PENDAHULUAN
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang lazim disebut dengan
PILKADA baik pemilihan gubernur dan Wakil Gubernur maupun pemilihan Bupati
dan Wakil Bupati dan Wali Kota dan Wakil Wali Kota merupakan perwujudan dan
pengembalian hak - hak rakyat dalam memilih pemimpin di daerah. dengan Pilkada
pemimpiin daerah secara langsung, bebas, rahasia dan otonom, sebagaimana rakyat
memilih presiden dan wakil presiden 9eksekutif), dan anggota DPD, DPR dan DPRD
daerah otonom guna untuk mengatur serta mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
mengatur sendiri atau kewenangan guna untuk membuat aturan untuk mengurus
mempunyai batas-batas wilayah dan seperti yang kita tahu bahwa PILKADA dan
kelemahan. Ada sejumlah kelemahan menonjol yang bisa direnungkan sebagai bahan
kewaspadaan. Pertama, pilkada dalam era liberalisasi politik dengan kekuatan partai
politik yang masih dominan, memungkinkan sekali yang bisa bertempur di sana adalah
mereka yang memiliki kapital ekonomi dan politik yang kuat. Para pengusaha yang
sekaligus dekat dengan partai politik, atau para incumbent yang kaya, adalah yang
yang bisa masuk di sana, tetapi justru mereka yang berkategori orang-orang kaya yang
berpeluang besar ikut masuk dalam bursa pilkada. Sementara orang-orang kaya itu,
dulu adalah yang justru selalu menjadi bagian dari objek kebijakan pemerintah.
Artinya, mereka yang selalu diatur, yang didisiplinkan dan ditata dalam menjalankan
kegiatan bisnisnya. Tetapi sekarang, mereka adalah yang akan tampil sebagai pengatur.
Sisi inilah yang merupakan salah satu aspek kelemahan yang menonjol.Kapitalisme
menemui momentumnya, dan di kemudian hari tidak mustahil akan menjadi problem
baru kita. Hal itu senada dengan teori "MPM" yang merupakan kepanjangan
dari Money - Power - More Money. Teori itu mengingatkan kepada kita akan arti
menengah yang diuntungkan. Di titik itulah kewaspadaan publik tetap harus terjaga,
agar pilkada yang agak berbau kapitalistik ini tidak menimbulkan ekses bagi
- Partisipasi Masyarakat dalam Pilkada dan Menghadapi Isu – isu SARA yang
Pilkada ini ditujukan untuk memilih Kepala daerah di 226 wilayah yang
tersebar dalam 11 provinsi dan 215 di kabupaten dan kota. Rakyat memilih kepala
daerah masing masing secara langsung dan sesuai hati nurani masing masing. Dengan
begini diharapkan kepala daerah yang terpilih merupakan pilihan rakyat daerah
Daerah masing masing. Tugas yang dilaksanakan KPUD ini sangat berat yaitu
mengatur pelaksanaan pilkada ini agar dapat terlaksana dengan demokratis. Mulai dari
seleksi bakal calon, persiapan kertas suara, hingga pelaksanaan pilkada ini.
ditemukan pemakaian ijasah palsu oleh bakal calon. Dan juga biaya untuk menjadi
calon yang tidak sedikit, jika tidak iklas ingin memimpin maka tidakan yang pertama
adalah mencari cara bagaimana supaya uangnya dapat segera kemali atau “balik
Dalam pelaksanaan pilkada ini pasti ada yang menang dan ada yang kalah.
Seringkali bagi pihak yang kalah tidak dapat menerima kekalahannya dengan lapang
dada. Sehingga dia akan mengerahkan massanya untuk mendatangi KPUD setempat.
Kasus kasus yang masih hangat yaitu pembakaran kantor KPUD salah satu provinsi di
pulau sumatra. Hal ini membuktikan sangat rendahnya kesadaran politik masyarakat.
Sehingga dari KPUD sebelum melaksanakan pemilihan umum, sering kali melakukan
Ikrar siap menang dan siap kalah. Namun tetap saja timbul masalah masalah tersebut.
Selain masalah dari para bakal calon, terdapat juga permasalahan yang timbul
dari KPUD setempat. Misalnya saja di Jakarta, para anggota KPUD terbukti melakukan
korupsi dana Pemilu tersebut. Dana yang seharusnya untuk pelakasanaan pemilu
ternyata dikorupsi. Dari sini dapat kita lihat yaitu rendahnya mental para penjabat. Dan
mungkin juga ketika proses penyeleksian bakal calon juga kejadian seperti ini.
Misalnya agar bisa lolos seleksi maka harus membayar puluhan juta.
1. Money politik
Sepertinya money politik ini selalu saja menyertai dalam setiap pelaksanaan pilkada.
maka dengan mudah mereka dapat diperalat dengan mudah. Contoh yang nyata saja
yaitu di lingkungan penulis yaitu desa Karangwetan, Tegaltirto, Berbah, Sleman, juga
terjadi hal tersebut. Yaitu salah satu dari kader bakal calon membagi bagikan uang
kapada masyarakat dengan syarat harus memilih bakal calon tertentu. Tapi memang
dengan uang dapat membeli segalanya. Dengan masih rendahnya tingkat pendidikan
seseorang maka dengan mudah orang itu dapat diperalat dan diatur dengan mudah
2. Intimidasi
Intimidasi ini juga sangat bahaya. Sebagai contoh juga yaitu di daerah penulis oknum
pegawai pemerintah melakukan intimidasi terhadap warga agar mencoblos salah satu
calon. Hal ini sangat menyeleweng sekali dari aturan pelaksanaan pemilu.
Tindakan ini paling sering terjadi. Padahal sudah sangat jelas sekali aturan aturan yang
berlaku dalam pemilu tersebut. Berbagai cara dilakukan seperti pemasangan baliho,
spanduk, selebaran. Sering juga untuk bakal calon yang merupakan Kepala daerah saat
itu melakukan kunjungan keberbagai daerah. Kunjungan ini intensitasnya sangat tinggi
ketika mendekati pemilu. Ini sangat berlawanan yaitu ketika sedang memimpin dulu.
Selain itu media TV lokal sering digunakan sebagi media kampanye. Bakal calon
menyam paikan visi misinya dalam acara tersbut padahal jadwal pelaksanaan
4. Kampanye negatif
Kampanye negatif ini dapat timbul karena kurangnya sosialisasi bakal calon kepada
masyarakat. Hal ini disebabkan karena sebagian masyarakat masih sangat kurang
terhadap pentingnya informasi. Jadi mereka hanya “manut” dengan orang yang
disekitar mereka yang menjadi panutannya. Kampanye negatif ini dapat mengarah
pemilhan kepala daerah maupun adanya indikasi akan permainan Money Politics
dalam acara pesta demokrasi daerah, maka penulis akan membahas mengenai arti
dari permasalahan awal dalam makalah ini, yaitu arti kata politik yang berasal dari
bahasa yunani yaitu Polis yang artinya kota (Pusat Pengaturan Rakyat). Jadi, yang
baik dari aspek kekuasaan, pemerintahan dan pengaturan dalam suatu negara.
oleh masyarakat daerah tersebut untuk memilih kepala daerahnya yang baru atau
Pemilihan Kepala Daerah baik untuk tingkatan Gubernur, Bupati, Walikota serta
para wakilnya di tentukan oleh adanya pemilihan secara langsung oleh rakyat
yang berazaskan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pilkada
(partisipasi pemilih yang mencoblos di TPS pada hari dan tanggal pemilihan).
sekitar 50 persen dari pemilih yang ikut mencoblos. Persentase Votter Turn-out itu
jelas sekali di bawah rata-rata Pemilu Nasional di Indonesia. Sejak Orde Baru
sampai dengan Orde Reformasi, rata-rata Votter Turnout itu sekitar 90 persen.
Secara hukum, rendahnya tingkat partisipasi publik itu tidak membatalkan pemilu.
Sejak awal negara kita menganut azas sukarela dalam partisipasi politik di dalam
pelaksanaan pemilu. Para pemilih boleh mendaftarkan diri sebagai pemilih, boleh
juga tidak. Bahkan pemilih yang sudah memiliki kartu pemilih boleh datang ke
tempat pemilihan, boleh juga tidak. Partisipasi politik itu dianggap menjadi hak
menjadi salah satu model demokrasi dunia, Votter Turn-out itu juga cukup rendah.
Bahkan dalam pemilu nasional yang memilih Presiden, persentase Votter Turn-out
itu sekitar 50 persen - 60 persen saja. Namun demokrasi terus berjalan. Pemimpin
yang terpilih juga memperoleh legitimasi yang kuat dari masyarakat. Tetapi, bagi
negara demokrasi yang baru dan juga baru dalam menjalankan demokrasi di
negaranya mapun negara yang baru berdiri, rendahnya Votter Turn-out cukup
Di negara itu, walau publik tidak datang ke tempat pemungutan suara, terasa tidak
banyak perbedaan yang dianut para kandidat. Ibarat hanya memilih antara Coca
Cola dan Pepsi Cola. Siapapun yang terpilih, sistem politik di sana sudah berjalan,
Votter Turn-out di sana tak berkaitan dengan Distrust atau ketidak percayaan
menjadi awal dari mosi tak percaya kepada demokrasi. Mereka menikmati
konkret mereka sehari-hari. Bahkan untuk banyak kasus, mereka justru merasa
lebih sengsara. Jika ini yang menjadi pangkalnya, rendahnya Votter Turn-out
dalam pilkada menjadi sinyal lampu kuning bagi masa depan demokrasi di
Indonesia. Sistem demokrasi tak pernah menjadi kokoh tanpa kepercayaan publik
atas keefektifannya.
menyebabkan terpilihnya kepala daerah yang berbeda. Untuk suatu daerah yang