Anda di halaman 1dari 4

Pendahuluan

Kusta adalah infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae (M. leprae)
yang bersifat intraseluler obligat terutama mengenai kulit dan sistem saraf tepi selanjutnya
dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas atas, mata, tulang dan testis kecuali
susunan saraf pusat.1,2 Mycobacterium leprae merupakan bakteri tahan asam (BTA) gram
positif, intraseluler obligat dengan panjang 1,5-8 mikron dan diameter 0,2-0,5 mikron. Bakteri
ini hidup dan berproliferasi pada tempertur antara 270C hingga 300C.3,4 Transmisi dapat terjadi
melalui kontak lama dan erat, inhalasi basil melalui sekresi nasal.4
Pasien kusta dapat dijumpai di seluruh dunia. Sebagian besar kasus terdapat di daerah
tropis dan subtropis.5 Penyakit ini endemis di banyak negara tropis dan subtropis termasuk
Brasil, India dan Indonesia. Ketiganya berkontribusi 82% dari kasus penemuan kusta baru
secara global.6,7 Di Indonesia, tahun 2014 dilaporkan dari 17.025 kasus baru kusta terdapat
83,5% kasus di antaranya merupakan tipe Multi Basiler (MB). Sedangkan menurut jenis
kelamin 62,6% penderita baru kusta berjenis kelamin laki-laki dan sebesar 37,4% lainnya
berjenis kelamin perempuan.8
Dalam penegakan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda kardinal (utama), yaitu:
a. Adanya bercak kulit yang mati rasa
Kelainan kulit berupa bercak hipopigmentasi atau eritematosa, baik mendatar (makula)
atau meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap
rasa raba, rasa suhu dan rasa nyeri.
b. Ditemukan penebalan saraf tepi
Penebalan saraf dapat disertai rasa nyeri dan juga disertai gangguan fungsi saraf yang
terkena, berupa gangguan fungsi sensoris (mati rasa), gangguan fungsi motoris (paresis
atau paralisis), gangguan fungsi otonom (kulit kering, edema, pertumbuhan rambut
yang terganggu).
c. Ditemukan bakteri tahan asam (BTA)
Ini dilakukan kerokan pada jaringan kulit, dimana bahan pemeriksaan adalah apusan
kulit cuping telinga dan lesi kulit pada bagian yang aktif, atau bahan dapat diperoleh
dari biopsi kulit atau saraf.9
Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan satu tanda
kardinal diatas. Bila kuman belum ditemukan atau tidak tersedia sarana pemeriksaan apusan
kulit, maka kita hanya dapat mengatakan tersangka kusta dan pasien perlu diamati dan
diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan.9
Berdasarkan Klasifikasi WHO, kusta diklasifikasikan menjadi pausibasiler (PB) dan
multibasiler (MB). Sedangkan berdasarkan Ridley Jopling kusta dibagi atas I(Indeterminate),
TT (Tuberkuloid-Tuberkuloid), BT(Borderline Tuberkuloid), BL (Borderline-Lepromatosa)
dan LL (Lepromatosa-Lepromatosa). Selain itu juga terdapat klasifikasi Internasional (Madrid)
dimana kusta dibagi menjadi I (Indeterminate), T (Tuberkuloid), B (Borderline) dan
Lepromatosa (L).10
Reaksi kusta atau reaksi lepra adalah suatu episode dalam perjalanan kronis penyakit
kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan atau reaksi antigen-antibodi dengan akibat
merugikan penderita, terutama jika mengenai saraf tepi karena menyebabkan gangguan fungsi
(cacat). Reaksi kusta dapat terjadi sebelum pengobatan tetapi terutama terjadi selama atau
sesudah pengobatan. Gambaran klinisnya sangat khas berupa panas, merah, bengkak dan dapat
disertai gangguan fungsi saraf. Namun tidak semua gejala reaksi serupa.11,12 Terdapat dua jenis
reaksi kusta yaitu reaksi tipe 1(reversal) dan reaksi tipe 2 (eritema nodosum leprosum/ ENL).
Penyebab terjadinya reaksi belum sepenuhnya dipahami. Diperkirakan terdapat sejumlah
factor pencetus yang berperan penting diantaranya yaitu penderita dalam kondisi stress fisik,
kehamilan, setelah imunisasi, penyakit infeksi penyerta, anemia, kurang gizi dan kelelahan
serta stress psikologis.11 Reaksi kusta tipe 2 terjadi pada penderita MB dan merupakan reaksi
humoral karena tingginya respon imun humoral pada penderita borderline dan lepromatous,
dimana tubuh membentuk antibodi karena salah satu protein M. Leprae bersifat antigenik. Jika
terjadi reaksi dengan antibodi sehingga membentuk kompleks imun dan menyebabkan nodul
merah yang disebut ENL (Erytema Nodosum Leprosum). Kompleks imun juga biasanya terjadi
ekstravaskuler dan dalam sirkulasi darah, sehingga dapat mengendap ke berbagai organ
terutama pada kulit, saraf, limfonodus, dan testis .13
Orkitis merupakan peradangan pada salah satu atau kedua testis yang disebabkan oleh
bakteri, virus dan akibat septicemia. Hal ini ditandai dengan demam, pembengkakan, teraba
lunak serta nyeri ketika berkemih. Diagnosis orkitis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik dengan ditemukan tanda radang dan pemeriksaan penunjang.
Tujuan penatalaksanaan ENL berupa orkitis adalah mengatasi inflamasi yang terjadi,
mengatasi nyeri dan mencegah episode reaksi selanjutnya. Pengobatan reaksi berat berupa
pemberian analgetik dan antipiretik jika diperlukan, apabila penderita masih dalam pengobatan
MDT maka MDT tetap diberikan, menghindari factor penctus dan memberikan obat anti reaksi.
Kortikosteroid, prednisone, biasanya digunakan untuk pengobatan reaksi kusta sedang sampai
berat. Dosis awal dapat diberikan 40-60 mg/hari dan kemudian dilakukan tapering off secara
perlahan setiap 2 minggu sesuai dengan respon klinis.
Laporan Kasus
Seorang laki-laki, usia 35 tahun, suku Jawa, tidak bekerja (putus sekolah) datang
berobat ke Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP H.Adam Malik Medan dengan
keluhan utama timbul benjolan kemerahan disertai nyeri pada testis penderita 5 hari ini.
Demam dan pegal-pegal dibadan dirasakan oleh pasien dan bersifat hilang timbul dalam 7 hari
terakhir. pasien didiagnosis sebagai kusta tipe multibasiler dan mendapat pengobatan MDT-
MB 4 bulan yang lalu. Pasien juga mengeluhkan kulit kering pada tangan dan kaki pasien.
Pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum sedang dengan skala nyeri 2, status gizi
baik, tanda vital dalam batas normal. Madarosis tidak dijumpai. konjungtiva palpebra inferior
tidak pucat. Tidak dijumpai pembesaran kelenjar getah bening leher, tidak dijumpai
pembesaran hepar dan lien. Kulit tampak kering pada ekstremitas, dada dan punggung.
Tidak dijumpai pembesaran saraf tepi. Pemeriksaan fungsi sensibilitas dijumpai
anastesi pada makula eritema regio tibialis dekstra et sinistra. Pemeriksaan fungsi motorik
dalam batas normal. Pasien kemudian didiagnosis banding dengan reaksi tipe 2 kusta tipe
multibasiler, eritema nodosum dan vaskulitis noduler. Diagnosis sementara adalah reaksi tipe
2 kusta tipe multibasiler.
Riwayat hasil pemeriksaan bakteriologis bakteri tahan asam pada bulan Desember 2015
diperoleh hasil indeks bakteriologis cuping telinga kiri (+)1, cuping telinga kanan (+)1 dan
pada lesi lengan kanan (+)2. Hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 19 Juli 2016 adalah
Hb 12.4 gr/dl, leukosit 14.200/mm3, hematokrit 37,60%, LED 15 mm/jam, Neutrofil 60,
Limfosit 31,8, monosit 5,8, eosinofil 2.2, basofil 0,2, SGOT 17 u/l, SGPT 45 u/l, ureum 21,60
mg/dl, kreatinin 0,71 mg/dl. Kesan pemeriksaan darah lengkap dalam batas normal. Diagnosis
kerja pada pasien ini adalah reaksi tipe 2 pada kusta tipe multibasiler.
Penatalaksanaan pada pasien ini adalah pemberian paket MDT-MB yang terdiri atas
rifampisin 600 mg/bulan, klofazimin 300 mg/bulan (diminum didepan petugas) dan dilanjutkan
dengan klofazimin 50 mg/hari serta dapson 100 mg/hari. Pengobatan untuk reaksi kusta
diberikan prednisone 40 mg/hari (1x8 tablet). Sebagai analgetik diberikan parasetamol 500 mg
2x1 dan krem urea 10% (soft u derm) untuk kulit yang kering. Pasien diberikan edukasi untuk
beristirahat yang cukup, menghindari stress dan kontrol teratur setiap 2 minggu.
Prognosis pada pasien ini quo ad vitam bonam, quo ad functionam bonam, quo ad
sanactionam dubia ad bonam.

Anda mungkin juga menyukai