4.1 Patofisiologi
Bakteri Salmonella typhi bersama makanan/minuman masuk
kedalam tubuh melalui mulut. Pada saat melewati lambung
dengan suasana asam (pH < 2) banyak bakteri yang mati.
Keadaan-keadaan seperti aklorhidiria, gastrektomi, pengobatan
dengan antagonis reseptor histamin H2, inhibitor pompa proton
atau antasida dalam jumlah besar, akan mengurangi dosis infeksi.
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus. Di usus
halus, bakteri melekat pada sel-sel mukosa dan kemudian
menginvasi mukosa dan menembus dinding usus, tepatnya di
ileum dan jejunum. Sel-sel M, sel epitel khusus yang melapisi
Peyer’s patch, merupakan tempat internalisasi Salmonella typhi.
Bakteri mencapai folikel limfe usus halus, mengikuti aliran ke
kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi
sistemik sampai ke jaringan RES di organ hati dan limpa.
Salmonella typhi mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit
mononuklear di dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika,
hati dan limfe. (Soedarmo, dkk, 2012).
Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi) yang
lamanya ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta
respons imun pejamu maka Salmonella typhi akan keluar dari
habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi
sistemik. Dengan cara ini organisme dapat mencapai organ
manapun, akan tetapi tempat yang disukai oeh Salmonella typhi
adalah hati, limpa, sumsum tulang belakang, kandung empedu
dan Peyer’s patch dari ileum terminal. Invasi kandung empedu
dapat terjadi baik secara langsung dari darah atau penyebaran
retrograd dari empedu. Ekskresi organisme di empedu dapat
menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja.
Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal
tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksindalam
sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga
endotoksin dari Salmonella typhi menstimulasi makrofag di
dalam hati, limpa, folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe
mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk
dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem
vaskular yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang
belakang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem
imunologik (Soedarmo, dkk, 2012).
Pada minggu pertama sakit, terjadi hiperplasia plaks Peyer. Ini
terjadi pada kelenjar limfoid usus halus. Minggu kedua terjadi
nekrosis dan pada minggu ketiga terjadi ulserasi plaks Peyer.
Pada minggu keempat terjadi penyembuhan ulkus yang dapat
menimbulkan sikatrik. Ulkus dapat menyebabkan perdarahan,
bahkan sampai perforasi usus. Selain itu hepar, kelenjar-kelenjar
mesenterial dan limpa membesar (Suriadi & Rita, 2006).
Komplikasi infeksi dapat terjadi perforasi atau perdarahan.
Kuman Salmonella typhi terutama menyerang jaringan tertentu,
yaitu jaringan atau organ limfoid seperti limpa yang membesar,
juga jaringan limfoid di usus kecil yaitu plak Peyer terserang dan
membesar. Membesarnya plak Peyer membuat jaringan ini
menjadi rapuh dan mudah rusak oleh gesekan makanan yang
melaluinya. Inilah yang menyebabkan pasien tifus harus diberikan
makanan lunak, yaitu konsistensi bubur yang melalui liang usus
tidak sampai merusak permukaan plak Peyer ini. Bila tetap rusak,
maka dinding usus setempat yang memang sudah tipis, makin
menipis, sehingga pembuluh darah ikut rusak akibat timbul
perdarahan, yang kadang-kadang cukup hebat. Bila berlangsung
terus, ada kemungkinan dinding usus itu tidak tahan dan pecah
(perforasi)., diikuti peritonitis yang dapat berakhir fatal
6.1 Komplikasi
Komplikasi menurut Mansjoer, A.,(2001: 424) dapat dibagi
dalam
a. Komplikasi intestinal
1) Perdarahan usus
2) Perforasi usus
3) Ileus paralitik
b. Komplikasi ekstrointestinal
1) Komplikasi kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi perifer,
miokarditis dan tromboflebitis
2) Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia
3) Komplikasi paru: pneumonia, empisema dan pleuritis
4) Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan
kolelitiasis
5) Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pleuronefritis,
perinefritis
6) Komplikasi tulang: asteomielitis, periostitiss, spondilitis,
arthritis
7) Komplikasi neuropsikiatrik delirium meningitis
7.1 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada demam tifoid adalah sebagai berikut:
1. Perawatan
Pasien dengan demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit
untuk isolasi, observasi dan pengobatan. Pasien harus tirah
baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau
kurang lebih 14 hari. Mobilisasi pasien harus dilakukan secara
bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
Pasien dengan kesadaran yang menurun, posisi tubuhnya harus
di ubah – ubah pada waktu tertentu untuk menghindari
komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus. Defekasi dan
buang air kecil perlu di perhatikan karena kadang – kadang
terjadi obstipasi dan retensi air kemih.
2. Diet
Makanan yang dikonsumsi adalah makanan lunak dan tidak
banyak serat.
3. Obat
a. Obat - obat antimikroba yang sering dipergunakan ialah:
1) Kloramfenikol
Menurut Damin Sumardjo, 2009. Kloramfenikol atau
kloramisetin adalah antibiotik yang mempunyai
spektrum luas, berasal dai jamur Streptomyces
venezuelae. Dapat digunakan untuk melawan infeksi
yang disebabkan oleh beberapa bakteri gram posistif dan
bakteri gram negatif. Kloramfenikol dapat diberikan
secara oral. Rektal atau dalam bentuk salep. Efek
samping penggunaan antibiotik kloramfenikol yang
terlalu lama dan dengan dosis yang berlebihan adalah
anemia aplastik. Dosis pada anak : 25 - 50 mg/kg
BB/hari per oral atau 75 mg/kg BB/hari secara intravena
dalam empat dosis yang sama.
2) Thiamfenikol
Menurut Tan Hoan Tjay & Kirana Raharja, (2007, hal:
86). Thiamfenikol (Urfamycin) adalah derivat p-
metilsulfonil (-SO2CH3) dengan spektrum kerja dan sifat
yang mirip kloramfenikol, tetapi kegiatannya agak lebih
ringan. Dosis pada anak : 20 - 30 mg/kg BB/hari.
3) Ko – trimoksazol
Adalah suatu kombinasi dari trimetoprim-
sulfametoksasol (10 mg TMP dan 50 mg SMX/kg/24
jam). Trimetoprim memiliki daya kerja antibakteriil yang
merupakan sulfonamida dengan menghambat enzim
dihidrofolat reduktase. Efek samping yang ditimbulkan
adalah kerusakan parah pada sel – sel darah antara lain
agranulositosis dan anemia hemolitis, terutama pada
penderita defisiensi glukosa-6-fosfodehidrogenase. efek
samping lainnya adalah reaksi alergi antara lain urticaria,
fotosensitasi dan sindrom Stevens Johnson, sejenis
eritema multiform dengan risiko kematian tinggi
terutama pada anak – anak. kotrimoksazol tidak boleh
diberikan pada bayi di bawah usia 6 bulan. Dosis pada
anak yaitu trimetoprim-sulfametoksasol (10 mg TMP
dan 50 mg SMX/kg/24 jam, secara oral dalam dua dosis).
Pengobatan dengan dosis tepat harus dilanjutkan
minimal 5-7 hari untuk menghindarkan gagalnya terapi
dan cepatnya timbul resistensi, (Tan Hoan Tjay & Kirana
Rahardja, 2007, hal:140).
4) Ampisilin dan Amoksilin
Ampisilin : Penbritin, Ultrapen, Binotal. Ampisilin
efektif terhadap E.coli, H.Inflienzae, Salmonella, dan
beberapa suku Proteus. Efek samping, dibandingkan
dengan perivat penisilin lain, ampisilin lebih sering
menimbulkan gangguan lambung usus yang mungkin
ada kaitannya dengan penyerapannya yang kurang baik.
Begitu pula reaksi alergi kulit (rash,ruam) dapat terjadi.
Dosis ampisilin pada anak (200mg/kg/24 jam, secara
intravena dalam empat sampai enam dosis). Dosis
amoksilin pada anak (100 mg/kg/24 jam, secara oral
dalam tiga dosis).
b. Obat – obat simptomatik:
1) Antipiretika (tidak perlu diberikan secara rutin)
2) Kortikosteroid (dengan pengurangan dosis selama 5 hari)
3) Vitamin B komplek dan C sangat di perlukan untuk
menjaga kesegaran dan kekutan badan serta berperan
dalam kestabilan pembuluh darah kapiler.
Secara fisik :
a. Mengawasi kondisi klien dengan : pengukuran suhu
secara berkala setiap 4 – 6 jam. Perhatikan apakah anak
tidur gelisah, sering terkejut, atau mengigau. Perhatikan
pula apakah mata anak cenderung melirik keatas, atau
apakah anak mengalami kejang – kejang.
Demam yang disertai kejang yang terlalu lama akan
berbahaya bagi perkembangan otak, karena oksigen
tidak mampu mencapai otak. Terputusnya sulai oksigen
ke otak akan berakibat rusaknya sel otak. Dalam
kedaan demikian, cacat seumur hidup dapat terjadi
berupa rusaknya intelektual tertentu.
b. Bukalah pakaian dan selimut yang berlebihan
c. Memperhatikan aliran udara di dalam ruangan
d. Jalan nafas harus terbuka untuk mencegah terputusnya
suplai oksigen ke otak yang akan berakibat rusaknya sel
– sel otak.
e. Berikan cairan melalui mulut, minum sebanyak –
banyaknya. Minuman yang diberikan dapat berupa air
putih, susu (anak diare menyesuaikan), air buah atau air
teh. Tujuannya agar cairan tubuh yang menguap akibat
naiknya suhu tubuh memperoleh gantinya.
f. Tidur yang cukup agar metabolisme berkurang
g. Kompres dengan air hangat pada dahi, ketiak, lipat
paha. Tujuannya untuk menurunkan suhu tubuh di
permukaan tubuh anak.
II. Rencana asuhan klien dengan gangguan thypoid
2.1 Pengkajian
2.1.1 Riwayat keperawatan
Pengumpulan Data
a. Identitas
Di dalam identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin,
alamat, pendidikan, No. Registrasi, status perkawinan,
agama, pekerjaan, tinggi badan, berat badan dan tanggal
MRS.
b. Keluhan utama
Pada pasien Typhoid biasanya mengeluh perut merasa
mual dan kembung, nafsu makan menurun, panas, dan
demam.
c. Riwayat Penyakit dahulu
Apakah pasien sebelumnya pernah mengalami sakit
Typhoid, dan apakah menderita penyakit lainnya.
d. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada umumnya pasien Typhoid demam, anorexia, mual,
muntah, diare, perasaan tidak enak di perut, pucat
(anemi), nyeri kepala/pusing, nyeri otot, lidah kotor,
gangguan kesadaran berupa somnolen sampai koma.
e. Riwayat Kesehatan Keluarga
Apakah dalam kesehatan keluarga ada yang pernah
menderita Typhoid atau sakit yang lainnya.
f. Riwayat Psikososial
Psikososial sangat berpengaruh sekali terhadap
psikologis pasien, dengan timbul gejala-gejala yang
dialami, apakah pasien dapat menerima pada apa yang di
deritanya.
g. Pola-pola fungsi kesehatan
1. Pola nutrisi dan metabolisme
Adanya mual dan muntah, penurunan napsu makan
selama sakit, lidah kotor, dan rasa pahit waktu makan
sehingga dapat mempengaruhi status nutrisi berubah.
2. Pola aktivitas dan latihan
Pasien akan terganggu aktivitasnya akibat adanya
kelemahan fisik serta pasien akan mengalami
keterbatasan gerak akibat penyakitnya.
3. Pola tidur dan aktivitas
Kebiasaan tidur pasien akan terganggu dikarenakan
suhu badan yang meningkat, sehingga pasien merasa
gelisah, pada waktu tidur.
4. Pola Eliminasi
Kebiasaan dalam BAK akan terjadi retensi bila
dehidrasi karena panas yang meninggi, konsumsi
cairan yang tidak sesuai dengan kebutuhan.
5. Pola reproduksi dan seksual
Pola reproduksi dan seksual pada pasien yang telah
atau sudah menikah akan terjadi perubahan.
6. Pola persepsi dan pengetahuan
Bagaimanakah persepsi terhadap status kesehatan saat
ini dan sampai sejauh mana pasien memahami
penyakit dan perawatannya.
7. Pola konsep diri
Adakah gangguan konsep diri.
8. Pola Penaggulangan Stres
Kaji apakah yang biasa dilakukan pasien dalam
menghadapi setiap stressor.
9. Pola hubungan interpersonal
Adanya kondisi kesehatan mempengaruhi terhadap
hubungan interpersonal dan mengalami hambatan
dalam menjalankan perannya selama sakit.
10. Pola tata nilai dan kepercayaan
Adakah gangguan dalam pelaksanaan ibadah sehari-
hari.
3.1.1 Pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum
Biasanya pada pasien Typhoid mengalami badan lemah,
panas, pucat, mual, perut tidak enak, dan anorexia.
2. Kepala dan leher
Konjungtiva anemia, mataa cowong, muka pucat/bibir
kering, lidah kotor, ditepi dan di tengah merah.
3. Dada dan abdomen
Di daerah abdomen ditemukan nyeri tekan
4. Sistem integument
Turgor kulit menurun, pucat, berkeringat banyak, akral
hangat.
5. Sistem eliminasi
Pada pasien Typhoid kadang-kadang diare atau
konstipasi, produk kemih pasien bisa mengalami
penurunan (kurang dari normal), normal ½ - 1 cc/kg
BB/jam.
Subjektif:
Kram abdomen
Nyeri abdomen
Menolak makan
Persepsi ketidakmampuan untuk mencerna makan
Melaporkan perubahan sensasi rasa
Melaporkan kurangnya makanan
Merasa cepat kenyang setelah mengkonsumsi
makanan
Objektif:
Pembuluh kapiler rapuh
Diare atau steatore
Bukti kekurangan makanan
Kehilangan rambut yang berlebihan
Bising usus hiperaktif
Kurang informasi/informasi yang salah
Kurangnya minat terhadap makanan
Rongga mulut terluka
Kelemahan otot yang berfungsi untuk menelan atau
mnengunyah
Intervensi Rasional
1. Kaji dan catat suhu tubuh setiap 2 1. Tindakan ini sebagai dasar untuk
atau 4 jam. menentukan intervensi.
2. Observasi membrane mukosa, 2. Untuk mengidentifikasi tanda-tanda
pengisian kapiler, dan turgor kulit. dehidrasi akibat panas.
3. Berikan minum 2-2,5 liter sehari 3. Kebutuhan cairan dalam tubuh cukup
selama 24 jam. mencegah terjadinya panas.
4. Berikan kompres hangat pada dahi, 4. Kompres hangat memberi efek
ketiak, dan lipat paha. vasodilatasi pembuluh darah,
5. Anjurkan pasien untuk tirah baring sehingga mempercepat penguapan
(bed rest) sebagai upaya tubuh.
pembatasanaktivitas selama fase 5. Menurunkan kebutuhan metabolisme
akut. tubuh sehingga turut menurunkan
6. Anjurkan pasien untuk panas.
menggunakan pakaian yang tipis 6. Pakaian tipis memudahkan
dan menyerap keringat. penguapan panas. Saat suhu tubuh
naik, pasien akan banyak
7. Berikan terapi obat golongan mengeluarkan keringat.
antipiretik sesuai program medis 7. Untuk menurunkan atau mengontrol
evaluasi efektivitasnya. panas badan.
8. Pemberian antibiotik sesuai
program medis. 8. Untuk mengatasi infeksi dan
9. Pemberian cairan parenteral sesuai mencegah penyebaran infeksi.
program medis. 9. Penggantian cairan akibat penguapan
10. Observasi hasil pemeriksaan darah panas tubuh.
dan feses. 10. Untuk mengetahui perkembangan
11. Observasi adanya peningkatan suhu penyakit tipes dan efektivitas terapi.
secara terus-menerus, distensi 11. Peningkatan suhu secara terus-
abdomen, dan nyeri abdomen. menerus setelah pemberian antiseptik
dan antibiotik, kemungkinan
mengindikasikan terjadinya
komplikasi perforasi usus.
Diagnosa 2
Indicator 1 2 3 4 5
Makanan oral, pemberian makanan lewat
selang, atau nutrisi parenteral total
Asupan cairan oral atau IV
Pasien akan:
mempertahankan berat badan…. Kg ata bertambah…kg
pada…..(tglnya)
menjelaskan komponen gizi adekuat
mengungkapkan tekad untuk mematuhi diet
menoleransi diet yang dianjurkan
mempertahankan masa tubuh dan berat badan dalam batas
normal
memiliki nilai laboratorium dalam batas normal
melaporkan tingkat energy yang adekuat
3. Berikan makanan lunak selama fase 3. Mencegah terjadinya iritasi usus dan
akut (masih ada panas atau suhu komplikasi perforasi usus.
lebih dari normal).
4. Berikan makan dalam porsi kecil 4. Mencegah rangsangan mual/muntah.
tapi sering.
5. Timbang berat badan pasien setiap 5. Untuk mengetahui masukan
diberikan. tubuh.
III. DAFTAR PUSTAKA
Http://Askepkita.Com
(………………………………………) (…………….………………………..)