Anda di halaman 1dari 17

MACAM MACAM PAJAK PENGHASILAN (PPh)

PPh Pasal 21
PPh 21 menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2015 adalah pajak atas
penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam
bentuk apapun yang sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan
oleh orang pribadi subyek pajak dalam negeri. Setelah mengetahui apa itu PPh 21, lalu pekerjaan apa
sajakah sebenarnya yang dikenai wajib pajak PPh 21? Mari kita simak daftar pekerjaan yang dikenai
wajib pajak PPh 21 di bawah ini.
Wajib Pajak PPh 21
Peserta wajib pajak PPh 21 ialah orang yang dikenai pajak atas penghasilannya atau penerima
penghasilan yang dipotong PPh21 berdasarkan peraturan Direktur Jenderal Pajak PER-32/PJ/2015
Pasal 3 wajib pajak PPh 21. Jika disimpulkan peserta wajib pajak terbagi menjadi 6 kategori, antara
lain pegawai, bukan pegawai, penerima pensiun dan pesangon, anggota dewan komisaris, mantan
pegawai dan peserta kegiatan. Secara lebih rinci peserta wajib pajak adalah sebagai berikut:
a. Pegawai;
b. Penerima uang pesangon, pensiun, atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan
hari tua, termasuk ahli warisnya juga merupapakan wajib pajak PPh 21
c. Wajib pajak PPh 21 kategori bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan
sehubungan dengan pemberian jasa, meliputi:
- Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek,
dokter, konsultan, notaris, penilai dan aktuaris;
- Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang
iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari,
pemahat, pelukis dan seniman lainnya;
- Olahragawan;
- Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
- Pengarang, peneliti, dan penerjemah;
- Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya,
telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu
kepanitiaan;
- Agen iklan;
- Pengawas atau pengelola proyek;
- Pembawa pesanan atau menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
- Petugas penjaja barang dagangan;
- Petugas dinas luar asuransi; dan/atau
- Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya.
d. Anggota dewan komisaris atau dewan pengawas tidak merangkap sebagai Pegawai Tetap pada
perusahaan yang sama juga merupakan wajib pajak PPh Pasal 21;
e. Mantan pegawai; dan/atau
f. Wajib pajak PPh Pasal 21 kategori peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh
penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain:
- Peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olah raga, seni, ketangkasan,
ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya;
- Peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja;
- Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu;
- Peserta pendidikan dan pelatihan; atau
- Peserta kegiatan lainnya.
Nah itulah daftar peserta wajib pajak PPh 21, selanjutnya yang harus kita ketahui adalah apa dasar-
dasar pengenaan pajak PPh 21 sebelum nantinya kita mengetahui tarif pajak PPh 21.
Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
Apa itu Dasar Pengenaan Pajak? Dasar Pengenaan Pajak (DPP) adalah dasar pengenaan pajak yang
diperoleh dari penghasilan kena pajak dari wajib pajak penerima penghasilan. Apa saja DPP bagi para
peserta wajib pajak PPh 21? Berikut Dasar Pengenaan Pajak berdasarkan Direktur Jenderal Pajak PER-
32/PJ/2015:
1. Penghasilan kena pajak yang berlaku bagi:
- Pegawai tetap
- Penerima pensiun berkala
- Pegawai tidak tetap yang penghasilannya dibayar secara bulanan atau jumlah kumulatif
penghasilan yang diterima dalam 1 bulan kalender telah melebihi Rp 3.000.000,-
- Bukan pegawai yang menerima imbalan bersifat berkesinambungan
2. Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk jumlah penghasilan yang melebihi Rp300.000,- sehari,
yang berlaku bagi pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang menerima upah harian, upah
mingguan, upah satuan atau upah borongan, sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima
dalam 1 bulan kalender telah melebihi Rp3.000.000,-.
3. Dasar Pengenaan Pajak (DPP) 50% dari jumlah penghasilan bruto yang berlaku bagi bukan
pegawai sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-32/PJ/2015
Pasal 3 huruf c yang menerima imbalan yang tidak bersifat berkesinambungan.
4. Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk jumlah penghasilan bruto yang berlaku bagi penerima
penghasilan selain penerima penghasilan di atas.
5. Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dan Pemotongan PPh Pasal 26 adalah jumlah penghasilan bruto.
Tarif PPh 21
Setelah memahami bagaimana Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang dijelaskan di atas, maka
mengetahui berapa pajak PPh 21 yang harus dibayarkan oleh peserta wajib pajak adalah hal yang
penting. Peserta wajib pajak yang dimaksudkan di sini adalah para peserta wajib pajak yang memiliki
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Tarif PPh 21 dipotong dari jumlah Penghasilan Kena Pajak yang
dibulatkan ke bawah ke ribuan penuh.Berikut akan ditampilkan penghasilan dan persentase tarif pajak
PPh 21 berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-
32/PJ/2015:
1. Wajib Pajak dengan penghasilan tahunan sampai dengan Rp50.000.000,- adalah 5%
2. Wajib Pajak dengan penghasilan tahunan di atas Rp50.000.000,- sampai dengan
Rp250.000.000,- adalah 15%
3. Wajib Pajak dengan penghasilan tahunan di atas Rp250.000.000,- sampai dengan
Rp500.000.000,- adalah 25%
4. Wajib Pajak dengan penghasilan tahunan di atas Rp500.000.000,- adalah 30%
5. Untuk Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP, dikenai tarif 20% lebih tinggi dari mereka yang
memiliki NPWP.
Namun adapun peraturan tarif PPh 21 bagi penerima penghasilan yang tidak memiliki NPWP adalah
sebagai berikut:
1. Bagi penerima penghasilan yang tidak memiliki NPWP, dikenakan pemotongan PPh Pasal 21
dengan tarif lebih tinggi 20% daripada tarif yang diterapkan terhadap wajib pajak yang
memiliki NPWP.
2. Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) adalah
sebesar 120% dari jumlah PPh Pasal 21 yang seharusnya dipotong dalam hal yang
bersangkutan memiliki NPWP.
3. Pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk
pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final.
4. Dalam hal pegawai tetap atau penerima pensiun berkala sebagai penerima penghasilan yang
telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dalam tahun
kalender yang bersangkutan paling lama sebelum pemotongan PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak
Desember, PPh Pasal 21 yang telah dipotong atas selisih pengenaan tarif sebesar 20% (dua
puluh persen) lebih tinggi tersebut diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk
bulan-bulan selanjutnya setelah memiliki NPWP.
Tarif Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Adapun tarif PTKP dengan perhitungan PPh 21 dalam satu tahun berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan No. 122/PMK010/2015 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2015
yakni sebagai berikut:
1. Rp36.000.000,- untuk diri Wajib Pajak orang pribadi dan istri yang penghasilannya digabung
dengan penghasilan suami.
2. Rp3.000.000,- tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
3. Rp3.000.000,- tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam
garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3
orang untuk setiap keluarga.
Peraturan di atas merupakan peraturan yang baru, walaupun peraturan itu baru dikeluarkan tanggal 29
Juni 2015, namun pemberlakukan peraturan tersebut dimulai sejak tahun pajak 2015, sehingga
konsekuensi yang ditimbulkan sebagai berikut:
1. Perhitungan PPh Pasal 21 terutang untuk Masa Pajak Juli s.d Desember 2015 dihitung dengan
menggunakan PTKP terbaru.
2. PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak Januari s.d Juni 2015 yang telah dihitung, disetor dan
dilaporkan dengan menggunakan PTKP lama dilakukan pembetulan dengan menggunakan
PTKP terbaru.
Kelebihan setor akibat pembetulan perhitungan PPh Pasal 21 Masa Pajak Januari s.d Juni 2015
dikompensasikan terhadap PPh Pasal 21 Masa Pajak Juli s.d Desember 2015.
Sementara itu, perhitungan tarif PTKP pegawai seperti yang diatur dalam Peraturan DJP PER-
32/PJ/2015 adalah sebagai berikut:
1. Tarif PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun kalender.
2. Kecuali, untuk pegawai yang baru datang dan menetap di Indonesia dalam bagian tahun
kalender, ditentukan berdasarkan keadaan pada awal bulan dari bagian tahun kalender yang
bersangkutan.
Lalu berapakah tarif baru PTKP dengan perhitungan pajak PPh 21 yang terbaru? Berikut tarif baru
PTKP berdasarkan Pasal 10 ayat (2) huruf c:
1. Rp3.000.000,- untuk diri wajib pajak orang pribadi;
2. Rp250.000,- tambahan untuk wajib pajak yang kawin, dan;
3. Rp250.000,- tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam
garis keturunan lurus atau anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3
untuk setiap keluarga.
Selain itu, bagi karyawan dan karyawati menurut peraturan PTKP yang terbaru, maka berlaku
ketentuan sebagai berikut:
1. Bagi karyawati kawin, tarif PTKP terbaru adalah sebesar PTKP untuk dirinya sendiri;
2. Bagi karyawati tidak kawin, tarif PTKP terbaru adalah sebesar PTKP untuk dirinya sendiri
ditambah PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
3. Bagi karyawati kawin yang suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan dan
menunjukan keterangan tertulis dari pemerintah daerah (kecamatan), maka tarif PTKP terbaru
adalah PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP untuk status kawin dan PTKP untuk
keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
Adapun ketentuan PTKP bagi PTKP Tidak Tetap atau Tenaga kerja lepas yang tidak dibayar secara
bulanan atau pun penghasilan kumulatif selama satu bulan tidak melebih Rp3.000.000,00 (tiga juta
rupiah), sesuai dengan pemberlakuan peraturan PTKP yang baru, maka ketentuannya sebagai berikut:
1. Tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, jika penghasilan sehari belum melebihi
Rp300.000,-
2. Dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, jika penghasilan sehari sebesar atau melebihi
Rp300.000,- tersebut merupakan jumlah yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto;
3. Bila pegawai tidak tetap memperoleh penghasilan kumulatif dalam 1 (satu) bulan kalender
melebihi Rp 3.000.000,- maka jumlah tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto;
4. Rata-rata penghasilan sehari adalah rata-rata upah mingguan, upah satuan, atau upah borongan
untuk setiap hari kerja yang digunakan.
5. PTKP sebenarnya adalah sebesar PTKP untuk jumlah hari kerja yang sebenarnya.
6. PTKP sehari sebagai dasar untuk menetapkan PTKP yang sebenarnya adalah sebesar PTKP per
tahun Rp 36.000.000,- dibagi 360 hari.
7. Bila pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas tersebut mengikuti program jaminan atau
tunjangan hari tua, maka iuran yang dibayar sendiri dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Selanjutnya, adapun peraturan bagi pegawai harian maupun tidak tetap lainnya yang diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 152/ PMK.010/2015 tentang Penetapan Bagian Penghasilan
Sehubungan dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya
yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan, maka ketentuannya adalah sebagai berikut:
1. Penghasilan yang kurang dari Rp300.000,- per hari tidak dikenakan pemotongan pajak
penghasilan.
2. Ketentuan penghasilan tidak kena pajak itu tidak berlaku dalam hal:
- Penghasilan bruto dimaksud jumlahnya melebihi Rp3.000.000,- sebulan; atau
- Penghasilan dimaksud dibayar secara bulanan
3. Ketentuan pada pasal 1 dan 2 tersebut tidak berlaku atas:
- Penghasilan berupa honorarium
- Komisi yang dibayarkan kepada penjaja barang dan petugas dinas luar asuransi.
PPh 21 Bukan Pegawai
Siapa yang dimaksud dengan bukan pegawai? Ya, disini yang dimaksud bukan pegawai adalah orang
pribadi selain pegawai tetap dan pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas yang memperoleh penghasilan
dengan nama dan dalam bentuk apapun dari Pemotong PPh Pasal 21 sebagai imbalan jasa yang
dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan. Lalu bagaimanakah
peraturan mengenai PPh 21 untuk bukan pegawai? Berikut adalah pertaturan PPh 21 bagi bukan
pegawai:
1. Penghasilan kena pajak atau perhitungan PPh 21 bukan pegawai adalah sebesar 50% dari
jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan.
2. Bila bukan pegawai tersebut memberikan jasa kepada pemotong PPh Pasal 21, maka:
- Bila pemotong PPh Pasal 21 mempekerjakan orang lain sebagai pegawainya, maka besarnya
jumlah penghasilan bruto adalah sebesar jumlah pembayaran setelah dikurangi dengan
bagian gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut, kecuali apabila dalam
kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan dengan bagian gaji atau upah pegawai tersebut
maka besar penghasilan bruto adalah sebesar jumlah yang dibayarkan;
- Bila ia hanya melakukan penyerahan material atau barang, maka besarnya jumlah
penghasilan bruto hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam
kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material atau barang
maka besarnya penghasilan bruto tersebut termasuk pemberian jasa dan material atau
barang.
Lalu mungkin Anda juga bertanya-tanya, berapakah tarif pajak PPh21 bagi bukan pegawai? Berikut
adalah ketentuan tarif pajak PPh 21 yang diperuntukkan bagi bukan pegawai:
1. Tarif PPh 21 Bukan Pegawai berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak
Penghasilan diterapkan atas jumlah kumulatif dari:
- Penghasilan Kena Pajak (PKP) sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan
bruto dikurangi PTKP per bulan, yang diterima atau diperoleh bukan pegawai yang
memenuhi ketentuan pengurangan PPh 21 di atas.
- 50% dari jumlah penghasilan bruto untuk setiap pembayaran imbalan kepada bukan pegawai
yang bersifat kesinambungan yang tidak memenuhi ketentuan pengurangan PPh 21 di atas.
- Jumlah penghasilan bruto berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur yang
diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak
merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama.
- Jumlah penghasilan bruto berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus atau imbalan lain
yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan pegawai; atau
- Jumlah penghasilan bruto berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang
masih berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan.
2. Tarif PPh 21 bukan pegawai berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak
Penghasilan diterapkan atas:
- 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto untuk setiap pembayaran imbalan
kepada bukan pegawai yang tidak bersifat berkesinambungan; dan
- Jumlah penghasilan bruto untuk setiap kali pembayaran yang bersifat utuh dan tidak
dipecah, yang diterima oleh peserta kegiatan.
Selain adanya peraturan pajak PPh 21 bagi bukan pegawai, ada pula aturan untuk pengurangan pajak
PPh 21 bagi bukan pegawai. Ketentuan pengurangan pajak PPh 21 bagi bukan pegawai adalah sebagai
berikut:
1. Bukan pegawai dapat memperoleh pengurangan berupa PTKP sepanjang yang bersangkutan
telah mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan hanya memperoleh penghasilan dari
hubungan kerja dengan satu pemotong PPh pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 serta memperoleh
penghasilan lainnya.
2. Untung dapat memperoleh pengurangan berupa PTKP tersebut, penerima penghasilan bukan
pegawai harus menyerahkan fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak, dan bagi wanita kawin
harus menyerahkan fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak suami serta fotokopi surat nikah
dan kartu keluarga.
PPh 21 Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas
Sebelumnya telah dijelaskan peraturan PPh 21 bagi bukan pegawai, kali ini akan dibahas mengenai
peraturan PPh 21 bagi pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas. Tapi apa yang dimaksud dengan
Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas? Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas adalah
pegawai yang hanya menerima penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja, berdasarkan
jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan, atau penyelesaian suatu jenis
pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja. Di atas telah dijelaskan peraturan PTKP dengan
perhitungan pajak PPh 21 bagi pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas. Lalu bagaimanakah
peraturan Penghasilan Kena Pajak (PKP) dengan perhitungan pajak PPh 21 bagi pegawai tidak tetap
atau tenaga kerja lepas? Secara garis besar pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang
penghasilannya kurang dari Rp300.000,- tidak akan dilakukan pemotongan penghasilan. Secara lebih
rinci ketentuannya adalah sebagai berikut:
1. Tarif PPh 21 pegawai tidak tetap / tenaga kerja lepas atas penghasilan berupa upah harian, upah
mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian, sepanjang penghasilan tidak
dibayarkan secara bulanan, tarif lapisan pertama Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Pajak Penghasilan diterapkan atas:
- Jumlah penghasilan bruto sehari yang melebihi Rp 300.000,- atau
- Jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP yang sebenarnya, dalam hal jumlah penghasilan
kumulatif dalam 1 bulan kalender telah melebihi Rp3.000.000,-.
2. Perhitungan PPh 21 pegawai tidak tetap / tenaga kerja lepas dengan jumlah penghasilan
kumulatif dalam satu bulan kalender telah melebihi Rp8.200.000,-, PPh Pasal 21 dihitung
dengan menerapkan Pasal 17 ayat 1 huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah
Penghasilan Kena Pajak yang disetahunkan.
PPh Pasal 22
Berdasarkan Undang-Undang, PPh tak hanya Pph Pasal 22 saja, tetapi juga ada PPh 21 dan Pph 23.
PPh Pasal 22 dikenakan kepada badan-badan usaha tertentu, baik milik Pemerintah maupun swasta,
yang melakukan kegiatan perdagangan ekspor, impor, dan re-impor.
Bedanya dengan PPh lain, objek pajak pada PPh 22 sangat bervariasi, termasuk juga dengan objek
kena pajaknya yang beragam. Sementara untuk PPh Pasal 21, yang menjadi objek pajaknya adalah
gaji, honorarium, upah, ataupun tunjangan dan penerimaan apa pun yang terkait dengan jabatan atau
pemberian jasa. Sementara pada PPh Pasal 23, objek pajaknya adalah modal, penyerahan jasa, atau
hadiah dan penghargaan selain yang terkena potongan PPh Pasal 21.
Subjek Pajak, Objek Pajak, dan Pemungut PPh Pasal 22
Landasan hukum PPh Pasal 22 adalah UU No. 36 Tahun 2008. Undang-undang menyebutkan objek
pajak PPh Pasal 22 adalah barang yang dianggap “menguntungkan”. Menguntungkan di sini
maksudnya adalah baik penjual maupun pembeli sama-sama bisa mengambil keuntungan dari transaksi
perdagangan tersebut. Secara spesifik, subjek pajak PPh Pasal 22 meliputi Badan Usaha (industri
semen, kertas, baja, otomotif, dan farmasi), Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), produsen atau
importir bahan bakar minyak, badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri baja, dan
pedagang pengumpul (pengumpul hasil hutan, perkebunan, pertanian, dsb).
Selain itu, penjualan barang mewah, seperti pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari
Rp20.000.000.000, penjualan kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari
Rp10.000.000.000, dan penjualan rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya
lebih dari Rp10.000.000.000, juga dikenakan PPh Pasal 22 ini.
Yang berwenang menjadi pemungut PPh Pasal 22 adalah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC)
dan Bank Devisa yang mengurusi pemungutan PPh Pasal 22 untuk objek pajak terkait impor serta
Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Dan Bendahara Pemerintah yang melakukan pemungutan PPh
Pasal 22 pada Pemerintah, baik pusat maupun daerah, instansi, serta lembaga negara lainnya, terkait
dengan pembayaran serta pembelian barang. Dari penjelasan tersebut, bisa diketahui bahwa PPh Pasal
22 memiliki subjek dan objek pajak yang beragam yang telah ditentukan Pemerintah sebagaimana
dalam penjelasan tadi.

Kebijakan Tarif PPh Pasal 22


Mengingat bervariasinya objek pajak PPh Pasal 22, perlu dipahami secara mendalam penentuan tarif
dan besaran tarifnya. Berikut adalah besaran tarif serta penghitungan tarif PPh Pasal 22.
1. Untuk Impor
Jika menggunakan Angka Pengenal Importir (API), tarif yang dikenakan adalah 2,5% x nilai impor.
Sementara untuk non-API, tarifnya sama dengan 7,5% x nilai impor dan untuk impor yang tidak
dikuasai dikenakan tarif 7,5% x harga jual lelang.
2. Untuk Pembelian Barang
Jika pembelian barang dilakukan Bendahara Pemerintah, DJPB, dan BUMN/BUMD, tarif yang
dikenakan adalah 1,5% x harga pembelian belum termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan tidak
final.
3. Untuk Penjualan Hasil Produksi
Sebagaimana ditetapkan lewat Keputusan Direktur Jenderal Pajak, barang yang kena Pajak PPh Pasal
22 meliputi: semen (tarif 0,25% x DPP PPN), kertas (tarif 0,1% x DPP PPN), produk baja (0,3% x DPP
PPN), dan produk otomotif (0,45% x DPP PPN). Semua tarif tersebut bersifat tidak final.
4. Untuk Pembelian Bahan-Bahan Untuk Keperluan Industri
Jenis ini juga dikenakan kepada eksportir dan pedagang pengumpul dengan tarif 0,25 % x harga
pembelian dan ini tidak termasuk PPN.
5. Untuk impor kedelai, gandum, dan tepung terigu
Jika menggunakan API, tarif yang dikenakan sebesar 0,5% x nilai impor.

Pengecualian terhadap Pemungutan PPh Pasal 22


Besarnya lingkup objek pajak yang diatur dalam PPh Pasal 22 menyisakan beberapa pengecualian
terhadap pemungutan PPh Pasal 22, yaitu:
 Impor barang-barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan tidak terutang PPh berdasarkan Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22
yang diterbitkan Direktur Jenderal Pajak.
 Impor barang-barang yang dibebaskan dari bea masuk termasuk impor yang dilakukan ke
dalam Kawasan Berikat (kawasan tanpa bea masuk hingga barang tersebut dikeluarkan untuk
impor, ekspor atau re-impor) dan Entrepot Produksi Untuk Tujuan Ekspor (EPTE).
 Pembayaran atas penyerahan barang yang dibebankan pada belanja negara/daerah yang
meliputi jumlah kurang dari Rp2.000.000 (bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah).
 Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM, benda-benda
pos, dan telepon.
Ilustrasi Penghitungan Pemotongan PPh Pasal 22 dan PPN oleh Bendahara Pemerintah
Agar lebih paham, berikut ini ilustrasi besarnya pungutan dan kewajiban pemungut dalam aplikasi PPh
Pasal 22 ini.
Pada 20 Februari 2015, Bendahara membeli 4 (empat) printer dari PT Super Komputindo
(NPWP/NPPKP 01.222.355.5-063.000) dengan harga beli Rp22.000.000 (harga termasuk PPN).
Besarnya pemungutan pajak atas pembelian printer tersebut adalah:
Pemungutan PPh
 Harga pembelian = 22.000.000
 Dasar Pengenaan Pajak = 20.000.000 (100/110 X 22.000.000)
 PPh Pasal 22 (1,5% x 20.000.000) = 300.000
Pemungutan PPN:
 Dasar Pengenaan Pajak = 20.000.000
 PPN (10% x 20.000.000) = 2.000.000
Kewajiban Bendahara
 Melakukan pengecekan keabsahan Faktur Pajak yang telah diisi dengan data Wajib Pajak PT
Super Komputerindo.
 Menyetorkan PPh Pasal 22 dan PPN.
Cermati dan Pahami PPh Pasal 22 untuk Memastikan
PPh Pasal 22 diberlakukan pada banyak subjek pajak, baik milik pemerintah maupun swasta, yang
melakukan kegiatan perdagangan ekspor, impor, dan re-impor. Pemberlakuan bahkan meluas sampai
ke perdagangan barang yang dianggap "menguntungkan’. Sebab PPh Pasal 22 dapat dikenakan saat
penjualan ataupun pembelian. Adalah perlu untuk mencermati dan memahami sepenuhnya segala hal
terkait PPh Pasal 22. Dengan begitu, bisa diketahui dengan pasti apakah badan usaha Anda masuk
sebagai subjek pajak. Dan transaksi pembelian yang Anda atau badan usaha Anda dikategorikan
sebagai objek pajak PPh Pasal 22 atau tidak.

PPh Pasal 23
Sebagai warga negara yang baik, taat membayar pajak dan paham ketentuan pajak sudah menjadi
kewajiban kita bersama. Dari berbagai jenis pajak yang dibebankan kepada warga negara hingga
penghasilan yang diterima perseorangan ataupun perusahaan, termasuk objek pajak yang akan
dikenakan pajak penghasilan (PPh).
Sesuai dengan undang-undang, pajak penghasilan dibagi menjadi PPh Pasal 21, 22, 23, 24, dan 25.
Ulasan ini akan membahas mengenai segala hal terkait PPh 23, termasuk tarif dan perhitungannya.
Penjelasan PPh Pasal 23
Mengutip dari situs pajak.go.id, pajak penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah pajak yang dipotong atas
penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah
dipotong PPh Pasal 21.
Biasanya PPh Pasal 23 dikenakan saat adanya transaksi di antara dua pihak. Pihak yang berlaku
sebagai penjual atau penerima penghasilan atau pihak yang memberi jasa akan dikenakan PPh Pasal
23. Sementara pihak pemberi penghasilan atau pembeli atau pihak penerima jasa akan memotong dan
melaporkannya kepada kantor pajak.
Untuk mengetahui siapa saja yang berhak memotong PPh Pasal 23 dan pihak penerima penghasilan
yang terkena potongan PPh 23, Anda bisa melihat daftar di bawah ini.
1. Pemotong PPh Pasal 23
a. Badan Pemerintah.
b. Subjek Pajak Badan dalam negeri.
c. Penyelenggaraan kegiatan.
d. Bentuk Usaha Tetap (BUT).
e. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
f. Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri tertentu yang ditunjuk Direktur Jenderal Pajak
sesuai dengan KEP-50/PJ/1994, di antaranya:
 Akuntan, arsitek, dokter, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), kecuali
camat, pengacara, dan konsultan yang melakukan pekerjaan bebas.
 Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan atas
pembayaran berupa sewa.
2. Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23:
a. Wajib Pajak (WP) dalam negeri dalam hal ini bisa orang pribadi atau badan.
b. Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Dari daftar di atas, sudah diketahui siapa yang diperbolehkan melakukan pemotongan terhadap PPh
Pasal 23 dan siapa saja yang harus terkena pemotongan pajak penghasilan PPh 23. Kemudian
penghasilan apa saja yang akan dikenakan PPh Pasal 23?
Jenis Penghasilan yang Dikenakan PPh Pasal 23
Secara umum, hampir semua penghasilan bisa dikenakan ketentuan PPh Pasal 23. Rincian detailnya
bisa dilihat di bawah ini.
1. Dividen.
2. Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian
utang.
3. Royalti.
4. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan
(PPh), yaitu penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri orang pribadi
yang berasal dari penyelenggara kegiatan sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan.
5. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dari
penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai PPh sebagaimana
dimaksudkan dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh.
6. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan
jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UU PPh.
Jenis Penghasilan yang Dikecualikan PPh Pasal 23
PPh Pasal 23 juga mengatur beberapa penghasilan yang tidak dikenakan pajak dengan rincian daftar
berikut ini.
1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank.
2. Sewa yang dibayar atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi.
3. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai WP dalam
negeri, koperasi, dan BUMN/BUMD dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan
dan berkedudukan di Indonesia dengan syarat:
a. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan;
b. bagi perseroan terbatas, BUMN/BUMD, kepemilikan saham pada badan yang
memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor;
c. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi
termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
d. Sisa Hasil Usaha (SHU) koperasi yang dibayarkan koperasi kepada anggotanya;
e. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang
berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan.
Setelah mengetahui penghasilan apa saja yang bisa dikenakan PPh Pasal 23, Anda juga harus
memahami berapa tarif yang dikenakan kepada Wajib Pajak. Berikut ini penjelasannya.
Tarif dan Objek PPh Pasal 23
Tarif dari pajak penghasilan (PPh Pasal 23) dikenakan atas Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atau jumlah
bruto dari penghasilan. Di dalam PPh Pasal 23, terdapat dua jenis tarif yang diberlakukan, yaitu 15%
dan 2% tergantung dari objek pajaknya. Di bawah ini adalah tarif dan objek pajak yang terkena PPh
Pasal 23 yang berlaku di Indonesia.
1. Dikenakan 15% dari jumlah bruto atas:
a. dividen kecuali pembagian dividen kepada orang pribadi dikenakan final, bunga, dan
royalti;
b. hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong PPh pasal 21.
2. Dikenakan 2% dari jumlah bruto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta, kecuali sewa tanah dan/atau bangunan.
3. Dikenakan 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, dan
jasa konsultan.
4. Dikenakan 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa lainnya, misalnya:
a. Jasa penilai;
b. Jasa aktuaris;
c. Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;
d. Jasa perancang;
e. Jasa pengeboran di bidang migas kecuali yang dilakukan BUT;
f. Jasa penunjang di bidang penambangan migas;
g. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas;
h. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;
i. Jasa penebangan hutan
5. Untuk yang tidak ber-NPWP dipotong 100% lebih tinggi dari tarif PPh Pasal 23.
6. Yang dimaksud dengan jumlah bruto adalah seluruh jumlah penghasilan yang dibayarkan,
disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah,
subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap. Tidak
termasuk:
a. Pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan yang dibayarkan WP penyedia tenaga kerja kepada
tenaga kerja yang melakukan pekerjaan, berdasarkan kontrak dengan pengguna jasa;
b. Pembayaran atas pengadaan/pembelian barang atau material (dibuktikan dengan faktur
pembelian);
c. Pembayaran kepada pihak kedua (sebagai perantara) untuk selanjutnya dibayarkan
kepada pihak ketiga (dibuktikan dengan faktur tagihan pihak ketiga disertai dengan
perjanjian tertulis);
d. Pembayaran penggantian biaya (reimbursement), yaitu penggantian pembayaran sebesar
jumlah yang nyata-nyata telah dibayarkan pihak kedua kepada pihak ketiga (dibuktikan
dengan faktur tagihan atau bukti pembayaran yang telah dibayarkan kepada pihak
ketiga).

Ketentuan Mengenai Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 23


PPh Pasal 23 mengatur mengenai jadwal penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 23.
1. PPh Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran, disediakan untuk dibayar,
atau telah jatuh tempo pembayarannya, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
2. PPh Pasal 23 disetor Pemotong Pajak paling lambat tanggal sepuluh bulan takwim berikutnya
setelah bulan saat terutang pajak.
3. SPT Masa disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat, paling lambat 20 hari setelah
Masa Pajak berakhir.
Apabila jatuh tempo batas akhir pelaporan atau penyetoran PPh Pasal 23 bertepatan dengan hari libur,
termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya.

Perhitungan PPh Pasal 23


Untuk memahami lebih mudah tentang bagaimana perhitungan pajak penghasilan (PPh Pasal 23),
ilustrasi di bawah ini akan menjelaskannya kepada Anda.
PT Insan Media Print adalah perusahaan yang bergerak di bidang penerbitan buku dan percetakan.
Perusahaan ini melakukan sejumlah pembayaran yang terkait dengan PPh Pasal 23 kepada beberapa
pihak dengan rincian:
1. Pembayaran terhadap royalti tiga orang penulis: Damayanti dengan NPWP
01.444.888.2.987.000, Nurmadina NPWP 01.888.555.2.456.000, dan Azzahra yang belum
memiliki NPWP. Royalti yang diberikan kepada Damayanti sebesar Rp25.000.000. Royalti
untuk Nurmadina sebesar Rp10.000.000. Dan royalti untuk Azzahra sebesar Rp5.000.000.
2. Pembayaran bunga pinjaman kepada BRI dengan NPWP 03.111.222.2.541.000 untuk bulan
September sebesar Rp1.500.000.
Jadi, perhitungan pajak penghasilan (PPh Pasal 23) untuk PT Insan Media Print adalah sebagai berikut:
1. Untuk pembayaran royalti kepada penulis:
a. Damayanti 15% x Rp25.000.000 = Rp3.750.000
b. Nurmadina 15% x Rp10.000.000 = Rp1.500.000
c. Azzahra 15% x Rp5.000.000 = Rp750.000
Karena Azzahra masih belum memiliki NPWP, maka dikenakan tambahan PPh sebesar 100% dengan
nominal: 100% x Rp750.000 = Rp750.000. Dengan demikian, Azzahra akan terkena pemotongan
sebesar Rp750.000 + Rp750.000 = Rp1.500.000. Setelah melakukan pemotongan PPh Pasal 23,
penulis akan mendapatkan hasil bukti pemotongan.
2. Untuk pembayaran atas bunga pinjaman pada BRI, tidak dikenakan PPh Pasal 23. Sebab
termasuk penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada bank dan merupakan pengecualian
terhadap PPh Pasal 23.
Anda Bingung Cari Produk Kredit Multi Guna Terbaik? Cermati punya solusinya!

Ketentuan Tambahan yang Mengatur tentang PPh Pasal 23


PPh Pasal 23 juga mengatur beberapa hal lain yang bisa menjadi referensi Anda dalam melakukan
pembayaran pajak.
Pembayaran PPh Pasal 23 1
Pembayaran yang dilakukan pihak pemotong bisa dilakukan dengan cara membuat ID Billing terlebih
dahulu untuk kemudian membayarnya melalui bank yang telah disetujui Kementrian Keuangan.
Sementara jatuh temponya adalah tanggal 10, satu bulan setelah bulan terutang PPh Pasal 23.
Bukti Potong PPh Pasal 23 2.
Sebagai bukti bahwa PPh Pasal 23 sudah dipotong, pihak pemotong wajib memberikan bukti potong
(rangkap pertama) yang sudah dilengkapi pihak yang dikenakan pajak tersebut.
Pelaporan PPh Pasal 23 3.
Pelaporan dilakukan pihak pemotong dengan cara mengisi SPT Masa PPh Pasal 23. Lalu bisa
melaporkannya melalui fitur lapor pajak online. Jatuh tempo pelaporan adalah tanggal 20, sebulan
setelah bulan terutang PPh Pasal 23.
Penting Bagi Penyedia dan Pembeli Jasa Mengetahui PPh Pasal 23
Dengan memahami ketentuan PPh Pasal 23 di atas, pemahaman Anda tentang segala hal terkait pajak
yang berasal dari modal, penyerahan jasa, hadiah, dan penghargaan akan semakin lengkap. Selama ini
yang umum diketahui adalah PPh Pasal 21 sebagai pajak yang dikenakan. Karena itu, ketentuan PPh
Pasal 23 penting untuk diketahui. Sebab pajak penghasilan ini berlaku bagi Anda sebagai penyedia jasa
atau sebagai pembeli jasa.

PPh Pasal 24
Barangkali Anda pernah mendengar atau sempat terkejut saat ada berita radio atau media lain yang
menyebutkan bahwa 40% aset perbankan swasta di Singapura ternyata diisi harta kekayaan orang
Indonesia. Ternyata potensi pajak yang bisa masuk ke pendapatan negara dari luar negeri sangatlah
besar kalau bisa dikelola dengan baik.
Wajib pajak yang memiliki penghasilan dari kegiatan usaha di luar negeri bisa saja berasal dari
beberapa sumber usaha, seperti pendapatan dari saham dan surat berharga lainnya, penghasilan berupa
bunga, royalti, imbalan yang berhubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan lainnya. Jika
dicermati, wajib pajak seperti ini bisa saja terkena pajak ganda, yaitu ketentuan pajak dari luar negeri
di mana dia memiliki usaha dan ketentuan pajak dari dalam negeri di mana dia berstatus sebagai wajib
pajak Warga Negara Indonesia (WNI).
Semua hal yang terkait masalah pajak di atas sudah diatur dalam aturan pajak di Indonesia, khususnya
PPh Pasal 24. Nah, seperti apakah aturan main dari PPh Pasal 24? Berikut ini ulasannya.
Pajak Penghasilan Pasal 24 (PPh Pasal 24) mengatur tentang hak wajib pajak untuk memanfaatkan
kredit pajak mereka di luar negeri. Hal ini bertujuan supaya wajib pajak tidak terkena pajak ganda
seperti uraian di atas. PPH Pasal 24 mengatur tentang nominal pajak yang dibayarkan di luar negeri
yang berfungsi sebagai pengurang nilai pajak terutang yang dimiliki di Indonesia. Dengan kata lain,
jumlah pajak yang harus dibayar di Indonesia dapat dikurangi dengan jumlah pajak yang telah mereka
bayar di luar negeri. Syarat utamanya adalah nilai kredit pajak di luar negeri tidak melebihi utang pajak
yang ingin dibayar di Indonesia.
Sumber Penghasilan Luar Negeri yang Bisa Dijadikan Pengurang Pajak di Dalam Negeri
Setelah melihat pengertian di atas, untuk selanjutnya, sumber penghasilan dari mana sajakah yang bisa
dijadikan pengurang nilai pajak tersebut? PPh Pasal 24 mengatur beberapa sumber penghasilan berikut
yang bisa dikreditkan sebagai pengurang pajak di dalam negeri.
 Penghasilan dari saham dan surat berharga lainnya.
 Keuntungan dari pengalihan saham dan surat berharga lainnya.
 Pendapatan lain yang berupa bunga, royalti, dan sewa yang berkaitan dengan penggunaan harta
benda bergerak.
 Pendapatan yang berupa sewa terkait dengan penggunaan harta benda tidak bergerak.
 Jasa imbalan yang berhubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan.
 Semua keuntungan dari Bentuk Usaha Tetap (BUT) di luar negeri.
 Keuntungan dari keikutsertaan dalam pembiayaan atau pemanfaatan di perusahaan
pertambangan.
 Keuntungan dari pengalihan aset yang merupakan bagian dari Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Metode Kredit Terbatas dalam PPh Pasal 24
PPh Pasal 24 mengatur tentang pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan yang
dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia.
Karena itu, pajak ini langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak.
Di luar itu tidak bisa dijadikan pengurang pajak. Hal ini yang dikenal sebagai metode kredit terbatas
(ordinary credit method/limited credit method).
Besarnya PPh Pasal 24 menurut metode kredit terbatas bisa dihitung dengan perhitungan:
Penghasilan Neto Negara A
-------------------------------------- X PPh Terutang
Penghasilan Kena Pajak
Untuk lebih jelasnya mari kita simak uraian lengkap ilustrasi dibawah ini:
Ilustrasi Perhitungan Pengurangan Pajak Penghasilan dari Luar Negeri yang Diatur di dalam
PPh Pasal 24
Anda bisa melakukan pembayaran pajak PPh Pasal 24 sekaligus perhitungannya melalui aplikasi
online pajak (app.online-pajak.com). Aplikasi OnlinePajak disediakan 100% gratis untuk digunakan.
Pertama-tama Anda akan diminta untuk mengisi data nominal pajak yang Anda bayarkan di luar negeri
untuk mendapatkan ilustrasi mengenai besarnya pajak yang harus dibayarkan di dalam negeri. Jika
nilai pajak di luar negeri yang telah Anda gunakan sebagai kredit pajak di Indonesia telah berkurang
atau dikembalikan, Anda tinggal membayar jumlah terutang tersebut ke Kantor Pelayanan Pajak di
Indonesia.
Ilustrasi ini akan membantu Anda untuk memahaminya.
PT Boy Thohir di Indonesia adalah pemegang saham mayoritas atas Newcastle United di Inggris.
Selama tahun 2014, PT Boy Thohir memperoleh keuntungan sebesar USD 500.000. Ketentuan Pajak
Penghasilan yang berlaku di Inggris adalah 48% dan Pajak Dividen adalah 38%.
Terdapat dua perhitungan yang digunakan di sini: pajak atas dividen dan pajak atas penghasilan.
Penghitungan pajak atas dividennya adalah sebagai berikut.
Keuntungan Newcastle United USD 500.000.
 Pajak Penghasilan (Corporate Income Tax) atas Newcastle United (48%) USD 240.000 (‐)
USD 260.000.
 Pajak atas dividen (38%) USD 98.800 (‐) dividen yang dikirim ke Indonesia adalah sebesar
USD 161.200.
Berapa nominal Pajak Penghasilan yang bisa dikreditkan di Indonesia?
Hanya pajak yang langsung dikenai atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri
(dalam contoh tersebut sebesar USD 98.800) saja yang bisa dikreditkan kepada pajak terhutang di
dalam negeri. Di luar itu, Pajak Penghasilan (Corporate Income Tax) atas Newcastle United sebesar
USD 240.000 tidak dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang. Hal ini terjadi karena
pajak sebesar USD 240.000 tersebut tidak dikenakan langsung atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh PT Boy Thohir dari luar negeri. Tetapi, pajak yang dikenai atas keuntungan Newcastle
United di Inggris.
Teknis Proses Pengkreditan Pajak Luar Negeri terhadap Pajak Terutang di Dalam Negeri
Teknis proses pengkreditan pajak luar negeri terhadap pajak terutang di dalam Negeri diatur dengan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 164/KMK.03/2002 sebagai berikut.
 Pengkreditan pajak yang dibayar di luar negeri harus dilakukan dalam tahun pajak yang sama.
 Nominal yang dapat dikreditkan adalah maksimal sama dengan jumlah pajak yang dibayar atau
terutang di luar negeri. Namun, ada batas nominal tertentu menurut perbandingan antara
penghasilan dari luar negeri dan penghasilan kena pajak dikalikan dengan pajak yang terutang
atas penghasilan kena pajak dan dilakukan untuk tiap-tiap negara.
Proses pengkreditan pajak luar negeri harus disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan
melampirkan:
 Laporan Keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri.
 Fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri.
 Dokumen pembayaran pajak di luar negeri.
Penyampaian permohonan kredit pajak luar negeri dilakukan bersamaan dengan penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Cermati dan Pelajari agar Mengetahui Manfaatnya
Cermati dan pelajari dengan baik ketentuan tentang PPh Pasal 24 ini karena sangat bermanfaat bagi
Anda untuk mengurangi nominal pajak yang harus dibayarkan di dalam negeri. Jangan lupa untuk
memenuhi ketentuan batas waktu serta kelengkapan berkas yang dibutuhkan sehingga proses
administrasi pajak Anda bisa berjalan dengan lancar.

PPh Pasal 25
Bagi pemilik usaha/pengusaha, baik usaha perorangan maupun badan usaha, salah satu ketentuan pajak
yang harus dipahami dengan baik adalah Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh Pasal 25). Pajak yang satu
ini memberi kemudahan pembayaran pajak penghasilan dengan cara diangsur. Dengan begitu, Wajib
Pajak tidak terlalu terbebani dengan ketentuan pajak terutang yang harus dilunasi dalam waktu satu
tahun. Inilah yang menjadi tujuan PPh Pasal 25 yang ingin bisa meringankan beban Wajib Pajak.
Perhitungan PPh Pasal 25 dilakukan setahun sekali yang dituangkan dalam bentuk SPT Tahunan.
Karena sifatnya yang tahunan, penghitungan pajak akan didapat setelah adanya data penghasilan
selama satu tahun tersebut. Untuk skala perusahaan, penghasilan tersebut hanya bisa dibuat setelah
adanya laporan keuangan yang dilaporkan dalam tutup buku tahunan.
Bagaimana teknis pembayaran PPh Pasal 25 ini dalam praktiknya? Berikut ini penjelasannya.
PPh Pasal 25 Bisa Dibayar dengan Diangsur
Agar Wajib Pajak tidak terlalu terbebani dalam pembayaran pajak, ada peraturan yang meringankan,
yaitu dengan mekanisme PPh Pasal 25. Dalam PPh Pasal 25 dijelaskan bahwa pembayaran pajak bisa
diangsur atau dicicil di muka dengan pembayaran cicilan setiap bulan. Tujuan dari PPh Pasal 25 ini
sangat jelas, yaitu untuk menghindari pembayaran pajak sekaligus pada akhir tahun pajak yang
memberatkan. Meskipun demikian, pembayaran ini tetap harus dilakukan sendiri dan tidak boleh
diwakilkan.
Ketentuan Mengenai Perhitungan PPh Pasal 25
Berdasarkan patokan umum yang sering digunakan, PPh pasal 25 dihitung berdasarkan data SPT
Tahunan pada tahun sebelumnya. Dengan ini, kita akan mengasumsikan bahwa penghasilan tahun ini
sama dengan tahun lalu. Tentu saja nantinya pasti ada selisih dan perbedaan dengan kondisi sebenarnya
pada tahun pajak terakhir. Jika nantinya ditemukan selisih kekurangan, selisih tersebut dibayarkan
sebagai kekurangan pajak akhir tahun. Kekurangan inilah yang dinamakan dengan PPh Pasal 29.
Sebaliknya, jika ada kelebihan bayar, kondisi ini dinamakan sebagai restitusi dan wajib pajak bisa
meminta kelebihan pembayaran atas pajak yang telah dibayarkan. Besarnya PPh Pasal 25 bisa dihitung
lewat cara di bawah ini.
Cara Menghitung Besarnya PPh Pasal 25
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 dalam tahun berjalan dihitung berdasarkan Pajak Penghasilan
Terutang sesuai dengan SPT Tahunan tahun sebelumnya dikurangi dengan kredit pajak (PPh Pasal 21,
22, 23, dan 24) dibagi dengan 12 (atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak).
Adapun yang dimaksud kredit pajak (Pajak Penghasilan yang dipotong) dalam pasal-pasal di atas
adalah sebagai berikut.
1. PPh Pasal 21: Bagi yang memiliki NPWP, pembayaran kredit pajak sesuai dengan tarif (Pasal
17 Ayat 1) dan tambahan 20% bagi yang tidak memiliki NPWP.
2. PPh Pasal 22: Pungutan sebesar 100% bagi yang tidak memiliki NPWP.
3. PPh Pasal 23: potongan sebesar 15% berdasarkan dividen, bunga, royalti, dan hadiah. Potongan
2% berdasarkan sewa, imbalan jasa, serta penghasilan lain.
4. PPh pasal 24: Pajak penghasilah yang dibayarkan di luar negeri dan boleh dikreditkan sesuai
ketentuan dalam pasal 24.
Cara Menghitung PPh Pasal 25 Untuk Kondisi-Kondisi Tertentu
Kadang kala dalam perhitungan PPh Pasal 25, ada hal khusus, seperti penerbitan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar (SKPKB) hasil pemeriksaan, pengurangan angsuran PPh Pasal 25, dan lain-lain. Untuk
itu, perhitungan PPh Pasal 25 mengikuti ketentuan sebagai berikut.
a. Besaran angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan sebelum bulan batas waktu penyampaian
SPT sama besarnya dengan PPh Pasal 25 bulan terakhir tahun pajak pada tahun sebelumnya.
Apabila tahun pajak adalah tahun kalender (Januari–Desember), yang diartikan sebagai bulan-
bulan sebelumnya adalah bulan Januari–Februari. Sebagai contoh, jika PPh Pasal 25 jatuh pada
bulan Januari dan Februari 2012, PPh Pasal 25 sama dengan PPh Pasal 25 bulan Desember
2011.
b. Jika dalam tahun berjalan telah diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) untuk tahun pajak
yang lalu, besaran angsuran pajak dihitung berdasarkan SKP yang baru diterbitkan. Dan itu
akan berlaku pada bulan berikutnya setelah SKP diterbitkan.
Kebijakan Mengenai Tarif PPh Pasal 25
Secara garis besar, penentuan tarif PPh Pasal 25 dibagi menjadi tiga kriteria.
1. Wajib Pajak kategori Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT)
Wajib Pajak OPPT adalah siapa saja yang menjalankan usaha penjualan barang (grosir ataupun eceran)
dan usaha jasa dengan satu tempat usaha atau lebih. Bagi OPPT, akan dikenakan PPh Pasal 25 sebesar
0,75% x omzet bulanan pada tiap-tiap tempat usaha.
2. Wajib Pajak kategori Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (OPSPT)
Wajib Pajak OPSPT adalah karyawan atau pekerja bebas yang tidak memiliki usaha sendiri. Bagi yang
masuk dalam kategori OPSPT, akan dikenakan Penghasilan Kena Pajak (PKP) x Tarif PPh pada UU
PPh Pasal 17 ayat (1) huruf a.
Tarif PPh 17 ayat (1) huruf a UU PPh adalah sebagai berikut.
 >Rp50 juta = 5%
 Rp50 juta – Rp250 juta = 15%
 Rp250 juta – Rp500 juta = 25%
 >Rp500 juta = 30%
3. Wajib Pajak Badan
Untuk WP Badan, tarif yang dikenakan adalah PKP x 25% Tarif Pasal 17 ayat (1) UU PPh seperti yang
dijelaskan di atas dan Pasal 31 E UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
Kebijakan Lain yang Mengatur Wajib Pajak Badan
Selain dari ketentuan tersebut di atas, Wajib Pajak Badan dalam negeri yang berbentuk perseroan
terbuka yang memiliki saham >40% yang diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan
memenuhi persyaratan lainnya berhak mendapatkan potongan 5% dari tarif yang telah ditetapkan. Hal
ini selanjutnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Kemudian Wajib Pajak dalam negeri yang memiliki peredaran bruto hingga Rp50 miliar mendapatkan
fasilitas potongan sebesar 50% dari tarif 25% yang dikenakan atas PKP yang menjadi bagian dari
peredaran bruto.
Tarif pajak badan yang dijelaskan pada pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh dan UU Pasal 31 E yang
dijelaskan di atas tidak termasuk dalam kriteria Wajib Pajak Badan yang telah dikenakan Pasal 4 ayat 2
UU PPh. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013. Khusus untuk PP No. 46
Tahun 2013 ini, diatur tarif pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan atas peredaran usaha bruto bulan
Januari–Desember 2015 dengan PPh sebesar 1%.
Batas Waktu Pembayaran PPh Pasal 25 dan Cara Pembayarannya
Angsuran Pajak PPh Pasal 25 juga memiliki aturan terkait waktu pembayaran. Angsuran tersebut harus
dibayarkan selambat-lambatnya pada tanggal 15 pada bulan berikutnya setelah bulan jatuh tempo.
Misalnya, untuk pembayaran pajak bulan Februari 2015, angsuran PPh Pasal 25 harus dibayarkan
maksimal tanggal 15 Maret 2015. Jika ternyata waktu penyetoran tersebut bertepatan pada hari libur
nasional, Wajib Pajak bisa menyetorkan pada hari kerja berikutnya. Hal ini sesuai dengan Peraturan
Menteri Keuangan No. 184/PMK.03/2007 dan kemudian diubah dalam Peraturan Menteri Keuangan
No. 80/PMK.03/2010.
Persyaratan dalam membayar angsuran pajak PPh Pasal 25 adalah penyetor wajib membawa Surat
Setoran Pajak (SSP) ataupun dokumen sejenisnya. Hal ini sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak No. PER-22/PJ/2008 yang diterbitkan pada 21 Mei 2008 yang lalu.
Setelah melakukan pembayaran, Wajib Pajak juga harus melaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak.
Pelaporan dilakukan paling lambat tanggal 20 pada bulan berikutnya. Melaporkan ke Kantor
Pelayanan Pajak juga bisa ditunda pada hari kerja berikutnya apabila waktu pelaporan tersebut
bersamaan dengan hari libur nasional.
Sebagai tambahan, pada era modern sekarang ini, kita bisa menghitung setor ataupun lapor pajak
menggunakan fasilitas online. Anda bisa memanfaatkan aplikasi pajak yang terintegrasi dengan situs-
situs yang menyediakan fasilitas tersebut. Layanan terintegrasi hitung, setor, dan lapor pajak bisa
didapatkan secara gratis sebagai tahap awal. Selanjutnya, penggunaan aplikasi tersebut biasanya
dikenakan biaya langganan. Meskipun demikian, biaya tersebut sangat murah dan mudah digunakan
jika dibandingkan dengan cara manual. Apalagi jika Anda adalah perorangan yang melakukan usaha
tertentu. Aplikasi hitung pajak online bisa sangat membantu Anda konsisten dalam membayar pajak.
Sanksi Keterlambatan
Wajib Pajak yang terlambat dalam membayar pajak akan dikenakan sanksi berupa bunga sebesar 2%
per bulan. Keterlambatan dihitung mulai dari tanggal jatuh tempo hingga tanggal pembayaran. PPh
Pasal 25 bisa memberikan dampak positif bagi pemilik usaha. Selain itu, disisi lain, pemasukan sektor
pajak dari PPh Pasal 25 ini cukup dominan dalam menambah pemasukan negara. Dengan membayar
pajak tepat waktu dan sesuai ketentuan, Anda turut serta membangun iklim pertumbuhan usaha yang
positif di tanah air.

PPh Pasal 26
Belakangan ini santer pemberitaan mengenai perusahaan seacrh engine terbesar di dunia yang enggan
diperiksa Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Jika melihat perkembangan bisnis digital di tanah air,
Google dan Facebook adalah dua entitas bisnis digital raksasa dengan potensi pajak mencapai ratusan
miliar, bahkan triliunan.
Konon kabarnya omzet Google dan Facebook di Indonesia mencapai Rp3 triliun per tahun. Potensi
Pajak Penghasilan Badan Usaha dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari bisnis ini sangatlah besar.
Namun, kedua raksasa ini berkelit dengan alasan bahwa jenis usaha mereka bukan Bentuk Usaha Tetap
(BUT) dan tidak berkantor pusat di Indonesia.
Bagaimanakah sebenarnya ketentuan terkait hal tersebut? Pajak Penghasilan Pasal 26 (PPh Pasal 26)
sebenarnya telah mengatur ketentuan mengenai wajib pajak dalam negeri ataupun luar negeri yang
memiliki transaksi bisnis yang melibatkan kedua belah pihak. Mau tahu seperti apa? Berikut
penjelasannya.
PPh Pasal 26 mengatur kebijakan mengenai pajak yang berhubungan dengan wajib pajak luar negeri.
Badan usaha apapun di Indonesia yang melakukan transaksi pembayaran (gaji, bunga, dividen, royalti
dan sejenisnya) kepada Wajib Pajak Luar Negeri diwajibkan untuk membayar PPh Pasal 26 atas
transaksi tersebut.
Menurut ketentuan PPh Pasal 26, tarif umum yang dikenakan adalah 20% dan bisa berubah jika Wajib
Pajak mengikuti Tax Treaty atau Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Ada pengecualian
mengenai PPh yang dikenakan atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak Luar Negeri dari Indonesia,
yaitu tidak berlaku untuk yang bukan BUT di Indonesia. Inilah yang sering dijadikan argumen oleh
Google untuk tidak membayar pajak.
Pemahaman di atas harus dicermati lebih jauh lagi. Sebab Pemerintah sudah mengatur mengenai siapa
saja yang berstatus sebagai Wajib Pajak Luar Negeri.
Ketentuan Mengenai Individu atau Perusahaan Yang Dikategorikan Wajib Pajak Luar Negeri
Dari UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, bisa disimpulkan bahwa yang menentukan
seorang individu atau perusahaan sebagai Wajib Pajak Luar Negeri, yaitu:
 Seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu yang tinggal di Indonesia
tidak lebih dari 183 hari dalam setahun/12 bulan, dan perusahaan yang tidak didirikan atau
berada di Indonesia, yang mengoperasikan usahanya melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
 Seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu yang tinggal di Indonesia
tidak lebih dari 183 hari dalam setahun/12 bulan, dan perusahaan yang tidak didirikan atau
berada di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak
melalui menjalankan usaha melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia.
Melihat ketentuan di atas khususnya perusahaan yang tidak didirikan atau berada di Indonesia
ataupun yang mengoperasikan usahanya melalui BUT di Indonesia bisa dikenakan PPh Pasal 26. Dan
tentu saja Google dan Facebook masuk kategori di dalamnya.
Kebijakan Tarif PPh Pasal 26
PPh Pasal 26 mengatur tentang kebijakan tarif sebesar 20% (final) atas jumlah bruto dari pendapatan
yang diperoleh dari:
 Dividen.
 Bunga, termasuk premium, diskonto, insentif yang terkait dengan jaminan pembayaran
pinjaman.
 Royalti, sewa, dan pendapatan lain yang terkait dengan penggunaan aset.
 Insentif yang berkaitan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan.
 Hadiah dan penghargaan.
 Pensiun dan pembayaran berkala.
 Premi swap dan transaksi lindung lainnya.
 Perolehan keuntungan dari penghapusan utang.
Selain pajak atas pendapatan (omzet), Wajib Pajak Luar Negeri yang terkena PPh Pasal 26 juga terkena
kebijakan tarif pajak dari laba bersih. Tarif 20% (final) dari laba bersih dikenakan bagi yang memiliki
penghasilan dari:
 Pendapatan dari penjualan aset di Indonesia.
 Premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung ataupun melalui pialang kepada
perusahaan asuransi di luar negeri.
Ketentuan tarif 20 % mengikuti kriteria sebagai berikut:
 Tarif 20% (final) dari laba bersih juga berlaku atas penjualan atau pengalihan saham
perusahaan yang didirikan atau bertempat di negara yang memberikan perlindungan pajak,
termasuk dalam BUT di Indonesia.
 Tarif 20% yang dipungut dari penghasilan kena pajak setelah dikurangi dengan pajak termasuk
di dalamnya dalam BUT di Indonesia. Tidak berlaku bagi Wajib Pajak yang penghasilannya
tersebut ditanamkan kembali di Indonesia.
 Tax Treaty atau P3B antara Indonesia dan negara-negara lain yang berada dalam perjanjian bisa
saja berbeda satu sama lain. Tarifnya biasanya bisa untuk mengurangi tingkat dari tarif biasa
yang sebesar 20% dan beberapa mungkin memiliki tarif 0%.
Ilustrasi Penghitungan PPh Pasal 26
Untuk memudahkan pemahaman mengenai ketentuan dan perhitungan PPh Pasal 26 tersebut, berikut
ini adalah contoh yang mengilustrasikan penghitungan pajak yang bisa Anda pelajari.
Ilustrasi Kasus Pertama
PT ABC memiliki perwakilan di luar negeri dan mengasuransikan bangunan bertingkat ke perusahaan
asuransi di luar negeri dengan membayar jumlah premi pada tahun 1995 sebesar Rp1 miliar. Dengan
demikian, penghitungan PPh Pasal 26-nya adalah sebagai berikut.
 Perkiraan penghasilan = 50% x Rp1.000.000.000 = Rp500.000.000,-
 PPh Pasal 26 = 20% x Rp500.000.000 = Rp100.000.000 (10% x Rp1.000.000.000)
Sering kali untuk memudahkan proses, PT ABC bisa saja ikut asuransi melalui perusahaan yang ada di
Indonesia, misal PT XYZ, dengan membayar jumlah premi yang sama sebesar Rp1 miliar. PT XYZ
mengikutkan (reasuransi) perusahaan tersebut ke perusahaan asuransi di luar negeri, misalnya PT
KLM, dengan membayar premi sebesar Rp500 juta. Maka ketentuan PPh Pasal 26-nya adalah:
 Perkiraan penghasilan neto = 10% x Rp500.000.000 = Rp50.000.000
 PPh Pasal 26 PT ABC = 20% x Rp50.000.000 = Rp10.000.000 (2% x Rp500.000.000)
Ilustrasi Kasus Kedua
David Beckham yang adalah Warga Negara Inggris memiliki 25% saham PT Persipura Indonesia.
Tahun ini Beckham menjual seluruh sahamnya senilai Rp5 miliar kepada Kaka, seorang Warga Negara
Argentina. Asumsikan tidak ada P3B antara Indonesia dan Argentina serta Inggris sehubungan dengan
transaksi tersebut maka besarnya:
PPh Pasal 26 = 20% x 25% x Rp5.000.000.000 = Rp250.000.000 (dan bersifat final).
Menurut ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 258/PMK.03/2008 Tanggal 31 Desember
2008 Tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan
Saham maka:
 Penghasilan atas penjualan saham tersebut dikenakan pajak sebesar 20% dari perkiraan
Penghasilan Neto, sedangkan besarnya Penghasilan Neto adalah 25% dari Harga Jual.
 Jika ada P3B antara negara yang terkait transaksi tersebut (penjual berstatus sebagai Wajib
Pajak Luar Negeri), pemotongan PPh Pasal 26 hanya dilakukan apabila hak pemajakan
berdasarkan P3B berada pada pihak Indonesia.
Penting bagi Wajib Pajak yang akan memotong PPh Pasal 26 kepada Wajib Pajak Luar Negeri untuk
mengetahui apakah Wajib Pajak Luar Negeri tersebut berasal dari negara yang mempunyai Tax Treaty
atau P3B dengan Indonesia atau tidak. Sebab ketentuan tarif pajaknya akan berbeda.
PPh Pasal 26 Bertujuan agar Perusahaan Asing Taat Pajak
Zaman yang semakin maju seolah tanpa batas ini telah membuat bisnis tumbuh di banyak negara.
Pemerintah sudah mengatur kebijakan mengenai pajak dalam PPh Pasal 26 agar setiap transaksi bisnis
yang berhubungan dengan Wajib Pajak Luar Negeri bisa memberikan kontribusi bagi pendapatan
negara. Dan tentu saja pendapatan negara ini nantinya akan digunakan untuk kepentingan masyarakat
luas dan pembangunan negara.

Anda mungkin juga menyukai