10 Mitos Kompetisi Yang Harus Diketahui Orang Tua Agar Tidak Salah Kaprah
10 Mitos Kompetisi Yang Harus Diketahui Orang Tua Agar Tidak Salah Kaprah
Benarkah kompetisi membantu anak mengembangkan bakatnya? Pelajari 10 mitos kompetisi ini
agar jangan salah kaprah dalam mengembangkan bakat anak.
Mitos kompetisi ini mungkin akan menimbulkan tanda tanya atau pun keresahan di banyak
kalangan. Tak heran, kondisi saat ini menunjukkan kecenderungan orang tua menganggap
lomba sebagai satu-satunya jalan untuk mengembangkan bakat anak. Setiap ada kesempatan
ikut lomba, setiap kali pula anak diikutkan lomba.
Mitos kompetisi pun diyakini oleh organisasi dan lembaga pendidikan seperti sekolah, dinas
pendidikan dan kementerian pendidikan dan kebudayaan. Ketika membuat kegiatan untuk anak,
maka semuanya menjadi lomba. Tak ada kreativitas dalam membuat kegiatan anak.
Orangtua percaya lomba sebagai satu-satunya jalan. Pembuat kegiatan anak percaya lomba
sebagai satu-satunya jalan. Klop, jadi lingkaran setan kompetisi. Kalau pun ada orang tua yang
sadar akan mitos kompetisi, mereka tidak punya pilihan karena kebanyakan kegiatan yang
ditawarkan ke anak sifatnya lomba. Kalau pun ada pembuat kegiatan anak sadar akan mitos
kompetisi, kegiatannya tidak banyak orangtua yang mendaftarkan anaknya.
Silahkan pelajari mitos kompetisi ini. Dan mari kita pikirkan ulang ragam kegiatan anak, jangan
terbatas pada lomba semata.
Kenyataan: Anak belajar percaya diri tidak hanya dengan kompetisi, tapi juga dengan kolaborasi
ketika anak merasa bisa berkontribusi pada kelompok. Kompetisi seringkali justru menciptakan
kepercayaan diri yang semu pada anak.
Kenyataan: Semangat kompetitif sudah bawaan sejak lahir. Tanpa ikut lomba pun, setiap orang
sudah mempunyai semangat kompetitif
Kenyataan: Prestasi anak yang diukur melalui kompetisi akan membuat anak tergantung pada
kompetisi untuk berprestasi. Dalam berkarier, kinerja anak tidak didasarkan pada kemenangan
pada sebuah lomba, melainkan pada karya dan kontribusinya
Kenyataan: Situasi kolaborasi yang nyaman membuat anak belajar lebih baik dibandingkan
situasi kompetisi.
David Johnson, profesor psikologi sosial di Universitas Minnesota mengkaji semua riset dengan
topik kompetisi yang dilakukan sejak 1924 hingga 1980. Hasilnya, 65 studi membuktikan bahwa
anak-anak belajar lebih baik ketika berada dalam lingkungan yang kooperatif dibandingkan yang
kompetitif, 8 studi membuktikan sebaliknya dan 36 studi menemukan tidak ada perbedaan
antara keduanya.
Kenyataan: Anak mendapat teman baru tidak hanya melalui kompetisi. Lebih mungkin anak
menjalin pertemanan berkualitas dengan anak yang dikenal melalui kegiatan kolaborasi.
Kenyataan: Kegagalan terbesar bukanlah gagal mengalahkan orang lain dalam kompetisi, tapi
gagal mencapai sasaran yang telah ditetapkan sendiri. Berkompetisi dengan diri sendiri justru
membantu anak menjadi pribadi yang lebih baik dari hari ke hari
Kenyataan: Pada masa lalu, kompetisi mungkin cara terbaik untuk meniti karier. Saat ini, di
jaman kreatif, ada banyak anak muda yang sukses berkarier tanpa melalui kompetisi. Karena
modal utama meniti karier adalah karya, bukan jumlah piala.
Kenyataan: Kompetisi hanya efektif pada bidang yang capaiannya bisa diukur dan kasat mata
seperti sepakbola dan bulu tangkis.
Kenyataan: Dampak negatif kompetisi paling besar dirasakan oleh anak-anak di bawah 13
tahun. Ikut kompetisi hanya baik untuk anak di atas 13 tahun, itu pun dengan catatan tidak terlalu
sering mengikutinya.