Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

KONSEP PENYAKIT THYPOID

I. Konsep Penyakit Typoid


1.1 Definisi
Demam tifoid atau Typhoid Fever atau Typhus Abdominalis
adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhii
yang merupakan bakteri gram negatif berbentuk batang yang
masuk melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi
(Tapan, 2004).
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi oleh bakteri
Salmonella typhii dan bersifat endemik yang termasuk dalam
penyakit menular (Cahyono, 2010).
Demam tifoid adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella typhii (Elsevier, 2013).
Jadi, demam tifoid merupakan penyakit menular yang disebabkan
oleh bakteri gram negatif (bakteri Salmonella typhii ) yang
menurunkan sistem pertahanan tubuh dan masuk melalui
makanan dan minuman yang terkontaminasi. Aspek paling
penting dari infeksi ini adalah kemungkinan terjadinya perfusi
usus, karena organisme memasuki rongga perut sehingga
menyebabkan timbulnya peritonitis yang mengganas
2.1 Etioligi
a. Salmonella typhii
b. S. Paratyphii A, S. Paratyphii B, S. Paratyphii C.
c. S typhii atau S. paratyphii hanya ditemukan pada manusia.
d. Demam bersumber dari makanan-makanan atau air yang
dikontaminasi oleh manusia lainnya.
e. Di USA, kebanyakan kasus demam bersumber baik dari
wisatawan mancanegara atau makanan yang kebanyakan
diimpor dari luar.
Salmonella typii, Salmonella paratyphii A, Salmonella
Paratyphii B, Salmonella Paratyphii C merupakan bakteri
penyebab demam tifoid yang mampu menembus dinding usus
dan selanjutnya masuk ke dalam saluran peredaran darah dan
menyusup ke dalam sel makrofag manusia. Bakteri ini masuk
melalui air dan makanan yang terkontaminasi dari urin dan
feses yang terinfeksi dengan masa inkubasi 3-25 hari.
Pemulihan mulai terjadi pada minggu ke-empat dalam
perjalanan penyakit. Orang yang pernah menderita demam
tifoid akan memperoleh kekebalan darinya, sekaligus sebagai
karier bakteri. Jadi, orang yang pernah menderita tipus akan
menjadi orang yang menularkan tipus pada yang belum pernah
menderita tipus.

3.1 Tanda gejala


Manisfestasi klinis dari demam tifoid adalah:
1. Gejala pada anak: Inkubasi antara 5- 40 hari dengan rata-rata
10-14 hari.
2. Demam meninggi sampai akhir minggu pertama
3. Demam turun pada minggu ke empat, kecuali demam tidak
tertangani akan menyebabkan shock, stupor dan koma.
4. Ruam muncul pada hari ke 7-10 dan bertahan selama 2-3 hari.
5. Nyeri kepala
6. Nyeri perut
7. Kembung
8. Mual, muntah
9. Diare
10. Konstipasi
11. Pusing
12. Nyeri otot
13. Batuk
14. Epistaksis
15. Bradikardi
16. Lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung merah
serta tremor)
17. Hepatomegaly
18. Splenomegaly
19. Meteroismus
20. Gangguan mental berupa somnolen
21. Delirium atau spikosis
22. Dapat timbul dengan gejala yang tidak tipikal terutama pada
bayimuda sebagai penyakit demam akut disertai syok dan
hipotermia. (Sudoyo Aru, 2009)
Masa inkubasi biasanya 7-14 hari, tetapi dapat berkisar antara
3-30 hari tergantung pada besar inokulum yang tertelan:
1. Anak Usia Sekolah dan Remaja
Gejala awal demam, malaise, anokreksia, mialgia, nyeri
kepala dan nyeri perut berkembang selama 2-3 hari. Mual
dan muntah dapat menjadi tanda komplikasi, terutama jika
terjadi pada minggu kedua atau ketiga. Pada beberapa
anak terjadi kelesuan berat, batuk, dan epistaksis. Demam
yang terjadi bisa mencapai 40 derajat celsius dalam satu
minggu.
Pada minggu kedua, demam masih tinggi, anak merasa
kelelahan, anoreksia, batuk, dan gejala perut bertambah
parah. Anak tampak sangat sakit, bingung, dan lesu
disertai mengigau dan pingsan (stupor). Tanda-tanda fisik
berupa bradikardia relatif yang tidak seimbang dengan
tingginya demam. Anak mengalami hepatomegali,
splenomegali dan perut kembung dengan nyeri difus. Pada
sekitar 50% penderita demam tifoid dengan demam
enterik, terjadi ruam makulaatau makulo popular (bintik
merah) yang tampak pada hari ke tujuh sampai ke sepuluh.
Biasanya lesi mempunyai ciri tersendiri, eritmatosa
dengan diameter 1-5 mm. Lesi biasanya berkhir dalam
waktu 2 atau 3 hari. Biakan lesi 60% menghasilkan
organisme Salmonella.
2. Bayi dan balita
Pada balita dengan demam tifoid sering dijumpai diare,
yang dapat menimbulkan diagnosis gastroenteritis akut.
3. Neonatus
Demam tifoid dapat meyerang pada neonatus dalam usia
tiga hari persalinan. Gejalanya berupa muntah, diare, dan
kembung. Suhu tubuh bervariasi dapat mencapai 40,5
derajat celsius. Dapat terjadi kejang, hepatomegali,
ikterus, anoreksia, dan kehilangan berat badan.

4.1 Patofisiologi
Bakteri Salmonella typhi bersama makanan/minuman masuk
kedalam tubuh melalui mulut. Pada saat melewati lambung
dengan suasana asam (pH < 2) banyak bakteri yang mati.
Keadaan-keadaan seperti aklorhidiria, gastrektomi, pengobatan
dengan antagonis reseptor histamin H2, inhibitor pompa proton
atau antasida dalam jumlah besar, akan mengurangi dosis infeksi.
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus. Di usus
halus, bakteri melekat pada sel-sel mukosa dan kemudian
menginvasi mukosa dan menembus dinding usus, tepatnya di
ileum dan jejunum. Sel-sel M, sel epitel khusus yang melapisi
Peyer’s patch, merupakan tempat internalisasi Salmonella typhi.
Bakteri mencapai folikel limfe usus halus, mengikuti aliran ke
kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi
sistemik sampai ke jaringan RES di organ hati dan limpa.
Salmonella typhi mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit
mononuklear di dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika,
hati dan limfe. (Soedarmo, dkk, 2012).
Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi) yang
lamanya ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta
respons imun pejamu maka Salmonella typhi akan keluar dari
habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi
sistemik. Dengan cara ini organisme dapat mencapai organ
manapun, akan tetapi tempat yang disukai oeh Salmonella typhi
adalah hati, limpa, sumsum tulang belakang, kandung empedu
dan Peyer’s patch dari ileum terminal. Invasi kandung empedu
dapat terjadi baik secara langsung dari darah atau penyebaran
retrograd dari empedu. Ekskresi organisme di empedu dapat
menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja.
Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal
tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksindalam
sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga
endotoksin dari Salmonella typhi menstimulasi makrofag di
dalam hati, limpa, folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe
mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk
dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem
vaskular yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang
belakang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem
imunologik (Soedarmo, dkk, 2012).
Pada minggu pertama sakit, terjadi hiperplasia plaks Peyer. Ini
terjadi pada kelenjar limfoid usus halus. Minggu kedua terjadi
nekrosis dan pada minggu ketiga terjadi ulserasi plaks Peyer.
Pada minggu keempat terjadi penyembuhan ulkus yang dapat
menimbulkan sikatrik. Ulkus dapat menyebabkan perdarahan,
bahkan sampai perforasi usus. Selain itu hepar, kelenjar-kelenjar
mesenterial dan limpa membesar (Suriadi & Rita, 2006).
Komplikasi infeksi dapat terjadi perforasi atau perdarahan.
Kuman Salmonella typhi terutama menyerang jaringan tertentu,
yaitu jaringan atau organ limfoid seperti limpa yang membesar,
juga jaringan limfoid di usus kecil yaitu plak Peyer terserang dan
membesar. Membesarnya plak Peyer membuat jaringan ini
menjadi rapuh dan mudah rusak oleh gesekan makanan yang
melaluinya. Inilah yang menyebabkan pasien tifus harus diberikan
makanan lunak, yaitu konsistensi bubur yang melalui liang usus
tidak sampai merusak permukaan plak Peyer ini. Bila tetap rusak,
maka dinding usus setempat yang memang sudah tipis, makin
menipis, sehingga pembuluh darah ikut rusak akibat timbul
perdarahan, yang kadang-kadang cukup hebat. Bila berlangsung
terus, ada kemungkinan dinding usus itu tidak tahan dan pecah
(perforasi)., diikuti peritonitis yang dapat berakhir fatal

5.1 Pemeriksaan penunjang


1. Pemeriksaan fisis
Pemeriksaan fisis pada penderita demam tipoid dilakukan
secara berulang dan regular. Semua tanda-tanda vital
merupakan petunjuk yang relevan. Perhatian khusus harus
diberikan pada pemeriksaan jasmani harian yang kadang-
kadang harus dilakukan lebih sering sampai kepastian
diagnosis didapat dan respon yang diperkirakan terhadap
pengobatan penyakitnya sudah tercapai. Begitu juga dilakukan
pemeriksaan secara teliti pada kulit, kelenjar limfe, mata, dasar
kuku, sistem kardiovaskuler, dada, abdomen, sistem
musculoskeletal dan sistem saraf.
2. Pemeriksaan laboratorium
a. Hematologi
Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi
penyulit perdarahan usus.
b. Kimia darah
Pemeriksaan elektrolit, kadar glukosa, blood urea nitrogen
dan kreatinin harus dilakukan.
c. Imunorologi
Widal : pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk
mendeteksi adanya antibody di dalam darah terhadap
antigen kuman Salmonella typhi. Hasil positif dinytakan
dengan adanya aglutinasi. Hasil negative palsu dapat
disebabkan oleh karena antara lain penderita sudah
mendapatkan terapi antibiotika, waktu pengambilan darah
kurang dari 1 minggu sakit, keadaan umum pasien buruk,
dan adanya penyakit imunologik lain.
d. Urinalis
Protein: bervariasi dari negative sampai positif (akibat
demam).
Leukosit dan eritrosit normal : bila meningkat kemungkinan
terjadi penyulit
e. Mikrobiologi
Sediaan apus dan kultur dari tenggorok, uretra, anus, serviks
dan vagina harus dibuat dalam situasi yang tepat.
Pemeriksaan sputum diperlukan untuk pasien yang demam
disertai batuk-batuk. Pemeriksaan kultur darah dan kultur
cairan abnormal serta urin diperlukan untuk mengetahui
komplikasi yang muncul.
f. Radiologi
Pembuatan foto toraks biasanya merupakan bagian dari
pemeriksaan untuk setiap penyakit demam yang signifikan.
g. Biologi molekuler
Dengan PCR (Polymerase Chain Reaction), dilakukan
dengan perbanyakan DNA kuman yang kemudian
diidentifikasi dengan DNA probe yang spesifik. Kelebihan
uji ini dapat mendeteksi kuman yang terdapat dalam jumlah
sedikit (sensifitas tinggi) serta kekhasan (spesifitas) yang
tinggi pula. Specimen yang digunakan dapat berupa darah,
urin, cairan tubuh lainnya serta jaringan biopsi.

6.1 Komplikasi
Komplikasi menurut Mansjoer, A.,(2001: 424) dapat dibagi
dalam
a. Komplikasi intestinal
1) Perdarahan usus
2) Perforasi usus
3) Ileus paralitik
b. Komplikasi ekstrointestinal
1) Komplikasi kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi perifer,
miokarditis dan tromboflebitis
2) Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia
3) Komplikasi paru: pneumonia, empisema dan pleuritis
4) Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan
kolelitiasis
5) Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pleuronefritis,
perinefritis
6) Komplikasi tulang: asteomielitis, periostitiss, spondilitis,
arthritis
7) Komplikasi neuropsikiatrik delirium meningitis
7.1 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada demam tifoid adalah sebagai berikut:
1. Perawatan
Pasien dengan demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit
untuk isolasi, observasi dan pengobatan. Pasien harus tirah
baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau
kurang lebih 14 hari. Mobilisasi pasien harus dilakukan secara
bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
Pasien dengan kesadaran yang menurun, posisi tubuhnya harus
di ubah – ubah pada waktu tertentu untuk menghindari
komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus. Defekasi dan
buang air kecil perlu di perhatikan karena kadang – kadang
terjadi obstipasi dan retensi air kemih.
2. Diet
Makanan yang dikonsumsi adalah makanan lunak dan tidak
banyak serat.
3. Obat
a. Obat - obat antimikroba yang sering dipergunakan ialah:
1) Kloramfenikol
Menurut Damin Sumardjo, 2009. Kloramfenikol atau
kloramisetin adalah antibiotik yang mempunyai
spektrum luas, berasal dai jamur Streptomyces
venezuelae. Dapat digunakan untuk melawan infeksi
yang disebabkan oleh beberapa bakteri gram posistif dan
bakteri gram negatif. Kloramfenikol dapat diberikan
secara oral. Rektal atau dalam bentuk salep. Efek
samping penggunaan antibiotik kloramfenikol yang
terlalu lama dan dengan dosis yang berlebihan adalah
anemia aplastik. Dosis pada anak : 25 - 50 mg/kg
BB/hari per oral atau 75 mg/kg BB/hari secara intravena
dalam empat dosis yang sama.
2) Thiamfenikol
Menurut Tan Hoan Tjay & Kirana Raharja, (2007, hal:
86). Thiamfenikol (Urfamycin) adalah derivat p-
metilsulfonil (-SO2CH3) dengan spektrum kerja dan sifat
yang mirip kloramfenikol, tetapi kegiatannya agak lebih
ringan. Dosis pada anak : 20 - 30 mg/kg BB/hari.
3) Ko – trimoksazol
Adalah suatu kombinasi dari trimetoprim-
sulfametoksasol (10 mg TMP dan 50 mg SMX/kg/24
jam). Trimetoprim memiliki daya kerja antibakteriil yang
merupakan sulfonamida dengan menghambat enzim
dihidrofolat reduktase. Efek samping yang ditimbulkan
adalah kerusakan parah pada sel – sel darah antara lain
agranulositosis dan anemia hemolitis, terutama pada
penderita defisiensi glukosa-6-fosfodehidrogenase. efek
samping lainnya adalah reaksi alergi antara lain urticaria,
fotosensitasi dan sindrom Stevens Johnson, sejenis
eritema multiform dengan risiko kematian tinggi
terutama pada anak – anak. kotrimoksazol tidak boleh
diberikan pada bayi di bawah usia 6 bulan. Dosis pada
anak yaitu trimetoprim-sulfametoksasol (10 mg TMP
dan 50 mg SMX/kg/24 jam, secara oral dalam dua dosis).
Pengobatan dengan dosis tepat harus dilanjutkan
minimal 5-7 hari untuk menghindarkan gagalnya terapi
dan cepatnya timbul resistensi, (Tan Hoan Tjay & Kirana
Rahardja, 2007, hal:140).
4) Ampisilin dan Amoksilin
Ampisilin : Penbritin, Ultrapen, Binotal. Ampisilin
efektif terhadap E.coli, H.Inflienzae, Salmonella, dan
beberapa suku Proteus. Efek samping, dibandingkan
dengan perivat penisilin lain, ampisilin lebih sering
menimbulkan gangguan lambung usus yang mungkin
ada kaitannya dengan penyerapannya yang kurang baik.
Begitu pula reaksi alergi kulit (rash,ruam) dapat terjadi.
Dosis ampisilin pada anak (200mg/kg/24 jam, secara
intravena dalam empat sampai enam dosis). Dosis
amoksilin pada anak (100 mg/kg/24 jam, secara oral
dalam tiga dosis).
b. Obat – obat simptomatik:
1) Antipiretika (tidak perlu diberikan secara rutin)
2) Kortikosteroid (dengan pengurangan dosis selama 5 hari)
3) Vitamin B komplek dan C sangat di perlukan untuk
menjaga kesegaran dan kekutan badan serta berperan
dalam kestabilan pembuluh darah kapiler.
Secara fisik :
a. Mengawasi kondisi klien dengan : pengukuran suhu
secara berkala setiap 4 – 6 jam. Perhatikan apakah anak
tidur gelisah, sering terkejut, atau mengigau. Perhatikan
pula apakah mata anak cenderung melirik keatas, atau
apakah anak mengalami kejang – kejang.
Demam yang disertai kejang yang terlalu lama akan
berbahaya bagi perkembangan otak, karena oksigen
tidak mampu mencapai otak. Terputusnya sulai oksigen
ke otak akan berakibat rusaknya sel otak. Dalam
kedaan demikian, cacat seumur hidup dapat terjadi
berupa rusaknya intelektual tertentu.
b. Bukalah pakaian dan selimut yang berlebihan
c. Memperhatikan aliran udara di dalam ruangan
d. Jalan nafas harus terbuka untuk mencegah terputusnya
suplai oksigen ke otak yang akan berakibat rusaknya sel
– sel otak.
e. Berikan cairan melalui mulut, minum sebanyak –
banyaknya. Minuman yang diberikan dapat berupa air
putih, susu (anak diare menyesuaikan), air buah atau air
teh. Tujuannya agar cairan tubuh yang menguap akibat
naiknya suhu tubuh memperoleh gantinya.
f. Tidur yang cukup agar metabolisme berkurang
g. Kompres dengan air hangat pada dahi, ketiak, lipat
paha. Tujuannya untuk menurunkan suhu tubuh di
permukaan tubuh anak.
II. Rencana asuhan klien dengan gangguan thypoid
2.1 Pengkajian
2.1.1 Riwayat keperawatan
Pengumpulan Data
a. Identitas
Di dalam identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin,
alamat, pendidikan, No. Registrasi, status perkawinan,
agama, pekerjaan, tinggi badan, berat badan dan tanggal
MRS.
b. Keluhan utama
Pada pasien Typhoid biasanya mengeluh perut merasa
mual dan kembung, nafsu makan menurun, panas, dan
demam.
c. Riwayat Penyakit dahulu
Apakah pasien sebelumnya pernah mengalami sakit
Typhoid, dan apakah menderita penyakit lainnya.
d. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada umumnya pasien Typhoid demam, anorexia, mual,
muntah, diare, perasaan tidak enak di perut, pucat
(anemi), nyeri kepala/pusing, nyeri otot, lidah kotor,
gangguan kesadaran berupa somnolen sampai koma.
e. Riwayat Kesehatan Keluarga
Apakah dalam kesehatan keluarga ada yang pernah
menderita Typhoid atau sakit yang lainnya.
f. Riwayat Psikososial
Psikososial sangat berpengaruh sekali terhadap
psikologis pasien, dengan timbul gejala-gejala yang
dialami, apakah pasien dapat menerima pada apa yang di
deritanya.
g. Pola-pola fungsi kesehatan
1. Pola nutrisi dan metabolisme
Adanya mual dan muntah, penurunan napsu makan
selama sakit, lidah kotor, dan rasa pahit waktu makan
sehingga dapat mempengaruhi status nutrisi berubah.
2. Pola aktivitas dan latihan
Pasien akan terganggu aktivitasnya akibat adanya
kelemahan fisik serta pasien akan mengalami
keterbatasan gerak akibat penyakitnya.
3. Pola tidur dan aktivitas
Kebiasaan tidur pasien akan terganggu dikarenakan
suhu badan yang meningkat, sehingga pasien merasa
gelisah, pada waktu tidur.
4. Pola Eliminasi
Kebiasaan dalam BAK akan terjadi retensi bila
dehidrasi karena panas yang meninggi, konsumsi
cairan yang tidak sesuai dengan kebutuhan.
5. Pola reproduksi dan seksual
Pola reproduksi dan seksual pada pasien yang telah
atau sudah menikah akan terjadi perubahan.
6. Pola persepsi dan pengetahuan
Bagaimanakah persepsi terhadap status kesehatan saat
ini dan sampai sejauh mana pasien memahami
penyakit dan perawatannya.
7. Pola konsep diri
Adakah gangguan konsep diri.
8. Pola Penaggulangan Stres
Kaji apakah yang biasa dilakukan pasien dalam
menghadapi setiap stressor.
9. Pola hubungan interpersonal
Adanya kondisi kesehatan mempengaruhi terhadap
hubungan interpersonal dan mengalami hambatan
dalam menjalankan perannya selama sakit.
10. Pola tata nilai dan kepercayaan
Adakah gangguan dalam pelaksanaan ibadah sehari-
hari.
3.1.1 Pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum
Biasanya pada pasien Typhoid mengalami badan lemah,
panas, pucat, mual, perut tidak enak, dan anorexia.
2. Kepala dan leher
Konjungtiva anemia, mataa cowong, muka pucat/bibir
kering, lidah kotor, ditepi dan di tengah merah.
3. Dada dan abdomen
Di daerah abdomen ditemukan nyeri tekan
4. Sistem integument
Turgor kulit menurun, pucat, berkeringat banyak, akral
hangat.
5. Sistem eliminasi
Pada pasien Typhoid kadang-kadang diare atau
konstipasi, produk kemih pasien bisa mengalami
penurunan (kurang dari normal), normal ½ - 1 cc/kg
BB/jam.

4.1.1 Pemeriksaan penunjang


Untuk melakukan diagnosis penyakit typhus abdominalis,
perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium yang mencakup
pemeriksaan-pemeriksaan sebagai berikut ;
1. Pemeriksaan darah tepi : dapat ditemukan leukopenia,
limfositosis relatif, aneosinofilia, trombositopenia,
anemia.
2. Biakan empedu : basil salmonella typhii ditemukan
dalam darah penderita biasanya dalam minggu pertama
sakit.
3. Uji Widal
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen
dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap
salmonella thypi terdapat dalam serum klien dengan
typhoid juga terdapat pada orang yang pernah
divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal
adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan
diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah
menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang
disangka menderita typhoid. Akibat infeksi oleh
Salmonella Thypi, klien membuat antibodi atau aglutinin
yaitu :
a. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen
O (berasal dari tubuh kuman).
b. Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen
H (berasal dari flagel kuman).
c. Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen
Vi (berasal dari simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan
H yang ditentukan titernya untuk diagnosa, makin
tinggi titernya makin besar klien menderita typhoid.
d. Pemeriksaan SGOT/SGPT
SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali
meningkat tetapi dapat kembali normal setelah
sembuhnya typhoid.

2.2 Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul


Diagnosa 1: hipertermia
2.2.1 Definisi: peningkatan suhu tubuh di atas rentang normal
2.2.2 Batasan karakteristik
Subjektif
Klien mengatakan badannya panas
Objektif
 Kulit merah
 Suhu tubuh meningkat diatas rentang normal
 Frakuansi napas meningkat
 Kejang atau konfulsi
 Kulit teraba hangat
 Takikardi
 Tachipnea

2.2.3 Factor yang berhubungan


 Dehidrasi
 Penyakit atau trauma
 Ketidakmampuan atau penurunan kemampuan untuk
berkeringat
 Pakaian yang tidak tepat
 Peningkatan laju metabolism
 Obat atau anastesia
 Terpajan pada lingkungan yang panas
 Aktivitas yang berlebihan

Diagnosa 2: ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan


tubuh
2.2.4 Definisi: asupan nutrisi tidak mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan metabolic
2.2.5 Batasan karakteristik
Penulis menyarankan penggunaan diagnosis ini hanya
jika terdapat satu diantara tanda nanda berikut:
 Berat badan kurang dari 20% atau lebih dibawah
berat badan ideal untuk tinggi badan dan rangka
tubuh
 Asupan makanan kurang dari kebutuhan metabolic,
baik kalori total maupun zat gizi tertentu
 Kehilangan berat baan dengan asupan makanan
yang adekuat
 Melaporkan asupan makanan yang tidak adekuat
kurang dari RDA.

Subjektif:
 Kram abdomen
 Nyeri abdomen
 Menolak makan
 Persepsi ketidakmampuan untuk mencerna makan
 Melaporkan perubahan sensasi rasa
 Melaporkan kurangnya makanan
 Merasa cepat kenyang setelah mengkonsumsi
makanan

Objektif:
 Pembuluh kapiler rapuh
 Diare atau steatore
 Bukti kekurangan makanan
 Kehilangan rambut yang berlebihan
 Bising usus hiperaktif
 Kurang informasi/informasi yang salah
 Kurangnya minat terhadap makanan
 Rongga mulut terluka
 Kelemahan otot yang berfungsi untuk menelan atau
mnengunyah

2.2.6 Factor yang berubungan


 Ketidak mampuan untuk menelan atau mencerna
makanan atau menyerap nutrient akibat factor biologis,
psikologis atau ekonomi termasuk beberapa contoh non
nanda berikut:
 Ketergantungan zat kimia
 Penyakit kronis
 Kesulitan mengunyah atau menelan
 Factor ekonomi
 Intoleransi makanan
 Kebutuhan metabolic tinggi
 Reflek mengisap pada bayi tidak efektif
 Kurang pengetahuan dasar tentang nutrisi
 Akses terhadap makanan terbatas
 Hilang nafsu makan
 Mual dan muntah
 Pengabaian oleh orang tua
 Gangguan psikologis
2.3 Perencanaan
Diagnosa 1
2.3.1 Tujuan dan kriteria hasil:
Setelah diberikan perawatan pasien akan menunjukkan
termoregulasi yang dibuktikan oleh indicator sebagai
berikut:
1 ganguan eksterm
2 berat
3 sedang
4 ringan
5 tidak ada gangguan
Indicator 1 2 3 4 5
Peningkatan suhu kulit
Hipertermia
Dehidrasi
Mengantuk
Berkeringat saat panas
Denyut nadi radialis
Frekuensi pernapasan
2.3.2 Intervensi dan rasional

Intervensi Rasional
1. Kaji dan catat suhu tubuh setiap 2 1. Tindakan ini sebagai dasar untuk
atau 4 jam. menentukan intervensi.
2. Observasi membrane mukosa, 2. Untuk mengidentifikasi tanda-tanda
pengisian kapiler, dan turgor kulit. dehidrasi akibat panas.
3. Berikan minum 2-2,5 liter sehari 3. Kebutuhan cairan dalam tubuh cukup
selama 24 jam. mencegah terjadinya panas.
4. Berikan kompres hangat pada dahi, 4. Kompres hangat memberi efek
ketiak, dan lipat paha. vasodilatasi pembuluh darah,
5. Anjurkan pasien untuk tirah baring sehingga mempercepat penguapan
(bed rest) sebagai upaya tubuh.
pembatasanaktivitas selama fase 5. Menurunkan kebutuhan metabolisme
akut. tubuh sehingga turut menurunkan
6. Anjurkan pasien untuk panas.
menggunakan pakaian yang tipis 6. Pakaian tipis memudahkan
dan menyerap keringat. penguapan panas. Saat suhu tubuh
naik, pasien akan banyak
7. Berikan terapi obat golongan mengeluarkan keringat.
antipiretik sesuai program medis 7. Untuk menurunkan atau mengontrol
evaluasi efektivitasnya. panas badan.
8. Pemberian antibiotik sesuai
program medis. 8. Untuk mengatasi infeksi dan
9. Pemberian cairan parenteral sesuai mencegah penyebaran infeksi.
program medis. 9. Penggantian cairan akibat penguapan
10. Observasi hasil pemeriksaan darah panas tubuh.
dan feses. 10. Untuk mengetahui perkembangan
11. Observasi adanya peningkatan suhu penyakit tipes dan efektivitas terapi.
secara terus-menerus, distensi 11. Peningkatan suhu secara terus-
abdomen, dan nyeri abdomen. menerus setelah pemberian antiseptik
dan antibiotik, kemungkinan
mengindikasikan terjadinya
komplikasi perforasi usus.
Diagnosa 2

2.3.3 Tujuan dan kriteria hasil


Memperlihatkan status gizi: asupan makanan dan cairan,
yang dibuktikan oleh indicator sebagai berikut:
1. tidak adekuat
2. sedikit adekuat
3. cukup adekuat
4. adekuat
5. sangat adekuat

Indicator 1 2 3 4 5
Makanan oral, pemberian makanan lewat
selang, atau nutrisi parenteral total
Asupan cairan oral atau IV

Pasien akan:
 mempertahankan berat badan…. Kg ata bertambah…kg
pada…..(tglnya)
 menjelaskan komponen gizi adekuat
 mengungkapkan tekad untuk mematuhi diet
 menoleransi diet yang dianjurkan
 mempertahankan masa tubuh dan berat badan dalam batas
normal
 memiliki nilai laboratorium dalam batas normal
 melaporkan tingkat energy yang adekuat

2.3.4 intervensi dan rasionalnya


Intervensi Rasionalisasi
1. Kaji pola makan dan status pasien 1. Sebagai dasar untuk menentukan
intervensi.
2. Berikan makan yang tidak 2. Mencegah iritasi usus dan distensi
merangsang (pedas, asam, dan abdomen.
mengandung gas).

3. Berikan makanan lunak selama fase 3. Mencegah terjadinya iritasi usus dan
akut (masih ada panas atau suhu komplikasi perforasi usus.
lebih dari normal).
4. Berikan makan dalam porsi kecil 4. Mencegah rangsangan mual/muntah.
tapi sering.
5. Timbang berat badan pasien setiap 5. Untuk mengetahui masukan

hari. makanan/penambahan berat badan.

6. Lakukan perawatan mulut secara 6. Meningkatkan nafsu makan.

teratur dan sering. 7. Agar pasien bersikap kooperatif

7. Jelaskan pentingnya asupan nutrisi dalam pemenuhan nutrisi.

yang memadai 8. Untuk mengontrol mual dan muntah,

8. Berikan terapi antiematik sesuai sehingga dapat meningkatkan

program medis. masukan makanan.

9. Berikan nutrisi parenteral sesuai 9. Untuk mengistirahatkan

program terapi medis, jika gastrointestinal dan memberikan

pemberian makanan oral tidak dapat nutrisi penting untuk metabolisme

diberikan. tubuh.
III. DAFTAR PUSTAKA

Http://Askepkita.Com

Nanda 2011-2012. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan. Jakarta :


Primamedika.

Wilkinson, Judith M. 2012. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 9.


Jakarta : EGC.

Banjarmasin, Mei 2017

Preseptor Akademik Preseptor Klinik

(………………………………………) (…………….………………………..)

Anda mungkin juga menyukai