Anda di halaman 1dari 25

Laporan Kasus

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

Oleh :

PRAGITA AYU SAPUTRI


NIM. 1608437607

Pembimbing :

dr. Adrianison, Sp.P(K)

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RUMAH SAKIT UMUM ARIFIN ACHMAD
PEKANBARU
2017

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang
ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif yang
ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversible, dan
berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang
beracun/berbahaya, disertai efek ekstra paru yang berkontribusi terhadap derajat
berat penyakit. PPOK seringkali timbul pada usia pertengahan akibat merokok
dalam waktu yang lama. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau
gabungan keduanya.1
Pada tahun 2012, secara global didapatkan data bahwa lebih dari tiga juta
orang meninggal karena PPOK dan dalam beberapa dekade terakhir angka ini
semakin meningkat dikarenakan semakin meningkatnya usia harapan hidup dan
semakin tingginya pajanan faktor risiko seperti faktor pejamu yang diduga
berhubungan dengan kejadian PPOK, semakin banyaknya jumlah perokok
khususnya pada kelompok usia muda, serta pencemaran udara di dalam ruangan
maupun di luar ruangan dan di tempat kerja.1,2
Secara nasional, prevalensi perokok pada tahun 2010 sebesar 34,7%.
Prevalensi perokok tinggi didapatkan pada kelompok usia 25-64 tahun dengan
rentangan 37-38,2%, sedangkan pada kelompok usia 15-24 tahun yang merokok
tiap hari sudah mencapai 18,6%. Prevalensi perokok 16 kali lebih tinggi pada laki-
laki (65,9%) daripada perempuan (4,2%). Perokok yang beresiko menderita
PPOK berkisar 15-20%. Hubungan antara merokok dengan PPOK merupakan
hubungan dosis dengan respons, semakin banyak jumlah batang rokok yang
dihisap dan semakin lama kebiasaan merokok dilakukan, maka akan semakin
tinggi risiko untuk menderita PPOK. 2

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
The Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease (GOLD)
tahun 2017 mendefinisikan PPOK sebagai penyakit respirasi kronis yang dapat
dicegah dan dapat diobati, ditandai adanya hambatan aliran udara yang persisten
dan biasanya bersifat progresif serta berhubungan dengan peningkatan respons
inflamasi kronik yang berlebihan pada saluran napas dan parenkim paru akibat gas
atau partikel berbahaya. Eksaserbasi dan komorbid berperan pada keseluruhan
beratnya penyakit pada seorang pasien.2
Bronkitis kronik dan emfisema sering ditemukan bersamaan pada PPOK,
meskipun keduanya memiliki proses yang berbeda. Akan tetapi menurut PDPI
2010, bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK, karena
bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan
diagnosis patologi. Bronkitis kronik merupakan suatu gangguan klinis yang
ditandai oleh pembentukan mukus yang meningkat dan bermanifestasi sebagai
batuk kronik. Emfisema merupakan suatu perubahan anatomis parenkim paru
yang ditandai oleh pembesaran alveoulus dan duktus alveolaris serta destruksi
dinding alveolar.2,3

2.2. Epidemiologi
Data prevalensi PPOK yang ada saat ini bervariasi berdasarkan metode
survei, kriteria diagnostik, serta pendekatan analisis yang dilakukan pada setiap
studi.1 Berdasarkan data dari studi PLATINO, sebuah penelitian yang dilakukan
terhadap lima negara di Amerika Latin (Brasil, Meksiko, Uruguay, Chili, dan
Venezuela) didapatkan prevalensi PPOK sebesar 14,3%, dengan perbandingan
laki-laki dan perempuan adalah 18,9% dan 11.3%.5 Pada studi BOLD, penelitian
serupa yang dilakukan pada 12 negara, prevalensi PPOK adalah 10,1%, prevalensi
pada laki-laki lebih tinggi yaitu 11,8% dan 8,5% pada perempuan.6 Data di
Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013 (RISKESDAS), prevalensi
PPOK adalah sebesar 3,7%. Angka kejadian penyakit ini meningkat dengan

3
bertambahnya usia dan lebih tinggi pada laki-laki (4,2%) dibanding
perempuan(3,3%).8

2.3. Faktor Resiko

1. Kebiasaan merokok
Asap rokok mempunyai prevalensi yang tinggi sebagai penyebab gejala
respirasi dan gangguan fungsi paru sehingga kebiasaan merokok menjadi
penyebab terpenting pada PPOK. Risiko PPOK pada perokok teragantung pada
jumlah rokok yang dihisap, usia mulai merokok, dan lamanya merokok. Dalam
pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :2,4
a. Riwayat merokok
- Perokok aktif
- Perokok pasif
- Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian
jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun:
- Ringan : 0-200
- Sedang : 200-600
- Berat : >600
2. Polusi udara
Berbagai macam partikel dan gas yang terdapat di udara sekitar dapat
menjadi penyebab terjadinya polusi udara. Ukuran dan macam partikel akan
memberikan efek yang berbeda terhadap timbulnya dan beratnya PPOK. Agar
lebih mudah mengidentifikasi partikel penyebab, polusi udara terbagi menjadi :2,4
1. Polusi di dalam ruangan
a. Asap rokok
b. Asap dapur ( kompor,kayu,arang,dll)
2. Polusi di luar ruangan
a. Gas buang kendaraan bermotor
b. Debu jalanan
3. Polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun).

3. Infeksi Saluran Nafas Bawah

4
Patogenesis dan progesivitas PPOK dipengaruhi oleh infeksi virus dan
bakteri, yang mana kolonisasi bakteri menyebabkan inflamasi jalan nafas yang
berperan dalam menimbulkan eksaserbasi. Infeksi saluran nafas berat pada anak
akan menyebabkan penurunan fungsi paru dan meningkatkan gejala repirasi pada
saat dewasa. Hal tersebut dikarenakan oleh seringnya kejadian infeksi berat pada
anak sebagai penyebab dasar timbulnya hiperreaktivitas bronkus yang merupakan
faktor risiko PPOK.

4. Sosial ekonomi
Sosial ekonomi sebagai faktor risiko terjadinya PPOK belum dapat
dijelaskan secara pasti. Pajanan polusi di dalam dan di luar ruangan, pemukiman
yang padat , nutrisi yang buruk dan faktor lain yang berhubungan dengan status
sosial ekonomi. Malnutrisi dan penurunan berat badan dapat menurunkan
kekuatan dan ketahanan otot respirasi, karena penurunan masa otot dan kekuatan
serabut otot.1,2

5. Faktor Genetik
Faktor genetik yang paling sering terjadi adalah kekurangan alpha-1
antitrypsin sebagai inhibitor dari protease serin. Ditemukan pada usia muda
dengan kelainan emfisema panlobular dengan penurunan fungsi paru yang terjadi
baik pada perokok atau bukan perokok dengan kekurangan alpha-1 antitrypsin
yang berat. Meskipun kekurangan alpha-1 antitrypsin yang hanya sebagian kecil
dari populasi di dunia, hal ini menggambarkan adanya interaksi antar gen dan
pajanan lingkungan yang menyebabkan PPOK.1,2

2.4. Patofisiologi
Pada bronkhitis kronis perubahan awal terjadi pada saluran udara yang
kecil. Selain itu, terjadi destruksi jaringan paru disertai dilatasi rongga udara distal
(emfisema), yang menyebabkan hilangnya elasticrecoil, hiperinflasi,
terperangkapnya udara, dan peningkatan usaha untuk bernapas, sehingga terjadi
sesak napas. Pada saluran napas kecil terjadi penebalan akibat peningkatan
pembentukan folikel limfoid dan penimbunan kolagen di bagian luar saluran
napas, sehingga menghambat pembukaan saluran napas. Lumen saluran napas

5
kecil berkurang karena penebalan mukosa berisi eksudat sel radang yang
meningkat sejalan dengan beratnya penyakit. Hambatan aliran udara pada PPOK
disebabkan oleh beberapa derajat penebalan dan hipertofi otot polos pada
bronkiolus respiratorius. Dengan berkembangnya penyakit, kadar CO2 meningkat
dan dorongan respirasi bergeser dari CO2 ke hipoksemia, dorongan pernapasan
juga mungkin akan hilang sehingga memicu terjadinya gagal napas.1,5
Menurut Hipotesis Elastase-Antielastase, di dalam paru terdapat
keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan antielastase untuk mencegah
terjadinya kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan antara enzim proteolitik
elastase dan antielastase akan menimbulkan kerusakan jaringan elastin paru.
Ketidakseimbangan ini dapat dipicu oleh adanya rangsangan pada paru antara lain
oleh asap rokok dan infeksi yang menyebabkan elastase bertambah banyak atau
oleh adanya defisiensi alfa-1 antitripsin.
Pada PPOK terjadi penyempitan saluran napas dan keterbatasan aliran
udara karena beberapa mekanisme inflamasi, produksi mukus yang berlebihan,
dan vasokontriksi otot polos bronkus, seperti terlihat pada gambar 1.

Gambar 1. Perbandingan saluran pernapasan pada PPOK dan normal

Mekanisme patofisiologi yang mendasari PPOK terjadi akibat peradangan


dan penyempitan saluran nafas perifer sehingga bermanifestasi sebagai penurunan
VEP1, sementara kerusakan parenkim paru pada emfisema akan menurunkan
prosestransfer gas pada paru, sehingga terjadi ketidakseimbangan ventilasi-
perfusi.1

6
Saluran napas normal akan melebar karena perlekatan alveolar selama
ekspirasi diikuti oleh proses pengosongan alveolar dan pengempisan paru.
Perlekatan alveolar pada PPOK rusak karena emfisema menyebabkan penutupan
jalan napas ketika ekspirasi dan menyebabkan air trapping pada alveoli dan
hiperinflasi. Saluran napas perifer mengalami obstruksi dan destruksi karena
proses inflamasi dan fibrosis, lumen saluran napas tertutup oleh sekresi mukus
yang terjebak akibat bersihan mukosilier kurang sempurna.

Gambar.2 Konsep patogenesis PPOK

2.5 Diagnosis
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala
ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan sampai
ditemukan kelainan yang jelas dan tanda inflasi paru. Diagnosis PPOK
dipertimbangkan bila timbul tanda dan gejala seperti berikut ini:1,3
1. Sesak. Sesak yang ditimbulkan bersifat progresif (semakin lama semakin
bertambah berat) dan biasanya bertambah berat dengan aktivitas. Sesak yang
dirasakan bersifat persisten atau menetap sepanjang hari. Biasanya pasien
merasakan susah bernapas atau terengah-engah.
2. Batuk kronik. Batuk yang dirasakan pasien biasanya hilang timbul dan bisa
berdahak ataupun tidak berdahak.
3. Batuk kronik berdahak. Setiap batuk kronik berdahak dapat mengindikasikan
PPOK.

7
4. Riwayat terpajan faktor risiko. Riwayat pajanan yang berisiko yaitu
terutama asap rokok, debu dan bahan kimia di tempat kerja, serta asap
dapur.
Diagnosis PPOK ditegakan berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang (foto toraks, spirometri, dll).PPOK klinis
didiagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks. Sedangkan
diagnosis derajat PPOK dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri.1,3
1. Anamnesis
Adanya keluhan sesak napas, sesak dengan atau tanpa bunyi mengi, batuk-
batuk kronis, sputum yang produktif, faktor risiko (+), PPOK ringan dapat
tanpa keluhan atau gejala, riwayat paparan dengan faktor risiko, riwayat
penyakit sebelumnya, riwayat keluarga PPOK, riwayat eksaserbasi dan
perawatan di RS sebelumnya, komorbiditas, dan dampak penyakit terhadap
aktivitas.

2. Pemeriksaan Fisik
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan. Adapun kelainan yang dapat
terlihat pada pasien PPOK adalah:
 Inspeksi : cara bernapas pursed-lips breathing, bentuk dada barrel-chest,
penggunaan otot bantu napas, hipertropi otot bantu napas, pelebaran sela
iga, bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di
leher dan edema tungkai, adanya penampilan pink puffer atau blue bloater.
 Palpasi : fremitus melemah dan sela iga melebar
 Perkusi : hipersonor, batas jantung mengecil, letak diagframa rendah,
hepar terdorong kebawah.
 Auskultasi : suara nafas vesikuler melemah atau normal, ekspirasi
memanjang, mengi (pada saat eksaserbasi), dan ronki.

3. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Faal Paru
Penilaian menggunakan spirometri dapat menentukan derajat obstruksi
dan merupakan parameter yang paling umum yang digunakan dalam
penilaian beratnya PPOK dan memantau perkalanan penyakit,

8
berdasarkan penilaian VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP dan Uji
bronkodilator (saat diagnosis ditegakkan): VEP1 diukur sebelum
diberikan bronkodilator dan pada pasien dengan PPOK stabil.1,2
 Laboratorium
Pemeriksaan yang dilakukan yaitu pemeriksaan darah rutin.
Peningkatan kadar Hb dan jumlah eritrosit (polisitemia sekunder) dan
defisiensi kadar alfa-1 antitripsin (kongenital).1,2
 Foto toraks
Pada emfisema akan didapatkan paru hiperinflasi atau hiperlusen,
diagframa mendatar dan letak rendah, ruang retrosternal melebar dan
jantung menggantung (jantung pendulum/eye drop appearance).
Sedangkan pada bronkitis kronis akan terlihat gambaran paru normal,
namun terlihat corakan bronkovaskular meningkat.1
 Kultur dan sensitivitas kuman
Diperlukan untuk mengetahui kuman penyebab serta resistensi kuman
terhadap antibiotik yang dipakai. Pemeriksaan ini juga diperlukan jika
tidak ada respon terhadap antobiotik yang dipakai sebagai pengobatan
pada permulaan penyakit. Infeksi saluran napas berulang merupakan
penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.1-3

9
Diagnosis PPOK

Faktor Risiko Keluhan:


1. Usia di atas 40 th 1. Sesak nafas
2. Riwayat pajanan: 2. Batuk kronik
asap rokok, polusi produksi sputum
udara, polusi tempat 3. Keterbatasan aktivitas
kerja

Pemeriksaan fisik

Curiga PPOK Pemeriksaan foto


toraks

Fasilitas Fasilitas spirometri (+)


spirometri (-)

VEP1 / KVP < 70 % Normal


Post bronkodilator

PPOK secara PPOK derajat Bukan


klinis I/II/III/IV PPOK

Gambar 3. Algoritma diagnosis PPOK menurut Perhimpunan Dokter Paru


Indonesia.2

10
2.6 Diagnosis banding
Tabel.1 PPOK dan diagnosis banding1-3
Diagnosis Gambaran klinis
PPOK 1. Onset pada usia pertengahan
2. Gejala semakin progresif
3. Terdapat riwayat merokok atau terpajan oleh
polusi yang berbahaya.
Asma 1. Onset pada awal usia dini
2. Gejala bervariasi dari hari ke hari
3. Gejala memburuk pada malam atu dini hari
4. Riwayat alergi, rhinitis, atau eksim
5. Riwayat keluarga asma
Gagal jantung 1. Ronki halus di basal paru
kongesti 2. Foto thorak memperlihatkan pembesaran
jantung, edema paru
3. Riwayat hipertensi
4. Pemeriksaan faal paru: indikasi restriksi volume
Bronkiektasis 1. Sputum purulen dalam jumlah yang banyak
2. Sering berhubungan dengan infeksi bakteri
3. Foto thoraks: dilatasi bronkus dan penebalan
dinding bronkus
Tuberkulosis 1. Onset semua usia
2. Gambaran thoraks : infiltrasi paru
3. Konfirmasi mikrobiologi (BTA +)
4. Lokasi prevalensi TB tinggi
Panbronkiolitis 1. Dominan pada keturunan etnis asia
difuse 2. Umumnya laki-laki, riwayat sinusitis kronis

Penyakit lain yang bisa menjadi diagnosis banding PPOK antara lain 1-3
1. SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberkulosis) adalah penyakit obstruksi
saluran nafas yang ditemukan pada pasien pasca tuberkulosis dengan lesi
paru minimal.
2. Pneumothoraks dimana keadaan cembung ditempat kelainan, perkusi
hipersonor, auskultasi saluran nafas melemah.
3. Penyakit paru dengan obstruksi saluran nafas lain misalnya destroyed
lung.

11
2.7 Penatalaksanaan PPOK
Tujuan penatalaksanaan PPOK mencakup beberapa komponen yaitu
mengurangi gejala, mencegah progresifitas penyakit, meningkatkan toleransi
latihan, meningkatkan status kesehatan, mencegah dan menangani komplikasi,
mencegah dan menangani eksaserbasi serta menurunkan angka kematian. Adapun
penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi: edukasi, berhenti merokok, terapi
farmakologi, rehabilitasi, terapi oksigen, ventilasi mekanik dan terapi nutrisi.2

2.7.1 Terapi PPOK Stabil


Penatalaksanaan PPOK stabil dilaksanakan di poliklinik sebagai evaluasi
berkala atau di rumah untuk mempertahankan PPOK yang stabil dan mencegah
eksasebasi.1-3
a. Terapi Non- Farmakologis:
1. Motivasi dan pendidikan meliputi :
- Usaha mengurangi faktor risiko (polusi, debu)
- Edukasi-motivasi berhenti merokok
- Farmakoterapi stop merokok
2. Rehabilitasi : latihan fisik, latihan endurance, latihan pernafasan,
rehabilitasi psikososial
3. Terapi oksigen
Pada PPOK derajat sedang oksigen hanya digunakan bila timbul sesak
yang disebabkan pertambahan aktivitas. Pada PPOK derajat berat yang
mengggunakan terapi oksigen di rumah pada waktu aktivitas atau terus
menerus selama 15 jam terutama pada waktu tidur. Dosis oksigen tidak
lebih dari 2L/menit
b. Terapi farmakologis:1,3
1. Bronkodilator
- Diutamakan secara inhalasi, nebulizer tidak dianjurkan pada penggunaan
jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas
lambat atau obat berefek panjang (long acting).
- 3 golongan :
1. Agonis ß-2 : fenopterol, salbutamol, albuterol, terbutalin, formoterol,
salmeterol. . Bentuk inhaler digunakan untuk menatasi sesak, peningkatan

12
jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai
obat pemeliharaan digunakan bentuk tablet yang berefek panjang.
2. Antikolinergik : ipratropium bromide, oksitroprium bromide. Digunakan
pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga
dapat mengurangi sekresi lender
3. Metilxantin : teofilin lepas lambat, bila kombinasi ß-2 dan steroid belum
memuaskan. Dianjurkan bronkodilator kombinasi daripada meningkatkan
dosis bronkodilator monoterapi.

2.7.2 Terapi PPOK Eksaserbasi Akut


Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan
dengan kondisi sebelumnya yang mengakibatkan perubahan terapi.Eksaserbasi
dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya seperti polusi udara, kelelahan atau
timbulnya komplikasi.
Pasien yang memiliki eksaserbasi akut akan mengalami gejala seperti: 1,5
1. Sesak nafas yang semakin bertambah
2. Produksi sputum meningkat
3. Perubahan warna sputum(sputum menjadi purulen)
Adapun klasifikasi PPOK eksaserbasi dibagi menjadi tiga, antara lain :1,5
1. Ringan (memiliki 1 gejala diatas ditambah dengan infeksi saluran nafas
atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk,
peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernafasan > 20% nilai
dasar, atau frekuensi nadi > 20% nilai dasar); terapi hanya menggunakan
SABDs (short-acting bronchodilators).
2. Sedang (hanya memiliki 2 gejala diatas) ; terapi dengan menggunakan
SABDs ditambah dengan antibiotik dan atau kortikosteroid oral.
3. Berat (terdapat peningkatan gejala sesak nafas, peningkatan produksi
sputum, dan peningkatan purulensi sputum) pasien membutuhkan
perawatan rumah sakit atau perawatan emergensi. Eksaserbasi berat juga
dapat berhubungan dengan gagal nafas akut.

Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut di rumah : bronkodilator seperti


pada PPOK stabil, dosis 4-6 kali 2-4 hirup sehari. Steroid oral dapat diberikan

13
selama 10-14 hari. Bila infeksi dapat diberikan antibiotik spektrum luas (termasuk
S. pneumonia, H. influenzae, M. catarrhalis).1,5
Terapi eksaserbasi akut di rumah sakit:6
1. Terapi oksigen terkontrol, melalui kanul nasal atau venturi mask.
2. Bronkodilator : inhalasi agonis ß2 (dosis dan frekuensi ditingkatkan) +
antikolinergik
3. Pada eksaserbasi akut berat + aminofilin (0,5mg/ kgbb/jam). Aminofilin
bolus 5 mg/kgBB (dengan pengenceran) harus perlahan (10 menit) untuk
menghindari efek samping. Lalu lanjutkan perdrip 0,5-0,8 mg/kgBB/jam.
Pemberian aminofilin drip dan terbutalin dapat bersama-sama dalam 1
botol cairan perinfus. Cairan infus yang digunakan adalah dektrose 5%,
NaCl 0,9% atau ringer laktat.
4. Steroid : prednisolon 30-40mg PO selama 10-14 hari
5. Steroid intravena : pada keadaan berat.

Gambar 4. Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut di rumah dan pelayanan


kesehatan primer/puskesmas2,4

Indikasi rawat inap pada PPOK:2


a. Eksaserbasi sedang-berat
b. Terdapat komplikasi
c. Infeksi saluran nafas berat
d. Gagal nafas akut pada gagal nafas kronik

14
e. Gagal jantung kanan

Berhenti merokok adalah satu-satunya usaha intervensi yang paling efektif


dalam memperlambat progresifitas penyakit dan mengurangi risiko
berkembangnya PPOK.1 Adapun strategi untuk membantu pasien bisa berhenti
merokok meliputi 5A:1
a. Ask (tanyakan) yaitu mengidentifikasi semua perokok pada setiap
kunjungan.
b. Advise (nasihati) yaitu memberikan dorongan kuat pada semua perokok
untuk berhenti merokok.
c. Assess (nilai) yaitu keinginan untuk berusaha berhenti merokok (misal:
dalam 30 hari ke depan).
d. Assist (bimbing) yaitu bantu pasien dengan rencana berhenti merokok,
menyediakan konseling praktis, serta merekomendasikan penggunaan
farmakoterapi.
e. Arrange (atur) yaitu buat kontak lebih lanjut

2.8 Prognosis
Prognosis PPOK sangat ditentukan oleh derajat obstruksi saluran
nafas.Prognosis yang buruk ditentukan oleh dua indikator utama, yaitu derajat
obstruksi dan adanya kor pulmonal. Obstruksi yang makin berat akan
memperburuk prognosis PPOK. Bila PPOK terdeteksi sejak awal, dengan
penghentian merokok akan dapat mengurangi laju perkembangan PPOK.8

2.9 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah :2,9
1. Gagal napas
a. Gagal napas kronik
Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan pH
normal, penatalaksanaan :
- Jaga keseimbangan Po2 dan PCo2
- Bronkodilator adekuat
- Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur
- Antioksidan

15
- Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing
b. Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh:
- Sesak napas dengan atau tanpa sianosis
- Sputum bertambah dan purulen
- Demam
- Kesadaran menurun

2. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk
koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi
kronik ini imuniti menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar
limposit darah.

3. Kor pulmonal
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal
jantung kanan.

2.10 Pencegahan
Dalam usaha pencegahan terjadinya PPOK selain perlu diadakan program
promosi kesehatan nasional tentang gaya hidup sehat ada beberapa hal yang perlu
dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit ini yaitu:1,8
1. Berhenti merokok, sehingga dapat memperlambat proses perburukan
penyakit, mencegah komplikasi, dan memperpanjang harapan hidup.
2. Latihan pernapasan (purse-lip breathing dan diaphragmatic breathing).
3. Perkusi dada, berfungsi untuk membantu mengeluarkan dahak yang
berlebihan dari paru.
4. Olahraga, pilihlah olahraga yang sanggup dilakukan oleh pasien misalnya
berjalan, bersepeda, berenang dan sebagainya.
5. Mempertahankan berat badan ideal.
6. Minum banyak air sehingga dapat membantu mengencerkan dahak.
7. Konsumsi cukup protein, buah dan sayuran.

16
BAB III
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
Nama : Tn. T
Umur : 70 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Tanggal masuk RS : 08 Agustus 2017
Tanggal pemeriksaan : 08 Agustus 2017

ANAMNESIS
Keluhan utama
Sesak napas sejak 5 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang


5 hari SMRS, pasien mengeluhkan sesak napas. Sesak dirasakan terus
menerus, dan tidak disertai bunyi “ngik”. Sesak tidak dipengaruhi oleh emosi,
cuaca, dan perubahan posisi. Sesak napas dirasakan bertambah saat melakukan
aktivitas yang berat. Dada terasa berat saat bernafas. Pasien juga mengeluhkan
batuk,batuk berdahak, dahak berwarna hijau, tidak disertai darah. Pasien tidak
pernah terbangun pada malam hari karena sesak atau batuk. Sejak 2 tahun yll
pasien sering mengeluhkan sesak napas dan batuk berdahak yang hilang timbul,
sesak napas terutama dirasakan saat melakukan aktivitas yang berat.
2 hari SMRS, pasien mengeluhkan demam, demam dirasakan hilang
timbul. Nyeri dada (-), nyeri ulu hati (+), keringat pada malam hari (-), mual (+),
muntah (-), penurunan nafsu makan (+), penurunan berat badan (-). BAB dan
BAK tidak ada keluhan.
Pasien sudah berobat ke puskesmas dengan keluhan tersebut, pasien diberi
obat ambroxol, tetapi keluhan tidak berkurang, sehingga pasien datang ke RSUD
Arifin Achmad.

17
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat Asma (-)
- Riwayat Hipertensi (+) ± 4 tahun
- Riwayat Diabetes mellitus (-)
- Riwayat minum obat 6 bulan (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :


- Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama
- Riwayat asma dan alergi (-)
- Riwayat hipertensi (-)
- Riwayat diabetes mellitus (-)

Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi dan Kebiasaan:


- Pasien seorang pensiunan pegawai negeri, sekarang pasien bekerja sebagai
pedagang.
- Kebiasaan merokok (+) ± 48 tahun, 2 bungkus perhari.
Indeks Brinkman = 48 tahun x 24 batang = 1.152 (perokok berat).
- Riwayat konsumsi alkohol (-).

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Tampak sakit sedang TB : 160 cm
Kesadaran : Komposmentis kooperatif BB : 50 kg
Tekanan darah : 120/80 mmHg BMI : 19,53(normoweight)
Nadi : 78 x/menit
Pernapasan : 30 kali/menit
Suhu : 36,5° C
SpO2 : 98%

Kepala dan leher:


Konjungtiva : Konjungtiva anemis (-/-)
Sklera : Ikterik (-/-)
Pupil : Bulat, isokor diameter 2mm/2mm, refleks cahaya +/+
Hidung : Nafas cuping hidung (-)
Mulut :Pursed-lip breathing (-), sianosis (-)

18
Leher :Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-), JVP
5+1 cmH2O

Paru :
Inspeksi : Barrel chest (-), otot bantu napas (+), pergerakan dinding dada
simetris kiri dan kanan
Palpasi : Vokal fremitus normal simetris kiri dan kanan
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru.
Auskultasi : Vesikuler (+/+), Ronki (-/-), Wheezing (+/+),
ekspirasi memanjang.

Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIK V linea axillaris anterior sinistra
Perkusi : Batas kiri jantung:SIK V linea midclavikula sinistra
Batas kanan jantung: Linea parasternal dekstra
Auskultasi : Bunyi S1 dan S2 normal reguler, Murmur (-), Gallop (-)

Abdomen :
Inspeksi : Datar, venektasi (-), scar (-)
Auskultasi : BU (+) normal 10x/menit
Palpasi : Supel pada seluruh lapangan abdomen, nyeri tekan (-),
hepatomegali (-) splenomegali (-)
Perkusi : Timpani pada seluruh lapangan abdomen

Ekstremitas :
Akral hangat, clubbing finger (-), CRT < 2 detik, edema (-)

19
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah rutin (08 Januari 2018) Kimia Darah ( 08januari 2018)
Hb : 12,8 g/dL Ureum : 60 mg/dL
Leukosit : 10.360 /uL Kreatinin : 1.74 mg/dL
HCT : 39,8 % Glukosa : 133 mg/dL
PLT : 181.000 uL SGOT : 19 u/L
SGPT : 19 u/L

Pemeriksaan Elektrolit (08 Januari2018)


Na+ : 134 mmol/L
K+ : 4,1 mmol/L
Cl : 99 mmol/L

Foto Toraks (08 Agustus 2017)

20
Hasil rontgen toraks didapatkan :
 Identitas sesuai
 Foto PA
 Marker R
 Kekerasan cukup
 Simetris kiri dan kanan
 Trakea berada di tengah
 Tulang dan jaringan lunak baik
 Sudut kostofrenikus kanan dan kiri lancip
 Diafragma kanan mendatar
 Sela iga kiri menyempit, sela iga kanan melebar
 CTR < 50%
 Terdapat corakan bronkovaskular, infiltrat (+)

RESUME :
- Sesak napas (+)
- Batuk (+) berdahak
- Mual (+)
- Riwayat merokok (+)
- Frekuensi nafas 30 x/i
- Wheezing (+)
- Ekspirasi memanjang
- Foto toraks : pelebaran sela iga kanan, pendataran diafragma kanan.

DIAGNOSIS
- PPOK Eksaserbasi
- Hipertensi
- AKI DD akut on CKD

RENCANA PEMERIKSAAN
1. Spirometri
2. Kultur sputum
Spirometri (10 Januari 2018)

21
FEV 1 : 65 %
FVC : 78 %
FEV 1 / FVC : 56%
Kesan : Obstruksi sedang, retriksi ringan

RENCANA PENATALAKSANAAN
Non Farmakologi
 O2 nasal kanul 4 L/menit
 IVFD Ringer Lactat 12 tpm
 Istirahat (bed rest)

Farmakologi
 IVFD dextrose 5% + aminophyline 1 amp / 12 jam
 Nebu Combivent + Pulmicort/8 jam
 Inj. Ceftizoxim 2 x 1 gr
 Ambroxol tab 3x30 mg
 Inj. Ranitidin 2 x 50 mg

22
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Dasar diagnosis klinis


Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala ringan
hingga berat. Pada pemeriksaan fisik pun mulai dari tidak ada kelainan sampai
ditemukan kelainan yang jelas dan tanda inflamasi paru.
Berdasarkan teori, untuk menegakkan diagnosis PPOK pada anamesis perlu
ditanyakan riwayat merokok, riwayat terpajan zat – zat iritan, terdapatnya faktor
presdiposisi seperti infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok serta
polusi udara, batuk berulang dengan atau tanpa dahak, sesak atau tanpa bunyi
mengi. Pemeriksaan fisis yang ditemukan dari inspeksi adalah pursed lips
brething, barrel chest, penggunaan otot bantu napas, pelebaran sela iga, bila
terjadi gejala gagal jantung kanan dapat terlihat denyut vena jugularis di leher dan
edema pada tungkai. Palpasi pada emfisema vokal fremitus melemah, sela iga
melebar. Perkusi pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, hepar
terdorong kebawah. Dan pada auskultasi suara napas vesikuler normal atau
melemah, terdapat juga ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa, ekspirasi memanjang dan bunyi jantung terdengar jauh.
PPOK pada pasien ini ditegakkan dari anamesis, pemeriksaan fisis dan
pemeriksaan penunjang. Anamnesis pada pasien ini didapatkan adanya keluhan
sesak napas, sesak napas dirasakan bertambah saat pasien beraktivitas, dan juga
disertai adanya keluhan batuk, batuk dengan dahak yang produktif, dan dada
terasa berat saat bernafas. Pasien sudah mengeluhkan sesak napas yang hilang
timbul sejak 2 tahun terakhir, yang bersifat hilang timbul. Riwayat merokok aktif
juga ditemui pada pasien, pasien merupakan perokok aktif, pasien sudah merokok
kurang lebih selama 48 tahun, dalam 1 hari pasien merokok 2 bungkus.
Pemeriksaan fisis, inspeksi pemeriksaan toraks ditemukan adanya penggunaan
otot bantu napas yakni retraksi sela iga. Auskultasi ditemukan wheezing, serta
ekspirasi yang memanjang. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis
dipikirkan adanya kelainan pada organ paru.
PPOK eksaserbasi ditegakkan pada pasien ini karena didapati kehulan sesak
yang bertambah, batuk berdahak, sputum menjadi purulent. Pemeriksaan radiologi

23
pada pasien ini ditemukan sela iga kanan melebar, serta diafragma kanan
mendatar, hal ini mendukung diagnosis PPOK.

4.2 Faktor risiko


Faktor risiko PPOK diantaranya adalah usia > 45 tahun, kebiasaan merokok,
riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja, hipereaktiviti
bronkus, riwayat infeksi saluran nafas bawah berulang dan defisiensi alfa-1
(jarang). Faktor risiko yang ditemukan pada pasien ini yaitu pasien merupakan
perokok aktif dengan indeks Brinkman 1.152 (perokok berat), usia diatas 45
tahun, dan pasien sering mengeluhkan batuk brulang sejak 2 tahun terakhir.
Merokok merupakan faktor risiko yang dapat menyebabkan suatu proses
hipertrofi kelenjar mukus bronkial dan meningkatkan produksi mukus sehingga
menyebabkan batuk produktif. Faktor risiko lainnya seperti pajanan zat di tempat
kerja, genetik, asma, dan infeksi paru berulang disangkal oleh pasien.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initiative for Chronic Lung Disease (GOLD). Pocket guide for the
diagnosis, management and prevention of chronic obstructive pulmonary
disease- A Guide for Health Care Professionals.National Institutes of Health.
National heart, Lung and blood Institute. Update 2017.
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). PPOK; Diagnosis dan
penatalaksanaan. Jakarta. Ed 2016.
3. Global Initiative for Chronic Lung Disease (GOLD). Global Strategy for the
diagnosis, management and prevention of chronic obstructive pulmonary
disease. National Institutes of Health. National heart, Lung and blood Institute.
Update 2017.
4. Barness PJ, Celli BR. Systemic manifestations and comorbidities of COPD. Eur
Respir J 2012, 33: 1165-85.
5. Arto Y, Hendarsyah S. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Divisi Respirologi dan
Kritis Respirasi Departemen Ilmu Penyakit Dalam RS Dr Hasan Sadikin – FK
Unpad. 2015.
6. Alsagaff H, dkk. Buku ajar ilmu penyakit paru. Surabaya: Graha Masyarakata
Ilmiah Kedokteran Universitas Airlangga; 2011.
7. Rani AZ, Soegondo S, Nasir AUZ. Panduan pelayanan medik. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2010; 105-7.
8. Indonesia KKR. Riset kesehatan dasar 2013. Ed. 2013.

25

Anda mungkin juga menyukai