Anda di halaman 1dari 53

PRESENTASI KASUS

SEORANG LAKI-LAKI 43 TAHUN DENGAN PERITONITIS


GENERALISATA ET CAUSA TRAUMA TUMPUL ABDOMEN SUSPEK
RUPTUR HEPAR PRO LAPAROTOMI EKSPLORASI PLAN GENERAL
ANESTHESIA RAPID SEQUENCE INDUCTION STATUS FISIK ASA III

DISUSUN OLEH:
Afif Burhanudin
G99171002

PEMBIMBING :
dr. Ardana Tri Arianto, M.Si.Med., Sp.An.KNA

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik


Ilmu Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas
Maret / RSUD Dr. Moewardi. Presentasi kasus dengan judul:

Seorang Laki-Laki 43 Tahun dengan Peritonitis Generalisata ec Trauma


Tumpul Abdomen Suspek Ruptur Hepar Pro Laparotomi Eksplorasi Plan
GARSI Status Fisik ASA III E

Hari, tanggal : Rabu, 25 April 2018

Oleh:
Afif Burhanudin G99171002

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Presentasi Kasus

dr. Ardana Tri Arianto, M.Si.Med., Sp.An.KNA


NIP. 19790107 201001 1 012

1
BAB 1
PENDAHULUAN

Dokter berkewajiban mempertahankan hidup dan mengurangi penderitaan


pasiennya. Dalam bidang ilmu anestesiologi hal tersebut dipelajari lebih
mendalam. Anestesiologi merupakan cabang ilmu kedokteran yang mendasari
berbagai tindakan kedokteran meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan
pasien yang mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan
intensif pasien gawat darurat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun.
Anestesi umum ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya
persepsi terhadap semua sensasi akibat induksi obat. Dalam hal ini, selain
hilangnya rasa nyeri, kesadaran juga hilang. Obat anestesi umum terdiri atas
golongan senyawa kimia yang heterogen, yang mendepresi SSP secara reversibel.
Obat anastesi umum dapat diberikan secara inhalasi dan secara intravena.
Peritonitis atau peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya
yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya
appendiksitis, salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal, ruptura saluran cerna,
komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen).
Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri.
Kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, resistensi yang menurun,
dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif, merupakan faktor-faktor yang
memudahkan terjadinya peritonitis.
Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena
setiap keterlambatan akan berakibat meningkatkan morbiditas dan mortalitas.
Dalam proses bedah dibutuhkan tindakan anestesi agar tidak terasa nyeri saat
pembedahan, anestesi yang ideal adalah tercapainya trias anestesi yaitu
hipnotik/sedasi, analgesi dan relaksasi otot. Ketepatan diagnosis dan
penanggulangannya tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada data
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pada laporan kasus ini akan dibahas laporan kasus peritonitis generalisata
yang disebabkan trauma tumpul abdomen.

2
BAB II
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S W
Tanggal lahir : 13 Maret 1975
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Ngawi
Pekerjaan : Supir Bus
Berat Badan (BB) : 65 kg
Tinggi Badan (TB) : 172 cm
Tanggal masuk : 19 April 2018
Tanggal Pemeriksaan : 19 April 2018
Nomor Rekam Medis : 01177058

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Nyeri seluruh lapang perut
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merupakan pasien rujukan dari RS Ngawi dengan
keterangan nyeri perut. Saat di IGD RSUD Dr. Moewardi pasien
mengeluhkan nyeri perut, kepala, dan dada kiri yang dirasakan setelah
pasien mengalami kecelakaan saat mengendarai bus yang bertabrakan
dengan bus lainnya 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri pada perut
dirasakan terus menerus. Keluhan disertai adanya mual, muntah,
penurunan nafsu makan, dan susah BAB namun masih bisa buang angin.
Pasien menyangkal adanya gangguan dalam Buang Air Kecil
(BAK), adanya benjolan yang keluar masuk di daerah kemaluan atau
selangkangan, riwayat demam sebelumnya. Pasien menyangkal
sebelumnya pernah mengeluhkan hal yang sama.

3
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat sakit jantung : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi obat/makanan : disangkal
Riwayat operasi sebelumnya : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat sakit jantung : disangkal
Riwayat alergi obat/makanan : disangkal
Riwayat asma : disangkal

5. Riwayat Kebiasaan
Merokok : disangkal
Mengonsumsi alkohol : disangkal
Ketergantungan obat : disangkal

6. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien berobat menggunakan fasilitas BPJS

7. Resume AMPLE
a. Allergy : Tidak ada riwayat alergi makanan dan obat
b. Medication : Pasien tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan
c. Past medical history : pasien tidak memiliki riwayat penyakit
d. Last meal : Pasien terakhir makan minum 12 jam sebelum
operasi
e. Events : kecelakaan lalu lintas bus dengan bus

4
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Sikap / keadaan umum : sakit sedang
Derajat kesadaran : kompos mentis, GCS E4V5M6
Derajat gizi : baik
2. Tanda Vital
BB : 65 kg
TB : 172 cm
SiO2 : 97% (Udara ruangan)
Tekanan darah : 118/79 mmHg
Nadi : 89 x/menit, reguler
Pernafasan : 20 x/menit, reguler
Suhu : 36.5ºC (per axilla)
3. Perhitungan Status Gizi
a. Secara klinis
Gizi kesan baik
b. Secara Antropometris
IMT = 65 : (1,72)2 = 22,41 kg/m2
Status gizi secara antropometri: gizi baik, normoweight, normoheight
4. Primary Survey
a. Airway : bebas, patensi hidung (+/+), deviasi septum (-/-), buka mulut
> 3 jari, mallampati 2, gerak leher bebas, TMD > 6cm
b. Breathing : thoraks bentuk normochest, simetris, pengembangan dada
kanan menurun dibandingkan kiri, retraksi (-/-), otot bantu nafas (-/-),
sonor/sonor, suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-),
frekuensi nafas 20x/menit.
c. Circulation : bunyi jantung I-II reguler, bising (-). Tekanan darah
118/179 mmHg, nadi 110x/menit, irama teratur, isi cukup, CRT <2
detik, akral dingin (-/-).
d. Disability : GCS E4V5M6, pupil isokor dengan diameter 3mm /3mm,
reflek cahaya (+/+).

5
e. Exposure : suhu 36.50C
5. Secondary Survey
a. Kulit : sawo matang, turgor menurun (-), lembab (+), ikterik (-)
b. Kepala : mesosefal, rambut warna hitam
c. Mata : oedem palpebra (-/-), bulu mata rontok (-/-), konjunctiva pucat
(-/-), cekung (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (3 mm/3mm), lensa
keruh (-/-)
d. Hidung : napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), darah (-/-), deviasi
septum (-/-), patensi jalan napas (+/+)
e. Mulut : bibir sianosis (-), mukosa basah (+), lidah kotor dan
hiperemis (-), buka mulut > 3 jari, gigi tongos (-), gigi hilang (-), gigi
palsu (+) bisa dilepas, gigi goyang (-), gigi patah (-), massa (-)
f. Telinga : sekret (-/-), tragus pain (-/-)
g. Tenggorok : uvula di tengah, tonsil T1-T1, hiperemis (-), faring
hiperemis (-)
h. Leher : trakea di tengah, kelenjar getah bening tidak membesar,
gerakan leher bebas, TMD > 6 cm
i. Thoraks :
Bentuk : normochest, retraksi (-)
Pulmo : Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan
menurun dibandingkan kiri, jejas (+) dada kanan
Palpasi : fremitus raba sulit dievaluasi
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : suara dasar: vesikuler (+/+), suara
tambahan: RBH (-/-), RBK (-/-), wheezing
(-/-)
Cor : Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal,
regular, bising (-)

6
j. Abdomen :
Inspeksi : jejas (+)
Auskultasi : bising usus (+) menurun
Perkusi : hipertimpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (+) seluruh lapang perut, darah
(-), discharge (-), bekas luka kering

k. Ekstremitas :
Akral dingin - - edema - -
- - - -
ADP kuat
CRT < 2 detik
l. Genital : Dalam batas normal

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium (19 April 2018)
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
DARAH RUTIN
Hemoglobin 8,2*↓ g/dL 12.0-15.6
Hematokrit 22*↓ % 33-45
Leukosit 15,2*↑ ribu/ul 4.5-11.0
Trombosit 146↓ ribu/ul 150-450
Eritrosit 2,56↓ juta/ul 4.10-5.10
Golongan darah O
KIMIA KLINIK
Gula Darah Sewaktu 83 g/dl 3.5-5.2
Creatinine 0.1 mg/dl 0.6-1.1
Ureum 31 mg/dl <50
2. Portable thorax/thorax on bed
Cor dan pulmo tak tampak kelainan, terpasang ET tube setinggi corpus
VTh 3, Terpasang CVC dari kanan setinggi VTh 6 sisi kanan

3. USG

7
a. Transabdominal : Tampak uterus retrofleksi, tampak hiperechoid
kesan tampon di cavum uteri kesan terdapat perlengketan
b. Transvaginal : tampak VU terisi balon kateter, tampak uterus
membesar kesan intak, gambaran hiperechoid dengan batas tidak tegas
di depan OUI dalam kavum uteri kesan tampon uterus dengan
perlengketan di SBR

4. EKG : sinus takikardi 120 kali/menit normoaxis

E. TATALAKSANA
1. O2 3lpm
2. Inf RL 12 tpm
3. Nifedipin 3x10mg
4. Inj ampicillin sulbactam 1g/8jam
5. Inj metronidazole 500mg/8jam
6. Inj ketorolac 30mg/8jam
7. Inj alinamin F 1amp/8jam
8. Pro histeroskopi s.d. laparoskopi
9. Informed consent
10. KIE
11. Konsultasi TS Anestesi
12. Konsultasi TS Jantung (4/4/18) : HT terkontrol obat, compensated cordis,
toleransi tindakan risiko ringan, saran terapi captopril 3x12.5mg dan
amlodipine 1x10mg dilanjutkan
13. Post operasi mondok di HCU.

F. DIAGNOSA ANESTESI
Ny. P, perempuan 35 tahun, P3A0 dengan post re-SCTP elektif dan
pemasangan tampon atas indikasi placenta previa totalis suspect akreta,
letak lintang, dan PEB pada multipara hamil preterm pro histeroskopi s.d.
laparoskopi, pemeriksaan fisik kondisi umum sedang, tekanan darah

8
143/101 mmHg, dan denyut nadi 89 kali/menit. Pada prinsipnya setuju tata
laksana anestesi dengan status fisik ASA II, plan informed consent, IV
line, DC, puasa makanan padat 6 jam dan makanan cair 4 jam, obat tetap
diberikan terus, premedikasi di mawar 1, general anesthesia dengan
endotracheal tube, dan perawatan pasca operasi di HCU.

G. PROBLEM
1. Perdarahan
2. Hipertensi
3. Riwayat SC 3x
4. Sepsis

H. POTENTIAL PROBLEM
1. Perdarahan
2. Nyeri post operasi
3. Infeksi
4. Atonia uteri

I. PELAKSANAAN OPERASI
Operasi dilaksanakan pada tanggal 6 April 2018 di IBS kamar 1
Primary Survey
1. Airway : bebas, patensi hidung (+/+), deviasi septum (-/-), buka mulut > 3
jari, mallampati 2, gerak leher bebas, TMD > 6cm
2. Breathing : thoraks bentuk normochest, simetris, pengembangan dada
kanan=kiri, retraksi (-/-), otot bantu nafas (-/-), sonor/sonor, suara dasar
vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-), frekuensi nafas 20x/menit.
3. Circulation : bunyi jantung I-II reguler, bising (-). Tekanan darah 150/100
mmHg, nadi 74 x/menit, irama teratur, isi cukup, CRT <2 detik, akral
dingin (-/-).
4. Disability : GCS E4V5M6, pupil isokor dengan diameter 3mm /3mm, reflek
cahaya (+/+).

9
5. Exposure : suhu 36.50C
Secondary survey
1. Kulit : sawo matang, turgor menurun (-), lembab (+), ikterik (-)
2. Kepala : mesosefal, rambut warna hitam
3. Mata : oedem palpebra (-/-), bulu mata rontok (-/-), konjunctiva pucat
(-/-), cekung (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (+ 3 mm/ + 3mm),
lensa keruh (-/-)
4. Hidung : napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), darah (-/-), deviasi
septum (-/-), patensi jalan napas (+/+)
5. Mulut : bibir sianosis (-), mukosa basah (+), lidah kotor dan
hiperemis (-), buka mulut > 3 jari
6. Telinga : sekret (-/-), tragus pain (-/-)
7. Tenggorok : uvula di tengah, tonsil T1-T1, hiperemis (-), faring
hiperemis (-)
8. Leher : trakea di tengah, kelenjar getah bening tidak membesar,
gerakan leher bebas, TMD > 6 cm
9. Thoraks :
Bentuk : normochest, retraksi (-)
Pulmo : Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba sulit dievaluasi
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : suara dasar: vesikuler (+/+), suara
tambahan: RBH (-/-), RBK (-/-), wheezing (-/-)
Cor : Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal,
regular, bising (-)
10. Abdomen :
Inspeksi : dinding perut lebih tinggi daripada dinding dada
Auskultasi : bising usus (+) normal 13 x/menit

10
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), teraba janin tunggal intra
uterin, memanjang, punggung kanan, presentasi
kepala, kepala belum masuk panggul, DJJ (+) 165
kali/menit reguler, his (-), TFU 26 cm (TBJ 2015
gram)

11. Ekstremitas :
Akral dingin - - edema - -
- - - -
ADP kuat
CRT < 2 detik
12. Genital : Dari pemeriksaan VT didapatkan V/U tenang, dinding
vagina dalam batas normal, portio lunak mecucu di belakang,
diameter OUE - cm, kulit ketuban dan penunjuk belum dapat
dinilai, air ketuban (-), sarung tangan lendir darah (-).

Anestesi dimulai pukul 07.40 berlangsung 160 menit, sampai pukul 10.00.
Tindakan bedah dilakukan mulai pukul 07.50 – 09.00 WIB. Dilakukan
regional anesthesia sub arachnoid block dengan injeksi Lidocain 75 mg
dan Fentanyl 25 mcg secara intratekal pada pukul 07.40. Setelah
menunggu beberapa saat, perlahan pasien teranestesi. Kemudian dilakukan
tindakan Sectio Caesaria dengan posisi supine pada pasien. Durante
operasi diberikan O2 3 lpm dengan nasal kanul, infus Ringer Laktat,
ondansentron 4 mg IV, serta Oksitosin drip 10 IU.
Perhitungan cairan (BB = 55 kg) durante operasi adalah :
1. EBV pasien = 90 cc/kg x 55 kg = 4950 cc
2. ABL= (Hct – 24/100) x 3 x EBV = (37-24)/100 x 3 x 4950 =
1930,5 cc
3. Kebutuhan cairan selama operasi:
a. Maintenance + stress operasi = 90cc/jam (pasien PEB)

11
b. Pengganti puasa = 2 cc/jam x 55 x 6 = 660 cc (terpenuhi)
4. Maka, kebutuhan cairan
a. jam I = 90 cc
b. jam II = 90 cc

Maintenence anestesi :
1. B1 (Breathing) : suara nafas vesikuler, nafas terkontrol
2. B2 (Bleeding) : perdarahan ± 250 cc
3. B3 (Brain) : pupil isokor
4. B4 (Bladder) : kateter terpasang, urin 100 cc
5. B5 (Bowel) : bising usus (-)
6. B6 (Bone) : intak

Proses sectio caesaria selesai pada pukul 09.00. Di ruang pemulihan,


sesuai skala Bromage, terjadi kejadian berikut ini :
1. 15 menit setelah operasi, skor = 3 (tak mampu fleksi pergelangan
kaki)
2. 30 menit setelah operasi, skor = 2 (tak mampu fleksi lutut)
3. 45 menit setelah operasi, skor = 1 (tak mampu ekstensi tungkai)
4. kesadaran compos mentis, tekanan darah 130/90 mmHg, denyut nadi
74 kali/menit, frekuensi nafas 20 kali/menit, suhu 36.5ºC, dan
saturasi oksigen 100% dengan nasal kanul 3 lpm. Pasien lalu
dipindahkan ke ruang HCU Mawar 1 karena Skor Bromage ≤ 2

Bayi lahir perabdominal pada tanggal 24 Maret 2018 pukul 08.00


dengan jenis kelamin laki-laki dengan berat badan 1700 gram, skor
APGAR 6-7-8, anus (+).

Setelah operasi, pasien dirawat di HCU Mawar 1 untuk mendapatkan


perawatan lebih lanjut. Keadaan umum pasien baik, kesadaran compos
mentis, tekanan darah 130/90 mmHg, denyut nadi 74 kali/menit, frekuensi

12
nafas 20 kali/menit, suhu 36.5ºC, dan saturasi oksigen 99% dengan nasal
kanul 3 lpm. Tatalaksana post operasi meliputi
1. Pengawasan KUVS dan tanda perdarahan sampai dengan 24 jam
post op
2. Puasa hingga peristaltik usus (+)
3. Mobilisasi bertahap
4. Cefadroxil 500 mg/12 jam
5. Injeksi Ketorolac 30 mg/8 jam i.v
6. VIP Albumin 3x1
7. Ulangi Protap PEB
a. Oksigen 3 lpm
b. IVFD RL 12 tpm
c. Injeksi MgSO4 20% 1 gram/jam selama 24 jam
d. Nifedipine 10 mg/8 jam
e. Awasi KU/VS/BC dan tanda impending eklampsia

13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

I. Preeklampsia
A. Definisi
Preeklampsia merupakan hipertensi spesifik pada masa
kehamilan yang diikuti dengan gangguan multisistem. Dikatakan
hipertensi ketika tekanan darah sistolik lebih dari atau sama dengan
140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari atau sama
dengan 90 mmHg. Kenaikan tekanan darah biasanya terjadi setelah
usia kehamilan 20 minggu, seringkali mendekati usia aterm, dan
dapat diperberat dengan penyakit hipertensi lainnya.
Preeklampsia adalah sindrom klinis pada masa kehamilan
(setelah kehamilan 20 minggu atau kadang-kadang timbul lebih
awal bila terdapat perubahan hidatiformis yang luas pada vili
korialis) yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah (>140/90
mmHg) dan proteinuria (0,3 gram/hari) pada wanita yang tekanan
darahnya normal pada usia kehamilan sebelum 20 minggu.10
Preeklampsia merupakan penyakit sistemik yang tidak hanya
ditandai oleh hipertensi, tetapi juga disertai peningkatan resistensi
pembuluh darah, disfungsi endotel difus, proteinuria, dan
koagulopati.5 Preeklampsia paling sering muncul dengan hipertensi
onset baru yang disertai dengan proteinuria onset baru, sehingga
diagnosis preeklampsia dahulu ditegakkan berdasarkan kedua
pemeriksaan tersebut.
Pada beberapa wanita yang mengalami hipertensi pada
masa kehamilan dengan tanda - tanda multisistemik menunjukkan
derajat penyakit ini walaupun tidak disertai dengan proteinuria.
Tanpa adanya proteinuria, diagnosis preeklampsia ditegakkan bila
didapatkan hipertensi dengan trombositopenia (angka trombosit
<100.000/µL), gangguan fungsi hati (peningkatan liver

14
transaminase hingga 2 kali lipat), insufisinsi renal (peningkatan
kreatinin serum > 1.1mg/dL atau meningkat 2 kali lipat tanpa
penyakit ginjal lainnya), edema pulmo, serta gangguan otak atau
pengelihatan11. Preeklampsia adalah kelainan disfungsi endotel
pembuluh darah atau vaskular yang menyebar luas sehingga terjadi
vasospasme, mengakibatkan terjadinya penurunan perfusi organ
dan pengaktifan endotel yang menimbulkan terjadinya hipertensi,
edema nondependen, dan dijumpai proteinuria 300 mg per 24 jam
atau 30 mg/dL (+1 pada dipstick) dengan nilai sangat fluktuatif
saat pengambilan urine sewaktu10.
Wanita yang sedang hamil bisa saja mempunyai penyulit
dalam kehamilannya seperti timbulnya gejala-gejala subjektif yang
disebut dengan impending eklampsia. Impending eklampsia adalah
gejala-gejala yang timbul pada saat wanita hamil mengalami
preeklampsia berat di mana tekanan darah sistolik sama dengan
atau lebih dari 160 mmHg dan tekanan darah diastolik sama
dengan atau lebih dari 110 mmHg disertai dengan proteinuria lebih
dari 5 gram/24 jam.1 Impending eklampsia adalah gejala-gejala
oedema, protenuria, dan hipertensi yang disertai gejala subyektif
dan obyektif. Gejala subyektif antara lain, nyeri kepala berat,
gangguan visual, muntah, dan nyeri epigastrium. Sedangkan gejala
obyektif antara lain hiperefleksia, eksitasi motorik, kenaikan
progresif tekanan darah (tekanan darah sistolik bisa mencapai ≥
200 mmHg), dan sianosis.

B. Klasifikasi
Berdasarkan Guideline of Hypertension in Pregnancy oleh
American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG),
hipertensi pada kehamilan dibagi menjadi preeklampsia, eklampsia,
hipertensi kronis, hipertensi kronis dengan preeklampsia
superimposed, hipertensi gestasional, dan hipertensi postpartum11.

15
Sementara itu, berdasarkan Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran yang dikeluarkan oleh Perkumpulan Obstetri dan
Ginekologi Indonesia pada tahun 2016 tentang Diagnosis dan
Tatalaksana Preeklampsia, preeklampsia dibagi menjadi dua yakni
preeklampsia dan preeklampsia berat11.
Terjadinya preeklampsia dipengaruhi oleh beberapa faktor
predisposisi antara lain usia ibu, paritas, usia kehamilan, status
ekonomi, dan hiperplasentosis12. Seperti telah disebutkan
sebelumnya, bahwa preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi
yang baru terjadi pada kehamilan atau di atas usia kehamilan 20
minggu disertai adanya gangguan organ. Jika hanya didapatkan
hipertensi saja, kondisi tersebut tidak dapat disamakan dengan
preeklampsia, harus didapatkan gangguan organ spesifik akibat
preeklampsia tersebut.
Kejadian preeklampsia paling tinggi pada primigravida dan
prevalensi terbesar terjadi pada multipara. Preeklampsi khas
dengan adanya trias : hipertensi, proteinuria, dan edema yang
menyeluruh dan diagnosa preeklampsi ditegakkan bila ditemukan 2
dari 3 gejala klinis sebagai berikut hipertensi (tekanan sistolik ≥
140 mmHg atau 30 mmHg di atas nilai dasar dan tekanan diastolik
≥ 90 mmHg atau 15 mmHg di atas nilai dasar yang harus dicatat 2
kali paling tidak selama 6 jam), edema menyeluruh, dan
proteinuria. Preeklampsia adalah suatu kelainan yang tidak nampak
sebelum usia kehamilan 20 minggu. Bila preeklampsia disertai
kejang disebut sebagai eklampsia.
Preeklampsia atau eklampsia umumnya terjadi pada
primigravida yang sangat muda atau tua. Penyebab utama kematian
ibu dari kasus ini adalah perdarahan otak (30-40%), edema paru
(30-38%), gagal ginjal (10%), edema otak (19%), DIC atau
disseminated intravascular coagulation (9%), dan obstruksi jalan
nafas (6%).

16
Preeklampsia berat
Beberapa gejala klinis meningkatkan morbiditas dan
mortalitas pada preeklampsia, dan jika gejala tersebut didapatkan,
akan dikategorikan menjadi kondisi pemberatan preeklampsia
atau disebut dengan preeklampsia berat. Kriteria gejala dan
kondisi yang menunjukkan kondisi pemberatan preeklampsia atau
preklampsia berat adalah salah satu di bawah ini :
a. Tekanan darah sekurang-kurangnya sistolik 160 mmHg atau
diastolik 110 mmHg pada dua kali pemeriksaan berjarak 15
menit menggunakan lengan yang sama
b. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter
c. Gangguan ginjal : kreatinin serum > 1,1 mg/dL atau
didapatkan peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi
di mana tidak ada kelainan ginjal lainnya
d. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali
normal dan atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio
kanan atas abdomen
e. Edema paru
f. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan
visus
g. Gangguan pertumbuhan janin menjadi tanda gangguan
sirkulasi uteroplasenta : oligohidramnion, Fetal Growth
Restriction (FGR), atau didapatkan absent or reversed end
diastolic velocity (ARDV)
Hipertensi kronik superimpose preeklampsia berat merupakan
hipertensi kronik yang disertai tanda-tanda pre-eklampsia berat, di
mana hipertensi kronik sendiri mempunyai arti:
a. Hipertensi yang terjadi sebelum usia 20 minggu kehamilan,
atau

17
b. Hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah usia
kehamilan 20 minggu dan kondisi hipertensi tersebut
menetap sampai 12 minggu pasca persalinan.
c. Klasifikasi
Ringan: tekanan sistolik 140-159 mmHg, tekanan diastolik
90-109 mmHg
Berat: tekanan sistolik ≥160 mmHg, tekanan diastolik: ≥110
mmHg
(Betsy Nobmann, 2011)
Tanda-tanda preeclampsia berat yang menyertai berupa:
a. Proteinuria, gejala-gejala neurologic, nyeri kepala hebat,
gangguan visus, edema patologik yang menyeluruh
(anasarka), oligouria, edema paru
b. Kelainan laboratorium: kenaikan serum kreatinin,
trombositopenia, kenaikan serum transaminase hepar
(Muh. Dikman Angsar, 2008)

C. Etiologi
Preeklampsia adalah suatu penyakit yang unik pada
kehamilan pada manusia, karena itu penelitian mendapat
keterbatasaan tidak adanya model binatang percobaan yang
adekuat untuk melakukan penelitian penyakit ini. Etiologi dari
eklampsia masih tidak diketahui. Etiologi yang paling diterima
disebabkan peningkatan relatif tromboksan plasenta dibandingkan
dengan prostasiklin. Selama gestasi yang normal, plasenta
memproduksi jumlah tromboksan yang ekuivalen dengan jumlah
prostasiklin. Suatu peningkatan absolut atau relatif tromboksan
menyebabkan vasokonstriksi, agregasi trombosit, peningkatan
aktivitas uterus, dan hipoperfusi uteroplasenta, gambaran yang
konsisten dengan preeklampsia.

18
Apapun kejadian permulaannya, iskemia plasenta
menghasilkan pelepasan renin uterus yang mengkatalisa
angiotensinogen ke angiotensin II. Neurohormon ini menyebabkan
vasokonstriksi, hipoperfusi jaringan, dan hipoksia. Sekresi
aldosteron distimulasi, menyebabkan reabsorpsi natrium dari renal
dan menyebabkan edema. Iskemia menyebabkan kerusakan bentuk
plasenta, yang akan menyebabkan pelepasan tropoblastik ke
sirkulasi ibu dan penempatan fibrin secara luas dan agregasi
trombosit pada tempat kerusakan endotel. Bila kondisi semakin
berat akan terjadi koagulopati dan pada ginjal deposisi fibrin pada
pembuluh darah glomerulus menyebabkan proteinuria.
Beberapa mekanisme diajukan sebagai penyebab dari
preeklampsia, tetapi terdapat empat mekanisme yang secara umum
dinilai cukup kuat menjelaskan etiologi preeklampsia:
1. Impantasi plasenta dengan invasi tropoblastik yang abnormal
terhadap pembuluh darah uterina
2. Maladaptif toleransi sistem imun antara maternal dan jaringan
3. Maladaptasi sistem kardiovaskular maternal terhadap
perubahan atau proses inflamasi pada kehamilan normal
4. Proses genetik terkait presdiposisi genetik dan pengaruh
epigenetik

Beberapa teori lain yang dianggap berkaitan dengan terjadinya


preeklampsia antara lain : 3,10
1. Imunologi
Preeklamsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan tidak
timbul lagi pada kehamilan berikutnya. Keadaan ini
diterangkan secara imunologik bahwa pada kehamilan
pertama pembentukan “Blocking antibodies” terhadap
antigen plasenta tidak sempurna, sehingga timbul respon
imun yang tidak menguntungkan terhadap

19
histoinkompalibitas plasenta. Pada kehamilan berikutnya
pembentukan blocking antibodies lebih banyak akibat respon
imunitas pada kehamilan sebelumnya.
2. Faktor hormon
Penurunan hormon progesteron menyebabkan penurunan
aldosteron antagonis, sehingga menimbulkan kenaikan
aldosteron secara relatif yang menyebabkan retensi natrium
dan cairan sehingga terjadi hipertensi dan edema.
3. Genetik
Chesley dan Cooper meneliti bahwa preeklampsia maupun
eklampsia bersifat diturunkan melalui gen residif tunggal.
4. Faktor gizi
Chesley menduga bahwa faktor nutrisi memegang peranan.
Diet yang kurang mengandung asam lemak essensial
terutama asam arachidonat (prekursor sintesis prostaglandin)
dapat menyebabkan “loss angiotensin refractoriness” yang
kemudian menimbulkan preeklampsia.
5. Faktor predisposisi
a. paritas terutama pada primigravida atau nullipra
b. umur terutama pada remaja dan 35 tahun ke atas
c. multigravida dengan kondisi klinis yaitu : hamil
ganda, penyebab vaskuler termasuk hipertensi
essensial kronik, dan diabetes mellitus (DM)
d. hiperplacentosis (mola hidatidosa, hamil ganda,
hidrops foetalis, bayi besar, DM)
e. faktor genetika
f. ras dan golongan etnik
g. riwayat pre-eklampsia pada kehamilan terdahulu
h. obesitas dan hidramnion
i. faktor nutrisi

20
j. kasus dengan kadar asam urat yang tinggi, defisiensi
kalsium, defisiensi asam lemak tidak jenuh, dan
kurang anti oksidan.3,11

D. Patofisiologi
1. Susunan saraf pusat (SSP) menunjukkan hiperiritabilitas
seperti sakit kepala, gangguan penglihatan, dan
hiperefleksia. Kejang yang didefinisikan terjadi pada
eklampsia dihubungkan dengan obstruksi mikrosirkulasi
oleh gumpalan trombosit atau klot fibrin atau alternatifnya,
disebabkan karena hipoksia akibat vasospasme arterial.
Dapat terjadi juga edema serebral dan atau ensefalopati
hipertensi. Beratnya manifestasi SSP tidak memerlukan
korelasi dengan beratnya hipertensi. Perdarahan serebral
terjadi pada 30-40% kematian ibu akibat preeklampsia.
2. Hepatik
Peningkatan SGOT, LDH, dan alkali fosfatase sering
ditemukan pada kehamilan normal tapi mungkin akan
meningkat lagi dengan adanya preeklampsia.
Hiperbilirubinemia bukan merupakan gambaran yang
umum dan bila ada harus dipikirkan adanya HELLP
syndrome. Hematom subkapsuler pada Kapsula Glisson
hepar dapat menimbulkan nyeri epigastrik yang berat dan
yang jarang, mungkin ruptur liver. Aliran darah hepar dapat
menurun dengan hebat pada pasien preeklampsia
disebabkan karena vasokonstriksi splanik. Biopsi hati atau
post mortem menunjukkan adanya nekrosis periportal.
3. Renal
Renal plasma flow dan glomerular filtration rate meningkat
dengan cepat selama kehamilan dan pada trimester kedua
50% lebih besar dibandingkan dengan wanita yang tidak

21
hamil pada usia yang sama. Kreatinin klirens meningkat
maka kadar urea nitrogen dan kreatinin lebih rendah pada
wanita hamil dibandingkan dengan wanita yang tidak
hamil. Fungsi ginjal pada pasien preeklampsia abnormal
disebabkan karena vasokonstriksi arteriol renal dan
obliterasi lumen vaskuler disebabkan pembengkakan dari
epitel sel glomerulus dan deposit fibrin. Renal plasma flow
dan glomerular filtration rate secara nyata berkurang dan
level BUN dan kreatinin meningkat. Proteinuria bila berat
dapat mencapai 10-15 gram/hari dan menimbulkan
hipoalbuminemia.
4. Koagulasi
Selama kehamilan jumlah tromsosit meningkat di atas
200.000/mm3 dan level fibrinogen lebih tinggi daripada
wanita yang tidak hamil. Kelainan koagulasi yang paling
sering pada pasien preeklampsia adalah trombositopenia
(100.000-150.000/mm3). Walaupun jumlah trombosit
normal, fungsi trombosit dapat terganggu. Pada kasus berat
protrombin time (PT) dan activated partial tromboplastin
time (APTT) meningkat.
5. Kardiovaskuler
Pasien preeklampsia mempunyai wedge pressure yang
rendah, resistensi vaskuler sistemik yang tinggi, cardiac
index yang rendah, dan peningkatan denyut jantung
dibandingkan dengan wanita hamil yang normotensi. Pasien
dengan preeklampsia memiliki defisit volume intravaskuler
sedikit, kira-kira 10%, tapi bila berat defisit volume bisa
sampai 40%. Pada pasien preeklampsia komposisi volume
intravaskuler juga berubah. Walaupun total body water dan
jumlah natrium meningkat pada ibu yang mengalami
preeklampsia, namun ada ada pergeseran cairan dan protein

22
jauh dari kompartemen sentral ke kompartemen
ekstravaskuler menyebabkan terjadinya hipovolemia,
hipoproteinemia, dan edema perifer. Terdapat
hemokonsentrasi dan adanya hemokonsentrasi digunakan
untuk panduan dalam memeperkirakan tingkatan
kekosongan volume intravaskuler. Tekanan koloid osmotik
pada pasien preeklampsia lebih rendah daripada yang
ditemukan pada wanita hamil yang normotensi yang
menimbulkan terjadinya resiko edema paru. Edema paru
terjadi pada 2% wanita dengan preeklampsia berat yang
disebabkan karena disfungsi ventrikel, tekanan koloid
onkotik yang rendah, peningkatan tekanan hidrostatik
intravaskuler, atau peningkatan permeabilitas kapiler paru.
6. Plasenta
Aliran darah intervili pada plasenta wanita preeklampsia
kira-kira 2/3 daripada wanita hamil normotensi pada
trimester ketiga. Terdapat vasopspasme yang luas dan
deposit fibrin di arteri decidua plasenta. Hipoperfusi unit
uteroplasenta menyebabkan hipoksemia fetal kronis dan
Intra Uterine Growth Retardation. Oleh karena itu,
kejadian outcome fetal yang buruk kira-kira 3-4 kali lebih
besar pada pasien preeklampsia daripada pasien obstetri
yang normotensi. Ablasio plasenta lebih sering terjadi juga
pada pasien dengan preeklampsia.

E. Tatalaksana
Prinsip penatalaksanaan preeklampsia berat adalah mencegah
timbulnya kejang, mengendalikan hipertensi guna mencegah
perdarahan intrakranial serta kerusakan dari organ-organ vital, dan
melahirkan bayi dengan selamat13. Pada preeklampsia berat,
penundaan merupakan tindakan yang salah karena preeklampsia

23
sendiri bisa membunuh janin. Preeklampsia berat dirawat segera
bersama dengan bagian interna dan neurologi, dan kemudian
ditentukan jenis perawatan atau tindakannya.
Pengelolaan preeklampsia dan eklampsia mencakup
pencegahan kejang, pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan,
pelayanan suportif terhadap penyulit organ yang terlibat dan saat yang
tepat untuk persalinan. Pemeriksaan sangat teliti diikuti dengan
observasi harian tentang tanda tanda klinik berupa : nyeri kepala,
gangguan visus, nyeri epigastrium, dan kenaikan cepat tekanan darah.
Selain itu, perlu dilakukan penimbangan berat badan, pengukuran
proteinuria, pengukuran tekanan darah, pemeriksaan laboratorium,
dan pemeriksaan USG dan NST.14
Wanita dengan preeclampsia dan fetus yang imatur dapat
dikelola sampai kehamilan hampir mendekati aterm. Akan tetapi, bila
penyakitnya progresif, seperti memburuknya hipertensi,
trombositopenia, disfungsi hepar atau ginjal, eklampsia, persalinan
harus tetap dilakukan walaupun fetus imatur. Terapi definitif dari
preeklampsia adalah mengeluarkan unit fetoplasenta. Semua tindakan
ditujukan kepada normalisasi parameter hemodinamik, mencegah dan
mengobati kejang, serta koreksi koagulopati.
Berdasarkan panduan William obstetrics, ditinjau dari umur
kehamilan dan perkembangan gejala-gejala preeklampsia berat
selama perawatan, maka sikap terhadap kehamilannya dibagi
menjadi:
1. Aktif : berarti kehamilan segera diakhiri atau diterminasi
bersamaan dengan pemberian medikamentosa. Indikasi : Bila
didapatkan satu atau lebih dari keadaan berikut ini :
a. Ibu
1) Kehamilan lebih dari 37 minggu
2) Adanya tanda-tanda terjadinya impending eklampsia

24
3) Kegagalan terapi pada perawatan konservatif yaitu:
keadaan klinik dan laboratorik memburuk
4) Diduga terjadi solusio plasenta
5) Timbul onset persalinan, ketuban pecah atau perdarahan
b. Janin
1) Adanya tanda-tanda gawat janin
2) Adanya tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat
3) NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal
4) Terjadinya oligohidramnion
c. Laboratorium : adanya sindroma HELLP khususnya
menurunnya trombosit dengan cepat

Pengobatan medikamentosa meliputi :


a. Infus D5% yang tiap liternya diselingi dengan larutan RL
500 cc (60-125 cc/jam)
b. Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.
c. Pemberian obat : MgSO4.

2. Konservatif (ekspektatif) : berarti kehamilan tetap


dipertahankan bersamaan dengan pemberian medikamentosa.14
Indikasi perawatan konservatif ialah bila kehamilan preterm ≤
37 minggu tanpa disertai tanda – tanda impending eklampsia
dengan keadaan janin baik. Diberi pengobatan yang sama
dengan pengobatan medikamentosa pada pengelolaan secara
aktif. Selama perawatan konservatif, sikap terhadap
kehamilannya ialah hanya observasi dan evaluasi sama seperti
perawatan aktif, tetapi kehamilan tidak diakhiri. Magnesium
sulfat dihentikan bila ibu sudah mencapai tanda-tanda
preeklampsia, selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam. Bila
setelah 24 jam tidak ada perbaikan keadaan ini dianggap
sebagai kegagalan pengobatan medikamentosa dan harus

25
diterminasi. Penderita preeklampsia berat boleh dipulangkan
bila penderita kembali ke gejala-gejala atau tanda-tanda
preeklampsia.

Prinsip tatalaksana preeklampsia :


1. Penggantian volume
Curah jantung yang rendah pada pasien
preeklampsia dikoreksi dengan mengganti volume
intravaskuler. Tujuan penggantian volume adalah cardiac
filling pressure kanan-kiri normal, cardiac index membaik,
dan denyut jantung ibu serta resistensi vaskuler sistemik
menurun. Hipertensi sistolik dan diastolik ibu akan
membaik dengan hidrasi. Ekpansi volume dan normalisasi
hemodinamik menunjukkan perbaikan perfusi jaringan dan
fetal.
Perawatan yang penting pada preeklampsia berat
ialah pengelolaan cairan karena penderita preeklampsia dan
eklampsia mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya edema
paru dan oligouria. Sebab terjadinya kedua keadaan
tersebut belum jelas, tetapi faktor yang sangat menentukan
terjadinya edema paru dan oligouria ialah hipovolemia,
vasospasme, kerusakan sel endotel, penurunan gradien
tekanan onkotik koloid atau pulmonary capillary wedge
pressure. Oleh karena itu monitoring input cairan (melalui
oral ataupun infus) dan output cairan (melalui urin) menjadi
sangat penting. Artinya harus dilakukan pengukuran secara
tepat berapa jumlah cairan yang dimasukkan dan
dikeluarkan melalui urin.
Bila terjadi tanda tanda edema paru, segera
dilakukan tindakan koreksi. Cairan yang diberikan dapat
berupa

26
a. 5% ringer dextrose atau cairan garam faal jumlah
tetesan:<125cc/jam atau
b. infus dekstrose 5% yang tiap 1 liternya diselingi
dengan infus ringer laktat (60-125 cc/jam) 500
cc.(13)
Di pasang kateter foley untuk mengukur pengeluaran urin.
Oligouria terjadi bila produksi urin < 30 cc/jam dalam 2-3
jam atau < 500 cc/24 jam. Apabila terdapat oligouria,
sebaiknya penderita diberi glukosa 20 % secara intravena.
Diberikan antasida untuk menetralisir asam lambung
sehingga bila mendadak kejang, dapat menghindari resiko
aspirasi asam lambung yang sangat asam. Diet yang cukup
protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.(13)
2. Terapi anti konvulsan
Diazepam sering digunakan untuk mengendalikan
hipereksitabilitas SSP. Akan tetapi di Amerika Serikat,
MgSO4 lebih sering digunakan. Mekanisme MgSO4 dalam
mencegah eklampsia belum diketahui. Umumnya diberikan
dosis bolus 4 gram MgSO4 20% melalaui suntikan
intravena dilanjutkan dengan 1-2 gram/jam. Eksresi ginjal
merupakan jalan utama untuk klirens magnesium dan
waktu paruh eliminasi kira-kira 20-30 menit bila fungsi
ginjalnya baik. Level magnesium dalam darah harus
diperiksa, terutama bila ada disfungsi ginjal dan ada
oligouria. Magnesium 6-8 mg/L adalah rentang terapi,
meningkatnya konsentrasi ion magnesium akan
menyebabkan depresi kardiorespirasi. Bila terjadi
eklampsia walaupun terapi magnesium adekuat dapat
diberikan dosis kecil pentotal atau diazepam.
Di Amerika Serikat, pemberian magnesium
parenteral dipertimbangkan sebagai obat pilihan dalam

27
mengendalikan pre-eklampsia dan eklampsia. Normal kadar
magnesium dalam plasma adalah 1,5-2 meq/L. Rentang
terapeutik pada kadar 4-8 meq/L. Hilangnya refleks tendo
terjadi pada kadar 10 atau 12 meq/L, perubahan EKG (PQ
memanjang, QRS kompleks melebar) terlihat pada kadar 5-
10 meq/L, paralisis respirasi dan blok sinoatrial maupun
atrioventrikular terjadi pada kadar 15 atau 18 meq/L dan
henti jantung pada kadar 25 meq/L (beberapa referensi
menyebutkan >30 atau >36 meq/L). Terapi magnesium
sulfat dapat berpotensiasi dengan pelumpuh otot
depolarisasi dan non depolarisasi.
Pemberian magnesium sulfat sebagai antikejang
lebih efektif dibandingkan fenitoin, berdasar Cochrane
review terhadap enam uji klinik yang melibatkan 897
penderita eklampsia, magnesium sulfat menghambat atau
menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan serat saraf
dengan menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi
neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada
pemberian magnesium sulfat, magnesium akan menggeser
kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak terjadi (terjadi
inhibisi kompetitif antara ion kalsium dan ion magnesium).
Kadar kalsium yang tinggi dalam darah dapat menghambat
kerja magnesium sulfat. Magnesium sulfat sampai saat ini
tetap menjadi pilihan pertama untuk antikejang pada
preeklampsia atau eklampsia.
Cara pemberian MgSO4
a. Loading dose : initial dose 4 gram MgSO4: intravena, (40
% dalam 10 cc) selama 15 menit
b. Maintenance dose : Diberikan infus 6 gram dalam larutan
ringer/6 jam; atau diberikan 4 atau 5 gram i.m. Selanjutnya

28
maintenance dose diberikan 4 gram intramuskular tiap 4-6
jam
Syarat-syarat pemberian MgSO4
a. Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi
yaitu kalsium glukonas 10% = 1 gram (10% dalam 10 cc)
diberikan intravena selama 3 menit
b. Refleks patella (+) kuat
c. Frekuensi pernafasan > 16x/menit, tidak ada tanda tanda
distress nafas
Magnesium sulfat dihentikan bila ada tanda tanda
intoksikasi atau setelah 24 jam pascapersalinan atau 24 jam
setelah kejang terakhir. Pemberian magnesium sulfat dapat
menurunkan resiko kematian ibu dan didapatkan 50 % dari
pemberiannya menimbulkan efek flushes (rasa panas).
Contoh obat-obat lain yang dipakai untuk antikejang yaitu
diazepam atau fenitoin (difenilhidantoin), thiopental
sodium, dan sodium amobarbital. Fenitoin sodium
mempunyai khasiat stabilisasi membran neuron, cepat
masuk jaringan otak, dan efek antikejang terjadi 3 menit
setelah injeksi intravena. Fenitoin sodium diberikan dalam
dosis 15 mg/kg berat badan dengan pemberian intravena 50
mg/menit. Hasilnya tidak lebih baik dari magnesium sulfat.
Pengalaman pemakaian fenitoin di beberapa rumah sakit di
dunia masih sedikit.
3. Anti hipertensi (terapi vasodilator)
Penggunaan obat hipotensif pada preeklampsia
berat diperlukan karena dengan menurunkan tekanan darah
kemungkinan kejang dan apopleksia serebri menjadi lebih
kecil. Namun, dari penggunaan obat-obat antihipertensi
(OAH) jangan sampai mengganggu perfusi uteroplasental.
OAH yang dapat digunakan adalah hydralazine, labetolol,

29
dan nifedipin. Obat diuretika tidak diberikan secara rutin,
kecuali bila ada edema paru-paru, payah jantung kongestif,
atau edema anasarka. Diuretikum yang dipakai ialah
furosemid. Pemberian diuretikum dapat merugikan, yaitu
memperberat hipovolemia, memperburuk perfusi
uteroplasenta, meningkatkan hemokonsentrasi,
menimbulkan dehidrasi pada janin, dan menurunkan berat
janin.
Obat antihipertensi telah digunakan untuk
pengelolaan preeklampsia untuk memperbaiki status
hemodinamik dan mencegah perdarahan otak bila
dilakukan tindakan konservatif (seperti terapi cairan,
menempatkan posisi uterus ke kiri, terapi magnesium) tidak
berhasil. Hydralazine adalah dilator otot polos pembuluh
darah yang kuat dan mempunyai bioavailabilitas yang baik
bila diberikan peroral atau parenteral dan menyebabkan
peningkatan cardiac index dan penurunan resistensi perifer
total bila digabungkan dengan penggantian volume cairan
yang adekuat. Hydralazine (apresoline) injeksi (di
Indonesia tidak ada) adalah suatu vasodilator langsung pada
arteriol yang menimbulkan refleks takikardia dan
peningkatan cardiac output, sehingga memperbaiki perfusi
uteroplasenta.
Obat antihipertensi lain adalah labetalol injeksi,
suatu α-1 blocker, non selektif β blocker. Obat-obat
antihipertensi yang tersedia dalam bentuk suntikan di
Indonesia ialah clonidin (catapres). Satu ampul
mengandung 0.15 mg/cc. Klonidin 1 ampul dilarutkan
dalam 10 cc larutan garam faal atau larutan air untuk
suntikan.

30
Antihipertensi lini pertama : Nifedipin. Dosis 10-20
mg/oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120 mg
dalam 24 jam
Antihipertensi lini kedua :
a. Sodium nitroprussida : 0,25 µg iv/kg/menit, infus
ditingkatkan 0,25 µg iv/kg/5 menit.
b. Diazokside : 30-60 mg iv/5 menit; atau iv infus 10
mg/menit/dititrasi.
4. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid untuk maturitas dari paru janin
sampai saat ini masih kontroversi. Pada preeklampsia berat
dapat terjadi edema paru akibat kardiogenik (payah jantung
ventrikel kiri akibat peningkatan afterload) atau non
kardiogenik (akibat kerusakan sel endotel pembuluh darah
paru). Prognosis preeklampsia berat menjadi buruk bila
edema paru disertai oligouria. Pemberian glukokortikoid
untuk pematangan paru janin tidak merugikan ibu.
Diberikan pada kehamilan 32-34 minggu, 2x 24 jam. Obat
ini juga diberikan pada sindrom HELLP. 15

5. Anestesi dan sedative


Untuk penderita preeklamsia diperlukan anestesi dan
sedativa lebih banyak dalam persalinan. Namun, untuk saat
ini teknik anestesi yang lebih disukai adalah anestesi
epidural lumbal. Pada kala II, pada penderita dengan
hipertensi, bahaya perdarahan dalam otak lebih besar,
sehingga apabila syarat-syarat telah terpenuhi, hendaknya
persalinan diakhiri dengan cunam atau vakum. Pada gawat
janin, dalam kala I, dilakukan segera seksio sesarea; pada
kala II dilakukan ekstraksi dengan cunam atau ekstraktor
vakum14.

31
F. Prognosis
Prognosis preeclampsia berat dan eklampsia dikatakan jelek
karena kematian ibu antara 9.8 – 20.5%, sedangkan kematian bayi
lebih tinggi lagi, yaitu 42.2 – 48.9%. Kematian ini disebabkan
karena kurang sempurnanya pengawasan antenatal, di samping itu
penderita eklampsia biasanya sering terlambat mendapat
pertolongan. Kematian ibu biasanya terjadi karena perdarahan
otak, decompensatio cordis, oedem paru, payah ginjal, dan aspirasi
cairan lambung. Sebab kematian bayi antara lain karena
prematuritas dan hipoksia intra uterin. Selain itu pada ibu yang
selamat dapat mengalami peningkatan morbiditas neurologis,
sistem ekskresi, dan system kardiovaskular di kemudian hari.

II. Sindrom HELLP


A. Sejarah dan Definisi
Pada 1982, Weinstein melaporkan 29 kasus preeklampsi
berat, eklampsi dengan komplikasi trombositopeni, kelainan
sediaan apus darah tepi, dan kelainan tes fungsi hati. Ia
menyatakan bahwa kumpulan tanda dan gejala ini benar-benar
terpisah dari preeklampsi berat dan membentuk satu istilah:
Sindrom HELLP; H untuk Hemolysis, EL untuk Elevated Liver
Enzymes, dan LP untuk Low Platelet. 26

B. Etiologi dan Patogenesis


Patogenesis sindrom HELLP sampai sekarang belum jelas.
Yang ditemukan pada penyakit multisistem ini adalah kelainan
tonus vaskuler, vasospasme, dan kelainan koagulasi. Sampai
sekarang tidak ditemukan faktor pencetusnya. Sindrom ini
kelihatannya merupakan akhir dari kelainan yang menyebabkan
kerusakan endotel mikrovaskuler dan aktivasi trombosit

32
intravaskuler; akibatnya terjadi vasospasme, aglutinasi dan
agregasi trombosit dan selanjutnya terjadi kerusakan endotel.
Hemolisis yang didefinisikan sebagai anemi hemolitik
mikroangiopati merupakan tanda khas.(26)
Sel darah merah terfragmentasi saat melewati pembuluh
darah kecil yang endotelnya rusak dengan deposit fibrin. Pada
sediaan apus darah tepi ditemukan spherocytes, schistocytes,
triangular cells dan burr cells.26
Peningkatan kadar enzim hati diperkirakan sekunder akibat
obstruksi aliran darah hati oleh deposit fibrin di sinusoid. Obstruksi
ini menyebabkan nekrosis periportal dan pada kasus yang berat
dapat terjadi perdarahan intrahepatik, hematom subkapsular atau
ruptur hati.26
Nekrosis periportal dan perdarahan merupakan gambaran
histopatologik yang paling sering ditemukan. Trombositopeni
ditandai dengan peningkatan pemakaian dan/atau destruksi
trombosit.26
Banyak penulis tidak menganggap sindrom HELLP sebagai
suatu variasi dari disseminated intravascular coagulopathy (DIC),
karena nilai parameter koagulasi seperti waktu prothrombin (PT),
waktu parsial thromboplastin (PTT), dan serum fibrinogen normal.
Secara klinis sulit mendiagnosis DIC kecuali menggunakan tes
antitrombin III, fibrinopeptide-A, fibrin monomer, D-Dimer, 2
antiplasmin, plasminogen, prekallikrein, dan fibronectin. Namun
tes ini memerlukan waktu dan tidak digunakan secara rutin. Sibai
dkk. mendefinisikan DIC dengan adanya trombositopeni, kadar
fibrinogen rendah (fibrinogen plasma < 300 mg/dl) dan fibrin split
product > 40 µg/ml2. Semua pasien sindrom HELLP mungkin
mempunyai kelainan dasar koagulopati yang biasanya tidak
terdeteksi. 26

33
C. Faktor Risiko
Berikut adalah beberapa factor risiko sindrom HELLP:
1. Usia ibu > 34 tahun
2. Multiparitas
3. Ras kulit putih
4. Riwayat kehamilan yang buruk. 28
D. Klasifikasi
Dua sistem klasifikasi digunakan pada sindrom HELLP.
Klasifikasi pertama berdasarkan jumlah kelainan yang ada. Dalam
sistem ini, pasien diklasifikasikan sebagai sindrom HELLP parsial
(mempunyai satu atau dua kelainan) atau sindrom HELLP total
(ketiga kelainan ada). Wanita dengan ketiga kelainan lebih berisiko
menderita komplikasi seperti DIC, dibandingkan dengan wanita
dengan sindrom HELLP parsial. Konsekuensinya pasien sindrom
HELLP total seharusnya dipertimbangkan untuk bersalin dalam 48
jam, sebaliknya yang parsial dapat diterapi konservatif.
Klasifikasi ke dua berdasarkan jumlah trombosit (Martin
dkk.) Sindrom HELLP kelas I jika jumlah trombosit < 50.000/mm3
. Jumlah trombosit antara 50.000 – 100.000/mm3 dimasukkan
kelas II. Kelas III jika jumlah trombosit antara 100.000 –
150.000/mm 3 . Klasifikasi ini telah digunakan dalam memprediksi
kecepatan pemulihan penyakit pada post partum, keluaran maternal
dan perinatal, dan perlu tidaknya plasmaferesis. Sindrom HELLP
kelas I berisiko morbiditas dan mortalitas ibu lebih tinggi
dibandingkan pasien kelas II dan kelas III. 27

E. Manifestasi Klinis
Pasien sindrom HELLP dapat mempunyai gejala dan tanda
yang sangat bervariasi, dari yang bernilai diagnostic sampai semua
gejala dan tanda pada pasien preeklampsi-eklampsi yang tidak
menderita sindrom HELLP.27

34
Sibai (1990) menyatakan bahwa pasien biasanya muncul dengan
keluhan nyeri epigastrium atau nyeri perut kanan atas (90%),
beberapa mengeluh mual dan muntah (50%), yang lain bergejala
seperti infeksi virus. Sebagian besar pasien (90%) mempunyai
riwayat malaise selama beberapa hari sebelum timbul tanda lain.
Dalam laporan Weinstein, mual dan/atau muntah dan nyeri
epigastrium diperkirakan akibat obstruksi aliran darah di sinusoid
hati, yang dihambat oleh deposit fibrin intravaskuler.28
Pasien sindrom HELLP biasanya menunjukkan
peningkatan berat badan yang bermakna dengan udem menyeluruh.
Hal yang penting adalah bahwa hipertensi berat (sistolik 160
mmHg, diastolic 110 mmHg) tidak selalu ditemukan. Walaupun
66% dari 112 pasien pada penelitian Sibai dkk (1986) mempunyai
tekanan darah diastolic 110 mmHg, 14,5% bertekanan darah
diastolic 90 mmHg.27
Dalam laporan awal Weinstein (1952) atas 29 pasien,
kurang dari setengah (13 pasien) mempunyai tekanan darah saat
masuk rumah sakit 160/110 mmHg. Jadi sindrom HELLP dapat
timbul dengan tanda dan gejala yang sangat bervariasi, yang tidak
bernilai diagnosis, dan dapat diikuti dengan kesalahan pemberian
obat dan pembedahan seperti apendisitis, gastroenteritis,
glomerulonefritis, pielonefritis dan hepatitis virus.27

F. Diagnosis
Tiga kelainan utama pada sindrorn HELLP berupa
hemolisis, peningkatan kadar enzim hati dan jumlah trombosit
yang rendah.26
Banyak penulis mendukung nilai laktat dehidrogenase
(LDH) dan bilirubin agar diperhitungkan dalam mendiagnosis
hemolisis. Derajat kelainan enzim hati harus didefinisikan dalam
nilai standar deviasi tertentu dan nilai normal di masing-masing

35
rumah sakit. Di University of Tennessee, Memphis, digunakan
nilai potong > 3 SD. 27
Tabel Kriteria diagnosis sindrom HELLP (University of
Tennessee,Memphis)

Hemolisis

– Kelainan apusan darah tepi

– Total bilirubin > 1,2 mg/dl

– Laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L

Peningkatan fungsi hati

– Serum aspartate aminotransferase (AST) > 70 U/L

– Laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L

Jumlah trombosit yang rendah

– Hitung trombosit < 100.000/mm

G. Diagnosis Banding
Pasien sindrom HELLP dapat menunjukkan tanda dan
gejala yang sangat bervariasi, yang tidak bernilai diagnostic pada
preeklampsi berat. Akibatnya sering terjadi salah diagnosis, diikuti
dengan kesalahan pemberian obat dan pembedahan. Diagnosis
banding pasien sindrom HELLP meliputi 26
1. Perlemakan hati akut dalam kehamilan
2. Apendistis
3. Gastroenteritis
4. Kolesistitis
5. Batu ginjal
6. Pielonefritis
7. Ulkus peptikum
8. Glomerulonefritis trombositopeni idiopatik

36
9. Trombositipeni purpura trombotik
10. Sindrom hemolitik uremia
11. Ensefalopati dengan berbagai etiologi
12. Sistemik lupus eritematosus (SLE)

H. Penatalaksanaan
Pasien sindrom HELLP harus dirujuk ke pusat pelayanan
kesehatan tersier dan pada penanganan awal harus diterapi sama
seperti pasien preeklampsi. Prioritas pertama adalah menilai dan
menstabilkan kondisi ibu, khususnya kelainan pembekuan darah.26
Beberapa bentuk terapi sindrom HELLP yang diuraikan dalam
literatur sebagian besar mirip dengan penanganan preeklampsi
berat.27 Penatalaksanaan sindrom HELLP pada umur kehamilan <
35 minggu dengan stabilisasi kondisi ibu, kemudian akhiri
persalinan pada pasien sindrorn HELLP dengan umur kehamilan
35 minggu. 27,28
1. Menilai dan menstabilkan kondisi ibu
a. Jika ada DIC, atasi koagulopati
b. Profilaksis anti kejang dengan MgSO4
c. Terapi hipertensi berat
d. Rujuk ke pusat kesehatan tersier
e. Computerised tomography (CT scan) atau Ultrasonografi
(USG) abdomen bila diduga hematoma subkapsular hati
2. Evaluasi kesejahteraan janin
a. Non stress test/tes tanpa kontraksi (NST)
b. Profil biofisik
c. USG
3. Evaluasi kematangan paru janin jika umur kehamilan < 35
minggu
a. Jika matur, segera akhiri kehamilan
b. Jika immatur, beri kortikosteroid, lalu akhiri kehamilan

37
III. Sectio caesaria
Sectio caesaria atau bedah sesar adalah sebuah bentuk melahirkan
anak dengan melakukan sebuah irisan pembedahan yang menembus
abdomen seorang ibu (laparotomi) dan uterus (hiskotomi) untuk
mengeluarkan satu bayi atau lebih. Tujuan melakukan sectio caesaria (SC)
adalah untuk mempersingkat lamanya perdarahan dan mencegah
terjadinya robekan serviks dan segmen bawah rahim. Sectio caesarea
umumnya dilakukan pada plasenta previa totalis dan plasenta previa
lainnya jika perdarahan hebat. Selain dapat mengurangi kematian bayi
pada plasenta previa, sectio caesarea juga dilakukan untuk kepentingan
ibu, sehingga sectio caesarea tetap dilakukan pada placenta previa
walaupun anak sudah mati.

A. Indikasi
1. Indikasi medis
Ada 3 faktor penentu dalam proses persalinan yaitu :
a. Power
Daya mengejan lemah, ibu berpenyakit jantung, atau penyakit
menahun lain yang mempengaruhi tenaga.
b. Passanger
Anak terlalu besar, anak “mahal” dengan kelainan letak lintang,
primigravida di atas 35 tahun dengan letak sungsang, anak tertekan
terlalu lama pada pintu atas panggul, dan anak menderita fetal
distress syndrome (denyut jantung janin kacau dan melemah).
c. Passage
Kelainan ini merupakan panggul sempit, trauma persalinan serius
pada jalan lahir atau pada anak, adanya infeksi pada jalan lahir yang
diduga bisa menular ke anak, seperti herpes kelamin (herpes
genitalis), condyloma lata (kondiloma sifilitik yang lebar dan pipih),

38
condyloma acuminata (penyakit infeksi yang menimbulkan massa
mirip kembang kol di kulit luar kelamin wanita), hepatitis B, dan
hepatitis C.
2. Indikasi ibu
a. Usia
Ibu yang melahirkan untuk pertama kali pada usia sekitar 35 tahun,
memiliki risiko melahirkan dengan persalinan normal. Apalagi pada
wanita dengan usia 40 tahun ke atas. Pada usia ini, biasanya
seseorang memiliki penyakit yang berisiko, misalnya tekanan darah
tinggi, penyakit jantung, diabetes mellitus, dan preeklamsia.
b. Tulang panggul
Cephalopelvic Diproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul
ibu yang tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin dan dapat
menyebabkan ibu tidak dapat melahirkan secara alami. Sangat
menentukan mulus tidaknya proses persalinan.
c. Persalinan sebelumnya dengan sectio caesaria
Sebenarnya, persalinan melalui bedah caesar tidak memengaruhi
persalinan selanjutnya harus berlangsung secara operasi atau tidak.
Apabila memang ada indikasi yang mengharuskan dilakukanya
tindakan pembedahan, seperti bayi terlalu besar, panggul terlalu
sempit, atau jalan lahir yang tidak mau membuka, operasi bisa saja
dilakukan.
d. Faktor hambatan jalan lahir.
e. Kelainan kontraksi rahim.
f. Ketuban pecah dini.
g. Rasa takut kesakitan15.
3. Indikasi janin
a. Ancaman gawat janin (fetal distress).
b. Detak jantung janin melambat.
c. Bayi besar (makrosomia).
d. Letak sungsang.

39
e. Faktor plasenta
1) Placenta previa.
2) Solutio placenta (plasenta lepas).
3) Placenta accreta .
f. Kelainan tali pusat
1) Prolaps tali pusat (tali pusat menumbung).
2) Tali pusat terlilit 15.
Salah satu indikasi dilakukan tindakan sectio caesarea adalah
preeklampsia berat. Preeklampsia dan eklampsia merupakan salah satu
komplikasi kehamilan yang disebabkan langsung oleh kehamilan itu
sendiri yang sebab terjadinya masih belum jelas. Sindrom preeklampsia
dengan hipertensi, oedema, dan protein urin sering tidak diperhatikan oleh
wanita yang bersangkutan sehingga tanpa disadari dalam waktu yang
singkat, jika tidak dilakukan tindakan yang tepat untuk mencegah hal
tersebut akan muncul preeklampsia berat bahkan akan menjadi eklampsia.2

B. Komplikasi
1. Infeksi Puerperalis
Komplikasi ini bersifat ringan, seperti kenaikan suhu selama beberapa
hari dalam masa nifas atau dapat juga bersifat berat, misalnya
peritonitis, sepsis, dan lain-lain. Infeksi post operasi terjadi apabila
sebelum pembedahan sudah ada gejala - gejala infeksi intrapartum
atau ada faktor - faktor yang merupakan predisposisi terhadap
kelainan itu (partus lama khususnya setelah ketuban pecah atau
tindakan vaginal sebelumnya). Bahaya infeksi dapat diperkecil dengan
pemberian antibiotika, tetapi tidak dapat dihilangkan sama sekali,
terutama sectio caesarea klasik dalam hal ini lebih berbahaya
daripada sectio caesarea transperitonealis profunda.
2. Perdarahan
Perdarahan banyak bisa timbul pada waktu pembedahan jika cabang
arteria uterina ikut terbuka atau karena atonia uteri.

40
3. Komplikasi - komplikasi lain seperti luka kandung kemih dan
embolisme paru – paru.
4. Suatu komplikasi yang baru kemudian tampak ialah kurang kuatnya
perut pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan berikutnya bisa
terjadi ruptura uteri. Kemungkinan hal ini lebih banyak ditemukan
sesudah sectio caesarea klasik.

C. Pemeriksaan penunjang
1. Hemoglobin atau hematokrit (Hb/Ht) untuk mengkaji perubahan
dari kadar pra operasi dan mengevaluasi efek kehilangan darah
pada pembedahan
2. Leukosit (WBC) mengidentifikasi adanya infeksi
3. Tes golongan darah, lama perdarahan, waktu pembekuan darah
4. Urinalisis atau kultur urine
5. Pemeriksaan elektrolit

D. Penatalaksanaan post operasi


Penatalaksanaan Medis Post SC
1. Pemberian cairan
2. Diet
3. Mobilisasi
4. Kateterisasi
5. Pemberian obat-obatan
a. Antibiotik
Cara pemilihan dan pemberian antibiotik sangat berbeda-beda
setiap institusi
b. Analgetik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan
1. Supositoria = ketopropen supositoria 2x/24 jam
2. Oral = tramadol tiap 6 jam atau paracetamol
3. Injeksi = petidine 75-90 mg diberikan setiap 6 jam bila perlu
c. Obat-obatan lain

41
Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita dapat
diberikan roboransia seperti neurobion dan vitamin C
6. Perawatan luka
Kondisi balutan luka dilihat pada 1 hari post operasi, bila basah dan
berdarah harus dibuka dan diganti
7. Perawatan rutin
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan adalah suhu,
tekanan darah, nadi, dan pernafasan

IV. Anestesi pada Sectio Caesarea


A. Pendahuluan
Anestesi secara umum adalah suatu tindakan
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Namun,
obat-obat anestesi tidak hanya menghilangkan rasa sakit akan tetapi
juga menghilangkan kesadaran. Selain itu, juga dibutuhkan relaksasi
otot yang optimal agar operasi dapat berjalan lancar. Obat yang
digunakan dalam menimbulkan anesthesia disebut sebagai anestetik,
dan kelompok ini dibedakan dalam anestetik umum dan anestetik
lokal.

B. Persiapan praanestesia
Evaluasi pre anestesi adalah langkah awal tindakan anestesi yang
dilakukan terhadap pasien yang direncanakan untuk menjalani
tindakan operatif.
Tujuan:
a. Mengetahui status fisik pasien pra operatif
b. Mengetahui dan menganalisis jenis operasi
c. Memilih jenis anestesi yang sesuai
d. Meramalkan penyulit yang mungkin akan terjadi selama operasi
atau pasca bedah

42
Anamnesis
Riwayat apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya
sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu
mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot,
gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga dapat dirancang
anestesia berikutnya dengan lebih baik.

Pemeriksaan
Pasien juga harus menjalani beberapa pemeriksaan laboratorium
terkait pemilihan teknik anestesi yang akan digunakan. Pemeriksaan
tersebut antara lain:
1. Darah: Hb, HCT, leukosit, trombosit, PT dan APTT
2. Kimia darah: sesuai indikasi seperti pemeriksaan fungsi hati, ginjal,
dan elektrolit
3. Urin: reduksi dan protein

Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan
resiko utama pada pasien yang menjalani anestesia. Untuk
meminimalkan resiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk
operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral
(puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesia. Pada
pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam, dan pada
bayi 3-4 jam. Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan
untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas
diperbolehkan 1 jam sebelum induksi anestesia.

Premedikasi

43
Premedikasi adalah pemberian obat sebelum induksi anestesia dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan, dan bangun dari anestesi
di antaranya:
1. Meredakan kecemasan dan ketakutan.
2. Memperlancar induksi anestesi.
3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus.
4. Meminimalkan jumlah obat anestetik.
5. Mengurangi mual muntah pasca bedah.
6. Menciptakan amnesia.
7. Mengurangi isi cairan lambung.
8. Mengurangi refleks yang membahayakan.

Untuk menentukan prognosis, ASA (American Society of


Anesthesiologists) membuat klasifikasi berdasarkan status fisik pasien
pra anestesi yang membagi pasien kedalam 5 kelompok atau kategori
sebagai berikut:
1. ASA 1, yaitu pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan operasi.
2. ASA 2, yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang
baik karena penyakit bedah maupun penyakit lainnya. Contohnya
pasien batu ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien
apendisitis akut dengan lekositosis dan febris.
3. ASA 3, yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat
yang diakibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya pasien
apendisitis perforasi dengan septikemia atau pasien ileus obstruksi
dengan iskemia miokardium.
4. ASA 4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara
langsung mengancam kehidupannya.
5. ASA 5, yaitu pasien tidak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun
dioperasi atau tidak. Contohnya pasien tua dengan perdarahan basis
kranii dan syok hemoragik karena ruptura hepatik. Klasifikasi ASA

44
juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan tanda
darurat (E).
6. ASA 6, yaitu pasien calon transplantasi organ.

Anestesi Spinal
Anestesi spinal atau intratekal atau blok subarakhnoid dilakukan dengan
menyuntikkan secara langsung obat anestesi ke dalam cairan serebrospinalis
di dalam ruang subarakhnoid. Jarum spinal hanya dapat diinsersikan di
bawah lumbal 2 dan diatas vertebra sakralis 1. Batas atas ini dikarenakan
adanya ujung medula spinalis dan batas bawah ini dikarenakan penyatuan
vertebra sakralis yang tidak memungkinkan dilakukan insersi. Dosis yang
diberikan adalah bolus tunggal (Primatika et al., 2010)

Terapi cairan
Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk :
a. Mencukupi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang
selama operasi.
b. Replacement dan dapat untuk tindakan emergensi pemberian obat.
Pemberian cairan operasi dibagi :
a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan kaena kurang makan, puasa, muntah,
penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga
seperti pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain – lain.
Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kgBB /
jam. Bila terjadi dehidrasi ringan 2% BB, sedang 5% BB, berat 7%
BB. Setiap kenaikan suhu 10° Celcius kebutuhan cairan bertambah
10 – 15 %.
b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan
cairan pada dewasa untuk operasi :
i. Ringan = 4 ml / kgBB / jam

45
ii. Sedang = 6 ml / kgBB / jam
iii. Berat = 8 ml / kg BB / jam
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang
dari 10% EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid
sebanyak 3 kali volume darah yang hilang. Apabila perdarahan
lebih dari 10% maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma /
koloid / dekstran dengan dosis 1 – 2 kali darah yang hilang.
c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit
cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari – hari pasien.

C. Skor pemulihan pasca anestesi


Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi
terutama yang menggunakan general anestesi, maka perlu melakukan
penilaian terlebih dahulu untuk menentukan apakah pasien sudah
dapat dipindahkan ke ruangan atau masih perlu di observasi di ruang
Recovery Room (RR).
Bromage Score (SAB/Sub Arachnoid Block):
- Gerakan penuh dari tungkai :0
- Tak mampu extensi tungkai :1
- Tak mampu flexi lutut :2
- Tak mampu flexi pergelangan kaki :3
Bromage score ≤ 2 boleh pindah ruangan.

46
BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan diagnosis yang terdiri dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang yang dilakukan terhadap pasien di RSUD dr. Moewardi
didapatkan pasien ini adalah G4P3A0 dengan Fetal Hipoksia, PEB sindrom
HELLP parsial dan hipoalbuminemia, pada multigravida hamil preterm belum
dalam persalinan pro SCTP emergensi dengan MOW. Penatalaksanaan pada
pasien ini adalah SCTP emergensi. Pada pasien telah dilakukan penatalaksanaan
awal di HCU Mawar 1 berupa protap PEB, puasa makan padat, dan pemasangan
DC catheter. Pasien sudah dikonsultasikan ke bagian anestesi dan jantung untuk
penatalaksanaan permasalahan pasien dan penilaian toleransi operasi sehingga
pasien direncanakan untuk operasi dengan anestesi regional.
Pasien ini mengalami preeklampsia berat yaitu hipertensi yang terdeteksi
setelah usia usia kehamilan 20 minggu disertai proteinuria dan atau edema dan
ditandai dengan tekanan darah sistolik 160 mmHg atau tekanan darah diastolik
17
110 mmHg disertai dengan proteinuria 5 gram / 24 jam. Hal ini sesuai
pernyataan dimana pasien belum pernah hipertensi sebelum kehamilan maupun
masa awal kehamilan, pengukuran tekanan darah pasien 160/100 mmHg, dan
hasil laboraturium urin terdapat proteinuria +3.
Selain itu, pasien ini didiagnosis dengan sindrom HELLP parsial. Sindrom
HELLP merupakan gabungan dari kelainan berupa hemolisis, peningkatan enzim
27
hati, dan penurunan jumlah platelet. Berdasarkan Tennessee system sindrom
HELLP dibagi menjadi dua klasifikasi berdasarkan jumlah kelainannya, yaitu
sindrom HELLP parsial (memiliki satu atau dua kelainan) dan sindrom HELLP
total (memiliki ketiga jenis kelainan).28 Hasil laboraturium pasien ini
menunjukkan angka LDH 665 u/l, sedangkan jumlah platelet, SGOT dan SGPT
pasien dalam batas normal.
Prinsip tatalaksana dari preeklampsia berat dan sindrom HELLP adalah
penanganan aktif yaitu terminasi kehamilan se-aterm mungkin, kecuali apabila
ditemukan penyulit dapat dilakukan terminasi tanpa memandang usia kehamilan.

47
Hal tersebut dikarenakan penanganan yang terlambat dapat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas ibu maupun janin. Kemudian pada pasien dilakukan
terminasi kehamilan dengan sectio caesaria emergensi atas indikasi maternal.
Indikasi maternal adalah untuk mencegah timbulnya komplikasi eklampsia. Usia
kehamilan pada kasus ini adalah kehamilan preterm.
Anestesi yang baik dilakukan pada pasien dengan kondisi hamil adalah
anestesi spinal, karena bayi yang lahir dari ibu dengan anestesi spinal tidak
terpengaruh oleh obat anestesi yang digunakan saat operasi, berbeda dengan obat-
obatan anestesi umum yang dapat melewati sirkulasi plasenta. Selain itu, pasien
dengan anestesi spinal yang kondisinya sadar saat operasi memiliki risiko aspirasi
isi lambung yang minimal jika dibandingkan dengan pasien yang mendapat
anestesi umum. Aspirasi isi lambung dapat menyebabkan terjadi pneumositis
kimia pada pasien.19
Sebelum dilakukan tindakan anestesi didapatkan hasil pemeriksaan nadi pre
anastesi 79 kali/menit, tekanan darah 114/79 mmHg, dan frekuensi pernafasan 22
kali/menit. Status ASA pada pasien ini adalah ASA II emergency karena pasien
ini memiliki penyakit sistemik sedang yang dapat berpotensi mengalami
komplikasi dalam kehamilan, yaitu eclampsia. Komplikasi kehamilan tersebut
dapat mengancam nyawa ibu dan janin sehingga memerlukan penanganan yang
segera terhadap kondisi tersebut.21
Pada kasus ini pasien direncanakan untuk dilakukan SCTP emergensi
dengan MOW dan pasien telah menyetujui untuk dilakukan operasi sehingga
dapat dilakukan persiapan anestesi. Pada pasien ini dilakukan regional anesthesia
sub arachnoid block dengan injeksi Lidodex 75 mg dan Fentanyl 25 mcg secara
intratekal. Durante operasi diberikan O2 3 lpm dengan nasal kanul dan infus
Ringer Laktat serta Oksitosin drip 20 IU.
Pasien dirawat di HCU setelah operasi untuk observasi ketat keadaan
umum, kesadaran, tanda-tanda vital, dan tanda-tanda perburukan komplikasi
kehamilan.

48
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, pasien tersebut didiagnosis dengan G4P3A0 Fetal
hipoksia, PEB sindrom HELLP parsial, dan hipoalbuminemia pada
multigravida hamil preterm belum dalam persalinan pro SCTP
emergensi dengan MOW.
2. Pada pasien tersebut tata laksana anestesi dengan status fisik ASA II
E, plan informed consent, IV line, DC, puasa makanan padat 6 jam
dan makanan cair 4 jam, obat tetap diberikan terus, premedikasi di
OK IGD, regional anesthesia sub arachnoid block, dan perawatan
pasca operasi di HCU.

B. Saran
1. Setelah pasien diperbolehkan pulang, sebaiknya dilakukan follow up
kembali untuk mengevaluasi hasil pengobatan.
2. Perlu edukasi pada keluarga pasien sebelum tindakan anestesi
dilakukan terkait resiko dan komplikasi tindakan.

49
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO, U.2014. UNFPA, the World Bank, and the United Nations
Population Division. Trends in maternal mortality: 1990 to 2013. World
Health Organization, 201456.
2. Jayakusuma, AAN. Manajemen Resiko pada Preeklampsia (Upaya
Menurunkan Kejadian Preeklampsia dengan Pendekatan Berbasis Resiko).
Denpasar: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan, Bagian/SMF Obstetri
dan Ginekologi FK Unud/RS. Sanglah. 2004

3. Angsar, MD. Hipertensi Dalam Kehamilan. Edisi II. Lab/SMF Obstetri


dan Ginekologi FK Unair. Surabaya. 2003. pp.28-32

4. Himpunan Kedokteran Feto-Maternal POGI. Edisi II. Pedoman


Pengelolaan Hipertensi Dalam Kehamilan di Indonesia. 2005

5. Solomon CG, Seely EW. Brief review: Hypertension in pregnancy: A


manifestation of the insulin resistance syndrome ? Hypertension
2001;37:232-9.
6. Hikmah EV, Maryanto S, Ariesti ND. Hubungan Kejadian Preeklampsia
Dengan Tindakan Sectio Caesarea Di Rumah Sakit Umum Daerah
Ambarawa Tahun 2014. STIKES Ngudi Waluyo Ungaran, 2014.
7. Shrestha AB dan Sharma KR. Spinal Anesthesia for Cesarean section in
Preeclampsia. Postgraduate Medical Journal of NAMS, 2012. 12(2), pp:
30 – 35.
8. Savaj S, Vaziri ND. An overview of recent advances in pathogenesis and
diagnosis of preeclampsia. Iran J Kidney Dis. 2012;6(5):334-8.
9. Butterworth J, Mackey D, Wasnick J. Morgan & Mikhail's Clinical
Anesthesiology, 5e. New York : McGraw-Hill Education, LLC; 2013
10. Heazell A, Baker PN. Hypertensive disorders of pregnancy. In: Oakley C,
Warnes CA, eds. Heart disease in pregnancy. 2nd ed. Massachusetts:
Blackwell Publishing; 2007:264-80.

50
11. American College of Obstetricians and Gynecologists.2013.Hypertension
in pregnancy. Report of the American College of Obstetricians and
Gynecologists’ Task Force on Hypertension in Pregnancy.Obstet Gynecol.
;122(5):1122-31.
12. Cunningham, F. G., et al. 2010. Hipertensi dalam kehamilan dalam
Obstetri Williams Edisi 21 Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
13. Angsar, MD 2009, ‘Hipertensi dalam kehamilan’, dalam Ilmu Kebidanan
Sarwono Prawirodrdjo, edk 4, eds. T Rachimhadhi & Wiknjosastro GH,
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.
14. Prawirohardjo, Sarwono., (2005). Ilmu kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka.
15. Kasdu D., 2005. Solusi Problem Persalinan. Jakarta : Puspa Swara
16. Mangku I , Senapati TGA.2010. Ilmu Anestesia dan Reanimasi.
Jakarta:Indeks
17. Muhardi M., dkk., 1989. Anestesiologi. Jakarta: FKUI
18. Krisdiyanto H., 2000. Kemudahan Pemasangan Sungkup Laring dengan
Induksi Thiopentone + Midazolam dan Propofol + Midazolam. Karya
Akhir. Semarang: Universitas Diponegoro
19. Nugroho, R.C., 2002. Pengaruh Pretreatment Midazolam atau Atracurium
Terhadap Fasikulasi, Mialgia, dan Kenaikan Kadar Kreatin Fosfokinase
Darah Akibat Suksinilkolin. Karya Akhir. Semarang: Universitas
Diponegoro.
20. Susianto, O., 2004. Pengaruh Pretreatment Fentanil 1µg/kgBB Terhadap
Iritasi Jalan Napas Pada Induksi Inhalasi Isoflurane. Karya Akhir.
Semarang: Universitas Diponegoro.
21. Satoto H., 2005. Pengaruh Anestesi Sevofluran and Enfluran Terhadap
Klirens Kreatinin. Karya Akhir. Semarang: Universitas Diponegoro.
22. Wirjoatmodjo, Karjadi., 2000. Anestesiologi dan Reanimasi Modul dasar
untuk pendidikan S1 kedokteran. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Depatemen Pendidikan Nasional, Jakarta, hal 150; 165-67: 169-73

51
23. Gamawati, Dian Natalia dan Sri Herawati. 2002. Trauma Laring Akibat
Intubasi Endotrakeal. Diakses dari: http://ojs.lib.unair.ac.id
24. Hariyono, Siswo. 2006. Pengaruh Tindakan Intubasi Trakea terhadap
Perubahan Laju Jantung dan Tekanan Darah. Diakses dari:
http://digilib.uns.ac.id
25. Latief, Said A, Kartini A. Suryadi dan M. Ruswan Dachlan. 2001.
Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
FK-UI: Jakarta.
26. Abildgaard U, Heimdal K. Pathogenesis of the Syndrome of Hemolysis,
Elevated Liver Enzymes, and Low Platelet Count (HELLP): a Review.
European Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology.
2013;166(2):117-23.

27. Simetka O, Klat J, Gumulec J, Dolezalkova E, Salounova D, Kacerovsky


M. Early Identification of Women with HELLP Syndrome Who Need
Plasma Exchange After Delivery. Transfusion and Apheresis Science.
2014.
28. HELLP Syndrome: Practice Essentials, Pathophysiology, Etiology
[Internet]. Emedicine.medscape.com. 2018 [cited 26 March 2018].
Available from: https://emedicine.medscape.com/article/1394126-
overview

52

Anda mungkin juga menyukai