Anda di halaman 1dari 17

FISTULA ANI

A. TINJAUAN TEORITIS MEDIS

1. DEFENISI

Fistula ani adalah terbentuknya saluran kecil yang memanjang dari anus sampai bagian luar kulit anus,
atau dari suatu abses sampai anus atau daerah perianal.

Fistula adalah hubungan abnormal antara dua tempat yang berepitel. Fistula ani adalah fistula yang
menghubungkan antara kanalis anal ke kulit di sekitar anus (ataupun ke organ lain seperti ke vagina).
Pada permukaan kulit bisa terlihat satu atau lebih lubang fistula, dan dari lubang fistula tersebut dapat
keluar nanah ataupun kotoran saat buang air besar (http://www.medistra.com/index.php)

Fistula ani sering terjadi pada laki laki berumur 20 – 40 tahun, berkisar 1-3 kasus tiap 10.000 orang.
Sebagian besar fistula terbentuk dari sebuah abses (tapi tidak semua abses menjadi fistula). Sekitar 40%
pasien dengan abses akan terbentuk fistula.

2. ETIOLOGI

Mayoritas penyakit supurativ anorektal terjadi karena infeksi dari kelenjar anus (cyptoglandular).
Kelenjar ini terdapat di dalam ruang intersphinteric. Diawali kelenjar anus terinfeksi, sebuah abses kecil
terbentuk di daerah intersfincter. Abses ini kemudian membengkak dan fibrosis, termasuk di bagian luar
kelenjar anus di garis kripte. Ketidakmampuan abses untuk keluar dari kelenjar tersebut akan
mengakibatkan proses peradangan yang meluas sampai perineum, anus atau seluruhnya, yang akhirnya
membentuk abses perianal dan kemudian menjadi fistula.

Fistula ani juga dapat terjadi pada pasien dengan kondisi inflamasi berkepanjangan pada usus, seperti
pada Irritable Bowel Syndrome (IBS), diverticulitis, colitis ulseratif, dan penyakit crohn, kanker rectum,
tuberculosis usus, HIV-AIDS, dan infeksi lain pada daerah ano-rektal.

3. MANIFESTASI KLINIK

Pasien biasanya mengeluhkan beberapa gejala yaitu :

· Nyeri, yang bertambah pada saat bergerak, defekasi, dan batuk.

· Keluar darah atau nanah dari lubang fistula.

· Iritasi atau ulkus di kulit di sekitar lubang fistula.

· Gatal sekitar anus dan lubang fistula.

· Benjolan (Massa fluktuan) bila masih berbentuk abses.

· Demam, dan tanda tanda umum infeksi.

Pada pemeriksaan fisik pada daerah anus, dapat ditemukan satu atau lebih external opening atau teraba
fistula di bawah permukaan. Pada colok dubur terkadang dapat diraba indurasi fistula dan internal
opening.

4. ANATOMI FISIOLOGI

Usus besar merupakan tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 5 kaki (sekitar 1,5 m) yang
terbentang dari sekum sampai kanalis ani. Diameter usus besar sudah pasti lebih besar dari pada usus
kecil.

Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon dan rektum. Pada sekum terdapat katup ileosekal dan apendiks
yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus besar.
Katup ileosekal mengontrol aliran kimus dari ileum ke sekum. Kolon dibagi lagi menjadi kolon asendens,
transversum, desendens dan sigmoid. Tempat dimana kolon membentuk kelokan tajam yaitu pada
abdomen kanan dan kiri atas berturut-turut dinamakan fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon
sigmoid mulai setinggi krista iliaka dan berbentuk suatu lekukan berbentuk S. Lekukan bagian bawah
membelok ke kiri waktu kolon sigmoid bersatu dengan rektum, yang menjelaskan alasan anatomis
meletakkan penderita pada sisi kiri bila diberi enema.

Bagian usus besar besar yang terakhir dinamakan rektum yang terbentang dari kolon sigmoid sampai
anus (muara ke bagian luar tubuh). Satu inci terakhir dari rektum dinamakan kanalis ani dan dilindungi
oleh sfingter ani eksternus dan internus. Panjang rektum dan kanalis ani sekitar 5,9 inci (15 cm).

Usus besar dibagi menjadi belahan kiri dan kanan sejalan dengan suplai darah yang diterima.

Arteria mesenterika superior memperdarahi belahan bagian kanan (sekum, kolon ascendens dan
duapertiga proksimal kolon transversum), dan arteria mesenterika inferior memperdarahi belahan kiri
( sepertiga distal kolon transversum, ascendens dan sigmoid,

Tempat dimana kolon membentuk kelokan tajam yaitu pada abdomen kanan dan kiri atas berturut-turut
dinamakan fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon sigmoid mulai setinggi krista iliaka dan
berbentuk suatu lekukan berbentuk S. Lekukan bagian bawah membelok ke kiri waktu kolon sigmoid
bersatu dengan rektum, yang menjelaskan alasan anatomis meletakkan penderita pada sisi kiri bila diberi
enema.

Bagian usus besar besar yang terakhir dinamakan rektum yang terbentang dari kolon sigmoid sampai
anus (muara ke bagian luar tubuh). Satu inci terakhir dari rektum dinamakan kanalis ani dan dilindungi
oleh sfingter ani eksternus dan internus. Panjang rektum dan kanalis ani sekitar 5,9 inci (15 cm).

Usus besar dibagi menjadi belahan kiri dan kanan sejalan dengan suplai darah yang diterima.

Arteria mesenterika superior memperdarahi belahan bagian kanan (sekum, kolon ascendens dan
duapertiga proksimal kolon transversum), dan arteria mesenterika inferior memperdarahi belahan kiri
( sepertiga distal kolon transversum, ascendens dan sigmoid, dan sebagian proksimal rektum). Suplai
darah tambahan untuk rektum adalah melalui arteria sakralis media dan arteria hemoroidalis inferior
dan media yang dicabangkan dari arteria iliaka interna dan aorta abdominalis. Alir balik vena dari kolon
dan rektum superior melalui vena mesenterika superior dan inferior dan vena hemoroidalis superior,
yaitu bagian dari sistem portal yang mengalirkan darah ke hati.

Persarafan usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom dengan perkecualian sfingter eksterna yang
berada dibawah kontrol voluntar.

Usus besar mempunyai fungsi yang semuanya berkaitan dengan proses akhir isi usus. Fungsi usus besar
yang paling penting adalah mengabsorbsi air dan elektrolit, yang sudah hampir lengkap pada kolon
bagian kanan. Kolon sigmoid berfungsi sebagai reservoir yang menampung massa feses yang sudah
dehidrasi sampai defekasi berlangsung. Defekasi dikendalikan oleh sfingter ani eksterna dan interna.
Sfingter interna dikendalikan oleh sistem saraf otonom, sfingter eksterna berada di bawah kontrol
voluntar. Defekasi dapat dihambat oleh kontraksi voluntar otot-otot sfingter eksterna dan levator ani.
Dinding rektum secara bertahap akan relaks, dan keinginan untuk berdefekasi akan menghilang.

Rektum dan anus merupakan lokasi dari penyakit-penyakit yang sering ditemukan pada manusia. Daerah
anorektal sering merupakan tempat abses dan fistula. Kanker kolon dan rektum merupakan kanker
saluran cerna yang paling sering terjadi.

5. PATOFISIOLOGI

Hipotesis yang paling jelas adalah kriptoglandular, yang menjelaskan bahwa fistula ani merupakan abses
anorektal tahap akhir yang telah terdrainase dan membentuk traktus. Kanalis anal mempunyai 6-14
kelenjar kecil yang terproyeksi melalui sfingter internal dan mengalir menuju kripta pada linea dentata.
Kelenjar dapat terinfeksi dan menyebabkan penyumbatan. Bersamaan dengan penyumbatan itu,
terperangkap juga feces dan bakteri dalam kelenjar. Penyumbatan ini juga dapat terjadi setelah trauma,
pengeluaran feces yang keras, atau proses inflamasi. Apabila kripta tidak kembali membuka ke kanalis
anal, maka akan terbentuk abses di dalam rongga intersfingterik. Abses lama kelamaan akan
menghasilkan jalan keluar dengan meninggalkan fistula, dimana fistula mempunyai satu muara di kripta
di perbatasan anus dan rektum, dan lobang lain di perineum di kulit perianal.

Klasifikasi fistula:

a. Intersphinteric fistula

Berawal dalam ruang di antara muskulus sfingter eksterna dan interna dan bermuara berdekatan dengan
lubang anus.

b. Transphinteric fistula

Berawal dalam ruang di antara muskulus sfingter eksterna dan interna, kemudian melewati muskulus
sfingter eksterna dan bermuara sepanjang satu atau dua inchi di luar lubang anus, membentuk huruf ‘U’
dalam tubuh, dengan lubang eksternal berada di kedua belah lubang anus (fistula horseshoe)

c. Suprasphinteric fistula

Berawal dari ruangan diantara muskulus sfingter eksterna dan interna yang membelah ke atas muskulus
pubrektalis lalu turun di antara puborektal dan muskulus levator ani lalu muncul satu atau dua inchi di
luar anus.

d. Ekstrasphinteric fistula

Berawal dari rektum atau colon sigmoid dan memanjang ke bawah, melewati muskulus levator ani dan
berakhir di sekitar anus. Fistula ini biasa disebabkan oleh abses appendiceal, abses diverticular, atau
Crohn’s Disease.
6. PENATALAKSANAAN PENGOBATAN MEDIK

Terapi Konservatif Medikamentosa dengan pemberian analgetik, antipiretik serta profilaksis antibiotik
jangka panjang untuk mencegah fistula rekuren.

Terapi pembedahan:

a. Fistulotomi: Fistel di insisi dari lubang asalnya sampai ke lubang kulit, dibiarkan terbuka, sembuh per
sekundam intentionem. Dianjurkan sedapat mungkin dilakukan fistulotomi.

b. Fistulektomi: Jaringan granulasi harus di eksisi keseluruhannya untuk menyembuhkan fistula. Terapi
terbaik pada fistula ani adalah membiarkannya terbuka.

c. Seton: benang atau karet diikatkan malalui saluran fistula. Terdapat dua macam Seton, cutting Seton,
dimana benang Seton ditarik secara gradual untuk memotong otot sphincter secara bertahap, dan loose
Seton, dimana benang Seton ditinggalkan supaya terbentuk granulasi dan benang akan ditolak oleh
tubuh dan terlepas sendiri setelah beberapa bulan.

d. Advancement Flap: Menutup lubang dengan dinding usus, tetapi keberhasilannya tidak terlalu besar.

e. Fibrin Glue: Menyuntikkan perekat khusus (Anal Fistula Plug/AFP) ke dalam saluran fistula yang
merangsang jaringan alamiah dan diserap oleh tubuh. Penggunaan fibrin glue memang tampak menarik
karena sederhana, tidak sakit, dan aman, namun keberhasilan jangka panjangnya tidak tinggi, hanya
16%.

Pasca Operasi

Pada operasi fistula simple, pasien dapat pulang pada hari yang sama setelah operasi. Namun pada
fistula kompleks mungkin membutuhkan rawat inap beberapa hari.

Setelah operasi mungkin akan terdapat sedikit darah ataupun cairan dari luka operasi untuk beberapa
hari, terutama sewaktu buang air besar. Perawatan luka pasca operasi meliputi sitz bath (merendam
daerah pantat dengan cairan antiseptik), dan penggantian balutan secara rutin. Obat obatan yang
diberikan untuk rawat jalan antara lain antibiotika, analgetik dan laksatif. Aktivitas sehari hari umumnya
tidak terganggu dan pasien dapat kembali bekerja setelah beberapa hari. Pasien dapat kembali menyetir
bila nyeri sudah berkurang. Pasien tidak dianjurkan berenang sebelum luka sembuh, dan tidak
disarankan untuk duduk diam berlama-lama.
7. PEMERIKSAAN PENUNJANG

· Fistulografi, yaitu memasukkan alat ke dalam lubang/fistel untuk mengetahui keadaan luka.

· Pemeriksaan harus dilengkapi dengan rektoskopi untuk menentukan adanya penyakit di rektum
seperti karsinoma atau proktitis tbc, amuba, atau morbus Crohn.

· Fistulografi: Injeksi kontras melalui pembukaan internal, diikuti dengan anteroposterior, lateral
dan gambaran X-ray oblik untuk melihat jalur fistula.

· Ultrasound endoanal / endorektal: Menggunakan transduser 7 atau 10 MHz ke dalam kanalis ani
untuk membantu melihat differensiasi muskulus intersfingter dari lesi transfingter. Transduser water-
filled ballon membantu evaluasi dinding rectal dari beberapa ekstensi suprasfingter.

· MRI: MRI dipilih apabila ingin mengevaluasi fistula kompleks, untuk memperbaiki rekurensi.

· CT- Scan: CT Scan umumnya diperlukan pada pasien dengan penyakit crohn atau irritable bowel
syndrome yang memerlukan evaluasi perluasan daerah inflamasi. Pada umumnya memerlukan
administrasi kontras oral dan rektal.

· Barium Enema: untuk fistula multiple, dan dapat mendeteksi penyakit inflamasi usus.

· Anal Manometri: evaluasi tekanan pada mekanisme sfingter berguna pada pasien tertentu seperti
pada pasien dengan fistula karena trauma persalinan, atau pada fistula kompleks berulang yang
mengenai sphincter ani.

8. KOMPLIKASI

Komplikasi dapat terjadi langsung setelah operasi atau tertunda. Komplikasi yang dapat langsung terjadi
antara lain:

· Perdarahan

· Impaksi fecal

· Hemorrhoid

Komplikasi yang tertunda antara lain adalah:

· Inkontinensia
Munculnya inkontinensia berkaitan dengan banyaknya otot sfingter yang terpotong, khususnya pada
pasien dengan fistula kompleks seperti letak tinggi dan letak posterior. Drainase dari pemanjangan
secara tidak sengaja dapat merusak saraf-saraf kecil dan menimbulkan jaringan parut lebih banyak.
Apabila pinggiran fistulotomi tidak tepat, maka anus dapat tidak rapat menutup, yang mengakibatkan
bocornya gas dan feces. Risiko ini juga meningkat seiring menua dan pada wanita.

· Rekurens

Terjadi akibat kegagalan dalam mengidentifikasi bukaan primer atau mengidentifikasi pemanjangan
fistula ke atas atau ke samping. Epitelisasi dari bukaan interna dan eksterna lebih dipertimbangkan
sebagai penyebab persistennya fistula. Risiko ini juga meningkat seiring penuaan dan pada wanita.

· Stenosis kanalis

Proses penyembuhan menyebabkan fibrosis pada kanalis anal. Penyembuhan luka yang lambat.
Penyembuhan luka membutuhkan waktu kurang lebih 12 minggu, kecuali ada penyakit lain yang
menyertai (seperti penyakit Crohn).

9. PROGNOSIS

Prognosis dari penyakit ini sangat baik setelah sumber infeksi dan fistula teridentifikasi. Fistula akan
menetap bila tidak didrainase dengan benar. Dengan tindakan yang tepat dan mengikuti anjuran , maka
prognosis dari fistula ani baik. Komplikasi pun dapat terhindarkan.

Pada pasien yang telah menjalani fistulotomi standar, dilaporkan angka rekurensnya berkisar antara 0-
18% dan angka inkontinensia antara 3-7%. Pasien yang menjalani penggunaan seton, angka rekurensnya
0-17% dan angka inkontinensia antara 0-17%. Sedangkan yang menjalani advancement flap, angka
rekurensnya berkisar antara 1-10% dan angka inkontinensia antara 6-8%.

B. TINJAUAN TEORITIS KEPERAWATAN

1. Identitas pasien dan penanggung jawab


Identitas pasien diisi mencakup nama, umur, jenis kelamin, status pernikahan, Agama, pendidikan,
pekerjaan,suku bangsa, tgl masuk RS, alamat. Untuk penangung jawab dituliskan nama, umur, jenis
kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat.

2. Riwayat Kesehatan

Mengkaji keluhan utama apa yang menyebabkan pasien dirawat. Apakah penyebab dan pencetus
timbulnya penyakit, bagian tubuh yang mana yang sakit, kebiasaan saat sakit kemana minta pertolongan,
apakah diobati sendiri atau menggunakan fasilitas kesehatan. Apakah ada alergi, apakah ada kebiasaan
merokok, minum alkohol, minum kopi atau minum obat-obatan.

3. Riwayat Penyakit

Penyakit apa yang pernah diderita oleh pasien, riwayat penyakit yang sama atau penyakit lain yang
pernah di derita oleh pasien yang menyebabkan pasien dirawat. Adakah riwayat penyakit yang sama
diderita oleh anggota keluarga yang lain atau riwayat penyakit lain yang bersifat genetik maupun tidak.

4. Pemeriksaan Fisik

a. Keadaan Umum

Umumnya penderita datang dengan keadaan sakit dan gelisah atau cemas akibat adanya bisul pada
daerah anus.

b. Tanda-Tanda Vital

Tekanan darah normal, nadi cepat, suhu meningkat dan pernafasan meningkat.

c. Pemeriksaan Kepala Dan Leher

1) Kepala Dan Rambut

Pemeriksaan meliputi bentuk kepala, penyebaran dan perubahan warna rambut serta pemeriksaan
tentang luka. Jika ada luka pada daerah tersebut, menyebabkan timbulnya rasa nyeri dan kerusakan kulit.

2) Mata

Meliputi kesimetrisan, konjungtiva, reflek pupil terhadap cahaya dan gangguan penglihatan.
3) Hidung

Meliputi pemeriksaan mukosa hidung, kebersihan, tidak timbul pernafasan

cuping hidung, tidak ada sekret.

4) Mulut

Catat keadaan adanya sianosis atau bibir kering.

5) Telinga

Catat bentuk gangguan pendengaran karena benda asing, perdarahan dan serumen. Pada penderita
yang bed rest dengan posisi miring maka, kemungkinan akan terjadi ulkus didaerah daun telinga.

6) Leher

Mengetahui posisi trakea, denyut nadi karotis, ada tidaknya pembesaran vena jugularis dan kelenjar
linfe.

d. Pemeriksaan Dada Dan Thorax

Inspeksi bentuk thorax dan ekspansi paru, auskultasi irama pernafasan, vokal premitus, adanya suara
tambahan, bunyi jantung, dan bunyi jantung tambahan, perkusi thorax untuk mencari ketidak normalan
pada daerah thorax.

e. Abdomen

Bentuk perut datar atau flat, bising usus mengalami penurunan karena immobilisasi, ada masa karena
konstipasi, dan perkusi abdomen hypersonor jika dispensi abdomen atau tegang.

f. Urogenital

Inspeksi adanya kelainan pada perinium. Biasanya klien dengan fistula ani yang baru di operasi terpasang
kateter untuk buang air kecil.
g. Muskuloskeletal

Adanya fraktur pada tulang akan menyebabkan klien bedrest dalam waktu lama, sehingga terjadi
penurunan kekuatan otot.

h. Pemeriksaan Neurologi

Tingkat kesadaran dikaji dengan sistem GCS. Nilainya bisa menurun bila terjadi nyeri hebat (syok
neurogenik) dan panas atau demam tinggi, mual muntah, dan kaku kuduk.

i. Pemeriksaan Kulit

a. Inspeksi kulit

Pengkajian kulit melibatkan seluruh area kulit termasuk membran mukosa, kulit kepala, rambut dan
kuku. Tampilan kulit yang perlu dikaji yaitu warna, suhu, kelembaban, kekeringan, tekstur kulit (kasar
atau halus), lesi, vaskularitas.

Yang harus diperhatikan oleh perawat yaitu :

1) Warna, dipengaruhi oleh aliran darah, oksigenasi, suhu badan dan

produksi pigmen.

Lesi yang dibagi dua yaitu :

a) Lesi primer, yang terjadi karena adanya perubahan pada salah satu komponen kulit

b) Lesi sekunder adalah lesi yang muncul setelah adanya lesi primer.

Gambaran lesi yang harus diperhatikan oleh perawat yaitu warna, bentuk, lokasi dan kofigurasinya.

2) Edema

Selama inspeksi kulit, perawat mencatat lokasi, distribusi dan warna dari daerah edema.

3) Kelembaban
Normalnya, kelembaban meningkat karena peningkatan aktivitas atau suhu lingkungan yang tinggi kulit
kering dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti lingkungan kering atau lembab yang tidak cocok,
intake cairan yang inadekuat.

4) Integritas

Yang harus diperhatikan yaitu lokasi, bentuk, warna, distribusi, apakah ada drainase atau infeksi.

5) Kebersihan kulit

6) Vaskularisasi

Perdarahan dari pembuluh darah menghasilkan petechie dan echimosis.

7) Palpasi kulit

Yang perlu diperhatikan yaitu lesi pada kulit, kelembaban, suhu, tekstur atau elastisitas, turgor kulit.

5. Data Fokus ( kemungkinan ditemukan DO & DS )

DO: ekspresi wajah tampak meringis saat tidur terlentang. Kulit tampak kemerahan dan ada luka operasi
yang terpasang handscoen drain.

DS: pasien mengatakan ada bisul di daerah dubur dan terasa nyeri.

C. ASUHAN KEPERAWATAN

DIAGNOSA KEPERAWATAN

. Pre operasi:

1. Nyeri pada daerah perianal berhubungan dengan adanya luka pada perianal.

2. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka terbuka yang mungkin

terkontaminasi.

3. Kecemasan berhubungan dengan physiologi faktor akibat proses peradangan.

4. Kurang pengetahuan tentang proses penyakit, prognosis dan tindakan yang akan
didapatnya.

Post operasi:

1. Nyeri area operasi berhubungan dengan adanya eksisi luka operasi.

2. Perubahan pola eliminasi konstipasi/diare berhubungan efek anestesi,

pemasukan cairan yang tidak adekuat.

3. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan risiko prosedur invasive, luka yang

mungkin terkontaminasi.

INTERVENSI

Nyeri berhubungan dengan adanya luka pada perianal

Tujuan: Nyeri berkurang sampai hilang

Kriteria hasil: klien menunjukkan toleransi terhadap nyeri, klien mengungkapkan nyeri berkurang.

Intervensi:

· Kaji frekuensi dan intensitas nyeri dengan skala 1 – 10.

Rasional: perubahan karakteristik nyeri mengidikasikan adanya perkembangan kearah komplikasi.

· Perhatikan tanda-tanda nonverbal seperti; takut bergerak, kegelisahan.

Rasional: bahasa tubuh/perilaku nonverbal dapat digunakan sebagai data yang menunjukkan adanya
rasa nyeri/tak nyaman.

· Kaji faktor-faktor yang mengganggu atau meningkatkan nyeri.

Rasional: keadaan stress dapat meningkatkan rasa nyeri.

· Berikan posisi yang nyaman (telungkup, miring), aktivitas pengalihan perhatian

Rasional: meningkatkan relaksasi dan meningkatkan kemampuan koping.

· Bersihkan area rectal dengan sabun yang lembut dan air sesudah bab dan rawat kulit dengan salf,
petroleum jelly.

Rasional: menjaga kulit sekitar rektal dari asam isi perut, menjaga exoriasi..

·Berikan rendaman duduk.


Rasional: menjaga kebersihan dan memberikan rasa nyaman.

·Observasi area perianal fistel.

Rasional: fistula mungkin berkembang dari erosi dan kelemahan dari dinding intestinal.

·Kolaborasi dengan medik untuk pemberian analgetik.

Rasional: Analgetik membantu mengurangi nyeri.

Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka terbuka yang mungkin terkontaminasi.

Tujuan: infeksi tidak terjadi.

Kriteria hasil: tanda vital dalam batas normal (peningkatan suhu tidak terjadi), leukosit normal

Rencana tindakan:

· Kaji area luka, catat adanya penambahan luas luka, karakteristik cairan yang

keluar dari luka.

Rasional: adanya pus mengindikasikan adanya infeksi

· Monitor tanda-tanda vital, peningkatan suhu tubuh.

Rasional: peningkatan suhu mengindikasikan adanya proses infeksi.

· Rawat luka dengan prinsip aseptik.

Rasional: luka pada klien adalah luka kotor, prinsip aseptik mencegah terjadinya infeksi
tambahan.

· Berikan diet yang adekuat.

Rasional: klien membutuhkan nutrisi yang cukup untuk penyembuhan lukanya.

· Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.

Rasional: antibiotik membantu menghambat terjadinya infeksi.

3. Kecemasan berhubungan dengan faktor fisiologi akibat proses peradangan.

Tujuan: kecemasan berkurang

Kriteria hasil: ekspresi wajah klien tenang, mengungkapkan kesadarannya akan perasaan cemasnya.
Intervensi

· Bina hubungan saling percaya.

Rasional: hubungan saling percaya merupakan dasar dari komunikasi therapeutik.

· Perhatikan perubahan perilaku klien, kegelisahan, tak ada kontak mata,

tampak kurang tidur.

Rasional: indikator peningkatan stress/kecemasan.

· Dorong klien untuk mengungkapkan perasaannya, berikan feedback.

Rasional: membina hubungan therapeutik.

· Dengarkan ungkapan klien dengan empati.

Rasional: dengan menunjukkan sikap empati, diharapkan akan membantu mengurangi kecemasan klien.

· Berikan informasi yang akurat.

Rasional: dengan memberikan informasi yang akurat akan membantu menurunkan tingkat kecemasan.

· Ciptakan ketenangan dan lingkungan yang nyaman.

Rasional: membantu meningkatkan relaxasi, mengurangi kecemasan.

· Kolaborasi untuk pemberian sedativa, seperti barbiturat, anti anxietas seperti,

diazepam.

Rasional: sedativa/anti anxietas membantu mengurangi kecemasan dan membantu istirahat.

4. Kurang pengetahuan tentang proses penyakit, prognosis dan tindakan yang akan didapatnya
berhubungan dengan kurangnya informasi.

Tujuan: Pengetahuan pasien bertambah

Kriteria hasil: Klien mampu mengungkapkan tentang proses penyakit dan penanggulangannya.
Berpartisipasi dalam penatalaksanaan regimen.

Intervensi

· Kaji persepsi klien tentang proses penyakitnya.

Rasional: menentukan tingkat pengetahuan klien dan kebutuhan informasi yang diperlukan.

· Ulangi penjelasan tentang proses penyakit, penyebab, tanda dan gejala


penyakit serta penanggulangannya.

Rasional: dengan memberikan penjelasan yang memadai klien tahu proses penyakit dan tindakan yang
akan didapatnya, sehingga klien dapat menerima tindakan yang didapatnya.

· Tekankan pentingnya menjaga kebersihan kulit, seperti : tehnik cuci tangan yang baik dan
perawatan kulit perianal.

Rasional: mengurangi penyebaran bakteri dan resiko iritasi kulit dan infeksi.

Post Operasi

Nyeri pada area operasi berhubungan dengan adanya eksisi luka operasi.

Tujuan: nyeri berkurang atau terkontrol

Kriteria hasil: ekspresi wajah klien rileks, cukup istirahat, mengungkapkan nyeri

berkurang /dapat ditahan.

Intervensi:

· Kaji lokasi, intensitas nyeri dengan skala 0 – 10, faktor yang mempengaruhi.

Perhatikan tanda-tanda nonverbal.

Rasional: membantu menentukan intervensi selanjutnya.

· Monitor tanda-tanda vital

Rasional: perubahan tanda-tanda vital, peningkatan tekanan darah, nadi dan pernafasan bisa diakibatkan
karena nyeri.

· Kaji area luka operasi, adanya edema, hematoma atau inflamasi.

Rasional: pembengkakan, inflamasi dapat menyebabkan meningkatnya nyeri.

· Berikan posisi yang nyaman dan lingkungan yang tenang, ajarkan tehnik

relaksasi, pengalihan perhatian.

Rasional: membantu mengurangi dan mengontrol rasa nyeri.

· Kolaborasi dengan medik untuk pemberian analgesik.

Rasional: analgesik membantu mengurangi nyeri.


Perubahan pola eliminasi konstipasi/diare berhubungan dengan efek anestesi, pemasukan cairan yang
tidak adekuat.

Tujuan: pola eliminasi kembali berfungsi normal.

Intervensi:

· Auskultasi bising usus.

Rasional: adanya suara bising usus yang abnormal, merupakan tanda adanya

komplikasi.

· Anjurkan makanan/minuman yang tidak mengiritasi.

Rasional: menurunkan resiko iritasi mukosa.

· Kolaborasi medik untuk pemberian glyserin suppositoria.

Rasional: membantu melunakkan feses.

3. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya prosedur invasive, luka yang mungkin
terkontaminasi.

Tujuan: tidak terjadi infeksi, luka sembuh tanpa komplikasi.

Intervensi:

· Kaji area luka operasi, observasi luka, karakteristik drainage, adanya inflamasi.

Rasional: penambahan infeksi dapat mengambat proses penyembuhan.

· Monitor tanda-tanda vital, temperatur, respirasi, nadi.

Rasional: peningkatan temperatur, pernapasan, nadi merupakan indikasi

adanya proses infeksi.

· Rawat area luka dengan prinsip aseptik. Jaga balutan kering.

Rasional: menjaga pasien dari infeksi silang selama penggantian balutan.

· Kolaborasi untuk pemeriksaan cultur dari sekret/drainage, kedua dari tengah

dan pinggir luka.

Rasional: dengan mengetahui adanya organisme akan menentukan pemberian

antibiotik.
· Berikan antibiotik sesuai pesan medik.

Rasional: antibiotik mencegah dan melawan infeksi.

· Bila perlu lakukan irigasi luka.

Rasional: irigasi luka dengan antiseptik baik untuk melawan infeksi

DAFTAR PUSTAKA

Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk
Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Price, S. A., & Wilson, L. M. (2005). Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. (ed.6). (vol.2).
Jakarta: EGC

Sudoyo. A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. (2006). Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid 1 (ed.4). Jakarta: FKUI

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC

http://healthyenthusiast.com/perianal-fistel.html

http://www.medistra.com/index.php)

Anda mungkin juga menyukai