Gizi
Gizi
KAJIAN PUSTAKA
Gizi kurang merupakan salah satu penyakit tidak menular yang terjadi pada
kelompok masyarakat tertentu di suatu tempat. Hal ini berkaitan erat dengan
berbagai faktor multidisiplin dan harus selalu dikontrol terutama pada masyarakat
Gizi kurang bukanlah penyakit akut yang terjadi mendadak, tetapi ditandai
dengan kenaikan berat badan balita yang tidak normal pada awalnya atau tanpa
kenaikan berat badan setiap bulan atau bahkan mengalami penurunan berat badan
selama beberapa bulan. Perubahan status gizi balita diawali oleh perubahan berat
badan balita dari waktu ke waktu. Bayi yang tidak mengalami kenaikan berat
badan 2 kali selama 6 bulan, beresiko 12,6 kali lebih besar mengalami gizi kurang
dibandingkan dengan balita yang berat badannya terus meningkat. Bila frekuensi
berat badan tidak naik lebih sering, maka risiko akan semakin besar (Depkes,
2005). Gizi kurang jika tidak segera ditangani dikhawatirkan akan berkembang
kekurangan asupan energi dan protein yang berlangsung dalam jangka waktu yang
lama. Anak disebut mengalami gizi buruk apabila berat badan anak dibanding
umur tidak sesuai (selama 3 bulan berturut-turut tidak naik) dan tidak disertai
13
14
tanda-tanda bahaya (Moehji, 2002). Dampak gizi buruk pada anak terutama balita
antara lain :
b) Mudah terserang penyakit diare, ISPA, dan yang lebih sering terjadi,
intensif.
kekurangan karbohidrat atau kalori atau yang dikenal dengan marasmus, dan
kwashiorkor. Gizi buruk sangat rentan terjadi pada anak balita (bawah lima tahun)
(Nency, 2005).
kecerdasan anak. Gizi buruk yang diserta dengan penanganan yang buruk akan
gizi, yaitu berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Kedua ini disajikan dalam
bentuk indeks dan rasio berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan terhadap
umur (TB/U) dan rasio berat badan terhadap tinggi badan (BB/TB). Status gizi
yang diukur dengan rasio BB/U mencerminkan status masa sekarang. Karena,
15
berat badan mencerminkan kondisi outcome tentang status gizi pada masa
sekarang. Rasio TB/U mencerminkan status gizi masa lalu, karena tinggi badan
merupakan outcome kumulatif status gizi sejak dilahirkan hingga saat sekarang
(Hidayat, 2005).
satu negara dengan mengukur contoh anak-anak yang dianggap sehat, tanpa
memperhatikan cara hidup dan lingkungan mereka. Mengingat hal tersebut World
berasal dari sampel anak-anak dari enam negara yaitu Brazil, Ghana, India,
kesehatan, dan tidak merokok). Penelitian tersebut mengikuti bayi normal dari
lahir sampai usia 2 tahun, dengan pengukuran yang sering pada minggu pertama.
Kelompok anak-anak lain umur 18 sampai 71 bulan, diukur satu kali. Data dari
(BB) dapat dilihat pada Kartu Menuju Sehat (KMS). Prinsipnya adalah anak yang
sehat, bertambah umur bertambah berat badan. Menurut Standar WHO BB ideal
anak laki-laki usia 2 tahun adalah 12,2 kg dan anak perempuan 11,5 kg. untuk
per tahun. Pemantauan panjang / tinggi badan juga perlu agar dapat diketahui
Indikator Pertumbuhan
Z-score BB/PB atau
PB/U atau TB/U BB/U IMT/U
BB/TB
Sangat gemuk Sangat gemuk
Di atas 3 Lihat Catatan 1
(Obes) (Obes)
Gemuk Gemuk
Di atas 2
(Overweight) (Overweight)
Lihat Catatan 2
Risiko Gemuk Risiko Gemuk
Di atas 1 (Lihat (Lihat Catatan
Catatan3) 3)
0 (Angka
Median)
Di bawah -1
BB Sangat
Sangat Pendek Sangat Kurus Sangat Kurus
Kurang
Di bawah -3 (Severe Stunted) (Severe (Severe
(Severe
(Lihat Catatan 4) Wasted) Wasted)
Underweight)
Sumber: Modul C Pelatihan Penilaian Pertumbuahan Anak WHO 2005
17
Catatan:
1. Seorang anak pada kategori ini termasuk sangat tinggi dan biasanya tidak
mempunyai masalah pertumbuhan, tetapi akan lebih baik bila anak ini
4. Anak yang pendek atau sangat pendek, kemungkinan akan menjadi gemuk
Kasus gizi buruk dan kurang tahun 2004 tercatat berjumlah 5,1 juta kasus,
kemudian pada tahun 2005 turun menjadi 4,42 juta kasus, tahun 2006 turun lagi
menjadi 4,2 juta kasus (944.246 di antaranya merupakan kasus gizi buruk) dan
tahun 2007 turun menjadi 4,1 juta (755.397 di antaranya merupakan kasus gizi
Prevalensi nasional gizi kurang pada balita pada tahun 2008 adalah 13,0%
dan gizi buruk pada balita 5,4%. Hal ini menunjukkan capaian target MDGs
18
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) sebesar 20%. Meskipun telah ada target
tersebut, sebanyak 19 provinsi memiliki prevalenzi gizi buruk dan gizi kurang
Kesehatan, 2008).
Secara nasional anak balita dengan status gizi kurang ditargetkan harus
kurang dari 15,0% pada tahun 2012 (Bappenas, 2011). Laporan Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2010 menunjukkan prevalensi gizi buruk dan kurang di
Indonesia sebesar 17,9% yang terdiri dari gizi kurang 13,0% dan gizi buruk 4,9%.
Sebagian dari total rumah tangga mengkonsumsi energi dan protein kurang dari
kebutuhan tubuh sehari-hari. Sebanyak 5 juta balita berstatus gizi kurang dan
lebih dari 100 juta penduduk berisiko terhadap masalah kurang gizi (Hadi, 2005).
kasus gizi kurang dan buruk terbanyak di dunia. Hal ini disebabkan karena jumlah
penduduk terbesar di dunia. Jumlah anak balita yang mengalami gizi kurang di
Indonesia saat ini tercatat sekitar 900 ribu jiwa atau 4,5% dari jumlah keseluruhan
seluruh wilayah Indonesia, tidak hanya daerah bagian timur Indonesia. Masalah
gizi kurang sering kali tidak terpantau dengan baik yang akhirnya tidak dapat
19
diatasi secara maksimal. Padahal masalah ini dapat memunculkan masalah yang
Krisis ekonomi bangsa menjadi salah satu pencetus terjadinya masalah gizi
yaitu suatu generasi dengan jutaan anak mengalami kekurangan gizi sehingga
tingkat kecerdasan (IQ) anak pun menjadi lebih rendah. Anak yang mengalami
kurang energi protein (KEP) mempunyai IQ yang lebih rendah 10-13 skor jika
dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami KEP. Anak yang terkena
anemia mempunyai IQ lebih rendah 5-10 skor dibandingkan dengan anak yang
berdasarkan indeks BB/U dan pendek atau sangat pendek (stunting) berdasarkan
kecerdasan atau intelligence quotient (IQ) sebesar 10-15 poin (UNICEF, 1998).
UNICEF (1990) menjelaskan bahwa upaya perbaikan gizi lebih efektif bila
penyakit infeksi. Pola asuh, ketersediaan makanan, air bersih, sanitasi serta
berpengaruh tak langsung terhadap permasalahan gizi. Akar masalah dari faktor
Penyebab
Konsumsi Makanan Status Infeksi
Langsung
Pola Asuh
Penyediaan Pelayanan
dan perawatan anak Penyebab tidak
makanan di Kesehatan
Kebersihan dan Langsung
rumah sanitasi
Secara umum, status gizi dipengaruhi oleh dua faktor langsung yaitu
status gizi. Status gizi akan berkembang secara optimal bila tubuh memperoleh
zat-zat gizi yang dibutuhkan dan digunakan secara efisien, sehingga mendukung
maksimal. Status gizi kurang diakibatkan karena kurangnya asupan satu atau lebih
zat gizi esensial yang dibutuhkan oleh tubuh (Almatsier, 2006). Infeksi penyakit
berkaitan erat dengan pelayanan kesehatan dan perawatan anak dan ibu hamil
(Supariasa, 2002). Penyakit infeksi seperti diare dan infeksi saluran pernafasan
atas (ISPA) mengakibatkan terganggunya proses penyerapan zat gizi oleh tubuh
sehingga, zat gizi tidak dapat terserap dengan baik (UNICEF, 2009).
dipengaruhi adalah konsumsi makanan dan status infeksi anak. Bila seorang bayi
dan anak balita tidak mendapat Air Susu Ibu (ASI) dan Makanan Pendamping
ASI (MP-ASI) yang tepat maka daya tahan tubuh anak akan menjadi rendah
yang dibutuhkan tubuh, meliputi memenuhi syarat makanan beragam, bergizi dan
berimbang. Pada tingkat yang lebih luas, ketersediaan pangan sangat erat
beragam yang tersedia sepanjang waktu dan dalam jumlah yang cukup dan dengan
ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dan tingkat asupan makanan keluarga.
sangat rentan mengalami masalah gizi. Pada fase ini anak mengalami fase tumbuh
kembang yang sangat pesat, sehingga sangat membutuhkan asupan makanan yang
22
sesuai dengan kebutuhan tubuh dan bergizi. Makanan yang bergizi adalah
Makanan yang bergizi justru cenderung kurang diminati anak karena pada anak
balita kerapkali terjadi masalah dalam pemberian makanan karena factor kesulitan
makan anak, yang mana anak suka memilih-milih makanan ataupun sulit untuk
Anak sulit makan merupakan salah satu masalah makan yang kerapkali
dialami oleh orang tua. Beberapa keluhan yang sering terjadi antara lain memilih-
milih makanan, menolak makan, tidak mau makan sama sekali, kalau diberi
makan muntah, mengeluh sakit perut, dan adanya peningkatan emosi saat diminta
Pada usia balita, gangguan kesulitan ini seringkali terjadi karena aktifitas
anak yang meingkat sepertti bermain dan berlari sehingga kadang anak sampai
lupa waktu dan melupakan rasa lapar mereka. Pola pemberian makan yang tidak
sesuai dengan keinginan anak pun menjadi penyebab anak menjadi sulit makan,
sedangkan pada balita terus terjadi proses pertumbuhan dan perkembangan yang
sangat membutuhkan kecukupan nutrisi. Nutrisi yang dikonsumsi pada usia balita
dengan ASI yang bentuknya cair, lalu perlahan-lahan ditingkatkan dengan asupan
dan ditangani secepatnya agar tidak menimbulkan efek negative nantinya. Efek
daya intelegensi dan menurunnya daya tahan tubuh anak yang berakibat anak
1) ASI eksklusif
Air Susu Ibu (ASI) merupakan hasil sekresi dari kelenjar payudara ibu
yang berbentuk cairan. Air Susu Ibu Eksklusif (ASI eksklusif) adalah air susu
ibu yang diberikan selama 6 (enam) bulan kepada bayi tanpa adanya
(Kemenkes, 2012).
diberikan tanpa terjadwal dan tanpa diberikan makanan atau minuman lain,
bahkan air putih sekalipun, hingga bayi berusia 6 bulan. Setelah usia 6 bulan,
bayi mulai diperkenalkan dengan makanan atau minuman lain dan tetap
Bayi yang baru lahir umumnya diberikan air susu setiap 2 sampai 3 jam
sekali. Waktu dan jarak menyusui akan semakin meningkat seiring bertambah
usianya, karena daya tampung mereka menjadi lebih besar. Hal sebaliknya
terjadi pada bayi baru lahir yang diberikan susu formula. Meraka akan
24
ASI eksklusif merupakan salah satu langkah yang paling efektif untuk
Indonesia tahun 2007 menunjukkan bahwa dari tiga bayi di bawah usia enam
bulan, hanya satu bayi yang diberikan ASI eksklusif. Hasil survey ini
manfaat ASI yang optimal, dalam hal ini berkaitan dengan gizi dan
menyusui anak-anak mereka hingga usia enam bulan. Banyak hal yang
yang rendah, beberapa ibu juga takut akan kesakitan ketika menyusui dan
baik atau normal berkaitan erat dengan perilaku pemberian ASI, dimana
mereka yang tidak pernah diberi ASI ternyata keadaan gizinya lebih rendah.
Di samping itu, ketahanan hidup bayi yang pernah mendapatkan ASI adalah
984 per 1000, sedangkan ketahanan hidup yang tidak pernah mendapat ASI
tidak akan cukup memperoleh zat gizi jika hanya diberi ASI sampai umur 6
2) MP-ASI
bayi atau anak selain ASI untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan gizi. MP-
ASI mulai diberikan kepada bayi atau balita sejak berumur 6 bulan, sebab jika
pasca usia 6 bulan bayi hanya diberikan ASI saja, maka kebutuhan gizi bayi
oleh ASI yaitu sebesar 30%-40% terpenuhi dari asupan makanan pendamping
bulan, karena sebelum usia 6 bulan, sistem pencernaan bayi masih belum
enzim ini akan mulai diproduksi sempurna sejak bayi berusia 6 bulan. Selain
itu pada usia 6 bulan adalah saat di mana bayi mulai belajar menunyah dan
usia bayi 6-12 bulan, ASI hanya mencukupi setengah atau lebih dari
kebutuhan gizi bayi, memasuki usia 12-24 bulan, ASI hanya menyediakan
dan makanan keluarga. Pada usia 6-9 bulan makanan terbaik adalah yang
teksturnya cair dan lembut seperti bubur buah, bubur susu atau bubur sayuran
dengan makanan kental dan padat, namun harus tetap bertekstur lunak, seperti
aneka nasi tim. Pada usia 12-24 bulan bayi sudah dapat dikenalkan pada
makanan keluarga atau makanan padat seperti orang dewasa namun tetap
gangguan pencernaan seperti diare, muntah dan sulit buang air besar pada
bayi kekurangan gizi (Cott, 2003; Susanty, 2012). Pemberian MP-ASI yang
terlalu dini juga menyebabkan produksi ASI berkurang karena anak sudah
kenyang dan jarang menyusu. Selain itu menimbulkan alergi di kemudian hari
karena usus bayi masih mudah dilalui protein asing. Terlalu lambat
memberikan makanan pendamping juga tidak baik karena ASI saja hanya
2004).
mineral dan vitamin, pengenalan berbagai campuran bahan makanan, rasa dan
tekstur ini berguna untuk memperkaya zat gizi MP-ASI, keberagaman juga
2012).
Kondisi status gizi baik akan dapat tercapai apabila asupan gizi yang
otak, dan ketahanan tubuh untuk bekerja demi tercapainya kesehatan yang
optimal (Roesli, 2005). Hal ini sesuai dengan penelitian Munawaroh (2006)
dengan pola makan yang tidak baik lebih berisiko 8,1 kali untuk mengalami
status gizi kurang dari pada balita dengan pola makan yang baik.
dengan status gizi anak balita. Sebagian besar ibu (69,05%) memberikan MP-
ASI tepat waktu kepada anaknya. Anak yang diberi MP-ASI pada usia ≥6
bulan mempunyai status gizi yang baik (Rahmani, 1997; Susanty, 2012)
28
keadaan gizi, terutama penyakit infeksi yang berat karena penyakit infeksi akan
sangat dibutuhkan oleh tubuh yang berakhir pada status gizi yang semakin buruk.
Terdapat hubungan yang sangat erat antara infeksi penyakit dengan kejadian
malnutrisi. Terjadi hubungan yang timbal balik antara malnutrisi dengan penyakit
(Pudjiadi, 2001).
berkurang atau hilangnya nafsu makan sehingga menurunkan absorpsi zat-zat gizi
bagi tubuh, dan kebiasaan mengurangi asupan makanan saat sakit seperti batuk
pilek, serta terjadinya peningkatan kehilangan cairan tubuh dan zat gizi akibat
diare, mual muntah dan perdarahan yang terus menerus. Beberapa penyakit
infeksi yang sering diderita anak balita antara lain diare dan ISPA (Pudjiadi, 2003;
Kusriadi, 2010).
merupakan penyakit infeksi yang paling sering diderita oleh anak balita. ISPA dan
diare terjadi pada anak balita karena sistem pertahanan tubuh anak rendah
(Adisasmito, 2007).
29
pengeluaran keluarga baik pangan maupun non pangan selama satu tahun terakhir.
kepala keluarga dan anggota keluarga lainnya. Jika pendapatan masih rendah
akan lebih besar daripada pendapatan mereka. Pendapatan merupakan faktor yang
paling berkaitan erat dengan jumlah dan mutu makanan yang nantinya akan
kelangsungan hidup anak baik sakit maupun sehat. Pendapatan keluarga sebagai
pengeluaran total dan pengeluaran bahan makan cenderung akan ikut mengalami
sehingga asupan makanan juga akan meningkat dan meningkatkan status gizi
(Susianto, 2008).
buruk pada keluarga miskin lebih besar 37,5% dari keluarga tidak miskin,
disamping itu juga terdapat hubungan bermakna antara status ekonomi keluarga
dengan gizi kurang. Adanya hubungan antara sosial ekonomi keluarga dengan
ketahanan pangan dalam rumah tangga akan mempengaruhi asupan zat gizi dalam
1) Pendidikan
berkaitan dengan pola asuh anak, pemenuhan zat gizi serta informasi
dalam memenuhi segala kebutuhan anak serta keluarga terhadap asupan gizi.
juga berperan dalam penyusunan menu makan sehat bagi keluarga dan
kesehatan menjadi perilaku dan sosial budaya yang positif sehingga dapat
2000).
seseorang rendah, maka akan sulit bagi orang tersebut untuk menyerap
sehingga sulit untuk mencapai pola hidup bersih dan sehat. Begitu juga
gizi, dimana diharapkan dengan pendidikan gizi tersebut akan dapat tercipta
terhadap status gizi balita. Lebih lanjut ditekankan oleh Anwar (2005) bahwa
tingkat pendidikan ibu beresiko 2,3 kali terhadap kejadian gizi buruk di
Lombok Timur.
2) Pengetahuan
dimiliki oleh ibu akan sangat berpengaruh terhadap pola konsumsi makanan
kurang, serta kurangnya asupan gizi bagi tubuh. Pengeluaran keluarga akan
lebih besar pada pembelian kebutuhan papa, yang tidak terlalu mendesak
2006).
keluarga mampu membeli dan menyiapkan pangan, tetapi bila tidak disertai
untuk dikonsumsi, yang di kemudian hari akan berdampak pada keadaan gizi
orang tersebut. Pengetahuan ibu tentang gizi merupakan salah satu factor
antara anak yang terakhir dengan yang diatasnya. Jarak kelahiran yang terlalu
dekat akan meningkatkan kejadian bayi lahir yang belum cukup umur dengan
berat bayi lahir rendah. Status gizi yang rendah terkait pula dengan terlalu
menyusui ibu kepada bayinya. Akhirnya jarak antar kelahiran yang pendek
Anak yang lahir dengan jarak kelahiran tiga sampai lima tahun dengan
tinggi 2,5 kali dari pada anak yang lahir dengan jarak kelahiran kurang dari
dua tahun. Anak-anak yang lahir dengan jarak kelahiran lebih dari tiga tahun
dilahirkan dan kemungkinan hidup yang lebih baik pada setiap tahap tumbuh
4) Jumlah anak
dengan masalah gizi. keluarga dengan jumlah anak yang banyak dan jarak
jumlah anggota keluarga bisa membantu memperbaiki gizi dan daya tahan
per anak dalam keluarga yang mempunyai satu atau dua anak akan lebih tinggi
5) Pekerjaan Ibu
bekerja adalah ibu yang memiliki anak dari umur 0-18 tahun dan menjadi
35
2000).
Ibu yang bekerja tidak saja mempunyai dampak positif terhadap status
gizi anak, tetapi juga membawa dampak negative. Ibu yang bekerja akan lebih
sebaliknya pada ibu yang tidak bekerja yang dapat meluangkan waktu
asupan gizi anak karena tidak mampu membeli makanan yang bergizi akibat
ekonomi yang lemah, hal ini terutama cenderung terjadi pada keluarga dengan
ekonomi lemah.
2.3.2.3 Sanitasi
lingkungan sangat erat kaitannya status gizi. Persediaan air bersih, ketersediaan
jamban, sistem pembuangan air limbah, dan kebersihan alat makan pada setiap
Kurangnya air bersih dan sanitasi lingkungan yang tidak memadai serta
penyakit malaria dan kematian pada anak-anak. Jika anak mengalami diare yang
disebabkan karena kurangnya air bersih atau karena praktek kebersihan yang
buruk, maka akan menguras nutrisi dari tubuhnya. begitu seterusnya, dari buruk
resiko terhadap kejadian gizi buruk dan merupakan determinan penting dalam
bidang kesehatan. Sanitasi yang baik merupakan salah satu parameter tercapainya
gizi balita yang baik (Istiono, 2009). Rumah tangga di daerah Indonesia Timur
umumnya mempunyai kondisi yang lebih buruk dari daerah Indonesia Barat.
Sekitar 40,0% rumah tangga di NTB, NTT, Maluku dan Papua berkondisi tanpa
sanitasi yang baik (Atmarita, 2006). Data Riskesdas 2010 menunjukkan akses
37
rumah tangga terhadap sanitasi yang layak secara nasional baru mencapai 55,53%
struktur fisik rumah. Hal-hal yang mencakup sanitasi rumah meliputi suhu,
pembuangan air limbah dan penyediaan air bersih. Sanitasi rumah yang tidak
memadai seperti rumah yang lembab, tidak memiliki fasilitas air bersih dan sistem
pembuangan sampah dan kotoran manusia yang tidak terjamin akan menyebabkan
penyakit. Anak balita sebagai kelompok umur yang rawan akan mudah terinfeksi
penyakit. Hal ini berkaibat pada semakin lemahnya kondisi tubuh dan
tetap segar, 2) pencahayaan ke dalam rumah yang cukup baik, 3) rumah memiliki
fasilitas penyediaan air bersih yang memadai, tempat pembuangan tinja yang baik,
saluran pembuangan air limbah, tempat pembuangan sampah, dapur dan ruang
kumpul keluarga, 4) bahan bangunan rumah meliputi lantai, dinding dan atap.
38
mencangkup fasilitas pembuangan air besar dan sumber air minum secara
deskritif berkaitan dengan prevalensi status gizi balita. Rumah tangga yang
memiliki fasilitas jamban sendiri memiliki prevalensi gizi buruk dan gizi kurang
pembuangan air besar pada jamban di kamar mandi umum. Sementara rumah
tangga yang mengkonsumsi air dari sumber air minum yang bersih memiliki
prevalensi gizi buruk dan gizi kurang lebih rendah dibandingkan dengan rumah
penentuan status gizi balita. Lingkungan dan sanitasi yang buruk dapat
menyebabkan penyakit kurang gizi (Sukarni, 1999; Diah, 2011). Bappenas (2009)
menegaskan bahwa semakin baik sanitasi maka semakin rendah kematian anak
dan semakin baik nutrisi anak. Selain itu akses dan penggunaan air bersih,
sanitasi, kebiasaan mencuci tangan pada keluarga dan individu memiliki efek
penggunaan air bersih secara langsung telah berpengaruh terhadap kesehatan anak
yaitu penurunan anak yang terkena diare sebesar 6,0% dan berpengaruh tidak
bahwa sanitasi lingkungan yang tidak memadai meningkatkan risiko gizi buruk
1,33 kali lebih tinggi dari lingkungan sanitasi yang memadai. Hal yang sama juga
dijelaskan oleh Ginting dalam Diah (2011) lingkungan yang kurang baik
39
berpengaruh 2,8 kali dibanding lingkungan yang baik terhadap status gizi balita
dan gizi serta sarana kesehatan yang baik seperti posyandu, puskesmas, praktek
karena hambatan ekonomi maupun non ekonomi seperti jarak yang jauh, tidak
pelayanan kesehatan yang tersedia, yang pada akhirnya akan berakibat pada
dasar.
anak balita (81 %), tetapi hanya 56 % anak balita yang melakukan penimbangan
balita 4 kali atau lebih, bahkan 1 dari 5 (20,8 %) anak balita tidak pernah
ditimbang dalam 6 bulan terakhir. Indikator D/S (jumlah anak yang ditimbang
40
Kejadian gizi buruk dan kurang tidak terjadi secara tiba-tiba dan
mendadak, tetapi melalui suatu proses yang ditandai dengan adanya kenaikan
berat badan anak yang tidak normal selama beberapa bulan belakangan dan dapat
kasus gizi buruk ditemukan lebih banyak di luar mekanisme posyandu (Depkes,
2005).
kegiatan promosi kesehatan. Seorang anak yang mengikuti secara rutin dan teratur
gangguan pertumbuhan yang serius seperti gizi buruk. Seorang yang mengalami
tiga kali tidak naik berat badan atau berat badan dibawah garis merah, jelas
agar tidak berkembang menjadi gizi buruk (Depkes 2005; Kusriadi, 2010).
41
Bappenas (2011) melaporkan hanya 56,0% anak balita dari 81,0% yang
melakukan penimbangan balita 4 kali atau lebih, bahkan 1 dari 5 anak balita
(20,8%) tidak pernah ditimbang dalam 6 bulan terakhir. Kusriadi (2010) dalam
penimbangan dan pemanfaatan posyandu yang baik lebih sedikit mengalami gizi
sehingga memberikan efek positif terhadap sikap dan prilaku ibu untuk menjaga
faktor. Secara umum dipengaruhi oleh dua faktor yaitu konsumsi makanan dan
kesehatan. Konsumsi makanan meliputi zat gizi dalam makanan, ada tidaknya
sosial budaya yang sangat mempengaruhi status kesehatan dan juga berpengaruh
pada pola penyakit dan juga dapat berpengaruh pada kematian misalnya obesitas
42
Menurut Diah (2011) faktor yang paling berperan terhadap gizi buruk dan
kurang adalah frekuensi sakit anak, pengetahuan ibu, pendapatan perkapita dan
status gizi anak. Sanitasi yang baik merupakan salah satu parameter tercapainya
status gizi adalah jenis pekerjaan ayah dan jenis pekerjaan ibu. Berdasarkan data
tingkat pendidikan orang tua dan jenis pekerjaan orang tua, keluarga yang
mempunyai balita gizi buruk atau kurang memperlihatkan indikasi dari golongan
keluarga yang tingkat pendapatannya rendah. Jenis Kelamin, umur balita, jumlah
anggota keluarga, tingkat pendidikan orang tua, dan jenis pekerjaan orang tua
kesehatan rumah tangga dan asupan gizi terhadap status gizi balita. Peningkatan
kesehatan rumah tangga akan berdampak pada meningkatnya status gizi anak,
begitu pula sebaliknya jika kesehatan rumah tangga menurun, maka status gizi
menjelaskan bahwa pendidikan ibu, pekerjaan ibu, dan pengetahuan ibu memiliki
ASI, kelengkapan imunisasi, dan asupan makanan balita dengan kejadian gizi
kejadian kurang gizi pada anak balita (Kosim, 2008). Selain pendidikan,
bermakna dengan gizi buruk karena ASI dan imunisasi memberikan zat kekebalan
kepada balita sehingga balita tersebut menjadi tidak rentan terhadap penyakit.
Balita yang sehat tidak akan kehilangan nafsu makan sehingga status gizi tetap
langsung dan tidak langsung. Penyebab langsung adalah asupan zat gizi dan
penyakit infeksi. Sedangkan penyebab tidak langsung terdiri dari tiga faktor besar
yaitu kesediaan pangan yang tidak cukup, pola asuhan yang tidak tepat dan