Anda di halaman 1dari 34

BAB 1

PENDAHULUAN

Hidrops fetalis adalah bahasa latin dari suatu edema janin. Istilah ini
diperkenalkan pertama kali oleh Ballantyne tahun 1892, meskipun sesungguhnya
kondisi ini telah diketahui sejak dua abad yang lalu. Gambaran klinis dari
penyakit ini adalah abnormalitas akumulasi cairan dalam rongga tubuh (pleural,
percardial dan peritoneal) dan jaringan lunak tubuh dengan ketebalan dinding
lebih dari 5 mm. Hidrop fetalis sering berhubungan dengan hidramnion dan
penebalan plasenta (>6 mm) pada 30–75% kasus. Sejumlah kasus ditemukan pula
hepatosplenomegali. Masalah dasar pada hidrop fetalis adalah gangguan
keseimbangan cairan homeostasis dimana terjadi banyak akumulasi cairan
dibandingkan dengan yang di absorbsi.

Pada beberapa pasien, juga dapat berhubungan dengan polihidramnion dan


edema plasenta. Hidrops biasanya pertama kali dideteksi dari pemeriksaan USG
selama trimester pertama atau kedua kehamilan. Kumpulan cairan dapat mudah
terdeteksi, namun akumulasi cairan yang sedikit dan ringan dan kadang sulit
dikenali dalam deteksi USG rutin.

Ada dua jenis hidrops fetalis: imun dan non-imun. Hidrops fetalis imun
merupakan komplikasi inkompatibilitas Rh yang parah. Inkompatibilitas Rh ini
menyebabkan kerusakan besar sel-sel darah merah, yang mengarah ke beberapa
masalah, termasuk pembengkakan tubuh total. Pembengkakan parah dapat
mengganggu kerja organ-organ tubuh. Hidrops fetalis non-imun terjadi ketika
kondisi penyakit mengganggu kemampuan tubuh untuk mengatur cairan. Ada tiga
penyebab utama untuk jenis ini: masalah jantung atau paru-paru, anemia berat
(thalasemia), dan cacat genetik.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Hidrops fetalis adalah kondisi janin serius dengan menifestasi akumulasi


abnormal cairan dalam dua atau lebih kompartemen janin, termasuk ascites, efusi
pleura, efusi perikardial, dan edema kulit.

2.2 Fisiologi Cairan Amnion

Cairan amnion diproduksi oleh janin maupun ibu, dan keduanya memiliki
peran tersendiri pada setiap usia kehamilan. Cairan amnion merupakan komponen
penting bagi pertumbuhan dan perkembangan janin selama kehamilan. Telah
diketahui bahwa cairan amnion berfungsi sebagai kantong pelindung di sekitar
janin yang memberikan ruang bagi janin untuk bergerak, tumbuh meratakan
tekanan uterus pada partus, dan mencegah trauma mekanik dan trauma termal.

Volume cairan amnion pada setiap minggu usia kehamilan bervariasi,


secara umum volume bertambah 10 ml per minggu pada minggu ke 8 usia
kehamilan dan meningkat menjadi 60 ml per minggu pada usia kehamilan 21
minggu, yang kemudian akan menurun secara bertahap sampai volume yang tetap
setelah usia kehamilan 33 minggu. Normal volume cairan amnion bertambah dari
50 ml pada saat usia kehamilan 12 minggu sampai 400 ml pada pertengahan
gestasi dan 1000 – 1500 ml pada saat aterm. Terdapat 3 cara yang sering dipakai
untuk mengetahui jumlah cairan amnion, dengan tehnik single pocket , dengan
memakai Indeks Cairan Amnion (ICA), dan secara subjektif pemeriksa.

Sumber utama cairan amnion adalah urin janin. Urin janin lebih banyak
terdiri dari urea, kreatinin dan asam urat dibandingkan plasma., juga terdiri dari
deskuamasi sel-sel janin, vernix, lanuga dan bermacam sekresi. Ginjal janin mulai

2
memproduksi urin sebelum akhir trimester pertama, dan terus berproduksi sampai
kehamilan aterm. Cairan paru janin memiliki peran yang penting dalam
pembentukan cairan amnion. Pada penelitian dengan menggunakan domba,
didapatkan bahwa paru-paru janin memproduksi cairan sampai sekitar 400
ml/hari, dimana 50% dari produksi tersebut ditelan kembali dan 50% lagi
dikeluarkan melalui mulut. Untuk mencapai keseimbangan dalam regulasi cairan
amnion, janin menelan cairan amnion, dan juga mengabsorbsinya. Sembilan puluh
delapan persen cairan amnion adalah air dan sisanya adalah elektrolit, protein,
peptide, karbohidrat, lipid, dan hormon. Faktor pertumbuhan epidermis
(epidermal growth factor, EGF) dan faktor pertumbuhan mirip EGF, misalnya
transforming growth factor-α, terdapat di cairan amnion.

Hidramnion dijumpai pada sekitar 1 persen dari semua kehamilan.


Sebagian besar penelitian klinis mendefinisikan hidramnion sebagai cairan
amnion yang lebih besar dari 25 cm. Hidramnion terjadi oleh karena berbagai
sebab. Dari faktor janin sendiri misalnya karena anomali kongenital, obstruksi
gastrointestinal, hidrops non imun, aneuploidi.

Gejala klinis utama pada hidramnion adalah pembesaran uterus disertai


kesulitan dalam meraba bagian-bagian kecil janin dan mendengar denyut jantung
janin. Pada kasus berat, dinding uterus sangat tegang. Membedakan antara
hidramnion, asites, atau kista ovarium yang besar biasanya mudah dilakukan
dengan evaluasi ultrasonografi. Cairan amnion dalam jumlah besar hampir selalu
mudah diketahui sebagai ruang bebas-echo yang sangat besar di antara janin dan
dinding uterus atau plasenta. Kadang mungkin ditemui kelainan janin misalnya
anensefalus atau defek tabung syaraf lain, atau anomali saluran cerna.

Indometasin mengganggu produksi cairan paru atau meningkatkan


penyerapannya, mengurangi produksi urin janin, dan meningkatkan perpindahan
cairan melalui selaput janin. Dosis yang digunakan oleh sebagian besar peneliti
berkisar dari 1,5–3 mg/kg/hari.

3
Cairan amnion sering digunakan untuk keperluan diagnosis, misalnya
untuk mengetahui kematangan paru janin, mendeteksi gawat nafas pada janin dan
mendiagnosis ketuban pecah sebelum waktunya.

2.3 Epidemiologi

 Insiden tepat hidrops fetalis sulit untuk dijelaskan, karena banyak kasus
tidak terdeteksi sebelum kematian janin intrauterin dan beberapa kasus
mungkin berakhir secara spontan di dalam rahim.
 Perkiraan secara umum hidrops fetalis di Amerika Serikat adalah sekitar 1
dalam 600 banding 1 dalam 4000 kehamilan. Insiden hidrops kekebalan
tubuh menurun secara signifikan dengan penggunaan macam imunisasi
pasif menggunakan imunoglobulin Rh untuk Rh-negatif ibu pada usia
kehamilan 28 minggu (setelah dicurigai perdarahan fetomaternal) dan
postpartum (setelah bayi Rh-positif). Efektivitas program ini telah
ditunjukkan oleh penurunan kejadian penyakit hemolitik Rh dari janin atau
bayi baru lahir, dari 65 dalam 10.000 kelahiran di Amerika Serikat pada
1960-10,6 di 10.000 kelahiran pada tahun 1990.
 Hidrops fetalis jauh lebih umum di Asia Tenggara. Di Thailand, frekuensi
hidrops, dari homozigot alfa-thalassemia atau hidrops Bart sendiri, adalah
1 dalam 500 banding 1 dalam 1500 kehamilan, Sedangkan angka Akurat
dari wilayah Mediterania tidak pernah dilaporkan
 Pengaruh jenis kelamin pada hidrops fetalis sebagian besar berkaitan
dengan penyebab kondisi tertentu. Bagian penting dari hidrops
berhubungan dengan kelainan kromosom. Resiko pria yang lebih besar
adalah peningkatan hampir 13 kali lipat pada hidrops janin laki-laki
dengan penyakit hemolitik Rh D.
 Insidens pasien yang mengalami Inkompatibilitas Rhesus (yaitu rhesus
negatif) adalah 15% pada ras berkulit putih dan 5% berkulit hitam, jarang
pada bangsa Asia. Rhesus negatif pada orang Indonesia jarang terjadi,

4
kecuali adanya perkawinan dengan orang asing yang bergolongan rhesus
negatif.

2.4 Klasifikasi

Ada dua jenis hidrops fetalis :

1. Immune hidrops fetalis


a. Merupakan komplikasi dari inkompatibilitas Rh. Kompatibilitas
Rh menyebabkan kerusakan besar sel darah merah, yang mengarah
ke beberapa masalah, termasuk pembengkakan tubuh total.
Pembengkakan parah dapat mengganggu bagaimana organ-organ
tubuh bekerja.

b. Berasal dari penyakit hemolitik alloimuni (Rhesus


Isoimmunization) Dikenal pula sebagai eritroblastosis fetalis atau
penyakit hemolitik.

c. Patogenesis : HF imune terjadi ketika sel darah merah janin


mengekspresikan protein yang tidak terdapat didalam eritrosit ibu.
terjadi sensitisasi sitem imunologi ibu. menimbulkan antibodi IgG
untuk melawan protein asing tersebut. IgG melintasi plasenta dan
menghancurkan eritrosit janin, mengakobatkan anemia dan gagal
jantung pada janin HF imune biasa disertai dengan hematokrit
janin < 15% (normal = 50%)

d. Isoimunisasi Rh : Antigen D (Rh) hanya ada pada eritrosit


primata. Mutasi gen D menyebabkan tidak adanya ekspresi antigen
D pada eritrosit. Individu semacam ini dianggap sebagai Rh
negatif Jika janin berasal dari ibu yang Rh negatif maka tidak
terjadi sensitisasi Rh.

e. Meskipun demikian 60% ibu Rh negatif akan memiliki janin

5
dengan Rh positif Paparan darah Rh positif pada ibu Rh negatif
akan memicu respon antibodi Faktor resiko sensitisasi Rh :

i. Tarnfusi darah yang tidak kompatibel

ii. Kehamilan ektopik

iii. Abortus

iv. Amniosentesis

v. Kehamilan normal

2. Non Immune hidrops fetalis


a. Nonimmune hidrops fetalis terjadi ketika kondisi penyakit atau
medis mengganggu kemampuan tubuh untuk mengelola cairan.
b. Dapat disebabkan oleh
i. Gagal miokardium primer
ii. Gagal jantung “high out-put”
iii. Penurunan tekanan onkotik plasma
iv. Peningkatan permeabilitas kapiler
v. Obstruksi aliran vena atau aliran limfatik.
c. Etiologi utama NIHF adalah kelainan jantung bawaan
d. Etiologi kedua NIHF berikutnya adalah kelainan kromosom
(sindroma Turner).
e. Mortalitas sangat tinggi.
f. HF sering ditegakkan melalui USG rutin. Kecurigaan adanya HF
ditegakkan bila ada riwayat dalam keluarga dan adanya hidramnion
.
g. Jumlah bayi yang mengembangkan kekebalan hidrops fetalis telah
menurun secara drastis sejak diperkenalkannya vaksin RhoGAM,
yang digunakan untuk mengobati ibu hamil beresiko untuk
inkompatibilitas Rh.

2.5 Faktor Resiko

Faktor maternal:

 Golongan daran Rh negatif (d, d)

6
 Antibodi golongan darah isoimmune
 Risiko penggunaan narkoba
 Penyakit kolagen-vaskular
 Penyakit tiroid atau diabetes
 Organ transplantasi (hati, ginjal)
 Trauma tumpul abdomen
 Koagulopati
 Penggunaan indometasin, natrium diklofenak, atau obat-obatan yang
berpotensi teratogenik selama kehamilan
 Usia muda (<16 tahun) atau lebih tua (> 35 tahun)
 Faktor risiko untuk penyakit menular seksual
 Hemoglobinopati (terutama dengan etnis Asia atau Mediterania)
 Paparan perkerjaan (okupasional)
 Binatang peliharaan
 Epidemi penyakit virus yang terjadi di lingkungan sekitar

Riwayat keluarga:

 Ikterus pada anggota keluarga lain atau pada anak sebelumnya


 Riwayat keluarga kembar (khusus, monozigot)
 Riwayat keluarga kelainan genetik, kelainan kromosom, atau penyakit
metabolik
 Kongenital malformasi pada anak sebelumnya
 Kematian janin sebelumnya
 Hidramnion pada kehamilan sebelumnya
 RIwayat hidrops fetalis
 Transfusi fetomaternal
 Penyakit jantung bawaan pada anak sebelumnya

Apabila terdapat salah satu temuan berikut dari fisik ibu atau janin harus

7
segera evaluasi diagnostik lebih lanjut:

 Twinning
 Hidramnion
 Exanthem atau bukti lain dari penyakit kambuhan virus
 Lesi herpes atau chancre
 Penurunan gerakan janin

2.6 Gejala Klinis

Hidrops fetalis adalah bayi yang menunjukan edema yang menyeluruh,


asites dan efusi pleura pada saat lahir. Perubahan patologi klinik yangg terjadi
bervariasi, tergantung intensitas proses. Pada kasus parah, terjadi edema subkutan
dan efusi kedalam kavum serosa (hidrops fetalis). Hemolisis yang berlebihan dan
berlangsung lama akan menyebabkan hiperplasia eritroid pada sumsum tulang,
hematopoesis ekstrameduler didalam lien dan hepar. Juga terjadi pembesaran
jantung dan perdarahan pulmoner. Asites dan hepatosplenomegali yang terjadi
dapat menimbulkan distosia akibat abdomen janin yang sangat membesar.
Hidrothoraks yang terjadi dapat mengganggu respirasi janin.

Janin dengan hidrops dapat meninggal dalam rahim akibat anemia berat
dan kegagalan sirkulasi. Bayi hidrops yang bertahan hidup tampak pucat,
edematus dan lemas pada saat dilahirkan. Lien dan hepar membesar, ekimosis dan
petikie dan menyebar, sesak nafas dan kolaps sirkulasi. Kematian dapat terjadi
dalam waktu beberapa jam meskipun transfusi sudah diberikan.

Hiperbilirubin dapat menimbulkan gangguan sistem syaraf pusat,


khususnya ganglia basal atau menimbulkan kernikterus. Gejala yandg muncul
berupa letargia, kekakuan ekstremitas, retraksi kepala, strabismus, tangisan
melengking, tidak mau menetek dan kejang-kejang. Kematian terjadi dalam usia
beberapa minggu.

8
Pada bayi yang bertahan hidup, secara fisik tak berdaya, tak mampu
menyanggah kepala dan tak mampu duduk. Kemampuan berjalan mengalami
keterlambatan atau tak pernah dicapai. Pada kasus yang ringan akan terjadi
inkoordinasi motorik dan tuli konduktif. Anemia yanag terjadi akibat gangguan
eritropoesis dapat bertahan selama berminggu–minggu hingga berbulan- bulan.1,3,5

2.7 Patofisiologi

Pada saat ibu hamil eritrosit janin dalam beberapa insiden dapat masuk
kedalam sirkulasi darah ibu, yang dinamakan Feto maternal microtransfusion.
Bila ibu tidak memiliki antigen seperti yang terdapat pada eritrosit janin, maka ibu
akan distimulasi untuk membentuk imun antibodi. Imun antibodi tipe IgG tersebut
dapat melewati plasenta dan kemudian masuk kedalam peredaran darah janin,
sehingga sel-sel eritrosit janin akan diselimuti (coated) dengan antibodi tersebut
dan akhirnya terjadi aglutinasi dan hemolisis. Hemolisis terjadi dalam kandungan
dan akibatnya adalah pembentukan eritrosit oleh tubuh secara berlebihan,
sehingga akan didapatkan eritrosit berinti banyak, yaitu eritroblas.

Lebih dari 400 antigen terdapat pada permukaan eritrosit, tetapi secara
klinis hanya sedikit yang penting sebagai penyebab penyakit hemolitik.
Kurangnya antigen eritrosit dalam tubuh berpotensi menghasilkan antibodi jika
terpapar dengan antigen tersebut. Antibodi tersebut berbahaya terhadap diri
sendiri pada saat transfusi atau berbahaya bagi janin.

Hemolisis yang berat biasanya terjadi oleh adanya sensitisasi maternal


sebelumnya, misalnya karena abortus, ruptur kehamilan di luar kandungan,
amniosentesis, transfusi darah Rhesus positif, atau pada kehamilan kedua dan
berikutnya.

Bagan 1. Patofisiologi Hidrops Fetalis Nonimum

9
Parvovirus B19

Parvovirus B19 manusia adalah DNA beruntai tunggal virus yang biasanya
menginfeksi dengan cepat membagi baris sel, seperti sel-sel progenitor erythroid.
Parvovirus B19 telah terbukti menyebabkan sindrom infeksi kongenital,
diwujudkan dengan ruam, anemia, hepatomegali, dan kardiomegali. Parvovirus
B19 infeksi dapat menyebabkan hidrops fetalis keguguran atau nonimmune.
Karena sebagian besar ibu hamil yang terinfeksi virus ini tidak menunjukkan
gejala, menentukan risiko infeksi janin dan nonimmune hidrops fetalis sulit.

Hasil baik yang mengejutkan, resolusi spontan terjadi pada sekitar


sepertiga dari insiden tersebut, dan sekitar 85% dari mereka yang menerima
transfusi janin dapat bertahan hidup. Virus ini tidak bersifat teratogenik dan,
meskipun laporan dari kegigihan virus pada jaringan miokard dan otak, hasil
perkembangan saraf pada penderita tampaknya normal. Diagnosis awal dan akurat
dengan menggunakan serologis ibu dan/atau molekul biologis teknik PCR sangat
penting. Hasil positif biasanya dikonfirmasi dengan PCR janin secara langsung,
studi tentang hemoglobin, hematokrit, dan trombosit untuk merencanakan rencana

10
perawatan yang tepat.

Infeksi Parvovirus B19 pada wanita hamil dapat mengakibatkan hidrops


fetalis, terutama bila infeksi terjadi sebelum usia kehamilan 20 minggu. Di
Amerika Serikat, etiologi yang paling umum dari hidrops fetalis adalah parvovirus
B19 infeksi. Infeksi Parvovirus pada wanita hamil dikaitkan dengan hidrops
fetalis karena anemia janin yang berat, kadang-kadang menyebabkan keguguran
atau kelahiran mati. Risiko kematian janin sekitar 10% jika infeksi terjadi sebelum
20 minggu kehamilan khususnya antara minggu 14 dan 20, tapi minimal setelah
itu. Skrining rutin dari sampel antenatal akan memungkinkan ibu hamil untuk
menentukan risiko infeksi. Resiko bagi janin akan berkurang dengan benar
diagnosis anemia dengan USG dan pengobatan oleh transfusi darah. Ada beberapa
bukti klinis yang menunjukkan bahwa infeksi Parvovirus B19 intrauterin
menyebabkan kelainan perkembangan pada anak di masa depan. Mikrograf
menunjukkan perubahan virus pada janin sel darah merah dalam kasus infeksi
parvovirus.

2.8 Pemeriksaan Penunjang

2.8.1 Pemeriksaan Laboratorium

 Coombs test
 Diagnosis isoimunisasi berdasarkan deteksi antibodi pada serum ibu.
Metode paling sering digunakan untuk menapis antibodi ibu adalah tes
Coombs tak langsung. (penapisan antibodi atau antiglobulin secara tak
langsung). Tes ini bergantung kepada pada kemampuan anti IgG (Coombs)
serum untuk mengaglutinasi eritrosit yang dilapisi dengan IgG.

 Untuk melakukan tes, serum darah pasien dicampur dengan eritrosit yang
diketahui mengandung mengandung antigen eritrosit tertentu, diinkubasi,
lalu eritrosit dicuci. Suatu substansi lalu ditambahkan untuk menurunkan
potensi listrik dari membran eritrosit, yang penting untuk membantu
terjadinya aglutinasi eritrosit. Serum Coombs ditambahkan, dan jika

11
imunoglobulin ibu ada dalam eritrosit, maka aglutinasi akan terjadi. Jika
test positf, diperlukan evaluasi lebih lanjut untuk menentukan antigen
spesifik.

Gambar 1. Coombs Test

 PCR
 Perkiraan kualitatif dan kuantitatif dari proporsi sel darah merah
mengandung hemoglobin janin dalam sirkulasi ibu memiliki nilai tertentu.

 Teknik Betke-Kleihauer tergantung pada kerentanan yang berbeda dari sel


yang mengandung hemoglobin janin dari orang-orang dengan hemoglobin
dewasa ketika mengalami asam-kromatografi.

12
 Sebuah metode baru menggunakan flow cytometry juga berguna sebagai
pemeriksaan.

 Hasil yang keluar, baik menggunakan metode Betke-Kleihauer dan flow


cytometry harus ditafsirkan dengan hati-hati, karena sensitivitas dan
spesifisitas dari tes diagnostik ini kurang akurat, telah dibuktikan dalam
beberapa studi.

 Skrining Sifilis menggunakan VDRL

 Infeksi CMV, herpes simpleks (TORCH), dan spesifik enzim-linked


immunosorbent assay (ELISA) lebih sensitive untuk studiinfeksi agen
individu.

 Hemoglobin elektroforesis untuk alfa-thalassemia heterozigositas telah


berguna dalam etnis populasi beresiko.

 Tes skrining serum maternal (multipel-marker, triple-screen, triple-


marker), biasanya digunakan jika anomali janin diduga, memiliki nilai
pasti dengan hidrops fetalis.

 Dalam satu studi, tes skrining positif (salah satu dari 3 digunakan)
dengan sensitivitas hanya 60% dalam 19 kasus sindrom Turner
dibedakan beberapa janin dengan hygroma kistik dan/atau hidrops dari
mereka yang tidak. Masing-masing komponen dari tes ini diperiksa
secara terpisah dalam beberapa studi lain.

 Peningkatan kadar AFP telah dilaporkan dalam hidrops berhubungan


dengan perdarahan fetomaternal, hemangioma tali pusat, polikistik
ginjal, CMV, dan parvovirus, namun, tingkat AFP serupa pada bayi
dengan sindrom Turner dengan atau tanpa hidrops. Nilai diagnostik
yang tepat dari skrining AFP tidak pasti karena studi definitif tidak
tersedia.

13
 Rendahnya tingkat estriol unconjugated (uE3) telah ditemukan pada
bayi hidropik dengan Sindrom Smith-Lemli-Opitz, tetapi tes tidak
dapat menunjukkan nilai yang membedakan antara bayi dengan atau
tanpa hidrops, dan nilai normal telah diamati pada kematian beberapa
bayi hidropik.

 Nilai Human chorionic gonadotropin telah dilaporkan secara


signifikan meningkat pada hidrops dengan teratoma sacrococcygeal,
koriokarsinoma, Parvovirus, sindrom Turner, dan sindrom Down,
namun, nilai ini juga telah normal dalam beberapa kematian janin
hidropik terkait dengan Parvovirus.

 Dalam sebuah studi tunggal, level inhibin-A meningkat nyata pada 12


janin dengan sindrom Turner dengan hidrops dan berkurang secara
signifikan pada mereka tanpa hidrops janin.

 Nilai alkali fosfatase serum maternal IgG plasenta meningkat dengan


hidrops fetalis.

 Studi sampel direk invasif AF janin (cairan ketuban) atau jaringan plasenta
atau cairan telah menunjukkan nilai diagnosis definitif, pemantauan
efektivitas pengobatan, dan prognosis yang akurat di sejumlah kondisi
yang berhubungan dengan hidrops.

 Karyotyping selalu diindikasikan jika ada faktor herediter atau hasil USG
mengungkapkan kelainan kromosom atau factor herediter.

 Untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat mengenai status janin,


janin sampel langsung diambil dengan kordosentesis (atau sampling
periumbilikalis).

 Sampel janin oleh kordosentesis diikuti dengan bradikardia signifikan.

14
 Elevasi AF alkali fosfatase telah diamati dalam hubungan dengan hidrops
janin akibat sindrom Turner, walaupun mungkin penemuan yang spesifik,
studi lebih lanjut diperlukan.

2.8.2 Pemeriksaan Radiologi

1. Ultrasonography
2. 4D Ultrasound

3. Doppler Ultrasound

4. Biophysical Profile

Gambar 2. Gambaran USG Hidrops Fetalis

Gambar 3. 4D Ultrasound

15
Gambar 4. Doppler Ultrasound

Tabel 2. Biophysical Profile

16
2.9 Penatalaksanaan

 Diagnosis dan pengelolaan hidrops fetalis menjadi tantangan tersendiri bagi


perinatologis dan neonatologis. Tingkat kematian yang tinggi, dan pilihan
pengobatan yang terbatas. Faktor yang paling penting untuk memastikan
pengobatan yang tepat dari janin dengan hidrops adalah diagnosis yang tepat
dan rinci. Sampai patofisiologi yang mendasari, dipahami dan luasnya
kelainan memimpin pengembangan hidrops benar-benar didefinisikan, segala
upaya pengobatan adalah sia-sia dan berpotensi membahayakan.
 Jika didiagnosis sebelum lahir, ibu harus dirujuk ke pusat berisiko tinggi untuk
pengelolaan lebih lanjut dan konseling multidisiplin karena tingginya resiko
kematian janin.

 Steroid prenatal harus diberikan jika terjadi pada kelahiran prematur.

17
 Setelah masalah yang mendasari benar-benar dipahami, menjawab pertanyaan
tentang apakah kelainan ini kompatibel dengan kehidupan, apakah
kelangsungan hidup janin akan berada di biaya dengan kualitas yang dapat
diterima hidup yang buruk, dan apa konsekuensi mungkin untuk generasi
mendatang. Saat ini, keterlibatan orang tua dan bimbingan persyaratan
mendasar dan memerlukan pengetahuan penuh oleh orang tua dari semua
konsekuensi potensial mungkin.

 Jika keputusan dibuat untuk melanjutkan kehamilan, langkah selanjutnya


adalah untuk memutuskan apakah akan melakukan intervensi dengan
pengobatan janin invasif dan menentukan pada titik kelahiran prematur
merupakan resiko yang kecil bagi janin dari usia kehamilan lanjutan. Karena
ketidakpastian besar tentang pertanyaan-pertanyaan ini tidak dapat dihindari,
terlepas dari penyebab yang mendasari, keterlibatan orang tua penuh sangat
penting.

 Intervensi janin mungkin termasuk transfusi janin untuk anemia janin, obat
antiaritmia ibu (misalnya digoksin) untuk aritmia janin, dan dalam operasi
rahim (misalnya, thoracocentesis janin / paracentesis, reseksi bedah).

 Keputusan tentang pengobatan janin sering tidak menentu karena bukti yang
diperlukan untuk diagnosis tidak tersedia. Meskipun banyak pendekatan
ditemukan dalam literatur, tidak ada uji klinis yang dirancang dengan baik
berbasis bukti.

 Skema pengobatan hanya didasarkan pada bukti empiris dan pengalaman


masing ahli. Dalam keadaan demikian, keputusan pengobatan yang sulit,
terutama untuk dokter yang membutuhkan bukti untuk menyeimbangkan
risiko terhadap manfaat dari pengobatan khusus.

 Lebih memperumit masalah ini, remisi spontan dari proses hidropik telah
dilaporkan dalam ratusan kasus. Penyebab dalam kasus ini termasuk aritmia
jantung, twin-to-twin transfusion syndrome, penyerapan paru, malformasi

18
adenomatoid fibrosis paru-paru, penyakit penyimpanan lisosomal, hygroma
fibrosis dengan atau tanpa sindrom Noonan, baik parvovirus dan infeksi CMV,
chorangioma plasenta, dan idiopatik asites atau efusi pleura. Dokter dan orang
tua benar-benar harus memahami bahwa keputusan pada saat ini pada
dasarnya tidak pasti dan sewenang-wenang.

 Belum terbukti berisiko tinggi perawatan lebih mudah untuk menerima ketika
prosedur ditargetkan untuk memperbaiki patofisiologi yang mendasari
menyebabkan hidrops fetalis. Skema manajemen yang paling banyak diterima
adalah termasuk transfusi janin anemia benar apapun penyebabnya, obat untuk
aritmia jantung, koreksi atau pengurangan ruang lesi yang menghalangi vena
jantung atau limfatik, dan prosedur yang dirancang untuk menghentikan
hilangnya janin dari darah, apapun penyebabnya.

 Ketidakmatangan janin dapat mencegah pendekatan ini, penggunaan obat


secara umum telah diterima sebagai sesuai. Namun, apakah ini dibenarkan
tidak didukung oleh bukti dari uji klinis terkontrol, dan frekuensi yang
berhenti spontan dari aritmia dan remisi dari hidrops telah dilaporkan harus
mempromosikan sikap skeptis dan lebih hati-hati tentang terapi obat janin dari
umumnya telah standar .

 Obat telah diberikan kepada ibu (oral, intramuskular, intravena), untuk janin
(intraperitoneal, intramuskular, intravena melalui kordosentesis), untuk
memperbaiki aritmia janin.

 Obat yang digunakan diantaranya digitalis, furosemid, flecainide, verapamil,


amiodaron, propanolol, prokainamid, quinidine, adenosin, sotalol, terbutaline,
kortikosteroid, dan imunoglobulin; berbagai kombinasi obat ini juga telah
digunakan.

 Meskipun adenosin tampaknya sangat efektif dengan aritmia supraventricular,


dan terapi kortikosteroid tampaknya efektif untuk blok jantung janin yang

19
lengkap terkait dengan penyakit kolagen ibu, pilihan obat tetap empiris dan
sewenang-wenang, sampai saat bukti definitif dari uji klinis telah dilakukan.

 Sebaiknya dokter memilih pendekatan yang memberikan risiko rendah untuk


janin dan ibu sampai data lebih definitif yang tersedia.

 Keberhasilan transfusi janin intrauterin intraperitoneal dengan sel darah merah


dikemas dalam pengobatan janin anemia kehamilan isoimmunized telah
menjadi kisah sukses untuk pengobatan modern perinatal. Sayangnya, kontrol
bersejarah membentuk dasar untuk kesimpulan ini, dan bukti definitif dari uji
klinis acak mungkin bwlum pernah dikaporkan.

 Transfusi janin menggunakan rute intraperitoneal tampaknya telah menjadi


diterima sebagai standar perawatan untuk janin dengan anemia berat.

 (Hct <30%) merupakan indikasi untuk transfusi vena umbilikalis pada bayi
dengan ketidakmatangan paru. Transfusi janin intravaskular difasilitasi oleh
sedasi ibu dan janin dengan diazepam dan dengan kelumpuhan janin dengan
pankuronium. Sel darah merah dikemas diberikan setelah pencocokan silang
dengan serum ibu. Sel-sel harus diperoleh dari donor CMV-negatif dan
iradiasi untuk membunuh limfosit/transfusi harus mencapai tingkat
posttransfusion Hct dari 45-55% dan dapat diulang setiap 3-5 minggu.

 Indikasi untuk pemberian obat kematangan paru, gawat janin, komplikasi


pengambilan sampel darah tali perkutan, atau usia kehamilan 35-37 minggu.

 Tingkat kelangsungan hidup untuk transfusi intrauterin adalah 89%, tingkat


komplikasi adalah 3%. Komplikasi termasuk pecahnya membran dan
kelahiran prematur, infeksi, gangguan janin membutuhkan pengiriman darurat
sesar, dan kematian perinatal.

 Dilaporkan rute pemberian produk darah pada janin melalui perkutan vena
umbilikalis, vena umbilikalis intrahepatik, arteri umbilikalis, dan pendekatan
berbagai gabungan ibntervensi. Transfusi intrakardiak juga telah dilaporkan.

20
Sukses telah diklaim dengan transfusi janin parsial dikemas-sel uang,
plasmapheresis ibu, prometazin ibu atau pengobatan kortikosteroid, janin
intravena Ig-G, transfusi trombosit janin, dan administrasi janin manusia
granulosit-stimulating faktor, sekali lagi menggunakan berbagai rute.

 Penggunaan metode invasif langsung mungkin meningkatkan risiko janin.

 Pendarahan berat karena kerapuhan pembuluh darah, massa tumor vaskuler,


perdarahan masif sering mengakibatkan kematian janin secara cepat.
Meskipun mereka yang bertahan hidup mungkin mendapatkan keuntungan
dari transfusi janin, seperti dijelaskan di atas, perdarahan lanjutan dapat
membuat upaya tersebut sia-sia. Dengan demikian, pendekatan yang lebih
agresif dalam kondisi seperti itu dapat dibenarkan.

 Photocoagulation dan frekuensi radio teknik ablasi termal juga menunjukkan


banyak janji dalam hal ini. Informasi ini awal, sebagian besar berasal dari
studi hewan, dan tidak ada pengalaman percobaan klinik yang luas pada janin
manusia saat ini tersedia. Namun demikian, penyakit yang mengancam jiwa
dapat membenarkan mengancam nyawa pengobatan dalam beberapa kasus,
dan menggunakan teknologi tersebut dalam situasi perdarahan janin aktif
mungkin cukup menjanjikan. Gunakan teknik ini untuk memperbaiki shunting
arteriovenosa besar yang menyebabkan hidrops fetalis juga menunjukkan janji
yang nyata efektivitas.

 Efusi pleura ditangani dengan thoracenteses janin tunggal atau serial,


pleurothoraco-ketuban shunts, dan bedah janin untuk mengoreksi penyebab
yang mendasari.

 Efusi perikardial dikelola dengan pericardiocenteses tunggal atau serial atau


manuver drainase berkelanjutan.

 Asites dapat diobati dengan peritoneo-amniotic shunts, dan intraperitoneal


albumin. Keberhasilan dan kegagalan telah dilaporkan dengan semua metode;

21
bukti menunjukkan bahwa salah satu pendekatan adalah lebih baik daripada
yang lain karena tepat data percobaan komparatif tidak tersedia.

 Operasi janin dengan koreksi definitif anomali yang mendasari telah


dilaporkan dengan frekuensi meningkat. Kelangsungan hidup janin
ditingkatkan dengan malformasi adenomatoid kistik dan dengan penyerapan
bronkopulmonalis telah diamati dalam seri besar beberapa di mana langkah-
langkah korektif langsung telah digunakan. Meskipun keberhasilan ini telah
diukur terhadap hasil menggunakan kontrol bersejarah, tindakan tersebut
masuk akal fisiologis dan, dengan demikian, menunjukkan menjanjikan.

 Resusitasi pada hidrops fetalis menimbulkan masalah yang unik untuk


neonatologis. Dokter kandungan harus bekerja sama dengan neonatologis
sesegera hidrops diidentifikasi pada janin.

 Setelah hidrops telah didiagnosis antenatal, melakukan segala upaya untuk


menegakkan penyebabnya, ini sangat membantu dalam mengobati bayi saat
lahir.

 Selain peralatan yang sesuai dan perlengkapan, tim terampil profesional


perawatan kesehatan neonatologis, perawat, ahli terapi pernapasan, radiograf
teknisi, teknisi ultrasonografi yang berpengalaman harus hadir di ruang
bersalin.

 Lakukan atau ulangi pemeriksaan ultrasonografi antenatal untuk menilai


keberadaan dan tingkat efusi pleura, efusi perikardial, atau ascites sebelum
pengiriman karena cairan tersebut mungkin memerlukan aspirasi di ruang
bersalin untuk membentuk ventilasi yang cukup dan sirkulasi.

 Penilaian hematokrit janin, pO2 dan pH sampling pusar perkutan, meskipun


berisiko, dapat membantu dalam kasus-kasus yang dipilih untuk manajemen
awal.

22
 Setelah menetapkan jalan napas bayi dan ventilasi, kateter umbilikalis tempat
arteri dan vena untuk memonitor tekanan arteri, gas darah, dan tekanan vena.

 Packed RBCs atau whole blood crossmatched dengan darah ibu harus tersedia
untuk transfusi atau transfusi tukar parsial untuk mengoreksi anemia berat.

 Mengantisipasi dan segera memperbaiki kelainan metabolik seperti asidosis


dan hipoglikemia.1,3,4,5

Tabel 3. Penanganan Hidrops Fetalis

2.10 Komplikasi

Komplikasi yang terjadi pada ibu:

 Edema
 Hipertensi

 Proteinuria saat pengobatan konservatif hidrops fetalis yang disebut Mirror


syndrome (pseudotoxemia atau Ballantyne syndrome)

2.11 Pencegahan

23
Tindakan terpenting untuk menurunkan insidens kelainan hemolitik akibat
isoimunisasi Rhesus, adalah imunisasi pasif pada ibu. Setiap dosis preparat
imunoglobulin yang digunakan memberikan tidak kurang dari 300 mikrogram
antibodi D. 100 mikrogram anti Rhesus (D) akan melindungi ibu dari 4 ml darah
janin. Suntikan anti Rhesus (D) yang diberikan pada saat persalinan bukan sebagai
vaksin dan tak membuat wanita kebal terhadap penyakit Rhesus. Suntikan ini
untuk membentuk antibodi bebas, sehingga ibu akan bersih dari antibodi pada
kehamilan berikutnya.

Preparat globulin yang diberikan kepada ibu dengan Rhesus negatif yang
mengalami sensitisasi dalam waktu 72 jam sesudah melahirkan, ternyata sangat
protektif. Ibu dengan kemungkinan abortus, kehamilan ektopik, mola hidatidosa,
atau perdarahan pervaginam harus ditangani karena akan mengalami isoimunisasi
tanpa preparat imunoglobulin. Ibu rhesus negatif yang memperoleh darah ataupun
fraksi darah berupa trombosit atau plasmaferesis berisiko untuk mengalami
sensitisasi.

2.12 Prognosis

Hidrops fetalis tetap menjadi kondisi yang kompleks dengan mortalitas


dan morbiditas yang tinggi. Prognosis sebagian tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tetapi dengan perawatan postnatal agresif, tingkat kelangsungan
hidup meningkat pada kasus tertentu.

Hasil hidrops fetalis terutama tergantung pada usia, penyebab yang


mendasari kehamilan saat lahir, dan tingkat albumin serum.

24
BAB III

KESIMPULAN

Hidrops fetalis adalah kondisi janin serius dengan menifestasi akumulasi


abnormal cairan dalam dua atau lebih kompartemen janin, termasuk ascites, efusi
pleura, efusi perikardial, dan edema kulit.

Insiden tepat hidrops fetalis sulit untuk dijelaskan, karena banyak kasus
tidak terdeteksi sebelum kematian janin intrauterin dan beberapa kasus
mungkin berakhir secara spontan di dalam rahim.

Hidrops fetalis tetap menjadi kondisi yang kompleks dengan mortalitas


dan morbiditas yang tinggi. Prognosis sebagian tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tetapi dengan perawatan postnatal agresif, tingkat kelangsungan
hidup meningkat pada kasus tertentu.

Ada dua jenis hidrops fetalis: imun dan non-imun. Hidrops fetalis imun
merupakan komplikasi inkompatibilitas Rh yang parah. Inkompatibilitas Rh ini
menyebabkan kerusakan besar sel-sel darah merah, yang mengarah ke beberapa
masalah, termasuk pembengkakan tubuh total. Pembengkakan parah dapat
mengganggu kerja organ-organ tubuh. Hidrops fetalis non-imun terjadi ketika
kondisi penyakit mengganggu kemampuan tubuh untuk mengatur cairan. Ada tiga
penyebab utama untuk jenis ini: masalah jantung atau paru-paru, anemia berat
(thalasemia), dan cacat genetik.

Diagnosis dan pengelolaan hidrops fetalis menjadi tantangan tersendiri


bagi perinatologis dan neonatologis. Tingkat kematian yang tinggi, dan pilihan
pengobatan yang terbatas. Faktor yang paling penting untuk memastikan
pengobatan yang tepat dari janin dengan hidrops adalah diagnosis yang tepat dan

25
rinci. Sampai patofisiologi yang mendasari, dipahami dan luasnya kelainan
memimpin pengembangan hidrops benar-benar didefinisikan, segala upaya
pengobatan adalah sia-sia dan berpotensi membahayakan.

26
LAPORAN KASUS OBSTETRI

STATUS KEBIDANAN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama :Ny. EN
Umur :29 Tahun
Agama :Kristen
Pekerjaan :IRT
Pendidikan :SMA
Alamat : Dusun V Desa Percut No. 9
Tanggal Masuk :3 Juli 2018
Pukul : 08.30 WIB

Suami,
Nama : Tn. R K
Umur :31Tahun
Agama :Kristen
Pekerjaan :Wiraswasta
Pendidikan : SMA
Alamat : Dusun V Desa Percut No. 9

II. ANAMNESA
Ny. EN, 29 th, G1P0A0, Kristen, IRT, SMA i/d Tn. RK, 31 th, Kristen,
Wiraswasta, SMA, datang ke RS Haji Medan pada tanggal 3 Juli 2018
pada pukul 08.30 WIB dengan:

Keluhan Utama: Keluar cairan dari kemaluan


Telaah : Pasien datang ke IGD RS Haji Medan dengan keluhan
keluar cairan dari kemaluan. Hal ini diketahui pasien
sejak 6 jam yang lalu. Cairan berwarna jernih dan tidak
berbau.Riwayat mules-mules mau melahirkan (+),
Riwayat keluar lendir bercampur darah (-), Riwayat
bercampur dengan suami beberapa hari ini (-),Riwayat
Trauma (-), Riwayat perut di kusuk (-), BAB dan BAK
dalam batas normal.
RPT/RPO : -/-

27
HPHT : 06-11-2017
TTP : 07-07-2018
ANC : Bidan 1x
Sp.OG 2x

a. Riwayat Persalinan
1. Hamil ini

b. Tanda2 Keracunan hamil


Edema :-
Pening :- Vertigo :-
Mual :-
Gangguan Visus :-
Muntah :-
Nyeri ulu hati :- Icterus
Kejang-kejang : -:
Koma :-
III. PENYAKIT YANG PERNAH DIDERITA
Anemia :- Ikterus :-
Hipertensi :-
Peny. Ginjal :-
Diabetes Melitus :-
Tuberculosis :-

IV. HASIL PEMERIKSAAN UMUM


Berat Badan :69 Kg
Tinggi badan : 153 cm Anemia :-
Kesadaran : Compos Mentis
Ikterus :-
Nadi :84x/i
Edema :-
TekananDarah : 120/90 mmHg
Sianosis :-
Suhu : 36,7° C
Dispnea :-
Pernapasan : 22 x/i

V. STATUS LOKALIS
Abdomen :Membesar asimetris
Tinggi Fundus Uteri :2 Jari dibawah proccesus xyphoideus
Teregang :Kanan

28
Bagian terbawah :Kepala
Penurunan : 4/5
S.B.R :DBN
DJJ : 132 x/mnt
Formula Johnson : (34 cm – 11) x 155.
TBJ : 3565 gr
Osborn Test :-
His :+
Nitrazine Test :+

VI. PEMERIKSAAN DALAM (VT)


Tanggal : 3 Juli 2017
Jam :11.15 WIB
Dokter :dr. Muslich, Sp.OG
Indikasi :Inpartu
Pembukaan :2 cm
Cervix :Sakral
Effacement :80%
Bagian terbawah :kepala
Turunnya :Hodge 1
Posisinya :UUK
Promontorium :Tidak teraba
Lin. Inominata : Teraba 2/3 anterior
Sacrum :Cekung
Spina ischiadica : Tidak menonjol
Arcus Pubicum :Tumpul
Vagina :Dalam batas normal
Vulva :Dalam batas normal
Sarung tangan :Lendir darah (-)
Meconium :-

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG


USG-TAS( 27 Juni 2018)
JT, AH
FM (+), FHR (+)
BPD : 8,86cm
AC : 34,04cm
FL : 7,6cm
EFW : 3300 gram
Plasenta : Corpus anterior
Air ketuban : Cukup

29
Kesan : KDR (37-38) minggu + PK + AH

DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
1. KPD + PG + KDR (37-38) minggu + PK + AH + INPARTU
2. TRIKOMONIASIS + PG + KDR (37-38) minggu + PK + AH + INPARTU
3. VAGINOSIS BAKTERIAL + PG + KDR (37-38) minggu + PK + AH +
INPARTU

DIAGNOSA:
KPD + PG + KDR (37-38) minggu + PK + AH + INPARTU

Hasil laboratorium tanggal 03-07-2018 pukul 13.30 WIB

Hematologi
Darah rutin Nilai Nilai Rujukan Satuan
Hemoglobin *11.0 12 – 16 g/dl
Hitung eritrosit 4.2 3,9 - 5,6 10*6/µl
Hitung leukosit *14.900 4.000- 11.000 /µl
Hematokrit 37.5 36-47 %
Hitung trombosit 219.000 150,000-450,000 /µl

Index eritrosit
MCV 89.7 80 – 96 fL
MCH 26.2 26 – 31 pg
MCHC *29.3 30 – 34 %

Hitung jenis leukosit


Eosinofil 1 1–3 %
Basofil 0 0–1 %
N.Stab *0 2– 6 %
N. Seg *84 53–75 %
Limfosit *10 20–45 %
Monosit 5 4–8 %

PERIHAL PERSALINAN
 Ibu dibaringkan di meja operasi dengan infuse dan kateter terpasang
dengan baik, dilakukan anestesi spinal dan dilakukan tindakan septik dan

30
antiseptik dengan betadine dan alkohol 70%, lalu ditutupi dengan duksteril
kecuali lapangan operasi.
 Dilakukan insisi phanensteel speuig 10 cm dimulai dari kutis, subkutis,
facia digunting ke kanan dan ke kiri, otot dilebarkan secara tumpul .
 Peritoneum di jepit, dijinjing dan digunting keatas dan kebawah, tampak
uterus, identifikasi SBR, pasang hack blast, insisi uterus low cervical
sampai sub endometrium, endometrium digunting kekiri dan kekanan,
 Dengan meluksir kepala, lahir bayi Laki-laki dengan berat badan : 2900
gram, panjang badan 49cm, A/S : 8/9, Anus (+) , tali pusat diklem di dua
tempat lalu digunting, placenta lahir spontan dengan ptt, kesan lengkap.
 Tepi luka uterus dijepit, cavum uterus dibersihkan, kesan bersih, uterus
dijahit lapis demi lapis, evaluasi pedarahan jahitan luka insisi, kesan
:terkontrol.
 Cavum abdomen dibersihkan, kesanbersih. Dinding abdomen dijahit lapis
demi lapis mulaidari peritoneum, otot,facia, subkutis dan kutis.
 Luka operasi ditutupi dengam supratule dan kassa steril.
 Operasiselesai, Keadaan umum ibu post SC stabil
Th/ - IVFD RL + Oksitosin 10-10-5-5IU  20gtt/i
- Inj. Cefotaxim 1gr/ 8 jam
- Inj. Gentamisin 80mg/ 8 jam
- Inj. Ketorolac 30mg/ 8 jam
- Inj. Ranitidin 50mg/ 12 jam
- Neurodex 2x1

VIII. KALA IV
Jam Nadi Tek.Darah Pernapasan Kontraksi Perdarahan
Uterus
19.30 80x/ 130/90 20 x / menit Kuat Lochia
WIB menit mmHg rubra (+)
19.45 80x/ 130/90 20 x / menit Kuat Lochia
WIB
menit mmHg rubra (+)
20.00 80x/ 130/90 20 x / menit Kuat Lochia

31
WIB menit mmHg rubra (+)
20.15 80x/ 130/100 20 x / menit Kuat Lochia
WIB menit mmHg rubra (+)
21.45 84x/ 130/90 20 x / menit Kuat Lochia
WIB
meit mmHg rubra (+)
22.15 84x/ 130/90 20 x / menit Kuat Lochia
WIB menit mmHg rubra (+)

FOLLOW UP
TANGGAL 4/07/2018 PUKUL 06.00 WIB
S : Nyeri diluka Operasi
O : Sensorium : CM Anemis :-
TD : 130/70 mmHg Ikterik :-
HR : 80 x/i Dispnoe :-
RR : 22 x/i Sianosis :-
o
Temp : 36.8 C Edema :-
SL : Abdomen : Soepel, peristaltik (+)
TFU : 1 jari Bpst, kontraksi kuat
P/V :Tertutup verban, kesan kering
BAK : (+) Via Kateter 70 cc/ jam
BAB : (-)
Flatus : (-)
a
A : Post SC /i KPD+ NH1
P : - IVFD RL + oxytocin 10-10-5-5 IU 20 gtt/i
- Inj. Cefotaxim 1gr / 12 jam
- Inj. Gentamycin 80 mg / 8 jam
- Inj. Ranitidin 50 mg / 12 jam
- Inj. Ketorolac 30 mg / 8 jam
- Neurodex 2x1
R : Therapy lanjut

FOLLOW UP
TANGGAL 5/07/2018 PUKUL 06.00 WIB
S :-
O : Sensorium : CM Anemis :-
TD : 120/80 mmHg Ikterik :-
HR : 92 x/i Dispnoe :-
RR : 22 x/i Sianosis :-
Temp : 36.8o C Edema :-
SL : Abdomen : Soepel, peristaltik (+)
TFU : 1 jari Bpst, Kontraksi kuat
P/V : Tertutup verban, kesan kering
BAK : (+)spontan

32
BAB : (-)
Flatus : (+)
a
A : Post SC /iKPD + NH2
P : - IVFD RL 20 gtt/i
- Inj. Cefotaxim 1gr / 12 jam
- Inj. Gentamycin 80 mg / 8 jam
- As. Mefenamat 3x500 mg
- Neurodex 2x1
R : Therapy lanjut

FOLLOW UP
TANGGAL 6/07/2018 PUKUL 06.00 WIB
S :-
O : Sensorium : CM Anemis :-
TD : 110/60 mmHg Ikterik :-
HR : 80 x/i Dispnoe :-
RR : 20x/i Sianosis :-
o
Temp : 36.8 C Edema :-
SL : Abdomen : Soepel, peristaltik (+)
TFU : 1 jari Bpst, Kontraksi kuat
P/V : Tertutup verban, kesan kering
BAK : (+) spontan
BAB : (-)
Flatus : (+)
a
A : Post SC /iKPD + NH3
P : Inj. Cefotaxim 1gr / 12 jam
Inj. Gentamycin 80 mg / 8 jam
Neurodex 2x1
Antasida Syr 3x1 cth
R :GV kering Besok PBJ

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham FG, et al. Fetus and Newborn. In: Williams Obstetrics. 22 nd


ed. USA: McGraw-Hill Companies; 2005.
2. Prawirohardjo S,Wiknjosastro H. Masalah Janin dan Bayi Baru Lahir.
Dalam: Ilmu Kebidanan. 4th ed. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2011.

3. Cabot RC, et al. A Premature Newborn Infant with Congenital Ascites.


The New England Journal of Medicine. [cited 16 Juli 2018] Available
from: http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJM199707243370408

4. Medical Advisory Board. Hydrops Fetalis. [cited 16 Juli 2018] Available


from: http://www.perinatology.com/conditions/Hydrops.htm

34

Anda mungkin juga menyukai