Anda di halaman 1dari 24

BAGIAN NEUROLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN LAPORAN KASUS


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR DESEMBER 2017

BELL’S PALSY

OLEH :
Rizky Saktiani Rizal, S.Ked
10542 042812

PEMBIMBING:
dr. Debby Veranico, Sp.S

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
MAKASSAR
2017

1
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Rizky Saktiani Rizal, S.Ked

NIM : 10542042812

Judul Laporan Kasus : Bell’s Palsy

Telah menyelesaikan tugas laporan kasus dalam rangka kepaniteraan


klinik pada bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Makassar.

Makassar, Desember 2017

Pembimbing

dr. Debby Veranico, Sp.S

2
PENDAHULUAN

A. Definisi

Seorang anatomis dan dokter bedah bernama Sir Charles Bell (1821)

adalah orang yang pertama meneliti beberapa penderita dengan wajah

asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan nevus fasialis perifer yang tidak

diketahui sebabnya disebut Bell’s palsy. Bell’s palsy adalah suatu kelumpuhan

saraf fasialis perifer yang bersifat unilateral, penyebabnya tidak diketahui

(idopatik), akut dan tidak disertai oleh gangguan pendengaran, kelainan

neurologi lainnya atau kelainan lokal.1,2,3,4

B. Epidemiologi

Bell’s palsy merupakan kasus terbanyak dari kelumpuhan akut perifer

wajah unilateral di dunia. Insidensinya adalah sebesar 20-30 kasus dari

100.000 orang. Bell’s palsy menempati porsi sebesar 60-70% dari seluruh

kasus kelumpuhan perifer wajah unilateral. Data yang dikumpulkan dari 4

buah Rumah sakit di Indonesia menunjukkan bahwa frekuensi Bell’s palsy

sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati. Terbanyak terjadi pada usia 21-

30 tahun.2,3,5

Bell’s Palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang

sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan

terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Pada kehamilan

trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya BP

lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.

3
Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur, dan setiap saat tidak didapatkan

perbedaan insidensi antara iklim panas maupun dingin. Meskipun begitu pada

beberapa penderita didapatkan riwayat terkena udara dingin, baik kendaraan

dengan jendela terbuka, tidur di lantai, atau bergadang sebelum menderita BP.

Sekitar 8-10% kasus berhubungan dengan riwayat keluarga pernah menderita

penyakit ini.3,4

C. Etiologi

Lima kemungkinan (hipotesis) penyebab Bell’s palsy, yaitu iskemik

vaskular, virus, bakteri, herediter, dan imunologi. Etiologi Bell’s palsy

terbanyak diduga adalah infeksi virus. Mekanisme pasti yang terjadi akibat

infeksi ini yang menyebabkan penyakit belum diketahui. Inflamasi dan edema

diduga muncul akibat infeksi. Nervus fasialis yang berjalan melewati

terowongan sempit menjadi terjepit karena edema ini dan menyebabkan

kerusakan saraf tersebut baik secara sementara maupun permanen. Banyak

virus, seperti HIV, Virus Epstein-Barr dan hepatitis B virus telah dicurigai

masuk memulai peradangan ini, tapi herpes Virus simpleks (HSV) paling

banyak. Beberapa kasus Bell’s palsy disebabkan iskemia oleh karena diabetes

dan aterosklerosis. Hal ini mungkin menjelaskan insiden yang meningkat dari

Bell’s palsy pada pasien tua.1,2,5

4
D. Patofisiologi

Otot-otot wajah diinervasi saraf fasialis. Kerusakan pada saraf fasialis

di meatus akustikus internus (karena tumor), di telinga tengah (karena infeksi

atau operasi), di kanalis fasialis (perineuritis, Bell’s palsy) atau di kelenjar

parotis (karena tumor) akan menyebabkan distorsi wajah, dengan penurunan

kelopak mata bawah dan sudut mulut pada sisi wajah yang terkena. Ini terjadi

pada lesi lower motor neuron (LMN). Lesi upper motor neuron (UMN) akan

menunjukkan bagian atas wajah tetap normal karena saraf yang menginnervasi

bagian ini menerima serat kortikobulbar dari kedua korteks serebral.2

Para ahli menyebutkan bahwa pada BP terjadi proses inflamasi akut

pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen

stilomastoideus. BP hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun demikian

dalam jarak waktu satu minggu atau lebih dapat terjadi paralysis bilateral.

Penyakit ini dapat berulang atau kambuh.3

Gambar1. Mekanisme dan gejala berdasarkan lokasi

5
E. Gejala Klinis

Gejala Bell’s palsy dapat berupa kelumpuhan otot-otot wajah pada satu

sisi yang terjadi secara tiba-tiba beberapa jam sampai beberapa hari (maksimal

7 hari). Pasien juga mengeluhkan nyeri di sekitar telinga, rasa bengkak atau

kaku pada wajah walaupun tidak ada gangguan sensorik. Kadang-kadang

diikuti oleh hiperakusis, berkurangnya produksi air mata, hipersalivasi dan

berubahnya pengecapan. Kelumpuhan saraf fasialis dapat terjadi secara parsial

atau komplit. Kelumpuhan parsial dalam 1–7 hari dapat berubah menjadi

kelumpuhan komplit.4,5

Pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat

bangun tidur, menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Setelah

merasakan adanya kelainan di daerah mulut maka penderita biasanya

memperhatikannya lebih cermat dengan menggunakan cermin. Mulut tampak

moncong terlebih pada saat meringis, kelopak mata tidak dapat dipejamkan

(lagoftalmos), waktu penderita disuruh menutup kelopak matanya maka bola

mata tampak berputar ke atas. Penderita tidak dapat bersiul atau meniup,

apabila berkumur atau minum maka air keluar melalui sisi mulut yang

lumpuh.3

Manifestasi klinis Bell’s palsy dapat berbeda tergantung lesi pada

perjalanan saraf fasialis. Bila lesi di foramen stylomastoideus, dapat terjadi

gangguan komplit yang menyebabkan paralisis semua otot ekspresi wajah.

Saat menutup kelopak mata, kedua mata melakukan rotasi ke atas (Bell’s

6
phenomenon). Selain itu, mata dapat terasa berair karena aliran air mata ke

sakus lakrimalis yang dibantu muskulus orbikularis okuli terganggu.

Manifestasi komplit lainnya ditunjukkan dengan makanan yang tersimpan

antara gigi dan pipi akibat gangguan gerakan wajah dan air liur keluar dari

sudut mulut. Lesi di kanalis fasialis (di atas persimpangan dengan korda

timpani tetapi di bawah ganglion genikulatum) akan menunjukkan semua

gejala seperti lesi di foramen stylomastoid ditambah pengecapan menghilang

pada 2/3 anterior lidah pada sisi yang sama.2,3

Lesi yang terjadi di saraf yang menuju ke muskulus stapedius dapat

mengakibatkan hiperakusis (sensitivitas nyeri terhadap suara keras). Selain itu,

lesi pada ganglion genikulatum akan menimbulkan lakrimasi dan

berkurangnya salivasi serta dapat melibatkan saraf kedelapan. Pasien dengan

Bell’s palsy juga dapat mengalami mata dan mulut yang kering, kehilangan

atau gangguan rasa (taste), hiperakusis dan penurunan (sagging) kelopak mata

atau sudut mulut.2,3

F. Diagnosis

Dalam mendiagnosis kelumpuhan saraf fasialis, harus dibedakan

kelumpuhan sentral atau perifer. Kelumpuhan sentral terjadi hanya pada

bagian bawah wajah saja, otot dahi masih dapat berkontraksi karena otot dahi

dipersarafi oleh korteks sisi ipsi dan kontralateral sedangkan kelumpuhan

perifer terjadi pada satu sisi wajah.4

7
Umumnya diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik

adanya kelumpuhan nervus fasialis perifer diikuti pemeriksaan untuk

menyingkirkan penyebab lain dari kelumpuhan nervus fasialis perifer. Bila

dahi dikerutkan, lipatan kulit dahi hanya tampak pada sisi yangs sehat saja.

Bila orang sakit disuruh memejamkan kedua matanya, maka pada sisi yang

tidak sehat kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata dan dapat dilihat

berputarnya bola mata ke atas. Fenomena tersebut dikenal dengan tanda Bell.

Pada observasi dapat dilihat juga gerakan kelopak mata yang tidak sehat lebih

lambat jika dibandingkan dengan gerakan kelopak mata yang sehat. Lipatan

nasolabial pada sisi kelumpuhan mendatar. Dalam mengembungkan pipi

terlihat bahwa sisi yang lumpuh tidak mengembung.2,3,6

Beberapa pemeriksaan penunjang yang penting untuk menentukan

letak lesi dan derajat kerusakan N. Fasialis sbb :1,3

1. Uji kepekaan saraf (nerve excitability test), Pemeriksaan ini

membandingkan kontraksi otot-otot wajah kiri & kanan setelah diberi

rangsang listrik. Perbedaan rangsang lebih 3,5 mA menunjukkan keadaan

patologik dan jika lebih 20 mA menunjukkan kerusakan n.fasialis

ireversibel.

2. Uji konduksi saraf (nerve conduction test), Pemeriksaan untuk

menentukan derajat denervasi dengan cara mengukur kecepatan hantaran

listrik pada nervus fasialis kiri dan kanan.

3. Elektromiografi, Pemeriksaan yang menggambarkan masih berfungsi atau

tidaknya otot-otot wajah.

8
4. Uji fungsi pengecap 2/3 bagian depan lidah Gilroy dan Meyer (1979)

menganjurkan pemeriksaan fungsi pengecap dengan cara sederhana yaitu

rasa manis (gula), rasa asam dan rasa pahit (pil kina). Elektrogustometri

membandingkan reaksi antara sisi yang sehat dan yang sakit dengan

stimulasi listrik pada 2/3 bagian depan lidah terhadap rasa pahit atau

metalik. Gangguan ras pada BP menunjukkan letak lesi n. fasialis setinggi

khorda timpani atau proksimalnya

5. Uji Schirmer Pemeriksaan ini menggunakan kertas filter khusus yang di

letakkan di belakang kelopak mata bagian bawah kiri dan kanan. Penilaian

berdasarkan atas rembesan air mata pada kertas filter; berkurang atau

mengeringnya air mata menunjukkan lesi n.fasialis setinggi ganglion

genikulatum

Kebanyakan kasus adalah idiopatik. Penggunaan imaging diagnostik

tidak direkomendasikan pada saat pasien pertama kali datang. MRI (magnetic

resonance imaging) mungkin menunjukkan pembesaran pada saraf fasialis

terutama di daerah ganglion geniculi, tetapi penemuan ini tidak berpengaruh

pada proses terapi.2,5

G. Diagnosa Banding

a. Stroke, merupakan penyakit serebrovaskular yang mengacu pada

setiap gangguan neurologik mendadak yang terjadi akibat pembatasan

atau terhentinya aliran darah melalui sistem suplai arteri otak.

Kelainan sentral dapat merupakan stroke bila disertai kelemahan

9
anggota gerak sisi yang sama dan ditemukan proses patologis di

hemisfer serebri kontralateral.2,7

b. Guillain Barre Syndrome, merupakan suatu demielinisasi

polineuropati akut. Menunjukkan adanya paresis bilateral dan akut

dengan berbagai gangguan fungsi sensorik.2,5,7

c. Myastenia Gravis, merupakan kelainan neuromuscular yang ditandai

oleh kelemahan otot dan cepat lelah akibat adanya antibodi terhadap

reseptor asetilkolin. Kelainan dapat memperlihatkan tanda

patognomonik berupa gangguan gerak mata kompleks dan kelemahan

otot orbikularis okuli bilateral.2,8

H. Penatalaksanaan

Peran dokter umum sebagai lini terdepan pelayanan primer berupa

identifikasi dini dan merujuk ke spesialis saraf (jika tersedia) apabila terdapat

kelainan lain pada pemeriksaan neurologis yang mengarah pada penyakit yang

menjadi diagnosis banding Bell’s palsy. Jika tidak tersedia, dokter umum

dapat menentukan terapi selanjutnya setelah menyingkirkan diagnosis banding

lain. Terapi yang diberikan dokter umum dapat berupa kombinasi non-

farmakologis dan farmakologis.2

Tujuan penatalaksanaan Bell’s palsy adalah untuk mempercepat

penyembuhan, mencegah kelumpuhan parsial menjadi kelumpuhan komplit,

meningkatkan angka penyembuhan komplit, menurunkan insiden sinkinesis

dan kontraktur serta mencegah kelainan pada mata. Pengobatan seharusnya

dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah pengaruh psikologi pasien

10
terhadap kelumpuhan saraf ini. Disamping itu kasus Bell’s palsy

membutuhkan kontrol rutin dalam jangka waktu lama.4

Penatalaksanaannya berupa :3,5,6

1. Istirahat terutama pada keadaan akut

2. Medikamentosa Prednison : pemberian sebaiknya selekas-lekasnya

terutama pada kasus BP yang secara elektrik menunjukkan denervasi.

Tujuannya untuk mengurangi udem dan mempercepat reinervasi. Dosis

yang dianjurkan 3 mg/kg BB/hari sampai ada perbaikan, kemudian dosis

diturunkan bertahap selama 2 minggu.

3. Vitamin B1, B6, dan B12 dalam dosis tinggi dan vasodilantasia per os

dengan ACTH dapat mempercepat penyembuhan.

4. Fisioterapi Sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat

dianjurkan pada stadium akut. Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan

tonus otot yang lumpuh. Cara yang sering digunakan yaitu : mengurut/

massage otot wajah selama 5 menit pagi sore atau dengan faradisasi

5. Operasi Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak- anak

karena dapat menimbulkan komplikasi lokal maupun intracranial.

Tindakan operatif dilakukan apabila : Tidak terdapat penyembuhan

spontan, Tidak terdapat perbaikan dengan pengobatan prednisone, Pada

pemeriksaan elektrik terdapat denervasi total. Beberapa tindakan operatif

yang dapat dikerjakan pada BP antara lain dekompresi N. Fasialis yaitu

membuka kanalis fasialis pars piramidalis mulai dari foramen

11
stilomastoideum nerve graft operasi plastik untuk kosmetik (muscle

sling, tarsoraphi)

I. Prognosis

Prognosis pasien Bell’s palsy umumnya baik, terutama pada anak-

anak. Sekitar 80-90% pasien dengan Bell’s palsy sembuh total dalam 6 bulan,

bahkan pada 50-60% kasus membaik dalam 3 minggu. Sekitar 10%

mengalami asimetri muskulus fasialis persisten, dan 5% mengalami sekuele

yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren.1,2,3,4

Faktor yang dapat mengarah ke prognosis buruk adalah usia >60

tahun, paralisis komplit (risiko sekuele berat), riwayat rekurensi, diabetes,

adanya nyeri hebat post-aurikular, gangguan pengecapan atau aliran saliva

pada sisi yang lumpuh, nyeri pada belakang telinga dan berkurangnya air

mata, wanita hamil dengan Bell’s palsy, bukti denervasi mulai setelah 10 hari

(penyembuhan lambat), dan kasus dengan penyengatan kontras yang jelas.

Faktor yang dapat mendukung ke prognosis baik adalah paralisis parsial

inkomplit pada fase akut (penyembuhan total), pemberian kortikosteroid dini,

penyembuhan awal dan/atau perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu

pertama.1,2,3

12
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS

Nama : Tn. K
Umur : 40 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jatiya Limbung Gowa
Tanggal Pemeriksaan : 16 Desember 2017
Tanggal MRS : 16 Desember 2017
Rumah Sakit : RS. PELAMONIA
No. CM : 61.67.44

B. ANAMNESIS

Keluhan Utama :

Mulut mencong ke kanan

Riwayat penyakit sekarang :

Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan mulut mencong ke kanan

sejak ±2 jam yang lalu, awalnya pasien merasa sakit di daerah belakang

telinga kiri, terasa panas, seperti tertusuk-tusuk, lalu bengkak dan merah,

kemudian bengkak menurun dan tiba-tiba mulut mencong ke kanan

dengan mata kiri yang tidak dapat tertutup rapat. Air mata terus keluar.

Penyakit diketahui oleh pasien setelah berobat di dokter keluarga. Mual

(-), muntah (-), demam (-), riwayat kolesterol tinggi (+), riwayat

hipertensi disangkal. Riwayat penyakit yang sama sebelumnya (-),

riwayat keluarga (-), riwayat alergi tidak diketahui oleh pasien.

13
Riwayat Penyakit Dahulu :

 Trauma (-)

 DM (-)

 Hipertensi (-)

 Kolesterol (+)

 Malaria (+) ±1 tahun yang lalu.

C. PEMERIKSAAN FISIK

a. Status Generalis :
Kesadaran : GCS E4M6V5 (Compos mentis)
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 82x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36oC
Anemia : Tidak ada
Sianosis : Tidak ada
Ikterus : Tidak ada
b. Status Internus :
Toraks : Paru dan Jantung dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal
c. Status Psikiatri :
- Perasaan hati : Dalam batas normal
- Perasaan berfikir : Dalam batas normal
- Kecerdasan : Dalam batas normal
- Memori : Baik
- Psikomotor : Baik
d. Status Neurologis :
a. GCS : E4M6V5

14
b. Kepala :
- Bentuk : Normocephal
- Penonjolan : (-)
- Posisi : (-)
- Pulsasi : (-)
c. Leher :
- Sikap : Dalam batas normal
- Pergerakan : Dalam batas normal
- Kaku kuduk : (-)
d. Urat saraf cranial (Nervus Kranialis)
1) Nervus I (Nervus Olfaktorius) : TDE
2) Nervus II (Nervus Optikus) :
- Ketajaman Penglihatan : dbn / dbn
- Lapangan Penglihatan : dbn / dbn
- Melihat Warna : dbn / dbn
- Funduskopi : TDE
3) Nervus III, IV, VI (Nervus Okulomotorius, Trokhlearis,
Abdusens) :
 Celah kelopak mata : Kanan Kiri
Ptosis : (-) (-)
Exoftalmus : (-) (-)
Nistagmus : (-) (-)
 Pupil :
Bentuk/ukuran : Bulat Bulat
Isokor/anisokor : Isokor Isokor
RL/RCL : (+) (+)
RCTL : (+) (+)
 Gerakan Bola mata
Paresis : (–) (–)
4) Nervus V (Nervus Trigeminus) :
 Sensibilitas wajah : (+) (+)

15
 Menggigit : (+) (+)
 Mengunyah : (+) (+)
 Membuka mulut : (+) (+)
 Refleks kornea : (+) (+)
5) Nervus VII (Nervus Fasialis) :
 Kedipan Mata : (+) (-)
 Lipatan nasolabial : Normal Turun
 Mengerutkan dahi : (+) (-)
 Mengerutkan alis : (+) (-)
 Menutup mata : (+) (-)
 Meringis : (+) (-)
 Mengembungkan pipi : (+) (-)
 Pengecap 2/3 lidah depan : TDE
6) Nervus VIII (Nervus Vertibulokokhlearis) :
 Mendengar suara berbisik : Dalam batas normal
 Tes Rinne : TDE
 Tes Weber : TDE
7) Nervus IX (Nervus Glossofaringeus) :
 Pengecap 1/3 lidah belakang : TDE
 Sensibilitas faring : TDE
8) Nervus X (Nervus Vagus) :
 Arkus faring : Dalam batas normal
 Berbicara : Dalam batas normal
 Menelan : Hipersalivasi
 Nadi : Reguler
9) Nervus XI (Nervus Aksesorius) :
 Memalingkan kepala : Dalam batas normal
 Mengangkat dagu : Dalam batas normal

16
10) Nervus XII (Nervus Hipoglossus) :
 Menjulurkan lidah : (-)
 Tremor lidah : (-)
 Atrofi lidah : (-)
 Fasikulasi : (-)
 Artikulasi : Dalam batas normal
e. Badan dan Anggota Gerak
1) Badan
 Bentuk kolumna vertebralis : Dalam batas normal
 Pergerakan kolumna vertebralis : Tidak dievaluasi
 Refleks kulit perut atas : Dalam batas normal /
dalam batas normal
 Refleks kulit perut tengah : Dalam batas normal /
dalam batas normal
 Refleks kulit perut bawah : Dalam batas normal
 Refleks kremaster : Tidak dievaluasi
 Sensibilitas
- Taktil : Dalam batas normal
- Nyeri : Dalam batas normal
- Suhu : TDE
2) Anggota Gerak
 Motorik :
Pergerakan Kekuatan Tonus

N N 5 5 N N

N N 5 5 N N

Refleks Fisiologi Refleks Patologi

+ + - -
+ + - -

17
 Sensorik :
Sup(D) Sup(S) Inf(D) Inf(S)

Nyeri : (N) (N) (N) (N)

Suhu : TDE

Raba : (N) (N) (N) (N)

 Koordinasi, Gait dan Keseimbangan :


Cara berjalan : TDE
Tes Romberg : TDE
Ataksia : TDE
Rebound phenomenon : TDE
Dismetri : TDE
 Pemeriksaan khusus:
Lasegue : TDE
Patrick : TDE
Kontra patrick : TDE
 Gerakan – gerakan abnormal :
Tremor : (-)
Athetosis : (-)
Mioklonus : (-)
 Otonom :
Miksi : baik
Defekasi : baik
Ereksi : TDE
f. Fungsi Luhur
 Memori : Dalam batas normal
 Fungsi Bahasa : Dalam batas normal
 Visuospasial : Dalam batas normal
 Praksia : Dalam batas normal
 Kalkulasi : Dalam batas normal

18
D. DIAGNOSA KERJA

Diagnosa klinis : Parese N. VII sinistra fasialis perifer

Diagnosa topis : Sekitar foramen stilomastoideus

Diagnosa etiologi : Idiopatik

E. PLANNING (RENCANA AWAL)


1. Terapi
 IVFD RL 20 tpm

 Methylprednisolon 1 amp/8jam/iv

 Ranitidine 1amp/12jam/iv

2. Pemeriksaan penunjang

 Laboratorium

 Gula darah sewaktu: 104 mg/dL

 SGOT : 25 U/L

 SGPT : 33 U/L

 Kolesterol Total : 188 mg/dl

 Trigliserida : 146 mg/dl

 Kolesterol HDL : 33 mg/dl

 Kolesterol LDL : 126 mg/dl

 Thyphi O : 1/40

 Parathyphi AO : 1/80

 Parathypi BO : 1/80

 Thypi H : 1/320

19
 Parathypi AH : 1/80

 Parathypi BH : Non reaktif

F. PROGNOSIS

1. Quo Ad Vitam : Bonam

2. Quo Ad Sanationam : Dubia ad Bonam

20
DISKUSI

Dari data pasien dapat dilihat bila kelumpuhan saraf fasialis yang terjadi

merupakan kelumpuhan perifer, karena terjadi pada satu sisi wajah. Dan karena

tidak terdapat kelemahan pada anggota gerak, sehingga diagnosis stroke dapat

disingkirkan.2,7

Selain itu pada pasien ini hanya ditemukan kelumpuhan salah satu sisi

wajah tanpa disertai gangguan fungsi sensorik, sehingga diagnosis guillain barre

syndrom dapat disingkirkan.2,5,7

Dari data anamnesis didapatkan gejala berupa mulut mencong ke kanan

sejak ±2 jam yang lalu. Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang mengatakan

bahwa gejala bell’s palsy dapat berupa kelumpuhan otot-otot wajah pada satu sisi

yang terjadi secara tiba-tiba beberapa jam sampai beberapa hari.4,5

Menurut pasien dan keluarganya, awalnya pasien merasa sakit di daerah

belakang telinga kiri, terasa panas, seperti tertusuk-tusuk, lalu bengkak dan merah,

kemudian bengkak menurun dan tiba-tiba mulut mencong ke kanan dengan mata

kiri yang tidak dapat tertutup rapat, serta air mata yang terus keluar. Hal ini sesuai

dengan kepustakaan yang mengatakan bahwa pada pasien dengan bell’s palsy

akan mengeluhkan nyeri disekitar telinga, rasa bengkak atau kaku pada wajah

walaupun tidak ada gangguan sensorik. Kadang diikuti hiperakusis, berkurangnya

produksi air mata, hipersalivasi, dan berubahnya pengecapan.4,5

Menurut Sir Charles Bell (1821), orang yang pertama meneliti beberapa

penderita dengan wajah asimetrik, mengatakan semua kelumpuhan nevus fasialis

21
perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut Bell’s palsy. Bell’s palsy

didefinisikan sebagai kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non-supuratif,

non-neoplasmatik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin akibat edema

jinak pada bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit

proksimal dari foramen tersebut, yang mulainya akut dan sembuh sendiri tanpa

pengobatan. Bell’s palsy hampir selalu unilateral.1,8

Umumnya diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik adanya

kelumpuhan nervus fasialis perifer diikuti pemeriksaan untuk menyingkirkan

penyebab lain dari kelumpuhan nervus fasialis perifer. Bila dahi dikerutkan,

lipatan kulit dahi hanya tampak pada sisi yangs sehat saja. Bila orang sakit

disuruh memejamkan kedua matanya, maka pada sisi yang tidak sehat kelopak

mata tidak dapat menutupi bola mata dan dapat dilihat berputarnya bola mata ke

atas. Fenomena tersebut dikenal dengan tanda Bell. Pada observasi dapat dilihat

juga gerakan kelopak mata yang tidak sehat lebih lambat jika dibandingkan

dengan gerakan kelopak mata yang sehat. Lipatan nasolabial pada sisi

kelumpuhan mendatar. Dalam mengembungkan pipi terlihat bahwa sisi yang

lumpuh tidak mengembung.2,3,6

22
KESIMPULAN

Berdasarkan definisi bell’s palsy merupakan suatu kelumpuhan saraf

fasialis perifer yang bersifat unilateral, penyebabnya tidak diketahui (idopatik),

akut dan tidak disertai oleh gangguan pendengaran, kelainan neurologi lainnya

atau kelainan lokal. Dimana gejala bell’s palsy dapat berupa kelumpuhan otot-otot

wajah pada satu sisi yang terjadi secara tiba-tiba beberapa jam sampai beberapa

hari. Pasien juga dapat mengeluhkan nyeri di sekitar telinga, rasa bengkak atau

kaku pada wajah walaupun tidak ada gangguan sensorik. Maka hal ini sesuai

dengan tanda-tanda dan gejala klinik yang didapatkan Tn. K seperti mulut

mencong ke kanan sejak ±2 jam yang lalu, awalnya pasien merasa sakit di daerah

belakang telinga kiri, terasa panas, seperti tertusuk-tusuk, lalu bengkak dan merah,

kemudian bengkak menurun dan tiba-tiba mulut mencong ke kanan dengan mata

kiri yang tidak dapat tertutup rapat. Air mata terus keluar. Tidak ada gejala

penyerta lain, tidak ditemukan kelainan lain. Maka disimpulkan bahwa :

DIAGNOSA AKHIR

Diagnosa klinis : Parese N. VII sinistra fasialis perifer

Diagnosa topis : Sekitar foramen stilomastoideus

Diagnosa etiologi : Idiopatik

PROGNOSIS

1. Quo Ad Vitam : Bonam

2. Quo Ad Sanationam : Dubia ad Bonam

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Tulsi, Satinder PS, et al. 2014. Review on Management of Bell’s Palsy.

Journal of Advanced Medical and Dental Sciences Research.

2. Mujaddidah, Nur. 2017. Tinjauan Anatomi Klinik dan Manajemen Bell’s

Palsy. Qanun Medika. Vol.1. No.2

3. Bahrudin, M. 2011. Bell’s Palsy. Universitas Muhammadiyah Malang

4. Munilson, Jacky, et al. 2010. Diagnosis dan Penatalaksanaan Bell’s Palsy.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.

5. Eviston, Timothy J, et al. 2015. Bell’s palsy: Aetiology, Clinical Features

and Multidisciplinary Care. Journal Neurology Neurosurgery Psychiatry.

6. Sidharta, Priguna. 2009. Neurologi Klinis dalam Praktek Umum. Jakarta:

Penerbit Dian Rakyat

7. Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. 2012. Patofisiologi Konsep Klinis

Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

8. Setiati, Siti, et al. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI.

Jakarta: InternaPublishing.

24

Anda mungkin juga menyukai