Anda di halaman 1dari 21

Tugas Keperawatan Maternitas

Asuhan Keperawatan

DISMENOREA

Nama Kelompok :
1. Ananta Gupta (10.003)
2. Hasnia Nur Laili (10.021)
3. Rizka Novianadiar (10.046)

Semester 4A

Akademi Keperawatan Gresik


2012
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya kami
dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul ‘’ASUHAN KEPERAWATAN
DISMENOREA”. Adapun tujuan kami menulis makalah ini adalah sebagai salah satu tugas
mata kuliah MATERNITAS dan sebagai bahan bacaan mahasiswa akper pada khususnya.

Kami sudah menulis makalah ini dengan sebaik baiknya, namun apabila terdapat
kesalahan maupun kekurangan, kami mohon maaf . Kami juga menerima kritik dan saran
demi kesempurnaan makalah kami.Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembacanya.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Gresik, 17 Mei 2012

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dismenore atau menstruasi yang menimbulkan nyeri merupakan salah satu
masalah ginekologi yang paling umum dialami wanita dari berbagai tingkat usia.
Diperkirakan wanita amerika 1,7 juta hari kerja setiap bulan akibat dismenore.
Dismenorea atau nyeri haid mungkin merupakan suatu gejala yang paling
sering menyebabkan wanita-wanita muda pergi kedokter untuk konsultasi dan
pengobatan. Karena gangguan ini sifatnya subyektif, berat atau intensitasnya sukar
dinilai. Walaupun frekuensi dismenorea cukup tinggi dan penyakit ini sudah lama
dikenal, namun sampai sekarang patogenesisnya belum dapat dipecahkan dengan
memuaskan.
Oleh karena hampir semua wanita mengalami rasa tidak enak di perut bawah
sebelum dan selama haid dan sering kali rasa mual maka istilah dismenorea hanya
dipakai jika nyeri haid demikian hebatnya, sehingga memaksa penderita untuk
istirahat dan meninggalkan pekerjaan atau cara hidupnya sehari-hari, untuk beberapa
jam atau beberapa hari.
Terjadi merata pada 40-80% wanita. Pada 5-10% wanita, dismenore terlalu
berat dan tidak tertahankan.

Disminorea primer mengenai sekitar 50-75% wanita yang masih menstruasi.


Sekitar 10% mengalami disminorea berat sehingga mereka tidak bisa bekerja.
Dismoneria sekunder timbul sebagai respons terhadap penyakit organik seperti PID,
endometriosis, fibroid uteri, dan pemakaian IUD.

B. TUJUAN
1. Untuk mengetahi dan memahami dari dismenorea

2. Untuk mengetahui klasifikasi dismenorea

3. Untuk mengetahui etiologi dismenorea


4. Untuk mengetahui dan memahami patofisiologi dismenorea

5. Untuk Mengetahui gambaran Klinis dari dismenorea

6. Untuk Mengetahui Penatalaksanan dari dismenorea

7. Untuk mengetahui Komplikasi dismenorea

8. Memahami asuhan keperawatan pada pasien dismenorea

C. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah pengertian dari dismenorea ?
2. Bagaimana klasifikasi dari dismenorea ?

3. Bagaimana etiologi dismenorea?

4. Bagaimana patofisiologi hingga timbul dismenorea?

5. Apa saja gambaran Klinis dari dismenorea?

6. Bagaimana Penatalaksanan dari dismenorea?

7. Apa saja Komplikasi dismenorea ?

8. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dismenorea?


BAB II
LAPORAN PENDAHULUAN

A. PENGERTIAN DISMENORE
Dismenore adalah menstruasi yang nyeri disebabkan oleh kejang otot.
(Mitayani :2009)

Dismenore adalah haid yang nyeri yang terjadi tanpa tanda-tanda infeksi atau
penyakit panggul.
Dismenorea adalah nyeri uteri pada saat menstruasi. Dismenorea primer tidak
dikaitkan dengan patologi pelvis dan bisa timbul tanpa penyakit organik. Intensitas
dismonerea bisa berkurang setelah hamil atau pada umur sekitar 30 tahun.
Menstruasi umumnya disertai nyeri tumpul atau nyeri kram. Nyeri berat
selama menstruasi dinamakan dismenorea.
Jadi dapat disimpulkan definisi dari disminore adalah nyeri yang dirasakan
wanita saat haid.

B. KLASIFIKASI DISMENORE
Dismenore dibagi atas :
1. Dismenore primer

Dismenore primer terjadi, jika tidak ada penyakit organik, biasanya dari
bulan ke 6 sampai tahun ke 2 setelah menarke. Dismenore ini sering hilang pada
usia 25 tahun atau setelah wanita hamil dan melahirkan pervaginam.

Rasa nyeri timbul tidak lama sebelumnya atau bersama-sama dengan


permulaan haid dan berlangsung untuk beberapa jam, walaupun pada beberapa
kasus dapat berlangsung beberapa hari. Sifat rasa nyeri ialah kejang berjangkit-
jangkit, biasanya terbatas pada perut bawah, tetapi dapat menyebar ke daerah
pinggang dan paha. Bersamaan dengan rasa nyeri dapat dijumpai rasa mual,
muntah, sakit kepala, diarea, iritabilitas, dan sebagainya.

Faktor psikogenik dapat mempengaruhi gejala, tetapi gejala pasti berhubungan


dengan ovulasi dan tidak terjadi saat ovulasi disubpresi. Selama fase luteal dan
aliran menstruasi berikutnya, prostaglandin F2 alfa (PGF2) disekresi. Pelepasan
PGF2 yang berlebihan meningkatkan amplitudo dan frekuensi kontraksi uterus
dan menyebabkan fasospasme arterior uterus, sehingga mengakibatkan iskemia
dan kram abdomen bawah yang bersifat siklik. Respon sistemik terhadap PGF2
meliputi nyeri punggung, kelamahan, pengeluaran keringat, gejala saluran cerna
(Anoreksia, Mual, Muntah, dan Diare ). Dan gejala system saraf pusat ( Pusing,
sinkop, nyeri kepala, dan konentrasi buruk ) ( Heitkemper, dkk., 1991 ). Penyebab
pelepasan prostat glandin yang berlebihan tidak diketahui.

2. Dismenore sekunder
Disminore sekunder dikaitkan dengan penyakit pelvis organik, seperti
Endometriosis, penyakit radang pelvis, stenosis servix, neoplasma ovarium atau
uterus, dan polip uterus. IUD juga dapat menyababkan dismenore ini. Dismenore
sekunder dapat disalah artikan sebagai disminore primer atau rancu dengan
komplikasi kehamilan dini. Terapi harus ditujukan untuk mengobati penyabab
dasar.

Pembagian ini tidak seberapa tajam batasnya oleh karena dismenorea yang
pada mulanya disangka primer, kadang-kadang setelah diteliti lebih lanjut
memperlihatkan kelainan organic, jadi termasuk dismenorea sekunder.

C. ETIOLOGI
Menurut (Sarwono Prawihardjo : 1991) penyebab dismenore primer, beberapa
factor memegang peranan sebagai penyebab dismenorea primer, antara lain :
1. Faktor kejiwaan : pada gadis-gadis yang secara emosional tidak stabil, apalagi
jika mereka tidak mendapat penerangan yang baik tentang proses haid, mudah
timbul dismenorea.
2. Factor konstitusi : Faktor ini, yang erat hubungannya dengan factor tersebut di
atas, dapat juga menurunkan ketahanan terhadap rasa nyeri. Factor-faktor seperti
anemia, penyakit menahun, dan sebagainya dapat mempengaruhi timbulnya
dismenorea.
3. Factor obstruksi kanalis servikalis : salah satu teori yang paling tua untuk
menerangkan terjadinya dismenorea primer ialah stenosis kanalis servikalis. Pada
wanita dengan uterus dalam hiperantefleksi mungkin dapat terjadi stenosis
kanalis servikalis, akan tetapi hal ini sekarang tidak dianggap sebagai factor yang
penting sebagai penyebab dismenorea. Banyak wanita menderita dismenorea
tanpa stenosis servikalis dan tanpa uterus dalam heperanteleksi. Sebaliknya,
terhadapat banyak wanita tanpa keluhan dismenorea, walaupun ada stenosis
servikalis dan uterus terletak dalam hiperantefleksi atau hiperretrofleksi. Mioma
submukosum bertangkai atau polip endometrium dapat menyebabkan dismenorea
karena otot-otot uterus berkontraksi keras dalam usaha untuk mngeluarkan
kelainan tersebut.
4. Factor endokrin : pada umumnya ada anggapan bahwa kejang yang terjadi pada
dismenorea primer disebabkan oleh kontraksi uterus yang belebihan. Factor
endokrin mempunyai hubungan denga soal tonus dan kontraktilitas otot usus.
Novak dan Reynolds yang melakukan penelitian pada uterus kelinci
berkesimpulan bahwa hormone esterogen merangsang kontraktilitas uterus,
sedang hormone progesterone menghambat dan mencegahnya. Tetapi, teori ini
tidak dapat menerangkan fakta mengapa timbul rasa nyeri pada perdarahan
disfungsional anovulatoar, yang biasanya bersamaan dengan kadar esterogen
yang berlebihan tanpa adanya progesterone.

Penjelasan lain diberikan oleh Clitheroe dan Pickles. Mereka menyatakan


bahwa akrena endometrium dalam fase sekresi memproduksi prostaglandin F2
yang menyebabkan kontraksi otot-otot polos. Jika jumlah prostaglandin yang
berlebihan di lepaskan ke dalam peredaran darah maka selain dismenorea,
dijumpai pula efek umun, seperti diarea, nausea, muntah, flushing.

5. Factor alergi : teori ini dikemukakan setelah memperhatikan adanya asosiasi


antara dismenorea dengan urtikaria, migraine atau asma bronkhiale. Smith
menduga bahwa sebab alergi ialah toksin haid.

Penyelidikan dalam waktu-waktu terakhir menunjukkan bahwa peningkatan


kadar prostaglandin memegang peranan penting dalan etiologi dismenorea
primer.

Satu jenis dismenorea yang jarang terdapat ialah yang pada waktu haid tidak
mengeluarkan endometrium dalam fragmen-fragmen kecil, melainkan dalam
keseluruhannya. Pengeluarkan tersebut disertai dengan rasa nyeri kejang yang
keras. Dismenorea demikian itu dinamakan dismenorea membranasea.

Keterangan yang lazim deberikan ialah bahwa korpus luteum mengeluarkan


progesterone yang berlebihan, yang menyebabkan endometrium menjadi desidua
yang tebal dan kompak, sehingga sukar dihancurkan. Keadaan ini sukar untuk
disembuhkan.

Menurut (Geri Morgan : 2009) penyebab dismenore sekunder mungkin


disebabkan kondisi berikut :

1. Endometriosis
2. Polip atau fibroid uterus
3. Penyakit radang panggul (PRP)
4. Pendarahan uterus disfungsional
5. Prolaps uterus
6. Maladaptive pemakaian AKDR
7. Produk kontrasepsi yang tertinggal setelah abortus terapeutik, atau melahirkan
8. Kanker ovarium atau uterus

D. GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis dismenore primer dan dismenore sekunder menurut (Geri
Morgan : 2009) adalah :
1. Dismenore primer
a. Deskripsi perjalanan penyakit
(1) Dismenore primer muncul berupa serangan ringan, kran pada bagian
tengah, bersifat spasmodic yang dapat menyebar ke punggung atau paha
bagian dalam
(2) Umumnya ketidaknyamanan dimulai 1-2 hari sebelum menstruasi, namun
nyeri paling berat selama 24 jam pertama menstruasi dan mereda pada hari
kedua
(3) Dismenore kerap disertai efek samping seperti
(a) Muntah
(b) Diare
(c) Sakit kepala
(d) Sinkop
(e) Nyeri kaki
b. Karakteristik dan factor yang berkaitan :
(1) Dismenore primer umumnya dimulai 1-3 tahun setelah menstruasi.
(2) Kasus ini bertambah berat setelah beberapa tahun sampai usia 23-27
tahun, lalu mulai mereda
(3) Umumnya terjadi pada wanita nulipara, kasus ini kerap menurun
signifikan setelah kelahiran anak.
(4) Lebih sering terjadi pada wanita obesitas.
(5) Dismenore berkaitan dengan aliran menstruasi yang lama
(6) Jarang terjadi pada atlet
(7) Jarang terjadi pada wanita yang memiliki siklus menstruasi yang tidak
teratur.
2. Dismenore sekunder
a. Indikasi
(1) Dismenore dimulai setelah usia 20 tahun
(2) Nyeri bersifat unilateral
b. Factor-faktor yang berhubungan sebagai penyebab
(1) PRP
(a) Awitan akut
(b) Dispareunia
(c) Nyeri tekan saat palpasi dan saat bergerak
(d) Massa adneksa yang dapat teraba
a. Endometriosis
(1) Dyspareunia siklik
(2) Intensitas nyeri semakin meningkat sepanjang mensruasi (tidak terjadi
sebelum menstruasi dan tidak berakhir dalam beberapa jam, seperti pada
kasus dismenore primer)
(3) Nyeri yang menetap bukannya kran dan mungkin spesifik pada sisi lesi
(4) Kadang ditemukan nodul yang mungkin terapba selama pemeriksaan
b. Fibroleiomioma dan polip uterus
(1) Awitan dismenore sekunder lebih lambat pada tahun reproduksi daripada
dismenore primer
(2) Disertai perubahan dalam aliran menstruasi
(3) Nyeri kram
(4) Fibroleiomioma yang dapat teraba
(5) Polip yang biasa atau tidak menonjol pada serviks
c. Proplaps uterus
(1) Awitan dismenore sekunder lebih lambat pada tahun-tahun reproduktif
daripada dismenore primer
(2) Lebih umum terjadi pada pasien multipara
(3) Nyeri punggung awalnya dimulai saat pramenstruasi dan menetap
sepanjang menstruasi
(4) Disertai dispareunia dan nyeri panggul yang lebih berat saat pramenstruasi,
dan mungkin dapat dipulihkan dengan posisi telentang atau lutut –dada
(5) Sistokel dan inkontinensia stress urine terjadi bersamaan

E. PATOFISIOLOGI
Ada beberapa faktor yang terkait dengan dismenorea primer yaitu
prostaglandin uterine yang tinggi, aktivotas uteri abnormal, dan faktor emosi/
psikologis. Belum diketahuin dengan jelas bagaimana protaglandin bisa menyebabkan
dismenorea tetapi diketahui bahwa wanita dengan dismenorea mempunyai
prostaglandin yang 4 kali lebih tinggi daripada wanita tanpa dismenorea.
Web Of Causation Dismenorea

Web Of Causation

Fungsi endokrin
Fungsi Fisiologis

Persepsi Nyeri Meningkat Produk prostaglandin Fungsi Abstruksi


Komalis servik

Peningkatan Produk Vasopresik Penumpukan darah


haid dan
Gastrointestinal Merangsang prostatglandin
pengeluaran
Peningkatan Kontraksi Uterus neurotransmiter

Mual, muntah
uterus
Kontaksilitas uterus
Hipoksia dan iskemia / endometrium

jaringan Uterus Gangguan Nutrisi


kurang dari
kebutuhan Terjadi Hipersensitivitas
sarat nyeri uterus

Resiko kekuranga
volume cairan
Nyeri Dismenore Gangguan rasanyaman
(Nyeri)

Adaptasi tubuh yang tidak efektif

Kelabilan emosional

MK : koping individu
yang tidak efektif
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada klien dengan dismenore
menurut (Mitayani : 2009) adalah :
1. Tes laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap : normal
b. Urinalisis : normal
2. Tes diagnostic tambahan
a. Laparaskopi : penyikapan atas adanya endomeriosi atau kelainan pelvis.

G. KOMPLIKASI
Komplikasi menurut ( Mitayani :2009) adalah :
1. Syok
2. Penurunan kesadaran

H. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan dismenore primer menurut (Sarwono Prawihardjo : 1991)
adalah sebagai berikut :
1. Penanganan dan nasehat

Perlu dijelaskan kepada penderita bahwa dismenorea adalah gangguan


yang tidak berbahaya untuk kesehatan. Hendaknya diadakan penjelasan dan
diskusi mengenai cara hidup, pekerjaan, kegiatan, dan lingkungan penderita.
Kemingkinan salah informasi mengenai haid atau adanya tabu atau takhayul
mengenai haid perlu dibicarakan. Nasihat-nasihat mengenai makanan sehat,
istirahat yang cukup, dan olahraga munkin berguna. Kadang-kadang diperlukan
psikoterapi.

2. Pemberian obat analgesic

Dewasa ini banyak beredar obat-obat analgesic yang dapat diberikan


sebagai terapi simptomatik. Jika rasa nyerinya berat, diperlukan istirahat di
tempat tidur dan kompres panas pada perut bawah untuk mengurangi penderitaan

Obat analgesic yang sering diberikan adalah preparat kombinasi aspirin,


fenasetin, dan kafein. Obat-obat paten yang beredar di pasaran ialah antara lain
novalgin, glivanan, deparon, unagen, baralgin, ponstan, buskopan kompositum,
beserol, dan sebagainya

3. Terapi hormonal

Tujuan terapi hormonal ialah menekan ovulasi. Tindakan ini bersifat


sementara dengan maksud untuk membuktikan bahwa gangguan benar-benar
dismenorea primer, atau untuk memungkinkan penderita melaksanakan pekerjaan
penting pada waktu haid tanpa gangguan. Tujuan ini dapat dicapai dengan
pemberian salah satu jenis pil kombinasi kontrasepsi.

Terapi dengan obat nonsteroid antiprostaglandin

Memegang peranan yang makin penting terhadap dismenore primer.


Termasuk disini indometasin, ibuprofen, dan naproksen, dalam kurang lebih 70 %
penderita dapat disembuhkan atau mengalami banyak perbaikan. Hendaknya
pengobatan diberikan sebelum haid mulai 1 sampai 3 hari sebelum haid, dan pada
hari pertama haid.

4. Dilatasi kanalis servikalis

Dapat memberi keringana karena memudahkan pengeluaran darah haid dan


prostaglandin didalamnya. Neuroktomi prasakraln(pemotongan urat saraf
sensorik antara uterus dan susunan saraf pusat) merupakan tindakan terakhir,
apabila usaha-usaha lain gagal.

Penatalaksanaan dismenore primer menurut (Geri Morgan : 2009) adalah


1. Latihan
a. Latihan moderat, seperti berjalan atau berenang
b. Latihan mengoyangkan-panggul
c. Latihan dengan posisi lutut ditekukan kedada berbaring telentang, atau miring
2. Panas
a. Buli-buli panas atau botol air panas yang diletakkan pada punggung atau
abdomen bagian bawah
b. Mandi air hangat atau sauna
3. Orgasme yang mampu meredakan kongesti panggul.
Peringatan : hubungan seksual tanpa orgasme, dapat meningkatkan kongeati
panggul.
4. Hindari kafein yang dapat meningkatkan pelepasan prostaglandin
5. Pengubahan diet dengan mengurangi garam dan peningkatan diuretik alami,
seperti asparagus atau daun Sup, dapat membantu mengurangi edema dan rasa
tidak nyaman yang timbul.
6. Pijat daerah punggung, kaki, atau betis
7. Istirahat
8. Obat-obatan
a. Kontrasepsi oral menghambat ovulasi, sehingga meredakan gejala
b. Mirena atau progestasert AKDR dapat mencegah kram.
c. Beberapa preparat yang dijual bebas tersedia, antara lain analgesik, obat-
obatan anti radang bukan steroid ( Non steroidal anti inflamatori drugs (
NSAID ) ) dan diuretik. Cope dan Midol engandung aspirin dan cafein juga
mengandung sinamedrin, suatu relaksan uterus ringan. Banyak produk
mengandung Pamabrom, ( sama dengan Kafein dalam efek diuretiknya ) dan
maleatpirilamin, suatu anti histamin yang mengandung materi sedatif dan
analgesik. Aspirin, asetaminofen ( Dosis yang direkomendasikan : 650 mg
setian 4 Jam dan tidak boleh melebihi 400mg dalam periode 24 jam ), dan
ibuprefon ( Motrin, atfil, Nuprin ), suatu NSAID , dalam dosis 200-400mg
setiap 4-6 jam, bekerja dengan menghambat sintesis prostatglandin. Inhibitor
prostatglandin- sintesis lain meliputi naproksen ( naprosyn dan anaprox ) dan
asam efenamik ( Ponstel ). Pemaparan dini kehamilan, yang tidak diinginkan,
terhadap obet-obatan harus dihindari ( Lubianezki, Fischer,
1987:Sohn,Korberly,Tannen Baun,1986).
d. Obat pilihan adalah ibuprofen, 200-250 mg, diminum per oral setiap 4-12 jam,
tergantung dosis, namun tidak melebihi 600 mg dalam 24 jam.
e. Aleve (natrium naproksen) 200 mg juga bisa diminum per oral setiap 6 jam.
9. Terpai komplementer
a. Biofeedback
b. Akupuntur
c. Meditasi
d. Black cohosh
Penatalaksaan dismenore sekunder menurut (Geri Morgan : 2009)
1. PRP
a. PRP termasuk endometritis, salpingitis, abses tuba ovarium, atau peritonitia
panggul.
b. Organisme yang kerap menjadi penyebab meliputi Neisseriagonnorrhoeae dan
C. trachomatis, seperti bakteri gram negative, anaerob, kelompok B
streptokokus, dan mikoplasmata genital. Lakukan kultur dengan benar.
c. Terapi antibiotic spertrum luas harus diberikan segera saat diagnosis
ditegakkan untuk mencegah kerusakan permanen (mis : adhesi, sterilisasi).
Rekomendasi dari Center For Disease Control and Prevention (CDC) adalah
sebagian berikut.
(1) Minum 400 mg oflaksasin per oral 2 kali/ hari selama 14 hari, ditambah
500 mg Flagyl 2 kali/hari selama 14 hari
(2) Berikan 250 mg seftriakson IM atau 2 g sefoktisin IM, dan 1 gprobenesid
per oral ditambah 100 mg doksisiklin per oral, 2 kali/hari selama 14 hari
(3) Untuk kasus yang serius, konsultasikan dengan dokter spesialis mengenai
kemungkinan pasien dirawat inap untuk dinerikan antibiotic per IV.
d. Meskipun efek pelepasan AKDR pada respons pasien terhadap terapi masih
belum diketahui, pelepasan AKDR dianjurkan.
2. Endometriosis
a. Diagnosis yang jelas perlu ditegakkan melalui laroskopi
b. Pasien mungkin diobati dengan pil KB, Lupron, atau obat-obatan lain, sesuai
anjuran dokter.
3. Fibroid dan polip uterus
a. Polip serviks harus diangkat
b. Pasien yang mengalami fibroleiomioma uterus simtomatik harus dirujuk ke
dokter
4. Prolaps uterus
a. Terapi definitive termasuk histerektomi
b. Sistokel dan inkontinensia stress urine yang terjadi besamaan dapat diringanka
dengan beberapa cara berikut :
(1) Latihan kegel
(2) Peralatan Pessary dan Introl untuk reposisi dan mengangkat kandung
kemih.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA DISMENOREA

A. PENGKAJIAN

1. Riwayat
a. Riwayat menstruasi
(1) Awitan menarke
(2) Awitan dosmenore yang berkaitandengan menarke
(3) Frekuensi dan keteraturan siklus
(4) Lama dan jumlah aliran menstruasi
(5) Hubungan antara dismenore dengan siklus dan aliran menstruasi
b. Deskripsi nyeri
(1) Awitan yang terkait dengan masa menstruasi
(2) Rasa kram-spasmodis atau menetap
(3) Lokasi menyeluruh atau spesifik
(4) Unilateral atau seluruh abdomen bagian bawah
(5) Lokasi pada abdomen bagian bawah, punggung , atau paha
(6) Memburuk saat palpasi atau bergerak
c. Gejala yang berkaitan
(1) Gejala ekstragenetalia
(2) Dyspareunia konstan atau bersiklus yang berhubngan dengan siklus
menstruasi.
d. Riwayat obstetric
e. Pemasangan AKDR
f. Riwayat kondisi yang mungkin mengakibatkan dismenore sekunder
2. Pemeriksaan fisik
a. Pencatatan usia dan berat badan
b. Pemeriksaan speculum
(1) Observasi ostium uteri untuk mendeteksi polip
(2) Catat warna atau bau yang tidak biasa dari rabas bagina, lakukan
pemeriksaan sediaan basah
(3) Persiapkan uji kultur serviks, kultur IMS, dan uji darah bila perlu,
berdasarkan riwayat pasien
c. Pemeriksaan bimanual
(1) Catat nyeri tekan akibat gerakan serviks
(2) Catat ukuran, bentuk, dan konsistensi uterus, periksa adanya fibroid
(3) Catat setiap masa atau nodul pada adneksa
(4) Catat nyeri tekan pada uterus atau adneksa, terutama nteri unilateral
(5) Catat bila terdapat sistokel atau prolaps uterus.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan rasa nyaman (nyeri) yang berhubungan dengan meningkatnya
kontraksilitas uterus, hipersensitivitas, dan saraf nyeri uterus.
2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan adanya
mual, muntah.
3. Resiko kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan adanya mual,
muntah.
4. Koping individu tidak efektif yang berhubungan dengan kelebihan emosional.

C. INTERVENSI
1. DIAGNOSA 1 : nyeri yang berhubungan dengan meningkatnya kontraksilitas
uterus, hipersensitivitas saraf nyeri uterus.
TUJUAN : nyeri klien berkurang dalam waktu 1x 24 jam

KRITERIA HASIL : Mengekpresikan penurunan nyeri atau ketidak nyamanan


Tampak rileks, mampu tidur /istirahat dengan cepat
INTERVENSI
1. Hangatkan bagian perut
Rasional : dapat menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan mengurangi
kontraksi spasmodik uterus
2. Masase daerah perut yang terasa nyeri
Rasional : mengurangi nyeri karena adanya stimulus sentuhan terapeutik
3. Lakukan latihan ringan
Rasional : Dapat memperbaiki aliran darah keuterus dan tonus otot.
4. Lakukan tehnik relaksasi
Rasional : mengurangi tekanan untuk memdapatkan rileks
5. Observasi keluhan nyeri, perhatikan lokasi, lamanya, dan intensitas (skala 0-
10). Perhatiakan petunjuk verbal dan non verbal
Rasional : Membantu dalam mengidentifikasi derajat ketidak nyamanan
dan kebutuhan/keefektifan analgesik
6. Berikan diuresis natural ( vitamin ) tidur dan istirahat
Rasional : Mengurangi Kongesti
KOLABORASI
1. Pemberian analgesik ( aspirin, fenasetin, kafein )
Rasional : diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri agar ibu dapat
istirahat.
2. Terapi diometasin, ibuprofen, naprosen.
Rasional : Biasanya digunakan untuk menormalkan produksi
prostaglandin.

2. DIAGNOSA 2 : Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang


berhubungan dengan adanya mual, muntah.
TUJUAN : setelah dilakukan asuhan keperawatan 2 x 24 jam diharapkan nutrisi
sesuai dalam kebutuhan tubuh
KRITERIA HASIL : terjadi peningakatan berat badan
Nafsu makan meningkat
INTERVENSI
1. Berikan intake makanan sedikit-sedikit tetapi sering
Rasional : meningkatkan selera makan dan intake makan.
2. Berikan kebersihan mulut pasien
Rasional : mulut yang bersih meningkatkan nafsu makan
3. Observasi TTV, berat badan dan bising usus
Rasional : membantu mengkaji keadaan pasien dan status nutrisi
4. Berikan pendidikan kesehatan tentang cara diet, kebutuhan kalori, dan tindakan
keperawatan yang berhubungan dengan nutrisi.
Rasional : meningkatkan pengetahuan agar paseian lebih kooperatif.
5. Kolaborasi dengan tim gizi dalam pemberian diet
Rasional : untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pasien.
3. DIAGNOSA 3 : Resiko kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan
adanya mual, muntah.
TUJUAN : setelah dilakukan asuhan keperawatan 1x24 jam diharapkan
mempertahankan/ menunjukkan perubahan keseimbangan cairan

KRITERIA HASIL : Haluran urine adekuat


Tanda vital stabil
Mukosa lembab
Turgor kulit baik
INTERVENSI
1. Berikan makanan dan cairan
Rasional : memenuhi kebutuhan makan dan minum
2. Lakukan kebersihan mulut sebelum makan
Rasional : meningkatkan nafsu makan
3. Berikan dukungan verbal dalam pemberian cairan
Rasional : meningkatkan konsumsi yang lebih
4. Berikan perubahan posisi setiap 4 jam
Rasional : meningkatkan sirkulasi
5. Berikan infus RL
Rasional : memenuhi kebutuhan cairan
6. Observasi TTV, intake dan output
Rasional : menentukan kehilangan dab kebutuhan cairan.
7. Berikan pendidikan kesehatan tentang :
 Tanda dan gejala dehidrasi
 Intake dan output cairan
 Terapi
Rasional : meningkatkan informasi dan kerja sama
8. Kolaborasi pemberian anti muntah dan mual
Rasional : menurunkan muntah dan mual
4. DIAGNOSA 4 : Koping individu tidak efektif yang berhubungan dengan
kelabilan emosional.
TUJUAN : setelah dilakukan asuhan keprawatan 1 x 24 jam diharapakan koping
pasien efektif dengan,
KRITERIA HASIL: Pasien tidak mengalami perubahan emosional
Pasien dapat mengontrol emosinya
INTERVENSI

1. Berikan kesempatan pada ibu untuk mendiskusikan bagaimana rasa sakit yang
dideritanya.
Rasional : Pasien mampu mengenali perasaannya yang berhubungan dengan
nyeri yang terjadi.
2. Bantu klien mengidentifikasi keterampilan koping selama periode berlangsung
Rasional : penggunaan perilaku yang efektif dapat membantu klien beradaptasi
dengan rasa sakit yang dialaminya.
3. Berikan periode tidur atau istirahat
Rasional : kelelahan karena rasa sakit dan pengeluaran cairan yang banyak dari
tubuh cenderung merupakan masalah berarti yang mesti segera diatasi.
4. Dorong keterampilan mengenai stress, misalnya dengan tehnik
relaksasi,visualisasi,bimbingan,imajinasi,dan latihan nafas dalam.
Rasional : dapat mengurangi rasa nyeri dan mengalihkan perhatian klien
terhadap nyeri.
5. Observasi stres tambahan yang menyertainya
Rasional : stress dapat mengganggu respons saraf otonom, sehingga
dikhawatirkan akan menambah rasa sakit
DAFTAR PUSTAKA

Bobak,dkk. 2004. Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC.


Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi 3. Jakarta. EGC
Doenges, M.E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi ke3. Jakarta : EGC
Mitayani. 2009. Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakarta : Salemba Medika.
Morgan, Geri dan Carole Hamilton. 2009. Obstetric & Ginekologi. Jakarta : EGC.
Prawihardjo, Sarwono. 1991. Ilmu Kandungan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.

Prince & Wilson. 2005, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6,
Jakarta : EGC
Tarwoto dan Wartonah. 2006. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan.
Jakarta : Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai