Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Emfisema merupakan salah satu golongan penyakit paru menahun
(PPOK), dimana terjadi gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai
dengan adanya pelebaran permanen ruang udara di distal bronkiolus
terminal disertai adanya kerusakan jaringan parenkim paru (alveoli).
Definisi lain menyebutkan bahwa penyakit paru obstruktif menahun
emfisema adalah penyakit yang gejala utamanya adalah penyempitan
(obstruksi) saluran napas, karena kantungudara diparu menggelembung
secara berlebihan dan mengalami kerusakan yang luas. Emfisema
mengakibatkan pembesaran acinus permanen dan abnormal yang disertai
perubahan destruktif. Apabila destruksi terjadi pada ruang distal sampai
bronkiolus terminal maka diklasifikasikan sebagai emfisema vesikuler dan
apabila destruksi terjadi pada jaringan di antara ruang udara
diklasifikasikan sebagai emfisema interlobular atau interstitial (Bararah &
Jauhar, 2013).
WHO memperkirakan angka mortalitas pada tahun 2020 penyakit
yang terkait dengan tembakau termasuk emfisema akan menjadi masalah
kesehatan terbesar dan menyebabkan 8,4 juta kematian setiap tahun.
Emfisema di Indonesia menduduki peringkat ke-5 sebagai penyebab
kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama. SKRT Depkes RI
menunjukkan angka kematian karena PPOK termasuk didalamnya
emfisema menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian
di Indonesia dan juga di dunia serta belum terlihat penurunan jumlah
penderita, sedangkan pada tahun 2020 diperkirakan akan menempati
urutan ke-3 setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker. Penyakit
emfisema di Indonesia meningkat seiring dengan meningkatnya faktor
resiko penyebab emfisema seperti peningkatan jumlah orang yang
menghisap rokok di usia muda, pesatnya kemajuan industri serta polusi

1
udara. Perkiraan akibat penggunaan tembakau akan menyebabkan 70
persen kematian karena penyakit paru kronik dan emfisema (Bararah &
Jauhar, 2013).
B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian emfisema?
2. Apa etiologi dari emfisema?
3. Apa tanda dan gejala yang muncul pada emfisema?
4. Apa patofisiologi dari emfisema?
5. Bagaimana pathway emfisema?
6. Apa pemeriksaan penunjang yng dapat dilakukan untuk penyakit
emfisema?
7. Bagaimana pentalaksanaan emfisema?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian emfisema
2. Untuk mengetahui penyebab emfisema
3. Untuk mengetahui tanda dan gejala yang muncul pada emfisema
4. Untuk mengetahui patofisiologi dari emfisema
5. Untuk mengetahui pathway emfisema
6. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang yng dapat dilakukan untuk
penyakit emfisema
7. Untuk mengetahui pentalaksanaan emfisema

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Emfisema
Emphysema (emfisema) adalah penyakit paru kronis yang
dicirikan oleh kerusakan pada jaringan paru, sehingga paru kehilangan
keelastisannya. Gejala utamanya adalah penyempitan (obstruksi) saluran
napas, karena kantung udara di paru menggelembung secara berlebihan
dan mengalami kerusakan yang luas.
Definisi lain menyebutkan bahwa penyakit paru obstruktif
menahun emfisema adalah penyakit yang gejala utamanya adalah
penyempitan (obstruksi) saluran napas, karena kantungudara diparu
menggelembung secara berlebihan dan mengalami kerusakan yang luas.
Emfisema mengakibatkan pembesaran acinus permanen dan abnormal
yang disertai perubahan destruktif. Apabila destruksi terjadi pada ruang
distal sampai bronkiolus terminal maka diklasifikasikan sebagai emfisema
vesikuler dan apabila destruksi terjadi pada jaringan di antara ruang udara
diklasifikasikan sebagai emfisema interlobular atau interstitial (Bararah &
Jauhar, 2013).
Sedangkan definisi emfisema menurut Kus Irianto, Robbins, Corwin, dan
The American Thorack Society:
1. Emfisema merupakan keadaan dimana alveoli menjadi kaku
mengembang dan terus menerus terisi udara walaupun setelah ekspirasi
(Kus Irianto, 2004:216).
2. Emfisema merupakan morfologik didefisiensi sebagai pembesaran
abnormal ruang-ruang udara distal dari bronkiolus terminal dengan
desruksi dindingnya (Robbins, 1994:253).
3. Emfisema adalah penyakit obtruktif kronik akibat kurangnya elastisitas
paru dan luas permukaan alveoli (Corwin, 2000:435).
4. Suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya
secara abnormal saluran udara bagian distal bronkus terminal, yang

3
disertai kerusakan dinding alveolus. (The American Thorack society,
1962).

Emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang


ditandai oleh pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi
jaringan. Sesuai dengan definisi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa,
jika ditemukan kelainan berupa pelebaran ruang udara (alveolus) tanpa
disertai adanya destruksi jaringan, maka itu “bukan termasuk emfisema”.
Namun, keadaan tersebut hanya sebagai ‘overinflation’.

Emfisema adalah jenis penyakit paru obstruktif kronik yang


melibatkan kerusakan pada kantung udara (alveoli) di paru-paru.
Akibatnya, tubuh tidak mendapatkan oksigen yang diperlukan. Emfisema
membuat penderita sulit bernafas. Penderita mengalami batuk kronis dan
sesak napas. Penyebab paling umum adalah merokok.

Emfisema disebabkan karena hilangnya elastisitas alveolus.


Alveolus sendiri adalah gelembung-gelembung yang terdapat dalam paru-
paru. Pada penderita emfisema, volume paru-paru lebih besar
dibandingkan dengan orang yang sehat karena karbondioksida yang
seharusnya dikeluarkan dari paru-paru terperangkap didalamnya. Asap
rokok dan kekurangan enzim alfa-1-antitripsin adalah penyebab
kehilangan elastisitas pada paru-paru ini.

Terdapat 3 (tiga) jenis emfisema utama, yang diklasifikasikan berdasarkan


perubahan yang terjadi dalam paru-paru :

1. PLE (Panlobular Emphysema/panacinar)


Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan umumnya juga merusak
paru-paru bagian bawah. Terjadi kerusakan bronkus pernapasan,
duktus alveolar, dan alveoli. Merupakan bentuk morfologik yang lebih
jarang, dimana alveolus yang terletak distal dari bronkhiolus terminalis
mengalami pembesaran serta kerusakan secara merata. PLE ini
mempunyai gambaran khas yaitu tersebar merata diseluruh paru-paru.
PLE juga ditemukan pada sekelompok kecil penderita emfisema

4
primer, Tetapi dapat juga dikaitkan dengan emfisema akibat usia tua
dan bronchitis kronik.
Penyebab emfisema primer ini tidak diketahui, tetapi telah diketahui
adanya devisiensi enzim alfa 1-antitripsin.Alfa-antitripsin adalah anti
protease. Diperkirakan alfa-antitripsin sangat penting untuk
perlindungan terhadap protease yang terbentuk secara alami
(Cherniack dan cherniack, 1983). Semua ruang udara di dalam lobus
sedikit banyak membesar, dengan sedikit penyakit inflamasi. Ciri
khasnya yaitu memiliki dada yang hiperinflasi dan ditandai oleh
dispnea saat aktivitas, dan penurunan berat badan. Tipe ini sering
disebut centriacinar emfisema, sering kali timbul pada perokok.
2. CLE (Sentrilobular Emphysema/sentroacinar)
Perubahan patologi terutama terjadi pada pusat lobus sekunder, dan
perifer dari asinus tetap baik. Merupakan tipe yang sering muncul dan
memperlihatkan kerusakan bronkhiolus, biasanya pada daerah paru-
paru atas. Inflamasi merambah sampai bronkhiolus tetapi biasanya
kantung alveolus tetap bersisa. CLE ini secara selektif hanya
menyerang bagian bronkhiolus respiratorius. Dinding-dinding mulai
berlubang, membesar, bergabung dan akhirnya cenderung menjadi satu
ruang.
Penyakit ini sering kali lebih berat menyerang bagian atas paru-paru,
tapi cenderung menyebar tidak merata. Seringkali terjadi kekacauan
rasio perfusi-ventilasi, yang menimbulkan hipoksia, hiperkapnia
(peningkatan CO2 dalam darah arteri), polisitemia, dan episode gagal
jantung sebelah kanan. Kondisi mengarah pada sianosis, edema perifer,
dan gagal napas. CLE lebih banyak ditemukan pada pria, dan jarang
ditemukan pada mereka yang tidak merokok (Sylvia A. Price 1995).
3. Emfisema Paraseptal
Merusak alveoli lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi blebs
(udara dalam alveoli) sepanjang perifer paru-paru. Paraseptal emfisema
dipercaya sebagai sebab dari pneumotorak spontan.

5
PLE dan CLE sering kali ditandai dengan adanya bula tetapi dapat juga
tidak. Biasanya bula timbul akibat adanya penyumbatan katup
pengatur bronkiolus. Pada waktu inspirasi lumen bronkiolus melebar
sehingga udara dapat melewati penyumbatan akibat penebalan mukosa
dan banyaknya mukus. Tetapi sewaktu ekspirasi, lumen bronkiolus
tersebut kembali menyempit, sehingga sumbatan dapat menghalangi
keluarnya udara.

B. Etiologi
1. Faktor Genetik
Faktor genetik mempunyai peran pada penyakit emfisema. Faktor
genetik diantaranya adalah atopi yang ditandai dengan adanya
eosinifilia atau peningkatan kadar imonoglobulin E (IgE) serum,
adanya hiper responsive bronkus, riwayat penyakit obstruksi paru pada
keluarga, dan defisiensi protein alfa – 1 anti tripsin.
2. Hipotesis Elastase-Anti Elastase
Didalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase
dan anti elastase supaya tidak terjadi kerusakan jaringan.Perubahan
keseimbangan menimbulkan jaringan elastik paru rusak. Arsitektur
paru akan berubah dan timbul emfisema.
3. Merokok
Merokok merupakan penyebab utama emfisema paru. Terdapat
hubungan yang erat antara merokok dan penurunan volume ekspirasi
paksa (FEV) (Nowak, 2004). Rokok secara patologis dapat
menyebabkan gangguan pergerakan silia pada jalan nafas,
menghambat fungsi makrofag alveolar, menyebabkan hipertrofi dan
hiperplasia kelenjar mukus bronkus dan metaplasia epitel skuamus
saluran pernapasan.
4. Infeksi
Infeksi saluran nafas akan menyebabkan kerusakan paru lebih hebat
sehingga gejalanya lebih berat. Penyakit infeksi saluran nafas seperti
pneumonia, bronkiolitis akut dan asma bronkiale, dapat mengarah pada

6
obstruksi jalan nafas, yang pada akhirnya dapat menyebabkan
terjadinya emfisema. Infeksi pernapasan bagian atas pasien bronkitis
kronik selalu menyebabkan infeksi paru bagian dalam, serta
menyebabkan kerusakan paru bertambah. Bakteri yang di isolasi
paling banyak adalah haemophilus influenzae dan streptococcus
pneumoniae.
5. Polusi
Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan emfisema. Insiden
dan angka kematian emfisema bisa dikatakan selalu lebih tinggi di
daerah yang padat industrialisasi, polusi udara seperti halnya asap
tembakau, dapat menyebabkan gangguan pada silia menghambat
fungsi makrofag alveolar. Sebagai faktor penyebab penyakit, polusi
tidak begitu besar pengaruhnya tetapi bila ditambah merokok resiko
akan lebih tinggi.
6. Faktor Sosial Ekonomi
Emfisema lebih banyak didapat pada golongan sosial ekonomi rendah,
mungkin kerena perbedaan pola merokok, selain itu mungkin
disebabkan faktor lingkungan dan ekonomi yang lebih jelek.

C. Tanda dan Gejala


1. Pada awal gejalanya serupa dengan bronkhitis kronis
2. Dispnea progresif saat olahraga
3. Dispnea nocturnal paroksismal
4. Edema kaki, batuk produktif
5. Mengi, napas terengah-engah disertai dengan suara seperti peluit
6. Perut kembung
7. Dada berbentuk seperti tong, otot leher tampak menonjol, penderita
sampai membungkuk
8. Bibir sianosis
9. Berat badan menurun akibat anorexia
10. Batuk menahun

7
D. Patofisiologi
Adanya inflamasi, pembengkakan bronchi, produksi lender yang
berlebihan, kehilangan rekotil elastisitas jaln napas, dan kolaps
bronkhiolus, serta penurunan redistribusi udara ke alveoli menimbalkan
gejala sesak pda klien dengan emfisema.
Pda paru normal terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik
jaringan paru ke luar ( yang disebabkan tekanan intrapleural dan otot-otot
dinding dada ) dengan tekanan yang menarik jaringan paru ke dalam (
elastisitas paru ). Keseimbangan timbul antara kedua tekanan tersebut,
volume paru yang terbentuk disebut sebagai functional residual capacity
(FRC) yang normal. Bila elastisitas paru berkurang timbul keseimbangan
baru dan menghasilkan FRC yang lebih besar. Volume residu bertambah
pula, tetapi VC menurun. Pada orang normal sewaktu tejadi ekspirasi
maksimal, tekanan bertambah pula, tetapi VC menurun. Pada orang
normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan
paru akan berkurag, sehingga saluran pernapasan bagian bawah paru akan
tertutup.
Pada klien dengan emfisema, saluran – saluran pernapasan tersebut
akan lebh cepat dan lebih banyak yang tertutup. Akibat cepatnya saluran
pernapasan menutup dan dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan
ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang. Namun, semua itu bergantung
pada kerusakannya. Mungkin saja terjadi alveoli dengan ventilasi
kurang/tidak ada, tetapi perfusinya baik sehingga penyebaran udara
pernapasan maupum aliran darah ke alveoli tidak sama dan merata atau
dapat dikatakan juga tidak ada keseimbangan antara ventilasi dan perfusi
di alveoli ( V/Q rasio yang tidak sama ).
Pada tahap akhir penykit, sistem eliminasi karbon dioksida mengalami
kerusakan. Hal ini mengakibatkan pningkatan tekanan karbondioksida
dalam darah arteri (hiperkapnea) dan menyebabkan asidosis respiratorik.
Karena dinding alveolar terus mengalami kerusakan, maka jarring-jaring
kapiler pulmonal berkurang. Liran darah pulmonal meningkat dan
ventrikal kanan dipaksa untuk mempertahankan tekanan darah yang tinggi

8
dalam area pulmonal. Dengan demikian, gagal jantung sebelah kanan (kor
pulmonal) adalah salah satu komplikasi emfisema. Terdapatnya kongesti,
edema tungkai (edema dependen), distensi vena jugularis, atau nyeri pada
region hepar merendahkan terjadinya gagal jantung (Nowak, 2004).
Sekresi yang meningkt dan tertahan menyebabkan klien tidak
mampu melakukan batuk efektif untuk mengeluarkan sekresi. Infeksi akut
dan kronis menetap dalam paru yang mengalami emfisema, ini
memperberat masalah. Individu dengan emfisema akan mengalami
obstruksi kronis yang ditandai oleh peningkatan tahanan jalan napas aliran
masuk dan aliran keluar udara dari paru. Jika demikian, paru berada dalam
keadaan hiperekspnsi kronis.
Untuk mengalirkan udara ke dalam dan keluar paru dibutuhkan tekanan
negatif selama inspirasi dan tekanan positif dalam tingkat adekuat yang
harus dicapai dan diperhatikan selama ekspirasi berlangsung. Kinerja ni
membutuhkan kerja keras otot-otot pernapasan yng berdampak pada
kekakuan dada dan iga-iga terfiksasi pada persendiannya dengan
bermanifestasi pada perubahan bentuk dada dimana rasio diameter
AP:Transversal megalami peningkatan (barrel chest). Hal ini terjadi
akibat hilangnya elastisitas paru karena adanya kecenderungan yang
berkelanjutan pada dindingdada untuk mengembang.

9
E. Pathway

Merokok Keturunan Hipotesis Infeksi

Emfisema

Batuk Dispnea/sesak Mengi Bibir sianosis


nafas

Ketidakefektifan Resiko tinggi infeksi Gangguan pertukaran


bersihan jalan nafas pernapasan b.d gas yang b.d
b.d penyakit paru akumulasi secret ketidakseimbangan
obstrukti kronis jalan napas dan ventilasi-perfusi dan
menurunnya perubahan membran
kemampuan batuk alveolar-kapiler
efektif

10
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pengukuran fungsi paru (spirometri)
Pengukuran fungsi paru biasanya menunjukkan peningkatan kapasitas paru total
(TLC) dan volume residual (RV). Terjadi penurunan dalam kapasitas vital (VC)
dan volume ekspirasi paksa (FEV). Temuan-temuan ini menegaskan kesulitan
yang dialami klien dalam mendorong udara keluar dari paru.
b. Pemeriksaan laboratorium
Hemoglobin dan hemotokrit mungkin normal pada tahap awal penyakit. Dengan
berkembangnya penyakit, pemeriksaan gas darah arteri dapat menunjukkan
adanya hipoksia ringan dengan hiperkapnea.
c. Pemeriksaan radiologis
Rontgen thoraks menunjukkan adanya hiperinflasi, pendaftaran diafragma,
pelebaran margin interkosta dan jantung sering ditemukan begai tergantung (heat
till drop).

G. Penatalaksanaan Medis
Klien dengan emfisema rentan terhadap infeksi paru dan harus diobati pada
awal timbulnya ranch-ranch infeksi. Organisme yang paling umum menyebabkan
infeksi tersebut adalah S. Pneumonia, H. Influenzae, dan Branhamella catarrhalis.
Terapi antimikroba dengan tetrasiklin, amficilin, amoxicilin, atau trimetoprim-
sulfametoxazol (bactrim) biasanya diresepkan. Regimen antimikroba digunakan pada
tanda pertama infeksi pernafasan seperti yang dibuktikan dengan adanya sputum
purulen, batuk meningkat, dan demam.

1. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid tetap kontroversial dalam pengobatan emfisema.
Kortikosteroid digunakan untuk melebarkan bronkhiolus dan membuang sekresi
setelah tindakan lain tidak menujukkan hasil. Prednison biasanya diresepkan.
Dosis disesuaikan untuk menjga klien pada dosis yang seresndah mungkin. Efek
samping jangka pendek termasuk gangguan gastrointestinal dan peningkatan nafsu

11
makan. Pada jangka panjang, klien mungkin mengalami ulkus peptikum,
osteoporosis, supresi adrenal, miopati steroid, dan pembentukan katarak.
2. Oksigenasi
Terapi oksigen dapat meningkatkan kelangsungan hidup pada klien dengan
emfisema berat. Hipoksemia berat diatasi dengan konsentrasi oksigen rendah untuk
meningkatkan PaO2 hingga antara 65 dan 80 mmHg. Pada emfisema berat,
oksigen diberikan sedikitnya 16 jam per hari, dengan 24 jam lebih baik. Modalitas ini
dapat menghilangkan gejala-gejala klien dan memperbaiki kualitas hidup klien.

H. Asuhan Keperawatan Efisema


1. Pengkajian
a. Identitas pasien dan penanggung jawab : nama, jenis kelamin, umur, agama,
pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, bangsa dan alamat.
b. Riwayat
1) Riwayat merokok aktif atau pasif
2) Riwayat pekerjaan
3) Infeksi saluran nafas berulang
4) Keterbatasan olahraga yang progresif
5) Riwayat keluarga, terutama pada bukan perokok
6) Penurunan berat badan
7) Produksi sputum
c. Pemeriksaan Fisik
1) Penurunan tingkat kesadaran
2) Sianosis selama eksaserbasi akut
3) Takipnea
4) Peningkatan diameter anterior-posterior dada (dada tong)
5) Penggunaan otot bantu pernafasan
6) Diafragma rendah pada perkusi
7) Penurunan suara nafas
8) Fase ekspirasi pernafasan memanjang, mengi saat respirasi dan krepitasi
kasar
9) Jari gada

12
10) Sianosis
11) Oedema kaki (Penyakit lanjut)
d. Pemeriksaan Penunjang : Hb, Ht, pengukuran fungsi paru (spirometri),
rontgen thorak.
2. Analisa Data : data (DS, DO), etiologi, problem.
Diagnosa keperawatan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d penyakit paru obstrukti
kronis
b. Resiko tinggi infeksi pernapasan b.d akumulasi secret jalan napas
dan menurunnya kemampuan batuk efektif.
c. Gangguan pertukaran gas yang b.d ketidakseimbangan ventilasi-
perfusi dan perubahan membran alveolar-kapiler.
3. Intervensi :
Dx Keperawatan
Tujuan/kriteria hasil : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
2 x 24 jam kriteria hasil : frekuensi dan irama pernafasan normal.
Intervensi :
a. Manajemen jalan nafas
b. Manajemen ventilasi mekanik : invasif
c. Monitor pernafasan
4. Implementasi
a. Membantu pasien melakukan batuk efektif
b. Melakukan teknik relaksasi
c. Mendengarkan apakah terdapat suara nafas tambahan seperti
mengi
5. Evaluasi
a. Jalan nafas pasien berbunyi vesikuler
b. Pasien mampu batuk efektif
c. Pasien mampu mengeluarkan sekret tanpa bantuan
d. Menunjukan perbaikan ventilasi dan oksigenasi
e. GDA dalam keadaan normal
f. Pasien dapat bebas dari gejala distres napas
g. BB pasien meningkat/ideal
h. Porsi makan yang diberikan habis

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai
oleh pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi jaringan.
Klien dengan emfisema rentan terhadap infeksi paru dan harus diobati pada awal
timbulnya ranch-ranch infeksi dengan terapi antimikroba dengan tetrasiklin, amficilin,
amoxicilin, atau trimetoprim-sulfametoxazol (bactrim).
B. Saran
1. Diharapkan kepada dosen pembimbing dapat memberi kritik dan
sarannya agar terciptanya makalah ini yang lebih baik.
2. Diharapkan bagi penulis, agar lebih bisa mengaplikasikan kepada
pasien dengan baik dan sesuai.
3. Diharapakan kepada pembaca agar lebih menambahkan wawasan
tentang emfisema sehingga lebih dapat berkembang dan bermanfaat.

DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, A. 2008. Askep Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta :


Salemba Medika

14
Windawati, V. Auhan Keperawatan Emfisema. Retrieved
fromhttp://www.academia.edu/10981618/asuhan_keperawatan_empisema

Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. 2015. Diagnosis Keperawatan NANDA. Jakarta :


Penerbit Buku Kedokteran.

Bulechek, G. M. et al. 2016. Nursing Interventions Classification Edisi Bahasa Indonesia.


Indonesia : Elsevier

15

Anda mungkin juga menyukai