A. Back To Mosque
Back to Mosque maksudnya mengajak umat kembali ke
masjid. Masjid merupakan pusat kegiatan Umat Islam. Melalui
masjid berbagai kegiatan pada zaman Rasulullah, para sahabat dan
masa kejayaan Islam, dikembangkan. Sehingga tak heran Sidi
Gazalba pernah menulis, “Masjid sebagai Pusat Ibadah dan
Peradaban”. Karena pada masa itu memang, masjid tak pernah sepi
dari berbagai kegiatan.
Saat ini masjid tengah berdiri di setiap tempat, di terminal,
di alun-alun, di tiap kampung, bahkan tiap RW dan RT. Bangunanya
pun kian megah. Namun, pertanyaan yang muncul, akankah masjid
hanya sebagai lambang, atau sudahkah masjid menjadi urat nadi
dan pengembang potensi kehidupan masyarakat?
Menjawab pertanyaan itu, tentu tidak mudah, sebab
sejumlah masjid mungkin sudah memerankannya, namun tentu
kita juga tidak bisa menutup mata, bahwa tidak sedikit masjid yang
berdiri megah namun sepi dari kegiatan.
Lihat saja, berapa jumlah orang yang berjamaah pada setiap
kali datang waktu sholat, penuh? Setengahnya, atau
seperempatnya? Jangankan saat sholat berjamaah dzuhur dan
ashar, lihatlah pada saat sholat Maghrib dan Shubuh, penuhkah?
Paling paling yang penuh itu saat sholat ied dan sholat jumat.
Wajar jika ada yang mengatakan, “Jika kamu ingin melihat
jumlah umat Islam di suatu daerah, lihatlah masjid pada sholat
jumat-nya, dan jika kamu ingin melihat jumlah orang mumin maka
lihatlah masjid pada sholat berjamaah shubuhnya”. Kemudian
ungkapan itupun dilanjutkan” Sesungguhnya umat Yahudi akan
merasa takut jika jumlah umat Islam yang berjamaah Subuh sama
dengan jumlah yang sholat Jum’at”.
Mengapa demikian? Sebab jika suatu masyarakat muslim
telah mencintai masjid, itu berarti keislamannya memiliki kekuatan,
apalagi jika nampak pada shalat Shubuhnya (sholat yang penuh
tantangan), itu menandakan keimanan suatu masyarakat telah
kuat. Jika iman umat Islam kuat, maka semakin sulitlah musuh
musuh Islam untuk mengalahkannya, termasuk umat Yahudi.
Namun semakin umat Islam tercerabut dari masjid, semakin
lemah pula keislaman dan keberimananya, semakin tercerabut pula
solidaritas (ukhuwah) Islamiyahnya, maka semakin mudah pula
untuk dikalahkan.
18. hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah
orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta
tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut
(kepada siapapun) selain kepada Allah, Maka merekalah orang-
orang yang diharapkan Termasuk golongan orang-orang yang
mendapat petunjuk. (QS. At-Taubah: 18)
Mengenal Masjid
Istilah masjid berasal dari bahasa Arab: sajada, yasjudu,
sujudan, yang berarti tempat sujud. Sidi Ghazalba (1994:19),
mengartikan sujud pada dua makna: secara lahir berarti gerak
jasmani, seperti bagian dari gerak sholat dan secara bathin berarti
pengabdian.
Pengertian yang kedua, sesuai dengan penjelasan hadits
Rasulullah SAW: ”Seluruh jagat telah dijadikan bagiku sebagai majid
(tempat sujud) “(H.R. Bukhari). Makna kontekstual hadits tersebut
menunjukan bahwa sujud kepada Allah tidak terkait kepada suatu
tempat. Hal itu juga menunjukan makna bahwa masjd yang
bermakna tempat, tidak hanya berfungsi sebagai tempat sujud
yang bermakna lahiriah, melainkan berfungsi sebagai pusat
aktivitas manusia yang lingkupnya seluas jagat ini, mencakup
urusan ritual dan muamalah, seperti ekonomi, politik, sosial,
budaya, dan sebagainya.
Dengan kata lain, secara ideal masjd merupakan pusat
aplikasi hubungan antara manusia dengan Allah dan hubungan
manusia dengan manusia lainnya.
Lebih dari itu, Armahedi Mahzar (1993:119-120),
menyatakan, bahwa masjid merupakan pangkal dari penggalangan
sumber daya masyarakat yang Islami. Karena itu, revitalisasi umat
tergantung kepada refungsionalisasi masjid tersebut.
Sementara itu, Ramdhan Buthi (1993:6), mengungkapkan
bahwa, karena masjid merupakan azas utama dan terpenting bagi
terbentuknya masyarakat yang Islami maka terbentuk atau
tidaknya masyarakat yang Islami tersebut tergantung kepada
terwujud atau tidaknya semangat masjid di dalam kehidupan
masyarakat
Fungsi Masjid
Masjid merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sitem
masyarakat muslim. Masjid umumnya ada pada setiap masyarakat
muslm berada. Masjid juga merupakan institusi yang di dalamnya
terjadi intensitas yang tinggi. Dalam pertemuan rutin. Dalam
pertemuan rutin, minimal dalam sehari tiga sampai lima kali, dalam
shalat maghrib, isya dan subuh, serta dzuhur dan ashar, terjadi
berkumpulnya masyarakat muslim dengan berbagai unsurna yang
beragam, menyatu dalam satu semangat pengabdian kepada Allah
SWT.
Realitas tersebut telah ditunjukan oleh sejarah sejak masjid
pertama dibangun. Berawal sejak Nabi Muhammad SAW dan para
sahabatnya mendirikan masjid Quba, yang merupakan masjid
pertama, pada tanggal 12 Rabiul awal tahun I Hijriyah, kemudian
diikuti dengan pendirian masjid Nabawi dan masjid Haram.
Masjid-masjid tersebut telah berfungsi sebagai pusat
kehidupan umat Islam, mulai dari ibadah ritual juga meliputi
urusan ekonomi, pendidikan, politik, sosial, budaya, seni dan yang
lainnya (Moch. E. Ayub, 1996:11).
Kemudian, ketika masjid Cordova dibangun pada masa
pemerintahan Abdurrahman III (922-261 M), pengembangan fungsi
masjid terjadi, selain sebagai tempat mendekatkan diri kepada
Allah (taqarub), juga sebagai tempat pengkajian berbaga disiplin
ilmu, seperti ilmu ekonomi, sosial, politik dan sebagainya. Pada
saat perkembangan aktivitas membutuhkan fasilitas-fasilitas
penunjang yang masih dekat dengan masjid dekat dengan masjid
tersebut, maka kumpulan bangunan dan aktivitasnya kemudian
dikenal dengan Universitas Cordova, yang semua aktivitasnya
berada di bawah kontrol masjid (Sabili).
Dari universitas Cordova tersebut, kemudian muncul
universitas terkenal lainnya di dunia, seperti Oxford, Harvard,
Combridge. Sentral semua universitas itu ada di Universitas
Cordova, dimana Central Universitas Cordova sendiri terletak di
masjid. Saat itulah masa keemasan fungsi masjid, dan ketika itu
pula umat Islam mencapai masa kemajuannya.
Kemunduran fungsi masjid terjadi ketika secara lambat laun
fungsi masjid berkurang. Dari lingkup yang luas, hingga tinggal
urusan ritual. Seiring dengan kondisi umat Islam yang berada
dalam penjajahan, dan berbagai aspek kehidupan berada dalam
kekuasaannya, baik ekonomi, sosial, politik dan yang lainnya,
kecuali urusan ritual keagamaan.
Kemunduran Fungsi masjid juga diperkuat oleh
berkembangnya faham sekularis (sekularisme), yang memisahkan
pengelolaan urusan keduniaan dengan keagaamaan. Dimana
imbasnya terjadi pula di kalangan umat Islam, yang kemudian
memisahkan urusan muamalah dengan ibadah, memisahkan
urusan dunia dan akhirat.
Bersama dengan itu, masjid dianggap hanya sebagai tempat
shalat dan dzikir. Sementara sebagai pengganti tempat pertemuan
muncul bale-bale pertemuan, untuk tempat tidur para musafir,
pesta perkawinan, seminar-seminar, muncul hotel-hotel, yang
keberadaan bangunan maupun aktivitasnya terlepas dari fungsi
masjid. Sebaliknya masjid sendiri menjadi lengang dari fungsi-
fungsi seperti itu.
Sampai pada masa umat dan dunia Islam merdeka dari
belenggu penjajahan, saat umat kembali faham dan sadar terhadap
agamanya, perubahan mulai terjadi. Dipelopori oleh civitas
akademika muslim di kampus-kampus angkatan 80-an, muncul
semangat back to mosque.
Mereka mengadakan kegiatan besar: Reintgrasi Dienul
Islam, Rekonstruksi Hikmat Islam, Reislamisasi Tamaddun, dan
revitalisasi Umat, serta Refungsionalisasi Masjid (Armahedi
Mahzar, 1993:150).
Setelah itu, masjid kembali diandang bukan hanya tempat
sujud dalam pengertian lahiriah, tetapi meluas pada makna bathin
ibadah dalam arti luas, sebagai pusat kemasyarakatan Islami,
kesenian Islami, perkawinan islami, pendidikan islami dan
pembinaan islami serta yang lainnya.
Walaupun semangat pandangan ini berkembang perlahan
dan kondisinya masih nampak berproses hingga kini. Karena itu,
perkembangan fungsi masjid yang integral itu, masih belum merata
dan masih terbatas pada masjid-masjid yang memiliki sumber daya
pengelola yang telah mengalami “pencerahan”.
Kondisi masjid yang demikian, menarik para peneliti untuk
melakukan penelitian tentang masjid. Disamping dimaksudkan
untuk sekedar mengetahui karakteristik dan keberadaan masjid,
juga diupayakan untuk mencari cara tepat guna mengoptimalkan
kembali keberfungsiannya.
Misalnya, Nazir Bakri (1977) Doen IAIN Imam Bonjol,
melakukan penelitian tentang masjid dengan judul: Masjid sebagai
Pusat Ibadah (Studi Kasus Terhadap Masjid Raya Tertua di
Kampung Perak Pasar Pariaman Sumatera Barat).
Penelitan tersebut menggambarkan keberadaan masjid tua
dalam kaitan fungsi masjid sebagai pusat ibadah. Sebelumnya, Sidi
Ghazalba 9196:2) telah pula melakukan penelitian yang
diperuntukan guna penyelesaian tugas akhir studinya di S.1.
dengan judul: Masjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan..
Hasil penelitian yang telah diterbitkan menjadi buku itu
menunjukan bahwa fungsi masjid, tidak hanya sebatas pusat
ibadah ritual saja, namun mencakup juga ibadah muamalah
(kebuidayaan).
Sofyan Safri Harahap (1992) juga melakukan penelitian
Masjid di Medan. Dalam penelitian yang menitikberatkan pada
aspek manajemen dan administrasi ini, hasilnya tergambar, belum
adanya keseragaman manajemen maupun administrasi, yang
diantara faktornya karena SDM yang belum merata.
Sementara itu, Kantor Depag Kodya Bandung (1995) juga
telah melakukan penelitian (sensus) berkaitan dengan masjid,
mushola dan langgar di Kodya Bandung. Hasil penelitian itu telah
terinventarisir data tentang nama-nama masjid, alamat ketua DKM,
status tanah tempat masjid berdiri, tahun didirikan masjid, serta
kategorisasi masjid tersebut.
Melalui langkah-langkah tersebut, opini umat tentang
dikhotomi agama dan dunia pun mulai memudar, berubah pada
kecenderungan tdak adanya pemisahan secara mutlak antara
ibadah dan muamalah, urusan duna dan akhirat. Semua dipandang
berjalan pararel, berkaitan dan saling berkesinambungan.
Unsur Sumber Daya dan Kegiatan Masjid
Keberadaan masjid, bukan hanya bangunan, namun ia
memiliki sejumlah unsur sumber daya yang menjadi penunjang
keberfungsiannya. Pertama, sumber daya pengurus. Termasuk
pengurus ini adalah imam, bahkan ia adalah pemimpin dari seluruh
kegiatan masjid, mulai dari shalat berjamaah, sampai pada
pengkoordinasian seluruh lembaga-lembaga yang ada di bawah
naungan masjd tersebut. Bersama imam, pengurus masjid yang lain
adalah faktor utama yang menentukan kualitas fungsi masjid.
Oleh karena itu adanya jumlah pengurus yang cukup,
konsolidasi dan komunikasi yang baik, yang didasari pengetahuan
yang utuh tentang fungsi ideal masjid di antara mereka, adanya
pembagian kerja secara tertulis dan pelaksanaannya yang
didasarkan pada pemahaman fungsi masing-masing yang saling
berkaitan, serta adanya upaya peningkatan kemampuan melalui
training-training misalnya, kemudian terselenggaranya rapat-rapat
rutin, lengkap dengan upaya kontrol dan evalusai, semua itu
merupakan landasan bagi terbentuknya kinerja pengurus masjid
yang baik.
Kedua, Sumber Daya Jamaah. Mereka merupakan unsur
yang menyatu dalam institusi masjid Dengan demikian, adanya
konsolidasi dengan jamaah merupakan hal yang penting guna
meningkatkan partisipasi mereka dalam kegiatan yang dimotori
para pengurus masjid. Para pengurus yang baik akan secara pro-
aktif meminta dan menampung aspirasi jamaah, sehingga tumbuh
rasa memiliki, terhadap semua kegiatan yang diselenggarakan
masjid, dikalangan para jamaah. Untuk itu, adanya data yang baik
tentang jamaah masjid, mulai dari nama, alamat, tempat tanggal
lahir, suku, pendidikan, pekerjaan, keahlian, hingga data tentang
kesulitan (masalah) yang dihadapi tiap jamaah, semua itu akan
membantu ke arah eratnya hubungan antara unsur pengurus dan
jamaah.
Ketiga, Sumber Daya Program. Berbagai kegiatan yang baik
akan sulit tercapai tanpa adanya program yang tertulis, tersusun,
terjadwal dengan pariasi. Semua program, baik DKM maupun
lembaga-lembaga di bawahnya, hendaklah dibuat sesuai aspirasi
jamaah, serta disesuaikan dengan kemampuan penyelenggaraan,
baik waktu, biaya, sarana, maupun tujuan dan targetnya. Ini
diperlukan agar dalam evaluasi dan hasilnya baik.
Keempat, Sumber Daya Prasarana. Ketika jamaah ingin
belajar, diperlukan tempat belajar; ketika jamaah akan membaca
diperlukan kepustakaan. Demikian pula ketika jamaahingin
berkonsultasi diperlukan ruang konsultasi, dan sebagainya.
Oleh karena itu, adanya kelengkapan prasarana
menentukan untuk memungkinkan terlaksanana program kegiatan.
Sebaliknya tanpa adanya prasarana yang cukup dapat menghambat
terlaksanannya program
Karena itu, akan lebih baik jika pendirian bangunan masjid,
didesain sesuai dengan kemungkinan kegiatan-kegiatan yang akan
diselenggarakannya. Seperti adanya, ruang berjamaah, ruang
belajar, perpustakaan, ruang sekretariat, tempat tidur musafir,
ruang konsultasi, tempat penyimpanan sandal/sepatu, tempat
wudhu, tempat parkir, dan sebagainya.
Kelima, Sumber Daya Sarana. Sarana juga memiliki
hubungan yang sangat erat dengan kegiatan yang diadaakan.
Berbagai sarana yang dibutuhkan untuk kegiatan menjadi suatu
keharusan adanya. Oleh karena itu, adanya speaker, mimbar, white
board dan ATK lainnya, Mading, Laptop, Infocus, Telephon,
Komputer/ mesin tik, dan yang lainnya, merupakan hal yang
sebaiknya lengkap di suatu masjid.
Keenam, Sumber Daya Dana. Dana merupakan daya
dukung yang penting. Oleh karena itu adanya upaya penggalian
sumber dana yang banyak dan jelas, jumlah pendapatan yang tidak
lebih kecil dari kebutuhan, akan menjadi nafas bagi kelancaran
penyelenggaraan kegiatan. Untuk lebih baiknya diupayakan
penggalian sumber dana secara kreatif, serta pengelolaan dananya
dilakukan secara transparan, ini merupakan hal penting.
Ketujuh, Sumber daya Admnistrasi. Suatu kegiatan yang
baik, tentu tidak cukup dengan memiliki sekretaris yang handal,
melainkan juga perlu keahlian dan keuletan dalam catat-mencatat,
maka pengadministrasian juga menjadi salah-satu unsur penting
bagi keberfungsian masjid.
Bebagai sumber daya masjid di atas, merupakan bagian
penting dalam mewujudkan kemakmuran masjid, yang tentu ramai
dengan berbagai kegiatan di dalamnya.
Kegiatan masjid yang ideal tentu saja yang sesuai dengan
fungsi masjid, meliputi urusan ritual, seperti shalat berjamaah,
dzikir, qurban dan I’tikaf. Selain itu lengkap juga dengan kegiatan
dakwah, pendidikan, pelayanan, pelatihan, ekonomi, politik, sosial,
budaya, seni olah raga, dengan berbagai jenisnya yang dapat
dikembangkan sesuai dengan situasi dan lingkungan masjid berada.
Tentu saja, uraian tentang kegatan ini amat luas jika
dijabaran. Namun dengan memaklumi arti penting sumber daya
bagi kepentingan masjid dan berbagai kegiataan yang mungkin
dikembangkan oleh pengelola masjd ini, setidaknya akan menjadi
bahan untuk pengembangan fungsi masjid. Fungsi tersebut
dijalankan melalui struktur-struktur sumber daya yang didalamnya
terdapat sejumlah pelaku yang menjalankan peran tertentu, di
samping ada sarana dan prasarana, dana dan administrasi yang
sama pentingnya.
Atas dasar itu, berdirinya sebuah masjid tentu perlu
ditopang oleh sumber daya dan kegiatannya. Sebab semua itu
merupakan rangkaian yang saling mempengaruhi dan tak
terpisahkan satu sama lainnya.
B. Manajemen Pengajian
Indonesia sebagai Negara mayoritas penduduknya
beragama Islam, memiliki sarana yang tidak sedikit jumlahnya.
Perkembangan sarana umat Islam telah merambah hampir ke
seluruh wilayah kelurahan atau pedesaan, RW maupun RT. Mulai
dari masjid agung, masjid jami, mushola maupun langgar. Di
tempat-tempat keramaaian, seperti terminal, pasar, dan
sebagainya, masjid seakan telah menjadi sarana “wajib” pelengkap
keberadaannya. Bahkan Islamic Center-pun telah berdiri dengan
megah, di sejumlah kota dan kabupaten. Seolah sarana keagamaan
tersebut melaju mengikuti deret ukur.
Perkembangan sarana yang begitu cepat itu demikian,
nampak pada sejumlah tempat belum terimbangi oleh
pemanfaatan kegiatan yang optimal. Walau tidak berarti mandeg
sama sekali, misalnya dimasjid, ada kegiatan shalat berjamaah
pada waktu-waktu tertentu. Namun kegiatan masjid yang
mengarah kepada masjid sebagai pusat peradaban umat Islam,
atau paling tidak, masjid sebagai pusat pembinaan umat,
nampaknya masih kurang teroptimalkan. Khususnya bagi sekian
banyak masjid, dimana tidak sukar untuk menemukan masjid atau
mushola yang sepi (baca: minim) dari kegiatan tersebut.
Barangkali banyak faktor yang menjadi penyebab keadaan
itu terjadi. Seperti factor ekonomi misalnya. Saat ekonomi umat
meningkat dari masa sebelumnya, sehingga umat mampu
mendirikan masjid sampai lingkup tiap RT. Sementara itu ada faktor
Theologis, dimana banyak umat memaknai “kebaikan
membangun” masid secara harfiah, dimana mereka giat
membangun masjid secara fisik, dan merasa cukup sampai di sana.
Adapun untuk memakmurkannya, seolah sebagai sesuatu yang
terpisah, dan menjadi urusan lain. Oleh karena itu, baik secara
operasional maupunh konsepsi, kegiatan optimalisasai masjid ini
masih cukup langka dan belum merata.
3. Teknis Kerja
Dalam mulai kerjanya, Direktur Utama, dan para Direktur
Plaksana, memula bekerja keras utuk limit waktu yang menjanjikan
keberhasilan. Pada tahap awal, seluruh pemikiran para direktur
dikonsentraskan untuk membantu Direktur Pemasaran, dengan
menyiapkan para da’I muda untuk mengambil bagian dalam
menyusun jadual dakwah dan membina d masjid-masjid.
Selanjutnya menyiapkan da’i untuk mengisi kegiatannnya,
berdasarkan materi dan silabi. Silabi yang disusun ini pun telah
dipersiapkan sedemikian rupa dengan memperhatokan totalitas
Islam yang bahasannya disubordinasikan sesuai dengan kondisi
wilayah masjid di sana.
Selain itu, masing-masing juga bekerjasama untuk mencari
para donatur untuk mendanai kegiatan dan masjid yang masih
memerlukan dana. Walaupun dalam pendanaannya nanti diatur
juga, masjid yang dananya besar memberi lebih besar kepada
lembaga dan masjid yang dananya kurang diberi kerinanan, gratis
atau bahkan disumbang.
4. Rancangan Program
Pada bulan-bulan pertama, dijadikan sebagai bulan
p0romos, baik melalui pamlet, spanduk, koan dan sebagainya.
Sehingga mal sekitar 20%pun dapat dialokasikan untuk itu. Namun
sebelum promosi, lembaga harus benar-benar siap dengan
sejumlah da’I yang siap bramal (untuk jalur cepat). Disampig,
lembaga juga terus membuka pelatihan dan menyeleksi da’i-da’I
muda yang dipersiapkan (untuk jalur lambat).
Untuk jalur lambat, lembaga perlu melakukan seleksi ekstra
ketat. Dengan menyeleksi kader unggul, cerdas, berakhlak dan
memiliki kedalaman dan keluasan ilmu, termasuk di dalamnya
manajemen dan problem solving. Lembaga baru boleh
menugaskan para kadernya ke tengah masyraat melalui hasil
kelulusan dalam pelatihan yang menjamin kualitas mereka, dengan
kurikulum dan instruktur yang berkualitas pula.
Kepada para pengusaha muslim, lembaga dapat
mengusahakan semacam discount card, begiu juga kepada para
dokter, disamping dapat juga mengusahakan semacam dana
Bakesos, dengan sedikt menyisihkan iuran dari penghasilan para
da’i.
Pengaturan pembagian kesjahteraan dana kesejahteraan
para da’i sendiri, dapat diatur melalui kesepakatan para pengurus
embaga. Misalnya 50% untuk kesejahteraan da’I, 10% untuk
kerabat kerja lembaga 20% untuk Direktur utama dan Panel Ahli,
serta 20% untuk dana sosial dan pengembangan masjid yang perlu
bantuan.
5. Tingkat Kelayakan
Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan megapa
lembaga semacam BANK DA’I ini ditawarkan. Paling tidak, adalah
kenyataan bahwa kuantitas masjid cenderung semakin bertambah
Jumlah yang bayak tersebut, tentu merupakan potensi bagi
kemajuan umat, jika kegiatan masjid dikelola secara efektif,
sehingga kemakuran masjid bisa lebih meningkat.
Melalui pengembangan lembaga semacam ini diharapkan,
kenyataan dengan berbagai keadaannya akan semakin cepat
sampai pada harapan seperti idealnya, yaitu kembalinya fungsi
masjid sebagai pusat kegiatan umat Islam yang luas. Wallahu A’lam
1. Membangun Kepaduan
Berkenaan dengan upaya mencari solusi atas kondisi di
atas, beberapa tahun yang lalu, penulis sempat hadir sebuah
kegiatan yang bertajuk “Sosialisasi Program Kesalehan Sosial”
yang diadakan oleh Pemda Prop. Jawa Barat, yang mengambil
tempat di Kota Ciamis. Pada acara itu hadir undangan dari
berbagai unsur kepemudaan ormas Islam se-Priangan, baik dari
kepemudaan Persis, Muhammadiyah, NU, dan ormas pemuda
Islam lainnya. Mereka masing-masing membaur, bekerjasama
mengidentipikasi permasalahan di daerahnya, kemudian
mengajukan berbagai solusi bersama, serta bertekad untuk
menindaklanjutinya secara bersama-sama.
Diilhami oleh kegiatan tersebut dan gagasan Armahedi
Mahzar dalam buku Islam Masa Depan, terbetik dalam pikiran
penulis mengenai solusi atas persoalan hubungan antar gerakan
umat Islam. Dalam hal ini, perlu adanya pihak yang bisa menjadi
bandul (penengah) dan melakukan upaya rekonstruksi hubungan
di antara mereka.
Pertama, semua gerakan Islam perlu mengorientasikan
gerakannya kepada kalangan rakyat kebanyakan yang masih
tertindas oleh penjajahan ekonomi, teknologi, budaya. Kedua,
para tokoh dan pengikut masing-masing gerakan Islam perlu
bersatu dalam suatu proses reintegrasi ummat. Reintegrasi umat
tersebut selanjutnya perlu dilakukan serempak dengan upaya
revitalisasi tradisi. Hanya ada satu yang bisa menghubungkan elit
pembaharu dengan umatnya, yaitu tradisi itu, karena tradisi
adalah “hidup” umat dan “bahasa” umat.
Disamping itu, perlu juga rekonstruksi hikmat islamiyah,
yaitu pemikiran Islamiyah yang meliputi ilmu pengetahuan,
filsafat, seni dan yang lainnya. Tidak hanya itu, rekonstruksi
hikmat Islam juga perlu dibarengi dengan reaintegralisasi
kesadaran Dien Islam, yang juga merupakan prasyarat penting
kebangkitan umat Islam.
Dengan demikian, secara keseluruhan, mengupayakan
kebangkitan umat Islam perlu meliputi proses-proses reintegrasi
ummat, revitalisasai tradisi, rekonstruksi hikmat dan
reintegralisasi kesadaran Dien Islam. Akan tetapi itu juga belum
cukup, karena hal itu baru tahap sadar akan garapan yang perlu
diproses, dalam hal ini berarti masih perlu adanya suatu gerakan
bersama.
Dalam ketiga proses di atas (revitalisasi tradisi/tamaddun,
rekonstruksi hikmat dan reintegralisasi kesadaran Dienul Islam)
peranan kepemimpinan masing-masing kalangan dapat dibagi.
Pembagian kepemimpinan, tentu saja didasarkan atas unggulan
masing-masing kalangan.
Jika kalangan garis keras unggul dalam proses
reintegralisasi kesadaran Dien Islam, maka mereka sebagai
“imam” dalam proses reintegralisasi kesadaran Dien Islam,
sementara kalangan yang lain menjadi “ma’mum”-nya yang baik;
Jika kalangan moderat unggul dalam rekonstruksi hikmat Islam,
maka mereka menjadi “imam” dalam rekonstruksi hikmat Islam,
sementara yang lain menjadi “ma’mum”-nya yang baik. Begitu
pula jika kalangan liberal unggul dalam proses revitalisasi
tamaddun Islam, maka mereka menjadi “imam” dalam proses
revitalisasi tamaddun Islam, sementara yang lain menjadi
“ma’mum”-nya yang baik pula.
Dalam kondisi seperti itu, dalam proses gerakannya, semua
komponen gerakan meluluh dengan aspirasi ummat kalangan
bawah. Baik yang di kota dengan derita rakyatnya maupun desa-
desa tertinggal dan terpencil dengan berbagai kelemahan dan
kekuarangannya. Nampaknya, dengan bersatunya tokoh garis
keras, moderat dan liberal di kota dan di desa disatu pihak dan
dengan bersatunnya pemuka agama apapun aliran pikiran
Islamnya, di pihak lain, umat Islam dimungkinkan untuk dapat
bangkit. Itu berarti juga, bahwa perbedaan unggulan kerakan
masing-masing kalangan, bukanlah merupakan suatu yang tabu
atau menjadi halangan, sebaliknya justru hal itu menjadi potensi,
dan kekayaan umat Islam.
Garapan umat Islam sangat banyak dan luas, setiap
garapan butuh keahlian, sedangkan keahlian hanya mungkin
diperoleh jika spesialisasi berjalan. Dengan demikian, kalangan
Islam memiliki unggulan gerakan yang berbeda, maka hal itu
bukan hanya kewajaran tetapi juga merupakan tuntutan dari
kebutuhan untuk menjadi spesialis dan ahli dalam bidangnya.
Dalam hal ini yang penting ialah sejauhmana masing-
masing kalangan dapat mengaji dan mengkaji bersama. Masing-
masing dapat menjadi penceramah yang baik dalam pengajian
bersama untuk memberikan wawasan dan berdialog dengan baik.
Selanjutnya masing-masing mampu memimpin bersama dalam
bidang unggulannya. Bersama dengan itu, masing-masing agar
mampu secara terbuka, berbesar hati, ikhlas dan bersemangat
menjadi pihak yang dipimpin oleh kalangan lain yang memiliki
keunggulan dalam bidang tersebut. Setiap “imam” (pemimpin)
bertugas memberi arahan kepada “mamum” (bahawahan)-nya.
Bawahan berhak untuk meminta penjelasan dan menghargai
arahan pemimpinnya.
Dengan keikutsertaan masing-masing gerakan Islam pada
pengajian bersama maka akan terjadi saling menguntungkan.
Kalangan liberalis dapat mengakhiri “kesunyian jalan yang
ditempuhnya”, tanpa mengorbankan sikap rasionalitas kritisnya di
satu pihak dan mengorbankan integritas syariah di pihak lain.
Kalangan moderat akan memperoleh “pencerahan” integritas
syariah, pemikiran dan keluasan jangkauan keumatan. Sedangkan
kalangan garis keras, juga di samping memiliki keunggulan dalam
semangat juang, juga akan mendapatakan penguatan integritas
syariah, pemikiran Islam dan wawasan keumatan.
Begitulah kiranya peran serta dan kerjasama masing-
masing kalangan gerakan Islam panutan umat sebaiknya terjalin.
Hal itu tentu saja jika keberadaan mereka benar-benar ada untuk
kemajuan peradaban Islam, bukan Islam yang hanya menjadi alat
kepentingan.
2. Melangkah Bersama
Selanjutnya, suatu awal langkah penting yang perlu
dibangun ialah pentingnya masing-masing untuk bersikap optimis
dan sekali-kali tidak bersikap pesimis. Sebab, sikap pesimis timbul
dari sudut pandangan yang pasial, maka masing-masing perlu
melihat permasalahan umat dari sudut pandang integral
(menyeluruh) agar tumbuh sikap optimisme. Untuk memperoleh
pandangan yang integral, perlu masing-masing mengembangkan
cakrawala pandangan yang luas.
Pertama-tama, masing-masing tidak berhenti dengan
membandingkan kondisi umat Islam dengan ummat yang lainnya.
Kedua, masing-masing tidak melihat kondisi umat secara statis di
masa kini saja. Ketiga, masing-masing perlu melihat cakrawala
budaya dan geografi perkembangan umat. Keempat, masing-
masing tidak terpaku pada satu sisi atau dua sisi kehidupan
masyarakat saja, melainkan perlu melihatnya keseluruhan aspek
peradaban Islam.
Dengan empat pedoman demikian, akan nampak bahwa
masing-masing kalangan gerakan Islam sebenarnya sedang berada
dalam transformasi peradaban yang multi dimensional. Mungkin
dalam beberapa hal masing-masing memiliki kekurangan yang
berbeda dibandingkan dengan yang lain, namun masing-masing
juga hendaknya melihat adanya kemajuan di bidang-bidang
unggulan pada masing-masing kalangan.
Semua keunggulan akan semakin bermakna luas, dan
berbagai kekurangan akan semakin dapat diminimalisir, melalui
berbagi peran, bekerja sama dan sama-sama kerja, di antara
berbagai kalangan gerakan Islam.
Pertama, Membuat jaringan-jaringan kerja antar
kelompok-kelompok kegiatan sejenis di kantor-kantor ormas
Islam, di masjid-masjid, di kampus-kampus kota, pesantren-
pesantren di desa untuk tukar menukar pengalaman kerja dan
gagasan.
Kedua, Membuat pertemuan berkala antar kelompok-
kelompok kegiatan yang berlainan jenis untuk menghasilkan
sinergi kreatif antara berbagai jenis kegiatan. Pada tahapan ini
juga bisa disepakati untuk membuat media massa bersama, yang
memuat berbagai pendapat, serta informasi kegiatan bersama
berbagai ormas Islam mengenai garapan yang tengah dihadapi,
dengan adanya media yang mempubilaksikan setiap kegiatan
bersama, secara umum umat akan menjadi tahu dan akan saling
bahu membahu.
Ketiga, Mengartikulasikan berbagai keberhasilan kelompok
kegiatan pemecahan masalah ke dalam suatu kerangka konseptual
yang Islami.
Keempat, Menerjemahkan kembali kerangka konseptual
tersebut menjadi program-program kerjasama antar kelompok
kegiatan dengan skala yang lebih besar.
Kelima, Mengevaluasi hasil-hasil kegiatan kelompok yang
meningkatkan kecerdasan dan kesejahteraan ummat berdasarkan
kriteria keserasian dengan nilai Islam.
Keenam, Mengurangi secara bertahap hal-hal yang
berlawanan dan bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Keenam langkah tersebut adalah langkah minimal, agar
kemampuan kreatif masyarakat dapat dimanfaaatkan secara
integral dalam rangka kebangkitan Islam yang baru. Arah
pemikiran ini mungkin jadi salah satu alternatif, disamping
alternatif-alternatif yang lain, yang disodorkan pihak lainnya untuk
membuat gagasan ini lebih rinci dan lebih matang. Disamping
kerja nyata di bidang masing-masing akan amat dibutuhkan untuk
mempercepat pembuahan gagasan ini.
Dengan upaya simultan dari gerakan umat Islam yang
terintegrasi secara kokoh, baik garis keras, moderat, maupun
liberal, maka akan tercipta bahwa perbedaan merupakan suatu
realitas, untuk mengisi setiap garapan yang banyak dan beragam.
Akan tetapi perbedaan bukan untuk perpecahan dan bentrokan
yang juteru saling merugikan karena semua umat dihadapkan
kepada persoalan yang sama, yaitu program mengupayakan
kebangkitan Islam untuk mencapai kemajuan umat dalam nuansa
Islam yang menjadi rahmat (yang berkeadilan dan
mensejahterakan) bagi semua umat dan semesta alam.
Persoalan Kontemporer
Salah satu gerakan yang mendorong pada kekeliruan dalam
membuat pilihan yang disebut mono-dualisme semu, merusak
integralitas wujud sebagai asal muasal pangkal keseimbangan.
Perusakan ini merupakan pangkal bagi terjadinya berbagai
gangguan yang menyebabkan munculnya berbagai penyimpangan.
Sesuai dengan pandangan Armahedi Mahzar (1991) bahwa
akar kesalahan itu adalah memisahkan apa yang telah Allah
satukan dalam hubungan integralitas tauhid. Kerangka hubungan
itu adalah kesatuan integral manusia-alam-Allah. Berdasarkan
paradigma al-Qur’an surat al-Ghasyiah bahwa: manusia yang
selamat adalah manusia yang menjaga keseimbangan tiga kesatuan
dalam bentuk hablun min al-nãs, hablun min al-‘alam, hablun min
Allah.
Pemisahan hubungan integral tauhid tersebut akan
melahirkan pengutuban semu dan tidak akan kokoh. Pengabaian
dimensi metafisik dari sistem integralisme fisik-non fisik-metafisik
menjadi bipolar fisik-nonfisik dengan membuang unsur metafisik
akan melahirkan ketidak seimbangan. Dasar penalaran ini dapat
membaca integralisme manusia-alam–Allah yang oleh Barat
dipangkas menjadi pengutuban manusia-alam, fisik-psikhis adalah
sebuah pilihan atas kekeliruan yang akibatnya harus ditanggung
oleh umat manusia lain dalam panggung sejarah pertentangan.
Sejarah pertentangan ini dapat dilihat dalam mozaik pertentangan:
Rasionalisme vs Empirisme (abad ke 14); Idealisme vs Realisme
(abad ke-17); Positivisme vs Romantisme (abad ke18); Materialisme
vs Idealisme (abad ke-19); Saintifisme vs eksistensialisme (abad ke-
20).
Dalam paham kemanusiaan mozaik pertentangan
manusia-alam terlihat sebagai berikut: Naturalisme vs Humanisme;
Teknologisme vs Ekologisme; Kapitalisme Vs Sosialisme. Dalam
konteks kehidupan sosial dapat dilihat dalam pertentangan: Pribadi
vs Masyarakat; Indovidualisme vs Kolektivisme; Liberalisme vs
Totalitarianisme; Radikalisme vs Konservativisme.
Semua pengutuban ini menunjukkan bahwa bila dimensi
supra natural dan metafisik yang transendental dilepas dari
integralisme wujud, maka wujud realitas cenderung dilihat sebagai
dualitas polaritas. Dualitas dalam pandangan Barat yang cenderung
menjadi dualisme.
Dari pandangan ini jelas bahwa konsep untuk mengatasi
nestapa manusia kontemporer ini adalah Penyuluh Islam berupaya
mengembalikan pemahaman kepada poros integralitas nilai dasar
manusia yang didasarkan pada integralitas wujud manusia.
Integralitas Nilai
Integralitas nilai yang berdasar pada integralitas wujud
menunjukan nilai-nilai yang terintegratif, di mana manusia sebagai
penganut nilai juga merupakan bagian yang terintegrasi dari
integralitas wujud. Maka nilai nilai yang ada pun sudah semestinya
terintegratif.
Skema: Integralitas Nilai