2018
HALAMAN PENGESAHAN
Mengetahui
1
Penguji Pembimbing
dr. Yanuar Iman Santosa, Sp THT-KL dr. Tri Aditama Kumala Hasan
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
eksaserbasi akut yang datang ke poli THT RSND Semarang pada tanggal 4 Mei
2018
1.2 Tujuan
1.3 Manfaat
Penulisan laporan ini diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam
proses belajar menegakkan diagnosa hingga memberikan terapi yang tepat pada
pasien dengan tonsilofaringitis kronik eksaserbasi akut.
4
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : An. SF
Umur : 13 tahun
Agama : Islam
Alamat : Temanggung
Pekerjaan : Pelajar
Pendidikan : Tamat SD
2. Nyeri telan 8
4. Tidur mendengkur 8
5. Napas berbau 8
II. ANAMNESIS
Autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 6 Juli 2018 pukul 10.00 WIB di Poli
IGD RSND Semarang.
6
), Ngorok saat tidur (-), hidung tersumbat saat pagi dan malam hari (-), , keluar
cairan dari telinga (-), pendengaran berkurang (-), telinga terasa tertutup (-),
telinga berdenging (-), nyeri di telinga (-), gigi berlubang (-), napas berbau (+).
BAB dan BAK tidak ada keluhan. kemudian pasien dibawa ke RS temanggung
dan dikatakan suspek difteri, akan tetapi hasil swab tenggorok negatif. Kemudian
pasien dirujuk ke IGD RSDK untuk pemeriksaan lebih lanjut. Di RSUD
Temanggung pasien telah diberikan antibiotik Eritromisin, Parasetamol, dan
Multivitamin.
- Riwayat adik pasien menderita tonsilitis difteri (+) dan meninggal 3 hari
sebelumnya
- Riwayat alergi disangkal
- Riwayat batuk lama disangkal
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan seorang pelajar SD, memiliki seorang Bapak yang bekerja
sebagai guru dan Ibu yang bekerja sebagai guru. Pasien merupakan anak pertama
dari 4 bersaudara memiliki 3 orang adik yang belum mandiri. Pembayaran BPJS
Non PBI
Riwayat Perinatal
7
Ibu P1A0, Riwayat menjalani ANC >4x di bidan dan 1x di SPOG. Selama
kehamilan tidak ada riwayat Hipertensi, DM, trauma atau penyakit infeksi
lainnya. Pasien lahir spontan, Langsung menangis, cukup bulan, BBL 3400gram,
PBL 48cm, Ikterik (-), Sianosis (-).
Riwayat Imunisasi
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik pada tanggal 6 Juli 2018 pukul 10.30 WIB di Poli THT RSND
Semarang.
Aktivitas : Normoaktif
Kooperativitas : Kooperatif
Nadi : 87 x/menit
RR : 20 x/menit
Kepala : Mesosefal
8
Thorax :
Abdomen :I : Datar
Pe : Timpany
1. Telinga:
9
Gambar:
Hiperemis (-), nyeri tekan (-), Hiperemis (-), nyeri tekan (-),
Mastoid nyeri ketok (-), fistel(-), abses nyeri ketok (-), fistel(-), abses
(-) (-)
Gambar:
10
Pemeriksaan Luar
3. Tenggorok:
Gambar:
11
Orofaring Keterangan
Palatum Simetris, bombans (-), hiperemis (-), fistula (-), stomatitis (-)
Refleks
+
muntah
Kepala : Mesosefal
12
Leher anterior : Bull neck (-) ,Pembesaran nnll (+) pada
regio submandibula dextra
Lain-lain : (-)
Lain-lain : (-)
III. RINGKASAN :
13
39,50C, demam hanya turun apabila diberikan obat paracetamol kemudian
kembali naik, Batuk (-), Rhinorea (-), Cephalgia (-), Sesak nafas (-), Suara serak (-
) Stridor (-), hidung tersumbat saat pagi dan malam hari (-) , Otorhea,
pendengaran berkurang (-), telinga terasa tertutup (-), telinga berdenging (-), nyeri
di telinga (-), gigi berlubang (-), napas berbau (+). BAB dan BAK tidak ada
keluhan. kemudian pasien dibawa ke RS temanggung dan dikatakan suspek
difteri, akan tetapi hasil swab tenggorok negatif. Kemudian pasien dirujuk ke IGD
RSDK untuk pemeriksaan lebih lanjut. Di RSUD Temanggung pasien telah
diberikan antibiotik Eritromisin, Parasetamol, dan Multivitamin.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan Febris 38,20C ,faring hiperemis, tonsil T3-T3,
hiperemis, permukaan tidak rata, Pseudo membran (+)
V. RENCANA PENGELOLAAN :
IpDx : S: -
IpRx :
14
VI. EDUKASI :
Menjelaskan pada pasien mengenai peradangan pada faring dan tonsil yang
dialami pasien serta kemungkinan penyebabnya.
Apabila ada keluhan yang serupa, pasien dan keluarga pasien dianjurkan
untuk berobat.
VII. PROGNOSIS :
15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
16
3.1.1 Faring
Faring adalah suatu tabung fibromuskular yang dilapisi oleh selaput lendir
yang merupakan bagian dari sistem pencernaan. Di bagian belakang mukosa
dinding faring terdapat dasar tulang sfenoid dan dasar tulang oksipital. Di sebelah
atas dari faring terdapat adenoid. Muara tuba eustachius pars kartilaginosa yang
disebut fossa rosenmulleri terletak di dinding lateral dari faring. Faring terletak di
posterior rongga hidung dan mulut dan posterior ke laring. Oleh karena itu, faring
terbagi menjadi bagian hidung, mulut, dan laring: (1) nasofaring, (2) orofaring,
dan (3) laringofaring. Faring meluas dari dasar tengkorak sampai ke batas inferior
tulang rawan krikoid (di sekitar tingkat vertebra C6), di mana ia menjadi kontinyu
dengan kerongkongan.4-6
17
artikulasi. Proses penelanan dibagi menjadi 3 tahap. Tahap pertama adalah
gerakan makanan dari mulut ke faring secara volunter. Tahap kedua transport
makanan melalui faring. Tahap ketiga jalannya bolus melalui esophagus
keduanya secara involunter.4-6
3.2.1 Definisi
Faringitis akut adalah infeksi pada faring yang disebabkan oleh virus atau
bakteri, yang ditandai oleh adanya nyeri tenggorok, faring eksudat dan hiperemis,
demam, pembesaran kelenjar getah bening leher dan malaise. Faringitis akut dan
tonsillitis akut sering ditemukan bersama-sama dan dapat menyerang semua umur.
Penyakit ini ditular melalui kontak dari sekret hidung dan ludah (droplet
infections).5,6
3.2.2 Etiologi
Faringitis dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Banyak
mikroorganisme yang dapat menyebabkan faringitis, antaranya virus (40-60%)
dan bakteri (5-40%) yang paling sering . Kebanyakan faringitis akut disebabkan
oleh agen virus. Virus yang menyebabkan faringitis termasuk Influenza virus,
Parainfluenza virus, Coronavirus, Coxsackie viruses A dan B, Cytomegalovirus,
Adenovirus dan Epstein Barr Virus (EBV). Selain itu, infeksi Human
Immunodeficiency virus (HIV) juga dapat menyebabkan terjadinya faringitis.4
Faringitis akut yang disebabkan oleh bakteri termasuk Group A Beta
Hemolytic Streptococcus (GABHS), Group C Beta Hemolytic Streptococcus,
Neisseria gonorrhoeae, Corynebacterium diphtheria, Arcanobacterium
haemolyticum dan sebagainya. Infeksi Group A Beta Hemolytic Streptococcus
(GABHS) merupakan penyebab faringitis akut pada 5-15% dewasa dan 20-30%
pada anak-anak (5-15 tahun).4
Faringitis dapat menular melalui droplet infection dari orang yang
menderita faringitis. Faktor risiko lain penyebab faringitis akut yaitu udara yang
18
dingin, turunnya daya tahan tubuh yang disebabkan infeksi virus influenza,
konsumsi makanan yang kurang gizi, konsumsi alkohol yang berlebihan,
merokok, dan seseorang yang tinggal di lingkungan kita yang menderita sakit
tenggorok atau demam.4
19
Gambar 3. Bagan Manifestasi Klinis Faringitis
(Arif Mansjoer. Ikatan Dokter AnakIndonesia, 2008.)
20
c. Faringitis fungal
1. Anamnesis
Pasien umumnya datang dengan keluhan nyeri tenggorok, sakit jika
menelan, batuk, lemas, anorexia, demam, dan suara serak. Gejala spesifik
yang pasien keluhkan dapat membuat kita semakin dekat dengan diagnosis
etiologis dari faringitis bakteri.
Faringitis akut dapat dibedakan dengan faringitis kronik dan faringitis
spesifik dengan anamnesis gejala-gejala dan faktor predisposisi dari penyakit.
Faringitis kronis mempunyai faktor predisposisi berupa alergi, iritasi, infeksi
akut sebelumnya, kelainan di bagian proksimal dari faring (sinusitis kronik,
adenoiditis kronik, hipertrofi konka), gastritis, atau infeksi gigi. Faringitis
kronik juga dibagi menjadi dua, yaitu faringitis hiperplastik yang mempunyai
gejala tenggorokan yang berdahak dan faringitis atrofi yang mempunyai
gejala tenggorokan kering serta mulut berbau. Faringitis spesifik dapat berupa
faringitis luetika atau pun faringitis tuberkulosis. Pasien dengan faringitis
tuberkulosis mengalami nyeri hebat pada faring, telinga, dan pembesaran
kelenjar limfe leher, serta tidak berespon dengan pengobatan bakterial non
spesifik. Pada faringitis luetika, penting untuk menanyakan riwayat hubungan
seksual pasien.4
Selain itu perlu juga ditanyakan adanya faktor risiko faringitis pada
pasien, antara lain paparan udara yang dingin, menurunnya daya tahan tubuh,
konsumsi makanan yang kurang gizi, iritasi kronik oleh rokok, minum
21
alkohol, makanan, refluks asam lambung, dan inhalasi uap yang merangsang
mukosa faring.8
2. Pemeriksaan Fisik
22
limfe leher, tidak disertai batuk dan suhu badan meningkat sampai
38ºC maka dicurigai adanya faringitis karena infeksi GABHS.4
23
f. Faringitis tuberkulosis: pada pemeriksaan tampak granuloma
perkejuan pada mukosa faring dan laring.
g. Faringitis luetika:
1. Stadium primer: pada lidah palatum mole, tonsil, dan dinding
posterior faring berbentuk bercak keputihan. Bila infeksi berlanjut
timbul ulkus pada daerah faring seperti ulkus pada genitalia yaitu
tidak nyeri. Juga didapatkan pembesaran kelenjar mandibula.
2. Stadium sekunder : pada dinding faring terdapat eritema yang menjalar
ke arah laring.
3. Stadium tersier: terdapat guma. Predileksi pada tonsil dan palatum.
3. Pemeriksaan penunjang
Kultur tenggorok dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis
faringitis yang disebabkan oleh bakteri GABHS (Group A β-hemolytic
Streptococcus). Pemeriksaan kultur memiliki sensitivitas 90-95% dari
diagnosis. Kultur tenggorok sangat penting bagi penderita yang
mengalami keluhan lebih dari 10 hari.10
Meskipun kultur tenggorokan tetap menjadi gold standard untuk
mendiagnosis GABHS, waktu yang diperlukan untuk pemeriksaan cukup
panjang untuk mendapatkan hasil yaitu 1-2 hari. Tes deteksi antigen dapat
memberikan hasil dalam waktu kurang dari 15 menit. Rapid antigen
detection test (RADT) merupakan suatu metode untuk mendiagnosa
faringitis karena infeksi GABHS pada stadium awal untuk menentukan
pemberian terapi dan mencegah penularan. Tes ini diindikasikan jika pasien
memiliki risiko sedang pada skor centor atau McIsaac atau jika seorang
dokter memberikan terapi antibiotik pada pasien dengan risiko tinggi.10
24
Kriteria Poin
Demam (>380 C) 1
Usia
Gambar 7.Rapid
3-14 tahun 1
antigen detection test
untuk Group 15-44 tahun 0 A β-
hemolytic
>45 tahun -1
Streptococcus
25
sebesar 10-35%; skor 4 dan 5 memiliki probabilitas infeksi GABHS sebesar
51%.10
Streptolisin O merupakan toksin esktraselular spesifik GABHS yang
mampu merusak membran sel. Antistreptolisin O di dalam serum terdeteksi
setelah infeksi GABHS, tidak hanya di tonsil atau faring tetapi di seluruh
tubuh. Antibodi meningkat menuju maksimal setelah 1-3 minggu infeksi
GABHS dan menurun hingga tingkat yang insignifikan setelah 6 bulan.
Titer antistreptolisin O juga meningkat dalam kondisi akut akibat GABHS.
Namun pemeriksaan antistreptolisin O bukan merupakan pemeriksaan yang
valid untuk memastikan keberadaan GABHS. Tingginya kadar
antistreptolisin O tidak dapat digunakan sebagai indikasi untuk diberikan
antibiotik ataupun tonsilektomi.11,12
4. Terapi Faringitis
Tujuan terapi adalah mengatasi gejala secepat mungkin, membatasi
penyebaran infeksi serta membatasi komplikasi. Penatalaksanaan faringitis
meliputi penatalaksanaan umum dan penatalaksanaan spesifik.
Penatalaksanaan umum pada pasien dengan faringitis meliputi istirahat
(bed rest), mengkonsumsi banyak air hangat, gargle salin hangat atau
irigasi faring, dan pemberian analgesik untuk mengurangi rasa nyeri.
Pasien dan keluarga perlu diberikan edukasi untuk mengkonsumsi
makanan bergizi dan olahraga teratur, berhenti merokok bagi anggota
keluarga yang merokok, menghindari makan makanan yang dapat
mengiritasi tenggorok, selalu menjaga kebersihan mulut, dan mencuci
tangan secara teratur.
Penatalaksaan spesifik dilakukan berdasarkan pada etiologi atau
penyebab dari faringitis. Penatalaksanaan spesifik pada faringitis yaitu:
a. Faringitis virus: Biasanya self-relieving. Namun, pada keadaan
tertentu, diberikan anti virus metisoprinol (isoprenosine) dengan dosis
60-100 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 x/hari pada orang dewasa dan pada
anak <5 tahun diberikan 50 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 x/hari.
26
b. Faringitis bakterial: bila diduga penyebabnya Group A β-hemolytic
Streptococcus, diberikan antibiotik Penicillin G Benzatin 50.000
U/kgBB/IM dosis tunggal bila pasien tidak alergi penisilin, atau
Amoksisilin 50 mg/kgBB dosis dibagi 3 x/hari selama 10 hari dan
pada dewasa 3 x 500 mg selama 6-10 hari, atau Eritromisin 4 x 500
mg/hari. Dapat diberikan kortikosteroid dan analgetik.
c. Faringitis fungal: Nystatin 100.000-400.000 IU, 2 x/hari.
d. Pada faringitis gonorea: dapat diberikan sefalosporin generasi ke-3,
seperti Ceftriaxon 2 gr IV/IM single dose.
e. Faringitis kronik hiperplastik: terapi lokal dengan melakukan kaustik
faring dengan memakai zat kimia larutan nitras argentin 25%.
f. Faringitis kronik atrofi:pengobatan ditujukan pada rhinitis atrofi.
g. Faringitis spesifik: luetika: penisilin dosis tinggi; tuberculosis : sesuai
pengobatan TB paru.13
3.2.6 Komplikasi
Komplikasi pada faringitis utamanya ditemui pada faringitis bakterial
yaitu dapat terjadi sinusitis, otitis media, epiglotitis, mastoiditis, dan pneumonia.
Komplikasi supuratif dari faringitis bakterial disebabkan oleh penyebaran infeksi
dari mukosa faring via hematogen, limfatik, atau persebaran langsung; abses
peritonsil; atau servikal limfadenitis supuratif. Komplikasi hingga terbentuknya
abses menyebabkan pengobatan menggunakan antibiotik menjadi terganggu. Hal
ini disebabkan karena biasanya hasil isolasi dari abses menggambarkan infeksi
yang bersifat polimikrobial.
Komplikasi nonsupuratif yang berkaitan dengan infeksi GAS dapat
mengakibatkan demam rematik akut (3-5 minggu post infeksi), glomerulonefritis
post-streptokokus, dan sindroma syok toksik.
Komplikasi infeksi mononucleosis yaitu ruptur lien (menghindari olahraga
selama 6 minggu), hepatitis, Guillain-Barre Syndrome, ensephalitis, anemia
hemolitikus, agranulositosis, miokarditis, limfoma sel-B, dan karsinoma
27
nasofaring. Penggunaan penisilin pada kasus mononukleosis menyebabkan
insidensi terjadinya rash.13
3.2.7 Prognosis
Prognosis untuk faringitis akut sangat baik pada sebagian besar kasus.
Biasanya faringitis akut sembuh dalam waktu 10 hari, namun harus berhati-hati
dengan komplikasi yang berpotensi terjadi.
3.3 Anatomi
3.3.1 Tonsil
Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori.
faring yang terdiri dari tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil lingual,
28
3.3.1.1 Tonsil Palatina
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam
fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot
dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang
meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa
29
Gambar 9. Tonsil palatina
stroma jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan
sepanjang jalur pembuluh limfatik. Noduli sering saling menyatu dan umumnya
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan
limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut
tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau
kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di
nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat
30
meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid
ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi.23
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh
terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla
sirkumvalata.24
Fosa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah
otot palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan batas lateral atau
Berlawanan dengan dinding otot yang tipis ini, pada bagian luar dinding faring
3.4 Tonsilitis
Tonsil merupakan bagian dari jaringan limfoid yang melingkari faring dan
secara kolektif dikenal sebagai cincin waldeyer. Cincin ini terdiri dari jaringan
limfoid dari dasar lidah (tonsil lidah), dua tonsil tekak, adenoid, dan jaringan
limfoid pada dinding posterior. Jaringan ini berperan sebagai pertahanan terhadap
infeksi, tetapi ia dapat menjadi tempat infeksi akut atau kronis.
1. Tonsil faringealis atau adenoid, agak menonjol keluar dari atas faring dan
terletak di belakang koana.
31
2. Tonsil palatina atau faucial, dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa lapisan
tanduk.
3. Tonsil lingual atau tonsil pangkal lidah, epitel berlapis gepeng tanpa lapisan
tanduk.
3.4.1 Etiologi
3.4.2 Patofisiologi
32
Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut, amandel
berperan sebagai filter atau penyaring yang menyelimuti organisme berbahaya,
sel-sel darah putih ini akan menyebabkan infeksi ringan pada amandel. Hal ini
akan memicu tubuh untuk membentuk antibodi terhadap infeksi yang akan
datang, akan tetapi kadang-kadang amandel sudah kelelahan menahan infeksi atau
virus. Infeksi bakteri dari virus inilah yang menyebabkan tonsilitis.
Bila bercak melebar, lebih besar lagi sehingga terbentuk membran semu
(Pseudomembran), sedangkan pada tonsilitis kronik terjadi karena proses radang
berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada proses
penyembuhan, jaringan limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akan
mengkerut sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan diisi oleh
detritus, proses ini meluas sehingga menembus kapsul dan akhirnya timbul
perlengketan. dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai
dengan pembesaran kelenjar limfe submandibula.
33
3.4.3 Pengertian
Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga melapisi
invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di bawah jaringan ikat
dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam stroma jaringan
ikat retikular dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan bagian penting
mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang jalur
pembuluh limfatik.Tonsila palatina lebih padat dibandingkan jaringan limfoid
lain.
34
3.4.4 Diagnosis
a. Anamnesis
Penderita sering datang dengan keluhan rasa sakit pada tenggorok yang
terus menerus, sakit waktu menelan, nafas bau busuk, malaise, kadang-
kadang ada demam dan nyeri pada leher.
b. Pemeriksaan Fisik
Tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi, hiperemis, edem dan
jaringan parut dan detritus (tonsillitis kronik)
Pembesaran tonsil diukur berdasarkan criteria berikut:
T0: Tonsil terletak pada fosa tonsil (tidak ada pembesaran/tidak punya
tonsil)
T1: < 25% tonsil menutupi orofaring, (batas medial tonsil melewati pilar
anterior sampai ¼ jarak pilar anterior uvula)
T2: > 25% sampai< 50% tonsil menutupi orofaring, (batas medial tonsil
melewati ¼ jarak pilar anterior-uvula sampai ½ jarak pilar anterior-
uvula)
T3:> 50% sampai< 75% tonsil menutupi orofaring,(batas medial tonsil
melewati ½ jarak pilar anterior-uvula sampai ¾ jarak pilar anterior
uvula).
T4: >75%, tonsil menutupi orofaring (batas medial tonsil melewati
¾jarak pilar anterior-uvula sampai uvula atau lebih).
c. Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan kultur dan uji resistensi (sensitifitas) kuman dari sediaan
apus tonsil.
35
a. Tonsillitis viral
Penyebab yang paling sering adalah virus Epstein Barr. Haemofillus
influenza merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif. Gejala tonsilitis
viral menyerupai common cold yang disertai rasa nyeri tenggoirok. Dapat
ditemukan tonsil membengkak dan hiperemis. Jika terjadi infeksi virus
coxschakie, tampak luka – luka kecil pada palataum dan tonsil yang sangat
nyeri dirasakan pasien.
b. Tonsillitis Bacterial
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A Streptokokkus B
hemolitikus (strept throat, pneumokokus) Streptokokus viridan dan
Streptokokus piogenes. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil
akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit
polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus yang tampak seperti bercak
kuning. Gejala yang sering ditemukan adalah nyeri tenggorok dan nyeri
waktu menelan, demam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa lesu, rasa
nyeri di sendi-sendi, tidak nafsu makan dan rasa nyeri di telinga.(otalgia).
36
Gambar 6.Tonsilitis Akut
37
Gambar 7. Tonsillitis Difteri (kiri), Angina Plaut Vincent (kanan)
38
Keadaan umum (kurang gizi, kelelahan fisik)
3.4.9 Gejala
Gejala yang muncul antara lain rasa nyeri di tenggorok, rasa kering
di tenggorok dan nafas berbau, obstructive sleep apneu syndrome. Pada
pemeriksaan fisik tonsil tampak membesar dengan permukaan yang tidak
rata, kripte melebar dan beberapa kripte terisi oleh detritus, pembesaran
kelenjar sub angulus mandibular. Terapi lokal ditujukan kepada hygiene
dengan berkumur atau obat isap.
3.4.10 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tonsilitis kronis dibagi menjadi penatalaksanaan dengan:
a. Medikamentosa
b. Operatif (Tonsilektomi)
Indikasi Tonsilektomi
39
muskuler tonsil. Tindakan ini dapat dilakukan dengan atau tanpa
adenoidektomi. 6,7
Indikasi Operasi
a. Obstruksi 8,9,10
Hiperplasia/hipertrofi tonsil yang menyebabkan gangguan berupa:
1) Tonsilitis rekuren/kronik9,10
2) Tonsilitis dengan :
Halitosis
4) Tonsilolithiasis
40
5) Status karier streptococcal yang tidak responsif terhadap terapi
medis pada anak-anak atau keluarga yang beresiko9,10
c. Neoplasma
1) Demam ≥ 38,3°
2) Cervical limfadenopati
3) Tonsilar eksudat
3.4.11 Komplikasi
41
a) Abses peritonsil. Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan
mengenai jaringan sekitarnya. Abses biasanya terdapat pada daerah
antara kapsul tonsil dan otot-otot yang mengelilingi faringealbed. Hal
ini paling sering terjadi pada penderita dengan serangan berulang.
Gejala penderita adalah malaise yang bermakna, odinofagi yang berat
dan trismus. Diagnosa dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi abses
3.4.12 Prognosis
43
BAB IV
PEMBAHASAN
saat pasien menelan. Nyeri tidak memberat dengan aktivitas pasien, pasien masih
sering terasa kering, tenggorokan terasa mengganjal (+), batuk (+) kadang-
terbangun dari tidur akibat merasa sesak, napas berbau (+). BAB dan BAK dalam
batas normal. Pasien juga mengatakan sering mengalami keluhan yang sama dan
kebiasaaan minum air es, makan gorengan dan makan makanan pedas.
T3/T3, hiperemis (+/+), edema (-/-), permukaan tidak rata (+/+), kripte melebar
Gejala dan tanda tonsilitis kronik yang sering ditemukan adalah pasien
sering mengalami episode batuk pilek yang sering kambuh meksipun sudah
diberikan terapi yang adekuat dari dokter. Berbeda dengan tonsilitis akut, klinis
pasien pada tonsilitis kronik biasanya ditemukan demam subfebril atau bahkan
44
tidak disertai demam, nyeri kepala dan tidak didapatkan adanya nyeri telan, dan
biasa pada pasien tonsilitis kronik didapatkan ngorok saat tertidur, suka
mengantuk dan sulit berkonsentrasi saat beraktifitas/sekolah. Pasien dengan
tonsilitis kronik dapat mengalami episode akut kembali yang biasa disebut
tonsilitis kronik eksaserbasi akut yang ditandai dengan tonsil membesar,
permukaan tidak rata seperti permukaan bulan, warna hiperemis, kripte melebar
dan ditemukan detritus. Pada beberapa kasus bisa menimbulkan komplikasi
berupa pembesaran kelenjar limfa leher, cor pulmonal, OMA dan yang paling
berat komplikasinya adalah Penyakit jantung rematik terutam pada infeksi bakter
streptokokus beta hemolitikus. Proses peradangan pada tonsil dapat pula
melibatkan faring sehingga disebut tonsilofaringitis.
Ukuran T3/T3, hiperemis (+/+), edema (-/-), permukaan tidak rata (+/+), kripte
melebar (+/+), detritus (-/-), membran (-/-). ini menunjukan bahwa infeksi pada
daerah faring dan tonsil sudah berlangsung lama atau disebut kronik.
45
BAB V
SIMPULAN
Terapi pada pasien ini adalah pemberian terapi antibiotik amoxicillin 500
mg 3 kali sehari dan terapi simptomatis. tindakan operatif yaitu tonsilektomi perlu
dipertimbangkan pada pasien ini karena telah terjadi keluhan sumbatan jalan nafas
pada pasien ini yaitu berupa mendengkur dan terbangun dari tidur.
46
DAFTAR PUSTAKA
5. Higler BA. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC, 1997.
6. O'Rahilly, R., Muller, F., Carpenter, S., and Swenson, R. Basic Human
Anatomy: A Regional Study of Human Structure. Chapter 53. City of
Publication: Cumberland House Publishing, 2008.
47
12. Hembrom R, et al. Evaluation of the Validity of High Serum
Antistreptolysin O Titre Only, as an Indication for Tonsillectomy. Indian
J Otolaryngol Head Neck Surg 2012.
13. Dhingra PL. Disease of Ear, Nose and Throat Fourth Edition. 2013.
Elsevier.
14.
48