Anda di halaman 1dari 16

Epidemiologi Surveilans Terhadap Kasus yang Mirip dengan Pertusis

I Made Ananta Wiguna

102015083/C5

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat 11510

Pendahuluan

Pertusis adalah suatu infeksi saluran pernafasan akut yang banyak menyerang anak balita dengan
angka kematian yang tertinggi pada anak usia di bawah satu tahun. Pertusis disebabkan oleh infeksi
Bordetella pertusis. Seperti halnya penyakit infeksi saluran pernafasan akut lainnya, pertusis
sangat mudah dan cepat penularannya, melalui droplet aerosol. Di dunia terjadi 30 sampai 50 juta
kasus per tahun, dan menyebabkan kematian pada 300.000 kasus (data dari WHO). Penyakit ini
biasanya pada anak berusia di bawah tahun. Sembilan puluh persen kasus ini terjadi di negara
berkembang. Serangan pertusis yang pertama tidak selalu memberikan kekebalan penuh. Jika
terjadi serangan pertusis kedua, biasanya bersifat ringan dan tidak selalu dikenali sebagai pertusis.1

Di Indonesia, angka kesakitan yang disebabkan pertusis dari tahun 2010-2012 berdasarkan laporan
STP (Surveilans Terpadu Penaykit) rata-rata insiden kumulatif 2,45 per 100.000 penduduk. Bila
dilihat dari data tersebut. Kasus pertusis terjadi pada semua golongan umur, namun kasus tersebar
hampir merata pada usia balita (1-4 tahun) hingga dewasa (45-54 tahun). Kasus terbanyak
dijumpai pada golongan umur 1-4 tahun.1

Epidemiologi

Penyebab dari pertusis adalah Bordetella pertussis yang merupakan suata coccobacillus gram
negative yang bersifat fastidious (sulit dibiak). Selain itu terdapat B. Parapertusis yang juga bisa
menyebabkan penyakit yang mirip perutusis namun tidak terlalu berbahaya seperti eprtusis.1

Distribusi penyakit ini sering menyerang anak-anak (khususya usia dini) tersebar di seluruh dunia,
tidak tergantung etnis, cuaca ataupun lokasi geografis. Terjadi penurunan yang nyata dari angka
kesakitan pertusis selama empat decade terakhir, terutama pada masyarakat dimana program

1
imunisasi berjalan dengan baik serta tersedia pelayanan kesehatan yang cukup dan gizi yang baik.
Pada anak yang lebih besar, remaja dan dewasa pertusis sering kali tidak dikenal karena gejala
sering kali tidak khas. Reservoir pertusis sampai sekarang manusia dianggap sebagai satu-satunya
hospes. 1

Epidemiologi penyakit ini terjadi di beberapa negara, seperti di Amerika Syarikat selama tahun
1977-1980 terdapat 102.500 penderita pertusis.6 Pada tahun 1983 di Indonesia diperkirakan
terdapat 819.500 penderita pertusis dengan angka kematian 23.100 orang.1

Gambaran Klinis
Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea dan saluran pernapasan sehingga pembentukan
lendir semakin banyak. Pada awalnya lendir encer, tetapi kemudian menjadi kental dan lengket.

Infeksi berlangsung selama 6 minggu, dan berkembang melalui 3 tahapan :1


a. Tahap kataral (mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 9-10 hari setelah terinfeksi)
gejalanya menyerupai flu ringan; bersin-bersin, mata berair, nafsu makan berkurang,
lesu, batuk (pada awalnya hanya timbul di malam hari kemudian terjadi sepanjang
hari).
b. Tahap paroksismal (mulai timbul dalam waktu 10-14 hari setelah timbulnya gejala
awal). Batuk 5-15 kali diikuti dengan menghirup nafas dalam dengan nada tinggi
(whooping). Setelah beberapa kali bernafas normal, batuk kembali terjadi diakhiri
dengan menghirup nafas bernada tinggi lagi. Batuk bisa disertai pengeluaran sejumlah
besar lendir yang biasanya ditelan oleh bayi/anak-anak atau tampak sebagai gelembung
udara di hidungnya. Batuk atau lendir yang kental sering merangsang terjadinya
muntah. Serangan batuk bisa diakhiri oleh penurunan kesadaran yang bersifat
sementara. Pada bayi, apneu (henti nafas) dan tersedak lebih sering terjadi
dibandingkan dengan tarikan nafas yang bernada tinggi.
c. Tahap konvalesen (mulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah gejala awal). Batuk
semakin berkurang, muntah juga berkurang, anak tampak merasa lebih baik. Kadang
batuk terjadi selama berbulan-bulan, biasanya akibat iritasi saluran pernafasan.

2
Komplikasi dari pertusis yang pernah dilaporkan adalah bronchopneumonia, kejang,
ensepalopati.
Angka kematian di Negara berkembang diperkirakan sebesar 4% pada anak kurang dari
1 tahun dan 1% pada anak umur 1-4 tahun.
Patogenenis

Bordetella pertusis ditularkan melalui sekresi udara pernapasan yang kemudian melekat
pada silia epitel saluran pernapasan. Basil biasanya bersarang pada silia epitel thorak mukosa,
menimbulkan eksudasi yang muko purulen, lesi berupa nekrosis bagian basal dan tengah epitel
torak, disertai infiltrate netrofil dan makrofag.2
Mekanisme patogenesis infeksi Bordetella pertusis yaitu perlengketan, perlawanan,
pengerusakan local dan diakhiri dengan penyakit sistemik.
Perlengketan dipengaruhi oleh FHA (Filamentous Hemoglutinin), LPF (Lymphositosis
Promoting Factor), proten 69kd yang berperan dalam perlengketan Bordetella pertusis pada silia
yang menyebabkan Bordetella pertusis dapat bermultipikasi dan menghasilkan toksin dan
menimbulkan whooping cough. Dimana LFD menghambat migrasi limfosit dan magrofag
didaerah infeksi.2
Perlawanan karena sel target da limfosist menjadi lemah dan mati oleh karena ADP (toxin
mediated adenosine disphosphate) sehingga meningkatkan pengeluaran histamine dan serotonin,
blokir beta adrenergic, dan meningkatkan aktivitas isulin.2
Sedang pengerusakan lokal terjadi karena toksin menyebabkan peradangan ringan disertai
hyperplasia jaringan limfoid peribronkial sehingga meningkatkan jumlah mucus pada permukaan
silia yang berakibat fungsi silia sebagai pembersih akan terganggu akibatnya akan mudah terjadi
infeksi sekunder oleh sterptococos pneumonia, H influenzae, staphylococos aureus.2
Penumpukan mucus akan menyebabkan plug yang kemudian menjadi obstruksi dan kolaps
pada paru, sedang hipoksemia dan sianosis dapat terjadi oleh karena gangguan pertukaran oksigen
saat ventilasi dan menimbulkan apneu saat batuk. Lendir yang terbentuk dapat menyumbat
bronkus kecil sehingga dapat menimbulkan emfisema dan atelektasis. Eksudasi dapat pula sampai
ke alveolus dan menimbulkan infeksi sekunder, kelaina paru itu dapat menimbulkan
bronkiektasis.2

Diagnosis

3
Tanda diagnostik yang paling berguna:3
 Batuk paroksismal diikuti suara whoop saat inspirasi, sering disertai muntah
 Perdarahan subkonjungtiva
 Anak tidak atau belum lengkap diimunisasi terhadap pertusis
 Bayi muda mungkin tidak disertai whoop, akan tetapi batuk yang diikuti oleh
berhentinya napas atau sianosis, atau napas berhenti tanpa batuk
 Periksa anak untuk tanda pneumonia dan tanyakan tentang kejang.
Diagnosis etiologis ditegakkan berdasarkan ditemukannya B.pertusis dari specimen nasofaring
yang diambil selama fase kataral atau paroksimal awal. Selain itu pemeriksaan penunjang bisa
dilakukan dengan :3
- Pemeriksaan darah lengkap (terjadi peningkatan jumlah sel darah putih yang ditandai
dengan sejumlah besar limfosit)
- Pemeriksaan serologis untuk Bordetella pertussis dengan ELISA
- PCR (Polymerase Chain Reaction)
Selanjutnya dapat dilihat pada Bab Pemeriksaan Laboratorium

Definisi Surveilans

1. Surveilans Kesehatan adalah kegiatan pengamatan yang sistematis dan terus menerus
terhadap data dan informasi tentang kejadian penyakit atau masalah kesehatan dan
kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau
masalah kesehatan untuk memperoleh dan memberikan informasi guna mengarahkan
tindakan pengendalian dan penanggulangan secara efektif dan efisien.4
2. Surveilans atau surveilans epidemiologi adalah kegiatan analisis secara sistematis dan
terus menerus terhadap penyakit atau masalah kesehatan dan kondisi yang
mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah-masalah
kesehatan tersebut, agar dapat melakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan
efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran informasi
epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan.4
3. Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan
dan/atau kematian yang bermakna secara epidemiologi pada suatu daerah dalam kurun

4
waktu tertentu, dan merupakan keadaan yang dapat menjurus kepada terjadinya
wabah.4
4. Wabah adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang
jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari keadaan yang lazim pada
waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka.4
5. Surveilans Terpadu Penyakit (STP) adalah pelaksanaan surveilans epidemiologi
penyakit menular dan surveilans epidemiologi penyakit tidak menular dengan metode
pelaksanaan surveilans epidemiologi rutin terpadu beberapa penyakit yang bersumber
data Puskesmas, Rumah Sakit, Laboratorium dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.4
6. Faktor Risiko adalah hal-hal yang mempengaruhi atau berkontribusi terhadap
terjadinya penyakit atau masalah kesehatan. 4

7. Kewaspadaan Dini KLB dan Respons adalah kesatuan kegiatan deteksi dini terhadap
penyakit dan masalah kesehatan berpotensi KLB beserta faktor-faktor yang
mempengaruhinya, diikuti peningkatan sikap tanggap kesiapsiagaan, upaya-upaya
pencegahan dan tindakan penanggulangan yang cepat dan tepat, dengan menggunakan
teknologi surveilans. 4

8. Penyelidikan Epidemiologi adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk


mengenal penyebab, sifat-sifat penyebab, sumber dan cara penularan/penyebaran serta
faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya penyakit atau masalah kesehatan yang
dilakukan untuk memastikan adanya KLB atau setelah terjadi KLB/Wabah. 4
Tujuan Surveilans

Data surveilans yang dikumpulkan melalui penyelidikan kasus bisa digunakan untuk menilai
beban penyakit dan memonitor perubahan epidemiologi sejalan dengan waktu. Data surveilans
bisa juga digunakan untuk mengarahkan kebijakan dan menyusun strategi penanggulan.

Tujuan Umum5

 Melakuakan deteksi dini dan mengetahui gambaran epideiologi untuk pengendalian


penyakit perutusis

Tujuan Khusus5

5
 Terlaksananya pengumpulan data berdasarkan waktu, tempat dan orang
 Terdeteksinya kasus pertusis secara dini
 Terlaksananya penyelidikan epidemiologi setiap KLB pertusis dan konfirmasi
laboratorium
 Terlaksananya analisa data pertusis berdasarkan variabel epidemiologi yang meliputi
waktu, tempat kejadian dan orang di setiap tingkat administrasi kesehatan, sebagai bahan
monitoring dampak program imunisasi pertusis
 Terdisseminanasinya hasil analisis kepada unit terkait
 Terwujudnya pengembilan keputusan untuk pengendalian penyakit pertusis

Sistem Kewaspadaan Dini KLB

a. Lakukan penyuluhan kepada masyarakat, khususnya kepada orang tua bayi, tentang bahaya
pertusis dan manfaat memberikan imunisasi mulai usia 2 bulan dan mengikuti jadwal pemberian
imunisasi yang dianjurkan. 5

b. Pada kejadian luar biasa, dipertimbangkan untuk memberikan perlindungan kepada petugas
kesehatan yang terpajan dengan kasus pertusis yaitu dengan memberikan erythromycin selama 14
hari.5

c. Lakukan pencarian kasus yang tidak terdeteksi dan yang tidak dilaporkan untuk melindungi
anak-anak usia prasekolah dari paparan dan agar dapat diberikan perlindungan yang adekuat bagi
anak-anak usia di bawah 7 tahun yang terpapar. Akselerasi pemberian imunisasi dengan dosis
pertama diberikan pada umur 4-6 minggu, dan dosis kedua dan ketiga diberikan dengan interval 4
minggu, mungkin diperlukan; bagi anak-anak yang imunisasinya belum lengkap, sebaiknya
dilengkapi.5

Kegiatan Surveilans Pertusis

A. Di tingkat puskesmas5

1. Penemuan Kasus

6
- Setiap penderita dengan batuk lebih dari 2 minggu yang datang ke
puskesmas harus dicari gejala tambahan dan ditentukan apakah memenuhi
kriteria klinis pertusis.
- Bila penderita datang dengan batuk yang kurang dari 2 minggu diupayakan
untuk dimonitor perjalanan penyakitnya serta dicari gejala tambahan
pertusis lainnya.
- Bila kasus memenuhi kriteria klinis pertusis, catat dalam format laporan
pertusis seperti dalam lampiran ( ) dan lakukan penyelidikan epidemiologi
untuk mencari kasus tambahan.
- Bila memenuhi kriteria KLB maka dilakukan penyelidikan KLB
2. Pengambilan Spesimen
Kasus pertusis dapat juga didiagnosa secara laboratoris dengan mengambil
sampel berupa hapus tenggorok (cara pengambilan lihat di bab
laboratorium).
3. Pencatatan dan Pelaporan
Puskesmas mencatat setiap kasus pertusis ke dalam format list pertusis dan
dilaporkan ke dinas kesehatan kab/kota setiap bulan. Contoh format bisa
dilihat dalam lampiran.
4. Pengolahan dan analisis data
Puskesmas melakukan analisis data pertusis yang meliputi antara lain :

- Jumlah kasus berdasarkan kelompok umur (< 1 tahun, 1-4 tahun, 5-


9 tahun, >10 tahun )
- Status imunisasi DPT- HB – Hib atau DPT - HB penderita
- Angka CFR total dan menurut kelompok umur
- Angka insidensi menurut kelompok umur dan jenis kelamin
berdasarkan bulan dan tahun
B. Di Rumah Sakit (Surveilans Aktif)5
1. Penemuan Kasus
Surveilans aktif RS bertujuan untuk menemukan kasus pertusis yang
berobat ke rumah sakit baik langsung maupun rujukan dari fasilitas
kesehatan lain. Surveilans pertusis di RS dilakukan secara aktif oleh petugas
7
surveilans Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan petugas surveilans rumah
sakit/contact person RS, yang diintegrasikan dengan surveilans AFP dan
PD3I lainnya.
2. Pengambilan Spesimen
Kasus pertusis dapat juga didiagnosa secara laboratoris dengan mengambil
sampel berupa hapus tenggorok (cara pengambilan lihat di bab
laboratorium).
3. Pencatatan dan Pelaporan
Kasus yang terjadi di Rumah Sakit dilaporkan ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota oleh petugas Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang
melakukan kunjungan surveilans aktif RS
C. Di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota5
1. Penemuan Kasus
Setiap minggu petugas dinas kesehatan kabupaten/kota mengunjungi
rumah sakit di wilayah kerjanya untuk mencari dan menemukan secara
aktif kasus pertusis (diintegrasikan dengan surveilans AFP, campak,
difteri). Tata cara pelaksanaan surveilans aktif RS lebih rinci lihat buku
pedoman surveilans AFP.
kontak person rumah sakit juga dapat langsung melaporkan kasus pertusis
ke dinas kesehatan kab/kota.
2. Pengiriman Spesimen
Jika dilakukan pengambilan spesimen hapus tenggorok dari RS, dan dari
puskesmas dapat dikirimkan ke Laboratorium Rujukan segera/secepatnya.
3. Pencatatan dan Pelaporan
Data pertusis yang dilaporkan dari Puskesmas direkap dalam formulir list
pertusis dan dikirim ke Dinas Kesehatan Provinsi setiap bulannya.
 Laporan yang harus dikirim setiap bulan ke propinsi :
- Laporan Integrasi (AFP, campak, TN, difteri, pertusis)
- Laporan Kelengkapan Surveilans aktif RS dan puskesmas (Form
Absensi/K)
4. Pengolahan dan analisis data

8
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan analisis data pertusis yang
meliputi antara lain :

- Jumlah kasus berdasarkan kelompok umur (< 1 tahun, 1-4 tahun, 5-


9 tahun, >10 tahun )
- Status imunisasi DPT- HB – Hib atau DPT - HB penderita
- Angka CFR total dan menurut kelompok umur
- Kecenderungan kasus menurut kelompok umur serta kecendrungan
kasus berdasarkan bulan dan tahun
- Distribusi kasus berdasarkan kecamatan

5. Umpan Balik
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota membuat umpan balik mengenai situasi
penyakit pertusis di wilayahnya kepada Puskesmas di wilayah kerjanya
berupa buletin atau media lain yang dapat diintegrasikan dengan penyakit-
penyakit lainnya.
D. Di Dinas Kesehatan Provinsi5
1. Pencatatan dan Pelaporan
Data pertusis yang dilaporkan dari Kabupaten/Kota direkap dalam format
list kasus pertusis Provinsi dan dikirim ke Pusat setiap bulan

Buat absensi laporan bulanan pertusis dan kelengkapan kegiatan surveilans


aktif RS diintegrasikan dengan surveilans AFP menggunakan form
Absensi/K.

Laporan yang harus dikirim setiap bulan ke pusat :


- Laporan Integrasi (AFP, campak, TN, difteri, pertusis)
- Laporan Kelengkapan Surveilans aktif RS dan puskesmas (Form
Absensi/K)
2. Pengolahan dan analisis data
Dinas kesehatan Provinsi melakukan pengolahan dan analisis data pertusis
yang meliputi antara lain :

9
- Jumlah kasus berdasarkan kelompok umur (< 1 tahun, 1-4 tahun, 5-
9 tahun, >10 tahun )
- Status imunisasi DPT- HB – Hib atau DPT - HB penderita
- Angka CFR total dan menurut kelompok umur
- Kecenderungan kasus menurut kelompok umur serta kecendrungan
kasus berdasarkan bulan dan tahun
- Distribusi kasus berdasarkan kab/kota

3. Pengiriman specimen

Spesimen hapus tenggorok dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota


dikirimkan ke provinsi atau ke laboratorium rujukan yang ditentukan
segera/secepatnya. Sebelum spesimen dikirim ke laboratorium rujukan,
spesimen disimpan di dalam lemari es, bukan dalam freezer.

4. Umpan Balik
Dinas Kesehatan Provinsi membuat umpan balik mengenai situasi penyakit
pertusis di wilayahnya kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota di wilayah
kerjanya berupa bulletin atau media lain yang dapat diintegrasikan dengan
penyakit-penyakit lainnya.
E. Tingkat Pusat
1. Pencatatan dan Pelaporan6
Data pertusis yang dilaporkan dari Provinsi direkap untuk mendapatkan
data nasional.
2. Pengolahan dan analisis data6
Pusat melakukan pengolahan dan analisis data pertusis yang meliputi antara
lain :

- Jumlah kasus berdasarkan kelompok umur (< 1 tahun, 1-4 tahun, 5-


9 tahun, >10 tahun )
- Status imunisasi DPT- HB – Hib atau DPT - HB penderita
- Angka CFR total dan menurut kelompok umur

10
- Kecenderungan kasus menurut kelompok umur serta kecendrungan
kasus berdasarkan bulan dan tahun
- Distribusi kasus berdasarkan kab/kota

3. Umpan Balik
Pusat membuat umpan balik mengenai situasi penyakit pertusis di
wilayahnya kepada Provinsi di wilayah kerjanya berupa bulletin atau media
lain yang dapat diintegrasikan dengan penyakit-penyakit lainnya.
4. Diseminasi informasi
Bila disepakati secara regional/global Kementerian Kesehatan dapat
mendesiminasikan informasi pertusis ini ke tingkat WHO regional sesuai
permintaan.
Penyelidikan Epidemiologi Pertusis

Penyelidikan Epidemiologi dilakukan untuk mengetahui gambaran kelompok


rentan dan penyebaran kasus agar mendapatkan arah upaya penanggulangan.
Petugas membuat kurva epidemi dibuat dalam harian dan mingguan kasus dan atau
kematian, sampai KLB dinyatakan selesai. Tabel dan grafik dapat menjelaskan
gambaran epidemiologi angka serangan (attack rate) dan case fatality rate menurut
umur, jenis kelamin dan wilayah tertentu. Area map dan spot map dapat
menggambarkan penyebaran kasus dan kematian dari waktu ke waktu.6

Penyelidikan Epidemiologi :6
Penyelidikan lapangan dilakukan untuk mengidentifikasi kemungkinan adanya
kasus lain, terutama pada kelompok rentan dengan cara :
 Kunjungan dari rumah ke rumah seluas perkiraan penularan
 Kunjungan sekolah/tempat kerja kasus
 Mengisi format investigasi/penyelidikan epidemiologi terhadap
kasus dan kontak (semua umur)
Bentuk penyelenggaraan

Bentuk penyelenggaraan surveilans epidemiologi terdiri atas:


1) Surveilans Berbasis Indikator

11
Surveilans berbasis indikator dilakukan untuk memperoleh gambaran penyakit, faktor
risiko dan masalah kesehatan dan/atau masalah yang berdampak terhadap kesehatan
yang menjadi indikator program dengan menggunakan sumber data yang terstruktur.
Data yang digunakan dalam penyelenggaraan surveilans berbasis indikator dapat
berupa:7
a. Data Kunjungan Ibu hamil
b. Data Kunjungan neonatus
c. Cakupan imunisasi
d. Laporan bulanan data kesakitan puskesmas
e. Laporan bulanan kasus TB
f. Laporan Mingguan Penyakit Potensial Wabah
Data tersebut dimanfaatkan dalam rangka kewaspadaan dini penyakit atau masalah
kesehatan. Hasil analisis dimaksudkan untuk memperoleh gambaran penyakit atau
masalah kesehatan dan/atau masalah yang berdampak terhadap kesehatan seperti:
situasi dan kecenderungan, perbandingan dengan periode sebelumnya, dan
perbandingan antar wilayah/daerah/kawasan. 7
Pelaksanaan surveilans berbasis indikator di puskesmas, dilakukan untuk menganalisis
pola penyakit, faktor risiko, pengelolaan sarana pendukung seperti kebutuhan vaksin,
obat, bahan dan alat kesehatan, persiapan dan kesiapan menghadapi kejadian luar biasa
beserta penanggulangannya.7
2) Surveilans Berbasis Kejadian
Surveilans berbasis kejadian dilakukan untuk menangkap dan memberikan informasi
secara cepat tentang suatu penyakit, faktor risiko, dan masalah kesehatan, dengan
menggunakan sumber data selain data yang terstruktur. Surveilans berbasis kejadian
dilakukan untuk menangkap masalah kesehatan yang tidak tertangkap melalui
surveilans berbasis indikator. Sebagai contoh, beberapa KLB campak diketahui dari
media massa, tidak tertangkap melalui surveilans PD3I terintegrasi (Penyakit yang
dapat Dicegah Dengan Imunisasi).8
Kegiatan surveilans berbasis kejadian di puskesmas dilakukan melalui kegiatan
verifikasi terhadap rumor terkait kesehatan atau berdampak terhadap kesehatan di
wilayah kerjanya guna melakukan langkah intervensi bila diperlukan. 8

12
Penyelenggaraan surveilans berbasis indikator dan berbasis kejadian diaplikasikan
antara lain dalam bentuk PWS (Pemantauan Wilayah Setempat) yang didukung dengan
pencarian rumor masalah kesehatan. Selanjutnya disusun dalam bentuk tabel dan grafik
pemantauan wilayah setempat untuk menentukan kondisi wilayah yang rentan KLB.
Bila dalam pengamatan ditemukan indikasi yang mengarah ke KLB, maka dilakukan
respon yang sesuai termasuk penyelidikan epidemiologi. 8
Selain itu dilakukan juga pencarian rumor masalah kesehatan secara aktif dan pasif
(surveilans berbasis kejadian) untuk meningkatkan ketajaman hasil PWS. Contoh
aplikasi lain adalah operasionalisasi Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon (SKDR).
Dalam SKDR dilakukan pengamatan gejala penyakit yang mengarah ke suatu penyakit
potensial KLB secara mingguan dengan format tertentu (surveilans berbasis indikator).
Bila dalam pengamatan mingguan ditemukan sinyal peningkatan jumlah gejala
penyakit yang mengarah ke suatu penyakit potensial KLB, dilakukan respon untuk
memverifikasi kebenaran kejadian peningkatan dan respon lain yang diperlukan
termasuk penyelidikan epidemiologi (surveilans berbasis kejadian). 8

Indikator Kerja

Indikator kinerja surveilans epidemiologi kesehatan meliputi: 8


a. Kelengkapan laporan;
b. Ketepatan laporan; dan
c. Indikator kinerja surveilans lainnya yang ditetapkan pada masing-masing program

Penanggulangan KLB Pertusis

a. Pengobatan :3
Kasus klinis/konfirmasi laboratorium diberikan antibiotika eritromisin
selama 7-14 hari (maks 3 minggu) dengan dosis untuk anak-anak 40-50
mg/kgbb/hari, dewasa 2 gram/hari yang masing-masing dibagi dalam 4
dosis.
b. Lakukan pemisahan terhadap kontak yang tidak pernah diimunisasi atau
yang tidak diimunisasi lengkap. Pemisahan tersebut berlaku sampai dengan

13
21 hari sejak terpajan dengan penderita atau sampai dengan saat penderita
dan kontak sudah menerima antibiotika minimal 5 hari dari 14 hari yang
diharuskan.3
c. Kontak yang berusia dibawah 7 tahun dan yang belum mendapatkan 4 dosis
DPT- HB atau yang tidak mendapat DPT dalam 3 tahun terakhir harus
segera diberikan suntikan satu dosis setelah terpapar. Dianjurkan pemberian
erythromycin selama 14 hari bagi anggota keluarga dan kontak dekat tanpa
memandang status imunisasi dan umur. Lakukan Investigasi terhadap
kontak dan sumber infeksi: Lakukan pencarian kasus secara dini, cari juga
kasus yang tidak dilaporkan dan kasus-kasus atipik. Oleh karena bayi-bayi
dan anak tidak diimunisasi mempunyai risiko tertular. 3
d. Pengobatan spesifik: Pengobatan dengan erythromycin memperpendek
masa penularan, namun tidak mengurangi gejala kecuali bila diberikan
selama masa inkubasi, pada stadium kataral atau awal stadium paroxysmal.
Dalam suatu kondisi KLB selain peningkatan cakupan imunisasi pertusis
perlu diberikan antibiotic propilaksis pasca paparan (postexposure
antimicrobial propilaksis /PEP) kepada : 3
- Kontak serumah dari pertusis
- Orang yang beresiko tinggi dalam waktu 21 hari sejak terpapar dengan
kasus pertusis, yaitu :
 Bayi dan wanita hamil trimester ke-3
 Semua orang yang kondisi kesehatannya bisa diperburuk oleh
infeksi pertusis misalnya orang dengan imunocompromised atau
penderita dengan pengobatan asma sedang atau berat
 Kontak erat dari orang-orang di atas
 Masyarakat sekitar yang lebih luas bila KLB terjadi pada
lingkungan yang terbatas dan kasusnya sedikit namun bila KLB
meluas tidak dianjurkan pemberian propilaksis ke masyarakat luas
melainkan melakukan monitoring kepada kontak untuk melihat
tanda dan gejala pertusis selama 21 hari.
e. Imunisasi

14
Pemberian imunisasi merupakan cara terbaik dalam mengontrol pertusis.
Anak diberikan vaksin pertusis yang terdiri dari B.pertussis yang telah
dimatikan untuk menginduksi imunitas aktif. Vaksinasi diberikan bersama-
sama dengan vaksin diphteri dan pertusis, tiga kali sejak umur 2 bulan,
dengan jarak 8 minggu.3(lihat gambar 1)

Gambar 1. Jumlah kasus pertusis setelah program imunisasi diperkenalkan mulai tahun
1980 sehingga 20082

Kesimpulan

Penyebab dari pertusis adalah Bordetella pertussis, distribusi penyakit ini sering menyerang anak-
anak (khususya usia dini) tersebar di seluruh dunia. Indonesia (1983) terjadi 819.500 penderita
pertusis dengan angka kematian 23.100 orang. Dengan imunisasi sejak umur 2 bulan dapat
mencegah terjadinya KLB pertusis.

15
Daftar Pustaka

1. S. Long, Sarah. (2000). Pertusis. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol II. Jakarta : EGC. 181:
960-965
2. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (2005). Pertusis. Staf pengajar I.K.Anak FKUI :
Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta, Indonesia. FKUI, 1997. Jilid 2. h: 564-566.
3. Tejpratap Tiwari. (2005). Recommended Antimicrobial Agents for the Treatment and
Postexposure Prophylaxis of Pertussis. CDC Guideline.
http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/rr5414a1.htm

4. Widoyono. Penyakit tropis : epidemiologi, penularan, pencegahan & pemberantasannya.


Jakarta : Erlangga. 2008
5. Departemen Kesehatan RI, Ikatan Dokter Anak Indonesia, dkk. Pedoman tatalaksana klinis
infeksi dengue di sarana pelayanan kesehatan. Jakarta : Departemen kesehatan. 2005
6. Budiarto, Eko, dkk. Pengantar Epidemiologi. Jakarta : EGC. 2001
7. Azrul, Azwar. Pengantar Administrasi Kesehatan. Jakarta : FKUI.
8. Santoso H, Rosliany, Hapsari R B, Nasir A M, Purwanto E, Jaya I, dll. Buku Pedoman
Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa Penyakit Menular dan Keracunan
pangan. Kemenkes RI.2011.h 129-35

16

Anda mungkin juga menyukai