Anda di halaman 1dari 22

STROKE HEMORAGIK

A. DEFINISI
Stroke hemoragik adalah pecahnya pembuluh darah otak menyebabkan
keluarnya darah ke jaringan parenkim otak, ruang cairan serebrospinalis disekitar
otak atau kombinasi keduanya. Perdarahan tersebut menyebabkan gangguan
serabut saraf otak melalui penekanan struktur otak dan juga oleh hematom yang
menyebabkan iskemia pada jaringan sekitarnya. Peningkatan tekanan intrakranial
pada gilirannya akan menimbulkan herniasi jaringan otak dan menekan batang
otak (Israr, 2008).

B. EPIDEMIOLOGI
Setelah stroke, sel otak mati dan hematom yg terbentuk akan diserap
kembali secara bertahap. Proses alami ini selesai dlm waktu 3 bulan. Pada saat itu,
1/3 orang yang selamat menjadi tergantung dan mungkin mengalami komplikasi
yang dapat menyebabkan kematian atau cacat (Anonim, 2011).
Diperkirakan ada 500.000 penduduk yang terkena stroke. Dari jumlah
tersebut (Anonim, 2011):
 1/3 pasien bisa pulih kembali,
 1/3 pasien mengalami gangguan fungsional ringan sampai sedang,
 1/3 sisanya mengalami gangguan fungsional berat yang mengharuskan
penderita terus menerus di kasur.
Hanya 10-15 % penderita stroke bisa kembali hidup normal seperti sedia
kala, sisanya mengalami cacat, sehingga banyak penderita Stroke menderita stress
akibat kecacatan yang ditimbulkan setelah diserang stroke (Anonim, 2011).

C. ETIOLOGI
Stroke hemoragik, yang merupakan sekitar 15% sampai 20% dari semua
stroke, dapat terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum mengalami rupture
sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subarachnoid atau langsung ke dalam
jaringan otak. perdarahan intraserebral selalu disebabkan oleh pecahnya arteri
arteriosklerotik kecil yang menyebabkan melemahnya pembuluh darah, terutama
oleh hipertensi arterial kronik. Perdarahan lazimnya besar, tunggal, dan
merupakan bencana. Penggunaan kokain atau kadang-kadang obat simptomatik
lainnya dapat menyebabkan hipertensi singkat yang parah yang menyebabkan
perdarahan. Perdarahan intraserebral akibat dari aneurisma congenital,
arteriovenosa atau kelainan vascular lainnya, trauma, aneurisma mycotic, infark
otak (infark hemoragik), primer atau metastasis tumor otak, antikoagulasi
berlebihan, dyscrasia darah, perdarahan atau gangguan vasculitic jarang terjadi
(Hartwig, 2005).
Stroke hemoragik subarachnoid sering disebabkan oleh kelainan arteri
yang berada di pangkal otak, yang dinamakan aneurisma serebral. Perdarahan
subarachnoid secara spontan sering berkaitan dengan pecahnya aneurisma (85%),
kerusakan dinding arteri pada otak. Dalam banyak kasus PSA merupakan kaitan
dari pendarahan aneurisma. Penelitian membuktikan aneurisma yang lebih besar
kemungkinannya bisa pecah. Selanjutnya 10% kasus dikaitkan dengan non
aneurisma perimesencephalic hemoragik, dimana darah dibatasi pada daerah otak
tengah. Aneurisma tidak ditemukan secara umum. 5% berikutnya berkaitan
dengan kerusakan rongga arteri, gangguan lain yang mempengaruhi vessels,
gangguan pembuluh darah pada sumsum tulang belakang dan perdarahan berbagai
jenis tumor (Hartwig, 2005).

D. FAKTOR RISIKO
Beban akibat stroke mencapai 40 miliar dollar setahun, selain untuk
pengobatan dan perawatan, juga akibat hilangnya pekerjaan serta turunnya
kualitas hidup (Currie et al., 1997). Kerugian ini akan berkurang jika
pengendalian faktor risiko dilaksanakan dengan ketat (Cohen, 2000). (Tabel 1 )
(Setyopranoto, 2011).
Tabel 1. Faktor Risiko Stroke

E. KLASIFIKASI
Stroke Hemoragik terbagi 2, sebagai berikut (Anonim, 2011).
1) Perdarahan intraserebral
Perdarahan intraserebral adalah perdarahan dari salah satu arteri otak ke
dalam jaringan otak. Lesi ini menyebabkan gejala yang terlihat mirip dengan
stroke iskhemik. Diagnosis perdarahan intraserebral tergantung pada
neuroimaging yang dapat dibedakan dengan stroke iskhemik. Stroke ini lebih
umum terjadi di negara-negara berkembang daripada Negara-negara maju,
penyebabnya masih belum jelas namun variasi dalam diet, aktivitas fisik,
pengobatan hipertensi, dan predisposisi genetik dapat mempengaruhi penyakit
stroke tersebut.
2) Perdarahan ekstra serebral (Subarakhnoid)
Perdarahan subarachnoid dicirikan oleh perdarahan arteri di ruang antara
dua meningen yaitu piameter dan arachnoidea. Gejala yang terlihat jelas penderita
tiba-tiba mengalami sakit kepala yang sangat parah dan biasanya terjadi gangguan
kesadaran. Gejala yang menyerupai stroke dapat sering terjadi tetapi jarang.
Diagnosis dapat dilakukan dengan neuroimaging dan lumbal puncture.
Gambar 1. Stroke hemoragik intraserebral dan ekstraserebral (subarachnoid)

F. PATOFISIOLOGI
Perdarahan intraserebral ke dalam jaringan otak (parenkim) paling sering
terjadi akibat cedera vascular yang dipicu oleh hipertensi dan rupture salah satu
dari banyak arteri kecil yang menembus jauh ke dalam jaringan otak. Stroke yang
disebabkan oleh perdarahan intraserebral paling sering terjadi pada saat pasien
terjaga dan aktif, sehingga kejadiannya sering disaksikan oleh orang lain. Karena
lokasinya berdekatan dengan arteri-arteri dalam, basal ganglia dan kapsula interna
sering menerima beban terbesar tekanan dan iskemia yang disebabkan oleh stroke
tipe ini. Dengan mengingat bahwa ganglia basal memodulasi fungsi motorik
volunter dan bahwa semua saraf aferen dan eferen di separuh korteks mengalami
pemadatan untuk masuk dan keluar dari kapsula interna, maka dapat dilihat bahwa
stroke di salah satu bagian ini diperkirakan menimbulkan defisit yang sangat
merugikan. Biasanya perdarahan di bagian dalam jaringan otak menyebabkan
defisit neurologik fokal yang cepat dan memburuk secara progresif dalam
beberapa menit sampai kurang dari 2 jam. Hemiparesis di sisi yang berlawanan
dari letak perdarahan merupakan tanda khas pertama pada keterlibatan kapsula
interna. Infark serebrum setelah embolus di suatu arteri otak mungkin terjadi
sebagai akibat perdarahan bukan sumbatan oleh embolus itu sendiri. Alasannya
adalah bahwa, apabila embolus lenyap atau dibersihkan dari arteri, dinding
pembuluh setelah tempat oklusi mengalami perlemahan selama beberapa hari
pertama setelah oklusi. Dengan demikian, selama waktu ini dapat terjadi
kebocoran atau perdarahan dari dinding pembuluh yang melemah ini. Karena itu,
hipertensi perlu dikendalikan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut pada
minggu-minggu pertama setelah stroke embolik. Perdarahan yang terjadi di ruang
supratentorium (di atas tentorium serebeli) memiliki prognosis baik apabila
volume darah sedikit. Namun perdarahan ke dalam ruang infratentorium di daerah
pons atau serebelum memiliki prognosis yang jauh lebih buruk karena cepatnya
timbul tekanan pada struktur-struktur vital di batang otak (Hartwig, 2005).
Perdarahan subarachnoid (PSA) terjadi akibat pembuluh darah disekitar
permukaan otak pecah, sehingga terjadi ekstravasasi darah ke ruang subarachnoid
lapisan meningen dapat berlangsung cepat, maka kematian sangat tinggi-sekitar
50% pada bulan pertama setelah perdarahan. Penyebab tingginya angka kematian
ini adalah bahwa empat penyulit utama dapat menyebabkan iskemia otak serta
morbiditas dan mortalitas “tipe lambat” yang dapat terjadi lama setelah
perdarahan terkendali. Penyulit-penyulit tersebut adalah : 1). vasospasme reaktif
disertai infark, 2). ruptur ulang, 3). hiponatremia, dan 4). hidrosefalus. Bagi pasien
yang bertahan hidup setelah perdarahan awal, ruptur ulang atau perdarahan ulang
adalah penyulit paling berbahaya pada masa pascaperdarahan dini. Perdarahan
subarachnoid umumnya disebabkan oleh rupturnya aneurisma sakular atau
perdarahan dari arteriovenous malformation (AVM) (Hartwig, 2005).
HT, aneurysm, Rupture
arterio-venous
malformation
Hemorrhage / bleedin

Oxygen
PaCO2
suplly

Vasodilatation Hypoxia

Neurologic
ICP
function

Herniasi Signs & symptoms of st


hemorrhagic (nervous, SM
Hepar, resp, CV, renal, end

G. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinis dari stroke perdarahan ditinjau berdasarkan jenisnya
sebagai berikut (Israr, 2008):
1. Perdarahan intraserebral
Perdarahan intraserebral ditemukan pada 10% dari seluruh kasus stroke,
terdiri dari 80% di hemisfer otak dan sisanya di batang otak dan serebelum.
Gejala klinisnya sebagai berikut.
 Onset perdarahan bersifat mendadak, terutama sewaktu melakukan aktivitas
dan dapat didahului oleh gejala prodromal berupa peningkatan tekanan darah
yaitu nyeri kepala, mual, muntah, gangguan memori, bingung, perdarahan
retina, dan epistaksis.
 Penurunan kesadaran yang berat sampai koma disertai
hemiplegia/hemiparese dan dapat disertai kejang fokal / umum.
 Tanda-tanda penekanan batang otak, gejala pupil unilateral, refleks
pergerakan bola mata menghilang dan deserebrasi
 Dapat dijumpai tanda-tanda tekanan tinggi intrakranial (TTIK), misalnya
papiledema dan perdarahan subhialoid.
2. Perdarahan subarakhnoid
Perdarahan subarakhnoid adalah suatu keadaan dimana terjadi perdarahan
di ruang subarakhnoid yang timbul secara primer.
Gejala klinisnya adalah sebagai berikut.
 Onset penyakit berupa nyeri kepala mendadak seperti meledak, dramatis,
berlangsung dalam 1 – 2 detik sampai 1 menit.
 Vertigo, mual, muntah, banyak keringat, mengigil, mudah terangsang, gelisah
dan kejang.
 Dapat ditemukan penurunan kesadaran dan kemudian sadar dalam beberapa
menit sampai beberapa jam.
 Dijumpai gejala-gejala rangsang meningen
 Perdarahan retina berupa perdarahan subhialid merupakan gejala
karakteristik perdarahan subarakhnoid.
 Gangguan fungsi otonom berupa bradikardi atau takikardi, hipotensi atau
hipertensi, banyak keringat, suhu badan meningkat, atau gangguan pernafasan

H. PEMERIKSAAN
1. Anamnesis (Sidharta, 2008)
Anamnesanya adalah khas yaitu penderita hipertensif secara tiba-tiba jatuh
karena terserang kelumpuhan tubuh sesisi secara serentak. Biasanya terdapat saat
dengan “stress” atau emosi (marah-marah) yang mendahului serangan ‘stroke’
tersebut. Orang yang mengidap ‘stroke’ hemoragik selalu memperlihatkan wajah
yang pletorik, asimetrik karena salah satu sudut mulut lebih rendah, berkeringat
banyak, kedua bola mata melirik terus-menerus kea rah lesi (‘deviation conjugee’)
dan nafas yang dalam keadaan koma.
Tindakan terhadap ‘stroke’ hemoragik dimana terjadi perdarahan besar
ialah ‘membiarkan penderita meninggal dengan tenang’. Ini tidak berarti bahwa
dokter meninggalkan penderita dan memberitahukan kepada keluarganya bahwa
orang-orang sudah pada ajalnya, tetapi ia harus tetap mendamoingi orang sakit
dan bertindak sebagai berikut:
a. Observasi tekanan darah, nadi dan pupil.
b. Mengatur sikap penderita
2. Pemeriksaan penunjang (Anonim, 2011)
Menurut Doenges (1999) pemeriksaan laboratorium meliputi:
a. CT.scan, memperlihatkan adanya cidera, hematoma, iskhemia infark.
b. Angiografi cerebral, membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik
seperti: perdarahan, obstruksi, arteri adanya ruptur.
c. Fungsi lumbal, menunjukan adanya tekanan normal dan biasanya ada
thrombosis embolis serebral dan tekanan intracranial (TIK). Tekanan
meningkat dan cairan yang mengandung darah menunjukkan adanya
haemoragik subarachnoid, perdarahan intra kranial.
d. Magnetik Resonance imaging (MRI), Menunjukan ada yang mengalami
infark.
e. Ultrasonografi dopler, mengidentifikasi penyakit artemovena
f. Elektroencefalogram (EEG), Mengidentifikasi masalah didasarkan pada
gelombang otak dan mungkin memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
g. Sinar X tengkorak: menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal
daerah yang berlawanan dari masa yang meluas klasifikasi karotis interna
terdapat pada trombosis cerebral, klasifikasi parsial dinding aneurisma pada
perdarahan subarachnoid.

I. PENATALAKSANAAN
Manajemen stroke hemoragik (Setyopranoto, 2011):
a. Perburukan pada stroke hemoragik
 Efek massa
 Hb → Hemosiderin
 Global iskemia
 Pelepasan mediator vasokonstriksi
b. Terapi umum stroke hemoragik
 Masuk ICU jika volume darah >30 cc, perdarahan intraventrikel dengan
hidrosefalus dan memburuk.
 TD diturunkan 15-20% bila TDS >180, TDD >120, MAP >130, dan
volume darah bertambah.
 Gagal jantung, tensi diturunkan dengan labetolol i.v. dosis 10 mg (dlm 2
mnt) sampai 20 mg (dlm 10 mnt) max 300 mg; enelapril i.v. 0,625-1.25
mg per 6 jam; Captopril 3 kali 6,25-25 mg peroral.
 Jika TIK meningkat, posisi kepala 30°, bisa diberi manitol dan
hiperventilasi (PCO220-35 mmHg).
 Jika ada tukak dapat diberi antagonis H2, sukralfat, atau inhibitor pompa
proton.
 Komplikasi respirasi → fisioterapi dan antibiotika
c. Terapi khusus stroke hemoragik
 Pemberian neuroprotektor kecuali bersifat vasodilator.
 Pembedahan dengan pertimbangan usia dan letak lesi (serebelum dgn
diameter >3 cm3), hidrosefalus → pemasangan VP-shunt dan perdarahan
lobar >60 cc dengan tanda-tanda TIK meningkat.
 Pada SAH dapat diberi Calsium antagonis (nimodipine) maupun
pembedahan (aneurisma, AVM) dengan ligasi, embolisasi, ekstirpasi,
gamma knife.
 Jika kejang beri diazepam 5-20 mg i.v. pelan (3 mnt) maks100 mg perhari
dan dilanjutkan pemberian fenitoinatau carbamazepin selama 1 bulan. Bila
kejang timbul setelah 2 minggu beri antikonvulsan peroral jangka panjang.
 TIK meningkat berimanitol bolus i.v. 0,25-1 g/kgBB per 30 menit,
dilanjutkan 0,25g/kg per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5 hari, dapat juga
diberi NaCl 3% atau furosemid.
d. Indikasi bedah pada stroke hemoragik
 Perdarahan serebelar > 3 cm dengan perburukan klinis atau kompresi
batang otak dan hidrosefalus akibat obstruksi ventrikel.
 Perdarahan intra serebral dgn lesi struktural (aneurisma, MAV atau
angioma kavernosa), jika mempunyai harapan outcome baik dan lesi
strukturnya terjangkau / accessible.
 Pasien usia muda dengan perdarahan lobar sedang s/d besar (≥ 50 cm3)
yang memburuk.
e. Bukan indikasi bedah pada stroke hemoragik
 Pasien dengan perdarahan kecil (<10cm3) atau defisit neurologis
minimal.
 Pasien dengan GCS ≤4.
 Meskipun pasien GCS ≤4 dengan perdarahan serebelar disertai kompresi
batang otak masih mungkin dioperasi untuk life saving.
Tatalaksana terapi stroke hemoragik adalah sebagai berikut (Israr, 2008):
a. Tujuan terapi:
 Mengatasi penyebab dari stroke hemoragik jadi terapi diberikan sesuai
dengan penyebabnya
 Mengatasi perdarahan
b. Sasaran Terapi:
 Penyebab stroke hemoragik
 Perdarahan
c. Terapi non farmakologi:
 Kendalikan tekanan darah tinggi (hipertensi)
 Mengurangi asupan kolesterol dan lemak jenuh
 Tidak merokok
 Kontrol diabetes dan berat badan
 Olahraga teratur dan mengurangi stress
 Konsumsi makanan kaya serat
 Pembedahan: Untuk lokasi perdarahan dekat permukaan otak.
d. Terapi farmakologi:
1) Vitamin K
 Mekanisme kerja
Mekanisme kerja dengan meningkatkan biosintesis beberapa factor
pembekuan daraj yaitu protombin, factor VII, IX, X di hepar. Aktivasi X
menjadi Xa oleh factor VIIa, TF dan Ca2+ dari jalur ekstrinsic dan factor
IXa, VIIIa dan Ca2+ dari jalur intrinsic. Kemudian factor Xa dibantu oleh
Ca2+ dan factor Va akan mengaktifkan protombin menjadi thrombin.
Trombin kemudian mengaktivasi factor XIII dan XIIIa yang akan
mengkatalisis perubahan fibrinogen menjadi fibrin.
 Faktor-faktor pembekuan darah mekanisme kerja:
 aktivasi tromboplastin
 pembentukan thrombin dari protombin
 pembentukan fibrin dari fibrinogen
 Vitamin K ada 2 jenis : Menadiol Sodium Fosfat yang bersifat larut dalam air
dan Fitomenadion (vitamin K1) yang larut dalam lemak.
1) Menadiol Sodium Fosfat
 Indikasi: defisiensi vitamin K (misalnya pada sumbatan empedu atau
penyakit hati)
 Kontraindikasi: neonatus, bayi, hamil tua
 Dosis: 1-12 tahun 5-10 mg per hari, 12-18 tahun 10-10 mg per hari,
dewasa 10-40 mg per hari.
 Sediaan: tablet 10 mg
 Interaksi: vitamin K melawan efek antikoagulan coumarin dan
fenindion
2) Vitamin K1
 Indikasi: defisiensi vitamin K (misalnya pada sumbatan empedu atau
penyakit hati)
 Kontraindikasi: neonates, bayi, hamil tua
 Dosis: 1-12 tahun 5-10 mg per hari, 12-18 tahun 10-20 mg per hari,
dewasa 10-40 mg per hari.
 Sediaan: tablet 10 mg
 Interaksi : vitamin K melawan efek antikoagulan coumarin dan
fenindion.
2) Protamin
 Dosis: Injeksi intravena (kecepatan tidak lebih dari 5 mg/menit), 1 mg
menetralkan 80-100 unit heparin bila diberikan dalam waktu lebih panjang,
diperlukan protamin lebih sedikit karena heparin diekskresi dengan cepat;
maksimal 50 mg.
 Indikasi: Digunakan untuk mengatasi over dosis heparin, namun jika
digunakan berlebihan memiliki efek antikoagulan. Jika perdarahan yang
terjadi saat pemberian heparin hanya ringan, protamin sulfat tidak perlu
diberikan karena penghentian heparin biasanya akan menghentikan
perdarahan dalam beberapa jam.
 Kontraindikasi: Hipersensitif terhadap protamin
 Efek samping: Mual, muntah, muka merah, hipontensi, bradikardi, dispnea,
reaksi hipersensitif (termasuk angiodema, anafilaksis) pernah dilaporkan.
 Mekanisme kerja: Protamin sulfat merupakan basa kuat, bekerja sebagai
antagonis heparin pada in vitro dan in vivo dengan cara membentuk
kompleks bersama heparin yang bersifat asam kuat menjadi bentuk garam
stabil. Kompleks heparin dan protamin tidak mempunyai efek antikoagulan.
 Bentuk sediaan: Injeksi intravena
3) Asam traneksamat
 Indikasi: Asam traneksamat adalah obat antifibrinolitik yang menghambat
pemutusan benang fibrin. Asam traneksamat digunakan untuk profilaksis dan
pengobatan pendarahan yang disebabkan fibrinolisis yang berlebihan dan
angiodema hereditas.
 Mekanisme kerja: asam traneksamat kompetitif menghambat aktivasi
plasminogen sehingga mengurangi konversi plasminogen menjadi plasmin
(fibrinolisin), enzim yang mendegradasi gumpalan fibrinogen dan protein
plasma lainnya termasuk faktor prokoagulan V dan VIII. Oleh karena itu,
dapat mengatasi perdarahan berat akibat fibrinolisis yang berlebihan.
 Dosis: Oral 1-1.5 gr (15-25 mg/kg) 2-4 kali sehari. Dosis injeksi inravena
perlahan: 0.5-1 gr (10 mg/kg) 3 kali sehari. Dosis infuse kontinyu 25-50 mg
per kg setiap hari.
 Efek samping: sakit dada, vasospasme, syok hemoragik, demam, sakit
kepala, kedinginan, urtikaria, alopesia, disestesis pedis, purpura, eczema,
nekrosis kutan, plak eritematosis, hiperkelemia, hiperlipidemia, mual,
muntah, konstipasi, hemorage, ditemukan darah pada urin, epiktasis,
hemoragik adrenalin, hemoragik retriperitonial, trombositopenia, peningkatan
enzim SGOT,SGPT, ulserasi, nekrosis kutan yang disebabkan karena injeksi
subkutan, neropati perifer, osteoporosis, konjungtivitis, hemoptisis,
hemoragik pulmonary, asma arthritis, rhinitis, bronkospasme, reaksi alergi
kemudian reaksi anafilaktik.
 Interaksi dengan obat lain: obat yang berfungsi untuk menjaga hemostasis
tidak diberikan bersamaan dengan obat anti fibrinolitik. Pembentukan
thrombus akan meningkat dengan adanya O estrogen atau mekanisme
antifibrinolitik diantagonis oleh senyawa trombolitik.
 Mekanisme kerja: asam traneksamat bekerja dengan sama memblok ikatan
plasminogen dan plasmin terhadap fibrin; inhibisi terhadap plasmin ini sangat
terbatas pada tingkat tertentu.
 Bentuk: sediaan kapsul 250 mg, tablet 500 mg, injeksi 50 ml.
4) Calsium Chanel Blocker: Nimodipin
 Indikasi: merupakan Ca chanel bloker dengan aktivitas serebrovaskuler
preferensial. Hal ini ditandai dengan efek dilatasi dan menurunkan tekanan
darah pada serebrovaskuler.
 Mekanisme kerja: nimodipin ternasuk dalam kelas agen farmakologis dikenal
sebagai kalsium chanel blocker. Nimodipin diindikasikan untuk peningkatan
hasil neurologis dengan mengurangi insiden dan keparahan deficit iskemik
pada pasien dengan perdarhan subarachnoid dari pecahnya aneurisme. Proses
kontraktil sel-sel otot polos tergantung pada ion kalsium sel selama
depolarisasi sebagai penghambat arus transmembran. Nimodipin
menghambat transfer ion kalsiun ke dalam sel dan demikian menghambat
kontraksi otot polos vaskuler.
 Dosis: PO / nasogastrik 60 mg/4 jam selam 21 hari berturut-turut. Memulai
terapi dalam waktu 96 jam perdarahan subarachnoid.
5) Terapi suportif: infuse manitol
 Indikasi: menurunkan tekanan intrakranial yang tinggi karena edema
serebral.
 Mekanisme kerja: kenaikan tekanan intrakranial dan adanya edema serebral
pada hemoragik dapat terjadi karena dari efek gumpalan hematoma. Manitol
bekerja untuk meningkatkan osmolaritas plasma darah, mengakibatkan
peningkatan air dari jaringan, termasuk otak dan cairan serebrospinal, ke
dalam cairan interstisial dan plasma. Akibatnya edema otak, peningkatan
tekanan intrakranial serta volume dan cairan serebrospinal dapat dikurangi.
 Dosis, lama dan cara pemberian: tekanan intracranial; edema serebral; 1.5-2
gr/kg dosis IV dalam 15,20, atau 25% larutan selam 30-60 menit pertahankan
osmolarotas serum 310 sampai >320 mOsm/kg.

J. KOMPLIKASI
Individu yang mengalami CVS mayor pada bagian otak yang mengontrol
respons pernapasan atau cardiovaskuler dapat meninggal. Destruksi area ekspresif
atau reseptif pada otak akibat hipoksia dapat menyebabkan paresis. Perubahan
emosional dapat terjadi pada kerusakan korteks, yang mencakup sistem limbik
(Corwin, 2009).
Hematoma intraserebral dapat disebabkan oleh pecahnya aneurisme atau
stroke hemoragik, yang menyebabkan cedera otak sekunder ketika tekanan
intracranial meningkat (Corwin, 2009).

K. PROGNOSIS
Sekitar 35% dari orang meninggal ketika memiliki perdarahan
subarachnoid akibat aneurisme. 15% lainnya meninggal karena mengakibatkan
kerusakan otak yang luas dalam waktu beberapa minggu karena pendarahan dari
pecahnya kedua. Orang yang bertahan hidup selama 6 bulan tetapi yang tidak
memiliki operasi untuk aneurisma memiliki kesempatan 3% lain pecah setiap
tahun. Pandangan ini lebih baik bila penyebabnya adalah kelainan arteriovenosa.
Kadang-kadang, perdarahan disebabkan oleh cacat kecil yang tidak terdeteksi oleh
angiography cerebral karena cacat telah tertutup dengan sendirinya. Dalam kasus
tersebut, prospek sangat baik. Beberapa orang kembali sebagian besar atau
seluruh fungsi mental dan fisik setelah perdarahan subarachnoid. Namun, banyak
orang terus memiliki gejala seperti lemah, lumpuh, atau kehilangan sensasi pada
satu sisi tubuh atau aphasia (Anonim, 2011).

L. PENGKAJIAN
a. Pengkajian Primer
Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret
akibat kelemahan reflek batuk
Breathing
Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan
yang sulit dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi
Circulation
TD dapat normal atau meningkat, hipotensi terjadi pada tahap lanjut,
takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan
membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut
b. Pengkajian Sekunder
1) Aktivitas dan istirahat
Data Subyektif:
a) Kesulitan dalam beraktivitas; kelemahan, kehilangan sensasi atau
paralysis.
b) Mudah lelah, kesulitan istirahat (nyeri atau kejang otot).
Data obyektif:
a) Perubahan tingkat kesadaran.
b) Perubahan tonus otot (flaksid atau spastic), paraliysis (hemiplegia),
kelemahan umum.
c) Gangguan penglihatan.
2) Sirkulasi
Data Subyektif:
a) Riwayat penyakit jantung (penyakit katup jantung, disritmia, gagal
jantung, endokarditis bacterial), polisitemia.
Data obyektif:
a) Hipertensi arteri.
b) Disritmia, perubahan EKG.
c) Pulsasi: kemungkinan bervariasi.
d) Denyut karotis, femoral dan arteri iliaka atau aorta abdominal.
3) Integritas ego
Data Subyektif:
a) Perasaan tidak berdaya, hilang harapan.
Data obyektif:
a) Emosi yang labil dan marah yang tidak tepat, kesediahan, kegembiraan.
b) kesulitan berekspresi diri.
4) Eliminasi
Data Subyektif:
a) Inkontinensia, anuria.
b) Distensi abdomen (kandung kemih sangat penuh), tidak adanya suara
usus (ileus paralitik).
5) Makan/ minum
Data Subyektif:
a) Nafsu makan hilang.
b) Nausea /vomitus menandakan adanya PTIK.
c) Kehilangan sensasi lidah, pipi, tenggorokan, disfagia.
d) Riwayat DM, Peningkatan lemak dalam darah
Data obyektif:
a) Problem dalam mengunyah (menurunnya reflek palatum dan faring)
b) Obesitas ( factor resiko )
6) Sensori neural
Data Subyektif:
a) Pusing/syncope (sebelum CVA).
b) Nyeri kepala: pada perdarahan intra serebral atau perdarahan sub
arachnoid.
c) Kelemahan, kesemutan/kebas, sisi yang terkena terlihat seperti
lumpuh/mati.
d) Refleks pupil
e) Sentuhan: kehilangan sensor pada sisi kolateral pada ekstremitas dan
pada muka ipsilateral (sisi yang sama).
Data obyektif
a) Status mental; koma biasanya menandai stadium perdarahan, gangguan
tingkah laku (seperti: letergi, apatis, menyerang) dan gangguan fungsi
kognitif.
b) Ekstremitas: kelemahan/paraliysis (kontralateral pada semua jenis stroke,
genggaman tangan tidak imbang, berkurangnya reflek tendon
dalam (kontralateral).
c) Wajah: paralisis/parese (ipsilateral).
d) Afasia (kerusakan atau kehilangan fungsi bahasa, kemungkinan
ekspresif/kesulitan berkata kata, reseptif/kesulitan berkata kata
komprehensif, global / kombinasi dari keduanya.
e) Kehilangan kemampuan mengenal atau melihat, pendengaran, stimuli
taktil.
f) Apraksia: kehilangan kemampuan menggunakan motorik.
g) Reaksi dan ukuran pupil: tidak sama dilatasi dan tak bereaksi pada sisi
ipsi lateral.
7) Nyeri / kenyamanan
Data Subyektif:
a) Sakit kepala yang bervariasi intensitasnya.
Data obyektif:
a) Tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, ketegangan otot/fasial.
8) Respirasi.
Data Subyektif:
a) Perokok (factor resiko).
9) Keamanan
Data obyektif:
a) Motorik/sensorik: masalah dengan penglihatan.
b) Perubahan persepsi terhadap tubuh, kesulitan untuk melihat objek, hilang
kewasadaan terhadap bagian tubuh yang sakit.
c) Tidak mampu mengenali objek, warna, kata, dan wajah yang pernah
dikenali.
d) Gangguan berespon terhadap panas, dan dingin/gangguan regulasi suhu
tubuh.
e) Gangguan dalam memutuskan, perhatian sedikit terhadap keamanan,
berkurang kesadaran diri.
10) Interaksi social
Data obyektif:
a) Problem berbicara, ketidakmampuan berkomunikasi.
M. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul antara lain yaitu (Nurarif,
2013) :
1. Perubahan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan pendarahan
intraserebri, vasospasme, dan edema.
2. Gangguan mobillitas fisik yang berhubungan dengan hemiparese, hemiplagia,
kelemahan neuromuscular pada ekstremitas.
3. Deficit perawatan diri yang berhubungan dengan kelemahan neuromuskular,
menurunnya kekuatan dan kesadaran, kehilangan control koordinasi otot.

N. INTERVENSI KEPERAWATAN
a. Perubahan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan
pendarahan intraserebri, vasospasme, dan edema.
Tujuan : Klien akan menunjukkan fungsi jaringan otak dapat tercapai secara
optimal dengan kriteria hasil : Klien tidak gelisah, tidak ada keluhan
nyeri kepala, mual, kejang, GCS : 4,5,6 pupil isokor, refleks cahaya
(+) tanda – tanda vital normal (nadi : 60 – 100 x/menit, suhu : 36 –
36,70C, RR: 16–20 x/mnt.

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

Mandiri Keluarga lebih berpartisipasi daiam


proses penyernbuhan.
Berikan penjelasan kepada keluarga
klien tentang sebab-sebab peningkatan
TIK dan akibatnya.

Baringkan klien (tirah baring) total Perubahan pada tekanan intracranial


dengan posisi tidur terlentang tanpa akan dapat
bantal. menyebabkan risiko terjadinya herniasi
otak.

Monitor tanda-tanda status neurologis Dapat mengurangi kerusakan otak lebih


dengan GCS. lanjut.

Monitor tanda-tanda vital, seperti, Pada keadaan normal, otoregulasi


tekanan darah, nadi, suhu, dan mempertahankan keadaan tekanan darah
frekuensi pernapasan, Serta hati-hati sistemik berubah secara fluktuasi.
pada hipertensi sistolik Kegagalan otoreguler akan menyebabkan
kerusakan vaskular serebri yang dapat
dimanifestasikan dengan peningkatan
sistolik dan diikuti oleh penurunan
tekanan diastolik, sedangkan
peningkatan suhu dapat menggambarkan
perjalanan infeksi

Monitor asupan dan keluaran. Hipertermi dapat menyebabkan


peningkatan IWL dan
meningkatkan risiko dehidrasi terutama
pada klien
yang tidak sadar, mual yang menurunkan
asupan
peroral.

Ciptakan lingkungan yang tenang dan Rangsangan aktivitas yang rneningkat


batasi pengunjung. dapat meningkatkan kenaikan TIK.
Istirahat total dan ketenangan mungkin
diperlukan untuk pencegahan terhadap
perdarahan dalam kasus stroke
hemoragik lainnya.

Kolaborasi Meminimalkan fluktuasi pada beban


Berikan cairan per infus dengan vaskular dan tekanan intrakranial,
perhatian ketat. retriksi cairan, dan cairan dapat
menurunkan edema serebri.

b. Gangguan mobillitas fisik yang berhubungan dengan hemiparese,


hemiplagia, kelemahan neuromuscular pada ekstremitas.
Tujuan: Klien akan menunjukkan tindakan untuk meningkatkan mobilitas.
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

Kaji mobilitas yang ada dan observasi Mengetahui tingkat kemampuan klien
terhadap peningkatan kerusakan. Kaji dalarn melakukan aktivitas.
secara teratur fungsi motorik.

Inspeksi kulit bagian distal setiap hari. Deteksi dini adanya gangguan sirkulasi
Pantau kulit dan membran mukosa dan hilangnya sensasi risiko tinggi
terhadap iritasi, kemerahan, atau lecet- kerusakan integritas kulit kemungkinan
lecet. komplikasi imobilisasi.

Bantu klien melakukan latihan ROM, Untuk memelihara fleksibilitas sendi


perawatan diri sesuai toleransi. sesuai kemampuan.

Memelihara bentuk tulang belakang Mempertahankan posisi tulang belakang


dengan cara : tetap rata.
• Matras.
• Bed Board (tempat tidur dengan alas
kayu atau kasur busa yang keras yang
tidak menimbulkan lekukan saat klien
tidur).

Kolaborasi dengan ahli fisioterapi Peningkatan kemampuan dalam


untuk latihan fisik klien. rnobilisasi ekstremitas dapat
ditingkatkan dengan latihan fisik dari tim
fisioterapis.
c. Deficit perawatan diri yang berhubungan dengan kelemahan
neuromuskular, menurunnya kekuatan dan kesadaran, kehilangan
control koordinasi otot.
Tujuan: Klien dapat beraktivitas perawatan diri sesuai dengan tingkat
kemampuan, mengidentifikasi personal/ masyarakat yang dapat
membantu.
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

Mandiri

Kaji kemampuan dan tingkat Membantu dalam mengantisipasi dan


penurunan dalam Skala 0-4 untuk merencanakan
melakukan ADL. pertemuan kebutuhan individual.

Hindari apa yang tidak dapat dilakukan Bagi klien dalam keadaan cemas dan
klien dan bantu bila perlu. tergantung hal ini dilakukan untuk
mencegah frustasi dan harga diri klien.

Bantu klien memenuhi kebutuhan ADL tetap harus dipenuhi agar klien
ADLnya (klien yg menalami dapat merasa nyaman walaupun klien
penurunan kesadaran) mengalami penurunan kesadaran.

O. DAFTAR PUSTAKA
Ackley BJ, Ladwig GB. Nursing diagnosis handbook an evidence-based guide to
planning care. United Stated of America: Elsevier, 2011.

Anonim. [Online]. 2011 [cited 2013 Oct 27]; [1 screen]. Available from: URL
www.neurology.blogspot.com.

Anonim. 2011. [Online]. [cited 2013 Oct 27]; [1 screen]. Available from: URL:
www.libraryusu.pdf.com

Anonim. Gejala, Penyebab, dan Akibat Stroke. [Online]. [cited 2013 Oct 27]; [1
screen]. Available from: URL:
http://medicastore.com/brown_seaweed/gejala_sebab_stroke.htm

Anonim. Hemorrhagic Stroke. [Online]. [cited 2013 Oct 27] ; [1 screen].


Available from: URL: www.merkmanual.com/home/seco6/ch086d.html
Bluchek dkk. Nursing intervention classification. USA: United Kingdom, 2010.

Bluchek dkk. Nursing outcome classification. USA: United Kingdom, 2010.

Corwin EJ. Patofisiologi: buku saku. Edisi 3. Jakarta: EGC; 2009. Hal. 250-3.
Hartwig MS. Penyakit serebral. Dalam: Price SA, Wilson LM, editors.
Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 6. volume 2.
Jakarta: EGC; 2005. Hal. 1119-21.

Israr Yayan A. Stroke. [Online]. 2008 [cited 2013 Oct 27]; [1 screen]. Available
from: URL: http://yayanakhar.files.wordpress.com/2009/01/case-s-t-r-o-
k-e.pdf

Nurarif AH, Hardhi K. Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan diagnosa medis


& NANDA NIC-NOC edisi revisi jilid 1. Yogyakarta: Mediaction
Publishing, 2013.

Setyopranoto I. Stroke: Gejala dan Penatalaksanaan. CDK 185/Vol.38 no.4/Mei-


Juni 2011.

Sidharta P. Neurologi klinis dalam praktek umum. Jakarta: Dian Rakyat. 2008.
Hal. 260-89.

Wiley J. Nursing diagnoses: definition & classification. USA: United Kingdom,


2010.

Anda mungkin juga menyukai