Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

GANGGUAN GIZI PADA ANAK DENGAN CEREBRAL PALSY

Disusun Oleh
Muhammad Rifa’I Suparta
1102014171

Pembimbing
Dr. Dani Kurnia, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSTAS YARSI
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK RSUD ARJAWINANGUN
PERIODE APRIL 2018 – 30 JUNI 2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, serta shalawat dan salam kepada Nabi
Muhammad SAW, dan para sahabat serta pengikutnya hingga akhir zaman. Karena atas
rahmat dan ridho-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat ini dengan judul
“LARINGOTRAKEOBRONKITIS AKUT Pada Anak” sebagai salah satu tugas di
kepanitraan Ilmu Kesehatan Anak di RSUD Arjawinangun.
Berbagai kendala yang telah dihadapi penulis hingga referat ini selesai tidak
terlepas dari bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Atas bantuan yang telah diberikan,
baik moril maupun materil, maka selanjutnya penulis ingin menyampaikan ucapan terima
kasih kepada pembimbing saya dr. Dani Kurnia, Sp.A atas bimbingan, arahan dan saran
dalam penyusunan referat ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada
berbagai pihak yang telah membantu.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena
itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sehingga
penyusunan ini dapat lebih baik sesuai dengan hasil yang diharapkan. Akhir kata, dengan
mengucapkan Alhamdulillah, semoga Allah SWT selalu meridhai kita semua.

Arjawinangun, Mei 2018

Penulis

i
BAB I
PENDAHULUAN

Sindrom croup adalah sindrom klinis yang ditandai dengan suara serak, batuk
menggonggong, stidor inspirasi dengan atau tanpa adanya stress pernapasan. Penyakit ini
sering terjadi pada anak. “croup” berasal dari Bahasa Aglo-Saxon yang berarti “ tangisan
keras”. Penyakit ini pertama kali dikenal pada tahun 19281.
Istilah lain untuk Croup ini adalah laryngitis akut yang menunjukan lokasi inflamasi,
yang jika meluas sampai trakea disebut laringotrakeitis, dan jika sampai ke bronkus
digunakan istilah laringotrakeobronkitis1.
Sindrom croup atau laringotrakeobronkitis akut disebabkan oleh virus yang menyerang
saluran respiratori atas. Penyakit ini dapat menimbulkan obstruksi saluran respiratori.
Obstruksi yang terjadi dapat bersifat ringan hingga berat1.
Sifat penyakit ini adalah self-limited, tetapi kadang-kadang cenderung menjadi berat
bahkan fatal. Sebelum kortikosteroid digunakan secara luas, 30% kasus croup harus dirawat
di RS dan 1,7% memerlukan intubasi endotrakea. Akan tetapi, setelah kortikosteroid telah
digunakan secara luas, kasus croup yang memerlukan perawatan di RS menurun drastic dan
untubasi endotrakea jarang dilakukan. Di Alberta, lebih dari 60% anak didiagnosis croup
derajat ringan, 4% (satu dari 170 anak memerlukan perawatan di RS) dan 4% (satu dari 4.500
anak) harus diintubasi1.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. SINDROM CROUP
Laringotrakeobronkhitis atau croup merupakan infeksi yang paling umum terjadi pada
saluran respiratori tengah2. Croup adalah terminology umum yang mencakup suatu grup
penyakit heterogen yang mengenai laring, infra atau subglotis, trakea dan bronkus.
Karakteristik sindrom croup adalah batuk menggonggong, suara serak, stridor inspirasi
dengan atau tanpa adanya obstruksi jalan napas1.

2. EPIDEMIOLOGI
Sindrom croup biasanya terjadi pada anak usia 6 bulan sampai 6 tahun, dengan
puncaknya pada usia 1-2 tahun. Akan tetap, croup dapat juga terjadi pada anak berusia 3
bulan dan diatas 15 tahun1.
Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki dari pada anak perempuan, dengan
resiko 3;2. Angka kejadiannya meningkat pada musim dingin dan musim gugur,tetapi
penyakit ini tetap dapat terjadi sepanjang tahun. Pasien croup merupakan 15% dari seluruh
pasien dengan infeksi respiratory yang berkunjung ke dokter1.
Kekambuhan sering terjadi pada usia 3-6 tahun dan berkurang sejalan dengan
pematangan struktur anatomi saluran pernapasan atas. Hampir 15% pasien sindrom croup
mempunyai keluarga dengan riwayat penyakit yang sama.

3. ETIOLOGI
Virus penyebab tersering sindroum croup (sekitar 60% kasus) adalah human
parainfluenza virus type 1 (HPIV-1), HPIV-2,3 dan 4, virus influenza A dan B, adenocirus,
respiratory syncytial virus(RSV), dan virus campak, meskipun jarang, pernah di temukan
Mycoplasma pneumonia.1 Efek inflamasi pada laringotrakea anak memiliki efek yang lebih
berat karena pengurangan ukuran diameter akibat terjadinya edema mukosa dan inflamasi
yang akan meningkatkan resistensi dan memperberat kerja ventilasi secara bermakna.
Selama inspirasi dinding subglotis akan menutup sehingga menimbulkan obstruksi dan

3
menghasilkan stridor yang merupakan tanda khas croup. Croup sering terjadi pada anak usia
6 bulan sampai dengan 3 tahun, dengan puncak insidens pada musim gugur dan awal musim
dingin. Croup timbul segera setelah atau bersamaan dengan selesma. Pada umumnya terjadi
reinfeksi simptomatis tetapi biasanya ringan2.

Viral
Viral croup / laryngotrakeitis akut yang disebabkan oleh Human Parainfluenza Virus
terutama tipe 1 (HPIV–1), HPIV-2, HPIV-3, dan HPIV-4 terdapat pada sekitar 75% kasus.
Etiologi virus lainnya adalah Influenza A dan B, virus campak , Adenovirus dan Virus
pernapasan/Respiratory Syncytial Virus (RSV). Batuk hebat disebabkan oleh kelompok virus
yang sama seperti laryngotrakeitis akut, tetapi tidak memiliki tanda-tanda infeksi biasa
(seperti demam, sakit tenggorokan, dan meningkatkan jumlah sel darah putih). Perawatan,
dan respon terhadap pengobatan, juga serupa1.

Bakteri
Bakteri yang dapat menyebabkan batuk dapat dibagi menjadi beberapa antara lain, difteri
laring, trakeitis bakteri, laryngotrakeobronkitis, dan laryngotrakeobronkopneumonitis.
Difteri laring disebabkan Corynebacterium diphtheriae sementara trakeitis bakteri,
laryngotrakeobronkitis, dan laryngotrakeobronkopneumonitis biasanya karena infeksi virus
primer dengan pertumbuhan bakteri sekunder. Sebagian besar bakteri yang umum terlibat
adalah Staphylococcus aureus , Streptococcus pneumoniae , Hemophilus influenzae , dan
Catarrhalis moraxella1.

Penyebab Lain
Etiologi lainnya selain dikarenakan infeksi berupa virus, bakteri, dan jamur. Terdapat
pula penyebab lain yaitu1:
Mekanik
Benda asing
Pasca pembedahan
Penekanan massa ekstrinsik , Alergi, Sembab angioneurotik

4
4. PATOGENESIS
Seperti infeksi respiratori pada umumnya, infeksi virus pada laringotrakeitis,
laringotrakeobronkitis, dan laringotrakeobronkopneumonia dimulai dari nasofaring dan
menyebar ke epitelium trakea dan laring. Peradangan difus, eritema dan edema yang terjadi
pada dinding trakea menyebabkan terganggunya morbilitas pita suara serta area subglotis
mengalami iritasi. Hal ini menyebabkan suara pasien menjadi serak(parau), aliran udara yang
melewati saluran respiratori atas mengalami turbulensi sehingga menimbulkan stridor,
diikuti dengan retraksi dinding dada selama inspirasi. Pergerakan dinding dada dan abdomen
yang tidak teratur menyebabkan pasien kelelahan serta mengalami hipoksia dan hiperkapnea.
Pada keadaan ini dapat terjadi gagal napas atau bahkan henti napas1.

5. KLASIFIKASI CROUP
Secara umum croup dikelompokan dalam 2 kelompok yaitu:
Viral croup (laringotrakeobronkitis): ditandai oleh gejala prodromal infeksi respiratori;
gejala obstruksi saluran respiratori berlangsung selama 3-5 hari.
Spasmodic croup: spasmodic cough, terdapat factor atopic, tanpa gejala prodromal; anak
dapat tiba-tiba mengalami gejala obstruksi saluran respiratori, biasanya pada waktu malam
menjelang tidur; serangan terjadi sebentar kemudian normal kembali1.

Berdasarkan derajat kegawatan, croup dibagi menjadi empat kategori:


Ringan; ditandai dengan adanya batuk keras menggonggong yang kadang-kadang muncul
stridor yang tidak terdengar ketika pasien beristirahat atau tidak beraktifitas, dan retraksi
ringan dinding dada.
Sedang: ditandai dengan batuk menggonggong yang sering timbul, stridor yang mudah
didengar ketika pasien beristirahat atau tidak beraktivitas, retraksi dinding dada yang sedikit
terlihat, tetapi tidak ada gawat napas (respiratory distress).
Berat : ditandai dengan batuk menggonggong yang sering timbul, stridor inspirasi yang
terdengar jelas ketika pasien beristirahat dan kadang-kadang disertai dengan stidor ekspirasi,
retraksi dinding dada dan gawat napas.

5
Gagal napas mengancam: batuk kadang-kadang tidak jelas, terdengar stridor (kadang-
kadang sangat jelas ketika pasien beristirahat), gangguan kesadaran dan latergi1.

6. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis biasanya didahului dengan demam yang tidak begitu tinggi selama 12-
72 jam, hidung berair, nyeri menelan, dan batuk ringan. Kondisi ini akan berkembang
menjadi batuk nyaring, suara menjadi parau dan kasar. Gejala sistemik yang menyertai
seperti demam, malaise. Dalam keadaan berat dapat terjadi sesak napas, stridor inspiratorik
yang berat, retraksi, dan anak tampak gelisah dan akan bertambah berat pada malam hari.
Gejala puncak terjadi pada 24 jam pertama hingga 48 jam. Biasanya perbaikan akan tampak
dalam waktu satu minggu. Anak akan sering rewel, menangis, dan akan merasa nyaman
duduk di tempat tidur atau di gendong1.
Manifestasi klinis croup adalah batuk kasar yang dideskripsikan seperti
menggonggong atau suara tiupan, suara serak, stridor isnpirasi, demam ringan, dan gangguan
pernapasan yang dapat timbul secara lambat atau cepat. Stridor adalah bunyi respiratori
bernada tinggi dan kasar akibat timbulnya turbulensi aliran udara. Umumnya timbul saat
inspirasi, tetapi dapat juga bersifat bifasik dan merupakan tanda adanya sumbatan jalan napas
atas. Tanda tanda adanya sumbatan jalan napas atas adalah terjadinya obstruksi jalan
respiratori atas seperti sesak napas dan retraksi suprasternal, intercostal dan subcostal, dapat
ditemukan pada pemeriksaan fisis. Mengi dapat timbul apabila saluran respiratori bawah juga
ikut terlibat2.

7. DIAGNOSIS CROUP
Diagnosis dapat ditegakan hanya dengan anamnesis, gejala klinis dan pemeriksaan fisis.
Diagnosis ditegakan berdasarkan gejala klinis yang timbul. Pada pemeriksaan fisis
ditemukan suara serak, hidung berair, peradangan faring dan frekuensi napas yang sedikit
meningkat. Kondisi pasien bervariasi sesuai dengan derajat stress pernapasan yang diderita.
Pemeriksaan langsung area laring pada pasien croup tidak terlalu diperlukan. Akan tetapi,
bila didiuga terdapat epiglottitis (serangan akut, gawat napas, disfagia, drooling), maka
pemeriksaan tersebut sangan diperlukan1.

6
Leukositosis jarang di temukan dan dapat mengarah epiglottitis atau trakeitis
bacterial. Berbagai pemeriksaan cepat PCR( polymerase chain reaction) dapat digunakan
untuk mendeteksi virus parainfluenza dan RV, serta beberapa virus lainnya penyebab croup
walaupun kurang umum seperti influenza dan adenovirus2.

8. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium dan radiologis tidak perlu
dilakukan karena diagnosis biasanya dapat ditegakkan hanya dengan anamnesis, gejala klinis
dan pemeriksaan fisis. Bila ditemukan peningkatan leukosit >20.000/mm3 yang didominasi
oleh PMN, kemungkinan telah terjadi superinfeksi, misalnya epiglottitis1.
Pemeriksaan penunjang lain yang cukup berguna untuk menegakkan diagnosis croup
sindrom ini yaitu bisa dengan pemeriksaan radiologis dan CT-Scan.
Gambaran radiologi berupa penyempitan dari subglotis (seperti menara / steeple sign)
pada foto anterior-posterior (AP), densitas jaringan lunak yang ireguler pada trakea foto
lateral, serta peumonia bilateral.
Tanda menara terlihat pada radiografi anteroposterior jaringan lunak leher.
Konvektivitas lateral normal trakea subglottic hilang, dan penyempitan lumen subglottic
menghasilkan konfigurasi V terbalik di daerah ini. Titik dari V terbalik pada tingkat margin
inferior pita suara yang benar. Penyempitan dari lumen subglottic mengubah tampilan
radiografi dari kolom udara trakea, yang menyerupai atap bernada tajam atau menara gereja.

Gambaran normal foto anterior-posterior

7
Gambaran normal foto lateral

Gambaran Sindrom Croup foto anterior-posterior

Gambaran Sindrom Croup foto lateral

8
Dalam tanda menara (steeple sign), area kritis penyempitan saluran napas adalah 1 cm
proksimal trakea, di elasticus konus ke tingkat pita suara yang benar. Mukosa pada tingkat
ini memiliki lampiran longgar. Tanda menara dihasilkan oleh adanya edema pada trakea,
yang menghasilkan elevasi mukosa trakea dan hilangnya memikul normal (Convexities
lateral) dari kolom udara
Pada pemeriksaan radiologis leher posisi poserior-anterior ditemukan gambaran
udara steeple sign (seperti menara) yang menunjukkan adanya penyempitan kolumna
subglotis. Akan tetapi, gambaran radiologis seperti ini hanya dijumpai pada 50% kasus saja.
Melalui pemeriksaan radiologis, croup dapat dibedakan dengan berbagai diagnosis
bandingnya. Gambaran foto jaringan lunak (intensitas rendah) saluran napas atas dapat
dijumpai sebagai berikut1:
1. Pada trakeitis bakterial, tampak gambaran membran trakea yang compang-camping.
2. Pada epiglotitis, tampak gambaran epiglotitis yang menebal.
3. Pada abses retrofaringeal, tampak gambaran posterior faring yang menonjol.

Pada pemeriksaan CT scan dapat lebih jelas menggambarkan penyebab obstruksi


pada pasien dengan keadaan klinis yang lebih berat, seperti adanya stridor sejak usia di bawah
6 bulan atau stridor pada saat aktivitas. Selain itu, pemeriksaan ini juga dilakukan bila pada
gambaran radiologis dicurigai adanya massa1.

9
9. DIAGNOSIS BANDING
Perbandingan antara viral croup (laringotrakeobronkitis) dan spasmodic croup
(spasmodic cough) dapat dilihat pada tabel dibawah ini1:

Karakteristik Viral Croup Spasmodic Croup


Usia 6 bulan – 6 tahun 6 bulan – 6 tahun
Gejala prodromal Ada Tidak jelas
Stridor Ada Ada Tabel
Batuk Sepanjang waktu Terutama malam hari
Demam Ada (tinggi) Bisa ada, tidak tinggi
Lama sakit 2-7 hari 2-4 jam
Riwayat keluarga Tidak ada Ada
Predisposisi asma Tidak ada Ada
perbandingan antara Viral croup dan Spasmodic croup

Beberapa diagnosis banding untuk gejala stridor pada anak. Epiglottitis adalah kasus
kegawatan medis karena ada risiko terjadinya obstruksi saluran respiratory yang timbul
mendadak. Saat ini epiglottitis jarang di temukan dan umumnya disebabkan oleh bakteri
streptokokus group A atau staphylococcus aureus. Foto rontgen lateral akan
memperlihatkan penebalan dan penonjolan epiglottis (thumb sign) dan pembengkakan
lipatan ariepiglotik. Penegakan diagnosis dengan cara observasi langsung adanya
inflamasi dan pembengkakan struktur supraglotik, dan pembengkakan epiglottis yang
berwarna seperti buah cherry2.

10
Table Diagnosis Banding Croup1

Kategori Epiglotitis Laringitis Laringitis Laringotrach


Laringotracheobr Croup Benda Edema
akut difteri eitis akutonkitis spasmodik asing
Dan
laringotracheo
bronchopneumoiti
s
Usia sering 1-8 tahun Semua usia Anak 3 bulan – 3 3 bulan – 3 tahun 3 bulan – 3 Semua Semua usia
terjadi besar dan tahun tahun usia
dewasa
Riwayat Tidak ada Imunisasi Tidak Riwayat Mungkin riwayat Riwayat Biasanya Riwayat
penyakit (-) atau ada keluarga keluarga croup keluarga riwayat alergi, ada
dahulu dan tidak croup croup, makan riwayat
keluarga adekuat biasanya serangan
terdapat sebelumnya
serangan
sebelumnya
Prodromal Coryza Biasanya Biasanya Biasanya Biasanya coryza Coryza Tidak ada Alergi kulit
(kadang- faringitis hidung coryza minimal kadang-
kadang) tersumba kadang
t atau
coryza
Awitan Cepat Lambat Bervarias Sedang,tetap Biasanya Mendadak, Biasanya cepat
4-12 jam selama 2-3 i 12 i bervariasi progresif 12 jam – selalu mendadak
hari hingga 4 12-48 jam 7 hari malam
hari
Gejala dan Ya , Ya , Ya , 37,8- ya, ya, bervariasi Tidak ada Tidak ada, Tidak ada
demam biasanya biasanya 39,4o C bervariasi 37,8o C- 40,5oC kecuali
o o
39,5 C 37,8-38,5 pada 37,8o C- infeksi
C adenovir 40,5oC sekunder
us dan
virus
influenza
,
biasanya
minimal
pada
infeksi
virus lain
Serak dan Ada Ada Ada Ada Ada Ada Biasanya Tidak ada
batuk tidak ada
menggonggo
ng

11
10. TATALKSANA
Tatalaksana utama bagi pasien croup adalah mengatasi obstruksi jalan napas.
Sebagian besar pasien croup tidak perlu dirawat RS, melainkan cukup dirawat
dirumah. Pasien dirawat di RS bila dijumpai salah satu dari gejala-gejala berikut: anak
berusia di bawah 6 bulan, terdengar stridor progresif, stridor terdengar ketika sedang
beristirahat, terdapat gejala gawat napas, hipoksemia, gelisah, sianosis, gangguan
kesadaran, demam tinggi, anak tampak toksik, dan tidak ada respons terhadap terapi
1
.

Terapi inhalasi
Sejak abad ke-19, terapi uap telah digunakan untuk mengatasi obstruksi jalan napas
pada sindrom croup. Pemakaian uap dingin lebih baik daripada uap panas, karena kulit akan
melepuh akibat paparan uap panas. Uap dingin akan melembabkan saluran respiratori, akan
inflamasi, mengencerkan lender pada saluran respiratori, sekaligus memberikan efek yang
nyaman dan menenangkan bagi anak1.
Meskipun terapi uap ini dapat menjadi pilihan yang praktis pada sindrom croup,
kelembaban yang ditimbulkan oleh terapi uap dapat pula memperberat keadaan pada dengan
bronkospasme yang disertai dengan mengi, seperti laringotrakeobronkitis atau pneumonia.
Saat ini beberapa pusat kesehatan tidak merekomendasikan penggunaan terapi uap1.
Berdasarkan tiga penelitian yang menggunakan air dingin tersaturasi (coldwater fog)
tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa penggunaannya untuk mengobati croup
menguntungkan. Gina dkk.melakukan penelitian RCT dengan memberikan terapi oksigen
lembab (humidifiedoxygen) pada pasien croup derajat sedang di UGD. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan perbaikan klinis antara kelompok yang diberi terapi
oksigen lembab dan yang tidak diberikan1.

Epinefrin
Sindrom croup biasanya cukup diatasi dengan terapi uap saja, tetapi kadang-kadang
membutuhkan farmakoterapi. Nebulisasi epinefrin telah digunakan untuk mengatasi sindrom
croup selama hampir 30 tahun, dan pengobatan dengan epinefrin ini menyebabkan
trakeostomi hampir tidak diperlukan1.

12
Nebulisasi epinefrin sebaiknya juga diberikan kepada anak dengan sindrom croup
sedang-berat yang disertai dengan stridor saat istirahat dan membutuhkan intubasi, serta pada
anak dengan retraksi dan stridor yang tidak mengalami perbaikan setelah diberikan terapi
uap dingin1.
Nebulisasi epinefrin akan menurunkan permeabilitas vascular epitel bronkus dan
trakea, memperbaiki edema mukosa laring, dan meningkatkan laju udara pernapasan. Pada
penelitian dengan metode double blind, efek terapi nebulisasi epinefrin ini timbul dalam
waktu 30 menit dan bertahan selama dua jam. Epinefrin yang dapat digunakan antara lain
adalah sebagai berikut1:
1. Racemic epinephrine (campuran 1:1 isomer d dan l epinefrin), dengan dosis 0,5 ml
larutan racemic epinephrine 2,25% yang telah dilarutkan dalam 3 ml salin normal.
Larutan tersebut diberikan melalui nebulizer selama 20 menit.
2. L-epinephrine 1:1000 sebanyak 5 ml; diberikan melalui nebulizer. Efek terapi terjadi
dalam dua jam
Racemic epinephrine merupakan pilihan utama, efek terapinya lebih besar, dan mempunyai
sedikit efek terhadap kardiovaskular seperti takikardi dan hipertensi.
Nebulisasi epinefrin masih dapat diberikan pada pasien dengan takikardi dan kelainan
jantung seperti Tetralogy Fallot1.

Kortikosteroid
Kortikosteroid mengurangi edema pada mukosa laring melalui mekanisme anti
radang. Uji klinik menunjukkan adanya perbaikan pada pasien laringotrakeitis ringan-sedang
yang diobati dengan steroid oral atau parenteral dibandingkan dengan plasebo1.

Deksametason
Deksametason diberikan dengan dosis 0,6 mg/kgBB per oral/antimuskular sebanyak
satu kali, dan dapat diulang dalam 6-24 jam. Efek klinis akan tampak 2-3 jam setelah
pengobatan. Tidak ada penelitian yang menyokong keuntungan penambahan dosis.
Keuntungan pemakaian kortikosteroid adalah sebagai berikut1:
 Mengurangi rata-rata tindakan intubasi

13
 Mengurangi rata-rata lama rawat inap
 Menurunkan hari perawatan dan derajat penyakit.
Selain deksametason, dapat juga diberikan prednisone atau prednisolon dengan dosis
1-2 mg/kgBB (E4). Berdasarkan dua penelitian meta-analisis (24 RCT) tentang pemakaian
kortikosteroid sistemik, dengan pemberian kortikosteroid 6 dan 12 jam, tetapi tidak sampai
24 jam, disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh dari kortikosteroid sistemik1.

Budesonid
Nebulisasi budesonid dipakai sejak tahun 1990. Tingkat efektifitasnya adalah E2 bila
dibandingkan dengan plasebo. Larutan 2-4 mg budesonid (2 ml) diberikan melalui nebulizer
dan dapat diulang pada 12 dan 48 jam pertama. Efek terapi nebulisasi budesonid terjadi dalam
30 menit, sedangkan kortikosteroid sistemik terjadi dalam satu jam1.
Pemberian terapi ini mungkin akan lebih bermanfaat pada pasien dengan gejala
muntah dan gawat napas (respiratory distress) yang hebat. Budesonid dan epinefrin dapat
digunakan secara bersamaan. Sebagian besar kasus pemakaian budesonid tidak lebih baik
daripada deksametason oral1.
Kortikosteroid tidak diberikan pada anak dengan varisela dan TB (kecuali pada anak
yang sedang mendapat OAT). Pemakaian kortikosteroid dalam jangka waktu lama (1
mg/kgBB/hari selama delapan hari) dapat meningkatkan infeksi Candida albicans1.

Intubasi endotrakeal
Intubasi endotrakeal dilakukan pada pasien sindrom croup yang berat, yang tidak
responsive terapi lain. Intubasi endotrakeal rnerupakan terapi alternative selain trakeostomi
untuk mengatasi obstruksi jalan napas. Indikasi melakukan intubasi endotrakeal adalah
adanya hiperkarbia dan ancaman gagal napas. Selain itu, intubasi juga diperlukan bila
terdapat peningkatan stridor, peningkatan frekuensi napas, peningkatan frekuensi nadi,
retraksi dinding dada, sianosis, letargi, atau penurunan kesadaran. Intubasi hanya dibutuhkan
untuk jangka waktu yang singkat, yaitu hingga edema laring hilang/teratasi1.

14
Kombinasi Oksigen-Helium
Kombinasi oksigen dan helium (Heliox) digunakan oleh beberapa sentra untuk
mengatasi sindrom croup. Helium bersifat inert, tidak beracun, serta mempunyai densitas
dan viskositas yang rendah. Hal ini sangat membantu mengurangi obstruksi jalan napas, yaitu
dengan meningkatkan aliran gas dan mengurangi kerja otot-otot respiratorius. Bila helium
dikombinasikan dengan oksigen, maka oksigenasi darah akan meningkat1.
Dengan terapi oksigen-helium ini, pasien sindrom croup beratakan merasa nyaman
dan kemungkinan besar tidak memerlukan tindakan intubasi. Efek klinis pemberian
kombinasi oksigen-helium hampir sama dengan pemberian nebulisasi epinefrin1.

Antibiotik
Pemberian antibiotik tidak diperlukan pada pasien sindrom croup, kecuali pasien
dengan laringotrakeobronkitis atau laringotrakeopneumonitis yang disertai infeksi bakteri.
Pasien diberikan terapi empiris sambil menunggu hasil kultur. Terapi awal dapat
menggunakan sefalosporin generasi ke-2 atau ke-3. Pemberian sedative dan dekongestan oral
tidak dianjurkan pada pasien sindrom croup1.
Dibawah ini merupakan Algoritma penatalaksanaan sindrom Croup, sebagai berikut1:

15
CROUP

Diagnosis banding
 Aspirasi benda asing
Obstruksi jalan napas yang
mengancam jiwa  Abnormalitas
 Sianosis kongenital
 Penurunan kesadaran  Epiglotitis
 O2 100% dengan sungkup muka dan
nebulisasi adrenalin (5ml) 1:1000
 Intubasi anak sesegera mungkin oleh seorang
TIDAK YA yang berpengalaman
 Hubungi pusat rujukan pelayanan kesehatan
anak

Croup derajat ringan


Croup derajat sedang Croup derajat berat
 Batuk
 Stridor saat istirahat  Stridor menetap saat
menggonggong
 Terdapat retraksi istirahat
 Tanpa retraksi dada
dinding dada  Trakeal tug dan
 Tanpa sianosis
minimal retraksi dinding dada
 Mampu berinteraksi terlihat jelas
 Edukasi orang tua  Apatis dan gelisah
 Pertimbangkan Kortikosteroid  Pulsus paradoksus
kortikosteroid dosis deksametason 0,15-0,30
tunggal (oral) mg/kg atau Prednison 1-  Minimal handling
 Periksa kemampuan 2 mg/kg (oral) atau  O2 4 lpm dan
nebulisasi Budesonide 2
orang tua dan nebulisasi adrenalin
mg jika kortikosteroid
kemampuan dalam oral tidak berpengaruh dan kortikosteroid
menyediakan sistemik (dosis sama
transport OBSERVASI > 4 JAM dengan croup derajat
sedang)
DIPULANGKAN  Intubasi
Membaik Tidakmembaik
 Dipulangkan bila tidak RAWAT RS
 Evaluasiulang
ada stridor saat istirahat  Rawat
Perbaika
 Edukasi orang tua  Hubungikonsulen
n
pasien  Evaluasi
 Rawat/observasi di IGD diagnosis
 Ulangi pemberian  Nebulisasi adrenalin (dosis
kortikosteroid oral/12 sama) dan kortikosteroid
Sebagian
jam sistemik (dosis sama)
 Edukasi ortu pasien  Persiapkan pelayanan untuk
 Sediakan penjelasan tindakan darurat
tertulis untuk dokter  Pertimbangkan intubasi
umum yang akan follow  Evaluasi diagnosis 16
up
11. Komplikasi
Pada 15% kasus dilaporkan terjadi komplikasi, misalnya otitis media, dehidrasi, dan
pneumonia (jarang terjadi). Sebagian kecil pasien memerlukan tindakan intubasi. Gagal
jantung dan gagal napas dapat terjadi pada pasien yang perawatan dan pengobatannya tidak
adekuat1.
Komplikasi yang sering terjadi pada penyakit croup adalah pneumonia karena virus,
yang timbul pada 1-2% anak yang menderita croup. Pneumonia akibat virus parainfluenza
dan pneumonia bacterial sekunder umumnya timbul pada pasien yang memiliki kondisi
imunokompromise2.

12. Prognosis
Prognosis penyakit croup sangat baik. Penyakit ini berlangsung selama 5 hari dan
seiring bertambahnya usia, mereka menjadi lebih kebal terhadap pengaruh infeksi virus pada
saluran respiratori tengah2. Sindrom croup biasanya bersifat self-limited dengan prognosis
yang baik1.

17
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku Ajar Respirologi Anak. 2008. Edisi pertama. Badan Penerbit IDAI: hal 320-328.
2. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Marcdante KJ. 2014. Nelson ilu kesehatan
anak esensial edisi keenam. Saunders Elsevier; Bab. 121

18

Anda mungkin juga menyukai