Anda di halaman 1dari 14

ISSN 2337-3776

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR DENGAN


PEMBERIAN MADU DAN PEMBERIAN GENTAMISIN TOPIKAL PADA TIKUS
PUTIH (Rattus Norvegicus)

Arif Mz1), Muhartono2), Susianti2)

1)
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, 2)Staf Pengajar Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung

ABSTRAK

Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang rentan terjadi kerusakan contohnya suhu yang tinggi. Tingkat
kerusakan kulit bergantung pada suhu tertentu dan waktu kontak tertentu. Madu diduga berperan sebagai
antibakteri dan saat ini sudah dimanfaatkan sebagai penanganan korban luka bakar sudah diketahui banyak
manfaatnya. Penelitian ini bertujuan membandingkan tingkat kesembuhan luka bakar dengan pemberian madu
dan gentamisin topikal. Penelitian ini menggunakan rancangan acak terkontrol. Pada penelitian menggunakan 9
ekor tikus jantan galur Spraque dawley dijadikan subyek penelitian. Tikus dibagi menjadi 3 kelompok secara
random yaitu: K1 (kontrol), K2 (madu 100%), K3 ( Gentamisin Topikal Gel 0,1%×10gr) setelah 14 hari
perlakuan dilakukan pengamatan. Dari hasil penelitian luka bakar pada kulit tikus menunjukann rata-rata
kesembuhan kulit secara histopatologis pada kelompok perlakuan 1, 2 dan 3 adalah 0,817±2,57, 0,774±4,23,
dan 0,691±4,27 dengan nilai P=0,001 pada uji Kruskal-Wallis. Pada analisi Mann-Whitney test nilai p pada tiap
kelompok adalah: antara K1 dan K2 p=0,001 kemudian K1 dan K3 p=0,001, untuk uji kelompok K2 dan K3
p=0,936. Pada hasil uji klinis didapat rata-rata 50,70±15,28 pada K1, 94,48±6,07 pada K2 dan K3, 92,14±6,85.
Pada uji ANOVA didapatkan p=0,039, dilanjutkan pada uji post hoc terdapat perbedaan bermakna pada
kelompok K1 terhadap kelompok K2 dan K3 dengan nilai p=0,001. Dan tidak terdapat perbedaan bermakna
antara kelompok K2 dan K3 dengan nilai p=0,585.

Kata kunci : Gentamisin Topikal, luka bakar, madu.

THE COMPARISON FUEL OF LEVEL WOUND HEALING LEVEL BETWEEN


HONEY AND TOPICAL GENTAMICIN TREATMENT WHITE ON RATS (Rattus
Norvegicus)

Arif Mz1), Muhartono2), Susianti2)

1)
Medical Faculty Student of Lampung Univesity, 2)Medical Faculty Lecturer of Lampung
University

ABSTRACT

Human skin is one of the most vulnerable organ damage. Damage to the skin, among others, can be caused by
temperature. The extent of damage depends on the skin at specific temperature and contact time. thought to act
as an antibacterial honey. This study aims to compare the rate of healing of burns with honey and gentamicin
topical administration. This study used a randomized controlled design. In studies using 9 tails Spraque Dawley
strain male rats used as subjects of research. Rats were divided into 3 groups at random are: K1 (control), K2
(honey 100%), K3 (Gentamicin Topical Gel 0.1% × 5gr) after 14 days of treatment was observed. From the
research on mice skin burns to average histopathological cure of skin in the treated group 1, 2 and 3 were
0.817±2.57, 0.774±4.23 and 0.691±4.27 with a P value = 0.001 in the Kruskal-Wallis test. On analysis Mann-
Whitney test p values for each group are: between K1 and K2 p = 0.001, then K1 and K3 p = 0.001, test for K2
and K3 group p = 0.936. On the results of clinical trials gained an average 50.70 ± 15:28 on K1, 94.48 ± 6:07 in
K2 and K3, 92.14 ± 6.85. In the ANOVA test obtained p = 0.039, resumed in the post hoc tests found significant
differences in the K1 to the K2 and K3 with p = 0.001. And there were no significant differences between the
groups K2 and K3 with p = 0.585.

1
MAJORITY (Medical Journal of Lampung University) Volume 2 No 4 April 2013
ISSN 2337-3776

Key word: Gentamicin Topical, burns, honey.

I. Pendahuluan

Luka bakar merupakan cedera yang cukup sering dihadapi oleh dokter, biaya yang
dibutuhkan juga cukup mahal untuk penanganannya. Luka bakar dapat dialami oleh siapa
saja dan dapat terjadi dimana saja baik dirumah, tempat kerja, maupun dijalan atau ditempat-
tempat lain. penyebab luka bakarpun bermacam- macam, bisa berupa api, cairan panas, uap
panas bahkan bahan kimia dan aliran listrik (Moenadjat, 2003).

Luka bakar menjadi masalah, oleh karena angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
terutama pada luka abakar derajat II dan III yang lebih dari 40%, dengan angka kematian
37,38% berdasarkan pengamatan yang dilakukan (Moenadjat, 2003).

Kepercayaan masyarakat tentang tentang pengobatan secara empiris tentang madu sebagai
obat dari luka bakar sendiri telah menjadi sering terdengar, hal ini diperkuat oleh beberapa
penelitian tentang madu sendiri sebagai anti bakterial dan mempercepat regenerasi dari sel-
sel jaringan yang rusak (Kartini, 2009).

Penelitian Kwakman dan Zaat (2012) dikatakan madu bermafaat sebagai antibakteri. Menurut
Mundo dkk., (2004), bahwa pertumbuhan bakteri patogen seperti Escherichia coli, Listeria
monocytogenes, dan Staphylococcus aureus dapat dihambat oleh pemberian madu.
Pemberian madu pada media tanam yang telah ditanam bakteri-bakteri tersebut
memperlihatkan zona penghambatan. Dari segi estetika pemakaian madu memiliki kelebihan
karena dapat digunakan untuk menghaluskan kulit, serta pertumbuhan rambut dibandingkan
pemakaian antibiotik (Ratnayani dkk., 2008).

Kulit berperan sebagai proteksi tubuh seperti pencegahan infeksi dan penguapan berlebihan
dari tubuh. Selanjutnya dikatakan bahwa didalam jaringan kulit terdapat kelenjar minyak dan
kelenjar keringat (Junquiera, 2007). Kulit merupakan indra peraba yang menerima
rangsangan nyeri, panas, dingin dan sebagainya (Eroschenko, 2003). Oleh sebab itu kulit
merupakan salah satu organ tubuh yang sangat penting bagi tubuh.

Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang rentan terjadi kerusakan. Kerusakan pada kulit
tersebut antara lain dapat disebabkan karena suhu. Tingkat kerusakan kulit bergantung pada
pada suhu tertentu dan waktu kontak tertentu, misalnya pada suhu yang tinggi dengan waktu
kontak sebentar dan pada suhu yang lebih rendah dengan waktu kontak yang lama dapat
menyebabkan kerusakan jaringan kulit. Pada tingkat kerusakan jaringan akibat luka bakar

2
MAJORITY (Medical Journal of Lampung University) Volume 2 No 4 April 2013
ISSN 2337-3776

yang parah bukan hanya bisa terjadi pada permukaan kulit saja, tetapi bisa terjadi juga di
jaringan bagian bawah kulit. Jaringan yang terbakar akan rusak, sehingga cairan tubuh bisa
keluar melalui kapiler pembuluh darah pada jaringan yang mengalami pembengkakan akibat
luka bakar. Pada luka bakar yang luas, kehilangan sejumlah besar cairan karena perembesan
cairan dari kulit dapat menyebabkan terjadinya syok (Guyton, 2006).

Saat ini resistensi obat antibiotika merupakan hal yang sering terjadi dikarenakan pemakaian
antibiotika yang tidak terkendali, hal ini juga terjadi pada pemberian antibiotika kepada luka
bakar. (CDC, 2012). Sebagai contoh pada obat golongan aminoglikosida, mikroorganisme
bisa berubah menjadi resisten dengan cara memperoleh kemampuan untuk memproduksi
enzim yang menginaktifasi aminoglikosida dengan cara adenililasi, asetilasi, atau fosforilasi
(Katzung, 2004).

Salah satu obat topikal yang sering digunakan adalah gentamisin. Gentamisin (gentamisin)
merupakan salah satu jenis antibiotik golongan Aminoglikosida. Antibiotik ini sangat sensitif
terhadap basil Gram-negatif yang aerobik, dan kurang efektif dalam keadaan anaerobik atau
fakultatif. Aktivitasnya terhadap bakteri Gram-negatif sangat terbatas (Morar dkk, 2009).

Penggunaaan antibiotika yang saat ini dimanfaatkan untuk mencegah infeksi akibat rusaknya
jaringan kulit pada penanganan luka bakar, menimbulkan berbagai efek samping, dan
sepertinya belum tergantikan oleh obat lain. Di lain pihak madu diduga berperan sebagai
antibakteri dan saat ini sudah dimanfaatkan sebagai penanganan korban luka bakar sudah
diketahui banyak manfaatnya. Namun pembuktiannya secara ilmiah belum ada. Untuk itu
perlu dilakukan penelitian mengenai peran madu sebagai antibiotika pada luka bakar serta
melihat perbedaan pada tingkat kesembuhan antara penggunaan antibiotika untuk
penanganan luka bakar dan penggunaan madu (Morar dkk, 2009).

II. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik yang akan menggunakan


metode rancangan acak terkontrol dengan pola post test only controlled group design. Tikus
penelitian didapat dari Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Pemilihan
secara random yang dibagi menjadi 3 kelompok sebanyak 18 ekor tikus putih (Rattus
norvegicus) betina dewasa galur Sprague Dawley berumur 3-4 bulan, dengan pengulangan
sebanyak 6 kali, akan digunakan sebagai subjek penelitian. Penentuan jumlah sampel ini
berdasarkan Frederer (1967). Pada penelitian ini digunakan 1 kelompok kontrol, 1 kelompok

3
MAJORITY (Medical Journal of Lampung University) Volume 2 No 4 April 2013
ISSN 2337-3776

madu, dan 1 kelompok gentamisin topical. 3 kelompok perlakuan tersebut dengan


menggunakanan rumus t(n-1)≥15 (Frederer), maka didapatkan hasil 6 pengulangan pada
setiap kelompoknya.

Kriteria dari penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) betina dewasa galur Sprague
Dawley berumur 3-4 bulan Sehat (tidak tampak penampakan rambut kusam, rontok, atau
botak dan aktif). Memiliki berat badan sekitar 200-250 gram.

Variabel bebas dari penelitian ini adalah zat aktif yang diberikan pada tikus putih yaitu madu
dan gentamisin topikal.

III. Hasil dan Pembahasan

Hasil

1. Gambaran histopatologi kulit tikus

Pada K1 didapatkan adanya reepitelisasi. Pada daerah bekas luka juga ditemukan adanya
fibroblast, kolagen namun sebagian sampel masih banyak ditemukan serbukan sel radang,
neutrophil, pus dan pembentukan scab.

Gambar 1. Gambaran histopatologis kulit


tikus K1 dengan pewarna
H.E (perbesaran 400 kali, potongan melintang).

Pada K2 didapatkan adanya reepitelisasi, dan daerah luka pada kulit digantikan dengan
jaringan ikat fibroblast dan kolagen yang normal ditemukan pada luka, juga ditemukan sel-
sel radang. Selain itu pada salah satu sampel masih ditemukan adanya scab.

4
MAJORITY (Medical Journal of Lampung University) Volume 2 No 4 April 2013
ISSN 2337-3776

Gambar 2. Gambaran histopatologis kulit


tikus K2 dengan pewarna H.E
(perbesaran 400 kali, potongan melintang).

Pada K3 didapatkan adanya reepitelisasi, dan jaringan epitel lama digantikan dengan
fibroblast dan kolagen, serta ditemukan sel-sel radang disekitar luka juga scab pada beberapa
sampel.

Gambar 3. Gambaran histopatologis


kulit tikus K3 dengan pewarna H.E
(perbesaran 400 kali, potongan melintang).

5
MAJORITY (Medical Journal of Lampung University) Volume 2 No 4 April 2013
ISSN 2337-3776

Kemudian dilakukan uji statistik dari nilai yang tiap sampel didapat. Untuk menilai apakah
terdapat perbedaan bermakna antar kelompok. Dan didapatkan rata-rata hasil sebagai berikut:

Tabel 1. Rata-rata hasil pengamatan histopatologis.


Sampel Skoring Tingkat Kesembuhan Kulit Mean+S.D.
LP1 LP2 LP3 LP4 LP5
K1 1 3 2 3 2 2 2,57±0,817
2 2 2 2 1 3
3 3 4 4 3 3
4 3 3 2 2 2
5 2 1 3 2 2
6 4 3 2 3 4

K2 1 5 4 4 3 5 4,23±0,774
2 4 3 4 5 5
3 5 5 5 4 4
4 3 3 5 5 3
5 4 5 5 4 5
6 3 4 4 4 5

K3 1 4 4 4 4 4 4,27±0,691
2 4 4 5 3 5
3 3 4 4 5 5
4 4 5 4 5 4
5 5 5 3 5 4
6 5 4 5 3 5

Pada pengamatan histologis didapatkan nilai rata-rata untuk setiap sampel adalah K1
2,57±0,817, K2 4,23±0,774 dan K3 4,27±0,691 sehingga dapat dilihat bahwa terdapat
perbedaan nilai pada setiap kelompok maka dilakukan uji statistik ANOVA untuk melihat
kemaknaan dari nilai tersebut.

Untuk mengetahui apakah memenuhi syarat untuk uji ANOVA maka dilakukan uji normalitas
data menggunakan uji Shapiro-Wilk dengan hasil K1 0,001, K2 0,001, K3 0,001 sehingga
data tidak lolos uji normalitas (p>0.005). kemudian dilanjutkan dengan uji Kruskal-Wallis
didapatkan nilai p=0,001 artinya terdapat perbedaan paling tidak 2 kelompok uji. Dan
dilanjutkan uji Mann-Whitney untuk melihat kemaknaan.

6
MAJORITY (Medical Journal of Lampung University) Volume 2 No 4 April 2013
ISSN 2337-3776

Tabel 2. Hasil Uji Kemaknaan menggunakan uji kruscal Wallis


Kelompok 1 2 3
1 - 0,001 0,001
2 - - 0,936
3 - - -

Hasil uji Kruskal Wallis diatas menunjukan paling tidak dua kelompok mempunya perbedaan
yang bermakna yaitu, kelompok K1 dan K2 (p=0,001) kemudian antara K1 dan K3
(p=0,001). untuk uji antara kelompok K2 dan K3 tidak terdapat perbedaan yang bermakna
karena p=0,936.

2. Gambaran klinis kulit tikus

Untuk mendukung hasil pengamatan secara histopatologis dilakukan pengamatan klinis


dengan membandingkan persentase kesembuhan setiap harinya. Maka dari data pengukuran
didapatkan persentase rata-rata perkelompok sebagai berikut:

Tabel 3. Persentase rata-rata penyembuhan pada kelompok madu,


gentamisin topikal dan kontrol.
HARI K1(%)±SD K2(%)±SD K3(%)±SD

1. 0±0 0±0 0±0

2. -8,76±7,04 -4,30±2,58 -1,53±6,29

3. -8,97±4,90 -3,20±3,86 4,59±5,38

4. -7,46±8,90 -1,90±7,62 7,77±5,99

5. -6,47±8,63 3,57±10,26 11,31±7,82

6. -5,01±10,75 8,36±6,46 14,62±8,28

7. -2,85±11,44 16,18±5,73 21,56±7,48

8. 0,54±8,54 27,09±6,32 25,06±6,24

9. 6,52±8,50 40,45±6,84 31,85±7,47

10. 8,31±8,96 50,70±6,02 38,68±9,8

11. 16,52±6,74 54,39±8,41 51,09±9,35

7
MAJORITY (Medical Journal of Lampung University) Volume 2 No 4 April 2013
ISSN 2337-3776

12. 34±14,20 64,17±11,77 65,72±15,89

13. 42,50±12,24 81,40±11,22 82,99±10,62

14. 50,70±15,28 94,48±6.07 92,14±6,85

Pada hari pertama persentase rata-rata kelompok K1, K2 dan K3 adalah 0±0 karena hari
pertama saat pertama kali tikus diberi perlakuan. Pada beberapa kasus persentase rata-rata
penyembuhan menjadi minus itu dikarenakan luka membesar. Pada hari keempatbelas dapat
dilihat persentase kelompok K1 50,70±15,28, K2 94,48±6,07 dan K3 92,14±6,85
dikarenakan pada kelompok K2 dan K3 sebagian luka masi belum sembuh total sedangkan
pada kelompok K1 seluruh luka belum sembuh total.

Untuk itu dilakukan uji ANOVA untuk melihat kemaknaan perbedaan pada kelompok hari
keempatbelas. Sebagai sarat uji ANOVA maka dilakukan dilakukan uji Shapiro-Wilk pada
data, sehingga didapat K1 (p=0,554), K2 (p=0,013) dan K3 (p=0,332) data dianggap normal
bila (p>0.005) dan dilanjutkan menggunakan uji varians data untuk melihat homogenitas
data. Dari uji varians data semua data yang dinyatakan lulus uji varian jika (p>0.005) yang
menandakan tidak ada perbedaan varian data pada tiap kelompok, dan hasil uji varian untuk
kelompok hari keempat belas adalah (p=0,039).

Maka dapat dilanjutkan uji ANOVA untuk melihat apakah terdapat perbedaan pada
kelompok hari keempat belas dan uji ANOVA menghasilkan p=0.001 yang berarti paling
tidak terdapat dua kelompok yang berbeda secara bermakna. Untuk melihat kelompok
tersebut dilakukan uji post hoc LSD.

Tabel 4. Tabel uji post Hoc LSD


kelompok kelompok Sig.

1 2 0,001
3 0,001
2 1 0,001
3 0,585
3 1 0,001
2 0,585

8
MAJORITY (Medical Journal of Lampung University) Volume 2 No 4 April 2013
ISSN 2337-3776

Pada uji post hoc terdapat perbedaan bermakna pada kelompok K1 terhadap kelompok K2
dan K3 dengan nilai p=0,001. Dan tidak terdapat perbedaan bermakna antara kelompok K2
dan K3 dengan nilai p=0,585.

Pembahasan

Pada penelitian kasus luka bakar, kontak selama 1 detik dari induksi dengan suhu 68,9oC
dapat menimbulkan luka bakar yang merusak epidermis serta dermis sehingga terjadi cedera
derajad II atau III (Sjamsuhidajat dan Jong, 2007).

Setelah terjadi kerusakan reaksi tubuh terhadap luka akan memulai respon inflamasi pada
fase ini rentan terjadi penghambat kesembuhan antara lain jika terdapat benda asing dan
infkesi pada luka maka fase inflamasi akan menjadi panjang. Bakteri memperpanjang fase
inflamasi dengan cara mengganggu epitelisasi, kontraksi dan deposit kolagen. Endotoksin
dari kuman dapat memicu pelepasan kolagenase dan pelepasan fagositosis yang
mengakibatkan degradasi kolagen dan jaringan sekitarnya yang sebelumnya merupakan
jaringan normal, sedangkan kontaminasi berhubungan dengan hipoksia jaringan yang
berpotensi mengganggu regulasi proliferasi fibroblast oleh makrofag (Zumaro,2009).

Menurut Kasyaningrum dan Putra (2000), madu dapat dapat mempercepat kesembuhan
luka bakar pada manusia, oleh karena madu mempunyai efektifitas anti inflamasi, anti
bakteri dan stimulan regenerasi jaringan sehingga menghasilkan penyembuhan luka yang
baik. Dalam proses kesembuhan luka aktifitas antibakteri yang dikandung madu akan
menekan infeksi, aktifitas anti inflamasi akan mengurangi oedema, serta daya regenerasi
jaringannya diharapkan mempercepat proses kesembuhan luka.

Telah banyak penelitian tentang kefektifan madu sebagai obat penyembuh luka bakar.
Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa madu menyediakan banyak energi yang
dibutuhkan tubuh untuk pembentukan pembuluh darah, hal ini yang membantu
mempercepat proses penyembuhan dari luka bakar yang diberi madu (sahli, 2012).

Penelitian ini menganalisa luka bakar pada kulit tikus yang diberi madu, gentmisin topikal
dan kontrol yang tidak diberikan zat antimikroba apapun secara klinis dan histopatologis.
Setelah hari keempat belas data dianalisa.

Kelompok perlakuan madu dan gentamisin topikal mempunyai perbedaan bermakana dengan
kelompok kontrol, hal ini juga didukung dengan hasil uji statistik dari penilaian secara klinis.

9
MAJORITY (Medical Journal of Lampung University) Volume 2 No 4 April 2013
ISSN 2337-3776

Hal ini diduga karena kelompok kontrol tidak diberikan antibiotik atau madu untuk
perawatanya dan hanya dibersihkan 2 kali sehari dengan menggunakan akuades untuk
mencegah adanya benda asing yang melekat pada luka (Kasyaningrum dan Putra, 2000).

Berdasarkan pengamatan patologi anatomi, secara umum terlihat bahwa proses kesembuhan
luka kelompok kontrol berjalan lebih lambat dibandingkan dengan perlakuan madu
gentamisin topikal. Larutan dengan osmolaritas yang tinggi seperti madu dapat menghambat
pertumbuhan mikroorganisme karena molekul gula mengikat molekul air sehingga bakteri
dalam lingkungan yang tidak sesuai untuk pertumbuhannya (Molan, 1999).

Adanya aktivitas anti bakteri dan anti inflamasi ini juga di karenakan madu mengandung
propolis yang didalamnya terdapat flavonoid. Flavonoid dapat menghambat mediator-
mediator radang yaitu mengurangi efek siokin (Interleukin-1 dan Tumor Necrosis Factor
(TNF)) yang dihasilakan oleh makrofag dan sitokin reseptor yang secara umum akibatnya
tampak pada penekanan rasa nyeri, demam dan kerusakan jaringan. Proses epitelisasi yang
berlangsung cepat pada kelompok perlakuan ini disebabkan madu perasan (tradisional)
mempunyai kandungan hirogen peroksida alami, dan komposisi nutrisi madu seperti asam
amino, vitamin dan glukosa yang dapat membantu proses debridement, merangsang
pertumbuhan fibroblast, merangsang perkembangan neokapiler dan peningkatan angiogenesis
yang membantu regenerasi jaringan (Molan, 1999).

Gentamisin topikal merupakan salah satu jenis antibiotik golongan Aminoglikosida.


Antibiotik ini sangat sensitif terhadap basil Gram-negatif yang aerobik, dan kurang efektif
dalam keadaan anaerobik atau fakultatif. Gentamisin topikal bekerja dengan cara
menembus bakteri Gram-negatif melalui porin, berikatan dengan ribosom 30S sehingga
menghambat sintesis protein disusul dengan kematian sel. Aktivitas yang optimal (tanpa
efek toksik) tercapai dengan kadar Gentamisin 4-8µg/ml. namun setelah kontak dengan
antibiotik, biasanya terjadi penurunan kepekaan sehingga pemberian antibiotik ini harus
secara tepat dan hati-hati (Syarif dan Ascobat, 2007)

Kesembuhan luka perlakuan gentamisi topikal berjalan lebih baik dari madu karena sifat
antibakteri dimiliki gentamisin topikal bersifat kuat, sehingga memberikan skor yang
signifikan lebih baik dari pada madu pada skor jumlah sel radang namun secara skor total
yang diuji tidak memiliki perbedaan yang signifikan terhadap madu dan terbukti pada uji
statistik tidak terdapat perbedaan yang signifikan.

10
MAJORITY (Medical Journal of Lampung University) Volume 2 No 4 April 2013
ISSN 2337-3776

Berdasarkan pengamatan secara klinis madu menunjukan gambaran lebih baik dari pada
gentamisin topikal, hal ini disebabkan gentamisin topikal tidak mempunyai kandungan
hydrogen peroksida alami yang berperanan dalam stimulasi regenerasi jaringan (Molan,
1999).

Pada hasil penelitian ini didapatkan hasil tingkat kesembuhan luka bakar secara klinis lebih
baik, hal ini terlihat dari hasil pengukuran diameter luka bakar yang menunjukan bahwa luka
bakar yang diberikan madu sebagai agen penyembuh terlihat lebih baik. Hal ini ditunjukan
dari tingkat persenan kesembuhan luka bakar pada luka bakar yang diberikan madu lebih
besar dari pada persenan kesembuhan luka bakar yang diberikan gentamisin topikal, walau
pun setelah diuji secara statistik perbedaan tersebut tidak signifikan. Jadi secara klinis madu
lebih baik dari pada gentamisin topikal bila diberikan pada luka bakar.

Berdasarkan hasil penelitian perbandingan tingkat kesembuhan luka bakar terhadap


pemberian madu dan gentamisin topikal dapat disimpulkan bahwa madu dapat dijadikan
sebagai obat alternatif pada luka bakar sebagai pengganti antibiotik gentamisin topikal,
terutama di daerah terpencil yang sulit untuk mendapatkan antibiotik gentamisin topikal.

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, UF. 1989. Analisis epidemiologi korban kecelakaan kerja pada industri x di
Jakarta.Majalah kedokteran indonesia. 1992 Februari:Vol 42, No 2; 98-104.

Ackermann, MR. 2007. Pathologic Basis Veterinary Disease. Missouri : Mosby


Elsevier

Dharmestiwi, KI. 2007. Perkembangan Produksi Madu Lebah Hutan (Apis dorsata) di
Kawasan Gunung Tampomas Utara, Kabupaten Sumedang. [Skripsi]. Departemen
Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Eroschenko, VP. 2003. Atlas Histologi di Fiore dengan Korelasi Fungsional. EGC. Jakarta.
hlm 135-145.

Turtay, MG. Oguzturk,H., Firat,C., Erbatur, S.E., Colak,C. 2010. Efects of Montelukast on
Burn Wound Healing in a Rat Model. Clin Infest Med. Vol 33 No 6. hlm 413-421.

Guyton, A C. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC. Jakarta. hlm 299.

Hadisoesilo. 2001. Keanekaragaman Spesies Lebah Madu Asli Indonesia.


Biodiversitas. Journal of Biological Diversity Volume 2(1): 123-125. Universitas Sebelas
Maret, Surakarta.

11
MAJORITY (Medical Journal of Lampung University) Volume 2 No 4 April 2013
ISSN 2337-3776

Handian, FI. 2006. Efektivitas Perawatan Menggunakan Madu Nektar Flora Dibandingkan
Dengan Silver Sulfadiazine Terhadap Penyembuhan Luka Bakar Derajat II Terinfeksi
Pada Marmut. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Malang. 21 hlm.

Junqueira, LC. 2007. Histologi Dasar: Teks dan Atlas. EGC. Jakarta. hlm 355-368.

Kasyaningrum, H. Putra, ST. (2000). Peranan Madu sebagai Terapi alternative


Penyembuhan Luka. Media IDI Cabang Surabaya : Surabaya, Maret (17) : 14-21.

Katzung, BG. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik. Salemba Medika. Jakarta. hlm 1-9,729.

Kwakman, PHS. Zaat SAJ. 2011. Antibacterial Components of Honey. IUBMB Life. Vol. 64
Issue 1. hlm 48–55.

Manheim, JK. Heller, JL. 2010. Image of Burn Wound Degree. MedlinePlus. Bethesda. 13
Januari 2010 http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/ imagepages.html.

Martin, P. 1997. Wound healing-aiming for perfect skin regeneration. Science magazine. Vol
276. 4 april 1997 [article]. http://www.sciencemag.org [19 agustus 2012]

Mattjik, AA. Sumertajaya. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab.
IPB Press. Jilid 1 Edisi Kedua. 287 hlm.

Moenadjat, Y. 2003. Luka Bakar. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Molan, PC. (1999). Why honey is effective as a medicine 1. Its use in modern medicine. Bee
World 82 (2) : 80-92.

Molan, PC. 1999. The role of honey in the management of wound. Journal of wound care.
8(8). 423-26.

Molan, PC. 2001. Potential of honey in the treatment of wounds and burns. American Journal
of Clinical Dermatology, Volume 2, Number 1, 13-19(7 )hlm.

Molan, PC (2006) The evidence supporting the use of honey as a wound dressing. Int J
Lower Extrem Wounds 5(1): 40–54

Morar, N. Willis-Owen,SAG. Moffatt, Mf. Cookson, WOCM. (2006) The genetics of atopic
dermatitis. J Allergy Clin Immunol,118

Kartini, M. 2009. Efek penggunaan madu dalam manajemen luka bakar .junal kesehatan.
Vol 2 No 2. 20 hlm.

Mundo, M.A. I., Olga, P., Zakour, R.W. Worobo. 2004. Growth Inhibition of Food
Pathogens and Food Spoilage Organisms by Selected Raw Honeys. International
Journal of Microbiology. Volume 97 issue 1. hal 1-8.

12
MAJORITY (Medical Journal of Lampung University) Volume 2 No 4 April 2013
ISSN 2337-3776

Myers, P. Armitage, D. 2004. "Rattus norvegicus" Animal Diversity Web.


http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/Rattus_
norvegicus.html. [24 agustus 2012]

Perdanakusuma, D.S. 2008. Anatomi Fisiologi Kulit dan Penyembuhan


http://www.surabayaplasticsurgery.blogspot.com/2008/05/.html. [2 september 2012]

Price,AS. McCarty,WL.1992. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit.brahm u.


pendit,penerjemah: huriawati hartono,editor.jakarta: EGC. Terjemahan dari:
pathophisiology: Clinical Consept of Disease Prosses

Ratnayani, K. Adhi, NMAD., Gitadewi, IGAMAS. 2008. Penentuan kadar glukosa dan
fruktosa madu randu dan madu kelengkeng dengan metode kromatografi cair kinerja
tinggi. Jurnal Kimia 2. Vol 2 No 2. hal 77-86.

Sahli, FM. 2012. Madu dan Keuntungan Supelment Sehat Tanpa Efek Samping. Diandra
Pustaka Indonesia: Yogyakarta

Sarwono, B. 2001. Kiat Mengatasi Permasalah Praktis: Lebah Madu. Agro Media Pustaka.
Jakarta. 95 hlm.

Saqa, M. 2010. Pengobatan dengan Madu.Pustaka al-Kautsar. Jakarta. hlm 6-17.

Simanjuntak, M.R. 2008. Ekstraksi dan Fraksinasi Komponen Ekstrak Daun Tumbuhan
Senduduk (melastoma malabathricum. L) Serta Pengujian Efek Sediaan Krim terhadap
Penyembuhan Luka Bakar. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Medan. 85 hlm.

Clark, MD. Singer, AJ. Richard, AF. 1999. Cutaneous wound healing. The Ne Englan
Journal Medicine. September. www.nejm.org.on [21 agustus 2012]

Sjamsuhidajat R, Jong, W. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta :
EGC.

Smith, J.B., Mangkoewidjojo, S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan


Percobaan di Daerah Tropis. Universitas Indonesia. Jakarta. hlm 3.

Spector,WG. Spector, TD.1993. Pengantar Patologi Umum. ED ke 3. penerjemah:


Moelyono MPE, editor. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: An
Introduction to General Pathology. 3th edition

Subramanyam, M. AG. Sahapure, NS. Nagane, VR. Bahagwat. 2001. Effect of Topical
Application of Honey on Burn Wound Healing. São José Hospital. Portugal. Hlm 3

Sulistyorini, C.A. 2006. Inventarisasi Tanaman Pakan Lebah Madu Apis cerana di
Perkebunan Teh Gunung Mas Bogor. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 50 hlm.

Sullivan, R. 2003. Rats: observations on the history and habitat of the city's most unwanted
inhabitants. Holtzbnnck. New York. Hlm 221.

Suranto, A. 2007. Terapi Madu. Penerbit Penebar Plus. Jakarta. hlm 27-28.

13
MAJORITY (Medical Journal of Lampung University) Volume 2 No 4 April 2013
ISSN 2337-3776

Suryani, LNS. Meida. 2004. Daya antibakteri madu terhadap beberapa kuman patogen
secara in vitro. Jurnal Kedoktern Yarsi. Vol.12 No.3. hlm 41-45.

Suyanto. 2006. Penanganan Luka Bakar secara intensif. Numed: Bandung.

Syarif A, Ascobat, P. 2007. Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Departemen Farmakologi dan
Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Jakarta 585-731 hlm.

Tawi, M. 2008. Proses Penyembuhan Luka http://syehaceh.wordpress.com/2008/05/13/. [2


semptember 2012]

Underwood, J.C.E. 1999. Patologi Umum dan Sistemik. Edisi 2. Prof. Dr. Sarjadi, editor.
Jakarta: ECG. Terjemahan dari General and Systemic Pathology. Hlm 232-241.

Wahl, S. 2008. Cytokines in Wound Healing. www.scienceboard.net [14 agustus 2012]

Weihe, W.H. 2010. The laboratory rat In 'The UFA W Handbook on the Care and
Management of Laboratory Animals. Essex: Longman Scientific and Technical. Harlow.
hlm 61-75.

Zumaro, A. 2009. Perbedaan angka kejadian infeksi luka operasi herniorafi teknik
Lichtenstein menggunakan mesh monofilament makropori dengan herniorafi teknik
shouldice pada operasi hernia inkarserata. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang.
Hlm 31.

14
MAJORITY (Medical Journal of Lampung University) Volume 2 No 4 April 2013

Anda mungkin juga menyukai