Anda di halaman 1dari 22

HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa :


Nama : Andi Absharina Binawan
NIM : C 111 11 894
Judul Referat : Miastenia Gravis
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepanitraan klinik pada bagian Ilmu Kesehatan Saraf
Kedokteran Universitas Hasanuddin

Makassar, November 2015

Residen pembimbing, Coass,

dr. Febrianto Powatu Andi Absharina Binawan

Supervisor,

Dr. dr. Nadra Maricar, Sp.S

Page | 1
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN……...............................................................................................1

DAFTAR ISI………………………………………………………………………………,…….2

I.PENDAHULUAN...…………………………………………………………………………….3

II. DEFINISI………………………………………………………………………………….…..4

III. EPIDEMIOLOGI…………………………………………………………………………....4

IV.ETIOLOGI…………………………………………………………………………………....4

V. PATOFISIOLOGI……………………………………………………………………………5

VI. KLASIFIKASI………………………………………………………………………….……6

VII. MENIFESTASI KLINIK…………………………………………………………….…….7

VIII. DIAGNOSIS……………………………………………………………………………...10

IX. DIFRENSIAL DIAGNOSIS…………………………………………………………….…14

X. PENATALAKSANAAN…………………………………………………………………….16

XI. KOMPLIKASI………………………………………………………………………….…..21

XII. PROGNOSIS………………………………………………………………………………21

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………….…..22

Page | 2
I. PENDAHULUAN (1)(2)(3)(4)
Miastenia gravis (MG), suatu penyakit yang mengenai taut neuromuscular, ditandai oleh
kelemahan otot berat (miastenia artinya “kelemahan otot”; gravis artinya “parah”). Ini adalah
suatu penyakit otoimun (otoimun artinya “imunitas terhadap diri sendiri”) di mana tubuh secara
salah memproduksi antibody terhadap reseptor ACh di motor end-plate-nya sendiri. Pada
penyakit ini IgG mengikat reseptor asetilkolin pada membrane pascasinaptik bersambungan
neuromuskularis (neuromuscular junction). Jumlah reseptor asetilkolin yang menurun karena
terikat IgG ini menyebabkan amplitudo potensial lempeng ujung (end-plate) berkurang dengan
akibat timbulnya potensial aksi. Miastenia gravis ditandai oleh kelemahan atau kelumpuhan otot-
otot lurik setelah melakukan aktifitaas, dan akan pulih kekuatannya setelah bebrapa saat yaitu
dari beberapa menit samapai beberapa jam.
Kelainan timus yang umum: Dari pasien dengan MG, 75% memiliki penyakit thymus,
85% memiliki hiperplasia thymus, dan 10-15% memiliki thymoma. Tumor Extrathymic mungkin
termasuk kanker paru-paru sel kecil dan penyakit Hodgkin. Hipertiroidisme hadir dalam 3-8%
pasien dengan MG dan memiliki hubungan tertentu dengan MG okular.
Sindrom klinis pertama kali dijelaskan pada tahun1600. Pada akhir tahun 1800-an,
miastenia gravis (MG) dibedakan dari kelemahan otot akibat palsi bulbaris sebenarnya. Pada
tahun 1895, Jolly adalah orang yang pertama kali menggunakan istilah miastemia gravis, dan ia
juga mengusulkan pemakaian fisostigmin sebagai obatnya namun hal ini tidak berlanjut.
Akhirnya pada tahun 1900-an Ramen (1932) dan Mary Walker (1934) menyatakan bahwa
fisostigmin merupakan obat yang baik untuk miastenia gravis.
Prevalensi MG diperkirakan 14 per 100.000 populasi, dengan 36.000 kasus terjadi di
Amerika Serikat. Puncak usia awitan adalah 20 tahun, dengan rasio perbandingan antara
perempuan dan laki-laki adalah 3;1. Puncak kedua walaupun lebih rendah daripada yang
pertama, terjadi pada laki-laki tua usia dalam decade tujuh puluan atau delapan puluhan.
Miastenia gravis dapat dijumpai pada anak, orang dewasa, dan pada orang tua, terbanyak
terdapat antara umur 10-30 tahun. Miastenia gravis yang disertai timoma terbanyak antara 40-50
tahun. Pada umur di bawah 40 tahun miastenia gravis lebih banyak dijumpai pada wanita;
sementara itu di atas 40 tahun lebih banyak pada pria.
Kematian umumnya disebabkan oleh insufiensi pernafasan, walaupun dengan
perkembangan dalam perawatan intensif pernafasan, komplikasi ini lebih dapat ditangani. Remisi

Page | 3
spontan dapat timbul pada 10% hingga 20% pasien dapat disebabkan oleh timektomi elektif pada
pasien tertentu. Perempuan muda yang beradapada stradium dini penyakit ini (5 tahun pertama
pada awitan) dan yang tidak merespons terapi obat dengan baik sebagian besar mendapat
keuntungan pada prosedur ini.

II. DEFINISI
Miastenia Gravis (MG) adalah suatu kelainan autoimun saraf perifer berupa terbentuknya
antibody terhadap reseptor pascasinap asetilkolin (ACh) nikotinik pada myoneural
junction/neuromuskular junction. Penurunan jumlah reseptor ACh ini menyebabkan penurunan
kekuatan otot yang progresif dan terjadi pemulihan setelah beristirahat.

III. EPIDEMIOLOGI(5)
Prevalensi MG diperkirakan 14 per 100.000 populasi, dengan 36.000 kasus terjadi di
Amerika Serikat. Puncak usia awitan adalah 20 tahun, dengan rasio perbandingan antara
perempuan dan laki-laki adalah 3:1. Puncak kedua walaupun lebih rendah daripada yang
pertama, terjadi pada laki-laki tua usia usia dalam decade tujuh puluhan atau delapan puluhan.
Kematian umumnya disebabkan oleh oleh insufisiensi pernafasan, walaupun dengan
perkembangan dalam perawatan instensif pernafasan, komplikasi ini lebih dapat ditangani.
Remisi spontan dapat timbul pada 10% hingga 20% pasien dan dapat disebabkan oleh timektomi
elektif pada pasien tertentu. Perempuan muda yang berada pada stadium dini penyakit ini
(5tahun pertama setelah awitan) dan tidak merespon terapi obat dengan baik sebagian besar
mendapat keuntungan dari prosedur ini.

IV. ETIOLOGI(3)
Miastenia gravis adalah suatu penyakit auto-imun yang berhubungan dengan penyakit-
penyakit lain seperti : tirotoksikosis, miksedema, arthritis rematoid dan lupus eritematosus
sistemik. Dulu dikatakan bahwa IgG auto-imun antibody merangsang pelepasan thymin, suatu
hormone dari kelenjar timus yang mempunyai kemampuan mengurangi jumlah asetilkolin.
Sekarang dikatakan bahwa miastenia gravis disebabkan oleh kerusakan reseptor asetilkolin
neuromuscular junction akibat penyakit auto-imun.

Page | 4
V. PATOFISIOLOGI(6)
Ketika sebuah potensial aksi bergerak ke motorneuron dan mencapai motor end plate,
molekul asetilkolin (ACh) dilepaskan dari vesikel presinaptik, melalui neuromuscular junction
dan kemudian akan berinteraksi dengan reseptor ACh (AChRs) di membrane postsinaptik.
Kanal-kanal di AChRs terbuka, memungkinkan Na + dan kation lain untuk masuk ke dalam serat
otot dan menimbulkan depolarisasi. Depolarisasi yang terus menerus terjadi akan berkumpul
menjadi satu, dan jika depolarisasi yang terkumpul cukup besar, maka akan memicu timbulnya
potensial aksi, yang bergerak sepanjang serat otot untuk menghasilkan kontraksi

Gambar 1 Neuromuscular Junction Normal

Pada myasthenia gravis (MG), ada pengurangan jumlah AChRs yang tersedia di motor
endplate atau mendatarnya lipatan pada membran postsinaptik yang menyebabkan pengurangan
jumlah reseptor pada motor endplates, sehingga depolarisasi yang terjadi pada motor endplate
lebih sedikit yang dan tidak terkumpul menjadi potensial aksi. Akhir Hasilnya adalah sebuah
transmisi neuromuskuler tidak efisien. Tiga mekanisme yang didapatkan dari penelitian antara
lain: autoantibodies terhadap reseptor AChR dan menginduksi endositosis, sehingga terjadi
deplesi AChR pada membran postsinaptik, autoantibodies sendiri menyebabkan gangguan fungsi
AChR dengan memblokir situs-situs tempat terikatnya asetilkolin dan autoantibodies
menyebabkan kerusakan pada motor endplates sehingga menyebabkan hilangnya sejumlah
AChR.

Page | 5
Gambar 2 Neuromuscular Junction pada Pasien Myasthenia Gravis (MG)

Gambar menunjukan sinyal kimia, asetilkolin dan reseptor asetilkolin. Molekul berbentuk
Y terbalik adalah antibody yang terikat dengan reseptor asetilkolin sehingga menghambat kerja
asetilkolin

Pasien menunjukkan gejala setelah reseptor ACh dikurangi menjadi sekitar 30% dari
normal. Penyakit ini tidak mempengaruhi otot polos dan jantung karena mereka memiliki
antigenisitas reseptor kolinergik yang berbeda. Peran timus dalam pathogenesis myasthenia
gravis (MG) tidak sepenuhnya jelas, tetapi 75% dari pasien myasthenia gravis (MG) memiliki
beberapa derajat kelainan timus (misalnya, hiperplasia pada 85% kasus, thymoma dalam 15%
kasus). Mengingat fungsi kekebalan timus dan adanya perbaikan klinis setelah dilakukan
tindakan thymectomy, timus diduga menjadi tempat pembentukan autoantibodi. Namun,
stimulus yang memulai proses autoimun belum teridentifikasi.

VI. KLASIFIKASI(3)(4)(11)
Untuk menentukan prognosis dan pengobatannya, penderita miastenia gravis dibagi atas
4 golongan :
Golongan I : Miastenia Okular (gejala-gejala hanya tampak pada otot ocular saja)
Pada kelompok ini terdapat gangguan pada satu atau beberapa otot
ocular, yang menyebabkan gejala ptosis dan diplopia. Seringkali prosis
unilateral. Bentuk ini biasanya ringan akan teetapi seringkali resisten
terhadap pengobatan.

Page | 6
Golongan II A : Miastenia bentuk umum ringan (kelemahan dan kelelahan umumnya
yang ringan
Golongan II B : Miastenia bentuk umum sedang (kelemahan dan kelelahan umum yang
sedang, disertai otot ocular, dan bulbar)
Timbulnya gejala perlahan-lahan dimulai dengan gejala ocular yang
kemudian menyebar mengenai muka, anggota badan, dan otot-otot
bulbar. Otot-otot respirasi biasanya tidak terkena. Perkembangan kearah
golongan III dapat terjadi dalam dua tahun pertama dari timbulnya
penyakit miastenia gravis.
Golongan III : Miastenia bentuk umum yang kronis dan berat
Pada kasus ini timbulnya gejala biasanya ceat, dimulai dari gangguan
otot ocular, anggota badan dan kemudian otot pernafasan. Kausus-kasus
yang mempunyai reaksi yang buruk terhaddap terapi antikolinesterase
berada dalam keadaan bahaya dan akan berkembang menjadi krisis
miastenia.
Golongan IV : Krisis miastenia
Kadang-kadang terdapat keadaan yang berkembang menjadi kelemahan
otot yang menyeluruh disertai dengan paralisis otot-otot pernafasan. Hal
ini merupakan keadaan darurat medik. Krisis meastenia dapat terjadi
pada penderita-penderita golongan 3 yang resisten terhadap obat-obatan
antikolinesterase yang pada saat yang sama penderita menderita infeksi
lain. Keadaan ini yang berkembang menjadi kelumpuhan otot-otot
pernafasan adalah disebabkan lajak dosis pengobatan dengan
antikolinesterase yang disebut kolinergik.

VII. MANIFESTASI KLINIK(1)(3)(7)(11)


Kelainan ini dapat ditemukan pada setiap kelompok usia. Gejala klinis mengalami
fluktuasi di sepanjang hari dan dipicu dengan aktifitas fisik.
7.1. Karakteristik Miastenia Gravis
Kelemahan yang berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini akan
meningkat apabila sedang beraktivitas. Penderita akan merasa ototnya sangat

Page | 7
lemah pada siang hari dan kelemahan ini akan berkurang apabila penderita
beristirahat.
7.2. Gejala klinis miastenia gravis antara lain adalah
1. kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis. Ptosis yang merupakan salah
satu gejala sering menjadi keluhan utama penderita miastenia gravis, ini
disebabkan oleh kelumpuhan dari nervus okulomotorius. Walaupun pada
miastenia gravis otot levator palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-
otot okular masih bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot
okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis.
2. Sewaktu waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga
mulut penderita sukar untuk ditutup.
3. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi,
4. diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala.
5. Dapat pula timbul kesukaran menelan dan berbicara akibat kelemahan dari
otot faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah paresis dari
pallatum molle yang akan menimbulkan suara sengau. Selain itu bila
penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya.
 Manifestasi Ocular
1. Ptosis
Pada umumnya terjadi uni atau bilateral dan mungkin terjadi saat pasien membaca, atau
selama mengemudi dalam waktu yang panjang.

Gambar 3. Ptosis pada Penderita Myasthenia Gravis

2. Diplopia
Kelemahan otot ekstraokular dapat asimetris menyebabkan penglihatan ganda.

Page | 8
 Bulbar Involment
Kesulitan mengunyah, berbicara, atau menelan. Biasanya 17 % pasien mengalami gejala
awal :
1. Kelemahan saat mengunyah
2. Tidak dapat menjaga rahaang ditutup setelah mengunyah
3. Cadel dan nasal speech ( sengau )
 Kelemahan Otot Ekstremitas
 10 % terjadi pada gejala awal
 Kelemahan ekstremitas atas lebih sering daripada ekstremitas bawah, asimetris
 Melibatkan otot proximal daripada distal
 Melibatkan otot leher : fleksi leher lebih lemah daripada ekstensi leher
 Respiratory Insuficiency
 Presentasi awal jarang
 Terjadi secara drastis pada pasien dengan gejala yang memburuk di awal
Tanda vital dan pemeriksaan fisik biasanya dalam kondisi normal, kecuali pasien
adalah dalam kondisi krisis. Pada pemeriksaan neurologis tergantung pada distribusi
kelemahan yang disebabkan oleh MG. Kelemahan pada otot facial dan otot levator
palpebrae menyebabkan muka tanpa mimik dan palpebra yang jatuh. Kelemahan pada otot
okular dapat menyebabkan paralisis atau kelemahan otot yang diisolasi, ophtalmoplegia
pada satu atau dua mata menyerupai ophtalmoplegia internuklear.

Kelemahan orofaringeal atau otot tungkai dapat dideteksi dengan beberapa tes.
Kelemahan otot respiratori dapat dideteksi dengan pemeriksaan faal paru yaitu kapaitas
vital, tekanan inspirasi dan tekanan ekspirasi sehingga dapat mendeteksi kelainan sebelum
timbul gejala. Atrofi otot dijumpai pada 10% pasien MG dengan malnutrisi akibat disfagia
berat. Fasikulasi lidah tidak pernah terjadi kecuali dosis obat kolinergik berlebihan. Sensasi
dan refleks adalah normal pada pasien MG walaupun dengan kondisi ototnya yang lemah.

Page | 9
VIII. DIAGNOSIS(1)(3)(4)(5)(7)(8)(11)
8.1.Penegakan Diagnosis
8.1.1. Gelaja Klinis
Adanya kelemahan/kelumpuhan otot yang berulang setelah aktivitas dan
membaik setelah istirahat. Tersering menyerang otot-otot mata dengan
manifestasi : diplopia dan ptosis, dapat disertai kelumpuhan anggota (terutama
trisep dan ekstensor jari-jari) kelemahan / kelumpuhan otot-otot yang
dipersarafi oleh nervi cranialis, dapat pula mengenai otot-otot pernafasan.
8.1.2. Tes Klinik Sederhana
Myasthenia gravis (MG) sulit di diagnosis karena kelemahan otot juga
merupakan gejala dari berbagai macam penyakit lainnya, namun ketika
seseorang dicurigai sebagai penderita Myasthenia gravis (MG) untuk itu di
perlukan pemeriksaan yang teliti dan pemeriksaan penunjang yang dapat
memastikan apakah seorang pasien benar-benar menderita Myasthenia gravis
(MG). hasil negative dari pemeriksaan-pemeriksaan tersebut tidak
menyingkirkan kemungkinan myasthenia gravis (MG). Pemeriksaan dan
penunjang tersebut antara lain :
 Tes Wartenberg : Penderita diminta menatap tanpa berkedip suatu benda
yang terletak di atas bidang kedua mata selama > 30 detik. Pada penderita
Miastenia Gravis kelopak mata yang terkena akan menunjukkan ptosis.
 Tes Pita Suara : Dilakukan dengan menyebutkan angka 1 sampai 100, jika
positif maka suara akan semakin mengecil.(4)
8.1.3. Tes Farmakologi
Untuk memastikan diagnosis Miastenia Gravis, dapat dilakukan beberapa tes
farmakologi antara lain :

1. Uji Tensilon (edrophonium chloride), untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg


tensilon secara intravena, bila tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi
sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera sesudah tensilon
disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya
kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar
disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap.
Page | 10
Pada uiji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat
seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat.
2. Uji Prostigmin (neostigmin), pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg
prostigmin merhylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula
atropin ¼ atau ½ mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia
gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau
kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.
3. Uji Kinin, diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam
kemudian diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila
kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti
ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat. Untuk uji ini,
sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik
tidak bertambah berat.

8.2.Pemeriksaan Penunjang Diagnosis


8.2.1. Pemeriksaan Laboratorium

 Anti-asetilkolin reseptor antibodi


Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu
miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80%
dari penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan
miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor
antibodi yang positif. Pada pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering kali
terjadi false positive anti-AChR antibody. Rata-rata titer antibody pada
pemeriksaan anti-asetilkolin reseptor antibody, yang dilakukan oleh Tidall, di
sampaikan pada tabel berikut :

Page | 11
Osserman Class Mean antibody Titer Percent Positive
R 0.79 24
I 2.17 55
IIA 49.8 80
IIB 57.9 100
III 78.5 100
IV 205.3 89
Tabel 1. Prevalensi dan Titer Anti-AChR Ab pada Pasien Miastenia Gravis

Pada tabel ini menunjukkan bahwa titer antibodi lebih tinggi pada penderita
miastenia gravis dalam kondisi yang parah, walaupun titer tersebut tidak dapat
digunakan untuk memprediksikan derajat penyakit miastenia gravis.

 Antistriated muscle (anti-SM) antibody


Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes
ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma
dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih
dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.

 Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.


Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR
Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk
anti-MuSK Ab.

 Antistriational antibodies
Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya
antibody yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot
jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin
dan ryanodine (RyR). Antibody ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma
dengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody
merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda
dengan miastenia gravis.

Page | 12
8.2.2. Imaging
 Chest x-ray (foto roentgen thorak), dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior
dan lateral. Pada roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu
massa pada bagian anterior mediastinum.

Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya thymoma
ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan untuk
mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada
penderita dengan usia tua.

MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin.
MRI dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan
dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada
saraf otak.

8.2.3. Pendekatan Elektrodiagnostik


Pendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi
neuromuscular melalui 2 teknik :
 Repetitive Nerve Stimulation (RNS), pada penderita miastenia gravis terdapat
penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS tidak terdapat
adanya suatu potensial aksi.

Page | 13
Gambar 2.stimulasi berulang saraf dari subjek kontrol normal (A) dan
pasien dengan myasthenia gravis (B) menggambarkan suatu klasik
decremental respon. Tanggapan yang diperoleh dengan rangsangan
berulang pada saraf ulnar pada 3 Hz, rekaman dari digiti minimi otot. (C)
Sebuah penurunan menonjol terlihat pada pasien lain dengan MG.
Membandingkan amplitudo yang pertamapotensial dengan potensi
keempat (panah), ada 22 penurunan 24%. (D) Segera setelah 30 detik dari
latihan, penurunan tersebutsekarang jauh lebih sedikit ('' perbaikan
penurunan tersebut''). (E) Empat menit setelah latihan penurunan tersebut
kini memburuk (32%) dibandingkan dengan istirahat dasar (kelelahan
postactivation).

 Single-fiber Electromyography (SFEMG), menggunakan jarum single-fiber,


yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita. SFEMG
dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada interval interpotensial diantara
2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber
density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh
jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada
neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density yang normal.

IX. DIFRENSIAL DIAGNOSIS(4)


1. Sindrom Lambert-Eaton/sindrom miastenik (autoantibody terhadap jaras kalsium
pada terminal saraf motorik presinaptik) mengurangi pelepasan ACh dari ujung saraf;
seringkali berkaitan dengan karsinoma bronkus (small-sell carcinoma). Gambaran
kliniknya berbeda dengan miastenia gravis. Pada umumnya penderita mengalami
kelemahan otot-otot proksimal tanpa disertai atrofi, gejala-gejala orofaringeal dan
ocular tidak mencolok, dan reflex tendon menurun atau negative. Sering kali
penderita mengeluh mulutnya kering.

Page | 14
2. Neurastenia—kelemahan/keletihan tanpa kelainan organic yang mendasarinya.
3. Penisilamin dapat menyebabkan MG; D-penisilamin digunakan untuk mengobati
arthritis rheumatoid, penyakit Wilson, dan sistinuria. Setelah menggunakan beberapa
bulan, penderita dapat mengalami miastenia gravis dan membaik dalam waktu
beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah menghentikan obat.
4. Botulism—suatu bentuk keracunan makanan. Toksin Clostridium botulinum
menyebabkan botulism. Paling seringterjadi akibat makanan kaleng yang tidak
diproduksi secara benar dan tercemar oleh bakteri klostridia. Toksin matolinum
menimbulkan efek mematikan dengan menghambat pelepasan ACh dari terminal
button sebagai respon terhadap potensial aksi neuron motorik. Ketika dikonsumsi,
toksin tersebut menghambat berespons impuls saraf. Kematian disebabkan oleh
kegagalan pernafasan akibat ketidak mampuan diafragma berkontraksi.
5. Paralisis Periodik. Kelemahan anggota gerak secara akut. Paralisis Periodik dapat
mengenai anak dan dewasa muda, sering serangan pertama pada usia menjelang 16
tahun. Serangan dapat terjadi berulang-ulang, tidak mengenai otot-otot cranial dan
otot pernafasan. Gangguan pada ion kalium (hipokalemia yang tersering).
Kelumpuhan keempat anggota gerak yang bersifat flaksid. Mutlak mengenaik

Page | 15
motorik serta timbul secara berkala. Patofisiologi belum jelas tetapi secara klinis
berhubungan dengan elektrolit kalium.
6. Oftalmiplegia eksternal yang progresif—dijumpai pada kelainan mitokondria yang
jarang yang dapat dideteksi dengan biopsy otot.

X. PENATALAKSANAAN(4)(8)(9)(11)
Tujuan pengobatan myasthenia gravis (MG) adalah untuk mencapai tiga tujuan penting:
1. Transmisi neuromuskuler yang optimal
2. Mengurangi atau menetralisir konsekuensi dari reaksi autoimun, dan
3. Memodifikasi riwayat alami myasthenia gravis (MG) dengan menginduksi remisi,
didefinisikan sebagai kondisi permanen hilangnya gejala tanpa pengobatan.
AChE inhibitor dan terapi imunomodulasi adalah pengobatan yang paling
diandalkan. Pada manifestasi klinis yang ringan, inhibitor AChE pada awalnya
digunakan. Kebanyakan pasien dengan MG umum membutuhkan terapi imunomodulasi
tambahan.
10.1. Terapi Jangka Pendek untuk Intervensi Keadaan Akut
a. Plasmaferesis (Plasma Exchange)
Plasmaferesis terbukti efektif untuk terapi jangka pendek pada pasien MG dengan
eksaserbasi akut. Pada plasmaferesi, dilakukan penggantian darah dengan sel
darah merah, sehingga plasma dibuang dan diganti dengan suplemen, yaitu human
albumin dan larutan normal salin.
Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif. Respon
dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. PE paling efektif digunakan pada
situasi dimana terapi jangka pendek yang menguntungkan menjadi prioritas. Terapi
ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami masa krisis.
PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani thymektomi atau pasien
yang kesulitan menjalani periode postoperative. Belum ada regimen standar untuk
terapi ini, tetapi banyak pusat kesehatan yang mengganti sekitar satu volume plasma
tiap kali terapi untuk 5 atau 6 kali terapi setiap hari. Albumin (5%) dengan larutan
salin yang disuplementasikan dengan kalsium dan natrium dapat digunakan untuk
replacement. Efek PE akan muncul pada 24 jam pertama dan dapat bertahan hingga
lebih dari 10 minggu. Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadinya

Page | 16
pergeseran cairan selama pertukaran berlangsung. Terjadi retensi kalsium,
magnesium, dan natrium yang dpat menimbulkan terjadinya hipotensi.
Trombositopenia dan perubahan pada berbagai faktor pembekuan darah dapat terjadi
pada terapi PE berulang. Tetapi hal itu bukan merupakan suatu keadaan yang dapat
dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan pemberian fresh-frozen plasma tidak
diperlukan.
b. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
Mekanisme kerja pada pemberian IVIg gamma globulin adalah mengurangi
kemotaksis atau aktivitas makrofag.Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG
adalah complement-activating aggregates yang relatif aman untuk diberikan secara
intravena. Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG
diperkirakan mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari titer antibody tidak
dapat dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat
penurunan dari titer antibodi. Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar 3-4
hari setelah memulai terapi. IVIG diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan
terapi PE, karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat dengan durasi yang
hanya beberapa minggu. Tetapi berdasarkan pengalaman dan beberapa data, tidak
terdapat respon yang sama antara terapi PE dengan IVIG, sehingga banyak pusat
kesehatan yang tidak menggunakan IVIG sebagai terapi awal untuk pasien dalam
kondisi krisis. Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama,
dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki keuntungan
klinis berupa penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga
15 hari sejak dilakukan pemasangan infus. Efek samping dari terapi dengan
menggunakan IVIG adalah nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual selama
pemasangan infus, sehingga tetesan infus menjadi lebih lambat. Flulike symdrome
seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada
24 jam pertama.
c. Intravenous Methylprednisolone (IVMp)
IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak ada respon,
maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Jika respon masih juga tidak ada,
maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien
menunjukkan respon terhadap IVMp pada terapi kedua, sedangkan 2 pasien lainnya
menunjukkan respon pada terapi ketiga. Efek maksimal tercapai dalam waktu sekitar
Page | 17
1 minggu setelah terapi. Penggunaan IVMp pada keadaan krisisakan dipertimbangkan
apabila terpai lain gagal atau tidak dapat digunakan.
10.2. Pengobatan Farmakologi Jangka Panjang
Menurut Lewis (1995) terapi jangka panjang untuk Intervensi Keadaan Akut adalah
sebagai berikut :
 Piridostigmin tablet 60 mg (myastignin)
Dosis awal 4 x 15 mg (1/4 tablet), setelah 2 hari dapat ditingkatkan 4 x 30 tablet mg;
jika perlu dapat ditingkatkan menjadi 4 x60 mg. dosis maksimum 6 tablet/hari (360
mg/hari). Jika tidak berespon dapat diberikan kortikosteroid ataupun azathioprine.
Bila usia pasien <45 tahun dengan AChR+, dapat dipertimbangkan timektomi dini.
 Kortikosteroid (prednisolon)
Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah untuk
pengobatan miastenia gravis. Respon terhadap pengobatan kortikosteroid mulai
tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi. Durasi kerja kortikosteroid
dapat berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3 bulan. Kortikosteroid
memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun dan efek terapi yang pasti
terhadap miastenia gravis masih belum diketahui. Koortikosteroid diperkirakan
memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan pada fase proliferasi dari sel B. Sel t
serta antigen-presenting cell yang teraktivasi diperkirakan memiliki peran yang
menguntungkan dalam memposisikan kortikosteroid di tempat kelainan imun pada
miastenia gravis. Pasien yang berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami
penurunan dari titer antibodinya. Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan
gejala klinis yang sangat menggangu, yang tidak dapat di kontrol dengan
antikolinesterase. Dosis maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari
kemudian dilakukan tapering pada pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis
diatas 30 mg setiap harinya, aka timbul efek samping berupa osteoporosis, diabetes,
dan komplikasi obesitas serta hipertensi.
 Azathioprine
Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara relatif
terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi. Azathioprine dapat
dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin yang memiliki efek
terhadap penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan RNA. Azathioprine
diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3 mg/kgbb/hari. Pasien diberikan
Page | 18
dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis optimal tercapai. Azathioprine
merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan
secara umum memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat
imunosupresif lainnya. Respon Azathioprine sangant lambat, dengan respon
maksimal didapatkan dalam 12-36 bulan. Kekambuhan dilaporkan terjadi pada
sekitar 50% kasus, kecuali penggunaannya juga dikombinasikan dengan obat
imunomodulasi yang lain.
 Cyclosporine
Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel T-
helper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada produksi
antibodi. Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari terbagi dalam
dua atau tiga dosis. Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat dibandingkan
azathioprine. Cyclosporine dapat menimbulkan efek samping berupa nefrotoksisitas
dan hipertensi.
10.3. Terapi Non Farmakologi
10.3.1. Thymectomy (Surgical Care)
Timus memproduksi T-limgosit, yang berperan dalam system imun.
Namun pada penderita MG, kelenjar timus dapat mengalami peningkatan
jumlah sel (hyperplasia timus) atau tumor (timoma), sehingga merangsang
pembentukan antibody berlebihan. Tindakan timektomi terbukti memperbaiki
kondisi klinis pasien MG. Thymectomy telah digunakan untuk mengobati
pasien dengan miastenia gravis sejak tahun 1940 dan untuk pengobatan
thymoma denga atau tanpa miastenia gravis sejak awal tahun 1900. Telah
banyak dilakukan penelitian tentang hubungan antara kelenjar timus dengan
kejadian miastenia gravis. Germinal center hiperplasia timus dianggap sebagai
penyebab yang mungkin bertanggungjawab terhadap kejadian miastenia
gravis. Penelitian terbaru menyebutkan bahwa terdapat faktor lain sehingga
timus kemungkinan berpengaruh terhadap perkembangan dan inisiasi
imunologi pada miastenia gravis. Tujuan neurologi utama dari Thymectomi
ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari kelemahan pasien,
mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah
kesembuhan yang permanen dari pasien. Banyak ahli saraf memiliki

Page | 19
pengalaman meyakinkan bahwa thymektomi memiliki peranan yang penting
untuk terapi miastenia gravis, walaupun kentungannya bervariasi, sulit untuk
dijelaskan dan masih tidak dapat dibuktikan oleh standar yang seksama.
Secara umum, kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam waktu
satu tahun setelah thymektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi
yang permanen (tidak ada lagi kelemahan serta obat-obatan). Beberapa ahli
percaya besarnya angka remisi setelah pembedahan adalah antara 20-40%
tergantung dari jenis thymektomi yang dilakukan. Ahli lainnya percaya bahwa
remisi yang tergantung dari semakin banyaknya prosedur ekstensif adalah
antara 40-60% lima hingga sepuluh tahun setelah pembedahan.
10.3.2. Terapi Fisik dan Okupasi
Adaptasi perubahan gaya hidup ini akan bervariasi untuk setiap individu
berdasarkan tipe kepribadian. Pasien mungkin menemukan diri mereka
membutuhkan alat bantu untuk berjalan atau peralatan adaptif untuk aktivitas-
aktivitas. Terapi fisik dan akupasi dapat menjadi instrument untuk latihan
dalam menilai kebutuhan dan fasilitas yang dibutuhkan.
Metode Latihan yang tersedia untuk pasien MG :
1. Berjalan : mulailah pada permukaan datar, kecepatan yang nyaman,
lingkungan yang terkendali (jalanan yang sepi, tidak ada yang ekstrim)
2. Ergometer Stationery : Kedua sepeda tegak dan berbaring dspst
digunakan: tenaga dapat diukur dan dikendalikan. Ekstemitas atas juga
dapat digunakan
3. Latihan Berat : gunakan alat yang aman dan tidak lebih dari 3 set per
latihan.
4. Berenang : berenang dengan kedalaman dangkal dan selalu ditemani
pelatih. Berenang jangan pada suhu yang ekstrim karena dapat
menyebabkan kelelahan.
10.3.3. Stress Management
Untuk pasien miastenia gravis, stress adalah salah satu faktor yang dapat
memperbutuk penyakit dan bahaya mempengaruhi pada pengendalian
penyakit.

Page | 20
10.3.4. Edukasi Pasien
Tujuan utama dari edukasi untuk penderita MG harus focus pada
bagaimana efek dampak kelelahan kinerja hidup seseorang sehari-hari.
Kegiatan-kegiatan yang memanfaatkan otot yang lebih besar akan
mengeluarkan lebih banyak energy daripada kegiatan yang menggunakan
yang lebih kecil. Oleh karena itu, orang akan berharap lebih cepat onset dan
periode pemulihan dengan tugas seperti pekerjaan rumah atau menyeapkan
makanan ringan. Beberapa saran khusus untuk membentuk berbagai pekerjaan
sehari-hari yang berpotensi mengurangi tenaga dan kelelahan.

XI. KOMPLIKASI(3)(4)
Komplikasi yang dapat terjadi pada miastenia gravis, yaitu krisis miastenik dan
krisis kolinergik. Krisis miastenik terjadi akibat perburukan penyakit, ditandai dengan
gejala memberat dan sering disertai distres dan kegagalan napas. Krisis kolinergik terjadi
akibat dosis penghambat kolinesterase berlebihan seperti neostigmin, piridostigmin, dan
physostigmine. Gejala berupa gejala kolinergik, seperti diare, kram abdominal,
hipersalivasi, lakrimasi, inkontinensia urin, permotilitas saluran gastrointestinal, emesis,
miosis. Krisis kolinergik dapat menyebabkan bronkospasme, seperti wheezing,
bronchorrhea, kegagalan napas, diaforesis, dan sianosis.

XII. PROGNOSIS(10)
Kesembuhan pasien sangat bervariasi, dapat terjadi remisi total hingga kematian.
Dengan penanganan yang baik dan terpadu, penderita MG memiliki tingkat kesembuhan
yang tinggi. Perlu diingat MG tidak dapat disembuhkan secara sempurna. Namun, tanda
gejala yang ditimbulkan dapat dihindari atau / dikurangi. Miastenia gravis anak-anak
memiliki prognosis lebih baik. Banyak kasus terkontrol dan remisi sempurna tanpa
pengobatan, tetapi membutuhkan perawatan jangka panjang pada pasien usia lebih dari 3
tahun.

Page | 21
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku Saku Harrison Neurologi ; ahli bahasa, Djuantoro D; editor,Andy Andreas,


Tangerang Selatan : Karisma Publishing Group, 2013
2. Fisiologi Manusia:dari sel ke system / Lauralee Sherwood ; ahli bahasa, Braham U.
Pendit ; editor edisi bahasa Indonesia, Nella Yesdelita.—Ed.6.—Jakarta : EGC, 2011
3. Buku Ajar Neurologi Klinis ; editor, Harsono, Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press, 2011
4. Kapita Selekta Neurologi; editor Harsono, Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press, 2009
5. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit / Sylvia Andreson Price, Lorraine
McCarty Wilson ; ahli bahasa, Brahm U. Pendit …[et.al.] ; editor edisi bahasa
Indonesia, Huriawati Hartanto …[et.al.]. –Ed.6.—Jakarta : EGC, 2005.
6. Newton E. “Myasthenia Gravis”, eMedicine Journal, December 2001
7. James F.H. Epidemilogy and Pathophysiology. Dalam Jr.M.D,penyunting.
Myasthenia Gravis A Manual For Health Care Provider. Edisi ke1.Amerika,2008;8-
14
8. John C. Keesey, MD. Clinical Evaluation and Management of Myasthenia Gravis.
Dalam:Wiley,penyunting. Muscle and Nerve. Edisi ke -29. USA: Department of
Neurology, UCLA School of Medicine, Los Angeles. California, USA,2004;h.484-
505.
9. Howard, JF (2008). Myasthenia Gravis, a Summary. Available at :
http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia_gravis/detail_myasthenia_gravis.htm
. Accessed : March 22, 2008.
10. Sri-udomkajorn S, Panichai P, Liumsuwan S. Childhood myasthenia gravis: Clinical
features and outcomes. J Medical Assoc Thailand 2011;94. Suppl. 3: S152-S157.
11. Panduan praktis diagnosis & tata laksana penyakit saraf / penulis, George Dewanto
… [et al.]. – Jakarta : EGC, 2009. Ix,212hlm

Page | 22

Anda mungkin juga menyukai