Anda di halaman 1dari 28

i

HUBUNGAN BEBAN KERJA DENGAN BURNOUT PERAWAT

DI KAMAR BEDAH RSUP DR KARIADI SEMARANG

Proposal Penelitian

Disusun sebagai salah satu syarat melakukan penelitian

OLEH:

Bangun Hari Pradono


NIM : G2A216041

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH SEMARANG
2017

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Profesi keperawatan merupakan profesi yang sangat berperan dalam

pelayanan kesehatan. Perawat membantu dan memfasilitasi pasien untuk

mendapatkan pelayanan kesehatan dan asuhan keperawatan. Salah satu

diantaranya adalah perawat kamar bedah. Peran perawat kamar bedah

bertanggung jawab secara klinis dan berfungsi sebagai instrumentator (scrub

nurse ) atau perawat sirkulasi (circulating nurse). Perawat kamar bedah

memiliki kemahiran dan tanggung jawab dalam melakukan asuhan

keperawatan, baik asuhan keperawatan pre operatif, intra operatif, maupun

post operatif (Kemenkes,2010).

Instalasi Bedah Sentral atau kamar operasi merupakan suatu unit

pelayanan yang memberikan tindakan pembedahan, dimana tindakan tersebut

harus memperhatikan teknik aseptik (steril) sehingga memerluka konsentrasi

yang tinggi, adapun lamanya operasi tergantung dari tingkat, jenis dan

kesulitan operasi itu sendiri terutama operasi berat dan khusus.

Perawat kamar bedah memiliki tugas dan tanggung jawab yang sangat

berat. Perawat kamar bedah bertanggung jawab dalam menyediakan fasilitas

sebelum pembedahan, mengelola instrument pembedahan selama

pembedahan berlangsung, administrasi dan dokumentasi semua tindakan

keperawatan selama pembedahan, kelengkapan status pasien, check-list

1
2

pasien safety, laporan pembedahan dan anastesi, mengatasi kecemasan pasien

sebelum operasi, mempersiapkan alat, mengatur posisi pasien, memfasilitasi

segala sesuatu yang dibutuhkan selama operasi, baik sebagai scrub nurse

maupun sebagai circulating nurse, dan juga memberikan asuhan keperawatan

setelah pembedahan diruang pulih sadar (Hipkabi, 2015). Hal tersebut diatas

dapat menjadi stressor untuk perawat yang bertugas di kamar bedah. Kegiatan

tersebut jika dilakukan secara rutin dan berulang – ulang dapat menyebabkan

burnout pada perawat, menurut Togia (2005). Burnout merupakan gejala yang

muncul akibat penggunaan energi yang melebihi sumber daya seseorang

sehingga mengakibatkan munculnya kelelahan fisik, emosi dan mental

(Greenglass & schaufeli, 2001).

Indonesia Psychiatric Quarterly (1998) dalam Zahro & Suhartoyo

(2013) dijelaskan bahwa beban kerja adalah suatu tanggapan individu

terhadap lama dan banyaknya pekerjaan serta banyaknya tugas yang

merupakan sumber stress yang penting dalam lingkungan pekerjaan.

Beban kerja yang berlebihan adalah sumber stress yang paling utama,

37% terhadap ketidak puasan kerja, depresi, gejala psikosomatik, burnout,

30%-50% lingkungan kerja merupakan sumber stress. 16 % perawat

meninggalkan pekerjaan profesinya (Valen J. Suterland & Carry L. Cooper,

1990 : 194, dalam Zahroh & Suhartoyo, 2013)

Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi merupakan rumah sakit rujukan

yang berada di Semarang. Salah satu instalasi dimana perawat yang bertugas

dengan beban kerja yang tinggi adalah Instalasi Bedah Sentral. Jumlah pasien
3

yang dioperasi baik yang terprogram maupun yang butuh penanganan segera

(cyto) cukup banyak. Pada bulan Januari 2017 ada 1.612 operasi, bulan

Februari 1.510, bulan Maret 1.610 opersi, bulan April 1.306 operasi, bulan

Mei 1.499 operasi (data rekam medik Instalasi Bedah Sentral RSUP Dr.

Kariadi). Dengan kamar operasi sebanyak 21 kamar operasi, perawatnya

berjumlah 104 orang dibagi menjadi 3 shift. Tidak ada waktu istirahat khusus

yang diberikan. Selain itu juga sering terjadi prolong jam kerjanya.

Penelitian tentang beban kerja perawat dari 77 perawat

memperlihatkan beban kerja yang berat sebesar 62,3% dan beban kerja yang

ringan 37,7% Sutarni (2008). Kusbiantoro (2008), dari 14 responden 50%

mengalami beban kerja berat, 50% mengalami beban kerja sedang dan tak

satupun mengalami beban kerja ringan. Maharja (2015), dari 27 perawat,

beban kerja fisik ringan 25,9%, beban kerja fisik sedang 74,1%.

Penelitian lain menyebutkan perawat yang bekerja pada rumah sakit

besar di Brazil Selatan menunjukkan bahwa perawat yang mengalami burnout

sebesar 35,7% dari 151 responden (Moreira et al, 2009. Dalam Sari, 2014).

Menurut penelitian Al-Turki et el (2010) dalam Sari 2014 menunjukkan hasil

89% staf perawat mengalami emotional exhaustion, 42% mengalami

depersonalization, dan 71% mengalami low personal accomplishment.

Berdasarkan penelitian Maharani (2012), perawat yang mengalami burnout

sebesar 85%. Mariyanti & Citrawati (2011), burnout pada perawat rawat inap

kategori tinggi 20%, kategori sedang 61,7%, dan kategori rendah 18,3% dari

60 responden. Widyakusumastuti & Fauziah (2016) menunjukkan bahwa


4

sebesar 42,02% perawat mengalami burnout pada kategori sangat rendah,

57,14% mengalami burnout pada kategori rendah, dan 0,84% perawat pada

kategori sangat tinggi.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan sebelum penelitian, terdapat

beberapa keluhan diutarakan oleh perawat, baik dari segi fisik maupun non

fisik. Dari segi keluhan fisik diantaranya kelelahan pada anggota tubuh,

pusing, nyeri punggung, nyeri leher, kedinginan. Dari segi non fisik perawat

mengeluh tentang banyaknya dokumentasi yang harus diisi, kurang fokus saat

lelah, takut terhadap dokter bedah yang galak.

Berdasarkan fenomena tersebut diatas, dan belum ada penelitian di

RSUP Dr. Kariadi mengenai beban kerja dengan burnout perawat kamar

bedah, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian hubungan beban

kerja dengan burnout perawat kamar bedah RSUP Dr. Kariadi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang diatas didapatkan rumusan masalah

yaitu : adakah hubungan antara beban kerja dengan burnout perawat di kamar

bedah RSUP Dr. Kariadi?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
5

Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui hubungan

antara beban kerja dengan burnout perawat kamar bedah RSUP Dr.

Kariadi.

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :


a. Mendiskiripsikan beban kerja perawat kamar bedah RSUP Dr.

Kariadi.
b. Mendiskripsikan burnout perawat kamar bedah RSUP Dr. Kariadi.
c. Menganalisis hubungan beban kerja dengan burnout perawat kamar

bedah RSUP Dr. Kariadi.

D. Manfaat Penelitian

1. Untuk Rumah Sakit

Hasil penelitian ini dapat sebagai bahan masukan bagi manajemen

rumah sakit mengenai beban kerja perawat dalam pengelolan sumber daya

mansia, khususnya perawat. Bagi bidang keperawatan sebagai bahan

evaluasi untuk perbaikan.

2. Untuk perkembangan ilmu keperawatan dan penelitian

Hasil penelitian ini dapat sebagai referensi ilmu manajemen

keperawatan khususnya mengenai beban kerja dan burnout perawat. Bagi

peneliti menjadi bahan referensi untuk pengembangan penelitian

selanjutnya.

E. Keaslian Penelitian

Berikut ini adalah beberapa penelitian terdahulu yang pernah

dilakukan terkait dengan judul penelitian ini.


6

Tabel 1.1
Keaslian penelitian

Nama Variabel Desain


No Tahun Hasil Penelitian
Peneliti Penelitian Penelitian
1. Ni Luh 2014 Independen : Quantitative Ada hubungan antara
Putu beban kerja research beban kerja dengan burnout
Dian Dependen : model, syndrome pada perawat
Yunita Burnout observation pelaksana ruang
Sari syndrome al study intermediet RSUP Sanglah
correlation
2. Puspa 2012 Independen: Analitik Tidak ada hubungan
Ayu kejenuhan korelasi kejenuhan kerja dengan
Maharani kerja kinerja perawat dalam
(burnout) pemberian asuhan
Dependen: keperawatan di IRNA RS
kinerja Bpatis Kediri
perawat
3. Sulis 2011 burnout Kuantitatif Burnout pada perawat
Mariyanti deskriptif rawat inap kategori tinggi
& Anisah 20%, kategori sedang
Citrawati 61,7%, dan kategori rendah
18,3% dari 60 responden
4. Risma 2016 Independen: Kuantitatif Terdapat hubungan negatif
Widyaku komunikasi deskriptif yang signifikan antara
sumastuti interpersonal komunikasi interpersonal
& Nailul Dependen: dengan burnout.
Fauziah Burnout
5. Nani 2008 Independen: Kuantitatif Ada hubungan yang
Sutarni beban kerja deskriptif bermakna antara beban
Dependen: kerja dengan kepuasan
kepuasan kerja perawat pelaksana di
kerja IRNA RS Kanker Dharmais
Jakarta
Lanjutan Tabel 1.1
Keaslian penelitian

Nama Variabel Desain


No Tahun Hasil Penelitian
Peneliti Penelitian Penelitian
6. Dadang 2008 Beban kerja Deskriptif Dari 14 responden 50%
Kusbiant dan stress mengalami beban kerja
oro kerja berat, 50% mengalami
beban kerja sedang dan tak
satupun mengalami beban
kerja ringan
7. Rizki 2015 Independen: Observasion Terdapat hubungan searah
7

Maharja kelelahan al deskriptif dan kuat antara beban kerja


Kerja fisik dan kelelahan kerja.
Dependen: Ada perbedaan tingkat
beban kerja kelelahan kerja
beerdasarkan beban kerja
fisik.
BAB II

TINJAUAN TEORI

F. Landasan Teori

1. Burnout

a. Pengertian

Burnout adalah kondisi kelelahan fisik, mental, dan emosional

yang muncul sebagai konsekuensi dari ketidaksesuaian antara kondisi

karyawan dengan pekerjaannya (lingkungan dan desain pekerjaan).

Sejauh ini fenomena burnout masih belum mendapat perhatian serius

dari pihak manajemen organisasi, meskipun sudah banyak hasil

penelitian yang memperlihatkan bahwa burnout menurunkan efektivitas

organisasi. Kelompok karyawan yang dipandang rentan terhadap

burnout antara lain adalah karyawan senior. Oleh karena itu, diperlukan

strategi tertentu untuk menangani fenomena tersebut dengan

mempertimbangkan karakteristik karyawan senior dan kemampuan

organisasi untuk melakukan tindakan preventif maupun kuratif (Mc

Cormack & Cotter, 2013).

Istilah burnout, diperkenalkan oleh Bradley pada tahun 1969,

namun tokoh yang dianggap sebagai penemu dan penggagas istilah

burnout adalah Herbert Freudenberger yang menulis artikel tentang

fenomena burnout pada tahun 1974. Pada masa itu, Freudenberger yang

bekerja sebagai psikiater di salah satu klinik kecanduan obat di New

8
9

York melihat bahwa banyak tenaga sukarelawan yang semula

bersemangat melayani pasien lalu mengalami penurunan motivasi dan

komitmen kerja yang disertai dengan gejala keletihan fisik dan mental.

Freudenberger menggambarkan proses fenomena tersebut seperti lilin

yang terbakar lalu perlahan meleleh sampai akhirnya habis. Dia

memilih satu kata yang dianggap tepat untuk menggambarkan

fenomena tersebut dengan nama burnout (Gunarsa, 2013).

Tokoh lain yang dianggap berperan mempopulerkan istilah

tersebut adalah Christina Maslach yang melihat gejala serupa pada

pengacara kaum miskin di California. Para pengacara tersebut

memperlihatkan gejala keletihan fisik dan mental secara perlahan yang

diiringi dengan hilangnya komitmen kerja serta munculnya sikap sinis

kepada para sejawat mereka. Maslach akhirnya mengadopsi istilah

burnout dan mulai melakukan penelitian fenomena tersebut kepada

berbagai kelompok sampel yang berbeda. Sejauh ini terjemahan baku

untuk istilah burnout dalam bahasa Indonesia belum ditemukan

(Ladstatter & Garrosa, 2008).

Menurut Annual Review of Psychology dalam Gunarsa (2013),

disebutkan bahwa istilah burnout dipandang sebagai suatu konsep yang

tidak memiliki definisi baku. Istilah tersebut dapat saja digunakan oleh

orang yang berbeda untuk tujuan berbeda, sehingga tidak ada suatu

dasar komunikasi yang konstruktif untuk mengkaji atau menyelesaikan

masalah tersebut. Namun demikian, terdapat suatu pengertian umum


10

tentang burnout dari Maslach dan Jackson yang banyak dikutip oleh

para ahli, termasuk oleh Schaufeli dan Buunk sebagai berikut: “Burnout

is a syndrome of emotional exhaustion, depersonalization, and reduced

personal accomplishment that occur among individuals who do people

work of some kind” (Schaufeli dan Buunk dalam Gunarsa, 2013).

Disisi lain, Bakker dan Schaufeli, Sixma serta Bosveld

menjabarkan burnout sebagai bentuk reaksi stress kerja yang spesifik

pada orang-orang yang bekerja dalam bidang pelayanan sosial, sebagai

hasil dari tuntutan emosional dalam hubungan antara karyawan dan

orang-orang yang harus dilayani. Dari kedua pengertian tersebut

burnout merupakan fenomena yang sifatnya spesifik karena hanya

dialami oleh mereka yang berprofesi sebagai karyawan dibidang sosial

(melayani atau mengurusi orang).(Gunarsa, 2013).

b. Gejala burnout

Menurut Maslach dan Leiter dalam Gunarsa (2013), bahwa

gejala-gejala burnout dapat dikategorikan ke dalam tiga dimensi, yaitu

exhaustion, cynicism, dan ineffectiveness.

1) Exhaustion merupakan dimensi burnout yang ditandai oleh perasaan

letih berkepanjangan baik secara fisik, mental, dan emosional.

Ketika seseorang mengalami exhaustion, mereka merasakan

energinya seperti terkuras habis dan ada perasaan “kosong” yang

tidak dapat diatasi lagi. Menurut Pines, Aronson, dan Shirom dalam
11

Gunarsa (2013), gejala-gejala tersebut dipandang sebagai gejala inti

dari burnout.

2) Cynicism, mencerminkan adanya sikap yang sinis terhadap orang-

orang yang berada dalam lingkup pekerjaan dan kecenderungan

untuk menarik diri serta mengurangi keterlibatan diri dalam bekerja.

Perilaku tersebut diperlihatkan sebagai upaya untuk melindungi diri

dari perasaan kecewa, penderitanya menganggap dengan berperilaku

tersebut akan aman dan terhindar dari ketidakpastian dalam bekerja.

3) Ineffectiveness, mencerminkan adanya perasaan tidak berdaya, tidak

lagi mampu melakukan tugas dan menganggap tugas-tugas yang

dibebankan terlalu berlebihan, sehingga tidak sanggup lagi

menerima tugas yang baru. Penderita dalam hal ini merasa bahwa

dunia di luar dirinya menentang upaya untuk melakukan perbaikan

dan kemajuan, sehingga kondisi tersebut akhirnya membuat mereka

merasa kehilangan kepercayaan terhadap kemampuannya sendiri dan

juga kehilangan kepercayaan dari orang lain akibat perilakunya

c. Manifestasi burnout

Manifestasi burnout meliputi gejala (Gunarsa, 2013):

1) Afektif, seperti merasa “kosong”, “terbelenggu”, dan gejala-gejala

yang terkait dengan depresi (tidak berdaya, tidak berarti, dan

kehilangan semangat). Selain itu penderita memperlihatkan perasaan

mudah tersinggung dan sikap bermusuhan terhadap orang lain.


12

2) Kognitif, memperlihatkan gejala berkurangnya konsentrasi, mudah

lupa dan sulit mengambil keputusan.

3) Psikomotor, memperlihatkan adanya gerakan-gerakan pada

sekelompok otot yang tidak terkendali (nervoustics), mudah gelisah,

atau sulit sekali untuk bersikap santai.

4) Masifestasi fisik memperlihatkan melalui keluhan seperti sakit

kepala, mual, nyeri otot, gangguan tidur, masalah seksual,

kehilangan selera makan, nafas pendek.

5) Aspek perilaku, manifestasi burnout tampak pada meningkatnya

ambang kepekaan, seperti menjadi kurang kendali diri dan mudah

terprovokasi, serta adanya peningkatan konsumsi kopi dan alcohol.

6) Manifestasi sosial berhubungan dengan masalah-masalah

interpersonal, terutama dalamlingkungan pekerjaan. Biasanya tidak

hanya dengan rekan kerja, tetapi juga mencakup atasan, bawahan,

dan pelanggan. Dalam hal ini penderita burnout tampak menarik diri

dari kontak sosial dan memilih mengisolasi diri daripada bergabinng

dalam suatu interaksi dengan orang-orang lain disekitar mereka.

d. Sumber atau penyebab burnout

Menurut Maslach dan Leiter dalam Gunarsa (2013), penyebab

burnout meliputi:

1) Kelebihan beban kerja

Dalam perspektif organisasi, beban kerja berarti produktivitas,

sedangkan dalam perspektif individu beban kerja berarti waktu dan


13

tenaga. Tantangan mendasar bagi setiap organisasi adalah

menemukan kompromi antara kedua macam perspektif ini. Akan

tetapi hal tersebut sulit dilakukan oleh pihak manajemen pada masa

kini. Hal tersebut diakibatkan oleh ketatnya kompetisi mengharuskan

manajemen melakukan efisiensi kerja. Hal tersebut berarti setiap

orang dituntut untuk melakukan banyak hal dengan waktu dan biaya

yang terbatas. Akibatnya, setiap karyawan mendapat beban yang

sering kali melebihi kapasitas kemampuannya. Mereka harus

melakukan berbagai macam tugas, sementara tugas-tugas tersebut

semakin kompleks dengan semakin banyak tuntutan kualitas dan

kuantitas akibat persaingan. Konsekuensinya, waktu pun semakin

berkurang untuk melakukan hal-hal lain di luar pekerjaan. Sehingga

banyak orang mengeluh “tidak punya waktu” jika diajak untuk

melakukan aktivitas sosial, mereka selalu disibukkan dengan

pekerjaan yang menghabiskan sebagian besar waktu. Kondisi seperti

itu menghabiskan banyak energi yang akhirnya menimbulkan

keletihan baik secara fisik dan mental.

2) Kurangnya kontrol

Banyaknya tugas yang harus dilakukan membuat seseorang

sulit menentukan prioritas, mana tugas yang harus dilaksanakan

lebih dahulu. Karena sering kali banyak tugas yang harus menjadi

prioritas karena tingkat kepentingan yang sama tingginya atau

karena tingkat urgensinya sama. Semakin tinggi jabatan seseorang,


14

semakin banyak dia diatur oleh agenda kerja (aturan protokoler)

yang sering kali tidak bisa dihindari meskipun hal tersebut tidak

disukainya. Pada tingkat bawah pun, banyak karyawan yang merasa

ditekan untuk melakukan berbagai macam tugas demi peningkatan

produktivitas tanpa dia sendiri mampu melakukan kontrol terhadap

pelaksanaannya. Ketika seseorang tidak dapat melakukan kontrol

terhadap berbagai aspek penting dalam pekerjaan, maka semakin

kecil peluang untuk dapat mengidentifikasi atau mengantisipasi

masalah-masalah yang akan timbul. Akibatnya, orang menjadi lebih

mudah mengalami exhaustion dan cynicism.

3) Sistem imbalan yang tidak memadai

Krisis yang melanda dunia kerja dewasa ini mengurangi

kemampuan organisasi untuk memberikan sistem imbalan yang

memadai. Orang berharap tidak hanya memperoleh gaji yang

memadai dari pekerjaannya, namun juga pemenuhan rasa aman dan

penghargaan serta peluang untuk mengembangkan karier. Akan

tetapi tidak semua perusahaan mampu melakukan pemenuhan

terhadap kebutuhan tersebut. Salah satu contributor yang berperan

besar terhadap munculnya burnout adalah tidak adanya sistem

imbalan intrinsic seperti: dapat melakukan tugas-tugas yang

menyenangkan, membangun keahlian, dan memperoleh penghargaan

dari mitra kerja. Kurangnya keseimbangan antara sistem imbalan

yang bersifat (gaji, tunjangan) dan sistem imbalan intrinsic akan


15

melemahkan semangat untuk menyukai pekerjaan dan akhirnya

membuat seseorang merasa terbelenggu dengan hal-hal rutin yang

mengakibatkan turunnya komitmen dan motivasi kerja. Hasl tersebut

mulai menjadi gejala burnout.

4) Terganggunya sistem komunitas dalam pekerjaan

Pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak

dapat dipisahkan dari komunitasnya dimanapun dia berada. Namun,

kondisi kerja dewasa ini pada berbagai sector bidang usaha lebih

banyak terfokus pada perolehan keuntungan materi dalam jangka

pendek dan sering kali mengabaikan unsure kemanusiaan.

Persaingan yang ketat dan waktu kerja yang padat menyebabkan

karyawan terpisah dari sesamanya. Keterpisahan tersebut dapat

bersifat fisik dalam arti seorang karyawan harus dapat

menyelesaikan tugasnya sendiri tanpa kehadiran orang lain ataupun

secara sosial, dalam arti dia harus mandiri karena rekan kerja

menjadi competitor untuk meraih prestasi kerja yang dicanangkan

perusahaan. Iklim kerja perusahaan yang bersifat kompetitif,

individual, dan mengutamakan prestasi dapat menimbulkan perasaan

tidak nyaman karena hubungan sosial menjadi fragmentaris,

sementara keterpisahan dari lingkungan sosial sebenarnya

menimbulkan suatu perasaan tidak aman bagi seseorang yang pada

akhirnya mudah memicu konflik. Penyelesaian konflik sering kali


16

menguras banyak energi dan mudah menggiring seseorang kearah

burnout.

5) Hilangnya keadilan

Lingkungan kerja dipandang bersikap adil jika memiliki tiga

hal, yaitu kepercayaan, keterbukaan, dan rasa hormat. Ketiga aspek

ini ini penting untuk menjaga keterlibatan seseorang terhadap

pekerjaannya. Ketidakhadiran aspek-aspek tersebut secara langsung

akan menimbulkan burnout. Manajemen yang terbuka dan

menghargai kontribusi setiap orang sangat didambakan oleh

karyawan. Sistem manajeman seperti ini menimbulkan kepercayaan

yang tinggi dari karyawan kepada instansi. Akan tetapi tekanan

kompetisi yang tinggi sering kali menyebabkna manajemen tidak

lagi dapat bersikap terbuka karena ada strategi manajemen yang

perlu dirahasiakan agar tidak bocor ke kompetitor.

Hal tersebut dapat menimbulkan ketidakpercayaan yang jika

dibiarkan akan menimbulkan sikap sinis pada pihak manajemen.

Kondisi lain dari sistem manajemen yang juga dapat menimbulkan

ketidakadilan antara lain adalah penerapan aturan yang tidak

konsisten dan komunikasi yang tidak lancar diantara berbagai divisi

atau antara pimpinan dan pelaksana. Ketika karyawan merasakan

ketidakadilan, berbagai reaksi akan muncul dan sebagian orang dapat

bereaksi dengan cara menarik diri dan mengurangi keterlibatannya


17

dalam pekerjaan. Selanjutnya gejala-gejala burnout mulai akan

muncul.

e. Karyawan senior rentan terhadap burnout

Selama ini terdapat pandangan yang bersifat stereotip pada

orang-orang yang berusia tua. Usia tua dianggap sebagai suatu tahap

kehidupan yang kurang baik karena ketuaan biasanya diasosiasikan

dengan gambaran yang buruk, kering, tidak bersahabat, dan kesepian

(Biedermann danlam Gunarsa, 2013). Pandangan seperti itu sering kali

digeneralisasikan sehingga muncul anggapan yang seragam bahwa

karyawan senior biasanya ditandai oleh kelenturan yang rendah,

pandangan konservatif, ketergantungan dan sikap pasif. Secara umum,

usia tua juga biasanya diasosiasikan dengan menurunnya berbagai

fungsi tubuh dan hanya dapat diatasi dengan intervensi medis. Menurut

Belsky dan Krijnen, karyawan senior sering dianggap sebagai sumber

masalah dalam produktivitas, fleksibilitas, inovasi, kesehatan, dan stress

dalam organisasi (Gunarsa, 2013).

Secara ekonomis, karyawan senior juga dipandang kurang

efisien. Kondisi mereka dianggap tidak sebanding dengan anggaran

yang harus dikeluarkan untuk mendidik,melatih, atau mengembangkan

mereka. Dalam proses rekrutmen dan seleksi karyawan, mereka pun

mengalami diskriminasi dengan adanya pembatasan usia untuk

mengajukan lamaran kerja. Karyawan senior sering kali juga dipandang

kurang mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan


18

organisasi modern yang sangat dinamis. Anggapan-anggapan seperti

disebutkan diatas tentu saja membatasi ruang gerak karyawan senior

adlam melakukan pekerjaan dan sekaligus mempengaruhi perlakuan

manajerial kepada mereka, sehingga mempersempit peluang

pengembangan diri, misalnya pelatihan akan lebih banyak diberikan

kepada mereka yang lebih muda dari pada kepada karyawan senior

(Gunarsa, 2013).

perlakuan kepada karyawan senior dapat menimbulkan perasaan

tersisihkan yang menggiring pada munculnya perasaan tidak berdaya.

Bahkan Boerlijst et al. dalam Gunarsa (2013) mengatakan perlakuan

yang diterima oleh karyawan senior menimbulkan perasaan terisolasi

dari lingkungan social di dalam lingkungan kerjanya sendiri, sehingga

mereka merasa tidak lagi dibutuhkan yang pada akhirnya menggiring

pada burnout.

f. Strategi penanganan burnout

Menurut Gunarsa (2013), strategi penanganan burnout meliputi:

1) Dimulai dari organisasi

Turner dan Helm dalam Gunarsa (2013), mengungkapkan

bahwa burnout lebih banyak dialami oleh karyawan yang idealis,

yang dinamis, yang dinamis dan berorientasi pada pencapaian tugas.

Karyawan seperti ini merupakan karyawan yang dapat diandalkan

untuk memajukan dan mengembangkan organisasi. Oleh karena itu

penanganan pada tahap organisasi akan lebih efektif, karena tidak


19

hanya individu tersebut saja yang dilibatkan, namun rekan kerja atau

atasan juga dilibatkan dalam penyelesaian masalah dalam satu

instansi.

2) Pendekatan individual

Semua orang akan mengalami perubahan pada usia

pertengahan, akan tetapi berbeda dalam kualitas, kuantitas, maupun

intensitas. Begitu pula dengan permasalahan yang dialami setiap

individu bentuk dan tingkatannya berbeda-beda. Oleh karena itu

perlu pendekatan yang lebih bersifat individual atau personal. Pada

tahap awal pendekatan pribadi diperlukan untuk mengidentifikasi

permasalahan dan intensitas burnout beserta kondisi (kelebihan dan

kekurangan) karyawan. Selanjutnya dapat dilakukan perubahan

kondisi kerja dengan memperbaiki desain pekerjaan dan memberikan

otonomi yang lebih besar kepada para karyawan. Pendekatan pribadi

juga dapat digunakan untuk menciptakan peran-peran baru bagi

setiap karyawan. Misalnya meminta para karyawan terutama yang

senior untuk menjadi mentor atau trainer bagi karyawan yang masih

baru. Sehingga peran baru tersebut akan menguntungkan karyawan

dan organisasi (Gunarsa, 2013).

3) Memperbaiki kebijakan organisasi

Kebijakan organisasi sangat berperan besar dalam

menumbuhkan burnout. Oleh karena itu burnout juga akan dapat

diatasi atau dicegah melalui perubahan dan perbaikan kebijakan


20

organisasi. Sistem imbalan, beban kerja, otonomi, hubungan atasan-

bawahan, semuanya merupakan bagian dari iklim kerja suatu

organisasi. Jika aspek-aspek tersebut sesuai dengan harapan

karyawan, maka iklim kerja yang kondusif akan terbentuk. Begitu

juga sebaliknya jika kebijakan organisasi tidak dapat memenuhi

harapan karyawan, banyak keluhan dan ketidakpuasan akan muncul,

sementara iklim kerja yang destruktif pun terbentuk (Gunarsa, 2013).

2. Beban Kerja

Beban kerja telah didefinisikan sebagai satu set permintaan tugas,

sebagai usaha, dan sebagai kegiatan atau prestasi. Tuntutan tugas (beban

tugas) adalah tujuan yang ingin dicapai: waktu yang diizinkan untuk

melakukan tugas, dan tingkat kinerja yang tugas yang harus diselesaikan.

Faktor yang mempengaruhi usaha yang dikeluarkan adalah informasi dan

peralatan yang disediakan lingkungan tugas (Gawron, 2008).

Menurut Smith, Cousins, dan Robert dalam Suharjo & Cahyono

(2012) beban kerja yang tinggi dapat mempengaruhi kinerja seseorang

diantaranya dalam hal prescribing error serta dispensing error. Meskipun

juga ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi, seperti kurangnya

pengetahuan dan informasi, kesehatan mental dan fisik, komunikasi tidak

berjalan lancar, pengawasan yang kurang, sistem kerja dan sarana tidak

mendukung, kurangnya pelatihan, serta jumlah petugas yang kurang

memadai.
21

Menurut Undang-undang Kesehatan dalam Efendy (2009),

mengatakan bahwa kesehatan kerja dapat terwujud jika terjadi penyerasian

antara kapasitas, lingkungan, dan beban kerja agar setiap pekerja dapat

bekerja secara sehat tanpa membahayakan dirinya sendiri maupun

masyarakat di sekelilingnya, agar diperoleh produktivitas yang optimal.

Dalam hal ini misalkan tentang perilaku kerja perawat, apabila perawat

dapat mencapai kesehatan kerja, perawat akan memiliki perilaku kerja

yang sehat optimal, sehingga perawat akan selalu semangat dan merasa

nyaman dalam melakukan pekerjaan.

Menurut Wilson (2009), beban kerja berhubungan dengan jumlah

waktu yang dimiliki dengan jumlah kerja yang harus dilakukan. Untuk itu

perencanaan waktu yang baik akan meringankan beban kerja. Sedangkan

menurut Hardjana (2010) mengatakan bahwa seseorang yang kelebihan

beban kerja, cenderung merasa terbebani, tertekan, mudah lelah dan

mudah tersulut konflik dengan orang lain.

3. Perilaku

Perilaku dari sudut pandang biologis adalah suatu kegiatan atau

aktivitas organisme yang bersangkutan, yang dapat diamati secara

langsung maupun tidak langsung (Sunaryo, 2013). Sedangkan menurut

Notoatmodjo dalam Sunaryo (2013) perilaku manusia adalah suatu

aktivitas manusia itu sendiri. Secara operasional, perilaku dapat diartikan

suatu respons organisme atau seseorang terhadap rangsangan dari luar

subjek tersebut. Menurut Gunawan (2008), perilaku adalah apa yang kita
22

ucapkan, lakukan, cara kita bicara, bersikap, berinteraksi, reaksi atau

respons kita dalam menghadapi suatu masalah saat berinteraksi dengan

dunia luar.

Perilaku dalam Ensiklopedia Amerika diartikan sebagai suatu aksi-

reaksi organism terhadap lingkungannya, perilaku baru terjadi apabila ada

suatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni yang disebut

rangsangan, jadi rangsangan tertentu akan menghasilkan reaksi atau

perilaku tertentu (Sunaryo, 2013). Menurut Kwick dalam Sunaryo (2013),

perilaku adalah tindakan atau perilaku suatu organism yang dapat diamati

dan bahkan dapat dipelajari. Sedangkan menurut Kusmiyati dan

Desminiarti dalam Sunaryo (2013), perilaku manusia pada hakekatnya

adalah proses interaksi individu dengan lingkungannya sebagai manifestasi

hayati bahwa dia adalah makhluk hidup.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku dalam Soekidjo (2010):

a. Faktor predisposisi (Predisposing factors)

Faktor yang mempermudah terjadinya perilaku seseorang. Faktor

ini termasuk pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, kebiasaan,

nilai-nilai, norma sosial, budaya, dan faktor sosio-demografi.

b. Faktor pendorong (Enabling factors)

Faktor yang memungkin terjadinya perilaku. Hal ini berupa

lingkungan fisik, sarana kesehatan atau sumber-sumber khusus yang

mendukung, dan keterjangkauan sumber dan fasilitas kesehatan.


23

c. Faktor penguat (Reinforcing factors)

Faktor penguat adalah faktor yang memperkuat untuk terjadinya

perilaku tertentu tersebut. Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan

perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap, dan perilaku para

petugas termasuk petugas kesehatan, termasuk dalam pemberian

reward dan punishment.

4. Kebutuhan Dasar Manusia

Perilaku manusia terbentuk karena ada kebutuhan, menurut Abraham

Harold Maslow dalam Sunaryo (2013), manusia memiliki lima kebutuhan

dasar, yaitu:

a. Kebutuhan fisiologis/ biologis

Merupakan kebutuhan pokok, yaitu O2, H2O, cairan elektrolit,

makanan, dan seks. Apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi akan terjadi

ketidakseimbangan fisiologis. Misalnya, kekurangan O2, yang

menimbulkan sesak nafas dan kekurangan H2O dan elektrolit yang

menyebabkan dehidrasi.

b. Kebutuhan rasa aman

Kebutuhan rasa aman meliputi:

1) Rasa aman terhindar dari pencurian, penodongan, perampokan, dan

kejahatan lain.

2) Rasa aman terhindar dari konflik, tawuran, kerusuhan, peperangan,

dan lain-lain.

3) Rasa aman terhindar dari sakit dan penyakit.


24

4) Rasa aman memperoleh perlindungan hukum.

c. Kebutuhan mencintai dan dicintai

Kebutuhan mencintai dan dicintai meliputi:

1) Mendambakan kasih saying/ cinta kasih orang lain baik dari orang

tua, saudara, teman, kekasih, dan lain-lain.

2) Ingin dicintai/ mencintai orang lain.

3) Ingin diterima oleh kelompok tempat ia berada.

d. Kebutuhan harga diri

Kebutuhan harga diri meliputi:

1) Ingin dihargai dan menghargai orang lain.

2) Adanya respek atau perhatian dari orang lain.

3) Toleransi atau saling menghargai dalam hidup berdampingan.

e. Kebutuhan aktualisasi diri

Kebutuhan aktualisasi diri meliputi:

1) Ingin dipuja atau disanjung oleh orang lain

2) Ingin sukses atau berhasil dalam mencapai cita-cita

3) Ingin menonjol dan lebih dari orang lain, baik dalam karir, usaha,

kekayaan, dan lain-lain.


25

Skema 2.1
Hierarki Kebutuhan Dasar Manusia menurut Maslow

G. Kerangka Teori

Predisposing factors
Gejala dan
1. Pengetahuan Lima kebutuhan dasar: manifestasi burnout:
2. Sikap 1. Kebutuhan fisiologis/
3. Kepercayaan 1. Exhaustion
biologis
4. Keyakinan 2. Cynicism,
2. Kebutuhan rasa aman
5. Kebiasaan 3. Kebutuhan mencintai
3. Ineffectiveness
6. Nilai-nilai
Enabling factors dan dicintai 4. Afektif,
7.
1. Norma sosialfisik
Lingkungan 4. Kebutuhan harga diri Burnout5. Kognitif
Perilaku Sumber
8.
2. Budaya kesehatan
Sarana 5. Kebutuhan aktualisasi atau 6.penyebab
Psikomotor,
9.
3. Reinforcing
Faktor factors
sosio-demografi
sumber-sumber khusus diri burnout: 7. Masifestasi fisik
1. Sikap dan
yang mendukung perilaku 1. Kelebihan beban8.kerja
Aspek perilaku
4. tokoh masyarakat dan
Keterjangkauan 2. Kurangnya kontrol
9. Manifestasi sosial
tokoh
sumber agama 3. Sistem imbalan yang tidak
2.
5. Fasilitas dan
Sikap perilaku
kesehatan memadai
petugas termasuk 4. Terganggunya sistem
petugas kesehatan komunitas dalam
3. Reward dan pekerjaan
Punishment 5. Hilangnya keadilan
26

Skema 2.2
Kerangka Teori

H. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Beban kerja Burnout

Skema 2.3
Kerangka Konsep

I. Variabel Penelitian

3. Variabel Independen (bebas)

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah beban kerja.

4. Variabel Dependen (terikat)

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah burnout.

J. Hipotesis

Berdasarkan dari kerangka konsep penelitian yang telah dibuat, maka

hipotesa yang dapat dirumuskan adalah:

Ha : Ada hubungan antara beban kerja dengan burnout perawat kamar bedah

RSUP Dr. Kariadi Semarang.

Ho : Tidak ada hubungan antara beban kerja dengan burnout perawat kamar

bedah RSUP Dr. Kariadi Semarang.


27

Anda mungkin juga menyukai