Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Airway management ialah memastikan jalan napas terbuka. Tindakan paling penting
untuk keberhasilan resusitasi adalah segera melapangkan saluran pernapasan dengan tujuan
untuk menjamin jalan masuknya udara ke paru secara normal sehingga menjamin kecukupan
oksigenasi jaringan.1 Airway manajemen merupakan hal yang terpenting dalam resusitasi dan
membutuhkan keterampilan yang khusus dalam penatalaksanaan keadaan gawat darurat, oleh
karena itu hal pertama yang harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas, yang meliputi
pemeriksaan jalan nafas yang dapat disebabkan oleh benda asing, fraktur tulang wajah,
fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau trakea. Gangguan airway dapat timbul
secara mendadak dan total, perlahan-lahan dan sebagian, dan progresif dan/atau berulang.2

Kesulitan terbesar dari seorang dokter anestesi adalah bila jalan nafas tidak dapat
diamankan. Penatalaksanaan pasien dengan jalan nafas yang normal adalah kunci penting
dalam latihan penanganan pasien. Pada pasien yang memiliki anatomi jalan nafas yang sulit
penting untuk dilakukan penanganan.3

Berbagai penelitian melaporkan bahwa 1 - 18% pasien memiliki anatomi jalan nafas
yang sulit. Dari jumlah ini 0,05 - 0,35% pasien tidak dapat di intubasi dengan baik, bahkan
sejumlah lainnya sulit untuk diventilasi dengan sungkup. Jika kondisi ini ditempatkankan
pada seorang dokter yang memiliki pasien sedang sampai banyak maka dokter tersebut akan
menemui 1 – 10 pasien yang memiliki anatomi jalan nafas yang sulit untuk diintubasi.3

Difficult airway atau kesulitan jalan nafas di definisikan sebagai situasi klinis di
mana anestesiologis terlatih mengalami kesulitan dengan ventilasi masker di saluran napas
bagian atas, kesulitan intubasi trakea, atau keduanya. Kesulitan jalan napas merupakan
interaksi kompleks dari faktor pasien, klinis, dan kemampuan dokter.1 Berbagai penyebab
jalan napas sulit, seperti gangguan struktural (kontraktur akibat luka bakar, trauma, dan
ankilosis sendi temporomandibular), inflamasi (abses retrofaringeal dan epiglotitis akut),
neoplasma (ensefalokel dan meningomielokel), malformasi kraniofasial (sindrom Down,
sindrom Pierre Robin, dan sindrom Treacher Collins).4

Efek dari kesulitan respirasi dapat berbagai macam bentuknya, dari kerusakan otak
sampai kematian. Resiko tersebut berhubungan dengan tidak adekuatnya penatalaksanaan
jalan nafas pasien yang dibuktikan pada jumlah kasus-kasus malpraktek yang diperiksa oleh
American Society of Anesthesiologist Closed Claims Project. Pada kasus-kasus yang sudah
ditutup tersebut terhitung bahwa jumlah terbanyak insiden kerusakan otak dan kematian
disebabkan oleh kesulitan respirasi. 3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. ANATOMI
Anatomi Jalan Napas

Gambar 1.1 Anatomi Jalan Napas

Jalan nafas pada manusia terdiri dari dua jalan, yaitu hidung yang menuju nasofaring
(pars nasalis), dan mulut yang menuju orofaring (pars oralis) yang di pisahkan oleh
palatum pada bagian anteriornya, tapi kemudian bergabung di bagian posterior dalam
faring. Faring berbentuk seperti huruf U dengan struktur fibromuskuler yang memanjang
dari dasar tengkorak menuju kartilago krikoid pada jalan masuk ke esofagus. Bagian
depannya terbuka ke dalam rongga hidung, mulut, laring, nasofaring, orofaring dan
laringofaring (pars laryngeal). Nasofaring dipisahkan dari orofaring oleh garis imaginasi
mengarah ke posterior. Pada dasar lidah, epiglotis memisahkan orofaring dari
laringofaring (atau hipofaring). Epiglotis mencegah terjadinya aspirasi dengan menutup
glotis, gerbang laring, pada saat menelan. Laring adalah suatu rangka kartilago yang
diikat oleh ligamen dan otot. Laring disusun oleh 9 kartilago: tiroid, krikoid, epiglotis,
dan (sepasang) aritenoid, kornikulata dan kuneiforme. 5

Gambar 1.2 Anatomi Laring

Saraf sensoris dari saluran nafas atas berasal dari saraf kranial membran mukosa dari
hidung bagian anterior dipersarafi oleh divisi ophthalmic (V1) saraf trigeminal (saraf
ethmoidalis anterior) dan di bagian posterior oleh divisi maxila (V2) (saraf
sphenopalatina). Saraf palatinus mendapat serabut saraf sensori dari saraf trigeminus (V)
untuk mempersarafi permukaan superior dan inferior dari palatum molle dan palatum
durum. Saraf lingual (cabang dari saraf divisi mandibula (V3) saraf trigeminal) dan saraf
glosofaringeal (saraf kranial yang ke 9) untuk sensasi umum pada dua pertiga bagian
anterior dan sepertiga bagian posterior lidah. Cabang dari saraf fasialis (VII) dan saraf
glosofaringeal untuk sensasi rasa di daerah tersebut. Saraf glosofaringeal juga
mempersarafi atap dari faring, tonsil dan bagian dalam palatum molle. Saraf vagus (saraf
kranial ke 10) untuk sensasi jalan nafas dibawah epiglotis. Saraf laringeal superior yang
merupakan cabang dari saraf vagus dibagi menjadi saraf laringeus eksternal yang bersifat
motoris dan saraf laringeus internal yang bersifat sensoris untuk laring antara epiglotis
dan pita suara. Cabang vagus yang lainnya yaitu saraf laringeal rekuren, mempersarafi
laring dibawah pita suara dan trakhea.5

Gambar 1.3 Persarafan Saluran Nafas

Otot laring dipersarafi oleh saraf laringeal rekuren (cabang dari saraf laringeal superior)
dengan pengecualian otot krikotiroid, yang dipersarafi oleh saraf laringeal externa
(motoris). Otot krikotiroid posterior mengabduksi pita suara, seraya otot krikoaritenoid
lateral adalah adduktor utama.5

Fonasi merupakan kerja yang simultan dari beberapa otot laring. Kerusakan saraf motoris
yang mempersarafi laring, menyebabkan gangguan bicara. Gangguan persarafan
unilateral dari otot krikotiroid menyebabkan gangguan klinis. Kelumpuhan bilateral dari
saraf laringeal superior bisa menyebabkan suara serak atau suara lemah, tapi tidak
membahayakan kontrol jalan nafas.5
Paralisis unilateral dari saraf laringeal rekuren menyebabkan paralisis dari pita suara
ipsilateral, menyebabkan kemunduran dari kualitas suara. Pada saraf laringeal superior
yang intact, kerusakan akut saraf laringeal rekuren bilateral dapat menyebabkan stridor
dan distress pernafasan karena masih adanya tekanan dari otot krikotiroid. Jarang
terdapat masalah jalan nafas pada kerusakan kronis saraf laringeal rekuren bilateral
karena adanya mekanisme kompensasi (seperti atropi dari otot laringeal).5

Kerusakan bilateral dari saraf vagus mempengaruhi kedua saraf laringeal rekuren dan
superior. Jadi, denervasi vagus bilateral menyebabkan pita suara flasid dan midposisi
mirip seperti setelah pemberian suksinilkolin. Walaupun fonasi terganggu berat pada
pasien ini, kontrol jalan nafas jarang terjadi masalah.5

Pasokan darah untuk laring berasal dari cabang arteri tiroidea. Arteri krikoaritenoid
berasal dari arteri tiroidea superior itu sendiri, cabang pertama dari arteri karotis externa
dan menyilang pada membran krikotiroid bagian atas, yang memanjang dari kartilago
krikoid ke kartilago tiroid. Arteri tiroidea superior ditemukan sepanjang tepi lateral dari
membran krikotiroid. Ketika merencanakan krikotirotomi, anatomi dari arteri krikoid dan
arteri tiroid harus dipertimbangkan tetapi jarang berefek pada praktek klinis. Teknik
paling baik adalah untuk tetap pada garis tengah, antara kartilago krikoid dan tiroid.5

2. DIFFICULT AIRWAY
Definisi
Difficult airway atau kesulitan jalan nafas di definisikan sebagai situasi klinis di
mana anestesiologis terlatih mengalami kesulitan dengan ventilasi masker di saluran
napas bagian atas, kesulitan intubasi trakea, atau keduanya.1

Klasifikasi Difficult Airways


Istilah difficult airway tidak hanya menggambarkan satu kondisi saja, tetapi kesulitan
dapat ditemui pada kondisi yang berbeda-beda. Perhimpunan ASA (The ASA Task
Force) American Society of Anesthesiologists membagi difficult airway menjadi:1
1. Kesulitan ventilasi dengan sungkup muka atau SGA ( Difficult face mask or
Supraglottic Airway/ SGA ventilation )
Pada keadaan ini dokter tidak dapat memberikan ventilasi yang adekuat karena
beberapa keadaan berikut: penutupan masker atau SGA yang tidak adekuat, terlalu
banyak gas yang bocor, atau resistensi yang berlebihan terhadap masuknya atau jalan
keluar gas. Tanda pada ventilasi yang inadekuat diantaranya tidak adanya atau
inadekuat dari pergerakan dada, suara nafas, tanda auskultasi pada obstruksi yang
parah, sianosis, masuknya udara pada lambung, penurunan SpO2, tidak adanya
pengeluaran gas CO2, pada spirometri tidak terlihat adanya aliran gas ekshalasi, dan
perubahan hemodinamik seperti hipoksemia atau hipercarbia (hipertensi, takikardia,
dan aritmia).1
2. Kesulitan menempatkan SGA ( Difficult SGA placement )
Penempatan SGA membutuhkan beberapa upaya, dengan adanya atau tidak adanya
patologi pada trakea.1
3. Laringoskopi yang sulit ( Difficult Laryngoscopy )
Kesulitan dalam melihat plica vocalis setelah beberapa upaya pada Laringoskopi
Konvensional.1
4. Kesulitan pada intubasi trakea ( Difficult tracheal intubation )
Intubasi trakea membutuhkan beberapa upaya, dengan ada atau tidaknya patologi pada
trakea.1
5. Intubasi gagal ( Failed intubation )
Upaya untuk menempatkan Endotracheal Tube (ETT) gagal.1

2.1 Kesulitan Ventilasi

Difficult Ventilation / Kesulitan Ventilasi: Menurut The American Society of


Anesthesiology adalah ketidakmampuan dari ahli anestesi yang berpengalaman untuk
menjaga SO2 > 90 % saat ventilasi dengan menggunakan masker wajah, dan O2 inspirasi
100%, dengan ketentuan bahwa tingkat saturasi oksigen ventilasi pra masih dalam batas
normal.1

Pada keadaan ini dokter tidak dapat memberikan ventilasi yang adekuat karena
beberapa keadaan berikut: penutupan masker atau SGA yang tidak adekuat, terlalu banyak
gas yang bocor, atau resistensi yang berlebihan terhadap masuknya atau jalan keluar gas.
Tanda pada ventilasi yang inadekuat diantaranya tidak adanya atau inadekuat dari
pergerakan dada, suara nafas, tanda auskultasi pada obstruksi yang parah, sianosis,
masuknya udara pada lambung, penurunan SpO2, tidak adanya pengeluaran gas CO2, pada
spirometri tidak terlihat adanya aliran gas ekshalasi, dan perubahan hemodinamik seperti
hipoksemia atau hipercarbia (hipertensi, takikardia, dan aritmia).1
Penilaian Kesulitan Ventilasi: (OBESE) : 1
 Over weight (body mass index > 26 kg/m2)
 Beard
 Elderly (> 55 tahun)
 Snoring
 Edentulous 1

Tanda kegagalan ventilasi:


- Tidak adekuat atau tidak adanya gerakan dinding dada
- Berkurangnay atau tidak adanya suara napas
- Pada auskultasi ditemukan tanda obstruksi
- Sianosis
- Dilatasi lambung atau meningkatnya udara lambung
- Berkurangnya atau tidak adanya saturasi oksigen
- Berkrangnya atau tidak adanya pengeluaran karbondioksida
- Berkurangnya atau tidak adanya hembusan udara pada spirometri
- Perubahan hemodinamik, hipoksia atau hiperkarbia1

2.2 Kesulitan Intubasi

Difficult intubation adalah keadaan dimana intubasi dengan beberapa upaya


laringoskopi, manuver dan / atau scalpel digunakan oleh seorang dokter ahli yang
berpengalaman.

Menurut Difficult Airway Society (DAS) 2015, suatu intubasi dikatakan sulit jika
seorang dokter anestesi berpengalaman butuh lebih dari sepuluh menit atau lebih dari tiga
kali untuk sebuah intubasi endotrakeal yang sukses.

Penyebab terjadinya intubasi yang sulit dipengaruhi oleh beberapa faktor, untuk
mengetahuinya juga digunakan beberapa macam kriteria dan klasifikasi sebagai berikut:
A. Kriteria Anatomi

1. Klasifikasi Mallampati

Klasifikasi Mallampati berkolerasi dengan ukuran lidah dan ukuran faring. Untuk
menentukan klasifikasi ini, dilakukan tes pada pasien dalam keadaan sadar, dengan posisi duduk,
mulut terbuka dan lidah dijulurkan semaksimal mungkin. Pasien sebaiknya tidak melakukan fonasi
karena dapat menyebabkan kontraksi dan elevasi dari pallatum molle yang meyebabkan kesan
yang salah. Untuk menghindari false negative atau false positive, tes ini sebaiknya harus dilakukan
dua kali atau lebih.

2. Ekstensi Sendi Atlanto Occipital

3. Mandibular space

a. Thyromental Distance (Patil’s Test)

b. Sterno mental distance

c. Mandibulo-hyoid distance

d. Inter-incisor distance

1. Mallampati
Klasifikasi Mallampati/Samsoon-Young berdasarkan penampakan dari orofaring.4, 5
Gambar 2.2 A. Skor Mallampati B. Skor Smasoon and Young

A. Klasifikasi Klinis
Mallampati

Kelas I Tampak uvula, pilar fausial dan


palatum mole

Kelas II Pilar fausial dan palatum mole terlihat

Kelas III Palatum durum dan palatum mole


masih terlihat

Kelas IV Palatum durum sulit terlihat 2,3

Tabel 2.2 Skor Mallampati pada klinis

B. Klasifikasi Samsoon Klinis


Young
Kelas I Visualisasi seluruh bukaan laring

Kelas II Visualisasi hanya komisura


posterior dari bukaan laring

Kelas III Visualisasi hanya epiglotis

Kelas IV Visualisasi hanya soft palate

Tabel 2.3 Skor Samsoon and Young untuk penilaian laring

2. Measurements 3-3-2-1 or 1-2-3-3 Fingers


3 – Jari. Bukaan mulut.
3 – Jari. Jarak hypomental = dari manthus sampai leher
2 – Jari antara thypiod sampai dasar dari mandibula
1 - Jari. Subluksasi mandibula

3. Movement of the neck


Ektensi leher "normal" adalah 35° (The atlanto-oksipital/ A-O joint).
Keterbatasan ektensi sendi terdapat pada spondylosis, rheumatoid arthritis, halo-
jaket fiksasi, pasien dengan gejala yang menunjukkan kompresi saraf dengan
ekstensi servikal.

Gambar 2.3 Ekstensi leher normal

4. Malformation of the Skull (S), Teeth (T), Obstruction (O), Pathology (P)
STOP
S = Skull (Hidrocephalus dan mikrocephalus)
T = Teeth (Buck, protruded, & gigi ompong, makro dan mikro mandibula)
O = Obstruction (obesitas, leher pendek dan bengkak disekitar kepala and leher)
P =Pathologi (kraniofacial abnormal & Syndromes: Treacher Collins, Goldenhar’s,
Pierre Robin, Waardenburg syndromes) 2,3

Tabel 2.4 Metode 4Ms


Jika score pasien 8 atau lebih, maka memungkinkan difficult airway

4. LEMON Airway Assestment Method


Salah satu alat yang dikembangkan untuk menentukan pasien mungkin
menimbulkan kesulitan manajemen jalan nafas adalah metode LEMON.3

L = Look externally
Melihat adanya hal-hal yang menyebabkan pasien membutuhkan tindakan
ventilasi atau intubasi dan evaluasi kesulitan secara fisik, misalkan leher pendek,
trauma facial, gigi yang besar, kumis atau jenggot, atau lidah yang besar.3

E = Evaluate 3 – 3 – 2 rule
3 – 3 – 2 rule adalah penentuan jarak anatomis menggunakan jari sebagai alat ukur
untuk mengetahui seberapa besar bukaan mulut.3
Gambar 2.1 Evaluasi Jari 3 – 3 – 2

M = Mallampati score
Mallampati score digunakan sebagai alat klasifikasi untuk menilai visualisasi
hipofaring, caranya pasien berbaring dalam posisi supine, membuka mulut sambil
menjulurkan lidah. 3, 4

Gambar 2.2 Skor Mallampati


Klasifikasi Klinis

 Kelas I Tampak uvula, pilar fausial dan palatum mole


 Kelas II
Pilar fausial dan palatum mole terlihat
 Kelas III
 Kelas IV Palatum durum dan palatum mole masih terlihat

Palatum durum sulit terlihat

Tabel 2.1 Skor Mallampati pada klinis


O = Obstruction/Obesity
Menilai adanya keadaan yang dapat menyebabkan obstruksi misalkan abses
peritonsil, trauma.
Obesitas dapat menyebabkan sulitnya intubasi karena memperberat ketika
melakukan laringoskop dan mengurangi visualisasi laring.3

N = Neck deformity
Menilai apakah ada deformitas leher yang dapat menyebabkan berkurangnya
range of movement dari leher sehingga intubasi menjadi sulit. Leher yang baik
dapat fleksi dan ekstensi dengan bebas ketika laringoskopi atau intubasi, Ektensi
5
leher "normal" adalah 35° (The atlanto-oksipital/ A-O joint).

Tabel 2. 2 Metode Lemon


5.. Cormack and Lehane
6. Skor Wilson
7. Skor El- Ganzhouri

8. The 6-D Method of Airway Assesment


9. Benumof’s 11 Main Element Of Examination

B. High Risk Group


C. Clinical Index

DAFTAR PUSTAKA

1. American Society of Anesthesiologists, 2013. Practice Guidelines for Management of


the Difficult Airway-An Updated Report by the American Society of
Anesthesiologists Task Force on Management of the Difficult Airway. Jurnal
American Society of Anesthesiologists.
2. Kortbeek, J.B. et al., 2008. Advanced trauma life support, 8th edition, the evidence
for change. The Journal of trauma.
3. G. Edward Morgan, Jr., Maged S. Mikhail, Michael J. Murray, (2006), Clinic
Anesthesiologi, McGraw Hill, New York.
4. Johansen LC, Mupanemunda RH, Danha RF. 2012. Managing the newborn infant
with a difficult airway. infant.

5. Morgan GE et al. 2006. Clinical Anesthesiology. 4th edition. New York: Lange Medical
Book.
6.

Anda mungkin juga menyukai