Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

Tujuan dari skrining bayi baru lahir adalah untuk mengetahui kelainan
pada anak sedini mungkin dimana gejala klinis belum muncul, memberikan
intervensi sedini mungkin untuk mencegah kecacatan atau kematian bayi yang
pada akhirnya dapat mengoptimalkan potensi tumbuh kembang anak. WHO
telah merekomendasikan pelaksanaan skrining bayi baru lahir pada setiap anak
sejak tahun 1968. Pada saat ini di negara maju, dengan alat yang canggih,
Tandem Mass Spectrometry, dari setetes darah telah bisa dideteksi lebih dari 30
kelainan bawaan metabolik, endokrin dan lain-lain pada bayi baru lahir. Sebagian
besar negara-negara di dunia telah melakukan skrining bayi baru lahir secara
rutin sebagai pelayanan kesehatan mendasar terhadap setiap bayi baru lahir.

Di Amerika Serikat, skrining bayi baru lahir telah menjadi standar penting
program kesehatan masyarakat dan sudah dimulai sejak 40 tahun yang lalu.
Negara telah mewajibkan melakukan skrining kepada seluruh bayi baru lahir
untuk mengetahui adanya kelainan, karena seringkali bayi baru lahir tampak
normal dan tidak terdiagnosis dan dikenali setelah timbul gejala khas dan sudah
terjadi dampak permanen. Untuk mencapai skrining bayi baru lahir sebagai
program nasional diperlukan Sebagian besar negara di dunia, skrining pada bayi
baru lahir sudah dilakukan secara rutin. Di Amerika dan Eropa mulai tahun 1974,
Hongkong sejak 1978, dan Inggris sejak 1982. Sementara untuk negara-negara
ASEAN, Singapura sudah memulai sejak 1982, Malaysia sejak 1991, disusul
Thailand dan Philipina pada tahun 1992 dan 1996

Kebijakan pemerintah, komitmen petugas kesehatan/profesi terkait,


Integrasi dengan sistem pelayanan kesehatan, kerjasama dengan sektor lain
( Asuransi kesehatan ) serta pemberian informasi yang efektif ke seluruh lapisan
masyarakat mengenai pentingnya skrining bayi baru lahir sebagai upaya preventif
untuk mengoptimalkan tumbuh kembang anak dan memperbaiki kualitas hidup
generasi penerus bangsa. 1,2

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

a. Definisi
Skrining atau uji saring pada bayi baru lahir (Neonatal Screening) adalah
istilah yang menggambarkan berbagai cara tes yang dilakukan pada beberapa
hari pertama kehidupan bayi yang dapat memisahkan bayi-bayi yang mungkin
menderita kelainan dari bayi-bayi yang tidak menderita kelainan. 1,2

b. Epidemiologi

Dr. Budihardja menjelaskan berdasarkan dari data rekam medis tahun 1995 di

2
RSCM dan RSHS terhadap 134 anak, menunjukkan bahwa lebih dari tujuh puluh
(70) persen penderita didiagnosis setelah umur satu (1) tahun dan hanya dua
koma tiga (2,3) persen dibawah 3 bulan, dimana akibat dari penyakit ini adalah
gangguan pertumbuhan dan mental terbelakang pada penderita. 2,3

c. Fungsi Skrining Pada Bayi Baru Lahir


1. Segi medis:

1. Saat bayi baru lahir bayi bisa saja tampak seperti bayi normal karena dalam
kandungan bayi terlindungi oleh hormon ibu

2. Bila ditunggu sampai tampak gejala-gejala maka dapat diartikan telah


terjadi hambatan perkembangan otak, sehingga terdapat retardasi mental
dan keterlambatan pertumbuhan

3. Masa bayi adalah periode kritis perkembangan otak anak dimana


perkembangan otak bersifat irreversible

4. Penanganan dengan terapi yang terlambat dapat menurunkan point IQ anak,


dimana keterlambatan terapi 1 bulan dapat menurunkan 1 point IQ anak

2. Kondisi dunia dan Indonesia

a) Indonesia terikat hukum-hukum yang menjamin hak dan


perlindungan pada anak seperti yang terdapat pada Undang-
undangkesehatan, Konvensi hak anak dan Undang- undang perlindungan
Anak No. 23 tahun 2002.

b) Negara-negara tetangga sudah melaksanakan skrining bayi baru


lahir sebagai program nasional

c) Upaya penurunan angka kematian bayi mengakibatkan


peningkatan kelangsungan hidup anak yang harus diikuti oleh perbaikan
kualitas hidup anak. 3

d. Jenis Tes Skrining pada bayi baru lahir

3
Beberapa tes skrining pada bayi baru lahir antara lain
1. Tes Skrining Hipotiroid Kongenital
2. Tes Skrining Penyakit Fenilketonuria
3. Tes Skrining Gangguan Pendengaran
4. Tes Skrining Galaktosemia

1) Tes Skrining Hipotiroid Kongenital


Hipotiroid artinya kekurangan hormon tiroid, yaitu hormon yang dikeluarkan
oleh kelenjar tiroid atau kelenjar gondok. Hipotiroid kongenital adalah
kekurangan hormon tiroid sejak dalam kandungan. Kelenjar tiroid berfungsi
dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Jika kelenjar ini tidak ada atau
tidak berkembang sempurna, maka anak tidak dapat tumbuh dan berkembang
dengan baik. Hipotiroid kongenital merupakan salah satu penyebab retardasi
mental yang dapat dicegah bila ditemukan dan diobati sebelum usia 1 bulan.
Gangguan penyakit ini baru akan nampak manifestasinya setelah anak
berumur kurang lebih satu tahun, sehingga diperlukan skrining hipotiroid
pada setiap bayi baru lahir.

 Waktu Pemeriksaan
Biasanya skiring dilakukan sebelum meninggalkan rumah sakit, atau
sebaiknya sebelum bayi berusia 7 hari.
 Cara Pemeriksaan
a) Mengambil darah dari salah satu tumit bayi. Darah tersebut diteteskan
pada kertas filter untuk kemudian dikirim ke laboratorium. Hasil
pemeriksaan bisa menunjukkan negative atau postif.
b) Bila hasilnya negatif, kemungkinan besar bayi tidak menderita
penyakit tersebut.
a) Bila hasilnya positif, orang tua akan dihubungi oleh pihak rumah
sakit untuk pemeriksaan selanjutnya, guna meyakinkan apakah hasil
tes pertama memang benar positif. Kalaupun hasilnya benar positif,
dokter akan memberitahu langkah apa yang perlu dilakukan.
 Tes Skrining ini tidak ada efek samping yang ditimbulkan pada bayi, bayi
hanya merasakan sakit saat pengambilan darah.

4
 Tes skrining dapat dilakukan oleh pihak laboratorium di rumah sakit
tempat bayi dilahirkan. Atau membawa bayi ke laboraturium yang
menyediakan pemeriksaan ini.

2. Tes Skrining Penyakit Fenilketonuria


 Pemeriksaan ini merupakan tes skrining yang dikerjakan untuk
mendeteksi penyakit fenilketonuria ( PKU : Phenylketonuria ), yaitu
suatu kelainan pada metabolisme protein. Jika PKU tidak terdiagnosis
dalam usia neonatal, penyakit ini dapat menimbulkan retardasi mental
( Keterbelakangan mental ). PKU ini ditemukan pada 1 bayi diantara
10.000 bayi. Tes ini terdiri atas tindakan untuk mendapatkan sampel darah
dengan cara menusuk tumit bayi sehingga tiga buah lingkaran pada kertas
yang sudah diimpregnasi secara khusus dapat terisi.
 Karena darah yang diperlukan dari penusukan tumit tersebut cukup
banyak, prosedur pemeriksaan ini harus dikerjakan dengan hati- hati dan
sebelum ditusuk, kaki bayi harus dihangatkan serta diurut dahulu.
 Tumit yang sudah ditusuk tidak boleh dipijat dengan maksud untuk
memperlancar pengeluaran darah, karena pemijatan ini akan
menyebarluaskan perdarahan ke dalam jaringan. Tes tersebut mungkin
harus ditunda jika bayi terlambat mendapatkan air susu atau sudah
memperoleh antibiotik.

5
Gambar 1. Kartu yang digunakan untuk mengumpulkan darah bagi pemeriksaan
Skrining Penyakit Fenilketonuria ( PKU )

Gambar 2. Menusuk tumit bayi untuk mendapatkan darah.

3. Tes Skrining Gangguan Pendengaran


 Tujuan dari pemeriksaan ini untuk mendeteksi adanya gangguan
pendengaran, tes pendengaran pada bayi baru lahir sangat dianjurkan.
Banyak metode deteksi atau skrining pendengaran salah satunya dengan
melakukan pemeriksaan OAE ( OtoAcoustic Emission ).
 OAE atau OtoAcoustic Emission adalah gelombang yang dihasilkan oleh
sel rambut luar ( Outer Hair Cells Cochlea ) dari rumah siput, setelah
diberi stimulus. Munculnya gelombang ini sebagai indikasi bahwa rumah

6
siput (cochlea) bekerja dengan baik, yang berhubungan langsung dengan
proses mendengar.
 Skrining pada semua bayi untuk mendeteksi gangguan pendengaran
memang tanpa melihat faktor resiko dan gejalanya. Namun, para bayi
yang memiliki faktor resiko diharapkan dilakukan skrining gangguan
pendengaran.
Faktor resiko gangguan pendengaran antara lain :
a. Usia 0 - 28 hari ( Neonatus )
a) Riwayat tuli/gangguan pendengaran dalam keluarga, yang diduga sejak
lahir ( Kongenital )
b) Infeksi selama kehamilan ( Toksoplasmosisi, rubella, cytomegalovirus,
herpes, sifilis )
c) Kelainan anatomi craniofacial
d) Hiperbilirubinemia ( Bayi kuning )
e) Berat lahir kurang dari 1500 gram
f) Meningitis bakterial
g) Nilai skor apgar rendah, yaitu 0-3 pada menit 5 dan 0-6 pada menit ke 10
h) Distres nafas
i) Penggunaan ventilator > 10 hari
j) Mendapat terapi yang memiliki efek samping ototoksis selama > 5 hari
k) Cacat fisik yang berkaitan dengan sindroma tertentu ( Sindroma down,
sindroma waardenburg )

b. Usia 29 – 24 bulan
a) Kecurigaan orang tua adanya gangguan pendengaran, bicara,
bahasa, dan keterlambatan perkembangan
b) Adanya riwayat salah satu resiko di atas selama neonatus
c) Cedera kepala dengan fraktur tulang temporal
a) Otitis Media Efusi (OME) persisten > 3 bln
b) Riwayat infeksi yang berkaitan dengan tuli sensorineural
( SNHL ) seperti menengitis, parotitis, campak
c) Penyakit degeneratif atau demielinisasi

 Pemeriksaan dilakukan di ruangan yang tenang, tidak invasif dan tidak


memerlukan sedasi. Dengan memasukkan sumbat kecil ( Probe ) yang
sesuai ke telinga bayi atau anak selama beberapa detik. Probe dilengkapi
dengan speaker dan mikrofon mini akan menghantarkan stimulus ke
dalam liang telinga akan di respons oleh cochlea, respon cochlea akan

7
ditangkap kembali oleh miktofon mini dalam probe dan diterjemahkan
oleh alat OAE.
 Hasil dari OAE berupa pass atau reffer. Hasil pass menunjukkan cochlea
berfungsi baik, sedangkan reffer menunjukkan fungsi sel rambut luar
cochlea tidak baik atau terdapat hambatan dalam hantaran suara menuju
cochlea yang dapat disebabkan karena masih adanya kotoran di liang
telinga ataupun kolaps- nya liang telinga si bayi yang baru lahir.
 Untuk itu bila hasil reffer maka dianjurkan dilakukan pemeriksaan OAE
ulang saat usia 1 bulan kemudian. Jika masih tetap reffer perlu segera
dilanjutkan dengan pemeriksaan yang lebih lanjut seperti ABR ( Auditory
Brainstem Response ) dan / atau ASSR ( Auditory Steady State Response
), Tympanometry dan VRA ( Visual Reinforcement Audiometry ).

4. Tes Skrining Galaktosemia


 Sebuah tes galaktosemia adalah tes darah (Dari tumit bayi) atau tes urine
untuk memeriksa tiga enzim yang dibutuhkan tubuh untuk mengubah gula
galaktosa yang ditemukan dalam susu dan produk susu-menjadi glukosa .
 Ketiga enzim itu antara lain :
a) Enzim Maltase berfungsi untuk mengubah Maltosa menjadi Glukosa
a) Enzim Laktase berfungsi untuk mengubah Laktosa menjadi Glukosa
dan Galaktosa
b) Enzim Sukrase berfungsi untuk mengubah Sukrosa menjadi Glukosa
dan Fruktosa
 Seseorang dengan galaktosemia tidak memiliki salah satu dari enzim-
enzim ini. Hal ini menyebabkan tingkat tinggi galaktosa dalam darah atau
urin.
 Galaktosemia biasanya pertama kali terdeteksi melalui pemeriksaan baru
lahir atau NBS. Anak yang terkena Galaktosemia, dampaknya dapat
memiliki serius, efek ireversibel atau bahkan mati dalam beberapa hari
sejak lahir. Bayi yang baru lahir harus diskrining untuk gangguan
metabolisme tanpa penundaan.
 Galaktosemia dapat dideteksi melalui NBS sebelum mengkonsumsi
galaktosa yang mengandung susu formula atau ASI.

8
 Deteksi gangguan melalui pemeriksaan bayi baru lahir ( NBS ) tidak
tergantung pada protein atau mencerna laktosa, sehingga harus
diidentifikasi pada spesimen pertama kecuali bayi telah ditransfusikan.
Sebuah spesimen darah bayi harus diambil sebelum transfusi.
 Ketiga enzim ini rentan terhadap kerusakan jika sampel tertunda di mail
atau terkena suhu tinggi. NBS rutin akurat untuk mendeteksi
galaktosemia.

BAB III

KESIMPULAN

Hipertensi pada anak adalah rerata tekanan darah sistolik dan/atau tekanan
darah diastolik > persentil 95 sesuai dengan jenis kelamin, usia dan tinggi badan
pada >3 kali pengukuran. Prevalensinya diperkirakan sebesar 12%. Hipertensi
diketahui merupakan salah satu faktor risiko terhadap terjadinya penyakit jantung
koroner pada orang dewasa, dan adanya hipertensi pada masa anak mungkin
berperanan dalam perkembangan dini penyakit jantung koroner tersebut.
Pengobatan hipertensi pada anak terdiri dari terapi nonfarmakologis dan terapi
farmakologis. Terapi non-farmakologis pengurangan berat badan, aktivitas fisik
yang reguler, dan modifikasi diet sedangkan terapi obat menggunakan -
Angiotensin-converting enzymes (ACE) inhibitors, penghambat reseptor-
angiotensin, penghambat reseptor-b, calcium channel blockers, dan diuretika.

9
DAFTAR PUSTAKA

1. McNiece KL, Portman RJ, 2007. Hypertension: Epidemiology and evaluation.


In: Kher KK, Schnaper HW, Makker SP, eds. Clinical Pediatric Nephrology.
London: Informa Healthcare; 461-80.
2. Shafirian M. Hypertensive Encephalopathy. Iran J Child Neurol 2012; 6(3):17.
3. Supartha M, Suarta IK, Winaya IBA. Hipertensi pada Anak. Maj Kedokt
Indon, 2009;59(5):221-30.
4. Pungky AK, Damanik MP. Hipertensi pada Anak di RS DR. Sardjito
Yogyakarta. Berita Kedokteran Masyarakat, 2006;22(3):124-7.
5. Alatas H. Masalah dan penanggulangan hipertensi pada anak. Sari Pediatri
1994; 1:88–94.
6. National High Blood Pressure Education Program Working Group on High
Blood Pressure in Children and Adolescents. The Fourth Report on the Diagnosis,
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure in Children and Adolescents.
Pediatrics. 2004; 114:555-76.
7. Riley M, Bluhm B. Hypertension in Children and Adolescents. Am Fam
Physician. 2012;85(7):693-700.
8. Luma GB, Spiotta RT. Hypertension in Children and Adolescents. Am Fam
Physician. 2006;73:1158-68.
9. Sekarwana N, Rachmadi D, Hilmanto D. Tatalaksana Hipertensi pada Anak.
IDAI. 2011. p.1-20.

10
10. Nuraini B. Risk Factor of Hypertension. J Majority, 2015;4(5):10-9.
11. Umboh A, Kasie J, Edwin J. Hubungan Antara Resistensi Insulin dan Tekanan
Darah pada Anak Obese. Sari Pediatri, 2007;8(4):289-93.
12. Haris S, Tambunan T. Hipertensi pada Sindrom Metabolik. Sari Pediatri,
2009;11(4):257-63.

11

Anda mungkin juga menyukai