Anda di halaman 1dari 17

BIOLOGI TANAH

BIOLOGI TANAH

I. PENDAHULUAN

Tanah merupakan bagian dari tubuh alam yang menutupi bumi dengan lapisan tipis,
disintesis dalam bentuk profil dari pelapukan batu dan mineral, dan mendekomposisi bahan
organik yang kemudian menyediakan air dan unsur hara yang berguna untuk pertumbuhan
tanaman. Yang membuat tanah itu subur diantaranya pelapukan lanjut, bahan mineralogi,
kapasitas pertukaran kation yang tinggi, kelembaban air dan pH netral.
Tanah bersifat sangat penting bagi kehidupan, sehingga perlindungan kualitas dan
kesehatan tanah sebagaimana perlindungan terhadap kualitas udara dan air harus sangat
dijaga. Namun banyak faktor yang dapat menurunkan kualitas dan kesehatan tanah tersebut,
misalnya kadar hara yang terkandung dalam tanah, vegetasi, iklim, sifat fisik, kimia dan
biologi tanah (Fitri, 2011).
Kesehatan tanah itu sendiri dapat didefinisikan secara umum sebagai kemampuan
berkelanjutan dari suatu tanah untuk berfungsi sebagai suatu sistem kehidupan yang penting
didalam batas – batas ekosistem dan tata guna lahannya, untuk menyokong produktivitas
hayati, meningkatkan kualitas udara dan lingkungan perairan, serta memelihara kesehatan
tanaman, hewan dan manusia. Kualitas tanah itu sendiri dapat didefinisikan secara umum
sebagai kemampuan tanah untuk menghasilkan produk tanaman yang bergizi dan aman
secara berkelanjutan, serta meningkatkan kesehatan manusia dan ternak, tanpa menimbulkan
dampak negatif terhadap sumberdaya dan lingkungan
Faktor yang mempengaruhi kualitas tanah pada bagian fisiknya adalah tekstur tanah,
bahan organik, agregasi, kapasitas lapang air, drainase, topografi, dan iklim. Sedangkan yang
mempengaruhi pada bagian pengolahannya adalah Intensitas pengolahan tanah, penambahan
organik tanah, pengetesan pH tanah, aktivitas mikrobia dan garam. Tanah sebagai habitat
biota tanah sebagai medium alam untuk pertumbuhan dan melakukan aktivitas fisiologinya.
Tanah menyediakan nutrisi, air dan sumber karbon yang diperlukan untuk pertumbuhan dan
aktivitasnya. Di dalam hal ini, lingkungan tanah seperti faktor abiotik (yang meliputi sifat
fisik dan kimia tanah) dan faktor biotik (adanya biota tanah dengan tanaman tingkat tinggi)
ikut berperan dalam menentukan tingkat pertumbuhan dan aktivitas biota tanah tersebut
(Fitri, 2011).
Terkait pada kedua definisi tersebut dapat kita ketahui bahwa kualitas dan kesehatan
tanah adalah faktor penting yang harus dijaga agar fungsi tanah sebagai mediator tumbuh
organisme, biota tanah dan vegetasi dapat terlaksana dengan baik yang kemudian dapat
diaplikasikan untuk menunjang kehidupan, karena semua faktor yang terkait dengan keadaan
tanah dan daya dukung tanah akan berpengaruh secara langsung dan tidak langsung terhadap
perkembangan populasi mikroorganisme tanah.

II. KERAGAMAN BIOTA TANAH

2.1 Jenis dan Klasifikasi Biota tanah


Di dalam tanah, berdasarkan fungsinya dalam budidaya pertanian, secara umum
terdapat dua golongan jasad hayati tanah, yaitu yang menguntungkan dan yang merugikan.
Jasad hayati yang menguntungkan ini, yaitu yang terlibat dalam proses dekomposisi bahan
organik, pengikat/penyediaan unsur hara dan atau pembentukan serta perbaikan struktur
tanah. Sedangkan jasad yang merugikan adalah yang memanfaatkan tanaman hidup, baik
sebagai sumber pangan atau sebagai inangnya, yang disebut sebagai hama atau penyakit
tanaman maupun sebagai kompetitor dalam penyerapan hara dalam tanah.
Secara umum biota (jasad hayati) tanah dikelompokkan menjadi dua.
1. Fauna, meliputi:
a. Makro fauna, terdiri dari herbivora (pemakan tanaman) dan karnivora (pemangsa hewan-
hewan kecil). Herbivora meliputi cacing (Annelida), bekicot (Mollusca), Arthopoda, yaitu
Crustacea seperti kepiting, Chilopoda seperti kelabang, Diplopoda seperti kaki seribu,
Arachnida seperti kutu dan kalajengking, dan serangga (Insecta); seperti belalang, kumbang,
rayap, jangkrik dan semut; serta hewan-hewan kecil lain yang bersarang dalam tanah, seperti
ular, tikus, kadal dan lain-lain; kanivora meliputi serangga, rayap, dan laba-laba.
b. Mikro fauna berupa pemangsa parasit, meliputi nematoda, protozoa, dan rotifera.
2. Mikroflora meliputi:
a. Ganggang, terdiri dari ganggang hijau dan hijau-biru.
b. Cendawan, meliputi jamur, ragi, dan kapang.
c. Bakteri, aerobik dan anaerobik. Bakteri aerobik meliputi Azotobakter, Beijerinkia,
Rhizobium dan Azospirillum. Bakteri anaerobik meliputi Desulfovibrio.
Jasad hayati tanah ini berdasarkan ukurannya dipilih menjadi tiga
a. Makrobia : jika berukuran di atas 10 mm.
b. Mesobia : berukuran 0,2-10 mm.
c. Mikrobia : berukuran < 0,2 mm (200 mm) (Hanafiah, 2005).
Berdasarkan cara memperoleh energi, mikrobia tanah dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu (1) kelompok yang memperoleh energi dari sinar matahari, dikenal sebagai
kelompok fototrof, dan (2) kelompok yang memperoleh energi dari oksidasi senyawa
anorganik, seperti senyawa N (amonia dan nitrit), sulfur, zat besi atau senyawa karbon
sederhana, dan metana. Kelompok kedua ini dikenal sebagai kelompok kemotrof. Selain itu
berdasarkan sumber karbon yang digunakannya, mikrobia tanah dapat digolongkan menjadi
dua kelompok yaitu (1) kelompok yang menggunakan CO2, HCO3, CO3 sebagai sumber
carbon yang dikelompokkan dalam ototrof (litotrof), dan (2) kelompok yang menggunakan C
organik sebagai sumber karbon dan dikelompokkan dalam heterotrof (organotrof).
Mikroflora yang tergolong fototrof meliputi alga, sianobakter, bakteri lembayung dan
hijau. Mikroflora yang tergolong fotohetotrof adalah bakteri lembayung non sulfur, dan
heliobakteri (bakteri pembentuk endospora, Bascillus dan Closdtridium). Mikroflora yang
tergolong kemotrof antara lain bakteri pengoksidasi NH4+ (Nitrobacter), dan pengoksidasi
nitrit. Kelompok mikroflora kemoototrof dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu (1)
kelompok yang menggunakan CO2 antara lain bakteri Nitrosomonas, bakteri pengoksidasi
sulfur (Thiobacillus thiooxidans), bakteri pengoksidasi Fe (Thiobacillus ferrooxidans) dan (2)
kelompok yang menggunakan HCO3, contoh Pseudomonas sp. Mikroflora yang termasuk
kelompok kemoheterotrof adalah bakteri perombak selulosa.
Berdasarkan keberadaannya dalam tanah, dibagi dalam dua kelompok besar yaitu (1)
mikrobia otokton (autochtonous), yakni mikrobia setempat pada tanah-tanah tertentu dan atau
bersifat endemik, contohnya bakteri Azospirillum halopraeferen yang selalu ditemukan di
tanah salin; (2) mikrobia zymogen, yaitu mikrobia yang pertumbuhannya dipengaruhi oleh
adanya perlakuan khusus seperti penambahan pupuk, bahan organik dan pengelolaan tanah.
Selain itu dikenal juga mikrobia trasien, yaitu mikrobia yang keberadaannya di dalam tanah
bersifat sebagai penetap sementara. Mikrobia trasien umumnya merupakan mikrobia yang
diintrodusir ke dalam tanah baik disengaja ataupun tidak disengaja (Ma’shum, 2003).
Berdasarkan spesifikasi fungsinya, jasad hayati tanah digolongkan menjadi jasad
spesifik fungsional jika fungsinya dalam tanah bersifat spesifik, misalnya bakteri
nitrosomonas dan nitrobacter yang berperan dalam nitrifikasi, bakteri rhizobium yang
berperan dalam fiksasi N bebas, endomikoriza yang berperan dalam penyediaan dan
penyerapan hara P oleh tanaman. Serta jasad nonspesifik fungsional jika berperan tidak
spesifik, misalnya mikrobia dekomposer bahan organik.
Apabila dikaitkan dengan pertumbuhan tanaman, biota tanah dikelompokkan menjadi
tiga.
1. Biota yang menguntungkan.
2. Biota yang merugikan.
3. Biota tanpa pengaruh.
Jika kelompok (1) yang dominan maka pertumbuhan tanaman menjadi baik,
sedangkan jika kelompok (2) yang dominan maka pertumbuhan tanaman akan jelek. Dengan
tujuan agar biota tanah yang menguntungkan ini dapat dimaksimalkan dan yang merugikan
dapat diminimalkan, yang tanpa pengaruh dapat dimanfaatkan, sehingga pertumbuhan dan
produksi tanaman dapat dioptimalkan, maka pengembangan biologis dan bioteknologi tanah
menjadi penting untuk dikembangkan sebagai dasar pertanian organik tersebut (Hanafiah,
2005).

III. TANAH SEBAGAI HABITAT MIKROBIA

3.1 Habitat Mikrobia Tanah


Tanah sebagai habitat mikrobia berfungsi sebagai medium alam untuk pertumbuhan
dan untuk melakukan segala aktivitas fisiologinya. Tanah menyediakan nutrisi, air dan
sumber karbon yang diperlukan untuk pertumbuhan dan aktifitasnya. Di dalam hal ini,
lingkungan tanah seperti faktor abiotik (yang meliputi sifat fisik dan kimia tanah) dan biotik
(adanya mikrobia lain dan tanaman tingkat tinggi) ikut berperan dalam menentukan tingkat
pertumbuhan dan aktifitas mikrobia tersebut. Struktur tanah, aerasi tanah, ketersediaan air
dan suhu tanah merupakan sifat-sifat fisik yang berperan dalam menentukan kelangsungan
proses fisiologi mikrobia. Sementara diantara sifat kimia tanah yang berpengaruh adalah pH
tanah, potensial redoks serta ada tidaknya substrat yang bersifat toksik.
Sebagai habitat mikrobia, tanah dihuni oleh lebih satu jenis mikrobia dengan berbagai
ragam spesiesnya. Mereka merupakan spesies yang saling pengaruh-mempengaruhi, saling
bergantung dan bahkan tidak jarang satu dengan yang lain melakukan persaingan dalam
rangka mempertahankan hidupnya.
Di dalam tanah, mikroba tidak saja berinteraksi dengan sesama mikrobianya, tetapi
juga dengan organisme tingkat tinggi yaitu dengan tanaman yang tumbuh di sekitarnya.
Dalam hal ini akar tanaman akan membebaskan sejumlah senyawa organik yang bermanfaat
sebagai sumber karbon dan energi bagi kehidupan mikrobia, sekalipun adakalanya terdapat
pula senyawa yang bersifat toksik bagi satu jenis mikrobia tertentu. Adanya senyawa toksik
tersebut menyebabkan pertumbuhan ataupun aktivitas mikrobia dalam memperbaiki tingkat
ketersediaan unsur hara bagi tanaman sekaligus penyerapannya oleh tanaman akan terhambat
atau bahkan terhenti.

3.2 Faktor Fisika Tanah


3.2.1 Struktur Tanah
Batasan mengenai struktur tanah telah banyak dikemukakan pakar, namun dalam
uraian ini struktur tanah diberi batasan sebagai penyusunan partikel primer dan sekunder ke
dalam suatu bentuk susunan tertentu dengan ruang pori diantaranya. Ruang pori tersebut
dikenal sebagai ruang pori tanah. Pergerakan air dan udara terjadi melalui ruang pori tersebut.
Demikian pula aktivitas fisiologi mikrobia di dalam tanah berlangsung di dalam ruang pori.
Dalam struktur tanah terdapat ruang pori dengan ukuran, distribusi, dan pola
keberadaan pori yang beragam. Di bawah pengamatan mikroskop elektron transmisi, tanpa
bahwa pada suatu agregat tanah di dalamnya terdapat pola ruang pori yang tertutup dan pola
ruang pori yang terbuka. Sistem aerasi dan gerakan air hanya akan berlangsung dengan baik
di dalam pola ruang pori terbuka. Pada lingkungan tanah yang secara global bersifat aerobik
dapat juga berlangsung reaksi reduksi pada tempat-tempat tertentu, dalam mana reaksi ini
hanya berlangsung pada kondisi anaerobik. Kondisi sedemikian di dalam tanah berlangsung
pada bagian ruang pori tertutup.
Satu tipe mikrobia dalam agregat tanah akan mendiami atau menempati ruang pori
yang berbeda dengan tipe mikrobia yang lain. Sebagai pilihan tempat tinggal fungi yakni di
ruang yang terdapat di antara agregat tanah. Bakteri aerobik lebih menyukai dan memilih
pola ruang pori terbuka yang terdapat di dalam agregat tanah, sebagai pilihan tempat
hidupnya. Di dalam ruang pori tersebut, bakteri tidak hidup bebas tetapi melekat pada
partikel padatan tanah melalui jembatan kation multivalensi.
Dalam pola ruang pori terbuka, ukuran diameter pori memegang peran penting dalam
mempengaruhi fisiologi bakteri. Hal ini berkaitan dengan peran pori sebagai ruang sirkulasi
udara, sebagai lalu lintas pergerakan air, dan sebagai jalan bakteri menuju ruang pori tempat
hidupnya. Lynch (1983) menyebutkan bahwa, agar mikrobia dapat tumbuh dan beraktivitas
dengan bebas diperlukan ukuran diameter pori lebih besar dari diameter sel bakteri.
Beberapa hasil penelitian terakhir menunjukkan pengaruh struktur tanah terhadap
pertumbuhan dan aktivitas mikrobia tidak saja melalui proses fisiologis, tetapi juga melalui
proses penyediaan sumber karbon dan nutrisi lain bagi mikrobia. Sebagai mana diketahui
bahwa tidak semua sumber karbon dan nutrisi lain yang diperlukan mikrobia terdapat dalam
bentuk yang mudah dimanfaatkan. Sebagian substrat berbentuk senyawa kompleks yang
harus didegradasi terlebih dahulu, dalam mana prosesnya adalah reaksi oksidasi ensimatis.
Oleh karena itu pertumbuhan dan aktivitas mikrobia akan berlangsung secara optimum
manakala struktur tanahnya memiliki sistem aerasi dan pergerakan air yang memadai untuk
mendukung berlangsungnya degradasi senyawa tersebut merupakan pilihan tempat tinggal
yang baik bagi mikrobia.

3.2.2 Aerasi Tanah


Kehadiran oksigen di dalam tanah adalah penting bagi kehidupan mikrobia. Oksigen
tidak saja diperlukan untuk respirasi, tetapi juga penting untuk melangsungkan reaksi
oksidasi kimia dan atau biologi di dalam tanah. Reaksi-reaksi mana akan mempengaruhi laju
reaksi selular yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan mikrobia.
Di dalam tanah, aerasi dan kelembaban merupakan dua faktor yang saling
berkebalikan, makin tinggi kandungan air makin kurang baik aerasi tanahnya. Tingkat aerasi
yang nisbih baik berlangsung pada kondisi lapang dengan tekanan kelembaban sekitar 0,01
megapascal (MPa).
Pengaruh negatif dari aerasi yang buruk terhadap pertumbuhan dan aktivitas mikrobia
yang bersifat aerobik telah lama diketahui. Dalam kondisi anaerob, reaksi yang berlangsung
didominasi oleh reaksi reduksi dengan hasil reaksi cenderung tidak menguntungkan bagi
kehidupan mikrobia. Dalam hal ini tidak semua senyawa organik dirombak menjadi CO2,
tetapi masih dalam bentuk persenyawaan antara. Bentuk persenyawaan tersebut adalah asam
laktat, ethanol, asetaldehida, asam asetat dan asam butirat. Sebagian dari persenyawaan
tersebut meracun bagi sebagian mikrobia yang hidup di dalam tanah. Kondisi anaerob di
dalam tanah terjadi, jika konsumsi oksigen untuk respirasi mikrobia lebih tinggi
dibandingkan dengan masuknya oksigen dari udara ruang pori tanah.
Sekalipun kondisi anaerob tidak menguntungkan bagi sejumlah mikrobia aerob, di
dalam tanah terdapat pula beberapa mikrobia yang aktivitasnya berlangsung dengan baik jika
berada pada kondisi tegangan oksigen yang rendah (mikroaerofil). Contoh, bakteri penambat
nitrogen non simbiotik Azospirillum sp. Proses penambatan N udara oleh Azospirillum sp.
Berlangsung dalam kondisi mikroaerofil, karena oksigen yang berlebihan menyebabkan
kompleks nitrogenase menjadi tidak aktif (Ma’shum, 2003).

3.2.3 Suhu Tanah


Suhu tanah tidak saja mengendalikan proses reaksi fisiologis sel, tetapi juga akan
mempengaruhi karakteristik fisikokimia lingkungan, seperti volume tanah, potensial redoks,
difusi gas, viskositas air, tegangan permukaan, dan kelarutan zat. Misalnya, kelarutan CO 2
dalam air pada kondisi suhu rendah adalah dua kali lipat dibanding kelarutan CO 2 dalam air
panas. Kondisi lingkungan yang berubah-ubah akan membawa pada laju pertumbuhan
bakteri karena mempengaruhi laju semua reaksi selular. Reaksi selular yang akan terganggu
oleh perubahan suhu adalah respirasi, permeabilitas membran sel dan aktivitas mikrobia
dalam menghasilkan metabolit sekunder. Dalam hal ini, suhu akan mempengaruhi kesetabilan
ensim. Pada suhu optimum, sistem ensim berfungsi baik dan tetap stabil untuk waktu lama.
Pada suhu nisbi rendah, umumnya strukturnya tetap stabil, tetapi tidak dapat berfungsi
sebagai biokatalisator. Sementara pada suhu tinggi struktur ensim akan rusak sama sekali.
Suhu minimum, maksimum dan optimum untuk pertumbuhan dan aktivitas mikrobia
di dalam tanah sangat beragam tergantung pada jenis, spesies dan strainnya. Hal ini berkaitan
dengan karakteristik spesifikasi protein pada masing-masing jenis dan atau spesies mikrobia,
baik itu protein fungsional (ensim) dan atau protein struktural (protein penyusun membran
sel). Misalnya, protein penyusun flagela dan ribosom pada bakteri termofilik lebih stabil
menghadapi suhu tinggi dari pada protein pada bakteri mesofilik. Beberapa bakteri psychrofil
mampu tumbuh di bawah titik beku, karena protein penyusun sitoplasmik dari bakteri
tersebut mampu melindungi bagian dalam sel untuk tidak membeku, sehingga proses
metabolisme tetap berlangsung dengan baik.

Tabel 1. Tingkat suhu yang menyebabkan kematian beberapa kelompok organisme tanah, didasarkan
pada pemanasan air selama 30 menit

Suhu (0C) Kelompok Organisme


40 Saprophytic Pseudomonas sp
50 Rhizoctonia solani Nematoda Pythium, Phytopthora
52 - 58 Bakteri nitrifikasi (Nitrobacter dan Nitrosomonas);
Fusarium sp.
60 Mikrobia patogenik
60 - 70 Serangga Tanah
70 Fungi saprofit
80 Bacillus saprofit
100 Beberapa virus tanaman yang resisten pada suhu tinggi
Sumber : Lynch, 1983.

3.3 Faktor Kimia Tanah


3.3.1 Reaksi Tanah
Reaksi tanah merupakan suatu istilah yang dipakai untuk menyatakan reaksi asam-
asam dalam tanah, yang dalam hal mana dinyatakan sebagai pH tanah. pH merupakan ukuran
aktivitas ion hidrogen. Secara umum mikrobia tanah tumbuh pada pH 1 sampai dengan pada
pH 11.
Kelangsungan aktivitas ensim mikrobia (satu sel bakteri mengandung kira-kira 1000
ensim) bergantung pada ion H+, yang berarti pH tanah sangat berperan dalam mempengaruhi
kerja ensim. Reaksi tanah (pH) tertentu diperlukan oleh setiap macam ensim untuk tetap
terjadi protonisasi pada rantai samping asam amino yang terdapat dalam setiap ensim,
sehingga ensim dapat berfungsi sebagai biokatalisator.
Adanya variasi tingkat kemasaman tanah memberikan keuntungan tersendiri bagi
kehidupan di alam ini. Keragaman pH tanah telah menghadirkan keragaman spesies dari satu
tipe mikrobia. Misalnya, Streptomyces sebagai salah satu aktinomisetes yang menghasilkan
antibiotik, umumnya tidak dapat tumbuh di bawah pH 7,5. Namun demikian, di tanah hutan
yang bereaksi masam tidak jarang ditemukan pula senyawa antibiotik bentukan
Styreptomyces. Peristiwa ini dapat berlangsung karena ada keragaman spesies yang toleran
terhadap kemasaman tanah. Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa terdapat beberapa
spesies Streptomyces asidofilik yang terlibat dalam proses dekomposisi bahan organik dan
NH4+ (salah satu hasil dekomposisi BO) akan mengubah suasana tanah dari reaksi masam
menjadi alkalin, sehingga Streptomyces neutrifilik dapat mensintesis antibiotik tersebut.
Perlu diketahui bahwa kebanyakan bakteri tidak toleran terhadap pH yang ekstrim,
tidak seperti halnya dengan fungi, walaupun terdapat beberapa bakteri yang tumbuh baik
pada lingkungan dengan pH yang rendah (misalnya, Lactobacillus, Acetobacter,
Thiobacillus).

3.4 Faktor Biologi


3.4.1 Interaksi Antara Mikrobia dengan Mikrobia
Populasi mikrobia yang mendiami tanah terdiri atas lebih dari satu tipe mikrobia. Kita
memandang mereka sebagai masyarakat pergaulan berbagai macam mikrobia dalam tanah.
Tentunya dalam pergaulan itu akan terjalin hubungan kehidupan bersama antara yang satu
dengan yang lain, yang dikenal dengan asosiasi. Asosiasi yang dibangun diantara mereka
memiliki bentuk beragam, mulai dari bentuk interaksi netral sampai dengan interaksi yang
saling mempengaruhi diantara mereka, dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif.
Bentuk interaksi netral selalu terjadi secara teratur, dan bersifat sangat alami.
Kehadiran satu populasi dalam interaksi netral tidak mempunyai pengaruh langsung terhadap
kehidupan dan perkembangan populasi yang lain.
Interaksi yang saling memberikan pengaruh positif pada masing-masing populasi
dikenal sebagai bentuk simbiosis apakah dalam bentuk mutualistik ataupun protokooperatif.
Bentuk interaksi kebalikannya, dikenal dengan pola kehidupan antagonistik yaitu yang satu
merugikan yang lain, apakah dalam bentuk parasitisme atau amensalisme.
Di dalam tanah, gradasi dari bentuk asosiasi yang satu ke bentuk yang lain dapat
terjadi karena perjalanan waktu ataupun karena perubahan lingkungan. Contoh. Laju
pertumbuhan perindividu pemangsa (predator) yang paling tinggi terjadi pada saat puncak
densitas mangsa (prey) dan pada saat itu laju pertumbuhan populasi mangsa (prey) menjadi
negatif. Namun demikian, pada saat populasi prey turun di bawah ambang batas, populasi
predator juga turun dan pada saat itu kompleksitas habitat memberikan kesempatan mereka
hidup secara bersama.
Pengaruh asosiatif dan atau antagonistik di antara berbagai mikrobia dalam kehidupan
dan perkembangannya di dalam tanah berlangsung sebagai akibat dari :
1. Perubahan ketersediaan nutrisi
2. Perubahan faktor lingkungan
3. Ketergantungan hidup mikrobia tertentu atas yang lain
Kehidupan bersama antara bakteri perombak sellulosa dengan bakteri autotrof dan
atau heterotrof yang lain merupakan bentuk asosiasi komensalisme yang berdasarkan pada
ketersediaan nutrisi. Bakteri perombak sellulosa akan menghasilkan produk senyawa
anorganik, asam organik serta produk senyawa antara yang esensial bagi kegiatan ragam
mikrobia non perombak sellulosa.
Kehidupan bersama antara bakteri anaerobik dengan bakteri aerobik merupakan
contoh baik untuk melihat pola komensalisme yang mendasarkan pada perubahan
lingkungan. Bakteri aerobik akan mengkonsumsi oksigen bebas alam tanah, sehingga tercipta
kondisi yang baik bagi pertumbuhan mikrobia anerobik.
Kehidupan bersama antara bakteri Nitrosomonas dan Nitrobacter merupakan contoh
ketergantungan hidup mikrobia tertentu atas yang lain. Bakteri Nitrosomonas mengoksidasi
ammonia ke bentuk nitrit. Senyawa yang terakhir ini merupakan satu-satunya senyawa N
yang diperlukan bagi kegiatan bakteri Nitrobacter untuk membentuk nitrat. Bakteri ini tidak
mampu menggunakan sumber energi yang lain.
Persaingan dalam memperoleh nutrisi, sebagaimana yang terjadi antara bakteri dan
fungi merupakan contoh umum dari pengaruh antagonistik dalam pola kompetisi. Hal
demikian terjadi pula dalam golongan mikrobia yang sama, misal antara inokulum yang
diintroduksi ke dalam tanah (Azospirillum) dengan strain-strain Azospirillum yang terdapat di
dalam tanah.

3.4.2 Interaksi Antara Mikrobia dengan Tanaman


Kehidupan bersama antara mikrobia dan tanaman berlangsung di rhizosfer tanaman,
karena di daerah inilah tersedia sejumlah senyawa yang diperlukan oleh mikrobia untuk
kehidupan dan aktivitasnya. Senyawa tersebut berupa eksudat akar yang bermanfaat sebagai
sumber C, N dan energi bagi mikrobia, mulai dari bentuk senyawa organik sederhana sampai
dengan senyawa organik kompleks. Perbaikan kehidupan dan perkembangan mikrobia
sebagai akibat adanya eksudat akar dikenal dengan rhizosfer effect. Umumnya macam
mikrobia yang mendiami rhizosfer tidak berbeda dengan mikrobia yang tinggal di tanah (bulk
soil), hanya saja populasi di rhizosfer jauh lebih tinggi.
Akar tanaman sangat mempengaruhi kehidupan bakteri dari pada pengaruhnya
terhadap fungi, khususnya bakteri gram negatif. Bakteri-bakteri gram positif menunjukkan
penurunan jumlah di rhizosfer. Pengaruh perakaran terhadap fungi bersifat selektif, artinya
akar tanaman hanya menstimulasi kehidupan fungi-fungi tersebut.
Di rhizosfer, tingkat kerapatan bakteri ini dapat berubah-ubah sejalan dengan
perubahan kondisi lingkungan di sekitarnya. Perubahan itu dapat terjadi karena pemberian
bahan pembenah tanah (misalkan bahan organik), aplikasi pupuk daun, pemberian pestisida
dan inokulasi bakteri pada benih ataupun langsung dalam tanah
Mikrobia yang berkembang di rhizosfer memiliki sifat hidup yang beragam yakni
bersifat non simbiotik dan simbiotik. Pola hidup bagi mikrobia yang non simbiotik dapat
bersifat bebas (yang dikenal dengan free living microorganiam), dan atau berasosiasi dengan
tanaman. Contoh, beberapa bakteri yang tergolong hidup bebas antara lain Azotobacter,
Beijirinckia, Mycobacterium, Arthrobacter, Bacillus (empat bakteri tersebut bersifat aerobik);
Pseudomonas, Klebsiella (dua bakteri tersebut termasuk anaerob fakultatif); dan Clostridium,
Rhodospirillum. Untuk kelompok mikroba ini, akan memanfaatkan berbagai macam senyawa
organik (mulai dari senyawa organik sederhana hingga yang komplek) sebagai sumber
karbon dan energi. Senyawa organik dimaksud antara lain mono, di dan poli sakarida; asam-
asam organik dari asam lemak, asam organik aromatik, ethyl alkohol, gliserol, mannitol serta
asam-asam organik yang mudah menguap (Rao, 1982 dalam Ma’shum 2003).
Berbeda halnya dengan mikrobia yang hidup berasosiasi dengan tanaman. Asosiasi
mikrobia pada tanaman berlangsung di endorhizosfer dan atau di ektorhizosfer (Lynch,
1983). Perkembangan dan aktifitas hidupnya sangat bergantung pada kesesuaian jenis
tanaman. Hal ini dikarenakan ada spesifikasi senyawa organik yang diperlukan oleh mikrobia
sebagai sumber C, N dan energi. Sementara senyawa dimaksud hanya terdapat dalam
eksudat akar tanaman tertentu. Suatu contoh, Azospirillum brasilensis akan terpacu
perkembangan dan aktivitasnya apabila berasosiasi dengan tanaman C4, karena dalam
eksudat tanaman C4 terkandung asam malat yang berguna sebagai sumber energi utama
(Rao, 1992 dalam Ma’shum, 2003).

IV. MAKROFAUNA DAN MIKROBIA DALAM KESUBURAN TANAH

4.1 Makrofauna Dalam Kesuburan Tanah


Organisme tanah (mikrofauna, makrofauna dan mikroflora) telah terbukti memiliki
peranan penting dalam kesuburan tanah. Aktivitasnya sebagai pengendali kesuburan tanah
ditunjukkan dengan memperbaiki beberapa sifat fisik tanah yang meliputi (1) struktur tanah,
(2) tekstur dan kosestensi tanah, (3) retensi dan pergerakan air, serta (4) pertukaran gas.
Secara kimiawi terjadi pula perubahan sifat tanah yang meliputi (1) kandungan hara tersedia,
(2) meningkatnya kapasitas tukar kation, (3) pH dan kandungan C organik. Perubahan sifat
tanah tersebut merupakan akibat aktivitas makrofauna dalam mempengaruhi proses (1)
huminifikasi dan mineralisasi bahan organik tanah, (2) pencampuran dan pengadukan tanah,
(3) pembentukan pori makro dan total pori.
Makrofauna sebagai pencampur dan pengaduk tanah, akan memacu perubahan
struktur tanah yang semula bersifat kompak dan masif menjadi tanah yang bertekstur remah.
Pengadukan tanah bagian bawahan dengan bagian atasan (bioturbasi) menyebabkan adanya
translokasi fraksi tanah berukuran halus dari bagian bawah ke permukaan tanah. Di samping
itu, bekas tempat yang dilewatinya akan membentuk liang-liang (lubang saluran), yang
bermanfaat sebagai lalu lintas pertukaran udara dan pergerakan air infiltrasi. Kesanggupan
mikrobia sebagai pembenah sifat-sifat tanah, mengisyaratkan bahwa kehadiran makrofauna
dalam tanah sangat diperlukan untuk menjamin terciptanya lingkungan hidup yang nyaman
bagi tanaman dan mikrobia yang sedang tumbuh.
Keberadaan makrofauna di dalam tanah mempercepat dekomposisi masukan bahan
organik. Bahan organik segar merupakan pakan bagi makrofauna. Melalui pencernaannya
terjadi penguraian bahan organik, dan sebagian hasil pengurainya dibebaskan kembali ke
tanah dalam bentuk kotoran yang dihasilkannya. Oleh karena itu kotoran makrofauna
umumnya berkandungan C organik dan unsur tersedia yang lebih tinggi dibandingkan
tanah disekitarnya. Namun demikian komposisi kimia kotoran makrofauna sangat beragam,
bergantung pada jenis makrofaunanya, jenis dan jumlah pakannya serta jenis tanahnya.
Dewasa ini kajian mengenai manfaat makrofauna sebagai pembenah kesuburan tanah
belum seintensif pada mikrobia. Hanya terdapat beberapa makrofauna yang telah
mendapatkan perhatian yang lebih serius. Pada wilayah beriklim basah kajian mengenai
makrofauna tersebut terpusat pada cacing tanah, karena cacaing tanahlah yang merupakan
makrofauna dominan pada lingkungan tersebut. Sekalipun demikian densitas populasi,
komposisi spesies dan sifat-sifat kotoran cacing sangat dipengaruhi oleh tingkat kelembaban
tanah, tipe tanah dan macam vegetasi. Pada wilayah beriklim kering, makrofauna yang telah
banyak mendapat perhatian adalah rayap, yang merupakan makrofauna dominan pada tempat
tersebut. Aktivitas rayap dalam membenahi sifat-sifat tanah sangat bergantung pada iklim,
jenis tanah, jenis tanaman dan penggunaan lahan.
Beberapa sifat fisik tanah yang terbenahi oleh aktivitas cacing tanah adalah (1)
terbentuknya pori makro akibat dari terbentuknya liang cancing, (2) terciptanya struktur tanah
yang remah, (3) menurunnya bobot isi tanah dan meningkatnya daya simpan air.
Terbentuknya liang cacing tanah mengakibatkan terciptanya pori makro yang
berkesinambungan dan stabil. Liang ini memfasilitasi pertukaran udara dan infiltrasi air.
kecepatan dan akumulasi infiltrasi pada tanah yang diberikan masukan cacing lebih besar dari
pada tanpa cacing tanah. Akumulasi air tersebut akan semakin besar apabila disertai
pemberian mulsa.
Melalui pergerakan cacing tanah akan terjadi perombakan struktur tanah yang semula
bersifat kompak dan masif menjadi tanah berstruktur reamh. Hal ini dapat dilihat dengan
memperbandingkan struktur pada tanah yang tidak didiami cacing dengan tanah yang didiami
cacing. Pada tanah yang tidak didiami cacing umumnya memiliki sifat-sifat sebagai berikut :
(1) tanah berstruktur masif, (2) retensi air rendah, (3) bobot isi tanah tinggi (Lal, 1987 dalam
Ma’shum, 2003).
Selain pergerakan cacing tanah, kotoran yang dihasilkannya juga berpengaruh positif
terhadap beberapa sifat fisik tanah, seperti meningkatnya daya simpan air dan menurunnya
bobot isi tanah. Meningkatnya daya simpan air disebabkan oleh kandungan liat yang nisbi
tinggi disertai dengan total pori yang nisbi besar pada kotoran cacing jika dibandingkan
dengan tanah disekitarnya. Lal dan Oluwale, 1983 dalam Ma’shum (2003) menunjukkan
bahwa kotoran cacing mengandung air yang lebih tinggi dari pada tanah disekitarnya pada
tingkat tegangan air yang sama. Masukan kotoran ccing mampu menurunkan bobot isi tanah
sekitar 7 % dari tanah yang tampa masukan kotoran cacing.
Cacing tanah juga berkerja sama dengan mikrobia dalam pembentukan agregat. Hal
ini terkait dengan adanya sisa-sisa organik yang tidak dapat dicerna oleh cacing secara
sempurna akan didegradasi lanjut oleh bagi mikrobia tanah. Hasil dekomposisi oleh mikrobia
dan atau senyawa organik hasil bentukan mikrobia akan memantapkan pembentukan struktur
remah yang dilakukan oleh cacing.
Masukan cacing ke dalam tanah mengakibatkan perubahan beberapa sifat kimia tanah
yang meliputi (1) meningkatnya kandungan bahan organik, (2) kandungan unsur hara
tersedia, dan (3) kapasitas tukar kation. Hal ini disebabkan kotoran cacing tanah mengandung
lebih banyak unsur hara dan C organik dari pada tanah aslinya

Tabel 2. Komposisi kandungan hara dan C organik dalam kotoran cacing tanah dan dalam tanah.

S Sifat-sifat kimia Kotoran cacing Tanah


pH (1:1) 5,3 5,7
KTK (me per 100 g) 17,7 4,5
Ca2+ (me per 100 g) 12,2 2,7
Mg2+ (me per 100 g) 4,3 1,3
K+ (me per 100 g) 0,7 0,2
Na+ (me per 100 g) 0,16 0,07
Brqay P (ppm) 12,6 4,5
Total n (%) 0,38 0,15
C organik (%) 3,10 1,08
Sumber : Vleeschauwer dan lal, 1981 dalam Ma’shum (2003).

Terhadap sifat biologi tanah, kotoran cacing berpengaruh terhadap keragaman


populasi mikrobia. Umunya tanah yang dihuni cacing tanah, populasi bakteri (selulotik,
hemisellulotik, pelarut fosfat, amonifikasi dan nitrifikasi) lebih besar jumlahnya dari pada
fungi. Sebagai akibatnya aktivitas ensim urease, fosfatase dan dihidrogenase meningkat.
Bakteri-bakteri tersebut umumnya berdomosili di sekitar liang-liang yang dibuat oleh cacing
tersebut.
Selanjutnya, sebagaimana disebut di atas bahwa biomassa makrofauna di lahan kering
didominasi oleh rayap. Aktivitas rayap dalam mempengaruhi pembentukan tanah terjadi
melalui (1) perannya sebagai pencampur dan pengaduk tanah, (2) menciptakan liang-liang
yang dalam, dan (3) mendekomposisi sisa-sisa organik. Diperkirakan tingkat perubahan tanah
akibat aktivitas rayap berkisar dari 0,01 sampai 0,1 mm ha/tahun (lal, 1987 dalam Ma’shum,
2003). Rayap mampu mengangkut fraksi tanah berukuran halus dari tanah bagian bawah ke
permukaan tanah, fraksi halus tersebut digunakan sebagai bahan penyusun gundukan tanah.
Oleh karena itu material gundukan tanah memiliki tekstur yang halus jika dibandingkan
dengan tanah di sekitarnya.
Gundukan tanah dibangun oleh rayap dengan cara merekatkan satu partikel dengan
partikel lain, dengan bahan sementara adalah air liur dan atau senyawa ekskresi yang lain.
Gundukan ini memiliki ruang pori mikro yang nisbi banyak jumlahnya, sehingga tingkat
infiltrasi air pada gundukan tanah lebih kecil jika dibandingkan dengan pada tanah
disekitarnya. Sebagai akibat dari hal tersebut, air hujan pada tempat itu akan tersimpan lebih
lama pada bagian permukaan, sedangkan bagian tanah yang lebih bawah sering kali masih
dalam kondisi kering. Infiltrasi air yang lamban berarti juga akan mengurangi tingkat
pencucian unsur hara, dan karena itu gundukan tanah umumnya berkandungan unsur hara
yang lebih tinggi dari tanah yang terdapat di dekatnya.
Gundukan tanah yang dibangun oleh rayap umumnya memiliki kandungan liat yang
nisbi tinggi, sehingga dia memiliki daya simpan air yang lebih besar dari pada tanah
disekitarnya. Lal, 1987 dalam Ma’shum (2003) menunjukkan bahwa pada tegangan air yang
sama gundukan tanah berkandungan air lebih besar dari pada tanah yang terdapat
disekitarnya. Rayap juga membuat liang-liang tanah yang secara vertikal cukup dalam dan
secara horisontal cukup panjang, sehingga pada lokasi tersebut akan terjadi sirkulasi udara
yang nisbi baik. Disamping itu liang-liang tersebut juga dapat meningkatkan kecepatan
infiltrasi air. Infiltrasi air pada gundukan tanah nisbi lebih lamban jika dibandingkan dengan
tanah di sekitarnya.
Mengenai pengaruh aktifitas rayap terhadap sifat kimia tanah adalah sulit untuk
digeneralisasikan, karena pengaruhnya berubah-ubah bergantung pada sifat-sifat tanahnya,
spesies rayap, umur gundukan, macam vegetasi dan penggunaan lahan. Namun demikian
umumnya rayap mengakumulasi bahan organik dalam gundukan tanah, sehingga pada tempat
tersebut terkandung kation-kation basa serta hara tanaman yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan tanah di sekitarnya. Oleh karena itu gundukan tanah yang dibangun
oleh rayap ini banyak digunakan sebagai sumber kapur dan rabuk bagi tanaman,

4.2 Mikrobia Dalam Kesuburan Tanah


Peranan mikrobia dalam kesuburan tanah ditunjukkan dengan aktivitasnya dalam
memperbaiki (1) struktur tanah dan (2) ketersediaan hara tanaman. Berkaitan dengan
pembentukan struktur remah, mikrobia berperan sebagai pembangun agregat tanah yang
mantap. Tentu saja dalam proses agragasi tanah diperlukan adanya bahan-bahan perekat
anorganik (seperti Fe, liat, oksidasi besi, alumunium dan kapur) dan organik (senyawa-
senyawa organik bentukan mikrobia ataupun hasil dekomposisi bahan organik). Senyawa-
senyawa tersebut mengikat butiran tanah, baik dari bentuk koogulasi tanah ke dalam agregat
mikro, serta sementasi agregat mikro ke dalam agregat makro. Dalam kaitannya dengan
peningkatan ketersediaan hara, mikrobia berfungsi sebagai pemercepat dekomposisi bahan
organik dan sebagai pemacu tingkat kelarutan senyawa anorganik yang tidak tersedia menjadi
bentuk tersedia. Hal ini dapat berlangsung karena adanya metabolik skunder yang dihasilkan
oleh mikrobia berupa ensim-ensim tanah dan beberapa senyawa organik yang berguna
sebagai pelarut.
Pembentukan agregat tanah oleh mikroba, dapat terjadi (1) melalui pengikatan
mekanik oleh sel bakteri, aktinomesetes dan hifa fungi, dan (2) melalui pengikatan yang
dipelantarai oleh senyawa-senyawa organik yang dihasilkannya ataupun hasil dekomposisi
bahan organik. Pengikatan secara mekanik terutama dilakukan oleh fungi dan aktinomisetes,
karena mikroba ini memiliki filamen yang berfungsi sebagai pengikat partikel-partikel tanah
untuk membentuk struktur yang remah. Hal ini tidak berarti bahwa kedua mikoflora tersebut
tidak menghasilkan bahan perekt kimiawi. Dalam Mulder (1971) disebutkan bahwa
mekanisme pembentukan agregat oleh fungi dan antinomisetes adalah 50 % berlangsung
secara mekanik dan 50 % lagi berlangsung dengan menggunakan bahan perekat dari senyawa
oeganik yang dihasilkannya. Berbeda halnya dengan fungi dan antinomisetes, bakteri lebih
banyak melakukan pengikatan partikel tanah dengan menggunakan senyawa organik yang
dihasilkannya dari pada melakukan pengikatan secara mekanik, dengan perbandingan 80 %
dan 20 %.
Efektivitas mikroba dalam pembentukan agregat tanah sangat bergantung pada (1)
sifat bahan organik yang tersedia, (2) jenis mikrobia dan kondisi lingkungan yang
mempengaruhi pertumbuhan dan aktivitasnya. Umumnya bahan organik yang mudah
terdekomposisi kurang efektif untuk agregasi tanah. Oleh karenanya jika memasukkan bahan
organik ke dalam tanah dengan tujuan sebagai pembenah agregat, maka diperlukan bahan
organik yang bernisbah C/N tinggi disertai nisbah lignin/selulose juga tinggi. Contah bahan
organik berikut ini memiliki urutan efektivitas dari yang tinggi ke rendah masing-masing
adalah jerami, pupuk kandang dan tanaman legum. Perlu diketahui juga bahwa apabila bahan
organik yang mudah terdekomposisi dimasukkan ke dalam tanah, agregasi segera
berlangsung setelah waktu penambahan, tetapi dengan cepat, setelah mencapai maksimum,
agregasi menurun.
Bahan organik yang lebih sukar terdekomposisi memerlukan waktu yang lama untuk
menunjukkan pengaruhnya, tetapi efektivitas dapat berlangsung lebih lama (Baver et al.,
1972 dalam Ma’shum, 2003). Persentase agregasi yang tinggi terjadi ketika bahan organik
mengandung kadar asam humat yang tinggi, tetapi keberadaan polisakarida turut pula
menentukan besarnya agregasi tanah. Contoh, pembenaman daun kacang tanah sebagai bahan
pembenah struktur tanah regosol menunjukkan sesaat setelah pembenaman agregasi
berlangsung lebih tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan azolla dan jerami. Hal ini
disebabkan daun kacang tanah mengandung polisakarida yang lebih banyak dibandingkan
azolla dan jerami. Sementara dalam waktu yang relatif lama, jerami memberikan persentase
agregasi yang lebih tinggi, karena asam humatnya relatif lebih tinggi dari pada dua bahan
yang lain. Keberadaan polisakarida lebih berfungsi sebagai bahan pemantap agregat dari pada
pembentuk agregat. Hal ini mudah difahami karena polisakarida memiliki daya adhesi dan
kohesi yang kuat.
Mulder et al., (1971) menjelaskan bahwa efek fisiko kimia dari mikrobia terhadap
pemantapan agregat dan kontribusinya dalam pembentukan struktur tanah yang remah
bergantung pada (1) macam produk hasil dekomposisi sisa tanaman atau binatang, (2) produk
hasil bentukan mikrobia selama proses dekomposisi bahan organik, (3) senyawa humus yang
terbentuk selama dekomposisi bahan organik yang ditambahkan. Sesaat setelah penambahan
sisa tanaman, senyawa yang berperan dalam pembentukan struktur tanah adalah kelompok
(1) dan (2), setelah itu barulah senyawa yang banyak berpengaruh terhadap pembentukan
struktur adalah kelompok (3). Selanjutnya dijelaskan pula struktur tanah yang remah tersusun
dari suatu campuran 60-80 % pasir, 20-40 % liat, ditambah dengan kation-kation basa dan
senyawa gula sebagai sumber karbon dan energi bagi mikrobia penghasil lendir. Mikrobia
dimaksut yaitu dari kelompok bakteri antara lain Azotobacter indicum, Beijerinckia dan
kelompok fungi seperti Rhizopus nigricans dan Aspergillus niger.
Berbagai mikrobia tanah dapat mengikat butiran tunggal tanah menjadi agregat.
Namun demikian tingkat agregasi tanah tidak saja ditentukan oleh jenis mikrobia, tetapi juga
oleh macam spesies dari masing-masing kelompok mikrobia. Umumnya jamur lebih efektif
jika dibandingkan dengan bakteri. Menurut Harris et al., 1966 dalam Ma’shum (2003), urutan
efektivitas mikrobia dalam pembentukan agregat tanah adalah jamur, streptomisetes, dan
bakteri.
Jamur yang efektif untuk pembentukan agregat adalah spesies jamur yang tumbuh
dengan cepat dan mengahasilkan miselium yang banyak, antara lain dari jenis Mucor,
Rhizopus, Fusarium dan Aspergillus. Selain itu aktivitasnya juga dipengaruhi oleh jenis
bahan organik yang tersedia. Aspergillus, Fusarium dan Mucor sp akan efektif jika tersedia
sukrose sebagai sumber karbonnya, sedangkan Alternaria akan menjadi efektif jika tersedia
jerami.

DAFTAR PUSTAKA

Fitri. 2011. Peran Makrofauna dan Mikrofauna dalam Sifat Fisik dan Kimia Tanah.
http://fitri05.wordpress.com/2011/01/24/peran-makrofa
uan-dan-mikrofauna-dalam-sifat-fisik-dan-kimia-tanah/ [Diakses Tgl 04 Januari 2012].

Hanafiah, K. A., Anas, I., Napoleon, A dan Ghoffar, N. 2005. Biologi Tanah Ekologi dan Makrobiologi
Tanah. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Lynch, J. M. 1983. Soil Biotecnology, Microbiologycol Factors in Crop Production. Blackwell


Scientific Publication. Oxford London.

Ma’shum, M., Soedarsono, J., Susilowati, L. E. 2003. Biologi Tanah. CPIU Pasca IAEUP, Bagpro
Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia, Ditjen Pendidikan Tinggi, Departemen
Pendidikan Nasional. Jakarta.

Mulder, E. G., Lie, T. A and Woldendorp, J. W. 1971. Biology and Fertility. (in) Soil Biology (reviews
of research). UNESCO.

Anda mungkin juga menyukai