Anda di halaman 1dari 9

TUGAS

STASE GERIATRI

PANTI WERDHA KRISTEN HANA

PERIODE 9 JULI – 12 AGUSTUS 2018

DAVID WILLIAM / 406172109

HIPERTENSI
Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC 7

Klasifikasi TDD
TDS (mmHg)
Tekanan Darah (mmHg)
Normal < 120 Dan < 80
Prahipertensi 120 – 139 Atau 80 – 89
Hipertensi derajat 1 140 – 159 Atau 90 – 99
Hipertensi derajat 2 ≥ 160 Atau ≥ 100

TDS = Tekanan Darah Sistolik, TDD = Tekanan Darah Diastolik

 Pada orang yang berusia lebih dari 50 tahun, tekanan darah sistolik lebih dari 140
mmHg adalah risiko penyakit kardiovaskular yang lebih penting dibanding tekanan
darah diastolik.
 Risiko penyakit kardiovaskular dimulai pada tekanan darah 115/75 mmHg, risiko
meningkat dua kali lipat setiap kenaikan tekanan darah 20/10 mmHg.
 Individu dengan tekanan darah sistolik 120-139 mmHg atau
tekanan darah diastolik 80-89 mmHg harus dianggap sebagai
prehipertensi dan memerlukan modifikasi gaya hidup.
 Diuretik tipe tiazid harus digunakan dalam pengobatan untuk sebagian besar
pasien dengan hipertensi tanpa komplikasi, baik monoterapi atau dikombinasikan
dengan obat-obatan dari golongan lain.
 Sebagian besar pasien dengan hipertensi akan membutuhkan dua atau lebih
antihipertensi obat untuk mencapai tekanan darah tujuan (<140/90 mmHg, atau
<130/80 mmHg untuk pasien dengan diabetes atau penyakit ginjal kronis).
 Jika tekanan darah > 20/10 mmHg dari target,
harus dipertimbangkan untuk memulai terapi dengan dua obat.

Algoritma Penatalaksanaan Hipertensi Berdasarkan JNC VIII

SVR = (MAP - CVP) ÷ CO  SVR = MAP ÷ CO


Golongan Obat Anti Hipertensi
• Diuretik tiazid
Diuretik tiazid adalah diuretik dengan potensi menengah yang menurunkan tekanan
darah dengan cara menghambat reabsorpsi sodium pada daerah awal tubulus distal ginjal,
meningkatkan ekskresi sodium dan volume urin. Tiazid juga mempunyai efek
vasodilatasi langsung pada arteriol, sehingga dapat mempertahankan efek antihipertensi
lebih lama. Tiazid diabsorpsi baik pada pemberian oral, terdistribusi luas dan
dimetabolisme di hati. Efek diuretik tiazid terjadi dalam waktu 1‐2 jam setelah
pemberian dan bertahan sampai 12‐24 jam, sehingga obat ini cukup diberikan sekali
sehari. Efek antihipertensi terjadi pada dosis rendah dan peningkatan dosis tidak
memberikan manfaat pada tekanan darah, walaupun diuresis meningkat pada dosis
tinggi. Efek tiazid pada tubulus ginjal tergantung pada tingkat ekskresinya, oleh karena
itu tiazid kurang bermanfaat untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal.

• Beta-blocker
Beta blocker memblok beta‐adrenoseptor. Reseptor ini diklasifikasikan menjadi
reseptor beta‐1 dan beta‐2. Reseptor beta‐1 terutama terdapat pada jantung sedangkan
reseptor beta‐2 banyak ditemukan di paru‐paru, pembuluh darah perifer, dan otot lurik.
Reseptor beta‐2 juga dapat ditemukan di jantung, sedangkan reseptor beta‐1 juga dapat
dijumpai pada ginjal. Reseptor beta juga dapat ditemukan di otak.
Stimulasi reseptor beta pada otak dan perifer akan memicu pelepasan
neurotransmitter yang meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatis. Stimulasi reseptor
beta‐1 pada nodus sino‐atrial dan miokardiak meningkatkan heart rate dan kekuatan
kontraksi. Stimulasi reseptor beta pada ginjal akan menyebabkan penglepasan renin,
meningkatkan aktivitas system renin‐angiotensin‐aldosteron. Efek akhirnya adalah
peningkatan cardiac output, peningkatan tahanan perifer dan peningkatan sodium yang
diperantarai aldosteron dan retensi air. Terapi menggunakan beta‐blocker akan
mengantagonis semua efek tersebut sehingga terjadi penurunan tekanan darah.

• ACE inhibitor
Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEi) menghambat secara kompetitif
pembentukan angiotensin II dari prekursor angiotensin I yang inaktif, yang terdapat pada
darah, pembuluh darah, ginjal, jantung, kelenjar adrenal dan otak. Angitensin II
merupakan vaso‐konstriktor kuat yang memacu penglepasan aldosteron dan aktivitas
simpatis sentral dan perifer. Penghambatan pembentukan angiotensin iI ini akan
menurunkan tekanan darah. Jika sistem angiotensin‐renin‐aldosteron teraktivasi
(misalnya pada keadaan penurunan sodium, atau pada terapi diuretik) efek antihipertensi
ACEi akan lebih besar. ACE juga bertanggungjawab terhadap degradasi kinin, termasuk
bradikinin, yang mempunyai efek vasodilatasi. Penghambatan degradasi ini akan
menghasilkan efek antihipertensi yang lebih kuat. Beberapa perbedaan pada parameter
farmakokinetik obat ACEi. Captopril cepat diabsorpsi tetapi mempunyai durasi kerja
yang pendek, sehingga bermanfaat untuk menentukan apakah seorang pasien akan
berespon baik pada pemberian ACEi. Dosis pertama ACEii harus diberikan pada malam
hari karena penurunan tekanan darah mendadak mungkin terjadi; efek ini akan
meningkat jika pasien mempunyai kadar sodium rendah.
• Antagonis Reseptor Angiotensin II
Reseptor angiotensin II ditemukan pada pembuluh darah dan target lainnya.
Disubklasifikasikan menjadi reseptor AT1 dan AT2. Reseptor AT1 memperantarai
respon farmakologis angiotensin II, seperti vasokonstriksi dan penglepasan aldosteron.
Dan oleh karenanya menjadi target untuk terapi obat. Fungsi reseptor AT2 masih belum
begitu jelas. Banyak jaringan mampu mengkonversi angiotensin I menjadi angiotensin II
tanpa melalui ACE. Oleh karena itu memblok sistem renin‐angitensin melalui jalur
antagonis reseptor AT1 dengan pemberianantagonis reseptor angiotensin II mungkin
bermanfaat. Antagonis reseptor angiotensin II (AIIRA)mempunyai banyak kemiripan
dengan ACEi, tetapi AIIRA tidak mendegradasi kinin. Karena efeknya pada ginjal, ACEi
dan AIIRA dikontraindikasikan pada stenosis arteri ginjal bilateral dan pada stenosis
arteri yang berat yang mensuplai ginjal yang hanya berfungsi satu.
• Calcium channel blocker
Calcium channel blockers (CCB) menurunkan influks ion kalsium ke dalam sel
miokard, sel‐sel dalam sistem konduksi jantung, dan sel‐sel otot polos pembuluh darah.
Efek ini akan menurunkan kontraktilitas jantung, menekan pembentukan dan propagasi
impuls elektrik dalam jantung dan memacu aktivitas vasodilatasi, interferensi dengan
konstriksi otot polos pembuluh darah. Semua hal di atas adalah proses yang bergantung
pada ion kalsium. Terdapat tiga kelas CCB: dihidropiridin (misalnya nifedipin dan
amlodipin); fenilalkalamin (verapamil) dan benzotiazipin (diltiazem). Dihidropiridin
mempunyai sifat vasodilator perifer yang merupakan kerja antihipertensinya, sedangkan
verapamil dan diltiazem mempunyai efek kardiak dan dugunakan untuk menurunkan
heart rate dan mencegah angina. Semua CCB dimetabolisme di hati.

• Alpha-blocker
Alpha‐blocker (penghambat adreno‐septor alfa‐1) memblok adrenoseptor alfa‐1
perifer, mengakibatkan efek vasodilatasi karena merelaksaasi otot polos pembuluh darah.
Diindikasikan untuk hipertensi yang resisten. Alpha‐blocker dapat menyebabkan
hipotensi postural, yang sering terjadi pada pemberian dosis pertama kali. Alpha‐blocker
bermanfaat untuk pasien laki‐laki lanjut usia karena memperbaiki gejala pembesaran
prostat.

• Golongan lain
Antihipertensi vasodilator (misalnya hidralazin, minoksidil) menurunkan tekanan
darah dengan cara merelaksasi otot polos pembuluh darah. Antihipertensi kerja sentral
(misalnya klonidin, metildopa, monoksidin) bekerja pada adrenoseptor alpha‐2 atau
reseptor lain pada batang otak, menurunkan aliran simpatetik ke jantung, pembuluh
darah dan ginjal, sehingga efek ahirnya menurunkan tekanan darah.
Antihipertensi vasodilator dapat menyebabkan retensi cairan. Tes fungsi hati harus
dipantau selama terapi dengan hidralazin karena ekskresinya melalui hati. Hidralazin
juga diasosiakan dengan sistemiklupus eritematosus. Minoksidil diasosiasikan dengan
hipertrikosis (hirsutism) sehingga kkurang sesuai untuk pasien wanita. Obat‐obat kerja
sentral tidak spesifik atau tidak cukup selektif untuk menghindari efek samping sistem
saraf pusat seperti sedasi, mulut kering dan mengantuk, yang sering terjadi. Metildopa
mempunyai mekanisme kerja yang mirip dengan konidin tetapi dapat memnyebabkan
efek samping pada sistem imun, termasuk pireksia, hepatitis dan anemia hemolitik.
DIABETES MELITUS TIPE 2
Definisi
DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.

Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan
glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan
plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas
dasar adanya glukosuria.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM
perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:

• Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan sebabnya.
• Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria,
serta pruritus vulva pada wanita.
Kriteria diagnosis DM
1. pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada
asupan kalori minimal 8 jam.
a. Atau
2. Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTGO) dengan beban glukosa 75 gram.
3. a. Atau
3. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik.
4. a. Atau
4. Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi oleh
National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).

Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis daibetes dan prediabetes.


HbA1c (%) Glukosa darah Glkosa plasma 2
puasa (mg/dl) jam setelah
TTGO (mg/dl)
DIABETES >6,5 > 126 > 200
PREDIABETES 5,7-6,4 100-125 140-199
NORMAL < 5,7 < 100 < 140
OBAT ANTIHIPERGLIKEMIA ORAL
a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)

 Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel
beta pankreas. Efek samping utama adalah hipoglikemia dan peningkatan berat
badan. Hati-hati menggunakan sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi
hipoglikemia (orang tua, gangguan faal hati, dan ginjal).
 Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri
dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid
(derivat fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara
oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi
hiperglikemia post prandial. Efek samping yang mungkin terjadi adalah
hipoglikemia.

b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin

 Metformin
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer.
Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DMT2. Dosis
Metformin diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (GFR 30-60
ml/menit/1,73 m2). Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan
sperti: GFR<30 mL/menit/1,73 m2, adanya gangguan hati berat, serta pasien-
pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro-vaskular,
sepsis, renjatan, PPOK,gagal jantung [NYHA FC III-IV]). Efek samping yang
mungkin berupa gangguan saluran pencernaan seperti halnya gejala dispepsia.
 Tiazolidindion (TZD).
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di
sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi
insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di jaringan perifer. Tiazolidindion meningkatkan
retensi cairan tubuh sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal
jantung (NYHA FC III-IV) karena dapat memperberat edema/retensi cairan. Hati-
hati pada gangguan faal hati, dan bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara
berkala. Obat yang masuk dalam golongan ini adalah Pioglitazone.

c. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan

Penghambat Alfa Glukosidase.


Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan pada keadaan:
GFR≤30ml/min/1,73 m2, gangguan faal hati yang berat, irritable bowel
syndrome. Efek samping yang mungkin terjadi berupa bloating (penumpukan gas
dalam usus) sehingga sering menimbulkan flatus. Guna mengurangi efek samping
pada awalnya diberikan dengan dosis kecil. Contoh obat golongan ini adalah
Acarbose.

1. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)


Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV sehingga GLP-1
(Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif.
Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon
bergantung kadar glukosa darah (glucose dependent). Contoh obat golongan ini adalah
Sitagliptin dan Linagliptin.

2. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)


Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral jenis baru yang
menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara
menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini
antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin. Dapagliflozin
baru saja mendapat approvable letter dari Badan POM RI pada bulan Mei 2015.

FISIOLOGI PANKREAS
Fungsi pankreas
1. Mengatur kadar gula dalam darah melalui pengeluaran glukagon, yang menambah kadar
gula dalam darah dengan mempercepat tingkat pelepasan dari hati.
2. Pengurangan kadar gula dalam darah dengan mengeluarkan insulin yang mana
mempercepat aliran glukosa ke dalam sel pada tubuh, terutama otot. Insulin juga
merangsang hati untuk mengubah glukosa menjadi glikogen dan menyimpannya di dalam
sel-selnya.

GOLONGAN AGEN PEREDA KONSTIPASI

1. Laksatif serat meningkatkan berat feses karena mengabsorpsi air, sehingga mem-percepat
propulsi. Peningkatan motilitas gastrointestinal menghasilkan waktu transit kolon yang
lebih cepat dan meningkatkan frekuensi gerakan usus.
2. Laksatif osmotik merupakan agen hiperosmolar yang menyebabkan sekresi air ke dalam
lumen intestinal. Laksatif osmotik yang paling sering digunakan adalah garam-garam
magnesium.
3. Laksatif stimulan meningkatkan motilitas dan sekresi intestinal. Agen ini bekerja dalam
hitungan jam dan dapat menyebabkan efek samping nyeri/kram abdomen. Agen ini
direkomendasikan apabila laksatif osmotik gagal. Cara kerjanya melalui perubahan
transpor elektrolit oleh mukosa intestinal, sehingga meningkatkan aktivitas motor
intestinal.
4. Enema dan suppositoria rektum menginduksi defekasi dengan meregang rektum dan
kolon.
5. Probiotik memperbaiki frekuensi defekasi pasien konstipasi, karena bakteri menghasilkan
asam laktat yang akan meningkatkan motilitas intestinal dan mengurangi waktu transit.
6. Lubiprostone, merupakan suatu aktivator kanal klorida bekerja lokal meningkatkan sekresi
cairan intestinal kaya klorida. Agen ini bekerja dengan mengaktifkan kanal klorida tipe 2
di permukaan sel-sel epitel intestinal untuk meningkatkan sekresi cairan intestinal dan
integritas epitel.

Anda mungkin juga menyukai