Yang dimaksud Panca Gaib adalah lima hal yang dapat menjembatani
laku seseorang untuk mengetahui hal-hal yang bersifat Gaib, yaitu
lima rangkaian unen-unen yang disebut : KUNCI, PAWELING, SINGKIR,
MIJIL dan ASMA SEJATI.
KUNCI
Di dalam Bahasa Jawa artinya adalah:
Ambuka utawa amiwiti, piranti kanggo ambuka lan nutup, yang artinya
membuka atau memulai, alat untuk membuka dan menutup.
Tinarbuka rasa kasuksmane kareben bisa ambuka pangerten kepriye
sejatine kahanaNe Gusti Ingkang Maha Suci, kang ateges tinarbuka
kabeh kang ana ing jagad gedhe lan jagad cilik, yang artinya:
terbuka rasa Ketuhananya, agar bisa membuka kerahasiaan tentang
keberadaan Tuhan Yang Maha Suci yang juga berarti membuka semua yang
ada didalam kerahasiaan diri pribadi sebagai mikro kosmos dan
kerahasiaan alam sebagai makro kosmos.
Angisi rasa, raga lan nalar ing bab olah manunggaling Gusti kawula
lan uga ing bab manunggaling jagad gedhe lan jagad cilik, yang
artinya: mengisi raga, rasa dan nalar dalam hal olah dan laku
didalam upaya menyatunya Tuhan dengan hambanya dan juga menyatunya
makro kosmos dan mikro kosmos.
Nutup, kanthi pangerten nutupi reruwet kang asal saka ubaling hawa
nepsu kang kudune tansah di kendaleni, jalaran yen diumbar bisa
nutupi ras sesambungan gaib marang Gusti kawula, yang artinya:
menutup, dalam arti menutupi keruwetanyang berasal dari luapan hawa
nafsu yang seharusnya selalu dikendalikan, sebab apabila dilepas
bebas akibatnya bisa menutupi hubungan gaib antara Tuhan dan
hambanya.
Rukun, kanthi pangerten manunggale rasa marang manungsa, kewan lan
tethukulan uga alam saisine, yang artinya: rukun dengan pengertian
menyatukan rasa dengan keberadaan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan
dan juga alam seisinya. Anggap semua manusia itu saudara, dan anggap
hewan, tumbuh-tumbuhan dan alam adalah anugerah Tuhan yang harus
dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran bersama.
Nunggal, kanthi pangerten; manunggalake rasa marang Gusti lan kabeh
utusaNe kang asipat langgeng, yang artinya: menyatu secara rasa
kepada Tuhan dan para utusaNya yang Bersifat langgeng.
Suci, kanthi pangerten; suci ing pangrasa, pamicara lan tumindak,
amarga ati sanubari lan awak sakojur iku peparinge Gusti Ingkang
Maha Suci, mula aja di gegampang kanggo amadahi samubarang kang
sipate ora suci, artinya: Suci dengan pengertian; suci dalam
pikiran, perkataan dan perbuatan, karena hati nurani dan seluruh
tubuh itu adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Suci, maka janganlah
mudah mengisi dengan segala sesuatu yang sifatnya tidak suci.
Dadi, kanthi pangerten; bisa dadi apa kang dikarepake, manut tatanan
kang samurwat lan saukur, kalamun bisa anggelar lan anggulung isine
KUNCI, artinya: Menjadi dalam pengertian bisa jadi apa yang
dikehendaki menurut tatanan kebutuhan dan kemampuan manakala bisa
memahami apa yang tersirat dan tersurat didalam KUNCI.
Semua itu apabila bisa dijalankan dengan penghayatan yang paripurna,
artinya apabila dapat menghayati dengan hening dari makna kata demi
kata serta dapat menarik makna dari pemikiran yang mendalam tentang
hakekat hidup, disertai keluhuran budi pekerti dan kehalusan
perasaan yang berKetuhanan Yang Maha Esa dan bisa menarik makna yang
terdalam dari yang tersirat dan tersurat di dalam KUNCI.
Anggelar artinya dapat menarik pengertian bagaimana yang boleh
dijalankan menurut tatanan lahiriah, dan anggulung isine Kunci
artinya adalah bagaimana cara menggunakan KUNCI sebagai sarana untuk
menuju hening cipta dalam rangka mengupayakan menyatunya diri dengan
Tuhan Yang Maha Suci beserta semua utusanNya yang bersifat langgeng.
Dan khusus tentang penjabaran lebih lanjut dari hal ini akan penulis
paparkan pada kesempatan atau tulisan lain.
Apabila kunci dipelajari dengan dengan penghayatan yang paripurna,
akan menghasilkan:
Weninge cipta, artinya heningnya cipta.
Tentreme nala, artinya tenteramnya pemikiran.
Rineksa ing kasucen, artinya terjaga karena kesuciannya.
Tatag ing sedya, artinya tegar dan berani dalam mencapai cita-cita.
Manteb ing tekad, artinya mantab didalam bertekad.
Tumata ing wardaya, artinya teratur jalan pemikiranya.
Rasa manunggal marang Gusti, artinya menyatu rasa dengan Tuhan Yang
Maha Suci.
Adapun pengertian kata demi kata dalam kalimat KUNCI adalah :
GUSTI INGKANG MAHA SUCI, yang artinya: Tuhan Yang Maha Suci, sebagai
tempat berlindung, sebagai asal semua makhluk dan sekaligus sebagai
tempat kembalinya semua makhluk.
KAWULA NYUWUN PANGAPURA DUMATENG GUSTI INGKANG MAHA SUCI, artinya:
saya memohon ampun kepada Tuhan Yang Maha Suci, karena sebagai hamba
yang selalu berselimutkan dosa, senantiasa harus selalu memohon maaf
dan ampun kepada Tuhan Yang Maha Suci dan selalu menyadari akan
dosa-dosanya disertai rasa bertaubat tidak akan mengulangi lagi
perbuatan dosanya.
SIROLAH, artinya dzat halusnya manusia yang sumber rasa sucinya
berasal dari Tuhan yang Maha Suci, Sirolah inilah yang menjadikan
manusia mempunyai naluri kesucian atau fitrah, dan sirolah ini
pulalah yang menjembatani hubungan manusia dengan Maha Gaibnya Tuhan
Yang Maha Suci, Sirolah adalah unsur terkecil yang sangat halus dan
lembut, akan tetapi mempunyai kekuatan yang amat besar.
DATOLAH, artinya dzat ragawi manusia yang berasal dari Tuhan Yang
Maha Suci, Namun karena raga ini mempunyai banyak kelemahan, maka
dari itu harus di jaga dan disayangi. Yang dimaksud lemah dalam hal
ini adalah mudah terkena penyakit, mudah terkena musibah dan
sebagainya. Maka harus selalu dipelihara sebaik-baiknya. Datolah ini
adalah sebagai tempat bersemayamnya sirolah. Didalam Datolah
mengandung unsur atau anasir sarinya: api, air, angin dan tanah,
yang semuanya dalam wujud ether. Anasir-anasir yang berwujud ether
ini apabila digerakkan menurut susunan molekul dan bentuk medan
magnet dan diberdayakan orbit nucleus, biasanya dapat menimbulkan
tenaga yang besar. Sedangkan cara menggerakkan ethernya adalah
dengan membiasakan olah prana dan yama, atau olah pernafasan yang
tekun dan teratur.
Ether dari anasirnya api cara membudidayakannya dengan mengendalikan
hawa nafsu amarah, atau menurut bahasa jawa, aja gumampang ngandut
sak serik, yang artinya jangan mudah memendam rasa marah, dan kata
pak kyai, orang sabar adalah yang dikasihi Tuhan.
Sedangkan membudidayakan ether dari anasirnya tanah adalah dengan
mengendalikan nafsu makan, dengan cara berpuasa seperti yang
diajarkan agama, dan janganlah atau kurang benar kiranya apabila
melakukan puasa diluar perintah agama. Maka pengendalian nafsu makan
yang baik adalah, makanlah pada waktu makan, cobalah tinggalkan
makanan pokok dan sekaligus tinggalkan pula lauk-pauk yang berasal
dari unsur hewan. Kebiasaan ini oleh orang jawa dinamakan ngrowot,
yang didalam bahasa sanskerta dinamakan AHIMSA. A artinya tidak dan
Himsa artinya melakukan kekerasan.
Baik pula dilakukan sehari sebelum, pada harinya dan sehari sesudah
hari lahir masing-masing, secara berkala dan lakukan pula saat diri
mengalami kesulitan. Ahimsa sebenarnya mudah dan sangat ringan
dijalankan. Dan karena boleh makan kapan saja, maka tidak boleh
disebut puasa diluar perintah agama. Yang kadang-kadang dianggap
berat dalam melakukan ahimsa adalah tidak boleh marah selama
menjalankanya. Apabila terpaksa marah sebaiknya dibatalkan dulu, dan
lakukan kali lain. Pantangan terberat kedua adalah tidak boleh
membunuh hewan sekecil apapun secara disengaja. Ini semua karena
mengambil pengertian bahwasanya Ahimsa artinya tidak boleh melakukan
kekerasan.
Sedangkan cara membudidayakan ethernya anasir air adalah dengan
melakukan latihan pengendalian nafsu birahi, dalam arti tidak boleh
sembarangan melakukan hubungan seksual dengan yang bukan pasangan
resminya, dan jangan pula melakukan hubungan seksual pra nikah.
Bagi yang sudah berumah tangga, lakukanlah hubungan suami istri
sebagai kewajiban nafkah bathiniah dan demi kelangsungan
melestarikan jenis. Maka lakukanlah hubungan seksual itu dengan
memperhatikan waktu dan tempat yang terhormat. Waktu yang tepat
untuk itu adalah lewat tengah malam. Karena pada saat itu sudah
cukup waktu beristirahat, maka kecil kemungkinan untuk diganggu oleh
apa dan siapapun juga. Karena orang yang berbudaya, didalam
melakukan hubungan seksual, akan hilang konsentrasi manakala ada
gangguan sedikit saja.
SIPATOLAH, artinya adalah segala sesuatu yang membentuk dasar-dasar
perilaku atau tempramen manusia, berasal dari Tuhan Yang Maha Suci.
Apabila Sirolah dan Datolah itu mengandung ether-ether sumber
energi, maka sipatolah berfungsi sebagai alat penggerak dari energi
itu, sesuai dengan sifat peralatan yang ada serta dibudidayakan
dapat bergerak sesuai dengan medan magnet dan orbit nucleusnya, maka
terbentuk penimbunan tenaga dalam bentuk daya linuwih atau kemampuan
supranatural serta membawa sifat-sifat paranormal yang berlaku untuk
semua manusia tanpa kecuali, asal mau membudidayakanya.
Karena gerakan energi ether-ether tadi sifat dan bentuknya
menyerupai gelombang radiasi yang mirip dengan medan magnet. Dimana
sifat dan bentuk tadi berbeda-beda sifat khususnya untuk setiap
orang, sesuai dengan jati diri masing-masing. Energi tersebut ada
yang menyebutnya daya magnetisme tubuh atau bio elektrisitet. Antara
magnetisme tubuh dan bio elektrisitet sering dipadukan dalam satu
pengertian yang disingkat MB.
Apabila MB bekerja atas dasar naluri dan ditambah dengan kemauan
yang positif, maka arah getaran dan frekuensinya akan menuju ke hal-
hal yang positif juga. Keberhasilan dari itu semua, atau tinggi
rendahnya tingkat keberhasilan sangat tergantung dari bagaimana
perilaku orangnya, dalam arti tergantung kemantapan, kesungguhan dan
ketelatenan. Maka kadang-kadang dari satu kelompok latihan yang satu
ajaran dan satu tingkatan, hasilnya akan berbeda-beda tiap individu.
Salah satu unsur dari Sipatolah adalah naluri. Dimana apabila naluri
ini juga dilatih dengan cara tersebut, bisa membentuk kekuatan
supranatural juga. Contoh nyata dari kekuatan naluri yang biasanya
akan timbiul dengan sendirinya, tanpa disadari dan tanpa pelajaran
apapun, yakni bentuk kekuatan yang timbul karena hal-hal yang
mendesak, yang karena keadaan memaksa atau mendadak tadi, lalu
mendorong seseorang untuk bertindak tanpa berpikir terlebih dahulu.
Misalnya pada waktu memberikan pertolongan pada korban kebakaran,
untuk mengangkat satu almari penuh isi, satu orang sekali angkat
sambil berlaripun dapat dengan mudah dilakukan, dimana apabila dalam
keadaan normal orang tersebut tidk mampu mengangkatnya. Contoh lain
misalnya seorang pencuri yang kepergok dan dikejar massa, akan dapat
dengan setengah sadar melompat jauh atau meloncat tinggi melebihi
kemampuan biasanya. Atau lagi apabila seseorang yang secara
kebetulan nalurinya mengatakan, bahwa pada hari itu akan ada tamu
penting, ternyata benar, meskipun sebelumnya belum ada
pemberitahuan.
Demikianlah sekedar contoh kekuatan naluri yang juga dimiliki pula
oleh hewan. Kelompok lebah misalnya, dia akan menjauh apabila
didekatnya ada kepulan asap api. Karena nalurinya mengatakan, hutan
tempat mereka hidup, akan terbakar. Demikian itu lebah mampu membaca
suasana hanya dengan kemampuan nalurinya, yang tidak berdasarkan
nalar dan fikiran, karena memang mereka tidak memilikinya.
KULA SEJATINING SATRIYA/WANITA, artinya saya sebenarnya
satria/wanita yang seharusnya sanggup menjalankan tugas-tugas yang
diamanatkan oleh Tuhan kepadanya atau didalam bahasa jawa disebut:
Wani ngayahi pakaryane Gusti, atau berani menjalankan pekerjaan
Ketuhanan, dengan berlandaskan kemampuan didalam “Anggelar lan
Anggulung” isine Kunci, dalam arti tahu apa yang tersirat dan
tersurat didalam Kunci.
Disamping itu harus bisa menjalankan makna filosofis dari kata
Satria. Yang asalnya dari akronim Sad Tri dan Ya. Sad artinya enam,
Tri artinya tiga dan Ya artinya sanggup. Enam yang dimaksud adalah:
eling, percaya, mituhu, sabar, rila lan narima. Yang artinya kepada
Tuhan kita selalu ingat, percaya dan taqwa yang didasari rasa sabar,
rela dan menerima. Tentang hal ini uraian yang lebih mendalam akan
penulis sampaikan pada tulisan lain.
Sedangkan tiga hal yang terkandung dalam Tri antara lain: Tuhan Yang
Maha Esa, Para UtusanNYa dan Manusia itu sendiri. Yang boleh juga
dikatakan : Sukma Kawekas, Sukma Sejati dan Roh Suci. Dan kadang-
kadang orang menganalogikan dengan Allah, Rasul dan Muhammad atau
Bapa, Putra dan Roh Kudus. Atau dengan pengertian yang sangat
sederhana dikatakan: Tuk ing Urip, Kang Nguripi lan Kang Diuripi.
Yang tersirat didalam Tri tadi adalah kesanggupan menjalankan
perintah Tuhan, melalui Utusanya Yang Bersifat Langgeng, agar
menjadi manusia yang baik.
Apabila semua yang tersirat dan tersurat didalam Kunci, dapat
dilaksanakan dengan penghayatan yang paripurna, maka orang tersebut
bisa mencapai tataran Adi Kodrati atau kemampuan supranatural atas
nama sang adhiatma. Dan konon kelak bisa Moksa disaat kematianya.
Adi artinya berlebih, atma artinya jiwa. Jadi adiatma artinya
manusia yang hidupnya berkelebihan sifat jiwa besarnya dan tinggi
didalam rasa dan naluri Ketuhananya. Sedangkan Moksa artinya
memperoleh kebebasan jiwa dari belenggu hawa nafsu duniawi.
Menurut kepercayaan, percikan cahaya hidup dari Adiatma, bisa
membias pada orang biasa yang juga dapat disebut seseorang menjadi
Awatara atau titisan Adiatma. Untuk memperoleh titisan Adiatma
tidaklah mudah, karena hal itu bukanlah hal yang dapat diperoleh
secara kehendak hati dari yang bersangkutan dan dirinya tak benar-
benar memproklamiskanya, dalam arti tidak benar bahwa seseorang
adalah titisanNya.
Ciri-ciri titisan Adhiatma adalah sebagai berikut:
Selalu mendahulukan kepentingan Ketuhanan, Kemanusiaan, kebangsaan,
Keadilan dan kebenaran diatas kepentingan pribadinya.
Kerap kali dikabulkan doanya, itu semua karena dekatnya rasa menyatu
dengan Tuhannya.
Tinggi rasa Ketuhananya dan memahami Ilmu Ketuhanan walaupun tanpa
berguru sekalipun, itu semua berkat dorongan nalurinya yang murni
dan hal itu seakan akan suatu pembawaan, maka apabila dia memperoleh
tuntunan Ilmu Ketuhanan dari guru misalnya, kemungkinan gurunya itu
akan kalah tingkat rasa Ketuhanannya.
Tidak merasa bisa atau tidak pernah merasa memiliki ilmunya, akan
tetapi sebaliknya selalu merasa masih banyak ilmu Ketuhanan yang
perlu dipelajari dan diamalkanya, secara singkat didalam bahasa jawa
dikatakan: ora rumangsa bisa nanging bisa rumangsa.
Banyak dicintai oleh sesama manusia, baik pria, wanita, tua, muda
dan anak-anak. Karena tidak pernah membeda-bedakan kemajemukan latar
belakang kehidupan pribadi setiap orang.
Bersedia menolong kepada sesamanya, walaupun kebetulan kepada orang
yang kebetulan membenci dan memusuhinya. Dan dari semua ciri-ciri
yang terakhir dan tersendiri adalah:
Ada ciri-ciri khusus pada bagian-bagian badanya, berupa bercak merah
keungu-unguan pada ketiak, atau bercak keputih-putihan pada
lidahnya. Dan masih ada ciri-ciri lain yang tak dapat disebutkan
disini, dimana atas ciri-ciri ini, dia sendiri tidak mengetahuinya
sebelum diberi tahu oleh orang lain.
Dari ketujuh ciri-ciri titisan adiatma tadi yang penulis sebutkan
terakhir, akan penulis paparkan pada tulisan atau kesempatan lain.
Maka dari itu pengertian yang menyangkut dari ketujuh ciri-ciri
tersebut apabila kurang satu saja dari antaranya, maka orang
tersebut tidak bisa disebut titisan adiatma.
Berdasarkan teori teori sebab akibat atau Hukum Karma atau juga
Karma Pahala, semua manusia kata orang Jawa akan “ngundhuh wohing
panggawe”. Atau akan memetik buah dari perbuatanya sendiri. Karma
artinya hukum yang mutlak, dan pahala artinya buah dari perbuatanya
sendiri. Karma dari perbuatan yang baik disebut Subha Karma dan
Karma dari peri laku jelek disebut Asubha Karma.
Subha Karma yang paling baik adalah apabila seseorang berhasil mati
Moksa. Moksa berasal dari kata Mukti yang berarti terbebas dari
belenggu hawa nafsu, seperti telah penulis singgung didepan. Dan
Asubha karma terjelek adalah apabila mati seseorang menitis pada
hewan.
Apabila seseorang berhasil mati Moksa, kepada Atma orang tersebut
akan terbebas dari belenggu Samsara, yaitu harus menitis ke dunia,
sebagai manusia lagi, dimana hidup didunia penuh derita dan samsara
yang selanjutnya disebut sengsara dengan segala resiko kehidupan
dunia. Sedangkan Atma dari seseorang yang mati Moksa, akan menyatu
kembali kepada Tuhan dan tidak menitis lagi, kecuali ditugaskan oleh
Tuhan.
Sebenarnya semua manusia diberi kesempatan untuk mati Moksa. Asalkan
memenuhi syarat perilaku didalam hidupnya, yang sebagian seperti
yang tersurat dan tersirat pada kalimat Kunci. Dan untuk mencapai
tataran mati Moksa, semua orang oleh Tuhan diberi kesempatan menitis
untuk merubah peningkatan perilaku kebaikan didalam hidupnya sampai
dengan tujuh kali peringatan dariNya.
Tentang penitisan sampai tujuh kali, apabila dijelaskan secara
sederhana adalah sebagai berikut:
ADI DAIWA
Yaitu Adiatma yang tanpa melalui proses menitis satu kalipun.
Mungkin diciptakan demikian oleh Tuhan, untuk menjalankan tugas-
tugas Ketuhanan. Adhi Daiwa diturunkan ke bumi sebagai utusanNya
yang bersifat langgeng, dan kepadanya diberikan oleh Tuhan, suatu
keajaiban-keajaiban diatas rata-rata manusia biasa. Pada pagelaran
cerita pewayangan, orang tersebut dinamakan Maha Resi.
ADHI BATHARA
Yaitu manusia yang Atmanya berhasil lulus pada penitisan satu kali
saja. Dalam arti menitis satu kali dan dapat menjalankan Subha Karma
didalam hidupnya. Di dalam masa hidup yang hanya menitis satu kali
itu, orang tersebut menjadi tokoh spiritual yang disebut Resi, kira-
kira setingkat di bawah Maha Resi.
ADHI JAWATA
Yaitu Atma yang berhasil lulus mati moksa didalam penitisan sebanyak
dua kali dan selanjutnya didalam hidupnya dapat menjalankan Subha
Karma. Karena pada masa penitisan yang pertama belum berhasil, baru
pada penitisan yang kedua dia berhasil menjalankan kesempurnaan
dalam nilai keluhuran budi pekerti. Maka pada penitisan yang kedua
kali itulah dia akan terlahir kembali sebagai manusia yang mempunyai
kemampuan spiritual setingkat Pinandita, yaitu satu tingkat dibawah
Resi.
ADHI BRAHMANA
Yaitu atma yang berhasil lulus mencapai mati Moksa didalam penitisan
tiga kali, nantinya akan terlahir kembali sebagai manusia tokoh
spiritual yang disebut Pandhita, yaitu setingkat dibawah Pinandhita.
ADHI KSATRIA
Adalah atma yang lulus berhasil mati moksa pada penitisan yang
keempat. Kelak akan terlahir menempati jasad manusia yang bakal
menjadi ponggawa negara atau negarawan. Mulai pada penitisan ini dan
seterusnya belum bisa moksa didalam kematianya. Sedangkan pada
penitisan yang pertama, kedua, ketiga dan keempat, atmanya sudah
dapat disebut Adhiatma.
ADHI WAISYA
Adalah Adhi Ksatria yang mati, oleh karena didalam hidupnya kurang
menjalani keluhuran budi pekerti, maka menitis dan memasuki jasad
manusia yang bernasib hanya menjadi pedagang, petani, pengrajin,
seniman dan sebagainya. Namun apabila Adhi Waisya berbuat keluhuran
budi pekerti, kelak apabila mati penitisanya akan menjelma menjadi
manusia dalam kelompok Adhi Ksatria.
ADHI SUDRA
Adalah Adhi Waisya yang mati, oleh sebab keluhuran budi pekertinya
kurang, maka pada waktu menitis akan menjadi Adhi Sudra, yaitu orang
yang rendah derajatnya karena miskin lagi bodoh. Namun apabila Adhi
Sudra didalam hidupnya luhur budi pekertinya, dapat menitis menjadi
Adhi Waisya.
ADHI BHUTA
Yaitu atma yang hanya lulus pada penitisan yang ketujuh. Sebenarnya
pada penitisan yang ketujuh ini, seseorang sudah mendapat peringatan
yang terakhir. Dalam arti tidak boleh tidak harus menjalankan nilai
keluhuran budi pekerti, agar kelak apabila mati, atmanya akan
menitis pada manusia pada kelompok yang setingkat lebih tinggi dari
pada Adhi Bhuta, yakni Adi Sudra. Orang-orang yang termasuk dalam
kelompok Adhi Bhuta adalah manusia celaka, pembunuh, terbunuh
ataupun pemerkosa.
Maka apabila kebetulan dalam hidup kita sekarang hanya menjadi Adhi
Bhuta, sebaiknya segeralah bertobat, dan perbanyaklah perbuatan yang
bernilai keluhuran budi pekerti terhadap Tuhan, sesama manusia dan
pelestarian alam, agar apabila mati kelak dapat menitis menjadi Adhi
Sudra. Dan sebagai Adhi Sudra apabila didalam hidupnya berbuat baik,
kelak bila mati akan menitis menjadi Adhi Ksatria dan seterusnya.
Sebaliknya apabila didalam hidup kita sekarang berhasil menjadi Adhi
Ksatria, Adhi Brahmana, Adhi Jawata dan Adhi Bathara, dapat selalu
mengamalkan keluhuran budi pekerti didalam keutamaan hidup dengan
mengutamakan kepentingan Ketuhanan, Kemanusiaan dan Keselarasan
hidup, maka kelak akan menitis menjadi Adhi Bathara saja untuk
peningkatan penitisan paling tinggi.
Karena manusia biasa tidak bisa menitis menjadi Adhi Daiwa,
sekalipun dalam hidupnya dia berstatus sebagai Adhi Bathara. Dan
sebagai Adhi Bathara didalam menjalankan nilai keluhuran budi
pekerti untuk mempertahankan agar dirinya tidak anjlog didalam
penitisan berikutnya. Oleh karena Adhi Daiwa, seperti dikatakan
terdahulu, diciptakan langsung begitu saja untuk diturunkan kebumi
sebagai utusan Tuhan.
Dari sedikit uraian tentang menitis atau reinkarnasi, maka timbul
aliran kepercayaan yang menamakan dirinya Aliran Menitis. Dan mohon
maaf, dari uraian tentang hal ini, terkesan penulis seperti memakai
istilah ajaran agama tertentu, yakni Hindu. Penulis sendiri beragama
Islam. Dan maksud dari tulisan ini sebagai salah satu bukti
bahwasanya penyerapan khasanah budaya spiritual ataupun kebatinan
kadang berakar dari agama dimasa lalu. Namun demikian mestinya tidak
perlu berkembang menjadi agama baru. Dan sudah barang tentu tidak
perlu pula bersikap seakan-akan menjadi pemeluk agama yang menjadi
akar budaya spiritualnya itu, apabila kebetulan bukan agama yang
dianutnya.
Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, hasil karya fisik maupun non
fisik dari kegiatan keagamaan dimasa lalu, yang menjadi peninggalan
sejarah, banyak yang diakui sebagai milik Bangsa Indonesia dan bukan
hanya sekedar milik umat beragama tersebut, yang juga seharuisnya
dilestarikan, seperti contohnya; candi-candi, makam-makam kuno,
mesjid, keraton-keraton, kitab-kitab kuno, rontal dan sebagainya.
Dari uraian pada tulisan ini penulis bermaksud untuk untuk sekedar
mewariskan salah satu contoh Percikan Khasanah Budaya Spiritual
Jawa, walaupun tidak menjadi dan bukan suatu bukti sejarah, namun
penulis menganggap sebagian yang masih relevan dengan tuntutan
jaman, kiranya masih perlu diwariskan, khususnya pada ahli waris
penulis sendiri, itupun bagi yang mau saja.
Dan sekali lagi kenyataanya, khasanah budaya yang tidak termasuk
sebagai bukti sejarah, tetapi masih diwarisi secara turun temurun
dan berurat akar cukup kuat, juga masih sering dilaksanakan,
misalnya nama-nama instansi sipil dan militer memberi nama kesatuan-
kesatuanya dengan mengambil kata atau kalimat yang berasal dari
Kitab-kitab Kuno dari agama tertentu.
Dari hal itu kita semua sudah tahu adanya istilah-istilah tersebut
seperti: Dewan, Menteri, Adhi Pura, Dwija, Kalpataru, Panca Ubaya
Paksi, Bhineka Tunggal Eka, Panitera, Adhiyaksa Dharma Karini, Bina
Graha, Tamtama, Binatara, Perwira dan sebagainya. Dan kesemuanya itu
tanpa disertai sikap meneliti, dari agama apa istilah-istilah itu
diambil.
NYUWUN WICAKSANA, Artinya memohon dapat berbuat bijaksana. Dan
bijaksana ini menjadi pangkal tolak menuju keluhuran budi pekerti.
Dan untuk menjadi orany bijaksana haruslah pandai membaca suasana
rasa dan perasaan orang, seorang atau sekelompok, di suatu tempat
pada waktu tertentu.
Jangan sampai mudah menyakiti hati orang, walaupun kemauanya tidak
sesuai dengan kemauan diri kita, dan kemauanya belum tentu sesuai
dengan norma-norma yang berlaku. Dengan demikian salah satu laku
bijaksana adalah juga harus bermodalkan Psikologi Sosial atau Ilmu
Jiwa Kemasyarakatan disertai selalu mengingat azaz individu sehingga
akan dapat membaca suasana jiwa seseorang.
Bila bijaksana sudah dijiwai, maka apabila akan berbicara dengan
seseorang selalu disertai keramahan dengan tawa kecil atau senyum
yang benar-benar menembus sampai ke lubuk hati. Dari hal seperti ini
kecuali orang yang ditemui merasa senang, juga diri kita mendapat
keuntungan jiwa, karena salah satu upaya awet muda adalah murah
senyum. Jangan tunjukkan pada orang lain bahwa kita sedang dilanda
konflik misalnya. Jangan sampai sedang marah dengan salah satu
anggota keluarga, lalu pada orang lain masih terbawa sikap cemberut
dengan muka kecut.
Orang yang sudah terbiasa bijak dalam pergaulan, akan terbiasa pula
mudah berkomunikasi karena sikapnya yang selalu dapat bertenggang
rasa dengan orang lain. Dari mudah berkomunikasi banyak orang yang
kenal dan suka kepadanya, yang pada giliranya akan timbul welas asih
diantara mereka. Jangan pula didalam pembicaraan denga orang lain
selalu membicarakan keadaanya sendiri, apalagi terkesan pamer pada
apa yang telah dimiliki dan menjadi keberhasilanya. Karena
sebenarnya semua itu sipat menuju kearah kesombongan. Padahal
kenyataanya orang yang sombong, belum tentu benar-benar memiliki apa
yang disombongkanya.
Dan sebenarnyalah sifat sombong menunjukkan sifat kekanak-kanakan
yang haus pujian. Sifat bijak yang baik ini sudah barang tentu masih
harus dapat mempertahankan prinsip kebenaran, akan tetapi jangan
tunjukkan secara semata-mata bahwa kita sedang mempertahankan
prinsip itu. Ambilah celah pembicaraan dan kemukakan secara prinsip
dengan disertai dasar-dasar norma permasalahannya. Dengan demikian
mereka yang kita ajak bicara akan beranggapan bahwa kita didalam
berbicara enak di dengar akan tetapi sulit dibantah.
Mulailah berbicara dengan diawali kepentingan si lawan bicara,
sesekali pujilah dia dengan tidak terlalu menyolok. Tanyakan
kepadanya apakah anak isteri dan keluarganya sehat-sehat selalu,
setelah dia berbicara dengan keakuanya sendiri, pada saat itulah
waktu yang tepat untuk melakukan pujian kepadanya. Sesudah itu baru
kita kemukakan maksud kepadanya.
NYUWUN PANGUWASA,artinya memohon kemampuan di dalam berkarya untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, yaitu ngudi sampurnaning urip lan ngudi
sampurnaning pati. Yang artinya mencari jalan menuju kesempurnaan
hidup dan kesempurnaan bila mati kelak. Bekal untuk menuju
kesempurnaan hidup adalah temen yang artinya bersungguh-sunguh dan
bekal untuk menuju agar selamat diakhirat adalah kesucian didalam
pikiran dan perbuatan, berlandaskan kehalusan perasaan yang selalu
berupaya untuk menyatukan dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa dengan
menjalani semua perintah dan menjauhi semua larangannya.
Jangan sampai dengan berkedok agama digunakan untuk menipu dan
mendustai orang lain. Maka dari itu upayakan berkah sebanyak
mungkin, dan keselamatan didunia dan akhirat jangan pula dilupakan.
Berkah yang banyak berupa harta benda yang berasal dari rejeki suci
dan halal agar tercukupi hidup sebagai sarana untuk beramal didalam
menjalankan keluhuran budi pekerti.
KANGGE TUMINDAKE SATRIYA SEJATI/ WANITA SEJATI, yang artinya untuk
dapat berperilaku sebagai satriya atau wanita sejati. Karena pada
dasarnya satriya sejati dan wanita sejati adalah Putra Romo. Kata
Putra adalah akronim dari Bahasa Jawa Puput Ing Rasa yang artinya
sempurna didalam berolah rasa perasaan. Sedangkan Romo berasal dari
akronim Roh Mono, yang artinya Roh Tunggal yang berasal dari Tuhan
Yang Maha Satu.
Dan apabila Putra Romo disebut sebagai Wayah Kaki, maksudnya akronim
dari kalimat Wani Angayahi Kawula Anggayuh Kagem Ing Pangreh(Gaib),
yang artinya berani menjalankan sebagai hamba ingin mencapai sesuatu
agar dapat selalu berkomunikasi dengan gaibNya Tuhan Yang Maha Gaib.
Pada pokoknya, seperti telah disinggung didepan, pada dasarnya
wanita sejati dan satriya sejati adalah calon-calon yang kelak akan
menitis sebagai Adhi Atma, manakala mampu anggelar lan anggulung
isine Kunci.
KULA NYUWUN KANGGE HANYIRNAAKE TUMINDAK INGKANG LUPUT, Artinya saya
bermohon agar dapat menghilangkan perbuatan yang jelek. Sebagai
penutup kunci kalimat ini menandaskan, bahwa semua yang diderita
sekarang adalah berasal dari perbuatan atau sebab akibat dari
perilaku hidupnya di masa lalu. Ini semua dengan tujuan agar
penitisan pada kehidupan nanti dapat lebih baik.
Maka pada kehidupan yang sekarang kita seharusnya selalu memohon
agar dapat selalu berbuat baik dengan menyingkirkan perilaku yang
jelek dan bahkan memusnahkanya, dengan maksud agar penitisan
berikutnya dapat meningkat, sesuai dengan prinsip hukum sebab akibat
yang juga disebut Karma Pahala atau yang secara umum disebut sebagai
Hukum Karma yang selalu pas antara yang diperbuat dengan akibatnya.
Demikian sedikit penjelasan tentang isi Kunci. Dikatakan sedikit
karena apabila isi Kunci dijabarkan secara lebih mendalam, akan
berupa uraian ilmu Sangkan Paraning Dumadi yang artinya Asal Muasal
Semua Kejadian, yang didalamnya termuat juga Ilmu Sangkan Paraning
Urip atau Asal Muasalnya Sanmg Hidup.
PAWELING
Yang artinya dalam Bahasa Jawa; ngelingake utawa angosikake, didalam
Bahasa Indonesia artinya; mengingatkan atau mengisyaratkan, agar
dalam diri ini:
Tumata dayaning raga, yang artinya teratur kekuatan raganya. Dalam
arti tidak terlalu membuang sumber tenaga untuk hal-hal yang tidak
berguna akan tetapi dengan sumber tenaga yang secukupnya, dapat
berhasil dan berdaya guna sebaik-baiknya.
Tumata dayaning cipta, yang artinya teratur daya ciptanya. Tidak
menghamburkan daya ciptanya dengan cara yang tidak tepat dan dalam
bentuk daya cipta yang kurang baik. Maka tidaklah benar apabila daya
cipta dipergunakan untuk merencanakan kejahatan dan ketidakbergunaan
dengan menjiplak daya cipta orang lain dan tidak menghargai.
Tumata dayaning rasa, yang artinya teratur dan terarah rasa
perasaanya. Rasa sedih misalnya, kita Abdikan kepada Tuhan Yang Maha
Suci, sebagai bagian Tapa Brata. Rasa gembira kita abdikan kepadaNya
sebagai pengakuan atas anugerahNya yang wajib disukuri selalu. Serta
jangan selalu menghambur-hamburkan rasa perasaan yang tidak enak,
oleh sebab itu janganlah berhenti didalam keadaan ketakutan,
kesedihan, kebingungan dan sebagainya.
Apabila merasa sedih, bingung dan takut segeralah berserah diri
kepada Tuhan Yang Maha Esa, disertai upaya mencari jalan
mengatasinya. Apabila tidak bisa diatasi sendiri, mintalah bantuan
orang lain dan tidak lupa selalu berdoa.
Dengan demikian kita selalu mengakui bahwa manusia bersifat lali,
luput lan apes yang artinya lupa, salah dan malang. Apabila lupa
kita mohon untuk diingatkan. Apabila salah mohon pengampunanya dan
agar tidak selalu malang kita mohon perlindunganya. Lewat utusanNya
yang bersifat langgeng, yang biasa disebut Roh Mono, Roh Suci, Roh
Ismoyo atau sang Guru Sejati.
Didalam pengertian Utusan Yang Bersifat Langgeng ini, ada sebutan
yang berbeda-beda. Namun demikian yang dimaksud Utusan Tuhan Yang
Bersifat Langgeng itu bukanlah makhluk apapun, akan tetapi merupakan
percikan cahaya sifat-sifat Ketuhanan atau boleh disebut percikan
Cahaya Illahiyah yang dalam Bahasa Sanskerta biasa disebut Dewa
berasal dari kata Div yang artinya cahaya.
Maka kedudukan Utusan Tuhan Yang Bersifat Langgeng, apabila dilihat
dari tingkat-tingkat penitisan, kedudukanya adalah diatas Adhi
Daiwa. Dam menurut kepercayaan Budaya Spiritual Jawa, yang
berkedudukan diatas Adhi Daiwa adalah Roh Ismoyo, yang dicipta
langsung oleh Tuhan untuk menjalankan tugas sebagai pamomong gaib
para satriya. Roh Ismoyo yang biasa disebut sebagai Romo,
kedudukanya diatas Utusan Yang Bersifat Langgeng selain Dia.
Begitulah diceritakan didalam pewayangan, dimana wayang adalah
sebagai gambaran dari diri manusia.
Namun kadangkala ada kesalahtafsiran didalam menarik pengertian dari
Romo, disimpulkan persamaanya dengan Bapak atau Ayah. Karena Romo
dalam Bahasa Jawa artinya Bapak. Maka berangkat dari kesalah
tafsiran inilah maka sering timbul pengkultusan atau mendewakan atas
tokoh Budaya Spiritual Jawa yang dipanggil dengan Romo, yang artinya
Bapak, lalu dipersamakan dengan Romo yang artinya Roh Ismoyo ataupun
dianggap ketitisan Ismoyo atau juga kesinungan. Padahal didepan
dikatakan, bahwasanya Ismoyo tidak pernah lahir dan menitis sebagai
manusia.
Menurut paham salah satu Budaya Spiritual Jawa, Roh Ismoyo yang
didalam Pewayangan disebut Semar, bukanlah tokoh yang digambarkan
secara fisik dalam ceritera wayang itu. Kalaupun Roh Ismoyo ditugasi
turun kebumi, bukan berarti menitis kepada jabang bayi atau manusia.
Apabila benar bahwa Roh Ismoyo ditugaskan kedunia, bersifat hanya
Hanyinungi atau silih raga untuk tujuan melindungi, dengan cara
memasukkan sebagian kuasa spiritualnya kepada orang yang dipilih dan
digunakan untuk itu. Namun demikian tidak sembarang orang benar-
benar kesinungan Ismoyo. Dan orang yang kesinungan selanjutnya
disebut sebagai Sipat Semar.
Tetapi sekali lagi bukanlah semar yang digambarkan dalam wayang
secara wantah. Seharusnyalah terlebih dahulu ditarik makna harfiah
dan falsafah bagaimana dan siapakan Semar itu.
SEMAR DALAM PENGERTIAN SECARA HARFIAH
Semar, didalam Bahasa Jawa asal kata samar artinya tidak jelas
benar, penuh rahasia, antara kenyataan dan gaib dan sebagainya.
Nyata dalam arti sifat Semar dapat dimiliki oleh seseorang dalam
kehidupan sehari-hari. Sedangkan gaib dalam pengertian tidak ada
bentuk fisik dari Semar itu sendiri. Seperti dikemukakan didepan,
bahwa semar adalah Pamomong (gaib) dari para Satria yang dengan
tekun dan seksama mau menghayati keberadaan GaibNya Tuhan.
Maka apabila seseorang memiliki, menghayati dan dapat mengamalkan
kawruh gaib yang juga disebut Kasuksman dengan benar dan baik ,
disertai sikap sehari-hari yang mencerminkan laku satria dan wanita
sejati yang bersifat ngemot dan ngemong, laku tersebut merupakan
lahan bagi turunya kuasa gaib Roh Ismoyo dengan cara kasinungan.
Pengertian ilmu gaib disini bersifat Gaib yang Hakiki, yaitu gaib
mengenai keberadaan Tuhan beserta Para Utusanya Yang Bersifat
Langgeng. Bukan sekedar Gaib Idhofi atau gaib relatif yang dimiliki
manusia dan apalagi gaib mungkar yang dimiliki jin, setan, peri dan
Perayangan.
Maka seseorang dapat dianggap kesinungan Roh Ismoyo sehingga dapat
bersifat Semar, dipandang dari cirri-ciri kecil yang paling
sederhana, dalam penertian Semar secara harfiah, adalah seseorang
yang menguasai pengertian satria, menguasai Ilmu Gaib diatas, dan
bersifat ngemong siapa saja dan dapat ngemot segala permasalahanya.
Dan salah satu sifat Semar yang lebih utama adalah mampu ngemot dan
ngemong apa dan siapa yang berasal dari orang atau kelompokyang
memusuhinya. Jadi singkat kat seseorang yang bersifat Semar selalu
merasa bahwa dirinya tidak mempunyai musuh yang berujud manusia.
Dan digambarkan didalam pewayangan, pada setiap lakon baku maupun
carangan Semar yang kadang kena fitnah dan ancaman, tidak pernah
menyelesaikan masalah dengan pertempuran. Yang ditempuh selalu jalan
damai dengan kepala dingin disertai kearifan sehingga dapat
menengahi pihak-pihak yang berseteru.
Maka secara tidak langsung, seseorang yang bersifat semar, selalu
dituntut oleh misinya yang harus dapat menerapkan dengan apik Ilmu
Ketuhanan, Kerasulan, Kebangsaan, Kemanusiaan, Kefilsafatan, Ilmu
Jiwa, Ilmu udaya Dasar dan sebagainya, disamping syarat yang
disebutkan terdahulu. Dari semua itu dapat ditarik kesimpulan makna
Ssemar secara harfiah, sifat Semar universal adanya, dalam arti
kapanpun dan dimanapun Sifat Semar bisa ada, sepanjang sepanjang
dijaman dan di tempat itu masih ada orang yang memiliki sifat
terpuji.
Maka didalam wayang selalu diceritakan, semua generasi satriya
sejati selalu diemong oleh Semar sebagai Panakawan, sebagai Batur
dan sebagai Dewa. Semar sebagai Panakawan yang artinya teman yang
bisa memahami benar permasalahan dan fungsi teman yang baik. Batur
yang berarti embat-embating catur artinya selalu dapat diajak
bermusyawarah dan sebagai Dewa diharapkan dapat menyampaikan pesan-
pesan keagamaan kepada yang diemongnya. Dari fungsi Semar sebagai
Panakawan dan Batur itulah maka, semua generasi, dari ayah, anak,
cucu, buyut dan seterusnya, apabila memanggil Semar selalu dengan
sebutan Kakang.
Disamping itu, sewaktu semar masih berkedudukan sebagai Dewa, Dia
bergelar Bathara Ismaya, sebagai ayah dari Bathara Wisnu Sang
Pemelihara alam. Maka dengan perkataan lain, para Dewapun memerlukan
Semar sebagai Panakawan dan Batur. Maka dapatlah disimpulkan, bahwa
Semar itu adalah biangnya Sang Pemelihara Alam.
SINGKIR
Diantara kunci dan singkir, kata-kata didalam kalimatnya hampir
sama. Perbedaanya terletak pada kalimat: HANANIRA HANANINGSUN, yang
artinya keberadaanmu juga keberadaan diriku. Dari kalimat inu muncul
pengertin bahwasanya semua makhluk didunia ini berasal dari Tuhan
Yang Maha Satu. Oleh karena satu asal maka kamu adalah aku.
Maka pada dasarnya isi singkir hanya diperuntukkan memancarkan rasa
kasih sesama manusia yang berasal dari kasihnya Tuhan Yang Maha
Pengasih. Namun sebaliknya, kita tidak perlu mengasihi sesuatu yang
tidak boleh kita kasihi yaitu reruwet rubeda. Dan yang menjadi
biangnya reruwet dan rubeda adalah hawa nafsu yang ditunggangi
setan. Maka titik pusat yang perlu disingkirkan adalah hawa nafsu
dan setan. Tak lain adalah hawa nafsunya sendiri.
Menurut pandangan Budaya Spiritual Jawa, setan yang menggoda hawa
nafsu merasuki jiwa melalui panca indera. Dan biasanya karena godaan
yang berhasil ditanggapi oleh panca indera itulah seseorang berbuat
kurang terpuji. Maka sementara orang mengambil kesimpulan bahwa
setan secara wantah adalah panca indera dan secara non fisik adalah
hawa nafsu.
Dan apabila ada orang yang beranggapan bahwa setan ada yang menggoda
manusia pada waktu sedang tidur, berupa gangguan-gangguan didalam
mimpi, sampai orang tersebut tampak ketakutan. Banyak orang yang
beranggapan bahwa mimpi adalah proses pengulangan pada waktu
seseorang mengalami konflik kejiwaan sewaktu melek, yang terbawa-
bawa kedalam mimpi.
Konflik kejiwaan sebagai akibat perbedaan pendapat. Perbedaan
pendapat yang dikarenakan semua orang berbeda kepentingan. Dan
secara naluri semua orang mempunyai kecenderungan memaksakan
kehendaknya kepada orang lain, sekali lagi atas dorongan hawa nafsu
tadi. Disinilah sedikit bukti bahwasanya setan itu adalah hawa
nafsu.
Selain itu setan penggoda manusia yang berada ditempat-tempat yang
dalam, tinggi, besar seperti jurang, gunung, hutan dan sebagainya.
Itu semua sebenarnya adalah hasil reproduksi atau penerusan dari apa
yang dilihat dengan kesan menakutkan, maka secara otomatis akan
terbentuk rupa bayangan yang timbul dari angan angan seperti yang
ditakutkan. Maka pada saat itu pulalah terjadi tipuan pandangan.
Segala sesuatu yang masih ada hubunganya dengan angan-angan, apabila
tidak dikendalikan akan merebak dan mendesak pikiran. Maka setan
dalam hal ini juga berasal dari hawa nafsu.
Setan yang menggoda pada saat manusia menjelang datang ajalnya,
hanya merupakan baying-bayang kesan masa lalu. Misalnya dirinya
merasa bersalah dengan seseorang, maka pada saat itu, terbentuk
bayangan seakan-akan orang yang disalahi tersebut datang akan
memukulnya dengan membawa senjata dan sebagainya. Jelaslah asal
setan dalam hal ini juga dari hawa nafsu.
Demikian seklumit pandangan tentang setan menurut Budaya Spiritual
Jawa. Sedangkan setan menurut pandangan agama, penulis kurang tahu
secara benar. Oleh sebab pada masa kecil penulis, pernah berguru
mengaji kepada Ustad didepan rumah, kebetulan Ustad setiap kali
ditanya secara mendetail, dengan nada agak marah beliau berkata:
“Apabila ingin melihat setan, silahkan panjat pohon dan jatuhkan
dirimu…”
Pendek kata yang beliau ajarkan harus diterima apa adanya secara
dogmatis, tidak boleh dibantah, begitu ya begitu, begini ya begini.
Akan terapi maaf, bukan berarti penulis menganggap ajaran agama
adalah dogmatis. Mungkin secara kebetulan saja wawasan yang dimiliki
oknum Ustad tadi pas-pasan. Pun juga bukan berarti penulis akan
membanding-bandingkan, mencari perbedaan dan mempersamakan antara
agama dengan Budaya Spiritual Jawa. Penulis berprinsip bahwasanya
agama adalah Wahyu Illahi, sedangkan budaya adalah hasil cipta,
rasa, karsa dan karya manusia berdasarkan tempat dan waktu.
Kembali pada pokok masalah, bahwa yang perlu disingkiri adalah
reruwet dan rubeda, yang artinya keruwetan dan godaan. Apabila
keruwetan dan godaan itu datangnya dari setan, dan setan selalu
identik dengan hawa nafsu, maka yang perlu disingkiri adalah hawa
nafsu itu sendiri. Yang dimaksud adalah hawa nafsu sendiri yang
dikendalikan dengan tepat, termasuk pakarti hawa nafsu yang datang
dari luar diri sendiri, seperti dinasehatkan oleh tembang mijil yang
dalam satu syairnya berbunyi: “Bapang den simpangi, ana catur
mungkur…” yang artinya apabila melihar gelagat seseorang sedang
berhawa nafsu, sebaiknya ditinggal pergi saja.
Kalimat Singkir selanjutnya adalah: SIRA MATI DENING SATRIYA/WANITA
SEJATI, yang artinya: kamu mati oleh satriya/wanita sejati. Yang
dimaksud Sira (kamu) disini adalah hawa nafsu tadi, yang tak lain
adalah hawa nafsunya sendiri yang senantiasa harus diperangi.
Seperti kata Pak Ustad, menurut riwayat, usai Perang Badar, yang
meminta banyak korban, Nabi berkata bahwa masih ada perang yang
melebihi Perang Badar, yaitu perang melawan hawa nafsu. Karena
memang nyata benar bahwa hawa nafsu adalah musuh bebuyutan manusia,
yang apabila tidak tepat pengendalianya, manusia tidak dapat “padang
paningaling sukmane”.
Padahal hambatan pada keadaan “padang paningaling sukmane” adalah
juga halangan yang nyata apabila kita bermaksud ingin bersembah
kepada Tuhan, apabila masih membawa hawa nafsu, jadinya kita kurang
hening yang bisa berakibat kurang sambung atau kurang komunikatif.
Karena apabila boleh penulis umpamakan, seandainya Tuhan adalah
orang yang bercermin dan diri ini adalah bayangan didalam cermin
sedangkan hawa nafsu adalah cerminya, maka bila cermin penuh
kotoran, sudah barang tentu bayangan menjadi kurang jelas.
Menjadikan kita tidak mampu melihat kajatene Gusti. Dan sekali lagi
kata Pak Ustad: “apabila masih membawa hawa nafsu, menjadikan kita
tidak bisa Makrifatullah”.
Begitulah adanya, pakarti hawa nafsu manusia diharapkan dapat
disingkirkan atau dikendalikan oleh satriya sejati/wanita sejati
yang selalu bermaksud ingin mencapai tataran Adhi Atma dengan dapat
menyuarakan, menghayati dan mengamalkan: KUNCI, PAWELING, SINGKIR,
MIJIL dan ASMA SEJATI, baik secara gelar maupun secara gulung atau
secara tersurat dan tersirat.
Selanjutnya didalam singkir masih ada kalimat yang berbunyi: KETIBAN
IDUKU PUTIH SIRNA LAYU DENING…(asma sejati atau jati diri dari
atmanya orang yang menyuarakan singkir). Yang dimaksud iduku putih
disini adalah sucinya perkataan, perbuatan dan pikiran yang
seharusnya dimiliki oleh semua calon Adhi Atma, yang berkewajiban
anindakake Pakaryane Pangeran atau menjalankan pekerjaan-pekerjaan
Ketuhanan, dengan dilandasi mulat sarira hangrasa wani atau
mengoreksi kemampuan diri sendiri, sebagai modal berani bertindak
dan berkarya.
Tiga kesucian tersebut seharusnya secara jelas tergambar didalam
perilaku sehari-hari, sebagai tolok ukur dapat dan tidaknya
seseorang dianggap sebagai calon Adhi Atma. Dan barang siapa yang
anindakake pakaryane Gusti, dan selaras dengan sifat-sifat Ismoyo,
maka dia boleh dianggap sebagai calon Adhi Atma, yang kelak juga
menyandang tugas-tugas spiritual pada saat menjalani masa hidup,
sesuai dengan tingkatan tataran, lingkungan dan jamanya.
MIJIL DAN ASMA SEJATI
Antara Mijil dan Asma Sejati, keduanya tidak dapat dipisahkan,
karena pada dasarnya mijil itu adalah mijilake mijilake Asma Sejati.
Yang dimaksud adalah mengeluarkan dayanya Asma Sejati yang merupakan
identitas dari roh orang yang bersangkutan, dalam arti berupaya
memberdayakan secara lebih, daya sukma yang sebenarnya, untuk
tujuan-tujuan tertentu yang ada hubunganya dengan peri laku jiwa
raga sehubungan dengan upaya anggelar lan anggulung isine Kunci.
Yang jelas secara kenyataan, memang apabila mijilake Asma Sejati
dapat dijalankan dengan seksama, akan menimbulkan getaran rasa
sejati, dimulai dari rasa merinding seperti merindingnya sehabis
buang air kecil, atau kadang-kadang rasa merinding seperti itu sama
seperti itu sama seperti bila kita sedang dilanda rasa takut
terhadap sesuatu.
Secara anatomis atau ilmu urai tubuh, rasa merinding itu bermula
dari pusat susunan saraf motorik, atau saraf penggerak yang biasanya
bergerak atas dasar rangsangan perintah gerak dari pusat susunan
saraf otak. Namun dalam hal ini gerakan yang menimbulkan getaran
rasa merinding itu tidak dimulai atas perintah berupa rangsangan
dari susunan saraf otak, akan tetapi gerakan itu timbul sebagai
akibat adanya konsentrasi atau pemusatan pikiran hanya kepada Tuhan,
dan dorongan itu langsung menuju saraf motorik.
Pada giliranya rasa merinding itu akan berkembang menjadi gerakan
seluruh badan, dimana gerakan itu bukan atas kesadaran merasa ingin
bergerak, akan tetapi gerakan dari getaran itu dibawah kesadaran dan
kadang-kadang apabila gerakan atas getaran itu terlalu kencang dan
diri kita dengan sadar berniat menguranginya, seakan-akan kita tidak
mampu mengendalikanya. Jelasnya gerakan didalam getaran itu timbul
begitu saja, sesaat sesudah Mijilake Asma Sejati yang beberapa kali
diwatek. Dan kadang-kadang getaran yang ditimbulkan oleh alat pada
mulut, menimbulkan suara mendesis dan suara lain yang tidak jelas
kata-katanya.
Semua itu terjadi apabila kita Mijilake Asma Sejati dengan maksud
arsa Beksa Beksanira Pribadhi, yang artinya bermaksud menari
tarianya sendiri. Tarian disini lebih tepat dikatakan sebagai tarian
sakral atau semacam gerakan yoga yang timbul secara spontan atau
timbul dengan sendirinya. Kata “mu” didalam tarianmu dimaksudkan
atau ditujukan kepada Asma Sejatinya sendiri. Sebagaimana raga
memberikan perintah kepada Asma Sejati sebagai jati diri dari sukma
orang bersangkutan dan segera saja Asma Sejati menjalankan perintah
raganya.
Besar kecilnya spectrum yang ditimbulkan, sangat tergantung dari
banyak sedikitnya jumlah getaran per detik dari orang yang melakukan
mijil tadi. Apabila getaran per detik disebut frekuensi, maka jumlah
frekuensi itu juga tergantung dari tingkat kemapanan didalam
pemusatan rasa hening atau tingkat kemampuan konsentrasi. Tingkat
konsentrasi sangat tergantung dari kemantapanya, kondisi fisik,
jumlah pembiasaan, keadaan lingkungan dan tingkat keilmuannya. Itu
semua juga kadang-kadang terpengaruh oleh pembawaan atau kebakatan
orang tersebut.
Mijil arsa beksa beksanira pribadhi merupakan upaya memperoleh
getaran yang meliputi sekujur tubuh. Bentuk getaran yang ditimbulkan
juga berbeda-beda pada setiap orang. Hal ini menunjukkan bahwa tiap
jati diri memiliki identitas dan kekhususan tersendiri.
Apabila sudah paham benar didalam olah getaran didalam mijil arsa
beksa beksanira pribadhi, yang merupakan getaran yang meliputi
seluruh tubuh, maka selanjutnya boleh melatih diri dengan gerakan
didalam getaran pada tiap bagian-bagian tertentu, dimana gerakan
pada bagian-bagian tertentu ini, ada yang menganggap gladen
(latihan) ilmu kekebalan, atau ilmu tenaga dalam yang juga disebut
aji-aji atau ajian, walaupun itu belum tentu benar.