Anda di halaman 1dari 5

Nama: Thoby Dwi Pramudito

NIM: B0316048

Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis melalui Pendidikan

I. Pendahuluan

Debat mengenai mengubah kurikulum demi meningkatkan kemampuan siswa dalam


pendidikan telah berlangsung sejak mayoritas dari populasi masyarakat muda masuk sekolah
dan wajib belajar selama 9-12 tahun. Salah satu kemampuan yang diharapkan dari reformasi
sistem pendidikan, yang telah mengalami tiga kali reformasi dalam duabelas tahun terakhir
adalah kemampuan berpikir kritis. Dalam buku Kontroversi Kurikulum 2013 (Safitri, dkk,
hal. 85, 115, 116-125, p.1):

“Ketua Tim Perancang Kurikulum 2013, Anggit Kumara, menyatakan bahwa


kelemahan dari sistem pendidikan Prusia yang Indonesia anut sejak standarisasi
kurikulum Sekolah Dasar tahun 1975 adalah siswa hanya menerima informasi dari
guru, dan hanya mengikuti tes evaluasi yang menyebabkan orientasi siswa hanya
berlangsung pada tes tersebut, bukan berorientasi pada pengaplikasian ilmu tersebut.
Hal ini cenderung menciptakan orang-orang yang hanya bisa diperintah dan malas
belajar. Tidak hanya itu, standar pendidikan lain seperti pendidikan budi pekerti dan
berpikir kritis juga terabaikan. Ini tidak hanya menimbulkan kerusakan moral namun
juga akan menimbulkan ketidakmampuan bersaingnya sumber daya Indonesia, jika
dibandingkan dengan sumber daya negara lain ataupun otomatisasi pekerjaan fisik.
Kemampuan ini bahkan kurang diasah jika dibandingkan dengan Rentjana Pelajaran
Terurai 1952.”

Menurut Oxford Encyclopedia of Education Theories and Methods (2011, hal. 225),
berpikir kritis atau critical thinking adalah “Kemampuan seseorang dalam mencerna
informasi yang ia dapat, kemampuan seseorang untuk berpikir secara skeptis dan
menghindari penerimaan informasi baru dengan kepercayaan buta, dan kemampuan
seseoarng dalam menggunakan informasi yang telah ia peroleh dalam peristiwa unik yang ia
alami, atau kemampuan improvisasi.” Seseorang yang mempunyai kemampuan berpikir kritis
yang baik akan tidak mudah menjadi korban hoax, karena ia tidak langsung menerima sebuah
informasi begitu saja tanpa mencari tahu kebenaran dari informasi tersebut. Seseorang yang
mempunyai kemampuan berpikir kritis yang baik akan dapat melakukan improvisasi yang
terlatih, yaitu informasi yang didasari pengetahuan-pengetahuan yang ia sudah miliki
sebelumnya. Seseorang yang memiliki kemampuan berpikir kritis yang baik akan dapat dan
berani menjadi seorang individu yang unik, dan tidak mudah termakan arus pergaulan
ataupun arus era, jika arus pergaulan atau era tersebut menjerumuskan pada sesuatu yang
negatif. Seseorang dengan kemampuan berpikir kritis yang baik tidak akan keras kepala dan
mampu beradaptasi, baik dalam lingkungan baru ataupun jika pengetahuan atau prinsip yang
ia pegang ternyata kurang benar.
Indonesia merupakan sebuah negara yang kemampuan berpikir kritisnya sangat buruk.
Menurut jurnal American Association of Educational Sciences (2014, hal. 355), “Parameter
kemampuan ratara sebuah masyarakat dalam berpikir kritis dapat dilihat dari beberapa aspek:
Minat baca, kualitas berita, tingkat ekstrimisme politik ataupun kekerasan dalam demonstrasi,
dan keragaman opini.” Menurut penelitian yang dilakukan oleh Tri Wiratno (2015, hal. 40),
Indonesia menduduki peringkat nomor dua paling rendah dalam minat baca. Indonesia juga
memiliki iklim diskusi politik yang cukup keras, memiliki skala 90 dari 150, dibandingkan
dengan Amerika Serikat yang memiliki skala 120 dari 150 (Seamus, 2017, hal. 15). Skala ini
terhitung lebih rendah dari Amerika Serikat, namun jika dilihat konteksnya bahwa Amerika
Serikat adalah negara yang hanya memiliki dua partai besar yang dimana pendukungnya
berlawanan dengan keras, ekstrimisme politik antara dua partai ini (yang pendukungnya
terdiri dari 90% penduduk Amerika Serikat) cukup tinggi, dengan pendukung masing-masing
partai terisolir dari pendapat di sisi lain ataupun sisi yang berlawanan baik dari segi empati,
gaya hidup, jalan pikiran dan bahkan geografis (Shapiro, 2017, hal. 45), dan penelitian
Seamus dilakukan pada saat presiden Donald Trump baru saja menang, ini merupakan
sesuatu yang tidak lazim – mengingat Indonesia terdiri dari banyak suku, kebudayaan,
ideology informasi media massa dan beragamnya partai politik.
Penelitian yang dilakukan oleh Cambridge University (Stellfox, 2015, hal. 35) menunjukkan
bahwa walaupun Indonesia memiliki media massa umum yang cukup tinggi untuk negara
berkembang, kualitas berita media sosial yang tersebar di Indonesia berkualitas sangat buruk
dan sangat beresiko terhadap masuknya hoax maupun propaganda. Dan penelitian yang
dilakukan oleh Universitas Al-Azhar Kairo (Al-Aziz, 2013, hal. 66) menunjukkan bahwa
Indonesia menduduki peringkat nomor duabelas paling rendah dalam skala keragaman opini,
dengan skala 25 dari 100 – dengan negara-negara yang menduduki peringkat lebih rendah
dari Indonesia adalah negara yang diperintah dalam pemerintahan totaliter.
II. Permasalahan:

Dari latar belakang di atas, dapat disimpulkan bahwa pertanyaan yang dapat diambil dari latar
belakang adalah:
“Bagaimana cara kita meningkatkan kemampuan berpikir kritis generasi muda?”

III. Isi

Ulfa Safitri et al. dalam buku yang sama (p.2) menjelaskan bahwa kurikulum 2013, yang
menekankan orientasi pendidikan siswa dan aspek budi pekerti, ketakwaan, perilaku dan sifat
afektif merupakan suatu produk yang gagal.
Ia menjelaskan alasannya:
“Pengintegrasian satu mata pelajaran dengan yang lain dalam usaha meningkatkan
kemampuan berpikir kritis memerlukan sebuah contoh (dalam hal ini, guru),
sementara generasi sebelumnya maupun tenaga kerja guru belum terlatih dengan baik.
Guru hanya diberi pelatihan selama 2-5 hari mengenai kurikulum 2013. Jika
dibandingkan dengan pelatihan guru sebelumnya yang memakan waktu empat tahun,
ini adalah waktu yang amat singkat.” (p. 3)
Pelatihan yang singkat akan membuat guru bingung, dan akan ada tiga kemungkinan yang
seorang guru akan lakukan: Ia akan mengacu pada kurikulum sebelumnya yang dimana ia
sudah terlatih (sementara ia menggunakan buku yang tidak semenunjang kurikulum
sebelumnya), ia akan menyadari bahwa tanggungjawabnya tidak seberat kurikulum
sebelumnya dan ia akan menjadi lebih santai / malas dalam mengajar sementara lebih banyak
bergantung pada siswa yang menjelaskan pada temannya, atau penilaian moral dan
kemampuan berpikir kritisnya akan lebih didasari oleh bias pribadinya, dan bisa
menyebabkan diskriminasi terhadap siswa yang tidak ia sukai ataupun siswa yang
mempunyai pendapat yang ia tidak setujui (Nuristiqomah & Puhiri, 2016, hal. 225-232).
Psikolog Jordan Peterson dalam bukunya The Formation of the Belief System of Societies
(2010, hal. 446-453, 461-465, p.1) menyatakan bahwa hampir semua usaha edukasi moral
yang dilakukan di bangku kelas adalah gagal. Anak-anak tidak belajar dari perkataan dari
pihak yang ‘berwenang’ (seperti guru, orangtua maupun tokoh masyarakat) namun dari
perbuatan yang dicontohkan orang-orang yang dimana ia memiliki hubungan emosional
cukup mendalam hingga mereka mampu mengubah system moral dan kepercayaannya,
seperti orang tua, guru maupun teman-temannya, dan bahkan tokoh masyarakat ataupun
seseorang yang ia kagumi ataupun yang ia teramat benci. Diantara sosok-sosok tersebut,
sosok yang ia memiliki rasa bahwa ia memilih sosok tersebut sebagai panutan merupakan
pihak yang memiliki efek paling besar dalam pembentukan moral seseorang. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa seorang anak akan belajar lebih dari teman-temannya yang ia pilih
sendiri, ataupun seorang guru ataupun orang tua yang ia kagumi, ataupun idolanya yang ia
pilih sendiri sebagai idola. Sekolah (dan kebanyakan pihak berwenang di kehidupan seorang
anak, yakni orang dewasa), seringkali hanya menggunakan parameter ya-tidak dalam
mendidik anak atau mengajarkan anak dalam suatu isu, seringkali karena mereka takut akan
si anak kehilangan sense of innocence mereka, ataupun anggapan bahwa seorang anak adala
sesuatu yang precious, atau ‘suci’.
Kenyataan di lapangan adalah kebalikannya. Parameter ya-tidak akan menimbulkan dua
kemungkinan; si anak akan patuh tanpa pertanyaan, atau si anak akan sengaja melanggar
sebagai simbol perlawanan. (p. 2). Ia menyarankan bahwa edukasi moral seharusnya didasari
logika dan penjelasan yang mendetail – dan membiarkan anak mengujicoba sendiri dalam
interaksi bersama teman-temannya, karena seorang anak akan lebih mengagumi sosok yang
mampu menjawab pertanyaan si anak atau menyentuh rasa bangga akan memiliki yang ia
punyai. (p. 3). Teori ini sering dijadikan sebagai alasan para aktivis pendidikan dan aktivis
berpikir kritis mengapa waktu istirahat sekolah dan waktu seorang anak berinteraksi dengan
pengawasan minimal harus ditambah.
Finlandia, dengan system pendidikannya yang revolusioner, dimana jam pelajaran lebih
singkat dan jumlah tes lebih sedikit, namun tetap memproduksi tenaga kerja yang menduduki
peringkat nomor 2 dunia dan memiliki kemampuan berpikir kritis yang baik mengundang
perhatian warga dunia. Namun, Irawan Saleh dan Aldi Nugroho dalam buku mereka
Pengaplikasian Sistem Pendidikan Finlandia (2015, p. 133-135) menyatakan bahwa system
pendidikan Finlandia akan sulit dilakukan di Indonesia selama masyarakat Indonesia masih
menggunakan parameter ya-tidak dalam mendidik seorang anak, dan tidak berusaha, dalam
skala individu maupun masyarakat, untuk memuaskan rasa ingin tahu seorang anak. Pengajar
di Finlandia juga wajib memiliki gelar Magister, dan kelas di Finlandia juga memiliki jumlah
siswa yang lebih sedikit, yakni maksimal 15 siswa per guru. Ini akan sulit dilakukan di
Indonesia, yang merupakan negara dengan 250 juta penduduk dan tersebar di berbagai pulau
dengan banyak budaya, yang semuanya masih menggunakan basis budaya ketimuran yang
masih memiliki akar dari sistem pengujian terstandarisasi Confusius. Ia menyarankan bahwa
sistem pendidikan Finlandia, dan semua keuntungan yang bisa dicapai dari sistem pendidikan
tersebut hanya dapat dicapai jika budaya masyarakat di sekitarnya juga berubah.
Jadi, untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis, yang juga merupakan bagian dari
otonomi seorang manusia dalam menggunakan akalnya, perlu diadakan perubahan budaya
dalam seluruh aspek masyarakat. Rasa ingin tahu harus dijawab secara jelas dan dalam cara
yang membuat seorang anak tertarik, dan bukan dengan parameter ya-tidak yang dogmatis,
dan juga budaya mencari tahu kebenaran informasi harus diterapkan terlebih dahulu, dan
suara-suara yang menunjukkan tanda-tanda pemikiran dogmatis, apapun alasan atau
motifnya, harus dihiraukan.

Anda mungkin juga menyukai