A.DARMANTO
Pendahuluan
Televisi merupakan media massa yang mengalami perkembangan paling
fenomenal di dunia. Meski lahir paling belakangan dibanding media massa cetak, dan
radio, namun pada akhirnya paling banyak diakses oleh masyarakat di mana pun di dunia
ini. Menurut DeFleur dan Dennis (1985), 98% rumah tangga di Amerika Serikat memiliki
pesawat tv, dan bahkan 50% di antaranya memiliki lebih dari satu pesawat. Dalam hal
penggunaannya pun juga sangat pantastis. Berdasarkan hasil penelitian, Haney dan
Ullmer (1975) seperti dikutip Miarso (2004), seorang tamatan sekolah lanjutan di
Amerika Serikat telah menghabiskan waktu 15.000 jam di depan pesawat televisi.
Bahkan menurut Postman (1995), banyaknya waktu yang dihabiskan untuk menonton
televisi oleh seorang tamatan SMTA mencapai 16.000 jam. Sedangkan waktu yang
dihabiskan untuk sekolah hanya 11.000 jam, menonton film, mendengarkan radio dan
kaset hanya 5.000 jam (Miarso, op.cit). Sumber lain menyebutkan bahwa waktu yang
dihabiskan untuk menonton televisi sebanyak lima kali lipat dari yang dipergunakan
untuk membaca koran, dan 11 kali dibandingkan waktu yang mereka pergunakan untuk
membaca majalah (Hamalik:1989).
Bagaimana dengan di Indonesia? Apakah kecenderungan menonton tv juga lebih
tinggi dibandingkan membaca koran dan mendengarkan radio? Jawabannya pasti,”ya”.
Hasil Susenas 1998 dan 2000 memperlihatkan kecenderungan masyarakat dalam hal
mendengarkan radio, menonton tv, dan membaca surat kabar. Rata-rata secara nasional,
waktu mendengarkan radio ada penurunan dari 62,7% (1998) menjadi 43,3%, menonton
tv dari 79,8% turun menjadi 78,9%, dan membaca surat kabar dari 25,8% pada tahun
1998 turun, tinggal 17% pada tahun 2000. Kemudian dari sejumlah survei yang dilakukan
1
Pointer dari artikel initelah disampaikan pada peserta Diklat Education TV Program yang
diselenggarakan Diklat Ahli Multi Media MMTC Yogyakarta, 25 Januari s.d 7 Februari 2007
secara terpisah oleh lembaga yang berbeda selama 2005-2006 diketahui bahwa
kecenderungan menonton tv telah meningkat rata-rata di atas 80%, sedangkan kegiatan
membaca koran semakin rendah, demikian pula kegiatan mendengarkan radio.
Paparan data di atas menunjukkan betapa besar pengaruh media televisi bagi
kehidupan manusia modern. Banyak aspek kehidupan manusia dari mengenai jadwal
tidur, menu makan, jenis minuman, memilih sabun mandi, sampo, minyak rambut,
parfum, fashion, mode tata rambut, tempat tamasya, topik perbincangan, humor, pilihan
lagu, dan lain-lain; semuanya dipengaruhi oleh tayangan televisi. Oleh karena besarnya
pengaruh televisi bagi kehidupan manusia modern maka kemudian muncul keinginan
untuk memanfaatkan televisi sebagai media pendidikan. Kalau saja media yang sangat
berpengaruh itu dimanfaatkan untuk menyampaikan pesan-pesan pendidikan tentu akan
memiliki pengaruh positif terhadap perkembangan peradaban manusia. Harapan
demikian itulah yang mendorong munculnya upaya-upaya di berbagai negara untuk
mewujudkan televisi sebagai media pendidikan, lalu muncullah istilah tv pendidikan atau
TV-E (Educational television).
Dalam konteks negara kita, wacana mengenai televisi pendidikan sempat
berkembang sejak pertengahan 1970-an, terutama di kalangan ahli teknologi pendidikan.
Bahkan langkah konkret ke arah itu sudah disiapkan oleh pemerintah yang dimotori oleh
Pustekomdikbud (Pusat Teknologi Pendidikan dan Kebudayaan), sebuah lembaga yang
berada di bawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Namun upaya tersebut berhenti ketika inisiatif untuk mewujudkan televisi pendidikan
diambil alih oleh Hardiyati Rukmana atau yang lebih populer dipanggil Mbak Tutut
dengan mendirikan TPI (Televisi Pendidikan Indonesia) yang pada awalnya bersiaran
melalui frekuensi TVRI. Proyek televisi pendidikan itu akhirnya sekarang dilanjutkan
oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Kejuruan (Dikmenjur) Departemen Pendidikan Akan
tetapi proyek itu berjalan tanpa payung hukum yang jelas karena UU No.32 Tahun 2002
tidak mengatur keberadaan televisi pendidikan.
Sesuai dengan perkembangan zaman, hal mana media televisi semakin menyita
kehidupan masyarakat maka wacana untuk mewujudkan televisi pendidikan di Indonesia
perlu dibangkitkan kembali agar menjadi perhatian publik dan pada akhirnya mendapat
respon dari para pengambil kebijakan (policy maker). Sehubungan dengan maksud
tersebut tulisan ini bertujuan membuka kembali perbincangan mengenai televisi
pendidikan di Indonesia. Sesuai dengan tujuan penulisan maka artikel ini berisi uraian
mengenai aspek kekuatan dan kelemahan televisi sebagai media pendidikan, fungsi siaran
pendidikan, prinsip penyelenggaraan dan standar program pendidikan di televisi.
Prasekolah
Sekolah Dasar (Klas I-IX)
SMTA (SMA dan SMK)
SekolahTerbuka (SMP & SMA)
Siaran sekolah (school broadcast) Perguruan Tinggi Konvensional
Universitas Terbuka
Tujuan Khusus:
Program Penyetaraan, Guru,dll
Sumber: Shigeki Ueno (1991), dan Darwanto SS (1995) dengan beberapa penyesuaian
oleh penulis.
1. Siaran Sekolah
Siaran pendidikan di televisi (juga di radio) dikategorikan sebagai siaran sekolah
karena program tersebut dibuat berdasarkan kurikulum yang berlaku di sekolah. Program
siaran sekolah selama ini banyak diproduksi oleh Pustekom dan disiarkan antara lain
melalui TPI (dulu), TVRI, dan TVE milik sekolah-sekolah yang berkolaborasi dengan
Dikmenjur. Di negara-negara yang siaran pendidikannya maju seperti Jepang,
programming atau penataan acara siaran pihak NHK terintegrasi dengan jadwal kegiatan
belajar di sekolah. Hal itu dimaksudkan agar ketika sebuah program siaran sekolah
ditayangkan oleh NHK pada waktu yang sama pula kegiatan belajar di sekolah
mempelajari tentang materi yang sama dengan yang disiarkan televisi sehingga murid
dan guru dapat mengikutinya bersama-sama.
Adapun larakteristik dari siaran sekolah, yaitu (1) penyelenggaraan programnya
terstruktur; (2) materinya dibuat berdasarkan kurikulum yang berlaku; (3) target khalayak
setiap program bersifat khusus; (4) tujuannya membantu pelajar memecahkan soal-soal di
sekolah, memudahkan siswa dalam memahami topik-topik yang diajarkan guru,
memperkarya materi pelajaran di sekolah, dan membantu guru dalam mengajarkan topic
yang sama di sekolah; (5) penjadwalannya harus terintegrasi dengan jadwal pelajaran di
sekolah; (6) sifatnya komplementer dan tidak bertentangan dengan program pengajaran di
sekolah; (7) disediakan buku penyerta (panduan) yang dibagikan kepada sekolah-sekolah
jauh hari sebelum tiba waktunya penayangan program; dan (8) cakupan materi siaran bisa
juga mengenai kebijakan Negara di bidang pendidikan.
1. Program Instruksional
Program instruksional berfungsi untuk (1) menggantikan kehadiran guru/dosen/
pembimbing/pendamping belajar (selanjutnya ditulis guru), dan (2) sebagai pembanding
bagi guru dalam hal pembelajaran. Dalam konteks siaran sekolah, fungsi pertama terasa
sangat urgen untuk daerah-daerah yang masuk kategori terpencil. Perlu diketahui bahwa
sampai penghujung 2006 masih banyak sekolah di wilayah Sumatera, Kalimantan, Papua
(semua provinsi), NTT, NTB, Maluku, Maluku Utara, yang masih kekurangan guru
sehingga seorang guru terpaksa mengajar beberapa kelas (kelas rangkap) untuk setiap
harinya. Bahkan masih banyak sekolah yang hanya mempunyai seorang guru sehingga
harus mengajar dari kelas I (satu) sampai VI (Enam), sekaligus sbertindak ebagai kepala
sekolah. Bagi guru yang mengajar rangkap, tersedianya program instruksional yang
relevan sangat diperlukan. Untuk menggantikan kehadiran guru di kelas, peserta ajar
disuruh menyimak program yang tersedia dan kemudian mengerjakan tugas-tugas seperti
yang diperintahkan dalam program.
Program instruksional yang berfungsi untuk menggantikan kehadiran guru, juga
diterapkan pada penyelenggaraan SMP/SMA Terbuka, program penyetaraan atau
pendidikan profesi secara terstruktur dan mengacu pada tingkatan tertentu untuk
meningkatkan kapasitas guru. Sedangkan realisasi fungsi kedua, dilaksanakan dengan
cara memproduksi model pembelajaran yang bagus agar dijadikan acuan bagi para guru..
Adapun manfaat dari program pendidikan TV yang diproduksi dengan pendekatan
instruksional sebagai berikut.
a. Mengurangi ketergantungan kepada guru
b. mengatasi keterbatasan ruang dan waktu sehingga memberi kesempatan kepada
kelompok usia tua yang dulu kurang beruntung untuk memperoleh pendidikan
yang bersifat formal.
c. Membantu mengatasi kekurangan guru, dan memberi kesempatan bagi anak-anak
di daerah terpencil untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas.
d. Memberi kemungkinan kepada semua pihak untuk sama-sama mendapatkan
pelajaran dengan guru yang berkualitas.
e. Memberi kesempatan pengulangan penjelasan materi pelajaran yang sama secara
berkali-kali tanpa ada perbedaan kualitas materi, bahasa, nuansa dan etos dari
pihak penyampai.
f. Membantu memecahkan kesulitan dalam praktik pembelajaran
g. Menjadi bahan pembanding dan acuan bagi guru dalam mengajarkan mata
pelajaran tertentu secara baik.
h. Mengoptimalkan fungsi produk teknologi komunikasi untuk meningkatkan
kualitas pendidikan.
Karakteristik dari pendekatan instruksional adalah menekankan ketaatan asas
pada prinsip pembelajaran seperti di sekolah. Penyampaian materi dilakukan secara
bertahap dengan sistematika yang menyerupai kegiatan di kelas, yakni guru memulai
dengan memperkenalkan pokok bahasan, menyampaikan apersepsi, menjelaskan materi
utama, menyimpulkan, dan kemudian memberikan evaluasi. Bahasa yang digunakan pun
cenderung baku sesuai dengan kaidah-kaidah yang benar. Dalam pola instruksional,
kehadiran presenter lebih mencerminkan fungsi seorang guru yang tengah mengajar dari
pada seorang telangkai. Secara keseluruhan karakter program yang sifatnya instruksional
memang kurang santai, kaku, minim hiburan, sarat pesan, dan cenderung membosankan.
Sayangnya pedoman dasar tersebut tidak di-breakdown lebih rinci lagi akibat
macetnya proyek pendirian televisi pendidikan di Indonesia. Para praktisi televisi di
Indonesia pun juga belum merumuskan standar program pendidikan yang dapat diakses
oleh publik. Namun dari buku yang diterbitkan oleh NHK (1986) dapat diketahui standar
program pendidikan yang mereka buat. Dalam perumusan standar NHK, mereka
membagi menjadi tiga kategori sebagai berikut.
Penutup
Anak-anak yang kini berusia sekolah, dari Taman Kanak-Kanak sampai dengan
mahasiswa S-1 pada dasarnya adalah anak-anak televisi. Mereka sudah terbiasa banyak
menghabiskan waktunya di depan televisi sambil memainkan remote control untuk
memilih program yang mereka senangi. Anak-anak televisi kurang begitu akrab dengan
radio, dan surat kabar maupun majalah. Bagi mereka televisi adalah sumber informasi,
dan hiburan yang tiada habisnya. Oleh karena itu mengoptimalisasikan fungsi edukasi
dari media televisi merupakan langkah yang mendesak untuk dilakukan agar anak-anak
yang terlanjur menghabiskan waktunya lebih banyak di depan televisi tidak semata-mata
menikmati hiburan tetapi juga memperoleh pendidikan yang sehat.
Mengingat banyaknya hambatan ekonomi, sosial, dan budaya yang ada saat ini
maka upaya mewujudkan televisi pendidikan di Indonesia harus dilakukan dengan
pendekatan politik, yakni mendorong para pengambil kebijakan untuk peduli mengenai
masalah itu. Upaya yang telah ditempuh Dikmenjur harus dilakukan penguatan dengan
memberi payung hukum berupa undang-undang atau Peraturan Pemerintah yang
menjamin keberadaan televisi pendidikan.
Daftar Pustaka
Chen, Milton, 1996. Anak-anak dan Televisi, Buku Panduan Orangtua Mendampingi
Anak-anak Menonton Televisi, Jakarta: Gramedia.
DeFleur, Melvin L, Everette E.Dennis, Understanding Mass Communication (second
edition), Illinois: Houghton Mifflin Company.
Dryden, Gordon, Jeannette Vos, 2003. Revolusi Cara Belajar (terjemahan), Bandung:
KAIFA.
Hamalik, Oemar, 1989, Media Pendidikan, Bandung: Citra Aditya Bakti
Hidayati, Arini, 1998. Televisi dan Perkembangan Sosial Anak, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Hofmann, Ruedi, Dasar-dasar Apresiasi Program Televisi, 1999. Jakarta: Grassindo
Kitley, Philip, Konstruksi Budaya Bangsa di Layar Kaca (Terjemahan), Jakarta: LSPP,
ISAI dan PT Media Lintas.
KPI, 2004. Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran, Jakarta
Matsuda, Yoshiharu, 1989, Am Introduction for The Educational Broadcasting (manual
diklat), Yogyakarta: MMTC-JICA
Miarso, Yusufhadi, 2004. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan, Jakarta: Prenada Media
dan Pustekkom Diknas.
NHK, 1986. NHK School Broadcast, NHK
Postman, Neil, 1995. Menghibur Diri Sampai Mati, Mewaspadai Media Televisi
(terjemahan), Jakarta: Sinar Harapan.
Subroto, Darwanto Sastro, 1995. Televisi Sebagai Media Pendidikan, Yogyakarta: Duta
Wacana University Press.
Ueno, Shigeki, 1991. Bagaimana Memproduksi Acara Pendidikan, Yogyakarta: MMTC-
JICA
Wilkonson, Gene L, 1984. Media Dalam Pembelajaran Penelitian Selama 60 Tahun
(terjemahan), Jakarta: Pustekkom Dikbud dan CV Rajawali.
Biodata Penulis
A.Darmanto, Peneliti di Balai Pengkajian dan Pengembangan Informasi (BPPI) Wilayah
IV, Balitbang Depkominfo. Sebelumnya (1983-awal 2004) bekerja di RRI Yogyakarta.
Menjadi Dosen Luar Biasa di Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan UNY sejak
1992, Dosen Tamu di MMTC (1998-sekarang), Dosen Tamu Universitas Atma Jaya
Yogyakarta (2002-sekarang), Akademi Komunikasi Yogyakarta (2000-sekarang), UPN
“Veteran” (2002-2004), PPKP (2000-2002). Menjadi Peneliti di Institut Pengembangan
Demokrasi dan HAM Sejas tahun 2000. Pengurus Masyarakat Peduli Media (MPM)
Yogyakarta, Sekretaris Yayasan (Pendidikan) Bina Muda Panggang, Gunungkidul,
Trainer di bidang media dan teknik pembelajaran. Konsultan LGSP-USAID untuk
penyusunan buku Radio Komuitas dan Good Governance, konsultan WVI untuk kegiatan
di Halmahera Utara, Ternate, NTT, dan Kalimantan Barat; konsultan KfW Jerman untuk
riset RRI Programa 1 di Batam, Subang, Singkawang, Nunukan, dan Jayapura. Buku
yang pernah ditulisnya antara lain Teknik Penulisan Naskah Acara Siaran Radio
(Penerbit UAJY, 1998), Tradisi Sastra Jawa Radio (Penerbit Kalika dan Ford
Foundation, 2001), Pengelolaan Radio Komunitas (CRI-ARNET, 2006). Alamat kontak:
dmt_mpm@yahoo.co.id.