Anda di halaman 1dari 60

BAB XII

STRATEGI PENYULUHAN AGAMA

Dalam menjalankan tugasnya, penyuluh Agama, selain


sebagai pelaku penyuluhan juga sebagai manajer berbagai kegiatan
keagamaan dan pengembangan masyarakat. Dengan demikian
Penyuluh agama, hendaknya memiliki strategi yang baik dalam
melaksanakan tugas kemanagerannya tersebut.

A. Back To Mosque
Back to Mosque maksudnya mengajak umat kembali ke
masjid. Masjid merupakan pusat kegiatan Umat Islam. Melalui
masjid berbagai kegiatan pada zaman Rasulullah, para sahabat dan
masa kejayaan Islam, dikembangkan. Sehingga tak heran Sidi
Gazalba pernah menulis, “Masjid sebagai Pusat Ibadah dan
Peradaban”. Karena pada masa itu memang, masjid tak pernah sepi
dari berbagai kegiatan.
Saat ini masjid tengah berdiri di setiap tempat, di terminal,
di alun-alun, di tiap kampung, bahkan tiap RW dan RT. Bangunanya
pun kian megah. Namun, pertanyaan yang muncul, akankah masjid
hanya sebagai lambang, atau sudahkah masjid menjadi urat nadi
dan pengembang potensi kehidupan masyarakat?
Menjawab pertanyaan itu, tentu tidak mudah, sebab
sejumlah masjid mungkin sudah memerankannya, namun tentu
kita juga tidak bisa menutup mata, bahwa tidak sedikit masjid yang
berdiri megah namun sepi dari kegiatan.
Lihat saja, berapa jumlah orang yang berjamaah pada setiap
kali datang waktu sholat, penuh? Setengahnya, atau
seperempatnya? Jangankan saat sholat berjamaah dzuhur dan
ashar, lihatlah pada saat sholat Maghrib dan Shubuh, penuhkah?
Paling paling yang penuh itu saat sholat ied dan sholat jumat.
Wajar jika ada yang mengatakan, “Jika kamu ingin melihat
jumlah umat Islam di suatu daerah, lihatlah masjid pada sholat
jumat-nya, dan jika kamu ingin melihat jumlah orang mumin maka
lihatlah masjid pada sholat berjamaah shubuhnya”. Kemudian
ungkapan itupun dilanjutkan” Sesungguhnya umat Yahudi akan
merasa takut jika jumlah umat Islam yang berjamaah Subuh sama
dengan jumlah yang sholat Jum’at”.
Mengapa demikian? Sebab jika suatu masyarakat muslim
telah mencintai masjid, itu berarti keislamannya memiliki kekuatan,
apalagi jika nampak pada shalat Shubuhnya (sholat yang penuh
tantangan), itu menandakan keimanan suatu masyarakat telah
kuat. Jika iman umat Islam kuat, maka semakin sulitlah musuh
musuh Islam untuk mengalahkannya, termasuk umat Yahudi.
Namun semakin umat Islam tercerabut dari masjid, semakin
lemah pula keislaman dan keberimananya, semakin tercerabut pula
solidaritas (ukhuwah) Islamiyahnya, maka semakin mudah pula
untuk dikalahkan.
18. hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah
orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta
tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut
(kepada siapapun) selain kepada Allah, Maka merekalah orang-
orang yang diharapkan Termasuk golongan orang-orang yang
mendapat petunjuk. (QS. At-Taubah: 18)
Mengenal Masjid
Istilah masjid berasal dari bahasa Arab: sajada, yasjudu,
sujudan, yang berarti tempat sujud. Sidi Ghazalba (1994:19),
mengartikan sujud pada dua makna: secara lahir berarti gerak
jasmani, seperti bagian dari gerak sholat dan secara bathin berarti
pengabdian.
Pengertian yang kedua, sesuai dengan penjelasan hadits
Rasulullah SAW: ”Seluruh jagat telah dijadikan bagiku sebagai majid
(tempat sujud) “(H.R. Bukhari). Makna kontekstual hadits tersebut
menunjukan bahwa sujud kepada Allah tidak terkait kepada suatu
tempat. Hal itu juga menunjukan makna bahwa masjd yang
bermakna tempat, tidak hanya berfungsi sebagai tempat sujud
yang bermakna lahiriah, melainkan berfungsi sebagai pusat
aktivitas manusia yang lingkupnya seluas jagat ini, mencakup
urusan ritual dan muamalah, seperti ekonomi, politik, sosial,
budaya, dan sebagainya.
Dengan kata lain, secara ideal masjd merupakan pusat
aplikasi hubungan antara manusia dengan Allah dan hubungan
manusia dengan manusia lainnya.
Lebih dari itu, Armahedi Mahzar (1993:119-120),
menyatakan, bahwa masjid merupakan pangkal dari penggalangan
sumber daya masyarakat yang Islami. Karena itu, revitalisasi umat
tergantung kepada refungsionalisasi masjid tersebut.
Sementara itu, Ramdhan Buthi (1993:6), mengungkapkan
bahwa, karena masjid merupakan azas utama dan terpenting bagi
terbentuknya masyarakat yang Islami maka terbentuk atau
tidaknya masyarakat yang Islami tersebut tergantung kepada
terwujud atau tidaknya semangat masjid di dalam kehidupan
masyarakat
Fungsi Masjid
Masjid merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sitem
masyarakat muslim. Masjid umumnya ada pada setiap masyarakat
muslm berada. Masjid juga merupakan institusi yang di dalamnya
terjadi intensitas yang tinggi. Dalam pertemuan rutin. Dalam
pertemuan rutin, minimal dalam sehari tiga sampai lima kali, dalam
shalat maghrib, isya dan subuh, serta dzuhur dan ashar, terjadi
berkumpulnya masyarakat muslim dengan berbagai unsurna yang
beragam, menyatu dalam satu semangat pengabdian kepada Allah
SWT.
Realitas tersebut telah ditunjukan oleh sejarah sejak masjid
pertama dibangun. Berawal sejak Nabi Muhammad SAW dan para
sahabatnya mendirikan masjid Quba, yang merupakan masjid
pertama, pada tanggal 12 Rabiul awal tahun I Hijriyah, kemudian
diikuti dengan pendirian masjid Nabawi dan masjid Haram.
Masjid-masjid tersebut telah berfungsi sebagai pusat
kehidupan umat Islam, mulai dari ibadah ritual juga meliputi
urusan ekonomi, pendidikan, politik, sosial, budaya, seni dan yang
lainnya (Moch. E. Ayub, 1996:11).
Kemudian, ketika masjid Cordova dibangun pada masa
pemerintahan Abdurrahman III (922-261 M), pengembangan fungsi
masjid terjadi, selain sebagai tempat mendekatkan diri kepada
Allah (taqarub), juga sebagai tempat pengkajian berbaga disiplin
ilmu, seperti ilmu ekonomi, sosial, politik dan sebagainya. Pada
saat perkembangan aktivitas membutuhkan fasilitas-fasilitas
penunjang yang masih dekat dengan masjid dekat dengan masjid
tersebut, maka kumpulan bangunan dan aktivitasnya kemudian
dikenal dengan Universitas Cordova, yang semua aktivitasnya
berada di bawah kontrol masjid (Sabili).
Dari universitas Cordova tersebut, kemudian muncul
universitas terkenal lainnya di dunia, seperti Oxford, Harvard,
Combridge. Sentral semua universitas itu ada di Universitas
Cordova, dimana Central Universitas Cordova sendiri terletak di
masjid. Saat itulah masa keemasan fungsi masjid, dan ketika itu
pula umat Islam mencapai masa kemajuannya.
Kemunduran fungsi masjid terjadi ketika secara lambat laun
fungsi masjid berkurang. Dari lingkup yang luas, hingga tinggal
urusan ritual. Seiring dengan kondisi umat Islam yang berada
dalam penjajahan, dan berbagai aspek kehidupan berada dalam
kekuasaannya, baik ekonomi, sosial, politik dan yang lainnya,
kecuali urusan ritual keagamaan.
Kemunduran Fungsi masjid juga diperkuat oleh
berkembangnya faham sekularis (sekularisme), yang memisahkan
pengelolaan urusan keduniaan dengan keagaamaan. Dimana
imbasnya terjadi pula di kalangan umat Islam, yang kemudian
memisahkan urusan muamalah dengan ibadah, memisahkan
urusan dunia dan akhirat.
Bersama dengan itu, masjid dianggap hanya sebagai tempat
shalat dan dzikir. Sementara sebagai pengganti tempat pertemuan
muncul bale-bale pertemuan, untuk tempat tidur para musafir,
pesta perkawinan, seminar-seminar, muncul hotel-hotel, yang
keberadaan bangunan maupun aktivitasnya terlepas dari fungsi
masjid. Sebaliknya masjid sendiri menjadi lengang dari fungsi-
fungsi seperti itu.
Sampai pada masa umat dan dunia Islam merdeka dari
belenggu penjajahan, saat umat kembali faham dan sadar terhadap
agamanya, perubahan mulai terjadi. Dipelopori oleh civitas
akademika muslim di kampus-kampus angkatan 80-an, muncul
semangat back to mosque.
Mereka mengadakan kegiatan besar: Reintgrasi Dienul
Islam, Rekonstruksi Hikmat Islam, Reislamisasi Tamaddun, dan
revitalisasi Umat, serta Refungsionalisasi Masjid (Armahedi
Mahzar, 1993:150).
Setelah itu, masjid kembali diandang bukan hanya tempat
sujud dalam pengertian lahiriah, tetapi meluas pada makna bathin
ibadah dalam arti luas, sebagai pusat kemasyarakatan Islami,
kesenian Islami, perkawinan islami, pendidikan islami dan
pembinaan islami serta yang lainnya.
Walaupun semangat pandangan ini berkembang perlahan
dan kondisinya masih nampak berproses hingga kini. Karena itu,
perkembangan fungsi masjid yang integral itu, masih belum merata
dan masih terbatas pada masjid-masjid yang memiliki sumber daya
pengelola yang telah mengalami “pencerahan”.
Kondisi masjid yang demikian, menarik para peneliti untuk
melakukan penelitian tentang masjid. Disamping dimaksudkan
untuk sekedar mengetahui karakteristik dan keberadaan masjid,
juga diupayakan untuk mencari cara tepat guna mengoptimalkan
kembali keberfungsiannya.
Misalnya, Nazir Bakri (1977) Doen IAIN Imam Bonjol,
melakukan penelitian tentang masjid dengan judul: Masjid sebagai
Pusat Ibadah (Studi Kasus Terhadap Masjid Raya Tertua di
Kampung Perak Pasar Pariaman Sumatera Barat).
Penelitan tersebut menggambarkan keberadaan masjid tua
dalam kaitan fungsi masjid sebagai pusat ibadah. Sebelumnya, Sidi
Ghazalba 9196:2) telah pula melakukan penelitian yang
diperuntukan guna penyelesaian tugas akhir studinya di S.1.
dengan judul: Masjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan..
Hasil penelitian yang telah diterbitkan menjadi buku itu
menunjukan bahwa fungsi masjid, tidak hanya sebatas pusat
ibadah ritual saja, namun mencakup juga ibadah muamalah
(kebuidayaan).
Sofyan Safri Harahap (1992) juga melakukan penelitian
Masjid di Medan. Dalam penelitian yang menitikberatkan pada
aspek manajemen dan administrasi ini, hasilnya tergambar, belum
adanya keseragaman manajemen maupun administrasi, yang
diantara faktornya karena SDM yang belum merata.
Sementara itu, Kantor Depag Kodya Bandung (1995) juga
telah melakukan penelitian (sensus) berkaitan dengan masjid,
mushola dan langgar di Kodya Bandung. Hasil penelitian itu telah
terinventarisir data tentang nama-nama masjid, alamat ketua DKM,
status tanah tempat masjid berdiri, tahun didirikan masjid, serta
kategorisasi masjid tersebut.
Melalui langkah-langkah tersebut, opini umat tentang
dikhotomi agama dan dunia pun mulai memudar, berubah pada
kecenderungan tdak adanya pemisahan secara mutlak antara
ibadah dan muamalah, urusan duna dan akhirat. Semua dipandang
berjalan pararel, berkaitan dan saling berkesinambungan.
Unsur Sumber Daya dan Kegiatan Masjid
Keberadaan masjid, bukan hanya bangunan, namun ia
memiliki sejumlah unsur sumber daya yang menjadi penunjang
keberfungsiannya. Pertama, sumber daya pengurus. Termasuk
pengurus ini adalah imam, bahkan ia adalah pemimpin dari seluruh
kegiatan masjid, mulai dari shalat berjamaah, sampai pada
pengkoordinasian seluruh lembaga-lembaga yang ada di bawah
naungan masjd tersebut. Bersama imam, pengurus masjid yang lain
adalah faktor utama yang menentukan kualitas fungsi masjid.
Oleh karena itu adanya jumlah pengurus yang cukup,
konsolidasi dan komunikasi yang baik, yang didasari pengetahuan
yang utuh tentang fungsi ideal masjid di antara mereka, adanya
pembagian kerja secara tertulis dan pelaksanaannya yang
didasarkan pada pemahaman fungsi masing-masing yang saling
berkaitan, serta adanya upaya peningkatan kemampuan melalui
training-training misalnya, kemudian terselenggaranya rapat-rapat
rutin, lengkap dengan upaya kontrol dan evalusai, semua itu
merupakan landasan bagi terbentuknya kinerja pengurus masjid
yang baik.
Kedua, Sumber Daya Jamaah. Mereka merupakan unsur
yang menyatu dalam institusi masjid Dengan demikian, adanya
konsolidasi dengan jamaah merupakan hal yang penting guna
meningkatkan partisipasi mereka dalam kegiatan yang dimotori
para pengurus masjid. Para pengurus yang baik akan secara pro-
aktif meminta dan menampung aspirasi jamaah, sehingga tumbuh
rasa memiliki, terhadap semua kegiatan yang diselenggarakan
masjid, dikalangan para jamaah. Untuk itu, adanya data yang baik
tentang jamaah masjid, mulai dari nama, alamat, tempat tanggal
lahir, suku, pendidikan, pekerjaan, keahlian, hingga data tentang
kesulitan (masalah) yang dihadapi tiap jamaah, semua itu akan
membantu ke arah eratnya hubungan antara unsur pengurus dan
jamaah.
Ketiga, Sumber Daya Program. Berbagai kegiatan yang baik
akan sulit tercapai tanpa adanya program yang tertulis, tersusun,
terjadwal dengan pariasi. Semua program, baik DKM maupun
lembaga-lembaga di bawahnya, hendaklah dibuat sesuai aspirasi
jamaah, serta disesuaikan dengan kemampuan penyelenggaraan,
baik waktu, biaya, sarana, maupun tujuan dan targetnya. Ini
diperlukan agar dalam evaluasi dan hasilnya baik.
Keempat, Sumber Daya Prasarana. Ketika jamaah ingin
belajar, diperlukan tempat belajar; ketika jamaah akan membaca
diperlukan kepustakaan. Demikian pula ketika jamaahingin
berkonsultasi diperlukan ruang konsultasi, dan sebagainya.
Oleh karena itu, adanya kelengkapan prasarana
menentukan untuk memungkinkan terlaksanana program kegiatan.
Sebaliknya tanpa adanya prasarana yang cukup dapat menghambat
terlaksanannya program
Karena itu, akan lebih baik jika pendirian bangunan masjid,
didesain sesuai dengan kemungkinan kegiatan-kegiatan yang akan
diselenggarakannya. Seperti adanya, ruang berjamaah, ruang
belajar, perpustakaan, ruang sekretariat, tempat tidur musafir,
ruang konsultasi, tempat penyimpanan sandal/sepatu, tempat
wudhu, tempat parkir, dan sebagainya.
Kelima, Sumber Daya Sarana. Sarana juga memiliki
hubungan yang sangat erat dengan kegiatan yang diadaakan.
Berbagai sarana yang dibutuhkan untuk kegiatan menjadi suatu
keharusan adanya. Oleh karena itu, adanya speaker, mimbar, white
board dan ATK lainnya, Mading, Laptop, Infocus, Telephon,
Komputer/ mesin tik, dan yang lainnya, merupakan hal yang
sebaiknya lengkap di suatu masjid.
Keenam, Sumber Daya Dana. Dana merupakan daya
dukung yang penting. Oleh karena itu adanya upaya penggalian
sumber dana yang banyak dan jelas, jumlah pendapatan yang tidak
lebih kecil dari kebutuhan, akan menjadi nafas bagi kelancaran
penyelenggaraan kegiatan. Untuk lebih baiknya diupayakan
penggalian sumber dana secara kreatif, serta pengelolaan dananya
dilakukan secara transparan, ini merupakan hal penting.
Ketujuh, Sumber daya Admnistrasi. Suatu kegiatan yang
baik, tentu tidak cukup dengan memiliki sekretaris yang handal,
melainkan juga perlu keahlian dan keuletan dalam catat-mencatat,
maka pengadministrasian juga menjadi salah-satu unsur penting
bagi keberfungsian masjid.
Bebagai sumber daya masjid di atas, merupakan bagian
penting dalam mewujudkan kemakmuran masjid, yang tentu ramai
dengan berbagai kegiatan di dalamnya.
Kegiatan masjid yang ideal tentu saja yang sesuai dengan
fungsi masjid, meliputi urusan ritual, seperti shalat berjamaah,
dzikir, qurban dan I’tikaf. Selain itu lengkap juga dengan kegiatan
dakwah, pendidikan, pelayanan, pelatihan, ekonomi, politik, sosial,
budaya, seni olah raga, dengan berbagai jenisnya yang dapat
dikembangkan sesuai dengan situasi dan lingkungan masjid berada.
Tentu saja, uraian tentang kegatan ini amat luas jika
dijabaran. Namun dengan memaklumi arti penting sumber daya
bagi kepentingan masjid dan berbagai kegiataan yang mungkin
dikembangkan oleh pengelola masjd ini, setidaknya akan menjadi
bahan untuk pengembangan fungsi masjid. Fungsi tersebut
dijalankan melalui struktur-struktur sumber daya yang didalamnya
terdapat sejumlah pelaku yang menjalankan peran tertentu, di
samping ada sarana dan prasarana, dana dan administrasi yang
sama pentingnya.
Atas dasar itu, berdirinya sebuah masjid tentu perlu
ditopang oleh sumber daya dan kegiatannya. Sebab semua itu
merupakan rangkaian yang saling mempengaruhi dan tak
terpisahkan satu sama lainnya.

B. Manajemen Pengajian
Indonesia sebagai Negara mayoritas penduduknya
beragama Islam, memiliki sarana yang tidak sedikit jumlahnya.
Perkembangan sarana umat Islam telah merambah hampir ke
seluruh wilayah kelurahan atau pedesaan, RW maupun RT. Mulai
dari masjid agung, masjid jami, mushola maupun langgar. Di
tempat-tempat keramaaian, seperti terminal, pasar, dan
sebagainya, masjid seakan telah menjadi sarana “wajib” pelengkap
keberadaannya. Bahkan Islamic Center-pun telah berdiri dengan
megah, di sejumlah kota dan kabupaten. Seolah sarana keagamaan
tersebut melaju mengikuti deret ukur.
Perkembangan sarana yang begitu cepat itu demikian,
nampak pada sejumlah tempat belum terimbangi oleh
pemanfaatan kegiatan yang optimal. Walau tidak berarti mandeg
sama sekali, misalnya dimasjid, ada kegiatan shalat berjamaah
pada waktu-waktu tertentu. Namun kegiatan masjid yang
mengarah kepada masjid sebagai pusat peradaban umat Islam,
atau paling tidak, masjid sebagai pusat pembinaan umat,
nampaknya masih kurang teroptimalkan. Khususnya bagi sekian
banyak masjid, dimana tidak sukar untuk menemukan masjid atau
mushola yang sepi (baca: minim) dari kegiatan tersebut.
Barangkali banyak faktor yang menjadi penyebab keadaan
itu terjadi. Seperti factor ekonomi misalnya. Saat ekonomi umat
meningkat dari masa sebelumnya, sehingga umat mampu
mendirikan masjid sampai lingkup tiap RT. Sementara itu ada faktor
Theologis, dimana banyak umat memaknai “kebaikan
membangun” masid secara harfiah, dimana mereka giat
membangun masjid secara fisik, dan merasa cukup sampai di sana.
Adapun untuk memakmurkannya, seolah sebagai sesuatu yang
terpisah, dan menjadi urusan lain. Oleh karena itu, baik secara
operasional maupunh konsepsi, kegiatan optimalisasai masjid ini
masih cukup langka dan belum merata.

1. Persoalan Majelis Taklim


Diantara sarana umat Islam yang tergolong hidup
kegiatannya, pengajian atau majelis ta’lim merupakan kegiatabn
andalan. Kegiatan inipula yang mendorong lahirnya wadah seperti
Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT). Namun dari jumlah pengajian
yang ada inipun bukan berarti keberadaannya tanpa masalah.
Paling tidak secara umum, ketika jumlah pengajian terus
bertambah, belum terimbangi oleh kuantitas dan kualitas da’i yang
tersedia.
Tidak jarang panitia pengajian merasa kesulitan mencari
da’I yang berkualitas, sementara acara pengajian harus berjalan
juga. Apalagi ketika masuk musim bulan Rajab, Maulid, Ramadhan,
Syawal dan Dzulhijah, para da’i yang sudah dikenal umat, sebulan
bahhkan dua bulan sebelumnya, jadwal hariannya telah penuh
terisi. Agar kegiatan tetap berjalan, tak jarang, panitia yang
menghubungi agak lambat, tak jarang memilih da’I seadanya.
Tidak hanya itu, ketika pengajian berlangsung, dengan
menghadirkan para da’I yang berbeda setiap waktunya, sedang
bahasan tidak diprogramkan secara sistematis, makia pengajianpun
berjalan tanpa didukung materi yang berurutan. Akibatnya jama’ah
majelis ta’lim menerima materi yang loncat-loncat dan terputus-
putus. Tidak jarang terjadi suatu materi diulang berkali-kali,
sementara tidak sedikit materi keislaman lain yang jarang atau
tidak tersentuh sama sekali. Pada gilirannya, umat menjadi kuat
pada sub-sub keislaman tertentu, namun sangat lemah pada sub-
sub keislaman yang lain.
Sementara bagi kalangan da’I sendiri, terutama yang belum
“kondang”. Dimana mereka berdakwah atas dasar “keikhlasan”.
Akan tetapi pandangan orang terhadap “keiklasan” tersebut,
sebagai suatu yang langsung dikaitkan kepada Allah. Adapun
pandangan dari aspek kemanusiaan da’i, kadang belum terpolakan
dengan baik. Akibatnya, pandangan terhadp da’I sebagai manusia
yang juga memiliki kebutuhan lahiriah, pada sebagian kalangan
masih seolah merupakan hal yang tabu untuk dibicarakan, apalagi
diperhitungkan.
Uang transport misalnya, kalaupun ada panitia yang telah
biasa memperhatikannya, namun kondisinya masih merupakan
wujud kesadaran perhatian perseorangan, yang belum teratur. Hal
ini berimbas, ketika da’I dibutuhkan untuk menjadi “peran kunci”
dari suatu kegiatan pengajian dan banyak dibutuhkan di berbagai
tempat, pribadi da’I sendiri dihadapkan pada konsentrasi lain, yaitu
memenuhi kesejahteraan diri, istri dan anak-anaknya, yang tingkat
kebutuhannya semakin meningkat.
Dapatlah dimaklumi, jika pada saatnya, kegiatan majlis
ta’lim dan dakwah pada umumnya, yang dilakukan para da’I seperti
di atas berjalan dengan tenaga sisa, perhatian sisa, maupun
kesempatan sisa. Ia tidak konsentrasi secara penuh kepada
kegiatan dakwah, membina umat, karena perhatian, waktu dan
tenaganya, sebagian dipakai untuk mencari kebutuhan diri dan
keluarganya. Ini artinya, bahwa kegiatan dakwah belum dapat
diandalkan untuk memperoleh “penghasilan” untuk memenuhi
kebutuhan, swekaligus belum dapat diandalkan sebagai ladang
“profesi”.
Barangkali, karena dakwah belum ada pengelolaannya
secara profesional itu, maka keingingan “generasi baru” untuk
menjadi kader da’i, nampak jarang. Hal itu dimaklumi, karena
disekeliling mereka lebih banyak bidang lain yang telah digarap dan
dikelola secara professional, sehingga dipandang memiliki
“kejelasan” prospek dan perhitungan keuntungannya (baik secara
duniawi, dan mungkin juga ukhrawi). Misalnya, lebih banyak
diantara kader generasi yang lebih mengidolakan menjadi dokter,
insinyur, bankir, guru, politisi, manajer, dan sebagainya.
Hal di atas pada giliran berikutnya, bertaut pengaruh
kepada regenerasi da’I yang laju pertumbuhannya lebih lamban
dari pertumbuhan sarana, bahkan dari kegiatan majelis ta’lim itu
sendiri.
Fenomena di atas, dapat dimaklumi, jika mengingat
perkembangan dakwah yang pada awalnya berlangsung lebih
sebagai aktivitas, sementara aspek lain yang merupakan suatu
system dari manajerial masih kurang tersentuh oleh aktivitas
dakwah.
Kemudian, jika dikaitkan dengan kondisi social dewasa ini
dan seterusnya, tentu perlu penyikapan yang lebih teratur dan
terkoordinasi melalui suatu suatu system manajerial, karena
beberapa persoalan dakwah saat ini muncul. Diantaranya,
fenomena dakwah membutuhkan kuantitas dan kualitas da’I yang
memadai, perlu adanya kemudahan dalam memperoleh tenaga
da’I yang berkualitas, perlu pula adanya suatu lembaga “konsultasi”
yang bias menjembatani antara ke[pentingan jama’ah dan para
da’I, antara da’I dengan para jama’ah, dapat membantu mereka
dalam memecahkan setiap persoalan yang dihadapi, mengarahkan,
serta membantu meningkatkan kualitas dan kuantitas kegiatan
dakwah.
Setelah mendapati kejelasan tentang masjid, permasalahan
selanjutnya adalah, bagaimana mempercepat pemberdayaan
masjid yang jumlahnya banyak dan membutuhkan penanganan
secara intensif. Dalam upaya itu, disamping dalam rangka
memberikan solusi dari persoalan keumatan dan kedakwahan
seperti telah terurai di atas, berikut dapat diupayakan sebagai pola
manajerial untuk mempercepat pengembangannya.
2. Sistem Bank Da’i
Mencermati persoalan-persoalan di atas, maka diperlukan
adanya jalan ke luar. Jalan ke luar tersebut saya tawarkan apa yang
pernah disodorkan oleh Ahmad Darun Setiadi, dengan apa yang
disebutnya sebagai “BANK DA’I”. Istilah tersebut, memang diadopsi
dari peritilahan perbankan, yang maksudnya sebagai model system
yang diharapkan dapat berkonsentrasi secara penuh mengurusi
persoalan-persoalan seperti yang dikemukakan di atas. Bank da’i
ini, merupakan lembaga yang memikirkan, mengatur, mengolah,
dan mengembangkan dakwah dengan berbagai system terkait yang
ada di dalamnya. Singkatnya, ia memiliki pola kerja (plus-minus)
mirip dengan nsistem perbankan.
Walaupun seperti perbankan, pendirian dan
pengelolaannya dapat dibentuk dan dikembangkan oleh lembaga-
lembaga yang telah ada, baik oleh lembaga pemerintah, swasta,
ormas, atau LSM, dimana ia menjadi bagian unit kerja lembaga itu
atau yang secara otonom mengurusi ditrrinya sendiri. Hal itu
mengingat system, kerjanya relative sederhana, dan tidak terlalu
rumit, yang penting ada niat, semangat, konsentrasi dan kerja keras
dari para pendiri dan para pengurusnya.
Untuk kepengurusannya, Bank Da’i dapat dikembangkan
secara kreatif oleh seorang Direktur Uama yang mendapat
pengarahan dari suatu team Panel Ahli, serta dibantu secara teknis
oleh para Direktur Pelaksana dan Staf-stafnya. Panel ahli sendiri
adalah para penasehat yang sejak awal diikutsertakan dalam
mlahrkan lemaga tersebut, pakar di bidang sosial, pendidikan dan
dakwah, serta yang lainnya. Sedangkan Direktur Utama adalah
orang yang bekerja secara dinamis, kreatf dan iklas daam
memajukan dan memimpin lembaga tersebut. Untuk pelaksanaann
tugasnya direktur utama dibantu oleh para drektur pelaksana, yang
dapat dibagi kepada beberapa bidang.
Direktur bidang kesejahteraan, bertugas memikirkan secara
terus mnerus agar para da’I, para pengurus lembaga dan para
jamaah masjid, sejahtea lahir bathin. Direktur bidang Pendidkan
dan Lathan, bertugas mengadakan seleksi da’I muda serta
mengadakan pelaihan –pelatihan, sehingga kader-kader tersebut
siap terju dan bersama masyarakat, untuk membimbing dan
membina masyarakat, dalam mengoptimalkan kegiatan umat Islam
yang bernama masjid serta berbagai kegiatan lainnya yang
berpangkal pada semangat masjid.
Direktur Bidang Pemasaran, bertugas mencari lahan dan
memperluas lahan binaan, disamping menerima permintaan dari
berbagai pengurus masjid, untuk membina anggotanya. Direktur
Bidang monitorng, bertugas mengatur jawal dan lalu-lintas
pengiriman para da’i. Selain itu Direktur Bidang Litbang, yang
bertugas memikirkan pengembangan lembaga dakwah dan
mengembangkan sumber daya dan kegiatan masjid.

3. Teknis Kerja
Dalam mulai kerjanya, Direktur Utama, dan para Direktur
Plaksana, memula bekerja keras utuk limit waktu yang menjanjikan
keberhasilan. Pada tahap awal, seluruh pemikiran para direktur
dikonsentraskan untuk membantu Direktur Pemasaran, dengan
menyiapkan para da’I muda untuk mengambil bagian dalam
menyusun jadual dakwah dan membina d masjid-masjid.
Selanjutnya menyiapkan da’i untuk mengisi kegiatannnya,
berdasarkan materi dan silabi. Silabi yang disusun ini pun telah
dipersiapkan sedemikian rupa dengan memperhatokan totalitas
Islam yang bahasannya disubordinasikan sesuai dengan kondisi
wilayah masjid di sana.
Selain itu, masing-masing juga bekerjasama untuk mencari
para donatur untuk mendanai kegiatan dan masjid yang masih
memerlukan dana. Walaupun dalam pendanaannya nanti diatur
juga, masjid yang dananya besar memberi lebih besar kepada
lembaga dan masjid yang dananya kurang diberi kerinanan, gratis
atau bahkan disumbang.

4. Rancangan Program
Pada bulan-bulan pertama, dijadikan sebagai bulan
p0romos, baik melalui pamlet, spanduk, koan dan sebagainya.
Sehingga mal sekitar 20%pun dapat dialokasikan untuk itu. Namun
sebelum promosi, lembaga harus benar-benar siap dengan
sejumlah da’I yang siap bramal (untuk jalur cepat). Disampig,
lembaga juga terus membuka pelatihan dan menyeleksi da’i-da’I
muda yang dipersiapkan (untuk jalur lambat).
Untuk jalur lambat, lembaga perlu melakukan seleksi ekstra
ketat. Dengan menyeleksi kader unggul, cerdas, berakhlak dan
memiliki kedalaman dan keluasan ilmu, termasuk di dalamnya
manajemen dan problem solving. Lembaga baru boleh
menugaskan para kadernya ke tengah masyraat melalui hasil
kelulusan dalam pelatihan yang menjamin kualitas mereka, dengan
kurikulum dan instruktur yang berkualitas pula.
Kepada para pengusaha muslim, lembaga dapat
mengusahakan semacam discount card, begiu juga kepada para
dokter, disamping dapat juga mengusahakan semacam dana
Bakesos, dengan sedikt menyisihkan iuran dari penghasilan para
da’i.
Pengaturan pembagian kesjahteraan dana kesejahteraan
para da’i sendiri, dapat diatur melalui kesepakatan para pengurus
embaga. Misalnya 50% untuk kesejahteraan da’I, 10% untuk
kerabat kerja lembaga 20% untuk Direktur utama dan Panel Ahli,
serta 20% untuk dana sosial dan pengembangan masjid yang perlu
bantuan.

5. Tingkat Kelayakan
Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan megapa
lembaga semacam BANK DA’I ini ditawarkan. Paling tidak, adalah
kenyataan bahwa kuantitas masjid cenderung semakin bertambah
Jumlah yang bayak tersebut, tentu merupakan potensi bagi
kemajuan umat, jika kegiatan masjid dikelola secara efektif,
sehingga kemakuran masjid bisa lebih meningkat.
Melalui pengembangan lembaga semacam ini diharapkan,
kenyataan dengan berbagai keadaannya akan semakin cepat
sampai pada harapan seperti idealnya, yaitu kembalinya fungsi
masjid sebagai pusat kegiatan umat Islam yang luas. Wallahu A’lam

C. Mendidik Anak Sholeh


“Tiap-tiap anak lahir membawa fitrah, ayah dan ibunyalah yang
menjadikan dia seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi” (Hadits
Riwayat Bukhari dan Muslim).
Anak dalam kehidupan keluarga adalah sibiran tulang
curahan kasih dan sayang orang tuanya. Kasih yang terperi dan
sayang yang tercurah bak samudra luas tiada batas.
Anak memang selalu menjadi dambaan setiap pasangan
yang telah memasuki jenjang pernikahan, banyak pasangan yang
belum dikaruniai anak berupaya semaksimal mungkin untuk
memperoleh “Penghias rumah” yang kelak menjadi tambatan dan
harapan dimasa depan. Ketika ibu sudah mulai tua dan ayah mulai
lemah. Bahkan lebih dari itu, anak diharapkan tumbuh menjadi
pribadi yang soleh-solihah, dapat mengharumkan nama orang tua
dan senantiasa mendoakan kepada ayah dan ibunya. Baik saat
orang tua masih hidup atau saat sudah tiada. Suatu keistimewaan
memiliki anak yang shaleh, ibarat “tabungan” pahala bagi orang
tua yang telah mendidiknya, mengingat kelanggengan pahala akan
senantiasa mengalir hingga orang tuanya telah meninggal
sekalipun. Sabda Rasulullah SAW:
“Apabila manusia meninggal maka putuslah segala amalnya,
kecuali tiga perkara; shodaqoh zairiah, ilmu yang bermanfaat,
serta anak shaleh yang mendoakan kepada orang tuanya” (Hadits
Riwayat Muslim).
Itulah diantara keutamaan memiliki anak shaleh, dan
terbentuknya anak shaleh merupakan dambaan setiap orang
tua.Terlebih lagi orang tua yang muslim. Hampir tidak ada orang
tua yang menghendaki anaknya menjadi seorang pencuri,
penjahat, durhaka terhadap orang tua dan perbuatan atau sifat
jelek lainnya. Alhasil hampir semua orang tua mengharapkan
anaknya menjadi anak shaleh, dan dengan berbagai upaya dan
usaha mendidiknya ke arah sana walau cara yang digunakan
terkadang masing-masing orang tua berbeda-beda. Di samping
cara yang berbeda, juga inters atau ketelatenan merekapun
beragam. Ada yang benar-benar penuh perhatian ada juga yang
lebih memperhatiakan hal lain ketimbang masalah pendidikan
anak.
Bagi orang tua yang tipe terakhir tadi, sering mereka baru
tersadar tatkala anaknya melakukan hal negatif baik bagi diri,
keluarga dan masyarakat. Baik pelanggaran terhadap potensi akal
mereka, seperti mabuk-mabukan, kecanduan narkotik dan
sebagainya; pelanggaran nama baik atau pelanggaran terhadap
aturan-aturan Agama yang tidak hanya merugikan dirinya tetapi
juga masyarakat disekitarnya.
Dari kegagalan orang tua mendidik anak tersebut, barulah
mereka bertanya, bagaimanakah sebaiknya cara yang tepat untuk
membentuk anak shaleh? Mengapa banyak orang tua yang berhasil
mendidik anaknya menjadi shaleh sedangkan kami tidak? Inilah
pertanyaan-pertanyaan instropeksi yang sering kita dengar dalam
kehidupan sehari-hari.
Menjawab permasalahan di atas, sekurang-kurangnya ada
lima metode mendidik anak yang pernah diungkapkan oleh
Abdullah Nashih Ulwan, seorang ahli pendidikan dan ilmuwan
muslim. Di antara kelima metode ini saling berkaitan dan tidak bisa
dipisah-pisahkan.
Pertama, pendidikan dengan keteladanan. Inilah
pendidikan yang amat berpengaruh terhadap anak. Terutama
ketika anak dalam masa pertumbuhan. Sebab orang tua adalah
contoh ideal dalam pandangan anak, sebagaimana pula
“pendidikan agung” Rasulullah SAW. menjadi contoh terhadap
umat-umatnya.
Dengan demikian, bila orang tua menghendaki anaknya
shaleh, hedaknya orang tua meladeninya dengan perangai, sifat,
ucap hati dan tingkah laku yang shaleh. Karena bila anak disuruh
untuk berucap baik, bertingkah sopan dan memiliki hati yang
bersih. Sementara orang tua yang meneladaninya baik secara
langsung atau tidak langsung dengan yang tidak mencerminkan
hal-hal tadi, maka pada pribadi anak akan timbul konflik dan
bingung luar biasa. Ahirnya anak menjadi pecah kepribadian.
Kedua, pendidikan dengan kebiasaan. Karena pada
dasarnya anak lahir membawa kesucian. Tidak disangsikan lagi, bila
anak tumbuh berkembang di suasana lingkungan yang baik dan
mendorong pada tumbuh dan berkembangnya kesucian anak,
maka anak pun akan terus berkembang dalam fitrahnya yang suci,
dengan iman yang benar, ahlak Islam dan keutamaan jiwa serta
kemuliaan jati dirinya. Sementara anak yang awalnya suci bila
dibiarkan tumbuh dalam lingkungan yang biasanya kurang baik,
maka lambat laun kesuciaannya akan tercermin debu-debu yang
kurang baik.
Ketiga, pendidikan dengan nasehat, yang merupakan
pendidikan orang tua secara langsung dalam memberikan
penjelasan dan petunjuk kepada anaknya tentang segala hakikat.
Dengan nasihat yang baik dan tepat, anak yang sedang melewati
tahap pertumbuhan dan selalu dalam keadaan mencari identitas
diri, lewat cara ini anak akan lebih cepat memahami segala hal
yang sebelumnya selalu ia ragu-ragu. Dengan demikian selain anak
akan terbentuk menjadi anak yang shaleh plus anak juga menjadi
pandai.
Keempat, pendidikan dengan pengawasan, yaitu dengan
senantiasa mendampingi, mengawasi dan memperhatikannya.
Memperhatikan perkembangan aqidahnya, ibadahnya, akhlaknya
mengawasi pergaulannya, menanyakan segala masalah atau
persoalan yang mungkin yang sedang dia hadapi, serta hal-hal
lainnya. Dengan cara ini anak akan merasa ajrih dan senang karena
selain ada rasa kasih dan sayang yang ia rasakan dari orang tuanya
juga anak akan merasa lega karena setiap masalah yang
dihadapinya senantiasa mendapat jalan ke luar, mengingat
komunikasi dan dialogis antara dia dan orang tuanya terbuka lebar.
Kelima, pendidikan dengan sangsi. Hal itu adalah
pendidikan dengan memberikan perhatian, peringatan dan
peringatan hukum, manakala anak melanggar aturan agama.
Sebagaimana Islam juga menegakan hukum atau sangsi atas siapa
saja yang melanggar aturan Islam, yang berakibat merusak
agamanya, jiwanya, akalnya atau merusak kehormatan dan harta
bendanya.
Itulah diantara kelima metode mendidik anak yang
nampaknya dapat menjadi bahan arahan dalam mendidik anak.
Lewat pendidikan anak yang maksimal dan menggunakan cara yang
tepat, maka insya Allah dapat diharapkan anak sebagai generasi
harapan masa depapan dapat tumbuh dan berkembang sebagai
pribadi sehat, kuat cerdas spiritual, emosional, intelektual, dan
sosialnya. Demikian juga lewat pendidikan yang baik, akan tumbuh
generasi baru yang lebih berkualitas yang akan meneruskan
perjuangan generasi sebelumnya dalam menegakan “Kalimatullah”
serta penerus panji-panji Islam.
Mendidik anak merupakan tanggungjawab para orang tua,
yang diberi “amanah” oleh Allah. Jika amanah dipelihara dengan
baik, bukan hanya akan mendapatkan pahla dari
tanggungjawabnya yang ditunaikan dengan baik, tetapi juga
dapatpahala yang tak pernah putus walau ajal telah menjemput,
ketika anaknya shaleh dan senantiasa mendoakan orang tuanya.
Semoga.

D. Mengarahkan untuk Menonton yang Menuntun


Tontonan banyak tersaji dewasa ini. Mulai tontonan yang
bisa dibeli lewat VCD, hingga tontonan yang menghampiri sendiri
ke rumah-rumah, lewat tayangan televisi, bahkan kini datang
secara online lewat jaringan internet, yang bisa diakses bukan
hanya lewat meja computer dan laptop, tapi juga di tangan dan
saku setiap pemilik telepon genggam. Apapun medianya yang jelas
tontonan memberikan pengaruh yang besar pada jiwa
penontonnya. Dalam satu proses menonton, terjadi suatu gejala
yang disebut dalam ilmu jiwa sosial sebagai identifikasi psikologis.
Ketika proses decoding terjadi, para penonton kerap menyamakan
atau meniru seluruh pribadinya dengan salah seorang peran
tontonan. Penonton bukan hanya dapat memahami atau
merasakan seperti yang dialami oleh salah satu pemeran. Lebih
dari itu, mereka seolah-olah mengalami sendiri adegan-adegan
dalam tontonan.
Pengaruh tontonan tidak hanya sampai di situ. Pesan-pesan
yang termuat dalam adegan-adegan tontonan akan membekas
dalam jiwa penonton. Lebih jauh pesan itu akan membentuk
karakter penonton. Seorang psikolog, Spiegel, menyatakan bahwa
pembunuhan dan kekerasan di AS, secara luas dicerminkan oleh
tontonan. Tidak terkecuali di Indonesia. Banyaknya kasus
pemerkosaan, diawali pelakunya dengan menonton tontonan
porno, telah sering terjadi.
Ketika penonton menyaksikan flm Siti Nurbaya, kebanyak
penonton yang menyaksikan tontonan tersebut dibuat berang dan
kemudian membenci HM. Damsik sebagai pemeran tokoh Datuk
Maringgih. Maka tak heran jika Onong Uchyana Effendi,
menyatakan bahwa tontonan merupakan medium komunikasi yang
ampuh, bukan saja untuk hiburan, tetapi juga untuk penerangan
dan pendidikan.
Hal senada diungkapkan Jakob Sumardjo, dari pusat
pendidikan film dan televisi, bahwa tontonan berperan sebagai
pengalaman dan nilai. Sebagai pengalaman tontonan hadir dalam
bentuk penglihatan dan pendengaran. Melalui penglihatan dan
pendengaran inilah, tontonan memberikan pengalaman-
pengalaman baru kepada para penonton. Pengalaman itu
menyampaikan berbagai nuansa perasaan dan pemikiran kepada
penonton. Sekalipun dalam persoalan nilai, tontonan-tontonan
yang diproduksi belakangan mulai mulai mengabaikannya.
Sehingga dalam sineas tontonan-tontonan yang diproduksi terasa
kering dan miskin nilai.
Padahal masih menurut Jakob Sumardjo, tontonan sebagai
sebuah nilai dapat memenuhi kebutuhan yang bersifat spiritual
yaitu keindahan dan transendental. Persoalannya itu sendiri (nilai)
dimulai ketika seorang sineas menyaksikan adanya ketidasesuaian
antara nilai-nilai ideal dengan kenyataan hidup yang dilihatnya.
Atau ketika seorang sineas melihat tidak sesuainya nilai-nilai
komunal dengan nilai-nilai ideal temuannya sendiri atau kolektif
maka sang sineas tersebut mulai bekerja mengajukan tata nilai
ideal dalam konfrontasi dengan nilai ideal masyarakat.
Kalau tontonan bisa diajukan sebagai penyampai nilai idel,
berarti totonan sangat mungkin jika diisi dengan nilai-nilai yang
dimiliki masyarakat Bangsa ini. Masyarakat yang beragama, dan
idelnya taat beragama. Dengan kata lain, tontonan yang menuntun
kepada kebenaran dan kembali menginjakkan kaki di jalan Allah,.
Tontonan yang menuntun, berupa pengemasan tontonan
yang sarat dengan pesan-pesan disampaikan kepada penonton
secara halus, dan menyentuh relung hati tanpa mereka merasa
digurui. Hal tersebut senada dengan ajaran Allah SWT. bahwa
untuk mengkomunikasikan pesan hendaknya dilakukan secara
qoulan baligha, yaitu pesan yang dikomunikaiskan dengan benar,
menyentuh dan membekas dalam hati.
Dengan karakternya yang dapat berfungi sebagai qoulan
baligha inilah tontonan diharapkan dapat menggiring pemirsanya
kepada ajaran Islam yang akan menyelamatkan. Sebagaimana yang
Allah SWT. amanatkan dalam al-Qur’an al-Kariim:
“Dan hamba-hamba yang baik dari Tuhan yang Maha
Penyayang itu ialah orang-orang yang berjalan di atas bumi
dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh
menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang
mengandung keselamatan” (QS. Al-Furqan, 63).
Berkaitan dengan karakter tontonan yang dapat menjadi
tuntunan sesuai dengan karakter qoulan baligha, terletak pada
kemampuan pengemasan tontonan membentuk dan
menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode, konvensi dan
ideologi dari kebudayaan masyarakatnya. Sebagaimana dinyatakan
pula oleh Alex Shobur, bahwa tontonan merupakan bayangan yang
diangkat dari kenyataan hidup yang dialami dalam kehidupan
sehari-hari.
Itulah sebabnya selalu ada kecenderungan untuk mencari
relevansi antara tontonan dengan realitas kehidupan. Baik,
tontonan itu merupakan tontonan drama, yaitu tontonan yang
mengungkapkan tentang kejadian atau peristiwa hidup yang hebat,
atau tontonan yang sifatnya realisme, yaitu tontonan yang
mengandung relevansi dengan kehidupan keseharian.
Tontonan sendiri mempunyai kelebihan bermain pada sisi
emosional. Sehingga ia mempunyai pengaruh yang lebih tajam
untuk memainkan emosi pemirsa. Berbeda dengan buku yang
memerlukan daya fikir aktif, penonton tontonan cukup bersikap
pasif. Hal ini dikarenakan sajian tontonan adalah sajian siap untuk
dinikmati. Namun efek terbesar tontonan adalah peniruan yang
diakibatkan oleh anggapan bahwa apa yang dilihatnya wajar dan
pantas untuk dilakukan oleh setiap orang.
Kita cukup cukup bangga dengan adanya sineas di Indonesia
untuk beberapa waktu lalu, yang memproduksi tontonan seperti
Marsinah, Ca Bau Kan, Siti Nurbaya: Kasih Tak Sampai, yang
mengambil tema kemanusiaan dan kebudayaan. Begitu juga
dengan Kafir Satanic, Kiamat Sudah Dekat, dan yang terbaru Ayat-
ayat Cinta yang mengambil tema ideologi Islam dan kebudayaan
khas Indonesia.
Jenis-jenis tontonan yang seperti inilah yang diharapkan
mendominasi cakrawala pertontonanan nasional. Khususnya
tontonan dengan latar kebudayaan dan misi teologi Islam, baik di
Indonesia maupun seluruh dunia. Sebab tontonan yang demikian
ini penting. Sekalipun tentunya bukan hanya sekedar representasi
kehidupan Muslim, akan tetapi bisa jadi tontonan-tontonan yang
mengajak dunia untuk memahami, menghormati, menepis citra
buruk dan selanjutnya mengundang simpatik, mendorong untuk
mengambil tindakan berbuat baik, lebih-lebih mengikuti jejak
teologinya.
Bagi masyarakat muslim khususnya yang memiliki
karakteristik budaya tersendiri yang dalam beberapa aspek
berbeda dengan budaya lain, memperkenalkan diri sebagai sebuah
entitas budaya kepada dunia lain di luar dunia muslim, tontonan
akan menjadi semakin penting sebagai media yang dapat
menyampaikan gambaran mengenai budaya muslim, paling tidak
untuk menghindari benturan dengan budaya dan peradaban lain.
Dan tontonan dapat dijadikan sebagai duta. Selain itu, tentunya
tontonan akan dapat berfungsi seperti ini.
Sekali lagi, tontonan dengan menampilkan kebudayaan
Islam dan membawa misi keselamatan bagi seluruh ummat
manusia, nampak sudah semakin penting untuk menjadikan bahan
pemikiran yang agak serius bagi kalangan muslim, khususnya
mereka yang bergerak dalam tabligh, agar proses penyelematan
umat manusia yang menjadi esensi gerakannya dapat dikenal oleh
seluruh lapisan manusia. Karena sesuai dengan misi dan pesan
yang dibawanya, bahwa muslim dan Islam merupakan rahmatan lil
‘alamin. Ia bukan hanya bertujuan menyelamatkan muslim dari
kekafiran (dalam arti teologis) namun juga seluruh umat manusia
dari kekafiran-kekafiran sosial. Namun demikian, untuk dapat
menciptakan tontonan seperti ini dan menjadi duta dalam proses
menyelamatkan umat manusia, perlu diadakan kajian mendalam
terhadap semua segi. Misalnya saja bidang antropologi, sosiologi,
ideologi, teologi termasuk fotografi dan semiotika dalam tataran
praktisnya.
Karena dengan pengkajian yang mendalam mengenai
antropologi, sosiologi, ideologi dan teologi akan mendekatkan
cerita tontonan kepada relevansi kehidupan nyata. Sedangkan
pengakajian fotografi akan berpengaruh pada sudut-sudut
pengambilan gambar yang berefek kepada makna. Sementara
pengakajian semiotika untuk mendapatkan kedalaman makna
sebuah realitas dan kemudian direduksi dalam tontonan. Sebab
pada dasarnya tontonan adalah realitas yang didramatisir.
Jika kekuatan pesan dari sebuah tontonan demikian hebat,
maka tuntunan penting untuk bisa masuk ke dalam wilayah itu. Jika
tidak, dikhawatirkan masyarakat penonton akan terbentuk oleh
pesan-pesan media yang “kering”, tanpa nilai-nilai agama.
Apalagi jika para pengelola media, lebih berpegang pada
prinsip kebebasan dan keterbukaannnya. Mereka dipacu oleh
kebutuhan sensasi, iklan dan kebutuhan bisinisnya. Latar belakang
ini memungkinkan media untuk bersikap lebih longgar terhadap isi
pesan dari informasi yang dimuatnya. Kelonggaran yang terjadi,
tidak hanya berujung pada postif, namun memungkinkan juga
menjadi negatif bagi masyarakat.
Untuk mengantisipasi hal itu, maka diperlukan adanya
pencerahan pesan tontonan. Sehingga tontonan yang baik adalah
disamping enak ditonton, juga dapat menuntun penontonnya ke
arah yang baik. Wallahu A’lam.

E. Memupuk Hidup Rukun Sesama Muslim


Akhir-akhir ini masyarakat dihebohkan dengan maraknya
teror dan gerakan NII. Sejumlah korban yang berjatuhan dan
sejumlah remaja yang dinyatakan hilang. Kehadirannya disinyalir,
sebagai bagian dari gerakan ektrem muslim garis keras. Pada waktu
yang lalu, kita juga direpotkan oleh sejumlah peristiwa bentrokan
dengan, yang disinyalir, menganut muslim liberal, karena
perbedaan pandangan ektrem di antara mereka. Masing-masing
gerakan pada dasarnya merupakan bentuk “protes” terhadap
kondisi yang ada, dengan cara sesuai dengan karakter gerakan yang
dipilihnya. Dimana masing-masing, melakukan gerakannya sesuai
dengan watak keberagamaannya.
Memang jika dianalisa dapat dimaklumi bahwa tiap-tiap
bentuk keberagamaan pada dasarnya memiliki kesamaan watak
dalam dua hal pokok. Pertama, klaim-klaim keabadian ajaran, nilai,
dan petunjuknya. Kedua, perintah moral yang secara logis
merupakan konsekuensi dari konstalasi pertama. Meski demikian,
agama yang diyakini baru akan “nyata” setelah ia dipadukan
dengan kenyatan hidup di dunia yang serba dinamik. Ini berarti,
disamping di satu pihak agama melakukan rekayasa terhadap
kehidupan manusia, namun juga pesan-pesan keagamaan perlu
“disesuaikan” dengan proposisi-proposisi duniawi, agar selaras
dengan kenyataan dan problematika kehidupan manusia, sehingga
ia tidak kehilangan vitalitasnya di dalam keseluruhan ‘denyut nadi’
kehidupan manusia.
Bila penyesuaian telah melahirkan kristal-kristal pola anut
sikap, pikir dan perilaku para penganutnya, maka bergeraklah
nuansa “pandangan dunia” ini menjadi “ideologi” yang dari
manapun sumber nilainya, senantiasa memuat cita-cita, orientasi,
dan pedoman hidup penganutnya. Cita-cita, merupakan dambaan
akan kondisi ideal sebagaimana agama (komunitas agama)
terimajinasikan; Orientasi, merupakan suatu kristalisasi psikis yang
mengendap pekat dalam sanubari para penganutnya; dan
Pedoman Hidup, merupakan sesuatu yang lebih praktis, yang
mengatur umat untuk berperikehidupan sesuai dengan cita-cita
terdamba.
Pada poros ideologi ini, eksistensi umat beragama teruji
secara intelektual: mampuhkah mereka merumuskan suatu “tata
intelektual” yang memuat peta kognitif mengenai ideal
kemasyarakatan yang mereka dambakan? Ke arah mana pula
masyarakat yang bersangkutan diorientasikan? Bila pada poros ini
umat beragama berhasil mengupayakan “tata intelektual”
termaksud, maka satu langkah strategis telah berhasil mereka
penuhi dalam rangka mengemban tugas-tugas sosial yang dituntut
oleh agama yang mereka anut.
Untuk lebih mempertegas pandangan di atas, dapat dilihat
dalam Islam, misalnya. Doktrin “keesaan Ilahi” (tauhid) di dalamnya
merupakan gagasan paling sentral, dan menuntut perwujudan
ajaran-ajarannya di dunia ini. Oleh karena itu, konsisten dengan
alur pemikiran di atas, “pandangan dunia” dan “ideologi Islam”
adalah elaborasi doktrin tauhid itu sendiri, yang seharusnya
diejawantahkan di dalam kehidupan manusia seluruhnya.
Dalam kerangka itu, dewasa ini umat Islam berada pada
masa pencanangan gerakan kebangkitan umat, yang telah
dicanangkan sejak abad 15 Hijriyah. Harapannya, ialah terjadi
bangkitnya kembali kejayaan peradaban umat Islam, setelah lama
terpuruk berada di bawah kekuasan penjajahan Bangsa Barat
dalam waktu yang sangat panjang.
Ketika gerakan kebangkitan berkembang, muncul
organisasai-organisasi Islam. Organisasai Islam yang ada, secara
internal mengeratkan gerakan yang ada, namun secara eksternal
tidak jarang menggambarkan pemilahan sosial. Pada awalnya
pemilahan itu nampak sebagai warna dari upaya pembaharuan
umat Islam, akan tetapi pada perkembangan berikutnya, kadang
menampakan pergeseran yang tidak hanya sekedar pemilahan,
namun kadang mengarah pada ”pengkotak-kotakan”. Mulai dari
muslim yang cenderung liberal, muslim moderat, hingga muslim
garis keras.
Ketika “pengkotak-kotakan” lapisan umat terjadi, maka
berbagai upaya memajukan umat Islam pun, kerap terjebak ke
dalam pemilahan atas nama kelompok dan kepentingan.
Akibatnya, tidak jarang di antara pelaku gerakan umat Islam,
terjadi perpecahan di kalangan pemimpinnya yang diikuti oleh
umatnya.
Ketika perpecahan itu terjadi, antar umat yang berbeda
kelompok gerakan umat Islam yang satu dengan gerakan umat
Islam yang lain saling jegal, saling tuding, bahkan saling
menyesatkan. Imbasnya, tidak jarang suatu kelompok gerakan
Islam lebih bersikap ekstrem terhadap sesama muslim yang lain.
Kondisi tersebut tentu patut untuk direnungkan dan dicari
solusinya. Walaupun, kejadian di atas masih bersifat kasuistis,
namun sekecil apapun bibit perpecahan umat Islam, tetap perlu
diantisipasi. Jika tidak, umat Islam bukan hanya akan sulit untuk
mencapai kebangkitannya, akan tetapi akan sangat mungkin
terjebak dalam konflik intern yang kerap meletus. Tentunya akan
sangat menguras pikiran, waktu, tenaga dan biaya.

1. Membangun Kepaduan
Berkenaan dengan upaya mencari solusi atas kondisi di
atas, beberapa tahun yang lalu, penulis sempat hadir sebuah
kegiatan yang bertajuk “Sosialisasi Program Kesalehan Sosial”
yang diadakan oleh Pemda Prop. Jawa Barat, yang mengambil
tempat di Kota Ciamis. Pada acara itu hadir undangan dari
berbagai unsur kepemudaan ormas Islam se-Priangan, baik dari
kepemudaan Persis, Muhammadiyah, NU, dan ormas pemuda
Islam lainnya. Mereka masing-masing membaur, bekerjasama
mengidentipikasi permasalahan di daerahnya, kemudian
mengajukan berbagai solusi bersama, serta bertekad untuk
menindaklanjutinya secara bersama-sama.
Diilhami oleh kegiatan tersebut dan gagasan Armahedi
Mahzar dalam buku Islam Masa Depan, terbetik dalam pikiran
penulis mengenai solusi atas persoalan hubungan antar gerakan
umat Islam. Dalam hal ini, perlu adanya pihak yang bisa menjadi
bandul (penengah) dan melakukan upaya rekonstruksi hubungan
di antara mereka.
Pertama, semua gerakan Islam perlu mengorientasikan
gerakannya kepada kalangan rakyat kebanyakan yang masih
tertindas oleh penjajahan ekonomi, teknologi, budaya. Kedua,
para tokoh dan pengikut masing-masing gerakan Islam perlu
bersatu dalam suatu proses reintegrasi ummat. Reintegrasi umat
tersebut selanjutnya perlu dilakukan serempak dengan upaya
revitalisasi tradisi. Hanya ada satu yang bisa menghubungkan elit
pembaharu dengan umatnya, yaitu tradisi itu, karena tradisi
adalah “hidup” umat dan “bahasa” umat.
Disamping itu, perlu juga rekonstruksi hikmat islamiyah,
yaitu pemikiran Islamiyah yang meliputi ilmu pengetahuan,
filsafat, seni dan yang lainnya. Tidak hanya itu, rekonstruksi
hikmat Islam juga perlu dibarengi dengan reaintegralisasi
kesadaran Dien Islam, yang juga merupakan prasyarat penting
kebangkitan umat Islam.
Dengan demikian, secara keseluruhan, mengupayakan
kebangkitan umat Islam perlu meliputi proses-proses reintegrasi
ummat, revitalisasai tradisi, rekonstruksi hikmat dan
reintegralisasi kesadaran Dien Islam. Akan tetapi itu juga belum
cukup, karena hal itu baru tahap sadar akan garapan yang perlu
diproses, dalam hal ini berarti masih perlu adanya suatu gerakan
bersama.
Dalam ketiga proses di atas (revitalisasi tradisi/tamaddun,
rekonstruksi hikmat dan reintegralisasi kesadaran Dienul Islam)
peranan kepemimpinan masing-masing kalangan dapat dibagi.
Pembagian kepemimpinan, tentu saja didasarkan atas unggulan
masing-masing kalangan.
Jika kalangan garis keras unggul dalam proses
reintegralisasi kesadaran Dien Islam, maka mereka sebagai
“imam” dalam proses reintegralisasi kesadaran Dien Islam,
sementara kalangan yang lain menjadi “ma’mum”-nya yang baik;
Jika kalangan moderat unggul dalam rekonstruksi hikmat Islam,
maka mereka menjadi “imam” dalam rekonstruksi hikmat Islam,
sementara yang lain menjadi “ma’mum”-nya yang baik. Begitu
pula jika kalangan liberal unggul dalam proses revitalisasi
tamaddun Islam, maka mereka menjadi “imam” dalam proses
revitalisasi tamaddun Islam, sementara yang lain menjadi
“ma’mum”-nya yang baik pula.
Dalam kondisi seperti itu, dalam proses gerakannya, semua
komponen gerakan meluluh dengan aspirasi ummat kalangan
bawah. Baik yang di kota dengan derita rakyatnya maupun desa-
desa tertinggal dan terpencil dengan berbagai kelemahan dan
kekuarangannya. Nampaknya, dengan bersatunya tokoh garis
keras, moderat dan liberal di kota dan di desa disatu pihak dan
dengan bersatunnya pemuka agama apapun aliran pikiran
Islamnya, di pihak lain, umat Islam dimungkinkan untuk dapat
bangkit. Itu berarti juga, bahwa perbedaan unggulan kerakan
masing-masing kalangan, bukanlah merupakan suatu yang tabu
atau menjadi halangan, sebaliknya justru hal itu menjadi potensi,
dan kekayaan umat Islam.
Garapan umat Islam sangat banyak dan luas, setiap
garapan butuh keahlian, sedangkan keahlian hanya mungkin
diperoleh jika spesialisasi berjalan. Dengan demikian, kalangan
Islam memiliki unggulan gerakan yang berbeda, maka hal itu
bukan hanya kewajaran tetapi juga merupakan tuntutan dari
kebutuhan untuk menjadi spesialis dan ahli dalam bidangnya.
Dalam hal ini yang penting ialah sejauhmana masing-
masing kalangan dapat mengaji dan mengkaji bersama. Masing-
masing dapat menjadi penceramah yang baik dalam pengajian
bersama untuk memberikan wawasan dan berdialog dengan baik.
Selanjutnya masing-masing mampu memimpin bersama dalam
bidang unggulannya. Bersama dengan itu, masing-masing agar
mampu secara terbuka, berbesar hati, ikhlas dan bersemangat
menjadi pihak yang dipimpin oleh kalangan lain yang memiliki
keunggulan dalam bidang tersebut. Setiap “imam” (pemimpin)
bertugas memberi arahan kepada “mamum” (bahawahan)-nya.
Bawahan berhak untuk meminta penjelasan dan menghargai
arahan pemimpinnya.
Dengan keikutsertaan masing-masing gerakan Islam pada
pengajian bersama maka akan terjadi saling menguntungkan.
Kalangan liberalis dapat mengakhiri “kesunyian jalan yang
ditempuhnya”, tanpa mengorbankan sikap rasionalitas kritisnya di
satu pihak dan mengorbankan integritas syariah di pihak lain.
Kalangan moderat akan memperoleh “pencerahan” integritas
syariah, pemikiran dan keluasan jangkauan keumatan. Sedangkan
kalangan garis keras, juga di samping memiliki keunggulan dalam
semangat juang, juga akan mendapatakan penguatan integritas
syariah, pemikiran Islam dan wawasan keumatan.
Begitulah kiranya peran serta dan kerjasama masing-
masing kalangan gerakan Islam panutan umat sebaiknya terjalin.
Hal itu tentu saja jika keberadaan mereka benar-benar ada untuk
kemajuan peradaban Islam, bukan Islam yang hanya menjadi alat
kepentingan.

2. Melangkah Bersama
Selanjutnya, suatu awal langkah penting yang perlu
dibangun ialah pentingnya masing-masing untuk bersikap optimis
dan sekali-kali tidak bersikap pesimis. Sebab, sikap pesimis timbul
dari sudut pandangan yang pasial, maka masing-masing perlu
melihat permasalahan umat dari sudut pandang integral
(menyeluruh) agar tumbuh sikap optimisme. Untuk memperoleh
pandangan yang integral, perlu masing-masing mengembangkan
cakrawala pandangan yang luas.
Pertama-tama, masing-masing tidak berhenti dengan
membandingkan kondisi umat Islam dengan ummat yang lainnya.
Kedua, masing-masing tidak melihat kondisi umat secara statis di
masa kini saja. Ketiga, masing-masing perlu melihat cakrawala
budaya dan geografi perkembangan umat. Keempat, masing-
masing tidak terpaku pada satu sisi atau dua sisi kehidupan
masyarakat saja, melainkan perlu melihatnya keseluruhan aspek
peradaban Islam.
Dengan empat pedoman demikian, akan nampak bahwa
masing-masing kalangan gerakan Islam sebenarnya sedang berada
dalam transformasi peradaban yang multi dimensional. Mungkin
dalam beberapa hal masing-masing memiliki kekurangan yang
berbeda dibandingkan dengan yang lain, namun masing-masing
juga hendaknya melihat adanya kemajuan di bidang-bidang
unggulan pada masing-masing kalangan.
Semua keunggulan akan semakin bermakna luas, dan
berbagai kekurangan akan semakin dapat diminimalisir, melalui
berbagi peran, bekerja sama dan sama-sama kerja, di antara
berbagai kalangan gerakan Islam.
Pertama, Membuat jaringan-jaringan kerja antar
kelompok-kelompok kegiatan sejenis di kantor-kantor ormas
Islam, di masjid-masjid, di kampus-kampus kota, pesantren-
pesantren di desa untuk tukar menukar pengalaman kerja dan
gagasan.
Kedua, Membuat pertemuan berkala antar kelompok-
kelompok kegiatan yang berlainan jenis untuk menghasilkan
sinergi kreatif antara berbagai jenis kegiatan. Pada tahapan ini
juga bisa disepakati untuk membuat media massa bersama, yang
memuat berbagai pendapat, serta informasi kegiatan bersama
berbagai ormas Islam mengenai garapan yang tengah dihadapi,
dengan adanya media yang mempubilaksikan setiap kegiatan
bersama, secara umum umat akan menjadi tahu dan akan saling
bahu membahu.
Ketiga, Mengartikulasikan berbagai keberhasilan kelompok
kegiatan pemecahan masalah ke dalam suatu kerangka konseptual
yang Islami.
Keempat, Menerjemahkan kembali kerangka konseptual
tersebut menjadi program-program kerjasama antar kelompok
kegiatan dengan skala yang lebih besar.
Kelima, Mengevaluasi hasil-hasil kegiatan kelompok yang
meningkatkan kecerdasan dan kesejahteraan ummat berdasarkan
kriteria keserasian dengan nilai Islam.
Keenam, Mengurangi secara bertahap hal-hal yang
berlawanan dan bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Keenam langkah tersebut adalah langkah minimal, agar
kemampuan kreatif masyarakat dapat dimanfaaatkan secara
integral dalam rangka kebangkitan Islam yang baru. Arah
pemikiran ini mungkin jadi salah satu alternatif, disamping
alternatif-alternatif yang lain, yang disodorkan pihak lainnya untuk
membuat gagasan ini lebih rinci dan lebih matang. Disamping
kerja nyata di bidang masing-masing akan amat dibutuhkan untuk
mempercepat pembuahan gagasan ini.
Dengan upaya simultan dari gerakan umat Islam yang
terintegrasi secara kokoh, baik garis keras, moderat, maupun
liberal, maka akan tercipta bahwa perbedaan merupakan suatu
realitas, untuk mengisi setiap garapan yang banyak dan beragam.
Akan tetapi perbedaan bukan untuk perpecahan dan bentrokan
yang juteru saling merugikan karena semua umat dihadapkan
kepada persoalan yang sama, yaitu program mengupayakan
kebangkitan Islam untuk mencapai kemajuan umat dalam nuansa
Islam yang menjadi rahmat (yang berkeadilan dan
mensejahterakan) bagi semua umat dan semesta alam.

F. Mengembangkan Hidup Rukun dengan Non Muslim


Mencuatnya kasus HKBP di Bekasi beberapa waktu yang
lalu, mengingatkan kita pada persoalan hubungan antar pemeluk
agama. Meskipun kasus semacam itu tidak terlalu aneh, karena hal
itu bukan merupakan kejadian pertama kali di negeri ini, namun hal
itu juga menunjukan betapa bahwa keragaman beragama di negeri
ini, masih kerap muncul menjadi persoalan.
Beberapa kalangan berasumsi bahwa hal itu terjadi karena
aturannya yang tidak tegas dan kurang jelas. Berikutnya kelompok
ini mengusulkan perlunya revisi aturan, dalam hal ini, SKB tiga
menteri. Kalangan lainnya menganggap bahwa aturannya sudah
baik, hanya dalam menjalankan aturan tersebut kerap dilakukan
pelanggaran. Solusinya, menurut mereka bukan merevisi aturan,
tetapi peningkatan ketaatan terhadap aturan. Dalam hal ini pula,
termasuk perlunya ketegasan penegak hukum dalam menindak
para pelanggar aturan.
Sehubungan dengan persoalan di atas, konsep
"keragaman", idealnya, bukanlah untuk menumbuhkan konflik.
Dalam perspektif Sosiologi Agama, keragaman agama dalam
kenyataan sosial, itu merupakan suatu keniscayaan dan bersifat
universal. Dalam bahasa theologi, disebut sebagai sunat al-Allah
yang bersifat abadi (perennial). Ide tentang keragaman sebagai
hukum Tuhan (sunnat al-Allah), yang bersifat abadi ini, dinyatakan
dalam Qur'an surat al-Maidah: 48.
Ibnu Arabi, sebagaimana pernah dikutif Prof. Dadang
Kahmad, memberi penjelasan berkenaan dengan terjadinya
keragaman agama tersebut secara teologis-filosofis. Menurutnya,
keragaman syari'at (agama) disebabkan oleh keragaman relasi
Tuhan. Keragaman relasi Tuhan disebabkan oleh keragaman
keadaan. Keragaman keadaan disebabkan oleh keragaman masa-
waktu atau musim. Keragaman masa-waktu atau musim
disebabkan oleh keragaman gerakan benda-benda angkasa.
Keragaman gerakan benda-benda angkasa disebabkan oleh
puralitas perhatian Tuhan. Puralitas perhatian Tuhan disebabakan
oleh keragaman tujuan Tuhan. Keragaman tujuan Tuhan
disebabakan keragaman penampakan ”diri” Tuhan. Keragaman
penampakan “Diri” Tuhan disebabakan oleh keragaman syariat
(agama).
Dengan demikian, keragaman umat beragama merupakan
suatu yang memang menjadi kehendak Tuhan dalam ciptaan-Nya.
Hal demikian supaya Dia dapat menguji manusia dalam merespons
kebenaran-kenaran yang telah disampaikan-Nya dan supaya
manusia berkompetisi dalam melakukan kekaryaan yang terbaik
(musâbaqat fâal-khair).
Keragaman untuk kerukunan, sebagaimana juga pernah
dikemukakan Harun Nasution. Ia berpendapat kerukunan dapat
dibangun oleh: Pertama, adanya kekuatan supranatural pada tiap
agama yang dipandang sebagai Tuhan Pencipta alam semesta,
termasuk manusia. Ini mengandung arti bahwa manusia
seluruhnya berasal dari satu sumber, yaitu Tuhan. Manusia
seluruhnya adalah makhluk Tuhan. Dengan kata lain, manusia
sebenarnya bersaudara, dalam arti sungguh pun mereka memiliki
keyakinan agama yang berlainan, mereka bersaudara dipandang
dari sudut asal. Mereka semua sama-sama makhluk Tuhan.
Perasasaan yang demikian bisa menjadi landasan bagi terbinannya
kerukunan beragama.
Kedua, setiap manusia akan kembali ke asalnya. Manusia
yang berjiwa suci dan yang berkelakuan baik dalam hidup di dunia
ini akan kembali langsung ke sisi Tuhan, sedang manusia yang
berjiwa kotor dan berbuat jahat dalam hidupnya akan kembali
kepada Tuhan namun setelah ia menjadi suci. Tujuan yang sama
demikian akan membuat manusia seluruhnya merasa bersaudara,
yang karenanya dapat membangun kerukunan beragama.
Selanjutnya kalau ditinjau dari sudut kesudahan hidup
manusia, maka dalam paham monoteisme, seluruh manusia akan
kembali ke asalnya. Manusia yang berjiwa suci dan yang
berkelakuan baik dalam hidup pertama ini akan kembali langsung
ke sisi Tuhan tetapi setelah ia menjadi suci. Tujuan yang satu dan
sama ini membuat manusia seluruhnya juga bersaudara dan
dengan hal itu pula dapat menciptakan kerukunan beragama.
Ketiga, tujuan hidup beragama dari agama-agama monoteis
ialah membina manusia yang berjiwa suci dan yang berakhlak
tinggi. Inkerukunan beragama dan menyakiti sesama manusia baik
dalam bentuk spiritual maupun dalam bentuk jasmani adalah hal
yang tidak baik. Agama menganjurkan perdamaian, sedangkan
intolerasi beragama dapat menimbulkan ketegangan, suatu hal
yang bertentangan dengan ajaran agama.
Keempat, paksaan penganut suatu agama tidak akan
membuat orang betul-betul yakin dengan agama yang dipaksakan
tersebut. Orang yang dipaksa atau ditekan agar berpindah agama
hanya pada lahirnya menganut agama baru itu sedang dalam
batinnya ia masih berpegang keras pada agamanya yang semula.
Jika muncul kesempatan, orang itu akan cepat meninggalkan
keyakinan agama yang dipaksakan kepada dirinya tersebut. Dengan
demikian, apa yang dimaksud oleh pemeluk agama yang
memaksakan agamanya tersebut, yaitu untuk menyelamatkan
manusia yang dianggap sesat itu, tidak akan tercapai. Orang yang
dipaksa menukar agamanya itu pada hakikatnya masih tetap
"sesat" dan masih tetap tidak dapat "diselamatkan". Kesadaran
akan hal ini dapat melahirkan sikap kerukunan beragama.
Ayat 256 surat Al-Baqarah menegaskan bahwa tidak ada
paksaan dalam soal agama, karena jalan lurus dan benar telah
dapat dibedakan dengan jelas dari jalan salah dan sesat. Terserah
kepada manusia memilih jalan yang dikehendakinya. Telah
dijelaskan mana jalan yang benar yang akan membawa kepada
keselamatan dan mana pula jalan yang salah yang akan membawa
kepada kesengsaraan. Manusia merdeka memilih jalan yang
dikehendakinya. Manusia telah dewasa dan mempunyai akal dan
tak perlu dipaksa, selama kepadanya telah dijelaskan perbedaan
antara jalan yang salah dan jalan yang benar. Kalau ia memilih jalan
yang salah ia harus berani menanggung resikonya yaitu
kesengsaraan. Kalau ia takut pada kesengsaraan, haruslah ia
memilih jalan yang benar.
Dalam hubungan ini ayat 29 surat Al-Kahfi mengatakan:
Kebenaran talah dijelaskan Tuhan, siapa yang mau percaya,
percayalah dan siapa yang tak mau, janganlah ia percaya. Ayat ini
memberikan kemerdekaan bagi orang untuk percaya kepada
ajaran yang dibawa Nabi Muhammad dan tidak percaya kepadanya.
Manusia tidak dipaksa untuk percaya kepadanya. Kemerdekaan ini
diperkuat oleh ayat 6 surah Al-Kafirun yang mengatakan:
Bagimulah agamamu dan bagiku agamaku.
Keragaman yang dibingkai aturan yang jelas dan ditaati akan
menghantarkan keragaman bukan menjadi masalah, namun justeru
akan menjadi rahmat. Persoalannya sekarang, apakah semua
elemen umat beragama memiliki kesadaran untuk menjadikan
kehidupan beragamanya sebagai rahmat dengan hidup rukun, atau
tetap menjadi sumber masalah?
Hal itu tentu berpulang kepada semua elemen masyarakat.
Jika aturan yang ada sudah baik, maka semua pihak harus
mentaati. Jika ada yang melanggar, maka pihak penegak hukumlah
bagiannya untuk menindak. Kiranya melalui langkah bersama
membangun kerukunan, keragaman akan tampil menjadi kekuatan,
bukan melemahkan.

G. Menjawab Persoalan Kontemporer


Manusia dan alam sekitarnya berada dalam integralitas
wujud yang berpangkal pada integrasi tauhidullah. Secara
horizontal, manusia menjalani hidup dalam lima alam, yaitu alam
arwah, alam rahim, alam dunia, alam barzakh dan alam akhirat.
Bersama itu, secara vertikal ada hahut, alam lahut, alam malakut,
alam jabarut dan alam nasut. Memasuki alam dunia, manusia
dibekali ruh, nafs, qalb, jasad, ilham taqwa dan ilham fuzur serta
agama Islam.
Dengan bekal ini manusia diberi amanat Ibadah dan
Khilafah di muka bumi. Dengan amanat Ibadah, manusia hanya
dibenarkan menyebah dan beribadah kepada penciptanya, yaitu
Allah SWT. Dengan amanat khilafah manusia diberi tugas
merekayasa kehidupan, merekayasa bumi untuk kepentingan
kemanusiaan dan menegakan tata hubungan antar makhluk di
jagat raya atas dasar kasih sayang dan kedamaian dalam
keanekaragaman yang terintegrasi. Sebagaimana manusia
merupakan salah satu bagian dari realitas wujud yang terintegratif
tersebut. Skema: Integralitas Wujud

Vertikal Mikro Meso Makro Supra Meta


Kosmos Kosmos Kosmo Kosmos Kosmo
Horizontal s s
Dimensi Manusia Alam Allah

Integralitas Ruh Kitab Luh Hahut Zat


Esensial Allah
Integralitas Keyakinan Tat nilai Prinsip Alam Sifat
Fundamenta Alam Lahut Allah
l
Integralitas Kesadara Tata cita Hukum Alam Amr
Fungsional n Alam Malaika Allah
t
Integralitas KehidupaTata Gejala AlamSunnah
Dinamikal n Lembag Alam Jabarut
Allah
a
Integralitas Badan Tata Benda Alam Khalq
Struktural Sarana Alam Nasut Allah
Sumber: Armahedi Mahzar, Integralisme: Sebuah Rekonstruksi
Filsafat Islam, (1991).

Secara mikro, manusia dengan potensi ruhani yang


dimilikinya dapat menerima dan menolak syariat Islam yang
diperuntukan bagi pengaturan dan pedoman kehidupannya sebagai
hamba dan khalifah Allah di muka bumi. Masing-masing aktivitas
yang berupa penerimaan dan penolakan tersebut akan
memperoleh akibat dan dan konsekuensi berupa balasan dan
pahala berupa penerimaan dan berupa siksa untuk penolakan.
Dalam hal ini, Penyuluh Islam merupakan upaya untuk
membimbung ruhani untuk dapat menerima dan menjalankan
syariat Islam sebagai pedoman dalam kehidupannya.
Manusia memiliki dimensi kejiwaan (nafs). Di dalam
kejiwaan itu manusia memiliki aspek insting (ilham) beserta
perilaku dan kecenderungan. Dalam hal ini Penyuluh Islam
merupakan proses pendayagunaan aspek insting (ilham) dalam
jiwa ke arah yang positif (ilham taqwa), baik dan benar menurut
tuntunan ajaran Agama Islam.
Perilaku lahir manusia pada hakikatnya merupakan
ekspresi dan aktualisasi dari perilaku potensi nafs (jiwa) yang
dimilikinya, yang memposisikan manusia ke arah posisi baik
(taqwa) dan benar dan ke arah posisi jelek dan salah (fuzur).
Potensi nafs tersebut diinformasikan oleh Al-Quran terdapat empat
macam yaitu: (a) nafs mutmainnah (Q.S al-Fajr 89: 27-28), (b) nafs
mulhamah/supiah (Q.S al-Syams 91:7-10), (c) nafs amarah (Q.S
12:53), (d) nafs lawamah (Q.S al-Qiyamah 75:2).
Nafs sebagai potensi ruhaniyah manusia sebagaimana
disebutkan di atas, memiliki hubungan pengaruh dengan aspek
unsur asal bahan kejadian fisik (jasad), yaitu unsur ardh (tanah),
ma (air), hawa (udara), dan nar (api). Keempat unsur ini
mempengaruhi secara berpasangan terhadap empat macam nafs
yang menimbulkan karakter dan kecenderungan perilakunya.
Mengacu pada penjelasan tadi, maka Penyuluh Islam merupakan
proses memenangkan nafs mutmainnah dan menyalurkan nafs
lainnya ke arah yang positif dan benar.
Nafs-nafs senantiasa mempengaruhi akal manusia, nafs
muthmainnah mempengaruhi aktifitas akal manusia untuk selalu
bergerak ke arah atas (kemuliaan, kesucian, dan mendekat ke arah
alam lahut). Sedangkan yang tiga lagi mempengaruhi aktivitas akal
manusia untuk selalu bergerak ke arah bawah (ketercelaan,
kerendahan, dan menjauh dari alam lahut). Dalam konteks ini,
maka hakikat Penyuluh Islam merupakan fungsionalisasi akal untuk
selalu bergerak ke alam lahut.
Aktivitas akal insaniyah yang terbebas dari pengaruh anfus
tercela akan selalu bergerak dari alam nasut menuju dan
mendekati ke alam lahut setelah melewati alam jabarut, alam
malakut, ketika hakikat insan mendekat dan berada di alam lahut,
ia berada pada tingkat akhfa setelah terlebih dahulu melewati
posisi thabi’i, nafs, qalb, ruh dan sir atau khafi. Demikianlah insan
kamil yang memperoleh keselamatan dan kebahagiaan abadi.
Sedangkan yang terdominasi oleh anfus tercela insan, akal
bergerak ke bawah posisi thabi” dan alam nasut, dengan demikian
ia memperoleh kerendahan, kehinaan dan kecelakaan hakiki.
Dalam konteks ini, hakikat Penyuluh Islam merupakan aktivitas akal
insaniyah dan ekspresinya bergerak menuju alam lahut.

Persoalan Kontemporer
Salah satu gerakan yang mendorong pada kekeliruan dalam
membuat pilihan yang disebut mono-dualisme semu, merusak
integralitas wujud sebagai asal muasal pangkal keseimbangan.
Perusakan ini merupakan pangkal bagi terjadinya berbagai
gangguan yang menyebabkan munculnya berbagai penyimpangan.
Sesuai dengan pandangan Armahedi Mahzar (1991) bahwa
akar kesalahan itu adalah memisahkan apa yang telah Allah
satukan dalam hubungan integralitas tauhid. Kerangka hubungan
itu adalah kesatuan integral manusia-alam-Allah. Berdasarkan
paradigma al-Qur’an surat al-Ghasyiah bahwa: manusia yang
selamat adalah manusia yang menjaga keseimbangan tiga kesatuan
dalam bentuk hablun min al-nãs, hablun min al-‘alam, hablun min
Allah.
Pemisahan hubungan integral tauhid tersebut akan
melahirkan pengutuban semu dan tidak akan kokoh. Pengabaian
dimensi metafisik dari sistem integralisme fisik-non fisik-metafisik
menjadi bipolar fisik-nonfisik dengan membuang unsur metafisik
akan melahirkan ketidak seimbangan. Dasar penalaran ini dapat
membaca integralisme manusia-alam–Allah yang oleh Barat
dipangkas menjadi pengutuban manusia-alam, fisik-psikhis adalah
sebuah pilihan atas kekeliruan yang akibatnya harus ditanggung
oleh umat manusia lain dalam panggung sejarah pertentangan.
Sejarah pertentangan ini dapat dilihat dalam mozaik pertentangan:
Rasionalisme vs Empirisme (abad ke 14); Idealisme vs Realisme
(abad ke-17); Positivisme vs Romantisme (abad ke18); Materialisme
vs Idealisme (abad ke-19); Saintifisme vs eksistensialisme (abad ke-
20).
Dalam paham kemanusiaan mozaik pertentangan
manusia-alam terlihat sebagai berikut: Naturalisme vs Humanisme;
Teknologisme vs Ekologisme; Kapitalisme Vs Sosialisme. Dalam
konteks kehidupan sosial dapat dilihat dalam pertentangan: Pribadi
vs Masyarakat; Indovidualisme vs Kolektivisme; Liberalisme vs
Totalitarianisme; Radikalisme vs Konservativisme.
Semua pengutuban ini menunjukkan bahwa bila dimensi
supra natural dan metafisik yang transendental dilepas dari
integralisme wujud, maka wujud realitas cenderung dilihat sebagai
dualitas polaritas. Dualitas dalam pandangan Barat yang cenderung
menjadi dualisme.
Dari pandangan ini jelas bahwa konsep untuk mengatasi
nestapa manusia kontemporer ini adalah Penyuluh Islam berupaya
mengembalikan pemahaman kepada poros integralitas nilai dasar
manusia yang didasarkan pada integralitas wujud manusia.

Integralitas Nilai
Integralitas nilai yang berdasar pada integralitas wujud
menunjukan nilai-nilai yang terintegratif, di mana manusia sebagai
penganut nilai juga merupakan bagian yang terintegrasi dari
integralitas wujud. Maka nilai nilai yang ada pun sudah semestinya
terintegratif.
Skema: Integralitas Nilai

Vertikal Nilai Nilai Nilai Nilai Nilai Nilai


Theologis Etis Logis Fisis Estetis Teleologis
Horizontal
Nilai Nilai Nilai Nilai Logis Nilai Nilai Nilai
Theologis Teologis Etis Theologis Fisis Estetis Teleologis
Theologis Theologis Theologis Teologis
Nilai Nilai Nilai Nilai Logis Nilai Nilai Nilai
Etis Teologis Etis Etis Fisis Estetis Teleologis
Etis Etis Etis Etis
Nilai Nilai Nilai Nilai Logis Nilai Nilai Nilai
Logis Theologis Etis Fisis Estetis Teleologis
Logis Logis Logis Logis Logis
Nilai Nilai Nilai Nilai Nilai Nilai Nilai
Fisis Theologis Etis Fisis Fisis Estetis Teleologis
Fisis Fisis Logis Fisis Fisis
Nilai Nilai Nilai Nilai Nilai Nilai Nilai
Estetis Theologis Etis Logis Fisis Estetis Teleologis
Estetis Estetis Estetis Estetis Estetis
Nilai Nilai Nilai Nilai Nilai Nilai Nilai
Teleologis Theologis Etis Logis Fisis Estetis Teleologis
Teleologis Teleologis Teleologis Teleologis Teleologis

Sumber: Dari Pengembangan Perkuliahan bersama Prof. Dr. H.


Ahmad Sanusi
Skema Integralitas nilai di atas menunjukan bahwa nilai itu
ternyata beragam, ada nilai theologies, nilai etis, nilai logis, nilai
fisis, nilai estetis dan nilai teleologis. Masing-masing memiliki
makna dalam memberikan warna dalam pengimplementasiannya.
Namun dalam keragaman nilai yang ada, terdapat
kesatupaduan nilai (integralitas nilai). Masing-masing idealnya tidak
berdiri sendiri apalagi bersebrangan. Sebaliknya menyatupadu
saling memberikan makna dan memberikan kekokohan. Misalnya,
nilai theologis mestinya juga etis, logis, fisis, estetis dan teleologis;
Nilai etis mestinya juga theologis, logis, fisis, estetis dan teleologis;
Nilai Logis mestinya juga theologies, etis, fisis, estetis dan
teleologis; Nilai fisis semestinya juga theologis, logis, etis, estetis
dan teleologis; Nilai estetis semestinya juga theologies, logis, etis,
fisis, dan teleologis; Begitu juga nilai theleologis juga semestinya
theologies, logis, etis, fisis, dan estetis.
Keragaman dan integralitas nilai di atas merupakan sebuah
format yang terwujud dari integralitas wujud. Integralitas wujud
sebagai ungkapan yang menunjukan Satu (Esa)-Nya yang
mewujudkan (Alkholik) yaitu Allah SWT.

Implementasi Integralitas Wujud dan Nilai


1. Dalam pandangan Integralisme, realitas atau wujud adalah
suatu kesatupaduan dari segala sesuatu yang ada: Yang
Mutlak dan Esa dengan yang nisbi dan beraneka.
Kesatupaduan itu disebut “integralita wujud” atau
“kesatupaduan realitas”.
2. Dasar dari kesatupaduan realitas itu adalah dua buah asasa
perjenjangan yang saling tegak lurus satu sama lain. Kedua
perjenjangan itu adalah perjenjangan mendatar (hirarki
horizontal) dan perjenjangan menegak (hirarki vertical).
3. Perjenjangan mendatar wujud dapt dinyatakan
perjenjangan “manusia-alam-Tuhan”, atau lebih halus lagi
sebagai perjenjangan “diri pribadi-masyarakat-alam nyata-
alam ghaib-Allah”. Perjenjangan ini bersumber pada
pengutuban wujud “ciptaan-Maha Pencipta”.
4. Perjenjangan menegak wujud dapat dinyatakan sebagai
perjenjangan aspek “fisik-non fisik-metafisik” atau lebih
halus lagi, sebagai perjalanan aspek “materi-energi-
informasi-nilai-sumber”. Perjenjangan ini bersumber pada
pengutuban wujud “eksistensi-esensi”.
5. Kerja sama kedua asas perjenjangan itu menghasilkan suatu
susunan wujud yang berbentuk matriks yang terdiri dari
lima buah baris integralitas mendatar:
a. Kesatupaduan serbasusunan (integralitas structural)
b. Kesatupaduan serbagerakan (integralitas dinamikal)
c. Kesatupaduan serbaperanan (integralitas fungsional)
d. Kesatupaduan serbalandasan (integralitas fundamental)
e. Kesatupaduan sari pati (integralitas esensial)
Dan lima buah kolom integralitas menegak:
a. Kesatupaduan diri pribadi (integralitas mikrokosmik)
b. Kesatupaduan budaya masayarakat (integralitas
mesokosmik)
c. Kesatupaduan alam semesta (integralitas makrokosmik)
d. Kesatupaduan aneka alam (integralitas suprakosmik)
e. Kesatupaduan Maha Pencipta (integralitas metakosmik)

Integralisme dan Wujud


Karena inti dari Integralisme adalah kesatupaduan dari wujud
yang padat dipandang sebagai perjenjangan mendatar dari
integralitas- integralitas menegak (dari yang mikrokosmik ke
yang metakosmik).
1. Integralitas merakosmik (divinitas)
a. Zat Allah (Khaliq)
b. Sifat Allah (Sifat-sifat-Nya)
c. Amr Allah (Perintah-perintah-Nya)
d. Sunnah Allah (Kebiasaan-kebiasaan-Nya)
e. Khalq Allah (Makhluk)
2. Intergralitas suprakosmik (transendentalitas)
a. Hahut (esensi transendental)
b. Alam halut (alam nilai-nilai)
c. Alam malakut (alam informasi)
d. Alam jabarut (alam energi)
e. Alam nasut (alam materi)
3. Integralitas makrokosmik (universalitas)
a. Esensi alam (esensi universal)
b. Prinsip alam (prinsip)
c. Hukum alam (program)
d. Gejala alam (proses)
e. Benda-benda alam (produk)
4. Integralitas mesokosmik (kolektivitas)
a. Sumber nilai (esensi sosial)
b. Tata nilai (subsistem valuasi = logosfera)
c. Tata cita (subsistem ideasi = ideosfera)
d. Tata lembaga (subsistem institusi = sosiosfera)
e. Tata sarana (subsistem ekoteknik = bioteknosfera)

5. Integralitas mikrokosmik (individualitas)


a. Ruh (esensi individual = kepuncaksadaran)
b. Keyakinan (subsistem spiritual = ketaksadaran)
c. Kesadaran (subsistem mental = kesadaran diri)
d. Kehidupan (subsistem vital = kebawahsadaran)
e. Badan (subsistem corporeal = ketidaksadaran)

Misi Penyuluh Islam


Adapun Misi Penyuluh Islam, adalah sebagai berikut :
1. Pembinaan pribadi Muslim
a. Peningkatan kesadaran (nafs amarah)
1) Rasio (fungsi kognitif)
2) Imajinasi (fungsi kognitif)
3) Motivasi (fungsi konatif)
b. Pengembangan ketiga fungsi keatassadaran (nafs
lawwamah)
1) Iman sebagai penuntun rasio
2) Ihsan sebagai penghalus imajinasi
3) Islam sebagai penertib motivasi
c. Pencapaian puncak kesadaran (nafs mulhamah dan
muthma’innah)
1) ‘imul yaqin sebagai puncak iman (tingkat ma’rifat
sisi verbal)
2) ‘ainul yaqin sebagai puncak ihsan (tingkat ma’rifat
sisi visual)
3) Haqqul yaqin sebagai puncak Islam (tingkat
hakekat)
2. Pembangunan peradaban Islam
a. Pelestarian Dinul Islam
1) Aqidah (kerangka konsepsional)
2) Syari’ah (kerangka operasional)
3) Tarekat (kerangka motivasional)
b. Pengembangan Hikmatul Islamiah (ideosfera)
1) Ilmu pengetahuan dan filsafat
2) Teknologi dan etika
3) Seni dan mistika
c. Pengembangan Tamaddunul Islamiah (sosiosfera)
1) Politik dan ideology
2) Teknostruktur dan hokum
3) Ekonomi dan budaya
d. Pembinaan umat Islam (bioteknosfora)
1) Kependudukan (demosfora)
2) Sarana-sarana kehidupan (teknosfera)
3) Lingkungan hidup (ekosfera)

Masalahnya sekarang adalah integralitas nilai itu hanya


akan merupakan “konsep kosong belaka”, jika ia tidak di “nyata”
kan dalam realitas kehidupan. Sebagaimana setiap nilai baru akan
“nyata” setelah ia “dibenturkan” pada kenyataan-kenyatan hidup di
dunia yang serba dinamik. Ini berarti, disamping di satu pihak nilai
melakukan rekayasa terhadap kehidupan manusia, namun juga
pesan-pesan nilai terjadi “penyesuaian” dengan proposisi-proposisi
duniawi, agar selaras dengan kenyataan dan problematika
kehidupan manusia, sehingga nilai-nilai tadi tidak kehilangan
vitalitasnya di dalam keseluruhan ‘denyut nadi’ kehidupan
manusia.
Bila penyesuaian telah melahirkan kristal-kristal pola anut
sikap, pikir dan perilaku para penganutnya, maka bergeraklah
nuansa “pandangan dunia” ini menjadi “ideologi” yang dari
manapun sumber nilainya, senantiasa memuat cita-cita, orientasi,
dan pedoman hidup penganutnya. Cita-cita, merupakan dambaan
akan kondisi ideal sebagaimana terimajinasikan; Orientasi,
merupakan suatu kristalisasi psikis yang mengendap pekat dalam
sanubari para penganutnya; dan Pedoman Hidup, merupakan
sesuatu yang lebih praktis, yang mengatur umat untuk
berperikehidupan sesuai dengan cita-cita terdamba.
Pada poros ideologi ini, eksistensi teruji secara intelektual:
mampuhkah mereka merumuskan “suatu tata” intelektual yang
memuat peta kognitif mengenai ideal kemasyarakatan yang mereka
dambakan? Ke arah mana pula masyarakat yang bersangkutan
diorientasikan? Bila pada poros ini masyarakat tercerahkan berhasil
mengupayakan “tata intelektual” termaksud, maka satu langkah
strategis telah berhasil mereka penuhi dalam rangka mengemban
tugas-tugas sosial yang dituntut oleh nilai yang mereka anut.
Sedemikian pentingkah kehadiran “ideologi” bagi penganut
tatanan masyarakat? Hal ini akan berpulang kepada visi nilai yang
dianut masing-masing. Tetapi, aksentuasi seperti terurai di atas,
setidaknya telah menggeser kesan yang selama ini masih menjadi
pedoman sebagian besar manusia tentang nilai, yakni doktrin
eksatologis semata. Padahal, jika nilai dipandang sebagaimana
adanya, yang merupakan suatu “gagasan gerak” atau “gagasan
kerja” yang layak saji –bukan barang mati--, sebagaimana nilai
dianugerahkan oleh Yang Maha Kuasa kepada masyarakat manusia
untuk diamalkan, maka keberadaan nilai tidak hanya sekedar
ideologi yang abstrak, tetapi dapat dinyatakan dalam kehidupan
dinamik.
Konsisten dengan alur pemikiran di atas, “pandangan
dunia” dan “ideologi” yang mengelaborasi integralitas nilai di atas
memang seharusnya diejawantahkan di dalam kehidupan manusia
seluruhnya. Masalahnya kini, institusi mana secara langsung
dituntut berperan mewujudkan misi tersebut dalam dataran nyata
kehidupan manusia di dunia ini? Serta bagaimaan institusi itu
sebaiknya melangsungkan perannya sehingga lebih menyentuh
sasarannya?
Dalam masyarakat, di kenal dengan dunia Penyuluh Islam.
Dalam dunia Penyuluh terdapat keseiringan dua eksis pokok, yang
tanpa keduanya Penyuluh Islam hanyalah kehampaan. Pertama,
integralitas nilai seperti disinggung di atas, dan kedua, Penyuluh
sebagai penebar misi nilai itu di muka bumi.
Rasul sebagai personifikasi ideal pendidik umat manusia,
memang telah tiada semenjak wafatnya Muhammad SAW pada
623 masehi. Tetapi Al-Qur’an yang diwariskannya sebagai kitab suci
umat Islam, mengisyaratkan secara jelas, betapa tidak boleh
terputusnya integralitas nilai, tugas-tugas dan tanggung jawab
kerasulan membina dan mendidik umat hingga akhir zaman.
Dengan demikian, istitusi atau pranata kerasulan adalah sumber
inspirasi, sekaligus penjamin kesinambungan integralitas nilai.
Seiring dengan itu, konkretisasi integralitas nilai di atas,
sebagaimana terkristal di dalam “pandangan dunia” dan “ideologi”
Islam, menuntut totalitas penetrasi esensi integralitas nilai itu ke
tengah masyarakat. Integralitas nilai sebagai inti pesan Penyuluh,
semestinya menjadi landasan murni bagi kehidupan individual,
sosial dan umat Islam, serta mesti juga menjadi taburan rahmat
bagi masyarakat non muslim, serta alam lainnya.

Peran Penyuluh Islam


Seiring dengan hal itu, Penyuluh Islam memiliki peran yang
strategis. Namun tentunya peran di sini tidak hanya sebatas
pembelajaran saja. Dengan peran sebagai penyampaian pesan
integralitas nilai. Karena hal itu baru merupakan dimensi
kerisalahan Penyuluh. Sementara ada dimensi lainnya yaitu
dimensi kerahmatan (aplikasi) Penyuluh.
Dimensi kerisalahan Penyuluh merupakan tuntunan dari
Q.S. Al-Maidah 67 dan Ali Imran 104, dengan memerankan tugas
Rasul untuk menyeru agar manusia lebih mengetahui, memahami,
menghayati dan mengamalkan Islam yang memiliki nilai integratif
sebagai pandangan hidupnya. Dengan pemahaman, penghayatan,
dan pengamalan yang demikian, maka Penyuluh sedang mengarah
kepada perubahan perilaku manusia pada tingkat individu maupun
kelompok ke arah yang makin baik. Perubahan prilaku tersebut
memungkinkan apabila kegiatan Penyuluh dapat mempengaruhi
tata nilai yang dianut oleh individu atau masyarakat.
Dengan demikian, dimensi kerisalahan Penyuluh, mencoba
menumbuhkan kesadaran diri dalam (individu/masyarakat) tentang
kebenaran nilai dan pandangan hidup secara integratif, sehingga
terjadi proses internalisasi nilai integrative itu sebagai nilai
hidupnya. Dengan kata lain Penyuluh kerisalahan dalam prakteknya
merupakan proses mengkomunikasikan dan menginternalisasikan
nilai integratif. Dalam hal ini, (1) Integratif nilai merupakan sumber
materi, dan (2) Penyuluh sebagai proses pengalihan nilai.
Namun selain itu ada dimensi kerahmatan Penyuluh, yang
mengacu kepada firman Allah, Q.S. Al-Anbiya: 107. Penyuluh
kerahmatan ini, merupakan upaya mengaktualisasikan Islam
sebagai rahmat (jalan hidup yang menyejahterakan,
membahagiakan dan sebagainya) dalam kehidupan umat manusia.
Dengan begitu, kalau dalam dimensi kerisalahan, Penyuluh lebih
cocok sebagai “mengenalkan nilai integratif” maka dalam
kerahmatan ini, Penyuluh merupakan upaya mewujudkan nilai
integratif dalam kehidupan.
Dalam Penyuluh kerahmatan ini, yang dituntut dan dituju
ialah umat yang secara terus-menerus berproses untuk
membuktikan validitas nilai integratif. Maka, bentuk karya Penyuluh
dari dimensi ini ialah berupaya menjabarkan nilai-nilai integratif
yang sesuai dengan Islam tersebut menjadi konsep-konsep
kehidupan yang dapat dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
Setelah itu, mengupayakan bagaimana konsep operasionalnya,
sehingga nilai integratif tersebut dapat dengan mudah diterapkan
dalam kehidupan nyata.

Peran Agen Penyuluh Islam


Hampir setiap rasul, sahabat maupun, para ulama shalih,
disamping berkutat dalam kesalehan pribadi dengan menjalin
hubungan “mesra” dengan Allah, “suaranya” juga syarat dengan
pesan dan semangat keadilan yang membuat gelisah para tiran,
yang hanya memihak pada kepentingan diri, keluarga dan kroninya.
Suatu makna dan semangat keadilan yang biasanya hanya lebih
dihayati oleh orang miskin dan teraniyaya, dan berada pada kelas
sosial yang stratanya rendah, dari masyarakat piramida yang
menjadi objek eksploitasi oleh segelintir penguasa yang ada di
pucuk piramida.
Bukan kebetulan, jika banyak Nabi, sahabat dan para ulama
shalih, hadir dari atau di tengah rakyat jelata, walaupun sebagain
ada dari lapisan elite. Namun jelas hati dan pikirannya senantiasa
menyuarakan denyut dan gelisah rakyat kecil. Gugatan pun pada
gilirannya senantiasa datang dari mereka, yang mata hatinya masih
terang, untuk dapat menegakan integralitas nilai dalam berbagai
sisi kehidupan yang dihadapinya.
Peran demikian sebagai panggilan nurani umat manusia
yang paling fitri. Sehingga perjuangan menegakan integralitas
adalah juga perjuangan untuk mengaktualkan keseimbangan
potensi kemanusiaannya sebagai makhluk Tuhan di muka bumi di
dalam menyebarkan cinta kasih pada dirinya, kepada sesamanya,
kepada lingkungannya dan kepada Tuhannya.
Mereka adalah personivikasi dari agen Penyuluh,
disamping konsesten melakukan kritik, juga merupakan realisasi
tuntunan integralitas nilai, yang bukan hanya ber-amar ma’ruf
dalam mengimplementasikan integralitas nilai, tetapi juga giat
melakukan nahi munkar dalam mencegah setiap usaha pemisahan
antar nilai yang ada.
Demikianlah pula Penyuluh Islam perlu mewujud,
sebagai penggerak teraplikasikannya integralitas nilai dalam
kehidupan. Dari sini pulalah Penyuluh Islami memulai membangun
potensi dasar manusia, dari sisi hakikat terdalam diri manusia
menuju kepada keseimbangan manusia yang integral dan
kemajuan budi yang teringgi. Sehingga kelak diharapkan manusia
dapat menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya, yaitu sebagai
hamba dan sebagai khalifah, yang dapat menjadi rahmat bagi
seluruh alam.
Dengan demikian Penyuluh Islam akan memiliki fungsi
sebagai rahmat di tengah umat, sejauh ia mampu menyatakan
perannya dalam mengaplikasikan integralitas nilai dalam
kehidupan. Namun tidak hanya itu, bagaimanapun para agen
Penyuluh Islam mengaku berperan, dan dengan pengakuan itu
berharap, kita akan mendapatkan sesuatu yang lebih baik, tanpa
adanya upaya yang jelas, terarah, dan terprogram dari semua agen
Penyuluh dalam merealisasikannya, maka integralitas nilaipun tak
akan ada dampak mewarnai apa-apa terhadap kehidupan, kecuali
seukuran upaya, strategi dan koordinasi yang diusahakan.
Demikian juga, jika harapan bangsa ini ingin dipandang
sebagai bangsa yang menjungjung tinggi nilai luhur, yang maknanya
nilai yang terintegratif, namun di pihak lain berbagai hal yang
bertentangan dengan nilai-nilai justru masih banyak ditemui dan
dibiarkan dalam berbagai sisi kehidupan, maka tidak salah jika kita
perlu mengevaluasi kembali kebernilaian kita. Sudah sejaumanakah
nilai-nilai integratif terimplementasikan di tengah kehidupan kita?
Jawabannya, tentu akan sukar, kalau kebernilaian kita, tanpa
bentuk, tanpa ukuran dan tanpa arah tujuan dalam
mengupayakannya.
Untuk itu perlu tentu perlu program, langkah, serta evaluasi
strategis yang jelas dan terarah dalam mengimplemetasian nilai
integratif. Upaya itu agar kita menjadi tahu, hal-hal apa saja yang
telah teraplikasikan, apa yang sedang dan apa yang masih belum.
Wallahu A’lam.

Anda mungkin juga menyukai