada daerah imun dan 1-4% infan pada daerah non-
imun. Gejala klinis malaria kongenital termasuk demam, iritabilitas, kesulitan
makan, ikterik, anema dan hepatosplenomegali yang harus dipikirkan sebagai
diagnosis banding dari sepsis neonatal.(Soma & Macdonald, 2012)

BAB IV
PEMBAHASAN

Malaria dalam kehamilan dapat menimbulkan komplikasi baik terhadap


ibu maupun janin dalam kandungan. Diagnosis malaria pada pasien ditegakkan
dengan penemuan gejala berupa trias malaria yakni demam, menggigil dan
berkeringat, dan hasil apusan darah tebal (DDR). Pasien saat masuk rumah sakit

23
melalui IGD mengeluhkan panas selama 2 hari yang disertai dengan berkeringat.
Suhu tubuh pasien saat dilakukan pemeriksaan fisik setinggi 39.5 oC tanpa ada
temuan lain dalam pemeriksaan fisik yang mendukung. Temuan hasil DDR berupa
plasmodium vivax +++, sehingga ditegakkan diagnosis malaria vivax.
Kehamilan pada pasien ditegakkan dari pengakuan pasien bahwa pasien
telah hamil selama 8 bulan dengan satu kali pemeriksaan antenatal ke klinik USG
seorang dokter umum selama kehamilan. Pemeriksaan fisik dilakukan secara
menyeluruh ditemukan perut pasien cembung gravid dengan tinggi fundus uteri
23 cm, letak janin memanjang, presentasi kepala, ditemukan his yang teratur,
memanjang, dan semakin kuat, bunyi jantung anak 144x/menit.
Pemeriksaan dalam ditemukan pembukaan portio 5-7 cm, konsistensi
lunak, ketuban teraba menonjol, dengan bagian terendah kepala penurunan Hodge
III. Kesimpulan dari pemeriksaan yang berkaitan dengan kehamilan ibu adalah
kehamilan dalam masa inpartu kala satu fase aktif sehingga perlu segera
dipersiapkan persalinan. Pengobatan sebelum persalinan diberikan infus D5 20
tpm, injeksi artesunat injeksi 2 vial artesunat untuk jam ke 0, 12, dan 24,
Parasetamol 3 x 500 mg, Asam traneksamat /8 jam dan Ranitidine 50 mg/ 12 jam.
Infus D5 diberikan pada pasien untuk mempertahankan kadar gula darah
pasien karena risiko terjadi hipoglikemi lebih tinggi pada ibu hamil dengan
malaria.(WHO, Guidelines for The Treatment of Malaria 3rd ed., 2015)
Artesunat diindikasikan pada pasien dengan malaria berat. Pasien dalam
laporan kasus ini tidak memenuhi kriteria malaria berat menurut WHO tahun
2015. Kriteria malaria berat menurut WHO tahun 2015 yang pertama adalah
ditemukannya Plasmodium falciparum stadium aseksual atau pada kasus malaria
vivax ditemukan stadium aseksual malaria vivax tanpa ketentuan densitas parasit.
Hasil pemeriksaan apusan darah tebal pasien menunjukkan pv (+++) yang artinya
ditemukan stadium aseksual malaria vivax sebanyak 1-10 parasit/lapang pandang.
Kriteria klinis dan laboratorium malaria berat tidak ditemukan pada pasien.
Perdarahan pervaginam tidak termasuk dalam perdarahan spontan abnormal
dalam kriteria klinis malaria berat karena dalam penjelasan kriteria tersebut
menurut WHO tahun 2015 termasuk di antaranya epistaksis, perdarahan gusi, atau

24
perdarahan pada luka tusuk yang rekuren atau memanjang, atau hematemesis, atau
melena. Hasil laboratorium yang paling menonjol adalah ditemukannya
trombositopenia berat (<50.000/mikroL) yakni 14.000/mm3. Penelitian mengenai
pengaruh trombositopenia berat akibat terhadap faktor risiko mortalitas penderita
di Papua oleh Daniel A. Lampah (et al.) memberikan kesimpulan bahwa terjadi
peningkatan risiko kematian baik pada anak maupun dewasa Papua penderita
malaria yang mengalami trombositopenia berat.(Lampah, et al., 2014)
Trombositopenia berat yang terjadi pada pasien mungkin dapat dijadikan dasar
penggunaan terapi malaria berat pada pasien.
Dosis pemberian Artesunat menurut buku saku penatalaksanaan kasus
malaria adalah 2,4 mg/kgBB intravena atau intramuskular.(KemenkesRI, Buku
Saku Penatalaksanaan Kasus Malaria, 2017) WHO merekomendasikan dosis yang
diberikan adalah 4 mg/kgBB/hari dengan rentang dosis harian sebesar 2-10 mg/
kgBB/ hari pada malaria tanpa komplikasi.(WHO, Guidelines for The Treatment
of Malaria 3rd ed., 2015) Pasien diberikan injeksi artesunat sebanyak 2 vial pada
jam ke0, 12, dan 24 yang berarti diberikan 120 mg Artesunat dengan berat badan
pasien 63kg (sebelum melahirkan).
Pada pasien kemudian dilakukan persalinan normal sehingga dilahirkan
bayi lahir hidup, laki-laki, APGAR Score 1/3/5, BB1400gr, PB 40 cm kemudian
dilanjutkan lahirnya plasenta juga dilakukan perineorrhaphy pada ruptur
perineum gr II dan perdarahan terkendali.
Asam traneksamat diberikan untuk mencegah perdarahan karena
trombositopenia berat. Farmakodinamik asam traneksamat yakni dengan
menghambat terjadinya fibrinolisis dengan menggantikan plasminogen. Penulis
belum menemukan studi yang menyatakan efikasi pemberian asam traneksamat
dalam trombositopenia berat akibat malaria. Dosis pemberian asam traneksamat
10-15 mg/kgBB IV per 8 jam (0.5-1 g pada dewasa).(Shann, 2010) Pasien telah
menerima dosis yang sesuai.
Ranitidine diberikan untuk mencegah perdarahan saluran cerna akibat
trombositopenia berat dan stress ulcer. Dosis Ranitidin sebagai pencegahan
stressulcer adalah 50 mg (2mL) IM atau IV setiap 6-8 jam, tidak melebihi 400mg/

25
hari.(Medscape, n.d.) Dosis yang diberikan kepada pasien mungkin berbeda
berdasarkan acuan berbeda praktisi klinis.
Pengobatan yang diberikan pada pasien setelah melahirkan yakni injeksi
artesunat lanjutan, tablet SF, Cefadroxil 2x500mg PO, Klindamisin 2x300mg,
lanjutan DHP setelah Artesunat, dan Asam traneksamat bila terjadi perdarahan.
Klindamisin diberikan pada pasien oleh spesialis penyakit dalam sebagai
terapi ajuvan Artesunat. Indikasi pemberian Klindamisin menurut WHO dapat
diberikan bersamaan dengan kina atau artesunat untuk mengatasi malaria berat
atau malaria tanpa komplikasi.(WHO, Guidelines for The Treatment of Malaria
3rd ed., 2015) Dosis pemberian Klindamisin sebesar 10 mg/kg BB selama 7 hari.
(IDI, 2014) Pasien menerima Klindamisin 2x300 mg sesuai dosis orang dewasa.
Pengobatan malaria berat terdiri dari pemberian injeksi artesunat
kemudian dilanjutkan dengan pemberian regimen DHP + Primakuin setelah dosis
jam ke-24 dan pasien telah dapat minum obat. Pasien diberikan tablet DHP
sebanyak 1x3 tablet selama 3 hari. Dosis dihidroartemisinin adalah 2-4 mg/kgBB
dan piperakuin 16-32mg/kgBB dengan sediaan DHP/Piperakuin (40mg/320mg).
Dosis primakuin sebesar 0.25-0.75mg/kgBB dengan sedaan primakuin 15 mg
basa. Dosis pemberian juga dapat disesuaikan dengan tabel dari buku saku
penanganan malaria.

Gambar 3.7 Tabel Dosis Pengobatan Malaria Vivax dan Ovale


(KemenkesRI, Buku Saku Penatalaksanaan Kasus Malaria, 2017)

26
Pasien memperoleh tablet DHP sebanyak 1x3 tablet selama 3 hari,
sementara Primakuin tidak diberikan pada pasien hamil dan menyusui (terkecuali
jika bayi diketahui tidak defisiensi G6PD). Wanita hamil dan menyusui
direkomendasikan untuk mendapatkan kemoprofilaksis relaps klorokuin sebagai
pengganti sementara primakuin sampai melahirkan atau selesai menyusui
kemudian diberikan primakuin berdasarkan status G6PD.(WHO, Guidelines for
The Treatment of Malaria 3rd ed., 2015)
Hasil laboratorium trombositopenia berat terjadi pada pasien dengan
infeksi Plasmodium vivax. Hal tersebut terjadi mungkin disebabkan oleh
gangguan koagulasi, splenomegali, alterasi sumsum tulang, antibody-mediated
platelet destruction, stres oksidatif, dan peran platelet sebagai kofaktor pencetus
malaria berat. Kejadian perdarahan minor dilaporkan pada kasus infeksi malaria
vivax, tetapi secara keseluruhan, hemostasis primer masih terjaga karena
kompensasi medula dengan menghasilkan mega platelet oleh megakaryocytes
yang terbukti dalam hasil pemeriksaan apusan darah tepi.(Lacerda, Mourao,
Coelho, & Santos, 2011)

Gambar 4.1 Mekanisme Terjadinya Trombositopenia Pada Malaria


(Lacerda, Mourao, Coelho, & Santos, 2011)

Hasil Apusan Darah Tepi (14-12-17)


• Eritrosit: Anisositosis, dominasi normositik, mikrositik, normokrom, gv(+)
• Leukosit: Jumlah kesan cukup, granulosit imatur (stab+), granulotoksik
netrofil

27
• Trombosit: Jumlah kesan menurun, penyebaran tidak merata, trombosit
besar, giant platelet
• Kesan: observasi trombositopenia dengan gambaran anemia pada
penderita tertiana disertai infeksi bakterial

Komplikasi malaria pada ibu hamil yang terjadi pada pasien ini adalah
kelahiran prematur. Kejadian kelahiran prematur mungkin terjadi karena
gangguan terhadap plasenta karena adanya peningkatan akumulasi parasit di
spasium intervilar plasenta yang pada saat bersamaan eritrosit menempel pada
dinding endotel. Adhesi atau sekuestrasi ini dimediasi oleh adanya antigen
permukaan (variant surface antigen /VSA) yang terbentuk pada permukaan
eritrosit terinfeksi.. VSA kemudian berikatan engan kondroitin sulfat A di
sinsitiotrofoblas yang melapisi spatium intervillar. Sekuestrasi menyebabkan
pengeluaran leukosit pro inflamasi yang kemudian menyebabkan nekrosis dari
jaringan plasenta. (Soma & Macdonald, 2012)

28
BAB IV
KESIMPULAN

 Malaria merupakan penyakit infeksi sel darah merah oleh protozoa yang
disebarkan oleh gigitan vektor nyamuk Anopheles betina
 Infeksi malaria pada manusia disebabkan oleh Plasmodium falciparum,
P.vivax, P.malariae, P. Ovale dan P.knowlesi.
 Diagnosis pasti malaria adalah ditemukannya plasmodium pada
pemeriksaan mikroskopis sediaan apaus darah tipis maupun tebal atau
dengan penggunaan uji cepat diagnostik malaria yang dapat mendeteksi
antigen parasit dalam darah.
 Ibu hamil memiliki imunitas yang menurun terutama pada trimester I dan
II sehingga lebih mudah terkena infeksi, sementara infeksi malaria pada
ibu hamil trimester kedua dan ketiga lebih berisiko menjadi malaria berat
dibandingkan dengan penderita dewasa lainnya dan biasanya diperberat
dengan adanya hipoglikemi dan edema pulmonal. Mortalitas pada wanita
hamil 50% lebih tinggi dibandingkan dengan penderita dewasa lain yang
tidak hamil. Kematian janin dan kelahiran prematur sering terjadi.
 Terapi malaria tanpa komplikasi menggunakan kombinasi berbasis
artemisinin. Pengobatan malaria pada ibu hamil samadengan pengobatan
pada orang dewasa lainnya. Pada ibu hamil tidak diberikan Primakuin.
Pengobatan mulai dari timester I-III menggunakan ACT selama 3 hari.
 Pengobatan malaria berat untuk ibu hamil dilakukan dengan memberikan
artesunat injeksi atau kina HCl drip intravena.
 Pencegahan infeksi malaria dengan menggunakan kelambu berinsektisida
dan penggunaan insektisida semprot termasuk pengasapan berkala untuk
target populasi luas.
 Komplikasi malaria dalam kehamilan termasuk anemia, BBLR, kelahran
prematur dan meningkatnya angka mortalitas perinatal.

DAFTAR PUSTAKA

29
Bruna, C. O., Lopes, S. C., Nogueira, P. A., Orlandi, P. P., Bargieri, D. Y., Blanco, Y. C., . . .
Costa, F. T. (2010). On the Cytoadhesion of Plasmodium vivax–Infected
Erythrocytes. The Journal of Infectious Diseases, Volume 202, Issue 4.

CDC. (2017, December 20). Malaria. Retrieved from Center for Disease Control and
Prevention: https://www.cdc.gov/malaria/malaria_worldwide/impact.html

IDI. (2014). Malaria. In IDI, Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Kesehatan
Primer (pp. 27-30). Jakarta: IDI.

KemenkesRI. (2016, April 30). Inilah Fakta Keberhasilan Pengendalian Malaria. Retrieved
from Kementrian Kesehatan Republik Indonesia:
http://www.depkes.go.id/article/print/16050200003/inilah-fakta-keberhasilan-
pengendalian-malaria.html

KemenkesRI. (2017). Buku Saku Penatalaksanaan Kasus Malaria. Jakarta: KemenkesRI.

Lacerda, Mourao, Coelho, & Santos. (2011). Thrombocytopenia in malaria: who cares?
Mem. Inst. Oswaldo Cruz vol.106 supl.1 Rio de Janeiro.

Lampah, D. A., Yeo, T. W., Malloy, M., Kenangalem, E., Douglas, N. M., Ronaldo, D., . . .
Price, R. N. (2014). Severe Malarial Thrombocytopenia: A Risk Factor for
Mortality in Papua, Indonesia . The Journal of Infectious Disease, 623-634.

Medscape. (n.d.). Ranitidine. Retrieved from Medscape:


https://reference.medscape.com/drug/zantac-ranitidine-342003

Shann, F. (2010). Drug Doses.

Soma, P. P., & Macdonald, A. P. (2012). Malaria in Pregnancy. Obstetric Medicine Vol.5.

White, N. J. (2014). Malaria. In J. Farrar, P. J. Hotez, T. Junghanss, G. Kang, D. Laloo, & N. J.


White, Mason's Tropical Diseases 23rd ed. (pp. 532-600). China: Elsevier
Saunders.

WHO. (2015). Guidelines for The Treatment of Malaria 3rd ed. Italy: WHO.

WHO. (2017, December). Malaria. Retrieved from World Health Organization:


http://www.who.int/malaria/media/malaria-vaccine-implementation-qa/en/

30

Anda mungkin juga menyukai