Anda di halaman 1dari 18

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Onikomikosis adalah semua infeksi jamur pada kuku. Kuku jari kaki 25
kali lebih sering terinfeksi dari pada kuku jari tangan. Jari kaki terpanjang, baik
pertama ataupun kedua menopang bagian terberat tekanan dan trauma dari alas
kaki, lebih rentan terhadap invasi meskipun infeksi kuku multipel juga sering
terjadi. Onikomikosis dapat disebabkan oleh golongan jamur dermatofita
(91%), nondermatofita (4%) dan yeast/ragi (5%). Penyakit jamur pada kuku
atau onikomikosis merupakan salah satu penyakit yang masih sering dijumpai
yaitu sekitar 18-24% dari kelainan kuku dan 30% dari penyakit dermatomikosis.
Onikomikosis adalah kelainan kuku tersering pada dewasa, sekitar 15-
40% dari semua penyakit kuku. Prevalensi onikomikosis bervariasi 2-3%
hingga 13% pada populasi barat. Prevalensi onikomikosis di Eropa dan
Amerika Utara berkisar antara 3-22% dan meningkat pada pasien berusia lanjut.
Kasus onikomikosis di Indonesia sendiri belum terdata dengan baik, di RSUP
Dr. Kariadi dari tahun 1994-1998 didapati pada 0,1% seluruh pasien baru.
Dermatofita, yakni Trychopyton rubrum, Trychopyton mentagrophytes dan
Epidermophyton, merupakan penyebab utama onikomikosis di Eropa dan
Amerika Utara, sedangkan di Indonesia penyebab terbanyak adalah spesies
Candida sp. Meningkatnya prevalensi terjadinya onikomikosis dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti lingkungan panas dan lembab akibat
pemakaian sepatu yang sempit dan iklim tropis, orang dengan imunosupresi,
pemakaian alat bersama di tempat fasilitas umum serta adanya tinea pedis yang
berulang yang merupakan reservoir dan dapat meluaskan infeksi jamur sampai
ke bantalan kuku (Ameen, 2014).
Patogenesis onikomikosis diawali dengan masuknya fungi lewat
permukaan lempeng kuku, celah lipat kuku lateral, dan proksimal serta
hiponikium. Setelah terjadi perlekatan awal, selanjutnya jamur mengalami
pertumbuhan, germinisasi dan penetrasi pada jaringan kuku. Penetrasi fungi
pada lempeng kuku mulai dari ventral sampai bantalan kuku (nail bed). Seluruh

1
lapisan kuku terpenetrasi oleh fungi, lebih banyak pada rongga interselular.
Kondisi ini secara bertahap akan menyebabkan kuku menjadi rusak.
Onikomikosis juga berpengaruh signifikan pada kualitas hidup pasien.
Masalah yang berhubungan dengan onikomikosis antara lain rasa tidak nyaman,
kesulitan dalam memakai alas kaki dan berjalan, kosmetik, dan rendah diri.
Kuku yang terinfeksi dapat menjadi reservoir jamur yang berpotensi menyebar
ke kaki, tangan, dan paha. Penyakit jamur bersifat menular dan dapat menyebar
ke anggota keluarga lain jika tidak ditepati. Onikomikosis dapat mengganggu
integritas kulit dan menjadi celah masuknya bakteri dan menyebabkan ulkus,
osteomyelitis, selulitis, dan gangren pada pasien diabetes. Selain itu adanya
sensitisasi jamur/antigen dermatofitik pada lempeng kuku dapat menjadi
predisposisi keadaan yang berhubungan dengan onikomikosis seperti asma,
dermatitis atopik, urtikaria, dan eritema nodosum. Berdasarkan alasan tersebut,
penulis merasa tertarik untuk menulis mengenai onikomikosis.

II. LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

2
Nama : Ny. P
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 62 tahun
Pendidikan : SD
Agama : Islam
Alamat : Ledug, Purwokerto Timur
No. CM : 02021548

B. Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada tanggal 19 April 2018 di Poliklinik Kulit dan
Kelamin RSUD Margono Soekarjo pada pukul 10.00 WIB.
Keluhan utama:
Luka melepuh pada seluruh tubuh.
Keluhan tambahan:
Luka melepuh terasa nyeri, meninggalkan bekas seperti koreng dan menghitam.
Timbul bentol-bentol baru berisi air pada kaki dan tangan.
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Margono
Soekarjo untuk kontrol dengan pemphigus vulgaris. Pasien awalnya
mengeluhkan timbul bentol-bentol berisi air sejak 2 tahun yang lalu. Awalnya
hanya pada bagian punggung, lalu menyebar ke bagian lain seperti dada, tangan,
kaki, kepala, dan wajah. Bentolan terasa sangat kendur dan mudah pecah.
Setelah bentolan tersebut pecah timbullah luka yang melepuh. Luka melepuh
tersebut meninggalkan bekas seperti koreng dan semakin lama semakin
menghitam. Pasien juga mengeluhkan luka melepuh terasa nyeri sehingga
mengganggu pasien untuk tidur. Sebelumnya pasien sudah pernah berobat ke
puskesmas dan dinyatakan penyebabnya berhubungan dengan sistem imun.
Saat ini pasien merasakan luka melepuh akibat bentolan yang pecah semakin
meluas, terdapat hampir di seluruh tubuhnya. Luka melepuh tersebut juga
semakin menghitam dan terasa nyeri. Pasien juga mengeluhkan terdapat bekas
seperti koreng pada bagian wajahnya. Selain itu pasien mengaku muncul
bentolan baru pada tangan dan kakinya.

3
Riwayat penyakit dahulu:
 Riwayat penyakit serupa : disangkal
 Riwayat penyakit kulit sebelumnya : disangkal
 Riwayat alergi : disangkal
 Riwayat penyakit gula : disangkal
 Riwayat pernyakit darah tinggi : disangkal
 Riwayat penyakit kronis lainnya : disangkal
 Riwayat konsumsi imunosupresan jangka panjang : disangkal
Riwayat penyakit keluarga:
 Riwayat penyakit serupa : disangkal
 Riwayat sakit kulit sebelumnya : disangkal
 Riwayat alergi : disangkal
 Riwayat penyakit gula : disangkal
 Riwayat pernyakit darah tinggi : disangkal
Riwayat sosial dan ekonomi
Pasien tingal bersama suami dan anaknya. Pasien sehari-hari bekerja
sebagai ibu rumah tangga, suami pasien bekerja sebagai buruh lepas.

C. Status Generalis
Keadaaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Vital Sign : Tekanan Darah : 140/90 mmHg
Nadi : 88x/menit
Pernafasan : 20x/menit
Suhu : 36° C
BB, TB : 51 kg, 155 cm
Mata : conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Telinga : ottorhea (-)
Hidung : napas cuping hidung (-) secret (-)
Mulut : sianosis (-)
Leher : dalam batas normal
Thorax : Simetris, retraksi (-)

4
Jantung : BJ I – II reguler, murmur (-), Gallop (-)
Paru : SD vesikuler, ronki (-/-), wheezing (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), massa (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal

D. Status Dermatologis
1. Lokasi
Unguinum digiti 1-3 manus dextra, unguinum digiti 1,2,5 manus sinistra,
unguinum digiti 2-4 pedis dextra, unguinum digiti 1-3 pedis sinistra.
2. Efloresensi
Tampak kuku jari mengalami perubahan warna (discoloration) menjadi
kusam dan kecoklatan, serta kuku berlekuk-lekuk dan menebal.

5
Gambar 2.1. Gambaran Klinis Pasien

E. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan

F. Diagnosis Banding
1. Liken planus kuku
2. Kuku psoriasis
3. Onikogrifosis

G. Diagnosis Kerja
Onikomikosis.

H. Pemeriksaan Anjuran
1. Kerokan kuku + KOH 40%
2. Kultur kerokan kuku

I. Resume
Pasien An. E, usia 4 tahun datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin
RSUD Margono Soekarjo untuk kontrol dengan akrodermatitis. Pasien awalnya
mengeluhkan gatal dan muncul lenting-lenting pada tangan dan kaki sejak 2
bulan yang lalu. Namun sekarang sudah membaik dan sudah tidak gatal setelah
pengobatan. Pasien sekarang mengeluhkan kuku pada tangan dan kakinya
berubah warna menjadi kecoklatan pada seluruh kuku terutama pada ibu jari
kaki kiri dan kuku menjadi bergelombang sejak 1 minggu yang lalu. Mula-mula
ujung kuku ibu jari kaki kiri berubah warna menjadi kecoklatan yang semakin
hari semakin meluas dan perlahan kuku menjadi bergelombang. Kuku-kuku
yang lain juga timbul warna kecoklatan pada bagian tengah kuku jari kaki dan
tangan. Semakin lama kuku berlekuk-lekuk dan warna kecoklatan pada kuku
semakin banyak. Kulit disekitar kuku sedikit membengkak dan memerah.
Pasien sering bermain air genangan di sekitar rumah serta jarang menggunakan
alas kaki.

6
Pada pemeriksaan didapatkan keadaan umum pasien baik, BB 14 kg dan
TB 85 cm. Pemeriksaan fisik dalam batas normal. Pada kuku jari tangan dan
jari kaki tampak perubahan warna (discoloration) menjadi kusam kecoklatan
dan bergelombang.

J. Penatalaksanaan
Medikamentosa
- Griseofulvin 10 mg/kgBB/hari selama 2-4 minggu.
- Cyclopirox 1x sehari, untuk kuku tangan 24 minggu dan kuku kaki 48
minggu
Edukasi kepada pasien:
- Hindari bermain air kotor
- Memakai alas kaki dan memakai sepatu yang sesuai ukuran
- Memotong kuku secara teratur
- Menghindari penggunaan gunting kuku bersamaan dengan orang lain
- Menjaga kuku tetap kering
- Memakai anti jamur topikal dan sistemik secara teratur sesuai indikasi
- Mengikuti protokol pengobatan.

K. Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : ad bonam
Quo ad komestikum : dubia ad bonam

7
III. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Pemphigus vulgaris adalah salah satu bentuk bulos dermatosis yang
bersifat kronis, disertai dengan adanya proses akantolisis dan terbentuknya bula
pada epidermis (Murtiastutik et al, 2011). Kata pemphigus diambil dari bahasa
Yunani pemphix yang artinya gelembung atau lepuh. Pemfigus dikelompokkan
dalam penyakit bulosa kronis, yang pertama kali diidentifikasi oleh Wichman
pada tahun 1971 (Zeina, 2008). Istilah pemfigus berarti kelompok penyakit bula
autoimun pada kulit dan membran mukosa dengan karakteristik secara

8
histologis berupa adanya bula intraepidermal disebabkan oleh akantolisis
(terpisahnya ikatan antara sel epidermis) dan secara imunopatologis adanya IgG
in vivo maupun sirkulasi yang secara langsung melawan permukaan sel-sel
keratinosit (Stanley, 2012).
Pemfigus dulunya digunakan untuk menyebut semua jenis penyakit
erupsi bula di kulit, tetapi dengan berkembangnya tes diagnostic, penyakit
bulosa pun diklasifikasikan dengan lebih tepat (Zeina, 2011). Pada tahun 1964,
penelitian menunjukkan adanya anti-skin antibodies yang ditemukan pada
pasien-pasien pemfigus yang diketahui dari pengecatan imunofloresensi tak
langsung. Sejak itu, dengan adanya perkembangan teknik imunofloresensi
imunologis, antigen yang menyebabkan penyakit ini pun berhasil diidentifikasi.
Perkembangan medis ini tidak hanya memberikan pengetahuan baru dalam
memahami pathogenesis pemfigus tetapi juga mengarahkan pada
perkembangan protein rekombinan, yang diperlukan dalam tes ELISA (Enzyme
Linked Immunosorbent Assay) untuk diagnosis pemfigus (Chan, 2002).

B. Epidemiologi
Secara global, insidensi pemfigus vulgaris tercatat sebanyak 0.5-3.2
kasus per 100.000 populasi. Kejadian pemfigus vulgaris mewakili 70% dari
seluruh kasus pemfigus dan merupakan penyakit bula autoimun yang tersering
di negara-negara timur, seperti India, Malaysia, China, dan Timur Tengah
(Wojnarowska dan Venning, 2010). Insidensi PV meningkat pada populasi
keturunan Yahudi Ashkenazi dan Mediterania, kecenderungan familial ini
merupakan faktor predisposisi genetik pada kejadian pemfigus vulgaris (Zeina,
2011). Predominansi etnis ini tidak ada dalam kasus pemfigus foliaseus (PF).
Karena itu, di area dimana terdapat dominasi kelompok keturunan Yahudi,
Timur Tengah, dan Mediterania, rasio PV : PF cenderung lebih tinggi. Sebagai
contoh, di New York, Los Angeles, dan Kroasia, rasio PV : PF sebesar 5 : 1, di
Iran 12:1, sedangkan di Finlandia hanya 0.5 : 0.1, dan di Singapura 2:1.
Insidensi pemphigus vulgaris bervariasi berdasarkan lokasi. Di Jerussalem,
insidensi PV diperkirakan 1,6 kasus per 100.000 populasi per tahun dan di Iran
10 kasus per 100.000 populasi, Finlandia jauh lebih rendah 0,76 kasus per per

9
juta populasi. Di Prancis dan Jerman, 1 kasus per juta populasi per tahun
(Stanley, 2012).
Pemfigus vulgaris adalah penyakit mukokutaneus autoimun yang
berpotensi mengancam jiwa dengan mortalitas sebesar 5-15%. Mortalitas
pasien pemfigus vulgaris tiga kali lebih tinggi daripada populasi pada
umumnya. Komplikasi sekunder terkait dengan penggunaan kortikosteroid
dosis tinggi. Morbiditas dan mortalitas terkait dengan luas lesi, dosis maksimum
steroid sistemik yang diperlukan untuk induksi remisi, dan adaya penyakit
penyerta. Prognosis semakin buruk pada pasien dengan pemfigus vulgaris
ekstensif dan pasien usia tua. Pemfigus vulgaris melibatkan lesi pada jaringan
mukosa pada 50-70% pasien. Hal ini menyebabkan terbatasnya asupan nutrisi
karena disfagia. Bula dan erosi akibat bula yang pecah bersifat nyeri sehingga
membatasi aktivitas penderita (Zeina, 2011).

C. Etiologi
Pemfigus vulgaris mengenai semua ras dan jenis kelamin dengan
perbandingan yang sama. Penyakit ini banyak terjadi pada usia paruh baya dan
jarang terjadi pada anak-anak. Tetapi di India, pasien pemfigus vulgaris lebih
banyak terjadi pada usia muda. Ras Yahudi, terutama Yahudi Ashkenazi
memiliki kerentanan terhadap pemfigus vulgaris. Di Afrika Selatan, pemfigus
vulgaris lebih banyak terjadi pada populasi India daripada warga kulit hitam
dan kaukasia. Kasus pemfigus lebih jarang ditemukan di negara-negara barat
(Wojnarowska dan Venning, 2010).
Predisposisi pemfigus terkait dengan faktor genetik. Anggota keluarga
generasi pertama dari penderita pemfigus lebih rentan terhadap penyakit ini
daripada kelompok kontrol dan memiliki antibodi antidesmoglein sirkulasi
yang lebih tinggi. Genotip MHC kelas II tertentu sering ditemukan pada pasien
pemfigus vulgaris dari semua ras. Alela subtype HLA-DRB1 0402 dan DRB1
0503 memberi risiko terjadinya pemfigus dan menyebabkan adanya perubahan
struktural pada ikatan peptide, berpengaruh pada presentasi antigen dan
pengenalan oleh sel T. Di Inggris dan India, pasien dengan haplotip desmoglein
tertentu juga memiliki risiko pemfigus vulgaris dan hal ini tampaknya

10
menambah efek yang diakibatkan oleh HLA-DR. Kerentanan juga dapat
disebabkan pengkodean immunoglobulin oleh gen atau oleh gen dalam
pemrosesan pada antigen HLA kelas I (Wojnarowska dan Venning, 2010).
Terdapat beberapa klasifikasi pemfigus yang dapat dilihat dalam
gambar berikut ini :
Gambar 1 Klasifikasi Pemfigus
Identifikasi target antigen spesifik untuk autoantibodi pada penyakit
bula autoimun melibatkan penelitian mengenai berbagai komponen desmosome
dan kompleks adhesi yang menghubungkan dermis-epidermis. Pemfigus dapat
terjadi pada pasien yang memiliki berbagai jenis gangguan lainnya yang
dikarakteristikkan dengan gangguan iminologis tertentu. Timoma atau
miastenia gravis dilaporkan terdapat pada beberapa pasien pemfigus. Pemfigus
juga dapat terjadi pada pasien lupus eritematosus. Pemfigus dilaporkan terjadi
pada pasien dengan penyakit limfoproliferatif seperti tumor Castleman. DNA
virus terdeteksi pada beberapa biopsy kulit atau sel mononuclear dari sampel
darah perifer pasien pemfigus dan dapat muncul bersamaan dengan infeksi HIV.
Penelitian epidemiologis pada pasien pemfigus vulgaris di Iran menunjukkan
adanya korelasi positif dengan penggunaan kontrasepsi oral dan paparan
pestisida serta kemungkinan efek protektif dari kebiasaan merokok terhadap
kejadian pemfigus vulgaris (Wojnarowska dan Venning, 2010).
D. Patogenesis

E. Gambaran klinis

F. Penegakan diagnosis

G. Diagnosis Banding

H. Penatalaksanaan

I. Prognosis

11
Meskipun diterapi dengan obat dosis optimal, 1 di antara 5 kasus
onikomikosis ternyata tidak memberi respon baik. Penyebab kegagalan
diduga adalah diagnosis yang tidak akurat, salah identifikasi penyebab,
adanya penyakit yang lain. Pada beberapa kasus, karakteristik kuku
tertentu, yaitu pertumbuhan lambat serta sangat tebal juga merupakan
penyulit, selain faktor predisposisi terutama keadaan immunocompromised
(Stewart et al., 2012).

IV. PEMBAHASAN

Diagnosis onikomikosis pada kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis,


gambaran klinis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan. Onikomikosis merupakan
penyakit kuku yang paling sering (Budimulja, 2011). Frekuensi onikomikosis
meningkat karena peningkatan risiko terkana infeksi dan semakin banyaknya kasus
yang dapat dideteksi. Prevalensi onikomikosis meningkat sesuai dengan
bertambahnya usia. Penyakit ini lebih sering terjadi pada usia lanjut. Data
menunjukkan bahwa onikomikosis lebih banyak diderita wanita (43%) daripada
pria (39%) (Joish, 2002).
Faktor predisposisi yang memudahkan terjadinya onikomikosis serupa
dengan penyakit jamur superfisial lainnya, yakni kelembaban yang tinggi, oklusi,
trauma berulang pada kuku, dan penurunan imunitas, atau terjadi karena adanya
penyakit sebelumnya. Gaya hidup tertentu, misalnya penggunaan kaos kaki dan
sepatu tertutup terus menerus, olah raga berlebihan, bermain air kotor, serta
penggunaan tempat mandi umum akan memudahkan terjadinya onikomikosis
(Bramono, 2001).
Kasus yang dilaporkan adalah seorang anak berusia 4 tahun yang rutin
kontrol dengan penyakit akrodermatits. Pasien sering bermain di sawah dan
bermain air di genangan air disekitar halaman rumahnya, serta sering tidak
menggunakan alas kaki ketika bermain. Kegiatan sehari-hari pasien dapat dikatakan
berhubungan erat dengan kelembaban yang tinggi, trauma berulang pada kuku, dan
lingkungan bermain yang kotor, dapat memudahkan jamur untuk menyerang kuku.

12
Pasien dating dengan keluhan kuku jari tangan dan kaki mengalami
perubahan warna menjadi suram kecoklatan dan tampak bergelombang. Hal ini
sesuai dengan teori yang menyatakan adanya peruahan warna kuku menjadi putih
suram atau keperakan pada awal penyakit yang akhirnya menjadi kekuningan dan
kecoklatan (Nelson, 2003). Kulit di sekitar kuku pasien juga sedikit membengkak
dan kemerahan. Hal tersebut terjadi karena adanya peradangan di daerah sekitar
kuku yang terinfeksi (Klenk, 2003). Tanda klinis tersebut sering dijumpai pada
onikomiksois (Hay, 2004).
Penatalaksanaan onikomikosis telah berubah dari pencabutan kuku ke
farmakoterapi dengan cat kuku dan agen antijamur oral. Dengan tersedianya
antijamur sistemik baru, jika terapi dilakukan dini, kesembuhan paripurna
dimungkinkan. Akan tetapi, biaya yang dibutuhkan untuk antijamur sistemik baru
ini jauh lebih tinggi (Joish, 2002). Penelitian terkini menunjukkan bahwa terapi
kombinasi merupakan suatu cara untuk mempercepat waktu penyembuhan dan
meningkatkan angka kesembuhan (Roberts, 2003; Olafsson, 2003).
Pada dasarnya pengobatan onikomikosis adalah menghilangkan faktor
predisposisi yang memudahkan terjadinya penyakit, serta terapi dengan obat anti-
jamur yang sesuai dengan penyebab dan keadaan patologi kuku (Stewart et al.,
2012). Pada kasus ini diberikan terapi terapi griseofulvin 10 mg/kgBB/hari. Hal ini
sesuai dengan guideline tatalaksana onikomikosis pada anak. Namun pada dewasa
lebih disarankan pemberian denyut itrakonazol 2x200 mg per hari selama tujuh
hari per bulan selama 4 bulan pada kuku tangan dan 6 bulan pada kuku kaki (Ameen
et al., 2014). Walaupun kuku belum mencapai normal ketika terapi dihentikan,
kuku yang baru tumbuh bebas jamur karena adanya itrakonazol pada kuku
(Drayton, 2001). Pengobatan onikomikosis topikal dengan menggunakan
amorolfine, ciclopirox, tioconazole, dan efinaconazole. (Ameen et al., 2014). Pada
kasus ini diberikan cyclopirox yang dioleskan sekali sehari selama 24 minggu untuk
kuku jari tangan dan 48 untuk kuku kaki. Cyclopirox merupakan anti jamur
spectrum luas yang menghambat menghambat enzim, produksi energi sel dan
degradasi peroxide intraseluler sehingga efektif untuk pengobatan onikomikosis
(Ameen et al., 2014).

13
Pencabutan kuku yang terkena dapat dilakukan sebagai terapi ajuvan terhadap
terapi topikal dan/atau sistemik pada onikomikosis. Pencabutan merupakan
pendekatan logis untuk mengeradikasi patogen penyakit dari kuku lateral dan dari
kantung atau kanal onikolitik pada permukaan bawah kuku, yang kadang-kadang
terisi keratin nekrotik dan sejumlah besar jamur (dermatofitoma) (Anugrah, 2016).
Keberhasilan terapi yang dilakukan tergantung pada luas kuku yang
terinfeksi, penyakit sistemik yang menyertai, total distrofi onikomikosis, keadaan
imun pasien, resistensi organisme terhadap terapi, dan lain sebagainya.
Onikomikosis dapat terjadi berulang atau relaps dengan angka rekurensi sekitar 20-
25%.

14
V. KESIMPULAN

Onikomikosis adalah semua infeksi jamur yang terjadi pada kuku. Terdapat
tiga kelompok jamur yang menyebabkan onikomikosis, yaitu: golongan jamur
dermatofita (91%), nondermatofita (4%) dan yeast/ragi (5%). Dermatofita
merupakan golongan yang paling sering menyebabkan onikomikosis.Diagnosis
onikomikosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinis dan
pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan KOH, kultur, maupun pemeriksaan
histopatologi yang dapat membantu menentukan penyebab dari infeksi jamur yang
terjadi.
Prinsip pengobatan onikomikosis adalah menghilangkan faktor
predisposisi yang memudahkan terjadinya penyakit, serta terapi dengan obat anti-
jamur yang sesuai dengan penyebab dan keadaan patologi kuku. Keberhasilan
terapi yang dilakukan tergantung pada luas kuku yang terinfeksi, penyakit sistemik
yang menyertai, total distrofi onikomikosis, keadaan imun pasien, resistensi
organisme terhadap terapi, dan lain sebagainya. Onikomikosis dapat terjadi
berulang atau relaps dengan angka rekurensi sekitar 20-25% (Ameen, 2014).

15
DAFTAR PUSTAKA

Ahmed et al. 2011. Pulse dose of oral itraconazole is effective in the treatment of
onychomycosis. Journal of Pakistan Association of Dermatologists; 21 (4):
276-280.

Ameen M, Lear JT, Madan V, Mohd Mustapa MF, Richardson M. 2014. British
Association of Dermatologists’ guidelines for the management of
onychomycosis 2014. Br J Dermatol. 171(5):937–58.

Anugrah, R. 2016. Diagnostik dan Tatalaksana Onikomikosis. CDK. Volume 43


(9): 675-578.

Ashley ES et.al. 2004. Pharmacology of systemic antifungal agents. Clinical


Infectious Disease, Vol 43 (1):28-39.

Baran R, Hay R, Haneke E, Tosti A, Piraccini BM. 1999. Onychomycosis: the


current approach to diagnosis and therapy. London: Martin Dunitz Ltd.

Bellantoni MS, Konnikov N. 2008. Oral antifungal agents. In: Wolff K, Goldsmith
LA, Katz SI, Gilchrest BS, Paller AS, Leffel DJ. eds. Fitzpatricks’s
Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: Mc Graw-Hill. p
2211-2217

Bramono K. 2001. Onikomikosis. Dalam: Budimulja U, Kuswadji, Bramono K,


Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S, editor. Dermatomikosis superfisialis.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI, hal: 46-54.

Budimulja, Unandar. 2011. Dermatofitosis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Jakarta. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal 92-
100.

Cohen PR, Scher RK. 1994. Topical and surgical treatment of onychomycosis. J
Am Acad Dermatol; 31 (Supl.3, part 2): S74-S7.

Dismukes WE. 2004. Introduction to antifungal drugs. Clinical infectious disease.


Vol 30:653-7.

Drayton GE. 2001. Onychomycosis. Current Treatment Options in Infectious


Diseases; 3: 237-46.

Furst, D.E., & Munster. T. 2000. Obat-obat Antiinflamasi Nonsteroid, Obat-obat


Antireumatik Pemodifikasi-penyakit, Analgesik Nonopioid dan Obat-obat
Untuk Pirai, in Katzung B.G. (Ed.), Farmakologi Dasar dan Klinik: Basic
dan Clinical Pharmacologi, 8 th ed, Salemba Medika, Jakarta, 455, 459-461.

16
Grover C, Khurana A. 2012. Onychomycosis: Newer insights in pathogenesis and
diagnosis. Indian J Dermatol Venereol Leprol [serial online] 2012;78:263-
70.

Gupta AK, Copper EA. 2008. Update in antifungal therapy of dermatophytosis.


Mycopathologia. 166;353-367.

Gupta AK. 2002. Systemic antifungal agents. In: Wolverton ES, editor.
Comprehensive dermatology drug therapy. Indianapolis, Indiana: W.B.
Saunders Company. Pp75-99.

Hay RI, Moore MK. 2004 Mycology. Dalam: Burns T, Breatnatch S, Cox N,
Griffiths C, editor. Rook’s textbook of dermatology. Edisi ke-7. Oxford:
Blackwell Publishing, page: 31.1-100.

Hay RJ. 2008. Deep Fungal Infections. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BS, Paller AS, Leffel DJ. eds. Fitzpatricks’s Dermatology in
General Medicine. 7th ed. New York: Mc Graw-Hill. p 1831-1844.

High WA, Fitzpatrick JE. 2008. Topical Antifungal Agents. In: Wolff K, Goldsmith
LA, Katz SI, Gilchrest BS, Paller AS, Leffel DJ. eds. Fitzpatricks’s
Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: Mc Graw-Hill. p
2116-2121.

Joish VN, Armstrong EP. 2002. Newer drugs and overall costs of treating
onychomycosis. Rev Iberoam Micol; 19:130-2.

Kaur et al. 2008. Onychomycosis – Epidemiology, Diagnosis and Management.


Indian Journal of Medical Microbiology. 2008; 26(2): 108-16.

Klenk AS, Martin AG, Heffernan MP. 2003. Yeasts infections: candidiasis,
pityriasis (tinea) versicolor. Dalam: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K,
Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, editor. Fitzpatrick’s dermatology in
general medicine. Edisi ke-6. New York: McGraw-Hill, hal: 2006-18.

Kyle AA, Dahl MV. 2004. Topical therapy for fungal infections. Am J Clin
Dermatol. Volume 5(6):443-461.

Lowell, et al. 2012. Onychomycosis. Fitzpatrick’s Dermatology in General


Medicine 8th Edition. New York: McGraw-Hill Companies Tosti.

Nelson MM, Martin AG, Heffernan MP. 2003. Superficial fungal infection:
dermatophytosis, onychomycosis, tinea nigra, piedra. Dalam: Freedberg
IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, editor.
Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-6. New York:
McGraw-Hill. page: 1989-2005.

17
Olafsson JH, Sigurgeirsson B, Baran R. 2003. Combination therapy for
onychomycosis. Br J Dermatol 149 (Supl. 65): 15-8.

Rich, et al. 2013. Diagnosis, Clinical Implications, and Complications of


Onychomycosis. Update on Onychomycosis: Effective Strategies for
Diagnosis and Treatment. Supplement 1. page: 32-35.

Roberts DT, Taylor WD, Boyle J. 2003. Guidelines for treatment of


onychomycosis. Br J Dermatol; 148: 402-10.

Singal A, Khanna D. 2011. Onychomycosis: Diagnosis and management. Indian J


Dermatol Venereol Leprol ;77:659-72.

Soepardiman, Lily. 2011. Kelainan Kuku dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Jakarta. Badan Penerbit FK UI. Hal 312-317.

Stewart CL, Rubin AI. Update : nail unit dermatophatology. Dermatol Ther 2012;
25 : 551-568.

18

Anda mungkin juga menyukai