Anda di halaman 1dari 50

LAPORAN KASUS KEPANITERAAN

SEORANG PEREMPUAN USIA 13 TAHUN DENGAN


TONSILOFARINGTIS DIFTERI

Diajukan untuk melengkapi tugas kepaniteraan Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL


Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Penguji Kasus : dr. Yanuar Iman Santosa, Sp THT-KL

Pembimbing : dr. Tri Aditama Kumala Hasan

Dibacakan Oleh : Difa Aulia Evandrian 22010116220217

Azzahra Dzakiyah 22010117220100

Dibacakan tanggal : Juli 2018


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO

RSUP DR KARIADI SEMARANG

2018
HALAMAN PENGESAHAN

Melaporkan kasus seorang perempuan usia 13 tahun dengan tonsilfaringtis difteri.

Penguji Kasus : dr. Yanuar Iman Santosa, Sp THT-KL

Pembimbing : dr. Tri Aditama Kumala Hasan

Dibacakan Oleh : Difa Aulia Evandrian 22010116220217

Azzahra Dzakiyah 22010117220100

Dibacakan tanggal : Juli 2018

Diajukan guna memenuhi tugas Kepaniteraan di Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL


Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Semarang, Mei 2018

Mengetahui

1
Penguji Pembimbing

dr. Yanuar Iman Santosa, Sp THT-KL dr. Tri Aditama Kumala Hasan

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tonsilitis adalah peradangan pada tonsil palatine yang merupakan bagian


dari cincin waldeyer dan dapat disebabkan oleh virus (40-60%), bakteri (5-40%),
alergi, taruma, dan toksin. Tonsilitis memiliki faktor predisposisi berupa radang di
faring, seperti rhinitis, rhinosinusitis, iritasi oleh rokok, minum alcohol, inhalasi
uap dan debu, beberapa jenis makanan, kebersihan mulut yang buruk, pengaruh
cuaca, kelelahan fisik, dan pengobatan tonsillitis akut sebelumnya yang tidak
adekuat.1

Prevalensi tonsillitis kronis di Indonesia sebesar 3,8% tertinggi setelah


nasofaringitis akut yang sebesar 4,8%. Tonsilitis lebih sering terdapat pada anak-
anak usia 5-15 tahun dengan prevalensi bakterial 15-30% pada anak dengan
gangguan tenggorokan dan 5-15% pada dewasa dengan gangguan tenggorokan.2

Tonsilitis akut sering menimbulkan komplikasi, bila tonsilitis akut sering


kambuh walaupun penderita telah mendapat pengobatan yang memadai, maka
perlu diingat kemungkinan terjadinya tonsilitis kronik. Radang kronik tonsil dapat
menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa rhinitis kronik, sinusitis,
dan otitits media secara per kontinuitatum. Tonsilektomi dilakukan bila terjadi
infeksi yang berulang atau krnok, adanya gejala sumbatan, serta kecurigaan
neoplasma.1

Pada Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), Tonsilitis dan


faringitis termasuk dalam level kompetensi 4A yang berarti sebagai dokter umum
diharapkan mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit sampai
memberikan terapi hingga tuntas kepada pasien.3 Melalui kasus ini akan
dilaporkan seorang perempuan usia 21 tahun dengan tonsilofaringitis kronik

3
eksaserbasi akut yang datang ke poli THT RSND Semarang pada tanggal 4 Mei
2018

1.2 Tujuan

Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah agar mahasiswa kedokteran


mampu menegakkan diagnosis hingga memberikan terapi yang tepat berdasarkan
data yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang dan pengelolaan pasien tonsilofaringitis kronik eksaserbasi akut.

1.3 Manfaat
Penulisan laporan ini diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam
proses belajar menegakkan diagnosa hingga memberikan terapi yang tepat pada
pasien dengan tonsilofaringitis kronik eksaserbasi akut.

4
BAB II

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA

Nama : An. SF

Umur : 13 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Temanggung

Pekerjaan : Pelajar

Pendidikan : Tamat SD

Datang ke IGD : 6 Juli 2018


5
No. CM : C701503

MASALAH AKTIF MASALAH PASIF

1. Nyeri tenggorokan  8 Tidak ada

2. Nyeri telan  8

3. Tenggorokan terasa terganjal  8

4. Tidur mendengkur  8

5. Napas berbau  8

6. PF: mukosa faring hiperemis  8

7. PF: tonsil T3-T3, hiperemis, permukaan

tidak rata, kripte melebar  8

8. Tonsilofaringitis kronik eksaserbasi akut

II. ANAMNESIS

Autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 6 Juli 2018 pukul 10.00 WIB di Poli
IGD RSND Semarang.

Keluhan utama : Nyeri saat menelan

Perjalanan penyakit sekarang :

±1 hari SMRS, Pasien mengeluh nyeri saat menelan, nyeri dirasakan


terutama saat menelan makanan padat. Nyeri dirasakan sangat berat hingga pasien
sulit dan tidak nafsu makan. Pasien juga mengeluh demam, terus menerus dengan
suhu 39,50C, demam hanya turun apabila diberikan obat paracetamol kemudian
kembali naik, Batuk (-), Pilek (-), Nyeri Kepala (-), Sesak nafas (-), Suara serak (-

6
), Ngorok saat tidur (-), hidung tersumbat saat pagi dan malam hari (-), , keluar
cairan dari telinga (-), pendengaran berkurang (-), telinga terasa tertutup (-),
telinga berdenging (-), nyeri di telinga (-), gigi berlubang (-), napas berbau (+).
BAB dan BAK tidak ada keluhan. kemudian pasien dibawa ke RS temanggung
dan dikatakan suspek difteri, akan tetapi hasil swab tenggorok negatif. Kemudian
pasien dirujuk ke IGD RSDK untuk pemeriksaan lebih lanjut. Di RSUD
Temanggung pasien telah diberikan antibiotik Eritromisin, Parasetamol, dan
Multivitamin.

Riwayat Penyakit Dahulu

- Riwayat sakit dengan keluhan serupa sebelumnya disangkal


- Riwayat merokok disangkal
- Riwayat alergi disangkal
- Riwayat asma disangkal
- Riwayat batuk lama disangkal
- Riwayat darah tinggi disangkal
- Riwayat kencing manis disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga

- Riwayat adik pasien menderita tonsilitis difteri (+) dan meninggal 3 hari
sebelumnya
- Riwayat alergi disangkal
- Riwayat batuk lama disangkal
Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien merupakan seorang pelajar SD, memiliki seorang Bapak yang bekerja
sebagai guru dan Ibu yang bekerja sebagai guru. Pasien merupakan anak pertama
dari 4 bersaudara memiliki 3 orang adik yang belum mandiri. Pembayaran BPJS
Non PBI

Kesan Ekonomi: Cukup

Riwayat Perinatal

7
Ibu P1A0, Riwayat menjalani ANC >4x di bidan dan 1x di SPOG. Selama
kehamilan tidak ada riwayat Hipertensi, DM, trauma atau penyakit infeksi
lainnya. Pasien lahir spontan, Langsung menangis, cukup bulan, BBL 3400gram,
PBL 48cm, Ikterik (-), Sianosis (-).

Riwayat Imunisasi

Riwayat Imunisasi dasar lengkap sesuai usia

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan

Riwayat pertumbuhan dan perkembangan normal sesuai usia

PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik pada tanggal 6 Juli 2018 pukul 10.30 WIB di Poli THT RSND
Semarang.

A.1 Status Generalis

Keadaan umum : Tampak lemas

Kesadaran : Composmentis, GCS E4M6V5

Aktivitas : Normoaktif

Kooperativitas : Kooperatif

Status gizi : Normoweight

Tanda - tanda vital : TD : 100/80 mmHg BB : 36 kg


Suhu : 38.2°C TB : 145 cm

Nadi : 87 x/menit
RR : 20 x/menit

Kepala : Mesosefal

Kulit : Turgor kembali cepat

Mata : Conjunctiva palpebra anemis (-/-), ikterik (-/-)

8
Thorax :

Pulmo I : Simetris saat statis dan dinamis

Pa : Stem fremitus kanan = kiri

Pe : Sonor seluruh lapang paru

A : Suara dasar Vesikuler (+/+), Suara


tambahan (-/-)

Cor I : Ictus Cordis Tak tampak

Pa : Ictus Cordis teraba SIC V 2cm medial dari


LMCS

Pe : Konfigurasi Jantung dalam batas Normal

A : Bunyi Jantung I-II normal, Bising (-)

Abdomen :I : Datar

A : Bising Usus (+) Normal

Pa : Supel, Nyeri tekan (-)

Pe : Timpany

Ekstremitas : Superior Inferior

Edema -/- -/-

Akral dingin -/- -/-

Sianosis -/- -/-

Cappilary refill time <2 detik <2 detik

A.2 Status Lokalis (THT)

1. Telinga:

9
Gambar:

Bagian Telinga Telinga Kanan Telinga Kiri

Hiperemis (-), nyeri tekan (-), Hiperemis (-), nyeri tekan (-),
Mastoid nyeri ketok (-), fistel(-), abses nyeri ketok (-), fistel(-), abses
(-) (-)

Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),


Pre–aurikula fistula (-), abses (-), nyeri fistula (-), abses (-), nyeri
tekan tragus (-) tekan tragus (-)

Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),


Retro–aurikula fistula (-), abses (-), nyeri fistula (-), abses (-), nyeri
tekan (-) tekan (-)

Normotia, Hiperemis (-), Normotia, Hiperemis (-),


Aurikula
edema (-), nyeri tarik (-) edema (-), nyeri tarik (-)

Serumen (-), edema (-), Serumen (-), edema (-),


CAE / MAE hiperemis (-), furunkel (-), hiperemis (-), furunkel (-),
discharge (-), granulasi (-) discharge (-), granulasi (-)

Warna putih mengkilat, Warna putih mengkilat,


Membran
perforasi (-), reflek cahaya perforasi (-), reflek cahaya
timpani
(+) arah jam 5, granulasi(-) (+) arah jam 7, granulasi(-)

2. Hidung dan Sinus Paranasal:

Gambar:

10
Pemeriksaan Luar

Inspeksi : Bentuk (N), simetris, deformitas (-), warna


kulit sama dengan sekitar, allergic shinner (-), nasal
Hidung
crease (-), allergic salute (-)

Palpasi : os nasal : krepitasi (-/-), nyeri tekan (-/-)

Sinus Nyeri tekan (-), nyeri ketok (-)

Rinoskopi Anterior Kanan Kiri

Discaj (-) (-)

Mukosa Hiperemis (-), livid (-) Hiperemis (-), livid (-)

Edema (-), hipertrofi (-), Edema (-), hipertrofi (-),


Konka Inferior
livid (-) livid (-)

Tumor Massa (-) Massa (-)

Septum nasi Deviasi (-), perdarahan(-) Deviasi (-),pendarahan(-)

Fenomena palatal Sulit dinilai Sulit dinilai

Diafanoskopi tidak dilakukan

3. Tenggorok:

Gambar:

11
Orofaring Keterangan

Palatum Simetris, bombans (-), hiperemis (-), fistula (-), stomatitis (-)

Arkus Faring Simetris, uvula di tengah, hiperemis (+)

Mukosa Hiperemis (+), granulasi (-), eksudat (-)

Ukuran T3, hiperemis (+), Ukuran T3, hiperemis (+),


edema (-), permukaan tidak edema (-), permukaan tidak
Tonsil
rata, kripte (-), Pseudo rata, kripte melebar (-), Pseudo
memrban (+), detritus (-), membran (+), detritus (-),

Peritonsil Hiperemis (-), edema (-). Abses (-)

Refleks
+
muntah

Nasofaring (Rinoskopi Posterior) : tidak dilakukan pemeriksaan

Laringofaring (Laringoskopi Indirek) : tidak dilakukan pemeriksaan

Laring (Laringoskopi Indirek) : tidak dilakukan pemeriksaan

4. Kepala dan Leher:

Kepala : Mesosefal

Wajah : Perot (-), simetris, deformitas (-)

12
Leher anterior : Bull neck (-) ,Pembesaran nnll (+) pada
regio submandibula dextra

Leher lateral : Pembesaran nnll (-)

Lain-lain : (-)

5. Gigi dan Mulut

Gigi geligi : Karies (-), gigi lubang (-)

Lidah : Simetris, deviasi (-), stomatitis (-)

Palatum : Simetris, bombans (-), hiperemis (-)

Pipi : Mukosa buccal: hiperemis (-), stomatitis (-)

Lain-lain : (-)

Gambar 1. Gambaran Klinis

III. RINGKASAN :

Seorang Anak perempuan usia 13 tahun datang dengan keluhan odinofagia


±1 hari SMRS, Pasien mengeluh odinofagia, nyeri dirasakan terutama saat
menelan makanan padat. Nyeri dirasakan sangat berat hingga pasien sulit dan
tidak nafsu makan. Pasien juga mengeluh Demam, terus menerus dengan suhu

13
39,50C, demam hanya turun apabila diberikan obat paracetamol kemudian
kembali naik, Batuk (-), Rhinorea (-), Cephalgia (-), Sesak nafas (-), Suara serak (-
) Stridor (-), hidung tersumbat saat pagi dan malam hari (-) , Otorhea,
pendengaran berkurang (-), telinga terasa tertutup (-), telinga berdenging (-), nyeri
di telinga (-), gigi berlubang (-), napas berbau (+). BAB dan BAK tidak ada
keluhan. kemudian pasien dibawa ke RS temanggung dan dikatakan suspek
difteri, akan tetapi hasil swab tenggorok negatif. Kemudian pasien dirujuk ke IGD
RSDK untuk pemeriksaan lebih lanjut. Di RSUD Temanggung pasien telah
diberikan antibiotik Eritromisin, Parasetamol, dan Multivitamin.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan Febris 38,20C ,faring hiperemis, tonsil T3-T3,
hiperemis, permukaan tidak rata, Pseudo membran (+)

III. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS

Tonsilofaringitis akut et causa viral

Tonsilofaringitis akut et causa bakterial

IV. DIAGNOSIS SEMENTARA

Suspek Tonsilofaringitis Difteria

V. RENCANA PENGELOLAAN :

IpDx : S: -

O: Lab darah rutin, Swab tenggorok, pengecatan gram, kultur

IpRx :

 Infus D5% 1/2 NS 720/30 ml/jam

 Erithromycin 400 mg/6 jam p.o

 Paracetamol 500 mg/6 jam p.o ( bila T>38oC)

14
VI. EDUKASI :

 Menjelaskan pada pasien mengenai peradangan pada faring dan tonsil yang
dialami pasien serta kemungkinan penyebabnya.

 Menjelaskan kepada pasien dan keluarga agar selalu menggunakan masker.

 Memberikan edukasi untuk beristirahat, banyak mengonsumsi makanan


bergizi, dan minum air putih.

 Mengedukasi pasien agar selalu menjaga kebersihan mulut, dan mencuci


tangan secara teratur.

 Apabila ada keluhan yang serupa, pasien dan keluarga pasien dianjurkan
untuk berobat.

VII. PROGNOSIS :

 Quo ad vitam : Ad bonam


 Quo ad sanam : Ad bonam
 Quo ad fungsionam : Dubia ad bonam

15
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi & Fisiologi

16
3.1.1 Faring

Faring adalah suatu tabung fibromuskular yang dilapisi oleh selaput lendir
yang merupakan bagian dari sistem pencernaan. Di bagian belakang mukosa
dinding faring terdapat dasar tulang sfenoid dan dasar tulang oksipital. Di sebelah
atas dari faring terdapat adenoid. Muara tuba eustachius pars kartilaginosa yang
disebut fossa rosenmulleri terletak di dinding lateral dari faring. Faring terletak di
posterior rongga hidung dan mulut dan posterior ke laring. Oleh karena itu, faring
terbagi menjadi bagian hidung, mulut, dan laring: (1) nasofaring, (2) orofaring,
dan (3) laringofaring. Faring meluas dari dasar tengkorak sampai ke batas inferior
tulang rawan krikoid (di sekitar tingkat vertebra C6), di mana ia menjadi kontinyu
dengan kerongkongan.4-6

Gambar 2. Anatomi Faring (Netter)


Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia
faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fascia buccofaringeal. Di
sepanjang faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang terletak
dalam rangkaian jaringan ikat yang termasuk dalam sistem retikuloendotelial.
Fungsi faring terutama untuk pernapasan, penelanan, resonansi suara dan

17
artikulasi. Proses penelanan dibagi menjadi 3 tahap. Tahap pertama adalah
gerakan makanan dari mulut ke faring secara volunter. Tahap kedua transport
makanan melalui faring. Tahap ketiga jalannya bolus melalui esophagus
keduanya secara involunter.4-6

3.2 Faringitis Akut

3.2.1 Definisi

Faringitis akut adalah infeksi pada faring yang disebabkan oleh virus atau
bakteri, yang ditandai oleh adanya nyeri tenggorok, faring eksudat dan hiperemis,
demam, pembesaran kelenjar getah bening leher dan malaise. Faringitis akut dan
tonsillitis akut sering ditemukan bersama-sama dan dapat menyerang semua umur.
Penyakit ini ditular melalui kontak dari sekret hidung dan ludah (droplet
infections).5,6

3.2.2 Etiologi
Faringitis dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Banyak
mikroorganisme yang dapat menyebabkan faringitis, antaranya virus (40-60%)
dan bakteri (5-40%) yang paling sering . Kebanyakan faringitis akut disebabkan
oleh agen virus. Virus yang menyebabkan faringitis termasuk Influenza virus,
Parainfluenza virus, Coronavirus, Coxsackie viruses A dan B, Cytomegalovirus,
Adenovirus dan Epstein Barr Virus (EBV). Selain itu, infeksi Human
Immunodeficiency virus (HIV) juga dapat menyebabkan terjadinya faringitis.4
Faringitis akut yang disebabkan oleh bakteri termasuk Group A Beta
Hemolytic Streptococcus (GABHS), Group C Beta Hemolytic Streptococcus,
Neisseria gonorrhoeae, Corynebacterium diphtheria, Arcanobacterium
haemolyticum dan sebagainya. Infeksi Group A Beta Hemolytic Streptococcus
(GABHS) merupakan penyebab faringitis akut pada 5-15% dewasa dan 20-30%
pada anak-anak (5-15 tahun).4
Faringitis dapat menular melalui droplet infection dari orang yang
menderita faringitis. Faktor risiko lain penyebab faringitis akut yaitu udara yang

18
dingin, turunnya daya tahan tubuh yang disebabkan infeksi virus influenza,
konsumsi makanan yang kurang gizi, konsumsi alkohol yang berlebihan,
merokok, dan seseorang yang tinggal di lingkungan kita yang menderita sakit
tenggorok atau demam.4

3.2.3 Patofisiologi Faringitis Akut

Penularan faringitis akut dimulai dengan masuknya mikroorganisme ke


saluran napas melalui droplets. Perjalanan penyakitnya ialah terjadi inokulasi dari
agen infeksius di faring yang menyebabkan peradangan lokal, sehingga
menyebabkan eritema faring, tonsil, atau keduanya. Mikroorganisme akan
menginfiltrasi lapisan epitel dan mengikis epitel sehingga jaringan limfoid
superficial melakukan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada stadium awal
mukosa berubah menjadi hiperemis, kemudian udem, dan sekresi meningkat.
Hiperemis terjadi akibat pelebaran pembuluh darah dinding faring. Eksudat mula-
mula serosa tapi menjadi menebal dan cenderung menjadi kering dan dapat
melekat pada dinding faring. Tampak bahwa folikel dan bercak-bercak pada
dinding faring posterior atau terletak lebih ke lateral menjadi meradang dan
membengkak sehingga timbul radang pada tenggorok atau faringitis.5
The 2000 National Ambulatory Medical Care Survey menemukan bahwa
faringitis akut menyumbang 1,1 persen kunjungan di tempat perawatan primer
dan berada di peringkat 20 besar diagnosis primer yang dilaporkan yang
menyebabkan kunjungan ke rumah. Musim puncak sakit tenggorokan meliputi
musim dingin dan awal musim semi. Penularan faringitis virus dan GABHS khas
terjadi terutama dengan kontak tangan dengan nasal discharge, bukan dengan
kontak oral. Gejala berkembang setelah masa inkubasi singkat 24 sampai 72 jam.7

19
Gambar 3. Bagan Manifestasi Klinis Faringitis
(Arif Mansjoer. Ikatan Dokter AnakIndonesia, 2008.)

3.2.4 Gejala Faringitis Akut


Secara garis besar faringitis menunjukkan tanda dan gejala umum seperti
lemas, anorexia, demam, suara serak, kaku dan sakit pada otot leher. Namun,
faringitis juga memiliki gejala yang khas berdasarkan mikroorganisme
penyebabnya, yaitu:7
a. Faringitis viral.
Penyebab tersering faringitis viral adalah Rhinovirus. Gejala diawali
dengan gejala rhinitis dan beberapa hari kemudian timbul faringitis.
Gejala lain demam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorokan dan sulit
menelan.
b. Faringitis bakterial
Infeksi dari Group A Streptococcus Beta Hemotilikus merupakan
penyebab faringitis akut pada dewasa (15%) dan anak (30%). Gejala
yang terjadi adalah nyeri kepala hebat, muntah, kadang disertai demam
dengan suhu yang tinggi, dan jarang disertai batuk.

20
c. Faringitis fungal

Biasanya diakibatkan oleh Candida yang tumbuh di mukosa rongga


mulut dan faring. Gejala yang timbul terutama nyeri tenggorok dan nyeri
menelan.4

3.2.5 Diagnosis Faringitis


Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.

1. Anamnesis
Pasien umumnya datang dengan keluhan nyeri tenggorok, sakit jika
menelan, batuk, lemas, anorexia, demam, dan suara serak. Gejala spesifik
yang pasien keluhkan dapat membuat kita semakin dekat dengan diagnosis
etiologis dari faringitis bakteri.
Faringitis akut dapat dibedakan dengan faringitis kronik dan faringitis
spesifik dengan anamnesis gejala-gejala dan faktor predisposisi dari penyakit.
Faringitis kronis mempunyai faktor predisposisi berupa alergi, iritasi, infeksi
akut sebelumnya, kelainan di bagian proksimal dari faring (sinusitis kronik,
adenoiditis kronik, hipertrofi konka), gastritis, atau infeksi gigi. Faringitis
kronik juga dibagi menjadi dua, yaitu faringitis hiperplastik yang mempunyai
gejala tenggorokan yang berdahak dan faringitis atrofi yang mempunyai
gejala tenggorokan kering serta mulut berbau. Faringitis spesifik dapat berupa
faringitis luetika atau pun faringitis tuberkulosis. Pasien dengan faringitis
tuberkulosis mengalami nyeri hebat pada faring, telinga, dan pembesaran
kelenjar limfe leher, serta tidak berespon dengan pengobatan bakterial non
spesifik. Pada faringitis luetika, penting untuk menanyakan riwayat hubungan
seksual pasien.4
Selain itu perlu juga ditanyakan adanya faktor risiko faringitis pada
pasien, antara lain paparan udara yang dingin, menurunnya daya tahan tubuh,
konsumsi makanan yang kurang gizi, iritasi kronik oleh rokok, minum

21
alkohol, makanan, refluks asam lambung, dan inhalasi uap yang merangsang
mukosa faring.8

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik khas berdasarkan jenisnya:

a. Faringitis viral, pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil


hiperemis, (Influenza virus, Coxsackievirus, Cytomegalovirus tidak
menghasilkan eksudat). Pada Coxsackievirus dapat menimbulkan
lesi vesikular di orofaring dan lesi kulit berupa maculopapular
rash. Epstein Barr Virus (EBV) menyebabkan faringitis yang
disertai produksi eksudat yang banyak pada faring.

Gambar 4. Faringitis viral (Usatine)

b. Faringitis bakterial: pada pemeriksaan tampak tonsil membesar,


edema uvula, faring dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat di
permukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak ptechiae
pada palatum dan faring. Kadang ditemukan kelenjar limfa leher
anterior membesar, kenyal dan nyeri pada penekanan. Jika
dicurigai faringitis yang disebabkan oleh Streptococcus, seorang
dokter harus mendengar adanya suara murmur pada jantung dan
mengevaluasi apakah pada pasien terdapat pembesaran lien dan
hepar. Apabila terdapat tonsil eksudat, pembengkakan kelenjar

22
limfe leher, tidak disertai batuk dan suhu badan meningkat sampai
38ºC maka dicurigai adanya faringitis karena infeksi GABHS.4

Gambar 5. Faringitis bakterial

c. Faringitis fungal (Candida): pada pemeriksaan tampak plak putih


diorofaring dan pangkal lidah, sedangkan mukosa faring lainnya
hiperemis.
d. Faringitis kronik hiperplastik: pada pemeriksaan tampak kelenjar
limfa di bawah mukosa faring dan lateral hiperplasi. Pada
pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata dan
bergranular (cobble stone).

Gambar 6. Cobble stones pada faringitis kronik hiperplastik (Usatine9)


e. Faringitis kronik atrofi: pada pemeriksaan tampak mukosa faring
ditutupi oleh lendir yang kental dan bila diangkat tampak mukosa
kering.

23
f. Faringitis tuberkulosis: pada pemeriksaan tampak granuloma
perkejuan pada mukosa faring dan laring.
g. Faringitis luetika:
1. Stadium primer: pada lidah palatum mole, tonsil, dan dinding
posterior faring berbentuk bercak keputihan. Bila infeksi berlanjut
timbul ulkus pada daerah faring seperti ulkus pada genitalia yaitu
tidak nyeri. Juga didapatkan pembesaran kelenjar mandibula.
2. Stadium sekunder : pada dinding faring terdapat eritema yang menjalar
ke arah laring.
3. Stadium tersier: terdapat guma. Predileksi pada tonsil dan palatum.

3. Pemeriksaan penunjang
Kultur tenggorok dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis
faringitis yang disebabkan oleh bakteri GABHS (Group A β-hemolytic
Streptococcus). Pemeriksaan kultur memiliki sensitivitas 90-95% dari
diagnosis. Kultur tenggorok sangat penting bagi penderita yang
mengalami keluhan lebih dari 10 hari.10
Meskipun kultur tenggorokan tetap menjadi gold standard untuk
mendiagnosis GABHS, waktu yang diperlukan untuk pemeriksaan cukup
panjang untuk mendapatkan hasil yaitu 1-2 hari. Tes deteksi antigen dapat
memberikan hasil dalam waktu kurang dari 15 menit. Rapid antigen
detection test (RADT) merupakan suatu metode untuk mendiagnosa
faringitis karena infeksi GABHS pada stadium awal untuk menentukan
pemberian terapi dan mencegah penularan. Tes ini diindikasikan jika pasien
memiliki risiko sedang pada skor centor atau McIsaac atau jika seorang
dokter memberikan terapi antibiotik pada pasien dengan risiko tinggi.10

24
Kriteria Poin

Tidak ada batuk 1

Demam (>380 C) 1

Adenopati servikal anterior 1

Tonsil bengkak atau bereksudat 1

Usia
Gambar 7.Rapid
3-14 tahun 1
antigen detection test
untuk Group 15-44 tahun 0 A β-
hemolytic
>45 tahun -1

Streptococcus

Skor Centor dengan modifikasi dapat digunakan untuk membantu


seorang klinisi memutuskan dalam menilai kemungkinan seorang terkena
faringitis karena GABHS. Skor -1 atau 0 memiliki probabilitas infeksi
GABHS sebesar 1%; skor 1,2,3 memiliki probabilitas infeksi GABHS

25
sebesar 10-35%; skor 4 dan 5 memiliki probabilitas infeksi GABHS sebesar
51%.10
Streptolisin O merupakan toksin esktraselular spesifik GABHS yang
mampu merusak membran sel. Antistreptolisin O di dalam serum terdeteksi
setelah infeksi GABHS, tidak hanya di tonsil atau faring tetapi di seluruh
tubuh. Antibodi meningkat menuju maksimal setelah 1-3 minggu infeksi
GABHS dan menurun hingga tingkat yang insignifikan setelah 6 bulan.
Titer antistreptolisin O juga meningkat dalam kondisi akut akibat GABHS.
Namun pemeriksaan antistreptolisin O bukan merupakan pemeriksaan yang
valid untuk memastikan keberadaan GABHS. Tingginya kadar
antistreptolisin O tidak dapat digunakan sebagai indikasi untuk diberikan
antibiotik ataupun tonsilektomi.11,12

4. Terapi Faringitis
Tujuan terapi adalah mengatasi gejala secepat mungkin, membatasi
penyebaran infeksi serta membatasi komplikasi. Penatalaksanaan faringitis
meliputi penatalaksanaan umum dan penatalaksanaan spesifik.
Penatalaksanaan umum pada pasien dengan faringitis meliputi istirahat
(bed rest), mengkonsumsi banyak air hangat, gargle salin hangat atau
irigasi faring, dan pemberian analgesik untuk mengurangi rasa nyeri.
Pasien dan keluarga perlu diberikan edukasi untuk mengkonsumsi
makanan bergizi dan olahraga teratur, berhenti merokok bagi anggota
keluarga yang merokok, menghindari makan makanan yang dapat
mengiritasi tenggorok, selalu menjaga kebersihan mulut, dan mencuci
tangan secara teratur.
Penatalaksaan spesifik dilakukan berdasarkan pada etiologi atau
penyebab dari faringitis. Penatalaksanaan spesifik pada faringitis yaitu:
a. Faringitis virus: Biasanya self-relieving. Namun, pada keadaan
tertentu, diberikan anti virus metisoprinol (isoprenosine) dengan dosis
60-100 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 x/hari pada orang dewasa dan pada
anak <5 tahun diberikan 50 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 x/hari.

26
b. Faringitis bakterial: bila diduga penyebabnya Group A β-hemolytic
Streptococcus, diberikan antibiotik Penicillin G Benzatin 50.000
U/kgBB/IM dosis tunggal bila pasien tidak alergi penisilin, atau
Amoksisilin 50 mg/kgBB dosis dibagi 3 x/hari selama 10 hari dan
pada dewasa 3 x 500 mg selama 6-10 hari, atau Eritromisin 4 x 500
mg/hari. Dapat diberikan kortikosteroid dan analgetik.
c. Faringitis fungal: Nystatin 100.000-400.000 IU, 2 x/hari.
d. Pada faringitis gonorea: dapat diberikan sefalosporin generasi ke-3,
seperti Ceftriaxon 2 gr IV/IM single dose.
e. Faringitis kronik hiperplastik: terapi lokal dengan melakukan kaustik
faring dengan memakai zat kimia larutan nitras argentin 25%.
f. Faringitis kronik atrofi:pengobatan ditujukan pada rhinitis atrofi.
g. Faringitis spesifik: luetika: penisilin dosis tinggi; tuberculosis : sesuai
pengobatan TB paru.13

3.2.6 Komplikasi
Komplikasi pada faringitis utamanya ditemui pada faringitis bakterial
yaitu dapat terjadi sinusitis, otitis media, epiglotitis, mastoiditis, dan pneumonia.
Komplikasi supuratif dari faringitis bakterial disebabkan oleh penyebaran infeksi
dari mukosa faring via hematogen, limfatik, atau persebaran langsung; abses
peritonsil; atau servikal limfadenitis supuratif. Komplikasi hingga terbentuknya
abses menyebabkan pengobatan menggunakan antibiotik menjadi terganggu. Hal
ini disebabkan karena biasanya hasil isolasi dari abses menggambarkan infeksi
yang bersifat polimikrobial.
Komplikasi nonsupuratif yang berkaitan dengan infeksi GAS dapat
mengakibatkan demam rematik akut (3-5 minggu post infeksi), glomerulonefritis
post-streptokokus, dan sindroma syok toksik.
Komplikasi infeksi mononucleosis yaitu ruptur lien (menghindari olahraga
selama 6 minggu), hepatitis, Guillain-Barre Syndrome, ensephalitis, anemia
hemolitikus, agranulositosis, miokarditis, limfoma sel-B, dan karsinoma

27
nasofaring. Penggunaan penisilin pada kasus mononukleosis menyebabkan
insidensi terjadinya rash.13

3.2.7 Prognosis
Prognosis untuk faringitis akut sangat baik pada sebagian besar kasus.
Biasanya faringitis akut sembuh dalam waktu 10 hari, namun harus berhati-hati
dengan komplikasi yang berpotensi terjadi.

3.3 Anatomi

3.3.1 Tonsil

Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori.

Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di

faring yang terdiri dari tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil lingual,

dan tonsil tubal.20

Gambar 8. Cincin Waldeyer

28
3.3.1.1 Tonsil Palatina

Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam

fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot

palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval

dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang

meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa

tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar.21

Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsilla palatina adalah :

1. Anterior : arcus palatoglossus

2. Posterior : arcus palatopharyngeus

3. Superior : palatum mole

4. Inferior : 1/3 posterior lidah

5. Medial : ruang orofaring

6. Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior

29
Gambar 9. Tonsil palatina

Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga

melapisi invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di bawah

jaringan ikat dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam

stroma jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan

bagian penting mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di seluruh tubuh

sepanjang jalur pembuluh limfatik. Noduli sering saling menyatu dan umumnya

memperlihatkan pusat germinal.22

3.1.1.2 Tonsil Faringeal (Adenoid)

Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan

limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut

tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau

kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di

bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai

kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di

nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat
30
meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid

bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai

ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi.23

3.1.1.3 Tonsil Lingual

Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh

ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini

terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla

sirkumvalata.24

3.1.1.4 Fosa Tonsil

Fosa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah

otot palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan batas lateral atau

dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior (Shnayder, Y, 2008).

Berlawanan dengan dinding otot yang tipis ini, pada bagian luar dinding faring

terdapat nervus ke IX yaitu nervus glosofaringeal.25

3.4 Tonsilitis

Tonsil merupakan bagian dari jaringan limfoid yang melingkari faring dan
secara kolektif dikenal sebagai cincin waldeyer. Cincin ini terdiri dari jaringan
limfoid dari dasar lidah (tonsil lidah), dua tonsil tekak, adenoid, dan jaringan
limfoid pada dinding posterior. Jaringan ini berperan sebagai pertahanan terhadap
infeksi, tetapi ia dapat menjadi tempat infeksi akut atau kronis.

Tonsil terdiri atas:

1. Tonsil faringealis atau adenoid, agak menonjol keluar dari atas faring dan
terletak di belakang koana.

31
2. Tonsil palatina atau faucial, dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa lapisan
tanduk.

3. Tonsil lingual atau tonsil pangkal lidah, epitel berlapis gepeng tanpa lapisan
tanduk.

Tonsil berfungsi mencegah agar infeksi tidak menyebar ke seluruh tubuh


dengan cara menahan kuman memasuki tubuh melalui mulut, hidung, dan
kerongkongan, oleh karena itu tidak jarang tonsil mengalami peradangan.
Peradangan pada tonsil disebut dengan tonsilitis, penyakit ini merupakan salah
satu gangguan Telinga, Hidung dan Tenggorokan ( THT ).

Sistem imunitas ada 2 macam yaitu imunitas seluler dan humoral.


Imunitas seluler bekerja dengan membuat sel (limfoid T) yang dapat “memakan“
kuman dan virus serta membunuhnya. Sedangkan imunitas humoral bekerja
karena adanya sel (limfoid B) yang dapat menghasilkan zat immunoglobulin yang
dapat membunuh kuman dan virus. Kuman yang dimakan oleh imunitas seluler
tonsil dan adenoid terkadang tidak mati dan tetap bersarang disana serta
menyebabkan infeksi amandel yang kronis dan berulang (Tonsilitis kronis).
Infeksi yang berulang ini akan menyebabkan tonsil dan adenoid bekerja terus
dengan memproduksi sel-sel imun yang banyak sehingga ukuran tonsil dan
adenoid akan membesar dengan cepat melebihi ukuran yang normal.

3.4.1 Etiologi

Penyebab tonsilitis adalah infeksi kuman Streptococcus beta hemolyticus,


Streptococcus viridans, dan Streptococcus pyogenes, dapat juga disebabkan oleh
infeksi virus (Soepardi, 2007).

3.4.2 Patofisiologi

32
Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut, amandel
berperan sebagai filter atau penyaring yang menyelimuti organisme berbahaya,
sel-sel darah putih ini akan menyebabkan infeksi ringan pada amandel. Hal ini
akan memicu tubuh untuk membentuk antibodi terhadap infeksi yang akan
datang, akan tetapi kadang-kadang amandel sudah kelelahan menahan infeksi atau
virus. Infeksi bakteri dari virus inilah yang menyebabkan tonsilitis.

Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan


limfoid superficial mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan
infiltrasi leukosit poli morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada korpus
tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan
kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsilitis akut dengan
detritus disebut tonsilitis falikularis, bila bercak detritus berdekatan menjadi satu
maka terjadi tonsilitis lakunaris. Tonsilitis dimulai dengan gejala sakit
tenggorokan ringan hingga menjadi parah. Pasien hanya mengeluh merasa sakit
tenggorokannya sehingga nafsu makan berkurang. Radang pada tonsil dapat
menyebabkan kesukaran menelan, panas, bengkak, dan kelenjar getah bening
melemah di dalam daerah sub mandibuler, sakit pada sendi dan otot, kedinginan,
seluruh tubuh sakit, sakit kepala dan biasanya sakit pada telinga. Sekresi yang
berlebih membuat pasien mengeluh sukar menelan, belakang tenggorokan akan
terasa mengental. Hal-hal yang tidak menyenangkan tersebut biasanya berakhir
setelah 72 jam.

Bila bercak melebar, lebih besar lagi sehingga terbentuk membran semu
(Pseudomembran), sedangkan pada tonsilitis kronik terjadi karena proses radang
berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada proses
penyembuhan, jaringan limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akan
mengkerut sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan diisi oleh
detritus, proses ini meluas sehingga menembus kapsul dan akhirnya timbul
perlengketan. dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai
dengan pembesaran kelenjar limfe submandibula.

33
3.4.3 Pengertian

Tonsilitis merupakan peradangan pada tonsil palatina, yaitu suatu massa


jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil pada lateral orofaring, dan
dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot
palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing
tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Bagian
bawah tonsil palatina dibatasi oleh tonsil lingualis. Tonsil palatina merupakan
bagian dari cincin Waldeyer yaitu jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di
faring yang terdiri dari tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil lingual,
dan tonsil tubal.

Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga melapisi
invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di bawah jaringan ikat
dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam stroma jaringan
ikat retikular dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan bagian penting
mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang jalur
pembuluh limfatik.Tonsila palatina lebih padat dibandingkan jaringan limfoid
lain.

Gambar 5. Anatomi Tonsil dan Cincin Waldeyer.

34
3.4.4 Diagnosis
a. Anamnesis
Penderita sering datang dengan keluhan rasa sakit pada tenggorok yang
terus menerus, sakit waktu menelan, nafas bau busuk, malaise, kadang-
kadang ada demam dan nyeri pada leher.
b. Pemeriksaan Fisik
Tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi, hiperemis, edem dan
jaringan parut dan detritus (tonsillitis kronik)
Pembesaran tonsil diukur berdasarkan criteria berikut:
 T0: Tonsil terletak pada fosa tonsil (tidak ada pembesaran/tidak punya
tonsil)
 T1: < 25% tonsil menutupi orofaring, (batas medial tonsil melewati pilar
anterior sampai ¼ jarak pilar anterior uvula)
 T2: > 25% sampai< 50% tonsil menutupi orofaring, (batas medial tonsil
melewati ¼ jarak pilar anterior-uvula sampai ½ jarak pilar anterior-
uvula)
 T3:> 50% sampai< 75% tonsil menutupi orofaring,(batas medial tonsil
melewati ½ jarak pilar anterior-uvula sampai ¾ jarak pilar anterior
uvula).
 T4: >75%, tonsil menutupi orofaring (batas medial tonsil melewati
¾jarak pilar anterior-uvula sampai uvula atau lebih).

c. Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan kultur dan uji resistensi (sensitifitas) kuman dari sediaan
apus tonsil.

3.4.5 Tonsilitis Akut

35
a. Tonsillitis viral
Penyebab yang paling sering adalah virus Epstein Barr. Haemofillus
influenza merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif. Gejala tonsilitis
viral menyerupai common cold yang disertai rasa nyeri tenggoirok. Dapat
ditemukan tonsil membengkak dan hiperemis. Jika terjadi infeksi virus
coxschakie, tampak luka – luka kecil pada palataum dan tonsil yang sangat
nyeri dirasakan pasien.

Terapi : Istirahat, minum cukup, analgetika dan antivirus diberikan jika


gejala berat.

b. Tonsillitis Bacterial
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A Streptokokkus B
hemolitikus (strept throat, pneumokokus) Streptokokus viridan dan
Streptokokus piogenes. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil
akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit
polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus yang tampak seperti bercak
kuning. Gejala yang sering ditemukan adalah nyeri tenggorok dan nyeri
waktu menelan, demam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa lesu, rasa
nyeri di sendi-sendi, tidak nafsu makan dan rasa nyeri di telinga.(otalgia).

Pada pemeriksaan fisik tampak tonsil membengkak, hiperemis, dan


terdapat detritus berbentuk folikel, lakuna atau tertutup oleh membran
semu. Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri tekan.

Terapi : antibiotika spektrum luas, penisillin, erithromisin. Antipiretik dan


obat kumur yang mengandung desinfektan.

36
Gambar 6.Tonsilitis Akut

3.4.6 Tonsilitis Membranosa


1. Tonsillitis difteri
Penyebab tonsilitis difteri ialah kuman Corynebacterium diphteriae.
Gejala klinis suhu tubuh sub febris, nyeri kepasla, tidak nafsu makan,
badan lemah, nadi lambat, serta keluhan nyeri menelan. Pemeriksaan fisik
tonsil tampak membengkak ditutupi membran putih kotor, dapat meluas ke
palatum mole, uvula, nasofaring, laring, trakea, dan bronkhus serta dapat
menyumbat saluran nafas. Membran melekat erat pada dasarnya,apabila
diangkat mudah berdarah. Bila infeksi berjalan terus, maka kelenjar limfa
akan membengkak sehingga leher menyerupai leher sapi (Bullneck).
2. Tonsilitis Septik
Penyebabnya adalah Streptokokus hemolitikus yang terdapat dalam susu
sapi.

3. Angina Plaut Vincent


Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau triponema pada
penderta dengan hygiene muliut kurang dan defisiensi Vitamin C.Gejala
klinis emam 39 derajat Celsius, nyeri kepala, badan lemah, gangguan
percernaan, hipersalivasi, gigi dan gusi mudah berdarah. Pemeriksaan fisik
didapatkan mukosa hiperemis, membrane putih keabuan, mulut berbau,
pembesaran kelenjar sub mandibula.

37
Gambar 7. Tonsillitis Difteri (kiri), Angina Plaut Vincent (kanan)

3.4.7 Tonsilitis Kronik


Tonsilitis kronis adalah peradangan tonsil yang menetap > 3 bulan sebagai
akibat infeksi akut atau subklinis yang berulang. Etiologi penyakit ini
dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari tonsilitis akut yang
mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil, atau kerusakan ini dapat
terjadi bila fase resolusi tidak sempurna.
Proses radang berulang yang timbul menyebabkan epitel mukosa dan
jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan
limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan
sehingga kripta melebar. Secara klinik kripta ini tampak diisi oleh detritus.
Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya
menimbulkan perlekatan dengan jaringan disekitar fossa tonsilaris.

3.4.8 Faktor Predisposisi

Berikut faktor predisposisi tonsilitis kronis:

 Rangsangan kronik (rokok, makanan)

 Higiene mulut yang buruk

 Pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah-ubah)

 Alergi (iritasi kronik dari alergen)

38
 Keadaan umum (kurang gizi, kelelahan fisik)

 Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.

3.4.9 Gejala

Gejala yang muncul antara lain rasa nyeri di tenggorok, rasa kering
di tenggorok dan nafas berbau, obstructive sleep apneu syndrome. Pada
pemeriksaan fisik tonsil tampak membesar dengan permukaan yang tidak
rata, kripte melebar dan beberapa kripte terisi oleh detritus, pembesaran
kelenjar sub angulus mandibular. Terapi lokal ditujukan kepada hygiene
dengan berkumur atau obat isap.

3.4.10 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tonsilitis kronis dibagi menjadi penatalaksanaan dengan:

a. Medikamentosa

Pemberian antibiotika sesuai kultur. Pemberian antibiotika yang


bermanfaat pada penderita Tonsilitis Kronis: Cephaleksin ditambah
metronidazole, klindamisin (terutama jika disebabkan mononukleosis atau
abses), amoksisilin dengan asam klavulanat (jika bukan disebabkan
mononukleosis).

b. Operatif (Tonsilektomi)

Indikasi Tonsilektomi

Tonsilektomi didefinisikan sebagai suatu tindakan bedah yang mengangkat


keseluruhan jaringan tonsil palatina, termasuk kapsulnya dengan
melakukan diseksi ruang peritonsiler diantar kapsula tonsil dan dinding

39
muskuler tonsil. Tindakan ini dapat dilakukan dengan atau tanpa
adenoidektomi. 6,7

Indikasi Operasi

a. Obstruksi 8,9,10
Hiperplasia/hipertrofi tonsil yang menyebabkan gangguan berupa:

1) Gangguan bernapas saat tidur.


 Obstructive sleep apnea syndrome
 Upper airway resistance syndrome
 Obstructive hypoventilation syndrome
2) Gagal tumbuh
3) Cor pulmonale
4) Gangguan menelan
5) Gangguan berbicara
6) Abnormalitas orofacial/dental
7) Gangguan limfoproliferatif8
b. Infeksi

1) Tonsilitis rekuren/kronik9,10

2) Tonsilitis dengan :

 Abses nodus cervical

 Obstruksi jalan napas akut

 Penyakit jantung katup

3) Tonsilitis persisten dengan :

 Sore throat persisten

 Nodus cervical yang nyeri

 Halitosis

4) Tonsilolithiasis
40
5) Status karier streptococcal yang tidak responsif terhadap terapi
medis pada anak-anak atau keluarga yang beresiko9,10

6) Abses peritonsial yang tidak responsif terhadap terapi medis atau


pada pasien dengan tonsilitis rekuren atau abses rekuren8

7) Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam9

8) Terjadi 3 atau lebih infeksi tonsil dalam satu tahun dengan


pengobatan adekuat9

c. Neoplasma

Tersangka neoplasma, baik benigna maupun maligna.8,11

(Cummings, 2005; HTA, 2004; HTA Ireland 2013)

Ada pula indikasi dengan menggunakan kriteria Paradise 12, yaitu :

1) ≥ 7 episode tonsilitis per tahun dengan pengobatan adekuat

2) ≥ 5 episode tonsilitis per tahun dalam 2 tahun terakhir

3) ≥ 3 episode tonsilitis per tahun dalam 3 tahun berturut-turut

Tonsilitis dengan gejala nyeri tenggorok disertai paling tidak 1 dari


gejala berikut:

1) Demam ≥ 38,3°

2) Cervical limfadenopati

3) Tonsilar eksudat

4) Positif kultur Streptokokus beta hemolitikus

3.4.11 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi dari tonsilitis kronis:

41
a) Abses peritonsil. Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan
mengenai jaringan sekitarnya. Abses biasanya terdapat pada daerah
antara kapsul tonsil dan otot-otot yang mengelilingi faringealbed. Hal
ini paling sering terjadi pada penderita dengan serangan berulang.
Gejala penderita adalah malaise yang bermakna, odinofagi yang berat
dan trismus. Diagnosa dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi abses

b) Abses parafaring. Gejala utama adalah trismus, indurasi atau


pembengkakan di sekitar angulus mandibula, demam tinggi dan
pembengkakan dinding lateral faring sehingga menonjol kearah
medial.

c) Abses intratonsilar. Merupakan akumulasi pus yang berada dalam


substansi tonsil.Biasanya diikuti dengan penutupan kripta pada
Tonsilitis Folikular akut.Dijumpai nyeri lokal dan disfagia yang
bermakna.Tonsil terlihat membesar dan merah.

d) Tonsilolith (kalkulus tonsil). Tonsililith dapat ditemukan pada Tonsilitis


Kronis bila kripta diblokade oleh sisa-sisa dari debris. Garam inorganic
kalsium dan magnesium kemudian tersimpan yang memicu
terbentuknya batu. Batu tersebut dapat membesar secara bertahap dan
kemudian dapat terjadi ulserasi dari tonsil. Tonsilolith lebih sering
terjadi pada dewasa dan menambah rasa tidak nyaman local atau
foreign body sensation. Hal ini didiagnosa dengan mudah dengan
melakukan palpasi atau ditemukannya permukaan yang tidak rata pada
perabaan.

e) Kista tonsilar. Disebabkan oleh blockade kripta tonsil dan terlihat


sebagai pembesaran kekuningan diatas tonsil.

f) Fokal infeksi dari demam rematik dan glomerulonefritis. Dalam


penelitiannya Xie melaporkan bahwa anti-streptokokal antibodi

meningkat pada 43% penderita Glomerulonefritis dan 33% diantaranya


mendapatkan kuman Streptokokus beta hemolitikus pada swab tonsil
42
yang merupakan kuman terbanyak pada tonsil dan faring. Hasil ini
megindikasikan kemungkinan infeksi tonsil menjadi patogenesa
terjadinya penyakit Glomerulonefritis.

3.4.12 Prognosis

Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat dan


pengobatan suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat
penderita Tonsilitis lebih nyaman.Bila antibiotika diberikan untuk
mengatasi infeksi, antibiotika tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan
demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita telah
mengalami perbaikan dalam waktu yang singkat.Gejala-gejala yang tetap
ada dapat menjadi indikasi bahwa penderita mengalami infeksi saluran
nafas lainnya, infeksi yang sering terjadi yaitu infeksi pada telinga dan
sinus. Pada kasus-kasus yang jarang, Tonsilitis dapat menjadi sumber dari
infeksi serius seperti demam rematik atau pneumoni.

43
BAB IV

PEMBAHASAN

Seorang Perempuan usia 23 tahun datang dengan keluhan Seorang wanita

berusia 23 tahun datang dengan keluhan nyeri di tenggorokan. ± 2 hari SMRS,

pasien mengeluhkan nyeri di tenggorokan, hilang timbul, nyeri dirasakan terutama

saat pasien menelan. Nyeri tidak memberat dengan aktivitas pasien, pasien masih

dapat beraktivitas sehari-hari seperti biasa. Pasien juga mengeluh tenggorokannya

sering terasa kering, tenggorokan terasa mengganjal (+), batuk (+) kadang-

kadang, terkadang tersedak saat minum (+), tidur mendengkur (+),sering

terbangun dari tidur akibat merasa sesak, napas berbau (+). BAB dan BAK dalam

batas normal. Pasien juga mengatakan sering mengalami keluhan yang sama dan

seringkali sembuh tanpa minum obat. + 1 tahun SMRS pasien pernah

memeriksakan diri ke RS Elisabeth, dikatakan ada pembesaran amandel dan

pasien disarankan untuk operasi tetapi pasien menolak. Pasien memiliki

kebiasaaan minum air es, makan gorengan dan makan makanan pedas.

Pemeriksaan fisik didapatkan mukosa faring hiperemis (+), tonsil Ukuran

T3/T3, hiperemis (+/+), edema (-/-), permukaan tidak rata (+/+), kripte melebar

(+/+), detritus (-/-), membran (-/-)

Gejala dan tanda tonsilitis kronik yang sering ditemukan adalah pasien
sering mengalami episode batuk pilek yang sering kambuh meksipun sudah
diberikan terapi yang adekuat dari dokter. Berbeda dengan tonsilitis akut, klinis
pasien pada tonsilitis kronik biasanya ditemukan demam subfebril atau bahkan

44
tidak disertai demam, nyeri kepala dan tidak didapatkan adanya nyeri telan, dan
biasa pada pasien tonsilitis kronik didapatkan ngorok saat tertidur, suka
mengantuk dan sulit berkonsentrasi saat beraktifitas/sekolah. Pasien dengan
tonsilitis kronik dapat mengalami episode akut kembali yang biasa disebut
tonsilitis kronik eksaserbasi akut yang ditandai dengan tonsil membesar,
permukaan tidak rata seperti permukaan bulan, warna hiperemis, kripte melebar
dan ditemukan detritus. Pada beberapa kasus bisa menimbulkan komplikasi
berupa pembesaran kelenjar limfa leher, cor pulmonal, OMA dan yang paling
berat komplikasinya adalah Penyakit jantung rematik terutam pada infeksi bakter
streptokokus beta hemolitikus. Proses peradangan pada tonsil dapat pula
melibatkan faring sehingga disebut tonsilofaringitis.

Pada pasien Ny. MA didapatkan gejala nyeri di tenggorokan, hilang


timbul, nyeri dirasakan terutama saat pasien menelan tenggorokan terasa
mengganjal (+), batuk (+) kadang-kadang, terkadang tersedak saat minum (+),
tidur mendengkur (+).Pasien memiliki kebiasaaan minum air es, makan gorengan
dan makan makanan pedas.

. Pemeriksaan fisik didapatkan mukosa faring hiperemis (+), tonsil

Ukuran T3/T3, hiperemis (+/+), edema (-/-), permukaan tidak rata (+/+), kripte

melebar (+/+), detritus (-/-), membran (-/-). ini menunjukan bahwa infeksi pada

daerah faring dan tonsil sudah berlangsung lama atau disebut kronik.

Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan dapat


ditegakkan diagnosisnya adalah tonsilofaringitis kronik eksaserbasi akut.
Prognosis pada pasien ini adalah ad bonam. Penatalaksanaan dari kasus ini adalah
pemberian antibiotik Amoxicillin untuk terapi kausatif dan terapi simptomatis.
Tindakan operatif yaitu tonsilektomi dapat dipertimbangkan karena terdapat
indikasi yaitu sumbatan jalan nafas yang menyebabkan gangguan tidur

45
BAB V

SIMPULAN

Tonsilofaringitis merupakan peradangan pada tonsil palatina, yaitu suatu


massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil pada lateral orofaring,
dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot
palatofaringeus) dan pada faring yang dapat disebabkan oleh virus (40-60%),
bakteri (5-40%), alergi, taruma, dan toksin. Biasanya terjadi pada musim dingin
yaitu akibat dari infeksi Streptococcus ß hemolyticus group A. Tonsilitis jarang
terjadi pada anak-anak kurang dari tiga tahun. Faktor resiko pada pasien ini adalah
higenitas mulut yang buruk dan penurunan sistem imun pasien. Pasien didiagnosis
menderita tonsilofaringitis kronik eksaserbasi akut berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik.

Terapi pada pasien ini adalah pemberian terapi antibiotik amoxicillin 500
mg 3 kali sehari dan terapi simptomatis. tindakan operatif yaitu tonsilektomi perlu
dipertimbangkan pada pasien ini karena telah terjadi keluhan sumbatan jalan nafas
pada pasien ini yaitu berupa mendengkur dan terbangun dari tidur.

46
DAFTAR PUSTAKA

1. Rusmarjono, Efiaty AS. Faringitis, tonsilitis, dan hipertrofi adenoid.


Dalam: Iskandar N, Efiaty J, Jenny B, Ratna D,Editor. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan THT-KL. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007. Hlm. 217-25.

2. Epocrates. Tonsillitis epidemiology. AnAthenahealth Service[internet].


2015 [disitasi tanggal 10 Mei 2018]. Tersedia dari:
http://onlie.epocrates.com/disea ses/59823/Tonsillitis/Epidemiology

3. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Indonesia.


Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia; 2012

4. Soepardi, E A dan Nurbaiti Iskandar, Jonny Bashiruddin, Restuti, R. D,


Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorokan-Kepala Leher,
7th Ed, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2012: 195.

5. Higler BA. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC, 1997.

6. O'Rahilly, R., Muller, F., Carpenter, S., and Swenson, R. Basic Human
Anatomy: A Regional Study of Human Structure. Chapter 53. City of
Publication: Cumberland House Publishing, 2008.

7. Vincent MT, Celestin N, Hussain AN. Pharyngitis. American Family


Physician 2010;69:1465-1470.
8. Bull TR. Color Atlas of ENT Diagnosis. Edisi 4. New York: Thieme
Stugart.
9. Usatine RP, Smith MA. Color Atlas of Family Medicine. Edisi Kedua.
2013. New York: The McGraw-Hill Companies.
10. Eibling DE. The oral cavity, pharynx, and esophagus. In: Lee KJ editor,
Essential otolaryngology head and neck nurgery, 9th ed. New York : Mc
Graw Hill Medical. 2008:530-51.(11).
11. Trushin V, Englender M. Clinical value of antistreptolysin O levels in
adult patients with tonsillitis: report I. Eur Arch Otorhinolaryngol 2016.

47
12. Hembrom R, et al. Evaluation of the Validity of High Serum
Antistreptolysin O Titre Only, as an Indication for Tonsillectomy. Indian
J Otolaryngol Head Neck Surg 2012.

13. Dhingra PL. Disease of Ear, Nose and Throat Fourth Edition. 2013.
Elsevier.
14.

48

Anda mungkin juga menyukai