Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang lazim disebut dengan

PILKADA baik pemilihan gubernur dan Wakil Gubernur maupun pemilihan Bupati

dan Wakil Bupati dan Wali Kota dan Wakil Wali Kota merupakan perwujudan dan

pengembalian hak - hak rakyat dalam memilih pemimpin di daerah. dengan Pilkada

langsung tersebut, rakyat memiliki kesempatan dan kedaulatan untuk menentukan

pemimpiin daerah secara langsung, bebas, rahasia dan otonom, sebagaimana rakyat

memilih presiden dan wakil presiden 9eksekutif), dan anggota DPD, DPR dan DPRD

(legislatif). Adapun Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, serta kewajiban

daerah otonom guna untuk mengatur serta mengurus sendiri urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat daerah tersebut yang sesuai dengan peraturan perundang-

undangan. Sehingga otonomi daerah dapat diartikan sebagai kewenangan untuk

mengatur sendiri atau kewenangan guna untuk membuat aturan untuk mengurus

daerahnya sendiri. Sedangkan daerah merupakan kesatuan masyarakat hukum dan

mempunyai batas-batas wilayah dan seperti yang kita tahu bahwa PILKADA dan

Otonomi ini sangat berkaitan.

Yang menjadi masalah adalah sistem pilkada langsung mengandung sejumlah

kelemahan. Ada sejumlah kelemahan menonjol yang bisa direnungkan sebagai bahan

kewaspadaan. Pertama, pilkada dalam era liberalisasi politik dengan kekuatan partai
politik yang masih dominan, memungkinkan sekali yang bisa bertempur di sana adalah

mereka yang memiliki kapital ekonomi dan politik yang kuat. Para pengusaha yang

sekaligus dekat dengan partai politik, atau para incumbent yang kaya, adalah yang

paling besar mendapatkan peluang masuk dalam bursa pencalonan pilkada.

Jadi, bukan figur-figur yang kompeten dalam kacamata kepemimpinan modern

yang bisa masuk di sana, tetapi justru mereka yang berkategori orang-orang kaya yang

berpeluang besar ikut masuk dalam bursa pilkada. Sementara orang-orang kaya itu,

dulu adalah yang justru selalu menjadi bagian dari objek kebijakan pemerintah.

Artinya, mereka yang selalu diatur, yang didisiplinkan dan ditata dalam menjalankan

kegiatan bisnisnya. Tetapi sekarang, mereka adalah yang akan tampil sebagai pengatur.

Sisi inilah yang merupakan salah satu aspek kelemahan yang menonjol.Kapitalisme

politik, dalam kerangka menyempurnakan kapitalisme ekonomi, kemungkinan akan

menemui momentumnya, dan di kemudian hari tidak mustahil akan menjadi problem

baru kita. Hal itu senada dengan teori "MPM" yang merupakan kepanjangan

dari Money - Power - More Money. Teori itu mengingatkan kepada kita akan arti

pentingnya pengaruh kapital dalam proyek demokrasi yang ujung-ujungnya kelas

menengah yang diuntungkan. Di titik itulah kewaspadaan publik tetap harus terjaga,

agar pilkada yang agak berbau kapitalistik ini tidak menimbulkan ekses bagi

melunturnya interest kepala daerah ke publik.


1.2 Rumusah Masalah

- Pelaksanaan dan penyelewengan pilkada

- Partisipasi Masyarakat dalam Pilkada dan Menghadapi Isu – isu SARA yang

terjadi selama Pilkada?


BAB II PEMBAHASAN

<x> Pelaksanaan dan Penyelewengan Pilkada

Pilkada ini ditujukan untuk memilih Kepala daerah di 226 wilayah yang

tersebar dalam 11 provinsi dan 215 di kabupaten dan kota. Rakyat memilih kepala

daerah masing masing secara langsung dan sesuai hati nurani masing masing. Dengan

begini diharapkan kepala daerah yang terpilih merupakan pilihan rakyat daerah

tersebut. Dalam pelaksanaannya pilkada dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum

Daerah masing masing. Tugas yang dilaksanakan KPUD ini sangat berat yaitu

mengatur pelaksanaan pilkada ini agar dapat terlaksana dengan demokratis. Mulai dari

seleksi bakal calon, persiapan kertas suara, hingga pelaksanaan pilkada ini.

Dalam pelaksanaannya selalu saja ada masalah yang timbul. Seringkali

ditemukan pemakaian ijasah palsu oleh bakal calon. Dan juga biaya untuk menjadi

calon yang tidak sedikit, jika tidak iklas ingin memimpin maka tidakan yang pertama

adalah mencari cara bagaimana supaya uangnya dapat segera kemali atau “balik

modal”. Ini sangat berbahaya sekali.

Dalam pelaksanaan pilkada ini pasti ada yang menang dan ada yang kalah.

Seringkali bagi pihak yang kalah tidak dapat menerima kekalahannya dengan lapang

dada. Sehingga dia akan mengerahkan massanya untuk mendatangi KPUD setempat.

Kasus kasus yang masih hangat yaitu pembakaran kantor KPUD salah satu provinsi di

pulau sumatra. Hal ini membuktikan sangat rendahnya kesadaran politik masyarakat.
Sehingga dari KPUD sebelum melaksanakan pemilihan umum, sering kali melakukan

Ikrar siap menang dan siap kalah. Namun tetap saja timbul masalah masalah tersebut.

Selain masalah dari para bakal calon, terdapat juga permasalahan yang timbul

dari KPUD setempat. Misalnya saja di Jakarta, para anggota KPUD terbukti melakukan

korupsi dana Pemilu tersebut. Dana yang seharusnya untuk pelakasanaan pemilu

ternyata dikorupsi. Dari sini dapat kita lihat yaitu rendahnya mental para penjabat. Dan

mungkin juga ketika proses penyeleksian bakal calon juga kejadian seperti ini.

Misalnya agar bisa lolos seleksi maka harus membayar puluhan juta.

Dalam pelaksanaan pilkada di lapangan banyak sekali ditemukan penyelewengan

penyelewengan. Kecurangan ini dilakukan oleh para bakal calon seperti :

1. Money politik

Sepertinya money politik ini selalu saja menyertai dalam setiap pelaksanaan pilkada.

Dengan memanfaatkan masalah ekonomi masyarakat yang cenderung masih rendah,

maka dengan mudah mereka dapat diperalat dengan mudah. Contoh yang nyata saja

yaitu di lingkungan penulis yaitu desa Karangwetan, Tegaltirto, Berbah, Sleman, juga

terjadi hal tersebut. Yaitu salah satu dari kader bakal calon membagi bagikan uang

kapada masyarakat dengan syarat harus memilih bakal calon tertentu. Tapi memang

dengan uang dapat membeli segalanya. Dengan masih rendahnya tingkat pendidikan

seseorang maka dengan mudah orang itu dapat diperalat dan diatur dengan mudah

hanya karena uang.

2. Intimidasi
Intimidasi ini juga sangat bahaya. Sebagai contoh juga yaitu di daerah penulis oknum

pegawai pemerintah melakukan intimidasi terhadap warga agar mencoblos salah satu

calon. Hal ini sangat menyeleweng sekali dari aturan pelaksanaan pemilu.

3. Pendahuluan start kampanye

Tindakan ini paling sering terjadi. Padahal sudah sangat jelas sekali aturan aturan yang

berlaku dalam pemilu tersebut. Berbagai cara dilakukan seperti pemasangan baliho,

spanduk, selebaran. Sering juga untuk bakal calon yang merupakan Kepala daerah saat

itu melakukan kunjungan keberbagai daerah. Kunjungan ini intensitasnya sangat tinggi

ketika mendekati pemilu. Ini sangat berlawanan yaitu ketika sedang memimpin dulu.

Selain itu media TV lokal sering digunakan sebagi media kampanye. Bakal calon

menyam paikan visi misinya dalam acara tersbut padahal jadwal pelaksanaan

kampanye belum dimulai.

4. Kampanye negatif

Kampanye negatif ini dapat timbul karena kurangnya sosialisasi bakal calon kepada

masyarakat. Hal ini disebabkan karena sebagian masyarakat masih sangat kurang

terhadap pentingnya informasi. Jadi mereka hanya “manut” dengan orang yang

disekitar mereka yang menjadi panutannya. Kampanye negatif ini dapat mengarah

dengan munculnya fitnah yang dapat merusak integritas daerah tersebut.


<x> Partisipasi Masyarakat dalam Pilkada dan Menghadapi Isu – isu

SARA yang terjadi selama Pilkada

Sebelum kita membahas akan apa partisipasi masyarakat dalam proses

pemilhan kepala daerah maupun adanya indikasi akan permainan Money Politics

dalam acara pesta demokrasi daerah, maka penulis akan membahas mengenai arti

dari permasalahan awal dalam makalah ini, yaitu arti kata politik yang berasal dari

bahasa yunani yaitu Polis yang artinya kota (Pusat Pengaturan Rakyat). Jadi, yang

dimaksud dengan Politik adalah pengetahuan tentang seluk beluk ketatanegaraan

baik dari aspek kekuasaan, pemerintahan dan pengaturan dalam suatu negara.

Pengertian PILKADA ialah pemilihan kepala daerah secara langsung

oleh masyarakat daerah tersebut untuk memilih kepala daerahnya yang baru atau

Pemilihan Kepala Daerah baik untuk tingkatan Gubernur, Bupati, Walikota serta

para wakilnya di tentukan oleh adanya pemilihan secara langsung oleh rakyat

yang berazaskan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pilkada

(Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung) sudah terjadi di ratusan tempat di

seluruh Indonesia. Namun, ada gejala mencolok yang cukup mengkhawatirkan

yang terjadi dalam masyarakat. Antusiasime publik dan tingkat partsipasi


masyarakat luas dalam pilkada itu cukup rendah. Ukuran paling mencolok dari

rendahnya keterlibatan publik itu adalah rendahnya tingkat Votter Turn-out

(partisipasi pemilih yang mencoblos di TPS pada hari dan tanggal pemilihan).

Di banyak daerah di Indonesia, hanya 70 persen pemilih yang terdaftar

yang datang ke tempat pemungutan suara. Di beberapa tempat, bahkan hanya

sekitar 50 persen dari pemilih yang ikut mencoblos. Persentase Votter Turn-out itu

jelas sekali di bawah rata-rata Pemilu Nasional di Indonesia. Sejak Orde Baru

sampai dengan Orde Reformasi, rata-rata Votter Turnout itu sekitar 90 persen.

Secara hukum, rendahnya tingkat partisipasi publik itu tidak membatalkan pemilu.

Sejak awal negara kita menganut azas sukarela dalam partisipasi politik di dalam

pelaksanaan pemilu. Para pemilih boleh mendaftarkan diri sebagai pemilih, boleh

juga tidak. Bahkan pemilih yang sudah memiliki kartu pemilih boleh datang ke

tempat pemilihan, boleh juga tidak. Partisipasi politik itu dianggap menjadi hak

warga negara bukan kewajiban dari warga negara.

Sebagai contoh perbandingan yang terjadi di Amerika Serikat, yang

menjadi salah satu model demokrasi dunia, Votter Turn-out itu juga cukup rendah.

Bahkan dalam pemilu nasional yang memilih Presiden, persentase Votter Turn-out

itu sekitar 50 persen - 60 persen saja. Namun demokrasi terus berjalan. Pemimpin

yang terpilih juga memperoleh legitimasi yang kuat dari masyarakat. Tetapi, bagi

negara demokrasi yang baru dan juga baru dalam menjalankan demokrasi di

negaranya mapun negara yang baru berdiri, rendahnya Votter Turn-out cukup

mengkhawatirkan, yang sangat berbeda dengan yang terjadi di Amerika Serikat.

Di negara itu, walau publik tidak datang ke tempat pemungutan suara, terasa tidak
banyak perbedaan yang dianut para kandidat. Ibarat hanya memilih antara Coca

Cola dan Pepsi Cola. Siapapun yang terpilih, sistem politik di sana sudah berjalan,

yang Prodemokrasi, Propasar Bebas, dan Prokebebasan Individu. Rendahnya

Votter Turn-out di sana tak berkaitan dengan Distrust atau ketidak percayaan

masyarakat kepada demokrasi.7

Di Indonesia, kita khawatir jika rendahnya Votter Turn-out itu akan

menjadi awal dari mosi tak percaya kepada demokrasi. Mereka menikmati

kebebasan politik yang dibawa oleh demokrasi. Namun, gunjang-ganjing

demokrasi itu belum mereka rasakan dalam memperbaiki kehidupan ekonomi

konkret mereka sehari-hari. Bahkan untuk banyak kasus, mereka justru merasa

lebih sengsara. Jika ini yang menjadi pangkalnya, rendahnya Votter Turn-out

dalam pilkada menjadi sinyal lampu kuning bagi masa depan demokrasi di

Indonesia. Sistem demokrasi tak pernah menjadi kokoh tanpa kepercayaan publik

atas keefektifannya.

Konsekuensi rendahnya Votter Turn-out dalam Pilkada dapat

menyebabkan terpilihnya kepala daerah yang berbeda. Untuk suatu daerah yang

Anda mungkin juga menyukai