Anda di halaman 1dari 95

MATERI UTAMA KEGIATAN BELAJAR 3

A. Kekhasan Bidang Studi dan Implementasinya dalam Pembelajaran di SD


Pembelajaran yang efektif didesain oleh guru dengan memperhatikan
kekhasan bidang studi, materi dan siswa. Kekhasan tentang bagaimana seharusnya
guru mendidik atau memfasilitasi pembelajaran disesuaikan dengan karakteristik
bidang studi disebut pedagogi khas bidang studi (subject specific pedagogy).
Dalam pembelajaran, kekhasan pedagogi bidang studi ini dapat dilihat dari
perencanaan pembelajaran yang telah disusun oleh guru meliputi silabus, Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), media pembelajaran, bahan ajar, dan alat
evaluasi.
Kurikulum 2013 yang sedang dilaksanakan pada saat ini mengharuskan
pembelajaran di setiap jenjang kelas di sekolah dasar menerapkan pendekatan
tematik terpadu. Pada pembelajaran tematik terpadu, beberapa bidang studi
dipadukan oleh tema atau subtema pemersatu dalam bentuk jaringan tema atau
subtema. Dalam praktiknya, sering terjadi pada satu jaringan tema atau subtema
terdapat kompetensi dasar dari dua bidang studi atau lebih. Pada umumnya, guru
merumuskan indikator yang sama untuk kompetensi dasar tersebut meskipun
bidang studinya berbeda tanpa melakukan identifikasi terhadap kekhasan bidang
studi tersebut, padahal seharusnya indikator dirumuskan juga berdasarkan
kekhasan bidang studi yang berdampak pada kekhasan pedagoginya ketika
dirumuskan menjadi pengalaman belajar siswa (learning experience).
Bab ini memaparkan tentang kekhasan bidang studi dan kekhasan
pedagoginya untuk bidang studi di sekolah dasar yaitu Matematika, Bahasa
Indonesia, Pendidikan Kewarganegaraan, Ilmu Pengetahuan Sosial, Ilmu
Pengetahuan Alam, Seni Budaya dan Prakarya serta Pendidikan Jasmani,
Olahraga dan Kesehatan.
1. Kekhasan Bidang Studi Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia merupakan media penerima dan penyampai (penghela)
mata pelajaran lainnya. Bahasa Indonesia merupakan sarana untuk
mengungkapkan segala sesuatu yang ada dalam diri seseorang, baik berbentuk
perasaan, pikiran, gagasan, dan keinginan yang dimilikinya (sebagai alat ekspresi
diri) serta untuk menyatakan dan memperkenalkan keberadaan diri seseorang
kepada orang lain dalam berbagai tempat dan situasi. Dengan demikian, hakikat
mata pelajaran bahasa Indonesia antara lain:
a. Sarana berpikir
Bahasa Indonesia merupakan sarana belajar memahami dan memproduksi
gagasan, perasaan, pesan, informasi, data, dan pengetahuan untuk berbagai
keperluan komunikasi keilmuan, kesasteraan, dunia pekerjaan, dan komunikasi
sehari-hari baik secara tertulis maupun lisan. Dengan kata lain, bahasa
Indonesia merupakan sarana berpikir yang merupakan aktivitas sentral siswa
untuk memahami dan memproduksi gagasan, perasaan, pesan, informasi, dan
data dengan baik.
b. Sarana perekat bangsa
Bahasa Indonesia memiliki peran sentral untuk mempersatukan bangsa dan
sarana pengembangan intelektual, sosial, dan emosional siswa. Pembelajaran
bahasa Indonesia diharapkan membantu siswa mengembangkan potensi pikir,
rasa, dan karsa untuk mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain,
membangun komunikasi efektif sehari-hari, membangun relasi sosial yang
harmonis, berpartisipasi dalam masyarakat menggunakan bahasa Indonesia,
mengemukakan gagasan dan perasaan, menemukan serta menggunakan
kemampuan berpikir kritis, kreatif, inovatif, dan imaginatif yang ada dalam diri
siswa.
c. Penghela ilmu pengetahuan
Bahasa Indonesia melalui aktivitas membaca, menyimak, berbicara dan
menulis sebagai sarana penerima dan penyampai ilmu pengetahuan lainnya.
Melalui pembelajaran Bahasa Indonesia, siswa dapat menerima dan
menyampaikan ide dan gagasan yang dihasilkannya pada disiplin ilmu lainnya
dengan baik dan benar.
d. Penghalus budi pekerti
Lingkup mata pelajaran bahasa Indonesia mencakup kemampuan berbahasa
dan bersastra. Melalui jenis teks sastra, bahasa Indonesia dapat dijadikan
sebagai sarana penghalus budi pekerti siswa. Sastra Indonesia sebagai media
ekspresi sikap kritis dan kreatif terhadap berbagai fenomena kehidupan mampu
menumbuhkan kehalusan budi, kesetiakawanan sosial, kepedulian terhadap
lingkungan, dan mampu membangun kecerdasan kehidupan masyarakat.
e. Pelestari budaya bangsa
Bahasa Indonesia merupakan bagian dari budaya bangsa yang perlu terus
dilestarikan eksistensinya. Sebagai bagian dari budaya bangsa yang perlu
dijunjung tinggi, eksistensi bahasa Indonesia akan terus bertahan dan bahkan
menguat bila dilestarikan setiap penuturnya.

Kegiatan berbahasa Indonesia mencakup kegiatan produktif dan reseptif di


dalam empat aspek berbahasa, yakni menyimak, berbicara, membaca, dan
menulis. Menyimak adalah kegiatan memahami informasi melalui sarana bunyi
(lisan). Membaca adalah kegiatan memahami informasi melalui sarana tulisan.
Berbicara adalah keterampilan berbahasa lisan yang bersifat produktif, baik yang
interaktif, semi interaktif, dan non interaktif. Menulis merupakan keterampilan
berbahasa yang paling rumit dengan mengembangkan dan menuangkan pikiran-
pikiran dalam struktur tuisan yang teratur bukan hanya sekedar menyalin kata-
kata dan kalimat-kalimat.
Kemampuan berbahasa yang bersifat produktif merupakan kemampuan
untuk menuangkan ide-ide dalam bentuk lisan (kegiatan berbicara) maupun
tulisan (kegiatan menulis). Sedangkan kemampuan berbahasa yang bersifat
reseptif pada hakikatnya merupakan kemampuan untuk memahami bahasa yang
dituturkan oleh orang lain melalui lisan (kegiatan menyimak) maupun tulisan
(kegiatan membaca). Dengan demikian, pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan
untuk meningkatkan kemampuan siswa untuk berkomunikasi dalam bahasa
Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulisan melalui
kegiatan membaca, menyimak, berbicara, dan menulis untuk mengembangkan
kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif dan inovatif.
Pembelajaran bahasa Indonesia dalam kurikulum 2013 menerapkan
pendekatan berbasis teks. Pendekatan ini bertujuan agar siswa mampu
memproduksi dan menggunakan teks sesuai dengan tujuan dan fungsi sosialnya.
Dalam pembelajaran bahasa yang berbasis teks, bahasa Indonesia diajarkan bukan
sekedar sebagai pengetahuan bahasa, melainkan sebagai teks yang berfungsi
untuk menjadi aktualisasi diri penggunanya pada konteks sosial dan akademis.
Teks harus dipandang sebagai satuan bahasa yang bermakna secara kontekstual.
Prinsip pembelajaran bahasa berbasis teks terdiri dari: (1) bahasa dipandang
sebagai teks, bukan semata-mata kumpulan kata-kata atau kaidah-kaidah
kebahasaan, (2) penggunaan bahasa merupakan proses pemilihan bentuk-bentuk
kebahasaan untuk mengungkapkan makna, (3) bahasa bersifat fungsional, yaitu
penggunaan bahasa yang yang tidak pernah dapat dilepaskan dari konteks karena
dalam bentuk bahasa yang digunakan itu tercermin ide, sikap, nilai, dan ideologi
penggunanya, dan (4) bahasa merupakan sarana pembentukan kemampuan
berpikir manusia.
Pembelajaran bahasa Indonesia yang berbasis teks terdiri dari langkah-
langkah sebagai berikut:
a. Membangun konteks
Tahap ini dimulai dengan memperkenalkan konteks sosial dari teks yang
dipelajari melalui presentasi konteks (gambar, benda nyata, field-trip,
kunjungan, atau wawancara), mengeksplorasi ciri-ciri dari konteks budaya
umum dari teks yang dipelajari, mempelajari tujuan dari teks tersebut (diskusi,
survey), dan mengamati konteks dan situasi yang digunakan dengan
membandingkan penggunaan teks antara dua kebudayaan berbeda, antara
teman dekat, teman kerja, atau orang asing.
b. Pemodelan
Pada tahap ini, siswa mengamati pola dan ciri-ciri dari teks yang diajarkan.
Siswa dilatih untuk memahami struktur dan ciri-ciri kebahasaan teks.
c. Menyusun teks secara bersama
Pada tahap ini, siswa mulai memahami keseluruhan teks. Guru secara perlahan
mulai mengarahkan siswa agar mandiri sehingga siswa menguasai model teks
yang diajarkan.Kegiatan yang dapat dilakukan di dalam kelas antara lain
mendiskusikan jenis teks, melengkapi teks rumpang, membuat kerangka teks,
melakukan penilaian sendiri atau penilaian antar teman sebaya, dan bermain
teka-teki.
d. Menyusun teks secara mandiri
Pada tahap ini, siswa mulai mandiri dalam mengerjakan teks dan peran guru
hanya mengamati siswa untuk penilaian. Kegiatan yang dapat dilakukan dalam
tahapan ini antara lain (1) untuk meningkatkan kemampuan mendengarkan,
siswa merespon teks lisan, menggaris bawahi teks, menjawab pertanyaan, dan
lain-lain, (2) untuk meningkatkan kemampuan mendengarkan dan berbicara,
siswa bermain peran, melakukan dialog berpasangan atau berkelompok, (3)
untuk meningkatkan kemampuan berbicara, siswa melakukan presentasi di
depan kelas, (4) untuk meningkatkan kemampuan membaca, siswa merespon
teks tertulis, menggarisbawahi teks, menjawab pertanyaan, dan lain-lain, (5)
untuk meningkatkan kemampuan menulis, siswa membuat draft dan menulis
teks secara keseluruhan.

2. Kekhasan Bidang Studi Matematika


Matematika merupakan salah satu bidang studi yang diajarkan di satuan
pendidikan Sekolah Dasar (SD). Sebagai bidang kajian, Matematika memiliki
karakteristik baik dari aspek konten maupun pedagoginya. Seorang guru yang
hendak mengajarkan matematika kepada siswa dituntut untuk mengetahui dan
memahami objek matematika yang akan diajarkannya.
Secara etimologis, matematika berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari
dua kata yaitu mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu dan mathanein yang
mengandung arti belajar atau berpikir. Sehingga matematika dapat diartikan
sebagai ilmu atau pengetahuan tentang belajar atau berpikir logis. Batasan dan
pengertian matematika secara umum selanjutnya dapat dilihat dari beberapa sudut
pandang yang mengantarkan pemahaman tentang matematika antara lain: (1)
matematika adalah bahasa simbol; (2) matematika adalah bahasa numerik; (3)
matematika adalah bahasa yang dapat menghilangkan sifat kabur, majemuk, dan
emosional; (4) matematika adalah metode berpikir logis; (5) matematika adalah
sarana berpikir; (6) matematika adalah logika pada masa dewasa; (7) matematika
adalah ratunya ilmu dan sekaligus menjadi pelayannya, (8) matematika adalah
ilmu pengetahuan mengenai kuantitas dan besaran; (9) matematika adalah ilmu
pengetahuan yang bekerja menarik kesimpulan-kesimpulan yang perlu; (10)
matematika adalah ilmu pengetahuan formal yang murni; (11) matematika adalah
ilmu yang mempelajari hubungan pola, bentuk, dan struktur; (12) matematika
adalah ilmu yang abstrak dan deduktif; (13) matematika adalah aktivitas manusia.
Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan
teknologi modern. Matematika mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin
ilmu dan memajukan daya pikir manusia. Matematika dapat meningkatkan
kemampuan siswa dalam berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif,
serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar siswa dapat
memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi
untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, penuh dengan
ketidakpastian, dan bersifat kompetitif.
Matematika sebagai ilmu memiliki beberapa karakteristik sebagai ciri
khasnya antara lain:
a. Memiliki objek kajian yang abstrak
Matematika mempunyai objek kajian yang bersifat abstrak, walaupun tidak
setiap objek abstrak adalah matematika. Objek matematika lebih tepat disebut
sebagai objek mental atau pikiran yang kajiannya mencakup:
1) Fakta
2) Relasi (Operasi)
3) Konsep
4) Prinsip
b. Bertumpu pada kesepakatan
Simbol-simbol dan istilah-istilah dalam matematika merupakan kesepakatan
atau konvensi. Dengan simbol dan istilah yang telah disepakati dalam
matematika maka pembahasan selanjutnya akan menjadi mudah dilakukan dan
dikomunikasikan contoh titik, garis, sudut, bilangan dan sebagainya.
c. Berpola pikir deduktif
Dalam matematika hanya diterima pola pikir yang bersifat deduktif. Pola pikir
deduktif secara sederhana dapat dikatakan pemikiran yang berpangkal dari hal
yang bersifat umum dan diarahkan kepada hal-hal yang lebih khusus.
Contohnya: “ setiap bilangan yang dikalikan dengan bilangan 1(satu) hasilnya
adalah bilangan itu sendiri”.
d. Konsisten dalam sistemnya
Dalam matematika terdapat berbagai macam sistem yang dibentuk dari
beberapa aksioma dan memuat beberapa teorema. Ada sistem-sistem yang
berkaitan, ada pula sistem-sistem yang dapat dipandang lepas satu dangan
lainnya. Sistem-sistem bilangan dengan sistem geometri dapat dipandang lepas
satu dengan lainnya. Di dalam masing-masing sistem berlaku konsistensi.
Artinya bahwa dalam setiap sistem tidak boleh terdapat kontradiksi. Suatu
teorema ataupun definisi harus menggunakan istilah atau konsep yang telah
ditetapkan terlebih dahulu. Konsistensi terdapat dalam makna dan nilai
kebenarannya. Contoh terkait dengan hal ini; “ melalui dua titik berbeda hanya
dapat dibuat satu buah garis lurus”.
e. Memperhatikan semesta pembicaraan
Benar salahnya atau ada tidaknya penyelesaian sebuah soal atau masalah
matematika ditentukan oleh semesta pembicaraan yang digunakan. Jika
lingkup yang sedang dibicarakan dalam pembelajaran adalah bilangan, maka
simbol-simbol yang digunakan juga harus menunjukkan bilangan.

Cakupan materi Matematika di SD meliputi bilangan asli, bulat, dan


pecahan, geometri dan pengukuran sederhana, dan statistika sederhana.
Sedangkan kompetensi matematika dalam mendukung pencapaian kompetensi
lulusan SD ditekankan pada:
a. Menunjukkan sikap positif bermatematika: logis, kritis, cermat dan teliti, jujur,
bertanggung jawab, dan tidak mudah menyerah dalam menyelesaikan masalah,
sebagai wujud implementasi kebiasaan dalam inkuiri dan eksplorasi
matematika.
b. Memiliki rasa ingin tahu, percaya diri, dan ketertarikan pada matematika, yang
terbentuk melalui pengalaman belajar.
c. Menghargai perbedaan dan dapat mengidentifikasi kemiripan dan perbedaan
berbagai sudut pandang.
d. Mengklasifikasi berbagai benda berdasr bentuk, warna, serta alasan
pengelompokannya.
e. Mrngidentifikasi dan menjelaskan informasi dari komponen, unsur dari benda,
gambar atau foto dalam kehidupan sehari-hari.
f. Menjelaskan pola bangun dalam kehidupan sehari-hari dan memberikan
dugaan kelanjutannya berdasarkan pola berulang.
g. Memahami efek penambahan dan pengambilan benda dari kumpulan objek,
serta memahami penjumlahan dan pengurangan bilangan asli, bulat, dan
pecahan.
h. Menggunakan diagram, gambar, ilustrasi, model konkret atau simbolik dari
suatu masalah dalam penyelesaian masalah.
i. Memberikan interpretasi dari sebuah sajian informasi/ data.

Pembelajaran Matematika di sekolah dasar secara umum bertujuan agar


siswa memiliki kemampuan sebagai berikut:
a. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat,
dalam pemecahan masalah matematika.
b. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan
gagasan dan pernyataan matematika.
c. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi
yang diperoleh.
d. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain
untuk memperjelas keadaan atau masalah.
e. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika,
serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Berdasarkan karakteristik dan tujuan di atas, pembelajaran Matematika


sekolah dasar hendaknya dirancang sebagai berikut:
a. Pembelajaran matematika menggunakan metode spiral
Pendekatan spiral dalam pembelajaran matematika merupakan pendekatan di
mana pembelajaran konsep atau suatu topik matematika selalu mengaitkan atau
menghubungkan dengan topik sebelumnya atau dengan kata lain topik
sebelumnya dapat menjadi prasyarat untuk dapat memahami dan mempelajari
suatu topik matematika.
Contoh: Konsep penjumlahan sebagai prasayarat untuk mengajarkan konsep
perkalian
b. Pembelajaran matematika dilakukan secara bertahap
Materi pelajaran matematika diajarkan secara bertahap yaitu dimulai dari
konsep-konsep yang sederhana, menuju konsep yang lebih sulit. Selain itu
pembelajaran matematika dimulai dari yang konkret, semi konkret, semi
abstrak dan akhirnya kepada konsep abstrak.
Contoh: menjelaskan materi unsur-unsur pembentuk bangun ruang balok
diawali dengan benda-benda yang berbentuk balok seperti ruang kelas
(konkret), lalu menggunakan gambar benda berbentuk balok (semi konkret),
dilanjutkan dengan gambar bangun balok (semi abstrak), dan akhirnya kepada
konsep abstraknya dari bangun balok yang dapat dibayangkan oleh siswa.
c. Pembelajaran matematika menggunakan metode induktif
Materi matematika disampaikan kepada siswa tidak dimulai dari hal-hal yang
bersifat umum seperti definisi atau rumus. Tetapi dapat pula dimulai dari hal-
hal yang bersifat khusus seperti mulai dengan contoh-contoh.
Contoh: pengenalan konsep bangun ruang tabung (silinder) tidak diawali
dengan definisi tetapi dari contoh-contoh bangun tersebut, mengenal namanya
dan menentukan sifat-sifat bangun ruang tabung sehingga didapatkan
pemahaman konsep bangun ruang tabung tersebut.
d. Pembelajaran matematika menganut kebenaran konsistensi
Kebenaran matematika merupakan kebenaran yang konsisten artinya tidak ada
pertentangan antara kebenaran yang satu dengan kebenaran lainnya.
Contoh: Jika menurut kebenaran secara umum, bahwa setiap bilangan ganjil
sembarang dijumlahkan dengan bilangan ganjil sembarang maka akan selalu
menghasilkan bilangan genap, maka tidak ada bilangan ganjil yang
dijumlahkan dengan bilangan ganjil yang menghasilkan bilangan yang tidak
genap, sebagai contoh 1 + 3 = 4.
e. Pembelajaran matematika hendaknya bermakna
Pembelajaran matematika secara bermakna merupakan cara mengajarkan
materi matematika yang mengutamakan pengertian daripada hapalan. Dalam
belajar bermakna, aturan-aturan, sifat-sifat, dan dalil-dalil tidak diberikan
dalam bentuk jadi, tetapi ditemukan sendiri oleh siswa melalui contoh-contoh
secara induktif.
f. Pembelajaran matematika menerapkan pendekatan matematika realistik
Objek kajian matematika yang abstrak berupa simbol dan notasi memerlukan
pembelajaran yang dapat menjembatani penyampaian objek matematika yang
abstrak tersebut menjadi lebih konkret. Hal ini sejalan dengan tahap berpikir
siswa sekolah dasar yakni tahap operasional konkret. Realistis diartikan bahwa
dalam pembelajaran, guru perlu memanipulasi objek matematika yang abstrak
menjadi lebih realistis sehingga siswa mampu membayangkan objek
matematika tersebut.
g. Pembelajaran matematika menerapkan metode penemuan terbimbing
Mengkondisikan siswa untuk menemukan kembali rumus, konsep, atau prinsip
dalam matematika melalui bimbingan guru agar siswa terbiasa melakukan
penyelidikan dan menemukan sesuatu. Dalam praktiknya, guru dapat
menerapkan teknik scaffolding yaitu teknik bimbingan yang semakin lama
semakin dikurangi intensitasnya sampai siswa dapat bekerja secara mandiri.
h. Pembelajaran matematika berbasis masalah
Pendekatan pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran
matematika, yang mencakup masalah tertutup dan terbuka. Pemecahan masalah
terkait masalah dan metode penyelesaiannya yang tidak rutin.
Dalam menemukan penyelesaian masalah, siswa harus memberdayakan
pengetahuannya dan melalui proses ini mereka akan sering mengembangkan
pemahaman baru. Siswa akan mempunyai kesempatan untuk merumuskan,
berpikir keras, dan memecahkan masalah rumit yang memerlukan usaha besar.
Mereka akan didorong untuk merefleksikan pemikiran mereka. Pemecahan
masalah merupakan sebuah bagian integral dari seluruh pembelajaran
matematika. Beberapa keterampilan untuk meningkatkan kemampuan siswa
dalam memecahkan masalah diantaranya adalah:
1) Memahami soal, yaitu memahami dan mengidentifikasi apa yang diberikan,
ditanyakan, diminta dicari, atau dibuktikan
2) Memilih pendekatan atau strategi pemecahan: misalkan menggambarkan
masalah ke dalam bentuk diagram, memilih dan menggunakan pengetahuan
aljabar yang diketahui, serta konsep yang relevan untuk membentuk model
atau kalimat matematika
3) Menyelesaikan model, yaitu melakukan operasi hitung secara benar
4) Menafsirkan solusi, yaitu memperkirakan dan memeriksa kebenaran
jawaban.
i. Pembelajaran matematika menerapkan pendekatan kontekstual
Pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan masalah yang
kontekstual (contextual problem). Dengan mengajukan masalah-masalah
matematika yang kontekstual yaitu masalah matematika yang nyata, dekat
dengan kehidupan siswa sehingga siswa mampu membayangkan dan
memahami masalah matematika tersebut, selanjutnya siswa secara bertahap
dibimbing untuk menguasai konsep-konsep matematika.
j. Pembelajaran matematika menggunakan hubungan-hubungan (koneksi)
Begitu banyak individu yang mempersepsikan matematika sebagai kumpulan
fakta-fakta dan prosedur yang terisolasi. Melalui kurikuler dan pengalaman
setiap hari, siswa akan mengenal dan menggunakan hubungan-hubungan antara
ide-ide matematika, terutama hubungan antara Bilangan, Geometri dan
Statistika yang merupakan bidang kajian Matematika di Sekolah Dasar.
Hubungan yang demikian membangun pemahaman konsep matematika secara
komprehensif. Sebagai tambahan, siswa juga mengenal dan menerapkan
matematika dalam konteks di luar matematika. Siswa memerlukan
pengalaman penerapan konsep-konsep dan representasi matematika untuk
menggambarkan dan memprediksi kejadian di hampir semua disiplin ilmu.

3. Kekhasan Bidang Studi Ilmu Pengetahuan Alam


Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) sering disebut juga Sains yang dalam
bahasa Inggris disebut Science merupakan ilmu yang berhubungan dengan gejala-
gejala alam dan kebendaan yang sistematis tersusun secara teratur, berlaku secara
umum, berupa kumpulan hasil observasi dan eksperimen. Tidak hanya sebagai
kumpulan benda atau makhluk hidup, tetapi tentang cara kerja, cara berpikir, dan
cara memecahkan masalah. IPA berhubungan dengan cara mencari tahu tentang
alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan
pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja
tetapi merupakan suatu proses penemuan (Depdiknas,2006:484). Pendidikan IPA
diharapkan dapat menjadi wahana bagi siswa untuk mempelajari diri sendiri
dalam alam sekitar, serta aspek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya
di dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajaran menekankan pada pemberian
pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan
memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk inkuiri
dan berbuat sehingga dapat membantu siswa untuk memperoleh pengalaman yang
lebih mendalam tentang alam sekitar.
Carin (dalam Yusuf, 2007: 1) menyatakan bahwa IPA sebagai produk atau
isi mencakup fakta, konsep, prinsip, hukum-hukum, dan teori IPA. Jadi, pada
hakikatnya IPA terdiri dari tiga komponen, yaitu sikap ilmiah, proses ilmiah, dan
produk ilmiah. Hal ini berarti bahwa IPA tidak hanya terdiri atas kumpulan
pengetahuan atau berbagai macam fakta yang dihapal, IPA juga merupakan
kegiatan atau proses aktif menggunakan pikiran dalam mempelajari gejala-gejala
alam yang belum dapat direnungkan sebagai ruang lingkup mata pelajaran IPA.
ruang lingkup bahan kajian IPA untuk Sekolah Dasar meliputi aspek-aspek
berikut:
a. Makhluk hidup dan proses kehidupannya, yaitu manusia, hewan, tumbuhan dan
interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan.
b. Benda/materi, sifat-sifat kegunaannya meliputi: benda cair, padat dan gas.
c. Energi dan perubahannya meliputi : gaya ,bunyi, panas, magnet, listrik, cahaya,
dan pesawat sederhana.
d. Bumi dan alam semesta meliputi: tanah ,bumi, tata surya, dan benda-benda
langit lainnya. (Depdiknas,2006 : 585).

Menurut BNSP (2006: 484) mata pelajaran IPA bertujuan agar siswa
memiliki kemampuan sebagai berikut:
a. Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa
berdasarkan keberadaban, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya.
b. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang
bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
c. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran adanya
hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi
dan masyarakat.
d. Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar,
memecahkan masalah dan membuat keputusan.
e. Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara,
menjaga dan melestarikan lingkungan alam.
f. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala
keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan.
g. Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai
dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/ MTs.

Dengan demikian, tujuan mata pelajaran IPA yang sesuai dengan hakikat IPA
sebagai proses adalah mengembangkan keterampilan proses siswa untuk
menyelidiki alam sekitar. sehingga kompetensi utama yang diharapkan setelah
siswa belajar IPA adalah keterampilan prosesnya.
Pembelajaran di SD akan efektif bila siswa aktif berpartisipasi dalam
proses pembelajaran. Oleh sebab itu, guru SD perlu menerapkan prinsip-prinsip
pembelajaran di SD. Prinsip-prinsip pembelajaran di SD menurut Depdiknas
(dalam Maslichah, 2006: 44) adalah “ Prinsip motivasi, prinsip latar, prinsip
menemukan, prinsip belajar melakukan (learning to do), prinsip belajar sambil
bermain, prinsip hubungan sosial”. Prinsip pembelajaran yang sesuai dengan
hakikat IPA sebagai proses adalah prinsip menemukan dan belajar melakukan.
Prinsip menemukan, pada dasarnya siswa sudah memiliki rasa ingin tahu yang
besar sehingga berpotensi untuk mencari tahu guna menemukan sesuatu.
Sedangkan, prinsip belajar sambil melakukan bahwa pengalaman yang diperoleh
melalui bekerja merupakan hasil belajar yang tidak mudah dilupakan. Oleh karena
itu, dalam proses pembelajaran hendaknya siswa diarahkan untuk melakukan
suatu kegiatan dalam rangka menguasai kompetensi tertentu.
Secara khusus tujuan mata pelajaran IPA agar siswa memiliki kompetensi
sebagai berikut:
a. mengagumi keteraturan dan kompleksitas ciptaan Tuhan tentang aspek fisik
dan materi, kehidupan dalam ekosistem, dan peranan manusia dalam
lingkungan sehingga bertambah keimanannya, serta mewujudkannya dalam
pengamalan ajaran agama yang dianutnya.
b. menunjukkan perilaku ilmiah (memiliki rasa ingin tahu; objektif; jujur; teliti;
cermat; tekun; hati-hati; bertanggung jawab; terbuka; kritis; kreatif; inovatif
dan peduli lingkungan) dalam aktivitas sehari-hari sebagai wujud implementasi
sikap dalam melakukan pengamatan, percobaan, dan berdiskusi.
c. menghargai kerja individu dan kelompok dalam aktivitas sehari-hari sebagai
wujud implementasi melaksanakan percobaan dan melaporkan hasil percobaan
guna memupuk sikap ilmiah yaitu jujur, objektif, terbuka, ulet, kritis dan dapat
bekerja sama dengan orang lain.
d. mengembangkan pengalaman untuk menggunakan, mengajukan dan menguji
hipotesis melalui percobaan, merancang, dan merakit instrumen percobaan,
mengumpulkan, mengolah, dan menafsirkan data, serta mengomunikasikan
hasil percobaan secara lisan dan tertulis.
e. mengembangkan kemampuan bernalar dalam berpikir analisis induktif dan
deduktif dengan menggunakan konsep dan prinsip IPA untuk menjelaskan
berbagai peristiwa alam dan menyelesaian masalah baik secara kualitatif
maupun kuantitatif.
f. menguasai konsep dan prinsip IPA serta mempunyai keterampilan
mengembangkan pengetahuan, dan sikap percaya diri sebagai bekal untuk
melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi serta mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi.

Berdasarkan Permendikbud tentang Standar Proses, disebutkan bahwa


proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif,
inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas,
dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta
psikologis peserta didik. Mengacu pada standar tersebut maka pembelajaran IPA
mengikuti prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Peserta didik difasilitasi untuk mencari tahu
b. Peserta didik belajar dari berbagai sumber belajar
c. Proses pembelajaran menggunakan pendekatan ilmiah
d. Pembelajaran berbasis kompetensi
e. Pembelajaran terpadu
f. Pembelajaran yang menekankan pada jawaban divergen yang memiliki
kebenaran multi dimensi
g. Pembelajaran berbasis keterampilan aplikatif
h. Peningkatan keseimbangan, kesinambungan, dan keterkaitan antara hard-skills
dan soft-skills
i. Pembelajaran yang mengutamakan pembudayaan dan pemberdayaan peserta
didik sebagai pembelajar sepanjang hayat
j. Pembelajaran yang menerapkan nilai-nilai dengan memberi keteladanan (ing
ngarso sung tulodo), membangun kemauan (ing madyo mangun karso), dan
mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran (tut
wuri handayani)
k. Pembelajaran yang berlangsung di rumah, di sekolah, dan di masyarakat
l. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan
efisiensi dan efektivitas pembelajaran
m. Pengakuan atas perbedaan individual dan latar belakang budaya peserta didik
n. Suasana belajar menyenangkan dan menantang.

3. Kekhasan Bidang Studi Ilmu Pendidikan Sosial


Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) adalah mata pelajaran yang mempelajari
tentang kehidupan manusia dalam berbagai dimensi ruang dan waktu serta
berbagai aktivitas kehidupannya. Mata pelajaran IPS bertujuan untuk
menghasilkan warganegara yang religius, jujur, demokratis, kreatif, kritis, senang
membaca, memiliki kemampuan belajar, rasa ingin tahu, peduli dengan
lingkungan sosial dan fisik, berkontribusi terhadap pengembangan kehidupan
sosial dan budaya, serta berkomunikasi secara produktif.
Ruang lingkup IPS terdiri atas pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap
yang dikembangkan dari masyarakat dan disiplin ilmu sosial. Penguasaan
keempat konten ini dilakukan dalam proses belajar yang terintegrasi melalui
proses kajian terhadap konten pengetahuan. Secara rinci, materi IPS dirumuskan
sebagai berikut:
a. Pengetahuan: tentang kehidupan masyarakat di sekitarnya, bangsa, dan umat
manusia dalam berbagai aspek kehidupan dan lingkungannya. Ruang lingkup
materi IPS SD terdiri dari kehidupan manusia dalam:
1) Tempat dan Lingkungan
2) Waktu Perubahan dan Keberlanjutan
3) Organisasi dan Sistem Sosial
4) Organisasi dan Nilai Budaya
5) Kehidupan dan Sistem Ekonomi
6) Komunikasi dan Teknologi
b. Keterampilan: berpikir logis dan kritis, membaca, belajar (learning skills,
inquiry), memecahkan masalah, berkomunikasi dan bekerjasama dalam
kehidupan bermasyarakat-berbangsa
c. Nilai: nilai-nilai kejujuran, kerja keras, sosial, budaya, kebangsaan, cinta
damai, dan kemanusiaan serta kepribadian yang didasarkan pada nilai-nilai
tersebut
d. Sikap: rasa ingin tahu, mandiri, menghargai prestasi, kompetitif, kreatif dan
inovatif, dan bertanggungjawab

Tujuan utama pembelajaran IPS adalah agar siswa memiliki kemampuan


dalam berpikir logis dan kritis untuk memahami konsep dan prinsip yang
berkaitan dengan pola dan persebaran keruangan, interaksi sosial, pemenuhan
kebutuhan, dan perkembangan kehidupan masyarakat untuk menciptakan kondisi
kehidupan yang lebih baik dan atau mengatasi masalah-masalah sosial. Secara
rinci tujuan mata pelajaran IPS adalah agar siswa memiliki kemampuan:
a. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan
lingkungannya
b. Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu,
inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial
c. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan
d. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama, dan berkompetisi dalam
masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global.

5. Kekhasan Bidang Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan


Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) merupakan salah satu
muatan kurikulum pendidikan dasar dan menengah sebagaimana diamanatkan
dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Penjelasan Pasal 37 “... dimaksudkan
untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan
dan cinta tanah air”. Berdasarkan rumusan tersebut, telah dikembangkan mata
pelajaran PPKn yang diharapkan dapat menjadi wahana edukatif dalam
mengembangkan siswa menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta
tanah air yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila, Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, semangat Bhinneka Tunggal Ika dan komitmen
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ruang lingkup mata pelajaran PPKn terdiri atas: (1) Pancasila sebagai
dasar negara dan pandangan hidup bangsa diperankan dan dimaknai sebagai
entitas inti yang menjadi sumber rujukan dan kriteria keberhasilan pencapaian
tingkat kompetensi dan pengorganisasian dari keseluruhan ruang lingkup mata
pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan; (2) substansi dan jiwa
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, nilai dan
semangat Bhinneka Tunggal Ika, dan komitmen Negara Kesatuan Republik
Indonesia ditempatkan sebagai bagian integral dari Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, yang menjadi wahana psikologis-pedagogis pembangunan
warganegara Indonesia yang berkarakter Pancasila.
Secara umum tujuan mata pelajaran PPKn pada jenjang pendidikan dasar
dan menengah adalah mengembangkan potensi siswa dalam seluruh dimensi
kewarganegaraan, yakni: (1) sikap kewarganegaraan termasuk keteguhan,
komitmen dan tanggung jawab kewarganegaraan (civic confidence, civic
committment, and civic responsibility); (2) pengetahuan kewarganegaraan; (3)
keterampilan kewarganegaraan termasuk kecakapan dan partisipasi
kewarganegaraan (civic competence and civic responsibility).
Secara khusus Tujuan PPKn yang berisikan keseluruhan dimensi tersebut
sehingga siswa mampu:
a. menampilkan karakter yang mencerminkan penghayatan, pemahaman, dan
pengamalan nilai dan moral Pancasila secara personal dan sosial
b. memiliki komitmen konstitusional yang ditopang oleh sikap positif dan
pemahaman utuh tentang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
c. berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif serta memiliki semangat kebangsaan
serta cinta tanah air yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila, Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, semangat Bhinneka Tunggal
Ika, dan komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia
d. berpartisipasi secara aktif, cerdas, dan bertanggung jawab sebagai anggota
masyarakat, tunas bangsa, dan warga negara sesuai dengan harkat dan
martabatnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang hidup
bersama dalam berbagai tatanan sosial budaya.
6. Kekhasan Bidang Studi Seni Budaya dan Prakarya
Mata pelajaran Seni Budaya dan Prakarya (SBdP) merupakan aktivitas
belajar yang menampilkan karya seni estetis, artistik, dan kreatif yang berakar
pada norma, nilai, perilaku, dan produk seni budaya bangsa. Mata pelajaran ini
bertujuan mengembangkan kemampuan siswa untuk memahami seni dalam
konteks ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni serta berperan dalam
perkembangan sejarah peradaban dan kebudayaan, baik dalam tingkat lokal,
nasional, regional, maupun global. Pembelajaran SBdP di tingkat pendidikan
dasar dan menengah bertujuan mengembangkan kesadaran seni dan keindahan
dalam arti umum, baik dalam domain konsepsi, apresiasi, kreasi, penyajian,
maupun tujuan-tujuan psikologis-edukatif untuk pengembangan kepribadian siswa
secara positif. SBdP di sekolah tidak semata-mata dimaksudkan untuk membentuk
siswa menjadi pelaku seni atau seniman namun lebih menitikberatkan pada sikap
dan perilaku kreatif, etis dan estetis.
Mata pelajaran SBdP di tingkat pendidikan dasar sangat kontekstual dan
diajarkan secara konkret, utuh, serta menyeluruh mencakup semua aspek (seni
rupa, seni musik, seni tari dan prakarya), melalui pendekatan tematik. Untuk itu,
guru SBdP harus memiliki wawasan yang baik tentang eksistensi seni budaya
yang hidup dalam konteks lingkungan sehari-hari di mana ia tinggal, maupun
pengenalan budaya lokal, agar siswa mengenal, menyenangi dan akhirnya
mempelajari. Dengan demikian, pembelajaran SBdP di SD harus dapat;
“Memanfaatkan lingkungan sebagai kegiatan apresiasi dan kreasi seni”.
Ruang lingkup materi SBdP di SD/MI mencakup gambar ekspresif,
mozaik, karya relief, lagu dan elemen musik, musik ritmis, gerak anggota tubuh,
meniru gerak, kerajinan dari bahan alam, produk rekayasa, pengolahan makanan,
cerita warisan budaya, gambar dekoratif, montase, kolase, karya tiga dimensi, lagu
wajib, lagu permainan, lagu daerah, alat musik ritmis dan melodis, gerak tari
bertema, penyajian tari daerah, kerajinan dari bahan alam dan buatan (anyaman,
teknik meronce, fungsi pakai, teknik ikat celup, dan asesoris), tanaman sayuran,
karya rekayasa sederhana bergerak dengan angin dan tali, cerita rakyat, bahasa
daerah, gambar ilustrasi, topeng, patung, lagu anak-anak, lagu daerah, lagu wajib,
musik ansambel, gerak tari bertema, penyajian tari bertema, kerajinan dari bahan
tali temali, bahan keras, batik, dan teknik jahit, apotik hidup dan merawat hewan
peliharaan, olahan pangan bahan makanan umbi-umbian dan olahan nonpangan
sampah organik atau anorganik, cerita secara lisan dan tulisan unsur-unsur budaya
daerah, bahasa daerah, pameran dan pertunjukan karya seni.

7. Kekhasan Bidang Studi Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan


Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan (PJOK) pada hakikatnya
adalah proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas fisik untuk menghasilkan
perubahan holistik dalam kualitas individu, baik dalam hal fisik, mental, serta
emosional. PJOK memperlakukan anak sebagai sebuah kesatuan utuh, makhluk
total, daripada hanya menganggapnya sebagai seseorang yang terpisah kualitas
fisik dan mentalnya.
PJOK membantu siswa mengembangkan pemahaman tentang apa yang
mereka perlukan untuk membuat komitmen seumur hidup tentang arti penting
hidup sehat, aktif dan mengembangkan kapasitas untuk menjalani kehidupan
yang memuaskan dan produktif. Sehingga berdampak pada meningkatkan
produktivitas dan kesiapan untuk belajar, meningkatkan semangat, mengurangi
ketidakhadiran, mengurangi biaya perawatan kesehatan, penurunan kelakuan anti-
sosial seperti bullying dan kekerasan, mempromosikan hubungan yang aman dan
sehat, dan meningkatkan kepuasan pribadi.
Karakteristik perkembangan gerak anak usia SD, pada usia antara 7- 8
tahun, anak sedang memasuki perkembangan gerak dasar dan memasuki tahap
awal perkembangan gerak spesifik. Karakteristik awal perkembangan gerak
spesifik dapat diidentifikasi dengan makin sempurnanya kemampuan melakukan
berbagai kemampuan gerak dasar yang menuntut kemampuan koordinasi dan
keseimbangan agak kompleks. Oleh karenanya, keterampilan gerak yang dimiliki
anak telah dapat diorientasikan pada berbagai bentuk, jenis dan tingkat permainan
yang lebih kompleks. Pada anak berusia antara 9 s.d 10 tahun, anak telah dapat
mengunjukkerjakan rangkaian gerak yang mutipleks-kompleks dengan tingkat
koordinasi yang makin baik. Kualitas kemampuan pada tahap ini dipengaruhi oleh
ketepatan rekayasa dan stimulasi lingkungan yang diberikan kepada anak pada
usia sebelumnya. Pada tahap ini, anak laki-laki dan perempuan telah memasuki
masa awal masa adolense. Dengan pengaruh perkembangan hormonal pada usia
ini, mereka akan mengalami pertumbuhan fisik dan perkembangan fungsi motorik
yang sangat cepat.
Ruang lingkup materi mata pelajaran PJOK adalah sebagai berikut:
a. Pola gerak dasar, meliputi: 1) pola gerak dasar lokomotor atau gerakan
berpindah tempat, misalnya; berjalan, berlari, melompat, berguling,
mencongklak, 2) pola gerak non-lokomotor atau bergerak di tempat, misalnya;
membungkuk, meregang, berputar, mengayun, mengelak, berhenti, 3) pola
gerak manipulatif atau mengendalikan/ mengontrol objek, misalnya; melempar
bola, menangkap bola, memukul bola menggunakan tongkat, menendang bola.
b. Aktivitas permainan dan olahraga termasuk tradisional, misalnya; rounders,
kasti, softball, atletik sepak bola, bola voli, bola basket, bola tangan, sepak
takraw, tenis meja, bulutangkis, silat, karate. Kegiatan ini bertujuan untuk
memupuk kecenderungan alami anak untuk bermain melalui kegiatan bermain
informal dan meningkatkan pengembangan keterampilan dasar, kesempatan
untuk interaksi sosial, dan menerapkannya dalam kegiatan informal dalam
kompetisi dengan orang lain, dan mengembangkan keterampilan dan
memahami dari konsep-konsep kerja sama tim, serangan, pertahanan dan
penggunaan ruang dalam bentuk eksperimen/eksplorasi untuk mengembangkan
keterampilan dan pemahaman.
c. Aktivitas kebugaran, meliputi pengembangan komponen keburan berkaitan
dengan kesehatan, terdiri dari: daya tahan (aerobik dan anaerobik), kekuatan,
kelenturan, komposisi tubuh, dan pengembangan komponen kebugaran
berkaitan dengan keterampilan, terdiri dari; kecepatan, kelincahan,
keseimbangan, dan koordinasi.
d. Aktivitas senam dan gerak ritmik, meliputi senam lantai, senam alat, apresiasi
terhadap kualitas estetika dan artistik dari gerakan, tarian kreatif dan rakyat.
Konsep gerak berkaitan eksplorasi gerak dengan tubuh dalam ruang, dinamika
perubahan gerakan dan implikasi dari bergerak di kaitannya dengan apakah
orang lain dan /nya lingkungannya sendiri.
e. Aktivitas air, memuat kompetensi dan kepercayaan diri saat siswa berada di
dekat, di bawah dan di atas air. Memberikan kesempatan unik untuk
pengajaran gaya-gaya renang (punggung, bebas, dada, dan kupu-kupu) dan
juga penyediaan peluang untuk kesenangan bermain di air dan aspek lain dari
olahraga air termasuk pertolongan dalam olahraga air.
f. Kesehatan, meliputi; kebersihan diri sendiri dan lingkungan, makanan dan
minuman sehat, penanggulangan cidera ringan, kebersihan alat reproduksi,
penyakit menular, menghidari diri dari bahaya narkoba, psikotropika, seks
bebas, P3K, dan bahaya HIV/AIDS.

Tujuan mata pelajaran PJOK sesuai dengan ruanglingkup di atas adalah


sebagai berikut:
a. Mengembangkan kesadaran tentang arti penting aktivitas fisik untuk mencapai
pertubuhan dan perkembangan tubuh serta gaya hidup aktif sepanjang hayat.
b. Mengembangkan keterampilan pengelolaan diri dalam upaya pengembangan
dan pemeliharaan kebugaran jasmani, mengelola kesehatan dan kesejahteraan
dengan benar serta pola hidup sehat.
c. Mengembangkan keterampilan gerak dasar, motorik, keterampilan, konsep/
pengetahuan, prinsip, strategi dan taktik permainan dan olahraga serta konsep
gerakan.
d. Meletakkan landasan karakter moral yang kuat melalui internalisasi nilai-nilai
percaya diri, sportif, jujur, disiplin, bertanggungjawab, kerjasama, pegendalian
diri, kepemimpinan, dan demokratis dalam melakukan aktivisas fisik.
e. Meletakkan dasar kompetitif diri (self competitive) yang sportif, percaya
diri,disiplin, dan jujur.
f. Menciptakan iklim sekolah yang lebih positif
g. Mengembangkan muatan lokal yang berkembang di masyarakat
h. Menciptakan suasana yang rekretif, berisi tantangan, ekspresi diri
i. Mengembangkan pengetahuan dan keterampilan untuk aktif dan sehat
sepanjang hayat, dan meningkatkan kebugaran pribadi.
B. Pendekatan Pembelajaran dan Implementasinya di SD
Pendekatan pembelajaran adalah cara pandang guru terhadap proses
pembelajaran yang dilatarbelakangi dengan landasan konsep tertentu dan
dihasilkan dari kajian teoretik. Ada tiga pasangan pendekatan yang berbeda, yaitu
(1) pendekatan yang berpusat pada siswa versus berpusat pada guru, (2)
pendekatan proses versus pendekatan konsep, dan (3) pendekatan induktif versus
pendekatan deduktif. Pemilihan terhadap salah satu pendekatan, strategi, dan
metode akan melahirkan model pembelajaran.
1. Berpusat pada siswa versus berpusat pada guru
Pembelajaran yang berorientasi kepada siswa adalah pembelajaran yang
mendahulukan ketercapaian tujuan belajar oleh siswa dan bukan mendahulukan
“gugurnya” kewajiban bagi guru dalam melaksanakan tugas mengajar. Peranan
guru adalah menciptakan kondisi yang kondusif untuk terjadinya proses
pembelajaran dan membantu peserta didik agar berkembang sesuai dengan
indikator tujuan pembelajaran. Guru tidak lagi bertindak sebagai satu-satunya
sumber informasi di kelas tetapi hanya sebagai salah satu dari sekian banyak
sumber belajar.
Adapun pembelajaran yang berorientasi pada guru, ciri-cirinya merupakan
kebalikan dari pembelajaran yang berorientasi pada peserta didik.
Pembelajaran direncanakan, dilaksanakan dan dievaluasi hanya didasarkan
pada pencapaian target kurikulum tanpa memperhatikan perkembangan siswa.
Guru bertindak sebagai satu-satunya sumber informasi di kelas dan metode
yang digunakan didominasi oleh metode ceramah. Pada pembelajaran yang
berorentasi pada guru, siswa tidak banyak diberi kesempatan untuk mencari
dan menemukan sendiri tentang konsep yang sedang dipelajarinya.
2. Pendekatan proses versus pendekatan konsep
Pembelajaran dengan pendekatan proses dirancang sedemikian rupa
sehingga siswa dapat mengikuti proses penemuan dan penyimpulan tentang
apa yang dipelajarinya. Siswa dibimbing untuk dapat menemukan sendiri
pengetahuannya dan guru hanya berperan sebagai fasilitator dalam proses
pembelajaran. Kegiatan siswa umumnya diajak untuk melakukan percobaan,
pengamatan, pengukuran, perhitungan, dan membuat kesimpulan-kesimpulan.
Dengan demikian, belajar proses sepadan dengan pembelajaran yang
berorientasi pada siswa.
Pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan proses bersifat heuristik
yaitu menyajikan sejumlah data dan informasi, sementara itu siswa diminta
untuk membuat kesimpulan dari data yang diolahnya (Sagala, 2005: 80).
Metode yang digunakan untuk pelaksanaan pendekatan ini antara lain metode
inkuiri yang mendorong siswa untuk aktif mencari dan mengolah bahan
pelajaran sampai memahaminya dengan baik. Guru sebagai fasilitator hanya
memberikan motivasi dan arahan agar siswa sampai pada tujuan pembelajaran.
Kebalikan dari pendekatan proses adalah pendekatan konsep. Pendekatan
konsep dimaknai sebagai pembelajaran untuk menyampaian konsep-konsep
yang perlu dihapal oleh siswa. Guru mendominasi pembelajaran untuk
menyampaikan beragam informasi kepada siswa. Pelaksanaan pembelajaran
konsep bersifat ekspositori, yaitu guru menyajikan materi di depan siswa.

3. Pendekatan induktif versus deduktif


Proses pembelajaran dengan pendekatan induktif adalah pembelajaran
yang diawali dari apa yang telah diketahui siswa. Pengetahuan awal siswa
dimanfaatkan oleh guru untuk menjelaskan materi pelajaran. Dalam banyak
hal, langkah pembelajaran induktif sesuai dengan ketentuan Standar Proses
Pendidikan yaitu adanya tahap eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi (EEK).
a. Eksplorasi merupakan pembangkitan ingatan dan pengetahuan awal siswa
sebagai “modal” awal dalam pembelajaran. Cara pembangkitan pengetahuan
awal dapat dilakukan dengan cara bertanya atau meminta menyebutkan
sejumlah contoh yang ada dalam kehidupan sehari-hari.
b. Elaborasi merupakan kegiatan pembelajaran yang memberikan kesempatan
siswa mengembangkan ide, gagasan, dan kreasinya. Kegiatan elaborasi
dapat dilakukan melalui diskusi kelompok, pameran, membuat
laporan/karya/produk, presentasi, kompetisi, studi kepustakaan, dan lain-
lain yang menantang pengembangan kognisi dan kreativitas. Kegiatan
elaborasi pada dasarnya merupakan proses penambahan dan pendalaman
materi sesuai dengan kompetensi yang akan dicapai.
c. Konfirmasi merupakan kegiatan umpan balik dan penguatan dalam bentuk
lisan, tulisan, isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan siswa. Dalam
kegiatan konfirmasi, guru memperoleh gambaran tentang ketercapaian
pembelajaran oleh siswa, selain itu dapat memfasilitasi siswa melakukan
refleksi sehingga memperoleh pengalaman belajar yang lebih bermakna.

Pada pendekatan deduktif, sejak awal pertemuan guru langsung


menanyakan tentang definsi ini-itu dan guru “bersemangat” untuk menjelaskan
di depan kelas. Pendekatan pembelajaran deduktif diarahkan pada proses
penalaran yang bermula dari keadaan umum ke keadaan khusus. Dalam
prosesnya, guru dituntut untuk memilih dan mengajukan konsep, prinsip atau
aturan yang kemudian diterangkan dengan contoh-contoh khusus sehingga
siswa menyusun hubungan antara keadaan khusus itu dengan aturan atau pinsip
umum yang telah diajukan. Pendekatan belajar dengan cara deduktif tidak
dianjurkan, karena tidak sesuai dengan prinsip pada standar proses
pembelajaran.

Pendekatan pembelajaran yang dipilih guru akan memiliki konsekuensi


terhadap pemilihan strategi pembelajaran, metode pembelajaran, dan teknik
pembelajaran. Pendekatan pembelajaran masih bersifat pandangan sebagi titik
tolak dalam menentukan langkah pembelajaran yang lebih konkret. Dalam
menentukan strategi pembelajaran perlu memperhatikan prinsip perumusan
strategi yaitu:
1. Mengidentifikasi dan menetapkan spesifikasi dan kualifikasi hasil (out put)
pembelajaran yang harus dicapai siswa.
2. Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah yang akan ditempuh
sejak titik awal sampai akhir sehingga tercapai sasaran.
3. Mempertimbangkan dan menetapkan tolok ukur atau kriteria keberhasilan dari
proses pembelajaran.
Setelah strategi pembelajaran ditetapkan, selanjutnya guru menetapkan
sejumlah metode yang relevan untuk memenuhi strategi pembelajaran. Perbedaan
antara strategi dan metode dapat dilihat dari pendapat Sanjaya (2008). Strategi
merupakan “a plan of operation achieving something” sedangkan metode adalah
“a way in achieving something”. Dengan demikian, metode pembelajaran
diartikan sebagai cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang
sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan
pembelajaran.
Metode pembelajaran yang dipilih guru terkadang berbeda-beda pula pada
saat dilaksanakan di kelas. Setiap guru memiliki teknik tersendiri dalam
menjalankan metode pembelajaran. Dengan demikian, teknik pembelajaran dapat
diatikan sebagai cara yang dilakukan oleh seseorang dalam mengimplementasikan
suatu metode secara spesifik. Misalkan, penggunaan metode ceramah pada jumlah
siswa yang banyak barangkali akan menggunakan teknik berpidato yang berapi-
api sebaliknya jika jumlah siswa sedikit, ceramah akan menggunakan teknik
sambung rasa dengan sering menyebut nama-nama siswa yang hadir pada saat itu.
Model pembelajaran biasanya disusun berdasarkan berbagai prinsip atau
teori pengetahuan berdasarkan pendekatan pembelajaran tertentu dan dikaji secara
empirik. Dengan demikian, model pembelajaran diterapkan tidak lepas dari
pendekatan pembelajaran yang memayunginya. Contoh ketika guru menerapkan
model pembelajaran kooperatif dengan tipe apapun, maka penerapannya harus
berdasarkan prinsip dan karakteristik pada pendekatan kooperatif. Selain itu,
model pembelajaran terdiri dari serangkaian langkah atau sintaks pembelajaran
yang telah dikaji secara ilmiah oleh penemunya. Para ahli menyusun model
pembelajaran berdasarkan prinsip-prinsip pembelajaran, teori-teori psikologis,
sosiologis, analisis sistem, atau teori-teori lain yang mendukung dan dikaji secara
ilmiah.
Hubungan antara pendekatan, strategi, metode, dan teknik dapat dilihat
pada gambar bagan sebagai berikut ini:
Model
Pembelajaran

Pendekatan Pembelajaran
(Berpusat Pada Guru atau Berpusat pada
Siswa)

Strategi Pembelajaran
Exposition-Discovery Learning atau Group-
Individual Learning

Metode Pembelajaran
(Ceramah, Diskusi, Demonstrasi, Simulasi,
dsb)

Teknik dan Taktik Pembelajaran


(Spesifik, Invidual, Unik)

Model
Pembelajaran

Gambar 1.1 hubungan antara pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran
(Sudrajat, 2008)

1. Pembelajaran dengan Pendekatan Saintifik


Pembelajaran merupakan proses interaksi antarsiswa dan antara siswa
dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Untuk
menciptakan proses dan lingkungan belajar yang efektif, diperlukan cara pandang
guru terhadap pembelajaran secara tepat yang disebut sebagai pendekatan
pembelajaran yang mengandung makna tentang bagaimana persepsi guru terhadap
pembelajaran misalnya persepsi guru bahwa “ belajar adalah proses aktif secara
ilmiah yang dilakukan oleh siswa”, sehingga guru berusaha untuk mengaktifkan
siswa melalui pembelajaran dengan pendekatan ilmiah. Idealnya, dalam sebuah
pendekatan pembelajaran, guru memikirkan bagaimana caranya agar siswa aktif
mencari tahu bukan diberi tahu oleh guru atau disebut sebagai pendekatan
pembelajaran yang berpusat pada siswa (student center).
Belajar merupakan proses ilmiah dalam rangka mencari, menemukan,
mendapatkan, dan mengembangkan pengetahuan (fakta, konsep, prinsip dan teori)
yang melibatkan pendekatan rasional (rationalism) dan pendekatan empirik
(empiricicm). Pendekatan rasional melibatkan aktivitas ilmiah (mengamati,
menanya dan menalar) yang menghasilkan dugaan-dugaan (hipotesis), sedangkan
pendekatan empirik melibatkan aktivitas ilmiah (mengumpulkan informasi,
mencoba dan menyimpulkan) dalam rangka menguji atau memvalidasi hipotesis
secara empirik yang dihasilkan dari pendekatan rasional untuk menghasilkan
pengetahuan. Dengan demikian, idealnya pembelajaran merupakan kegiatan
“meneliti” yang melibatkan dua pendekatan tersebut (rasional dan empirik) yang
pada implementasinya melibatkan keterampilan proses ilmiah, prosedur ilmiah
dan aktivitas berpikir ilmiah siswa.
Pada pembelajaran yang berbasis penelitian, siswa diarahkan untuk aktif
mencari solusi atau jawaban terkait hal-hal yang ingin mereka ketahui atau hal-hal
yang tidak mereka pahami dari apa yang mereka amati. Rasa ingin tahu siswa
diinterpretasikan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan (kegiatan menanya).
Selanjutnya, siswa memanfaatkan pengetahuan awalnya (prior knowledge)
melalui kegiatan menalar untuk menduga atau memprediksi jawaban dari
pertanyaannya. Hasil dari kegiatan menalar adalah hipotesis/ dugaan jawaban dari
pertanyaannya. Dugaan siswa kemudian diuji melalui serangkaian kegiatan
mencoba, mengumpulkan informasi dan mengasosiasi. Jawaban dari
pertanyaannya setelah diuji atau divalidasi secara empririk, kemudian
dikomunikasikan kepada siswa lain dan guru untuk mendapatkan tanggapan dan
penguatan.
Berdasarkan paparan di atas, pembelajaran yang dilaksanakan harus dapat
mengarahkan siswa untuk meneliti dan berpikir secara sistematis dalam
menemukan jawaban yang sebelumnya menjadi masalah atau pertanyaannya.
Salah satu pendekatan pembelajaran yang sesuai mengarah kepada konsep
pembelajaran berbasis penelitian, sebagai pendekatan yang tidak terlepas dari
proses berpikir ilmiah, metode ilmiah dan keterampilan proses yang merupakan
hakikat sains sebagai proses (keterampilan proses ilmiah). Dengan demikian,
pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa dan sesuai dengan hakikat
sains sebagai proses adalah pendekatan saintifik.
Pendekatan pembelajaran saintifik adalah pendekatan pembelajaran yang
dirancang agar siswa aktif mengkonstruksi konsep, prinsip atau teori melalui
tahapan-tahapan mengamati, menanya, menalar, mengumpulkan informasi/
mencoba, menganalisis data dan menarik kesimpulan (mengasosiasi) dan
mengomunikasikan konsep, prinsip atau teori yang ditemukan. Inti dari
pembelajaran dengan menerapkan pendekatan saintifik adalah aktivitas observasi
(pengamatan). Karakteristik pembelajaran dengan menerapkan pendekatan
saintifik adalah sebagai berikut:
a. Berpusat pada siswa.
b. Melibatkan keterampilan proses sains dalam mengkonstruksi konsep, prinsip
atau teori (mengamati, menanya, menalar, mengumpulkan informasi/ mencoba,
mengasosiasi dan mengomunikasikan)
c. Melibatkan proses-proses kognitif yang potensial dalam merangsang
perkembangan intelektual, khususnya keterampilan berpikir tingkat tinggi
siswa.
d. Dapat mengembangkan karakter siswa (teliti, rasa ingin tahu, kerja keras,
pantang menyerah, komunikatif, dll.)

Tujuan pembelajaran dengan menerapkan pendekatan saintifik adalah


sebagai berikut:
a. Untuk meningkatkan kemampuan intelektual siswa, khususnya kemampuan
berpikir tingkat tinggi.
b. Untuk membentuk kemampuan siswa dalam menyelesaikan suatu masalah
secara sistematis.
c. Terciptanya kondisi pembelajaran yang mendorong minat dan keinginan siswa
bahwa belajar merupakan kebutuhan.
d. Untuk melatih keterampilan proses ilmiah siswa (mengamati, menanya,
menalar, mengumpulkan informasi/mencoba, mengasosiasi dan
mengomunikasikan).
e. Diperolehnya hasil belajar siswa yang tinggi
f. Untuk melatih siswa dalam mengomunikasikan ide-idenya.
g. Untuk mengembangkan karakter/ sikap ilmiah siswa (teliti, rasa ingin tahu,
kerja keras, pantang menyerah, komunikatif, dll.)

Beberapa prinsip pembelajaran yang menerapkan pendekatan saintifik


adalah sebagai berikut:
a. Pembelajaran berpusat pada aktivitas siswa dalam mengamati, menanya,
menalar, mengumpulkan informasi/ mencoba, mengasosiasi dan
mengomunikasikan.
b. Pembelajaran mengarah kepada penemuan dan pengembangan pengetahuan
oleh siswa dan terhindar dari verbalisme (transfer pengetahuan).
c. Pembelajaran mendorong terjadinya peningkatan kemampuan berpikir siswa
d. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk melatih kemampuan
keterampilan proses ilmiah (mengamati, menanya, menalar, mengumpulkan
informasi/ mencoba, mengasosiasi dan mengomunikasikan).
e. Adanya proses validasi terhadap konsep, prinsip atau teori yang dikonstruksi
siswa baik melalui penguatan oleh guru maupun siswa.

Berikut dijelaskan prosedur implementasi pendekatan saintifik untuk


setiap kegiatan pokok pada pendekatan saintifik berdasarkan Permendikbud
Nomor 22 tahun 2016.
a. Kegiatan Mengamati
1) Kegiatan ini dilakukan melalui kegiatan membaca, melihat, menyimak,
menonton, mendengar, merasa, meraba, mencium dan sebagainya dengan
menggunakan panca indera (mata, hidung, telinga, kulit dan lidah) tanpa
atau menggunakan alat bantu (teleskop, stetoskop, angket, kuesioner,
interviu, dll.).
2) Kegiatan ini didasari oleh kesadaran akan objek observasi.
3) Hasil dari kegiatan mengamati adalah skema dari fakta/ fenomena.
4) Guru harus menyusun indikator-indikator pengamatan yang dilakukan
siswa.
5) Kompetensi yang dikembangkan pada langkah mengamati adalah
kesungguhan dan ketelitian.
6) Guru harus menilai proses ketika siswa melakukan kegiatan mengamati
sesuai dengan indikator.

Langkah-langkah dalam kegiatan mengamati terdiri dari:


1) Guru menentukan objek yang akan diamati
2) Guru memberikan pertanyaan-pertanyaan penuntun dan pelacak
Contoh:
“ Apa yang kalian amati?”
“ Bagaimana kalau ...?”
3) Guru mengecek apakah yang diamati peserta didik sudah tepat
Contoh:
“ Ceritakan apa yang telah kalian amati!”

b. Kegiatan Menanya
1) Kegiatan ini dilakukan melalui kegiatan membuat dan mengajukan
pertanyaan, tanya jawab dan sebagainya.
2) Kegiatan ini merupakan perwujudan dari rasa ingin tahu siswa terhadap
apa yang tidak dipahaminya.
3) Pada saat siswa menanya, guru harus memfokuskan pada pertanyaan yang
sesuai dengan cakupan materi.
4) Bentuk pertanyaan dari siswa dapat berupa pertanyaan faktual, konseptual,
prosedural atau hipotetik.
a) Contoh Pertanyaan Faktual:
“ Apa nama benda itu?”
“ Dimana itu terjadi?”
“ Kapan kejadiannya?”
Jawabannya berupa Fakta
b) Contoh Pertanyaan Konseptual:
“ Apa yang dimaksud dengan ...?”
“ Pengertian dari gaya itu apa?”
Jawabannya berupa Konsep
c) Contoh Pertanyaan Prosedural:
“ Bagaimana caranya?”
“ Bagaimana menggunakannya?”
“ Bagaimana melakukannya?”
Jawabannya berupa Prosedur
d) Contoh Pertanyaan Hipotetik
“ Mengapa bisa begitu?”
“ Mengapa itu terjadi?”
Jawabannya berupa Prinsip atau Generalisasi

5) Guru harus menyusun indikator-indikator pertanyaan yang baik dan tepat


6) Kegiatan menanya dapat mengembangkan kreativitas dan rasa ingin tahu
7) Guru harus menilai proses pada saat siswa membuat, menyusun dan
menyampaikan pertanyaannya.

Langkah-langkah dalam kegiatan menanya terdiri dari:


1) Guru memastikan bahwa apa yang diamati siswa sudah tepat
2) Guru memberikan stimulus supaya siswa berani bertanya
3) Guru memberikan pertanyaan-pertanyaan penuntun supaya muncul
pertanyaan dari siswa sesuai dengan yang guru harapkan
4) Guru memfokuskan pertanyaan-pertanyaan siswa pada pertanyaan yang
sesuai dengan materi atau apa yang akan dicari oleh siswa
5) Guru memberikan penguatan kepada siswa yang sudah berani bertanya
dan motivasi bagi siswa yang belum berani bertanya
c. Kegiatan Mengumpulkan Informasi/ Mencoba
1) Kegiatan ini dilakukan melalui kegiatan eksperimen, mencoba sesuatu,
membuat sesuatu, mendemonstrasikan, meniru gerak, membaca berbagai
sumber, mewawancara narasumber dan sebagainya.
2) Guru perlu menyusun indikator-indikator bahwa siswa mengumpulkan
informasi dengan benar dan tepat
3) Guru melakukan penilaian proses ketika siswa melaksanakan kegiatan
mengumpulkan informasi
4) Hasil dari kegiatan ini berupa data/ informasi

Langkah-langkah dalam kegiatan mengumpulkan informasi terdiri dari:


1) Guru merumuskan tujuan pengumpulan informasi yang akan dilakukan
2) Guru bersama siswa menyiapkan perlengkapan
3) Siswa memperhitungkan tempat dan waktu
4) Guru menyediakan kertas kerja untuk mengarahkan kegiatan siswa
5) Siswa mengumpulkan informasi menggunakan kertas kerjanya
6) Guru mengumpulkan hasil kerja siswa dan mengevaluasinya

d. Kegiatan Menalar/ Mengasosiasi


1) Kegiatan ini dilakukan melalui kegiatan mengolah informasi, menganalisis
data, menemukan pola, menyimpulkan dan sebagainya.
2) Hasil dari kegiatan ini adalah data/ informasi yang telah diolah dan
digeneralisasi
3) Guru perlu merumuskan indikator-indikator bahwa siswa melakukan
kegiatan mengasosiasi dengan tepat
4) Guru harus menilai proses ketika siswa melakukan kegiatan mengasosiasi
Langkah-langkah dalam kegiatan mengasosiasi terdiri dari:
1) Siswa mencermati data/ informasi satu per satu
2) Siswa mengolah data/ informasi tersebut
3) Siswa melihat keunikan dari kumpulan informasi/ data tersebut dan
mengambil benang merahnya (menyimpulkan)
e. Kegiatan Mengomunikasikan
1) Kegiatan ini dapat dilakukan melalui presentasi, pajang karya, menyajikan
laporan secara lisan atau tertulis mulai dari proses, hasil dan kesimpulan.
2) Guru harus merumuskan indikator-indikator bahwa siswa
mengomunikasikan dengan tepat
3) Guru harus menilai proses ketika siswa melakukan kegiatan
mengomunikasikan

Langkah-langkah dalam kegiatan mengomunikasikan terdiri dari:


1) Siswa menentukan apa yang akan dikomunikasikan
2) Siswa menentukan siapa yang akan menjadi penerima informasi
3) Siswa memikirkan bagaimana cara mengomunikasikan supaya penerima
informasi bisa menerimanya atau memahaminya.
4) Siswa memberikan kesempatan kepada penerima informasi untuk bertanya
hal-hal yang belum dipahaminya
5)
Kelima kegiatan pokok (5M) di atas adalah aktivitas minimal,
guru dapat mengembangkannya sesuai kebutuhan

Permendikbud Nomor 22 tahun 2016 menghendaki pembelajaran saintifik


diperkuat dengan pembelajaran berbasis penemuan atau penyingkapan
(diskoveri), penelitian atau penyelidikan (inkuiri), pembelajaran berbasis masalah
dan pembelajaran berbasis proyek. Alasannya sangat rasional yaitu karena pada
keempat pembelajaran tersebut terdapat proses belajar yang melibatkan lima
kegiatan pokok pada pendekatan saintifik. Berikut adalah hubungan antara lima
kegiatan pokok pada pendekatan saintifik dan sintaks-sintaks pada keempat
pembelajaran di atas.
Tabel 1. Hubungan antara 5M dengan Sintaks pada Pembelajaran Diskoveri
dan Inkuiri
Sintaks pada Pembelajaran Diskoveri
Kegiatan Pokok 5M
dan Inkuiri
Mengamati Stimulation (memberikan rangsangan)
Menanya Problem Statement
(menyatakan masalah)
Mengumpulkan Informasi Data Collection
(mengumpulkan data)
Data Processing, Verification and
Mengasosiasi Generalization
(memproses, memverifikasi dan
menyimpulkan data)
Mengomunikasikan Disemination (mengomunikasikan)

Tabel 1. Hubungan antara 5M dengan Sintaks pada Pembelajaran Berbasis


Masalah
Sintaks pada Pembelajaran Berbasis
Kegiatan Pokok 5M
Masalah
Problem Situation, Clarification of
Mengamati Concept and Terms
(orientasi masalah)
Menanya Problem Definition and Analysis
(mendefinisikan masalah)
Mengumpulkan Informasi Building Explanation
(membimbing penyelidikan individu)
Mengasosiasi Synthesis Explanation
(membangun penjelasan)
Presentation and Evaluation
Mengomunikasikan (menyajikan hasil karya dan
mengevaluasi kegiatan)

Tabel 1. Hubungan antara 5M dengan Sintaks pada Pembelajaran Berbasis


Proyek
Sintaks pada Pembelajaran Berbasis
Kegiatan Pokok 5M
Proyek
Mengamati Orientasi masalah
Menanya Penentuan pertanyaan mendasar

Mengumpulkan Informasi/ Mencoba Menyusun perencanaan dan jadwal,


melaksanakan dan memonitor proyek
Mengasosiasi Menguji hasil
Mengomunikasikan Mengevaluasi pengalaman

Dalam proses kerja yang sesuai dengan kriteria ilmiah atau pendekatan
saintifik, para ilmuwan melakukan penalaran induktif (inductive reasoning) yang
memandang fenomena atau situasi spesifik kemudian menarik simpulan secara
keseluruhan, dan penalaran deduktif (deductive reasoning) yang memandang teori
umum untuk diterapkan pada fenomena atau situasi spesifik. Sesuai dengan
Permendikbud Nomor 65 tahun 2013 tentang Standar Proses yang menyatakan
bahwa “ Untuk memperkuat pendekatan ilmiah (scientific), tematik terpadu dan
tematik perlu diterapkan pembelajaran berbasis penyingkapan/ penelitian”.
Berdasarkan pernyataan tersebut, pendekatan saintifik memosisikan makna belajar
adalah “meneliti”. Sehingga lima kegiatan pokok dalam pendekatan saintifik
berbasis penelitian yang meliputi kegiatan mengamati, menanya, mengumpulkan
informasi/ mencoba, mengasosiasi dan mengomunikasikan idealnya dilakukan
secara terurut sesuai dengan prosedur pada metode ilmiah. Hal ini diperkuat
dengan pernyataan yang tertera pada Permendikbud Nomor 103 tahun 2014
tentang Pembelajaran pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah “
Pendekatan saintifik/ pendekatan berbasis proses keilmuan merupakan
pengorganisasian pengalaman belajar dengan urutan logis meliputi proses
pembelajaran mengamati, menanya, mengumpulkan informasi/ mencoba,
mengasosiasi dan mengomunikasikan”. Dapat disimpulkan bahwa kelima
kegiatan pokok pada pendekatan saintifik seyogyanya dilakukan secara terurut
mulai dari kegiatan mengamati, menanya, mengumpulkan informasi/ mencoba,
mengasosiasi dan mengomunikasikan.
Pendekatan saintifik berbasis penelitian berhubungan erat
dengan prosedur metode ilmiah

Berikut adalah prosedur implementasi pendekatan saintifik berbasis


penelitian atau prosedur ilmiah.
a. Untuk lebih memudahkan pemahaman, kelima kegiatan pokok pada
pendekatan saintifik berbasis penelitian dapat diilustrasikan dalam kegiatan
menanya, menjawab, dan mengomunikasikan jawaban. Kegiatan pembelajaran
diawali dengan pengamatan terhadap fenomena atau objek pengamatan.
Selanjutnya, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menanya
tentang hal-hal yang perlu diketahuinya atau hal-hal yang belum dipahaminya
(Menanya). Jawaban dari pertanyaannya secara empirik didapatkan siswa
melalui aktivitas mengumpulkan informasi/ mencoba dan mengasosiasi
(Menjawab). Jawaban tersebut kemudian dikomunikasikan oleh siswa secara
lisan atau tulisan kepada siswa lain dan guru untuk mendapatkan tanggapan
dan penguatan (Mengomunikasikan).
b. Kegiatan belajar inti dimulai dengan kegiatan mengamati benda atau fenomena
(objek penelitian). Hasil dari kegiatan mengamati berupa fakta atau
pengetahuan faktual.
c. Ketika siswa melakukan pengamatan, diharapkan akan muncul rasa ingin tahu
terhadap hal-hal yang tidak dipahaminya dari apa yang diamatinya. Interpretasi
rasa ingin tahu siswa adalah sejumlah pertanyaan faktual, konseptual,
prosedural bahkan sampai pada pertanyaan hipotetik. Bentuk pertanyaan siswa
yang diharapkan pada pendekatan saintifik berbasis penelitian adalah
pertanyaan hipotetik yang mengarah pada berpikir tingkat tinggi (High
Order Thinking) yang sesuai dengan objek pengamatan dan materi ajar.
Contoh Pertanyaan Hipotetik:
“ Mengapa bisa begitu?”
“ Mengapa itu terjadi?”
Jawabannya berupa Prinsip atau Generalisasi

d. Kegiatan menanya oleh siswa diharapkan berupa pertanyaan-pertanyaan


hipotetik yang sesuai dengan objek pengamatan dan materi ajar, serta
mengarah kepada hal-hal yang ingin ditemukan oleh siswa. Jika tidak ada
pertanyaan yang sesuai harapan, maka guru yang memberikan pertanyaan agar
dijawab oleh siswa melalui kegiatan mengumpulkan informasi/ mencoba,
mengasosiasi dan mengomunikasikan.
e. Kegiatan menanya berhubungan dengan kegiatan menalar/ menduga yang
melibatkan pengetahuan awal yang dimilikinya (prior knowledge), siswa
menduga jawaban dari apa yang ditanyakannya. Kegiatan ini menghasilkan
hipotesis (dugaan).
Contoh tanya jawab guru dan siswa
Guru: “ Menurutmu, mengapa itu terjadi?”
Siswa: “ Menurut saya, itu terjadi karena ...”
Hasilnya berupa Hipotesis
f. Untuk menjawab pertanyaan atau untuk menguji dugaan, siswa melakukan
kegiatan mencoba atau mengumpulkan data/ informasi. Hasil dari kegiatan ini
adalah jawaban dari pertanyaan berupa sejumlah informasi/ data yang masih
tercecer.
g. Siswa mengolah data/ informasi yang masih tercecer, kemudian dilihat polanya
untuk selanjutnya menarik kesimpulan dari data/ informasi tersebut
(mengasosiasi). Hasil dari kegiatan ini adalah jawaban dari pertanyaan siswa.
h. Jawaban tersebut disampaikan kepada guru dan siswa lain melalui kegiatan
mengomunikasikan. Pada kegiatan ini, guru dan siswa lain memvalidasi
jawaban atau hal-hal yang dikomunikasikan.
i. Kelima kegiatan pokok pada pendekatan saintifik dapat dilakukan dalam satu
pertemuan/ pembelajaran atau lintas pertemuan/ pembelajaran.
Misalnya:
1) Pembelajaran 1 dilakukan dua kegiatan pokok yaitu mengamati dan
menanya
2) Pembelajaran 2 dilakukan dua kegiatan pokok yaitu mengumpulkan
informasi/ mencoba dan mengasosiasi
3) Pembelajaran 3 dilakukan kegiatan mengomunikasikan

j. Jika hal-hal yang harus ditemukan siswa banyak dan beragam, pendekatan
saintifik dapat dilaksanakan secara kelompok (kolaboratif).
Misalnya:
1) Kelompok 1 menemukan atau menyelidiki masalah A
2) Kelompok 2 menemukan atau menyelidiki masalah B
3) Kelompok 3 menemukan atau menyelidiki masalah C

Pada kegiatan mengomunikasikan, setiap kelompok menyampaikan proses dan


hasil temuannya, sehingga kelompok 1 dan 2 mengetahui proses dan hasil
temuan dari kelompok 3 dan begitu juga sebaliknya sehingga pengetahuan
yang didapatkan seluruh siswa tetap utuh.
k. Kelima kegiatan pokok pada pendekatan saintifik berbasis penelitian
dilaksanakan untuk materi yang sama (memperhatikan keterurutan dan
keterkaitan).
Misalnya:
a) Mengamati terhadap objek A
b) Menanya tentang objek A
c) Mengumpulkan informasi tentang objek A
d) Mengasosiasi data/ informasi tentang objek A
e) Mengomunikasikan jawaban atas pertanyaan tentang objek A
l. Fase belajar siswa yang terdiri dari eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi telah
diwakili oleh aktivitas pokok 5M.
1) Kegiatan mengamati dan menanya merupakan kegiatan pada fase eksplorasi
2) Kegiatan mengumpulkan informasi/ mencoba dan mengasosiasi merupakan
kegiatan pada fase elaborasi
3) Kegiatan mengomunikasikan merupakan kegiatan pada fase konfirmasi

Pendekatan saintifik berbasis penelitian dapat diterapkan pada semua


jenjang pendidikan. Jika guru khususnya guru SD mengalami kesulitan untuk
menerapkan pendekatan saintifik berbasis penelitian maka guru dapat memilih
pendekatan saintifik lainnya. Dalam pembelajaran pada tingkat sekolah dasar,
yang terpenting adalah bagaimana melatih dan membiasakan siswa agar memiliki
keterampilan proses ilmiah (mengamati, menanya, mengumpulkan informasi/
mencoba, mengasosiasi dan mengomunikasikan) dan sikap ilmiah (teliti, terbuka,
jujur, komunikatif, pantang menyerah, kerja keras dan memiliki rasa ingin tahu
yang tinggi) sehingga pada masa mendatang, siswa diharapkan memiliki
keterampilan proses dan sikap ilmiah yang diharapkan untuk memecahkan
masalah yang dihadapinya. Dengan demikian, kelima kegiatan pokok pada
pendekatan saintifik pada tingkat sekolah dasar tidak selalu harus dilaksanakan
secara terurut, melainkan dapat dilakukan secara luwes (fleksibel) sesuai dengan
kreativitas dan kemampuan guru, karakteristik mata pelajaran, materi ajar dan
siswa.
Pendekatan saintifik dengan kegiatan 5M tidak terurut
berhubungan erat dengan keterampilan proses ilmiah

“ Yang terpenting adalah siswa memiliki sikap ilmiah dan terampil


melakukan kegiatan 5M ”

Prosedur implementasi pendekatan saintifik dengan kegiatan 5M yang


tidak terurut (berbasis keterampilan proses) adalah sebagai berikut:
a. Kelima kegiatan pokok dapat dilaksanakan dalam satu pembelajaran.
Contoh:
1) Pada pembelajaran 1 dilaksanakan kegiatan mengamati, menanya,
mengumpulkan informasi, mengasosiasi dan mengomunikasikan.
2) Pada pembelajaran 2 dilaksanakan kegiatan mengamati, menanya,
mengumpulkan informasi, mengasosiasi dan mengomunikasikan.
b. Kelima kegiatan pokok dapat dilaksanakan lintas pembelajaran sesuai dengan
cakupan materi pembelajaran.
Contoh:
1) Pada pembelajaran 1 dilaksanakan kegiatan mengamati dan
mengumpulkan informasi
2) Pada pembelajaran 2 dilaksanakan kegiatan mengasosiasi
3) Pada pembelajaran 3 dilaksanakan kegiatan mengomunikasikan dan
menanya
c. Kelima kegiatan pokok dapat dilaksanakan lebih dari satu kali dalam satu
pembelajaran.
Contoh:
1) Pada pembelajaran 1 dilaksanakan kegiatan mengamati dan
mengumpulkan informasi
2) Pada pembelajaran 2 dilaksanakan kegiatan mengasosiasi dan menanya
3) Pada pembelajaran 3 dilaksanakan kegiatan mengamati,
mengomunikasikan dan menanya
d. Kegiatan menanya dari siswa adalah sesuatu yang diharapkan oleh guru, tetapi
yang lebih penting adalah kesempatan bertanya yang diberikan oleh guru
kepada siswa. Bentuk pertanyaan siswa yang sesuai dengan implementasi
pendekatan saintifik dengan kegiatan 5M yang tidak terurut adalah pertanyaan
faktual, konseptual dan prosedural. Jawaban dari pertanyaannya dipikirkan
dan disampaikan oleh siswa sendiri, siswa lain dan selanjutnya oleh guru
sebagai penguatan.
e. Kelima kegiatan pokok dapat dilaksanakan untuk materi yang berbeda (tidak
memperhatikan keterurutan dan keterkaitan).
Contoh:
1) Mengamati objek A pada materi A
2) Mengumpulkan informasi tentang materi B
3) Mengomunikasikan ide/ jawaban/ kesimpulan tentang materi C
4) dll.
f. Fase belajar siswa yang terdiri dari eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi telah
diwakili oleh aktivitas pokok 5M.
1) Kegiatan mengamati dan menanya merupakan kegiatan pada fase
eksplorasi
2) Kegiatan mengumpulkan informasi/ mencoba dan mengasosiasi
merupakan kegiatan pada fase elaborasi
3) Kegiatan mengomunikasikan merupakan kegiatan pada fase konfirmasi

Kreativitas guru menjadi salah satu faktor penting dalam keberhasilan


pembelajaran. Guru yang kreatif akan memilih dan mengembangkan
pembelajaran yang menerapkan pendekatan saintifik sesuai dengan kemampuan
guru dan karakteristik mata pelajaran, kompetensi dasar, materi pembelajaran dan
siswa serta bentuk pertanyaan siswa. Berikut adalah prosedur penerapan
pendekatan saintifik dalam pembelajaran.
a. Kenalilah kemampuan guru sendiri, karakteristik siswa, kompetensi dasar,
mata pelajaran yang terkait dengan tema, materi ajar dan bentuk pertanyaan
siswa!
b. Pilihlah pendekatan saintifik yang akan diterapkan dalam pembelajaran sesuai
dengan karakteristik di atas (pendekatan saintifik berbasis penelitian atau
pendekatan saintifik dengan kegiatan 5M yang tidak terurut)!
c. Jika tidak memungkinkan untuk melaksanakan pendekatan saintifik berbasis
penelitian, maka terapkanlah pendekatan saintifik dengan kegiatan 5M yang
tidak terurut!
d. Kembangkanlah kelima kegiatan pokok pada pendekatan saintifik sesuai
dengan karakteristik di atas!
e. Kelima kegiatan pokok pada pendekatan saintifik dilakukan oleh siswa, guru
bertugas sebagai fasilitator agar kegiatan 5M berjalan dengan baik.

2. Pembelajaran Berbasis Proyek


Proses pembelajaran seyogyanya dapat menumbuhkan kreativitas,
keterampilan/ sikap, dan kemampuan bernalar siswa. Hal ini sesuai dengan
pernyataan pada Permendikbud Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar proses
yang dinyatakan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan seyogyanya
diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang,
memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup
bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan
perkembangan fisik serta psikologis siswa. Dengan demikian, salah satu fokus
utama proses pembelajaran di sekolah dasar adalah pada kreativitas guru dan
siswa. Kreativitas guru terlihat pada bagaimana guru merencanakan dan
melaksanakan pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa dan materi
ajar sehingga pembelajaran menjadi efektif. Sedangkan, kreativitas siswa terlihat
pada saat mereka melakukan eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi sehingga
menghasilkan suatu karya yang berbasis pemecahan masalah.
Pembelajaran yang dapat memfasilitasi siswa untuk berkarya baik secara
individual maupun kelompok diantaranya adalah pembelajaran berbasis proyek.
Dalam standar proses dinyatakan bahwa untuk mendorong kemampuan siswa
menghasilkan karya kontekstual, baik individual maupun kelompok maka sangat
disarankan menggunakan pendekatan pembelajaran yang menghasilkan karya
berbasis pemecahan masalah (project based learning). Dengan demikian, dalam
pembelajaran berbasis proyek, siswa aktif menghasilkan karya bermakna sebagai
solusi masalah nyata di sekitar siswa dalam kehidupan sehari-harinya.
Pembelajaran berbasis proyek adalah pembelajaran yang menggunakan
proyek/ kegiatan sebagai media dan menggunakan masalah sebagai langkah awal
dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan
pengalaman siswa dalam beraktivitas secara nyata. Pembelajaran berbasis proyek
merupakan pembelajaran yang menuntut kreativitas siswa. Pada pembelajaran
berbasis proyek terkandung makna hasil karya siswa sebagai hasil belajar melalui
perbuatan atau pengalaman langsung (learning by doing) yang merupakan konsep
dari pendekatan konstruktivisme dari John Dewey.
Pembelajaran berbasis proyek merupakan pembelajaran yang melibatkan
suatu penelitian atau penyelidikan mendalam tentang topik tertentu yang
dikerjakan oleh siswa secara individual maupun kelompok untuk memecahkan
masalah nyata di sekitar siswa yang muncul dalam pembelajaran. Dengan
demikian, dalam pembelajaran berbasis proyek, siswa atau guru dapat
mengajukan topik-topik proyek yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan
siswa, materi dan tema pembelajaran. Hasil dari pembelajaran berbasis proyek
adalah produk atau karya berupa ide dan produk konkret yang kreatif dan
bermakna.

Pembelajaran berbasis proyek diawali dengan masalah nyata di


sekitar siswa untuk dipecahkan melalui karya kreatif dan
bermakna

Pembelajaran berbasis proyek memiliki karakteristik yang membedakan


dengan pembelajaran lainnya sebagai berikut:
a. Adanya kerangka kerja
Dalam pembelajaran, guru dan siswa merumuskan dan menyepakati kontrak
belajar termasuk prosedur kerja dalam pembelajaran berbasis proyek yang akan
dilakukan.
b. Adanya permasalahan atau tantangan yang diajukan kepada siswa
Dalam pembelajaran, guru atau siswa menyampaikan masalah nyata di sekitar
siswa (kontekstual) terkait dengan tema pembelajaran yang telah dipelajari.
c. Hasil belajar siswa berupa solusi atas permasalahan atau tantangan yang
diajukan
Dalam pembelajaran, siswa secara berkelompok memikirkan ide untuk
menyelesaikan masalah yang muncul dalam pembelajaran.
d. Adanya kolaborasi yang bertanggungjawab untuk mengakses dan mengelola
informasi untuk memecahkan permasalahan
Dalam pembelajaran, siswa secara berkelompok berbagi tugas dan
bertanggungjawab terhadap tugasnya masing-masing.
e. Proses evaluasi dijalankan secara kontinyu
Dalam pembelajaran, guru menetapkan waktu untuk melihat kemajuan kerja
kelompok, menilai kemajuan kerja siswa dan memberikan saran perbaikan
terhadap kinerja siswa.
f. Proses refleksi dilakukan secara berkelanjutan atas aktivitas yang sudah
dijalankan
Dalam pembelajaran, guru bersama siswa menetapkan waktu dan memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menceritakan hambatan-hambatan ketika
melaksanakan proyek, menyampaikan alasannya dan rencana perbaikan proses
proyeknya.
g. Produk akhir aktivitas belajar dievaluasi secara kualitatif
Dalam pembelajaran, guru menilai produk akhir dan kinerja siswa sehingga
siswa memahami kekurangan dan kelebihan produk dan kinerjanya.
h. Situasi pembelajaran sangat toleran terhadap kesalahan dan perubahan
Dalam pembelajaran, guru selalu memberikan penghargaan sebagai bentuk
motivasi kepada seluruh siswa dan selalu memberikan kesempatan kepada
siswa untuk menyampaikan ide-ide baru yang inovatif.
Pembelajaran berbasis proyek dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut:
a. Mengembangkan kreativitas siswa
b. Mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa
c. Mengembangkan sikap kerjasama, tanggung jawab dan saling menghargai
antarsiswa
d. Meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah
e. Mengembangkan keterampilan proses (mengamati, menanya, menalar,
mencoba dan mengomunikasikan) dan sikap ilmiah siswa (rasa ingin tahu,
jujur, terbuka, disiplin)

Pembelajaran berbasis proyek dilaksanakan dengan prinsip-prinsip sebagai


berikut:
a. Pembelajaran berpusat pada siswa yang melibatkan tugas-tugas pada
kehidupan nyata sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan siswa
Dalam pembelajaran, siswa aktif menyampaikan masalah dalam kehidupan
nyata yang sesuai dengan tema dan memikirkan ide inovatif untuk
memecahkan masalah tersebut.
b. Tugas/ proyek menekankan pada kegiatan penyelidikan berdasarkan suatu tema
atau topik yang telah ditentukan dalam pembelajaran
Dalam pembelajaran, siswa bersama guru menetapkan topik-topik proyek yang
sesuai dengan tema pembelajaran sebelumnya. Kemudian, siswa secara
berkelompok memilih topik proyek sesuai kesepakatan kelompok.
c. Penyelidikan atau eksperimen dilakukan secara otentik dan menghasilkan
produk nyata.
Dalam pembelajaran, siswa secara berkelompok melakukan penyelidikan atau
percobaan untuk menghasilkan produk nyata dan bermakna sebagai solusi dari
masalah nyata yang muncul dalam pembelajaran sesuai dengan topik proyek
yang dipilihnya.
d. Produk, laporan atau hasil karya tersebut dikomunikasikan untuk mendapat
tanggapan dan umpan balik untuk perbaikan proyek berikutnya.
Dalam pembelajaran, siswa secara berkelompok mengomunikasikan proses dan
hasil kerjanya sesuai dengan topik proyek yang dipilihnya, sementara siswa
lain memberikan tanggapan dan guru memberikan penguatan.

Prosedur pelaksanaan pembelajaran berbasis proyek ini berupa langkah-


langkah sistematis dan aturan pelaksanaan pembelajaran berbasis proyek supaya
pembelajaran efektif. Secara umum langkah-langkah pada pembelajaran berbasis
proyek terdiri dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi proyek. Berikut adalah
langkah-langkah pembelajaran berbasis proyek menurut Permendikbud tentang
Kurikulum 2013 Sekolah Dasar:

1 2
3
PENENTUAN PERTANYAAN MENYUSUN PERECANAAN
MENYUSUN JADWAL
MENDASAR PROYEK

6 5 4
EVALUASI PENGALAMAN MENGUJI HASIL MONITORING

Gambar 1. Langkah-langkah Pelaksanaan Pembelajaran Berbasis Proyek

Penjelasan Langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Proyek sebagai


berikut.
a. Penentuan Pertanyaan Mendasar (Start With the Essential Question).
Pembelajaran dimulai dengan pertanyaan esensial, yaitu pertanyaan yang
dapat memberi penugasan siswa dalam melakukan suatu aktivitas. Mengambil
topik yang sesuai dengan realitas dunia nyata dan dimulai dengan sebuah
investigasi mendalam. Guru berusaha agar topik yang diangkat relevan untuk
para siswa.
b. Mendesain Perencanaan Proyek (Design a Plan for the Project)
Perencanaan dilakukan secara kolaboratif antara guru dan siswa. Dengan
demikian siswa diharapkan akan merasa “memiliki” atas proyek tersebut.
Perencanaan berisi tentang aturan main, pemilihan aktivitas yang dapat
mendukung dalam menjawab pertanyaan esensial, dengan cara
mengintegrasikan berbagai subjek yang mungkin, serta mengetahui alat dan
bahan yang dapat diakses untuk membantu penyelesaian proyek.
c. Menyusun Jadwal (Create a Schedule)
Guru dan siswa secara kolaboratif menyusun jadwal aktivitas dalam
menyelesaikan proyek. Aktivitas pada tahap ini antara lain: (1) membuat
timeline untuk menyelesaikan proyek, (2) membuat deadline penyelesaian
proyek, (3) membawa siswa agar merencanakan cara yang baru, (4)
membimbing siswa ketika mereka membuat cara yang tidak berhubungan
dengan proyek, dan (5) meminta siswa untuk membuat penjelasan (alasan)
tentang pemilihan suatu cara.
d. Memonitor siswa dan kemajuan proyek (Monitor the Students and the
Progress of the Project)
Guru bertanggungjawab untuk melakukan monitor terhadap aktivitas siswa
selama menyelesaikan proyek. Monitoring dilakukan dengan cara
menfasilitasi siswa pada setiap roses. Dengan kata lain pengajar berperan
menjadi mentor bagi aktivitas siswa. Agar mempermudah proses monitoring,
dibuat sebuah rubrik yang dapat merekam keseluruhan aktivitas yang penting.
e. Menguji Hasil (Assess the Outcome)
Penilaian dilakukan untuk membantu guru dalam mengukur ketercapaian
standar, berperan dalam mengevaluasi kemajuan tiap-tiap siswa, memberi
umpan balik tentang tingkat pemahaman yang sudah dicapai siswa, membantu
guru dalam menyusun strategi pembelajaran berikutnya.
f. Mengevaluasi Pengalaman (Evaluate the Experience)
Pada akhir proses pembelajaran, guru dan siswa melakukan refleksi terhadap
aktivitas dan hasil proyek yang sudah dijalankan. Proses refleksi dilakukan
baik secara individu maupun kelompok. Pada tahap ini siswa diminta untuk
mengungkapkan perasaan dan pengalamanya selama menyelesaikan proyek.
Guru dan siswa mengembangkan diskusi dalam rangka memperbaiki kinerja
selama proses pembelajaran, sehingga pada akhirnya ditemukan suatu temuan
baru (new inquiry) untuk menjawab permasalahan yang diajukan pada tahap
pertama pembelajaran.

Langkah-langkah pada pembelajaran berbasis proyek dapat dikembangkan


sesuai dengan kreativitas guru. Berikut adalah langkah-langkah pembelajaran
berbasis proyek yang telah dikembangkan:
a. Model Pembelajaran Berbasis Proyek Menurut Keser & Karagoca (2010)

Penentuan Perancangan langkah- Penyusunan Jadwal


Proyek langkah penyelesaian Pelaksanaan Proyek
Proyek

Penyusunan laporan Penyelesaian Proyek


Evaluasi proses
dan dengan fasilitasi dan
dan hasil
presentasi/publikasi monitoring guru
Proyek
hasil Proyek

Gambar 2. Langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Proyek


Diadaptasi dari Keser & Karagoca (2010)

Berdasarkan bagan di atas, kegiatan yang harus dilakukan pada setiap


langkah pembelajaran berbasis proyek adalah sebagai berikut:
1) Penentuan proyek
Pada langkah ini, siswa menentukan tema/ topik proyek berdasarkan tugas
proyek yang diberikan oleh guru. Siswa diberi kesempatan untuk memilih/
menentukan proyek yang akan dikerjakannya baik secara kelompok ataupun
mandiri dengan catatan tidak menyimpang dari tugas yang diberikan guru.
2) Perancangan langkah-langkah penyelesaian proyek
Siswa merancang langkah-langkah kegiatan penyelesaian proyek dari awal
sampai akhir beserta pengelolaannya. Kegiatan perancangan proyek ini berisi
aturan main dalam pelaksanaan tugas proyek, pemilihan aktivitas yang dapat
mendukung tugas proyek, pengintegrasian berbagai kemungkinan penyelesaian
tugas proyek, perencanaan sumber/ bahan/ alat yang dapat mendukung
penyelesaian tugas proyek, dan kerja sama antar anggota kelompok.
3) Penyusunan jadwal pelaksanaan proyek
Siswa di bawah pendampingan guru melakukan penjadwalan semua kegiatan
yang telah dirancangnya diantaranya tentang berapa lama proyek itu harus
diselesaikan tahap demi tahap.
4) Penyelesaian proyek dengan fasilitasi dan monitoring guru
Langkah ini merupakan langkah pengimplementasian rancangan proyek yang
telah dibuat. Aktivitas yang dapat dilakukan dalam kegiatan proyek di
antaranya adalah dengan (1) membaca; (2) meneliti; (3) observasi; (4) interviu;
(5) merekam; (6) berkarya seni; (7) mengunjungi objek proyek; atau (8) akses
internet. Guru bertanggung jawab memonitor aktivitas siswa dalam melakukan
tugas proyek mulai proses hingga penyelesaian proyek. Pada kegiatan
monitoring, guru membuat rubrik yang akan dapat merekam aktivitas siswa
dalam menyelesaikan tugas proyek.
5) Penyusunan laporan dan presentasi/ publikasi hasil proyek
Hasil proyek dalam bentuk produk, baik itu berupa produk karya tulis, karya
seni, atau karya teknologi/ prakarya dipresentasikan dan/ atau dipublikasikan
kepada siswa yang lain dan guru atau masyarakat dalam bentuk pameran
produk pembelajaran.
6) Evaluasi proses dan hasil proyek
Guru dan siswa pada akhir proses pembelajaran melakukan refleksi terhadap
aktivitas dan hasil tugas proyek. Proses refleksi pada tugas proyek dapat
dilakukan secara individu maupun kelompok. Pada tahap evaluasi, siswa diberi
kesempatan mengemukakan pengalamannya selama menyelesaikan tugas
proyek yang berkembang dengan diskusi untuk memperbaiki kinerja selama
menyelesaikan tugas proyek. Pada tahap ini juga dilakukan umpan balik
terhadap proses dan produk yang telah dihasilkan.
b. Model Pembelajaran Berbasis Proyek Menurut Sungkono (2012)
Model pembelajaran berbasis proyek ini terdiri dari langkah-langkah
seperti terlihat pada diagram di bawah ini.

Menetapkan tema proyek


(sesuai dengan materi atau tema yang sudah dipelajari)

Merencanakan aktivitas
(project planning)

Memproses aktivitas
(project pre-actuating)

Penerapan aktivitas untuk menyelesaikan proyek


(project actuating)

Mendemonstrasikan proyek
(project demonstration & disemination)

Menyempurnakan produk
(reflection and evaluation)

Menyusun laporan
(project report)

Gambar 3. Disain Model Pembelajaran Menurut Sungkono (2012)

1) Menetapkan atau memilih tema atau topik adalah langkah awal yang harus
ditempuh dalam melaksanakan pembelajaran berbasis proyek. Topik dapat
muncul secara spontan dari minat siswa atau yang diusulkan guru, kemudian
diperhalus oleh guru bekerjasama dengan siswa. Topik proyek harus sesuai
dengan materi atau tema yang telah dipelajari. Sebelum membahas topik
proyek, guru perlu berdiskusi dan mencatat pengetahuan awal dan pengalaman
siswa yang berkaitan dengan topik. Hal ini penting untuk menghubungkan
pengetahuan dan pengalaman yang sudah dimiliki siswa dengan pengetahuan
baru yang akan diperolehnya.
2) Merencanakan aktivitas proyek dilakuan oleh siswa sesuai dengan jenis proyek
yang dipilihnya.
3) Rencana yang telah disusunnya diperiksa kembali untuk diproses pada tahap
memproses aktivitas proyek diantaranya berkaitan dengan alat dan bahan yang
dibutuhkan serta hal-hal terkait dengan proyek.
4) Penerapan atau pelaksanaan kegiatan untuk menyelesaikan proyek sesuai
dengan rencana yang telah disusun.
5) Kegiatan mendemontrasikan atau mendiseminasikan proyek melalui kegiatan
presentasi atau pajang karya.
6) Setelah mendapat masukan dari guru serta siswa lain, kegiatan dilanjutkan
dengan penyempurnaan produk atau hasil karya proyek.
7) Kegiatan diakhiri dengan penyusunan laporan proyek sederhana.

c. Model Pembelajaran Berbasis Proyek Menurut Iriawan (2014)

PENENTUAN PENENTUAN PEMILIHAN PERENCANAAN


PERTANYAAN/ TOPIK-TOPIK TOPIK
DAN
MASALAH PENYUSUNAN
PROYEK PROYEK JADWAL PROYEK
MENDASAR

PAMERAN PENILAIAN PELAKSANAAN


REFLEKSI PROYEK PROYEK PENYUSUNAN DAN
KEGIATAN DAN DAN LAPORAN PELAPORAN
PROYEK PRODUK PRODUK PROYEK PROGRES
SISWA SISWA PROYEK

Gambar 4. Disain Model Pembelajaran Berbasis Proyek (Iriawan, 2014)

Langkah-langkah pada model pembelajaran berbasis proyek di atas dapat


dirinci sebagai berikut:
1) Pembelajaran berbasis proyek dilaksanakan setelah selesai satu tema
pembelajaran
2) Siswa bersama guru menemukan masalah-masalah yang terkait dengan tema
pembelajaran
3) Siswa bersama guru menentukan topik-topik proyek sesuai dengan tema
pembelajaran. Topik-topik proyek adalah solusi-solusi dari masalah yang dapat
dipilih oleh siswa melalui proyeknya
4) Siswa secara berkelompok memilih satu topik proyek untuk dikembangkan
5) Siswa secara individual atau kelompok menyusun perencanaan proyek dan
jadwal proyek serta pembagian tugas proyek
6) Siswa melaksanakan proyeknya, kemudian melaporkan progres proyek
7) Siswa menyusun laporan proyek sesuai dengan format
8) Guru memberikan penilaian atas proyek (perencanaan, pelaksanaan dan
pelaporan) dan produk siswa (kreativitas dan estetikanya) yang merupakan
kesepakatan dengan siswa
9) Siswa memajangkan hasil karyanya dan memamerkannnya pada acara pameran
kelas
10) Siswa melakukan refleksi terhadap kegiatan proyek yang telah dilakukan

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menerapkan pembelajaran


berbasis proyek adalah sebagai berikut:
a. Pembelajaran berbasis proyek dilaksanakan setiap berakhir satu tema
pembelajaran dengan rentang waktu paling lama satu minggu tentang tema
yang telah dipelajari sebelum masuk ke tema berikutnya.
b. Pembelajaran berbasis proyek yang dilaksanakan tanpa mengganggu kegiatan
pembelajaran pada tema berikutnya.
c. Dalam menerapkan model pembelajaran berbasis proyek hendaknya sesuai
dengan tema dan diawali dengan pengajuan masalah dari siswa atau guru untuk
dipecahkan oleh siswa melalui pembelajaran berbasis proyek.
d. Topik proyek yang akan dipilih siswa dalam pembelajaran berbasis proyek
hendaknya beragam (variatif) sehingga karya siswa yang dihasikan juga
beragam (variatif).
e. Karya yang dihasilkan oleh siswa melalui pembelajaran berbasis proyek adalah
karya berbasis masalah yang bermakna sebagai pemecahan masalah yang
muncul sesuai topik yang dipilih siswa.
f. Pembelajaran berbasis proyek memerlukan banyak waktu dan peralatan yang
harus disediakan untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks. Untuk itu
direkomendasikan menggunakan team teaching dalam proses pembelajaran.
g. Dalam pembelajaran berbasis proyek, kondisikan suasana belajar supaya
menyenangkan dan tidak monoton.

3. Pembelajaran dengan Pendekatan Konstruktivisme


Pendekatan pembelajaran konstruktivisme adalah salah satu pendekatan
yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach) karena
menekankan pada kegiatan siswa. Pendekatan konstruktivisme adalah suatu
pendekatan pembelajaran yang menekankan pada pengetahun awal siswa sebagai
tolak ukur dalam belajar. Pendekatan konstruktivisme menekankan bahwa
peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktivitas siswa dalam
mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media,
peralatan, lingkungan dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu
pembentukan tersebut. Menurut Bell, Driver & Leach dalam Hilda Karli &
Margaretha SY (dalam Kusmoro: 2008) [online], pengertian pendekatan
pembelajaran konstruktivisme yaitu:
Suatu pendekatan tentang proses pembelajaran yang menyatakan bahwa
dalam proses belajar hendaknya diawali dengan terjadinya konflik-konflik
kognitif ini hanya dapat di atasi melalui pengetahuan diri (self regulation). Dan
pada akhir proses belajar, pengetahuan akan di bangun sendiri oleh siswa melalui
pengalamannya sendiri dari hasil interaksi dengan lingkungannya. Sedangkan
peran guru menurut Suparno (dalam Kusmoro,:2008) [online], “sebagai mediator
dan fasilitasi yang membantu agar proses belajar siswa berjalan dengan baik.”
Jadi dapat disimpulkan bahwa pendekatan konstruktivisme merupakan sudut
pandang dalam pembelajaran yang memberikan peluang bagi siswa untuk
mengkonstruksi pengetahuannya melalui kegiatan dan pengalaman belajar siswa.
Konstruktivisme merupakan teori pembelajaran yang relatif baru. Secara
garis besar terdapat lima prinsip tentang belajar dan mengajar yang merupakan
dasar bagi pendekatan-pendekatan berbasis konstruktivisme (Widodo : 2010)
a. Pertama, pembelajar telah memiliki pengetahuan awal.
b. Kedua, belajar merupakan proses pengkonstruksian suatu pengatahuan
berdasarkan pengatahuan yang telah dimiliki.
c. Ketiga, belajar adalah perubahan konsepsi pembelajar.
d. Keempat, proses pengkonstruksian pengetahuan berlangsung dalam suatu
konteks sosial tertentu.
e. Kelima, pembelajar bertanggung jawab terhadap proses belajarnya.

Sedangkan menurut Brook and Brook (dalam Indrawati; Setiawan, 2009)


ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan, jika Anda akan
mengimplementasikan konstruktivisme dalam pembelajaran, prinsip-prinsip
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Mengajukan masalah yang relevan untuk siswa
b. Strukturkan pembelajaran untuk mencapai konsep-konsep esensial
c. Sadarilah bahwa pendapat (perspektif) siswa merupakan jendela mereka untuk
menalar (berpikir).
d. Adaptasikan kurikulum untuk, memenuhi kebutuhan dan pengembangan siswa
e. Lakukan asesmen terhadap hasil belajar siswa dalam konteks pembelajaran.

Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam secara


umum pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran memiliki prinsip bahwa
pembelajaran yang dilakukan menekankan kepada: 1) Belajar adalah proses aktif
mengkonstruksi pengetahuan; 2) Aktif membentuk keterkaitan (link) antara
pengetahuan yang telah dimiliki siswa dengan pengetahuan yang sedang
dipelajari; 3) Melakukan interaksi dengan siswa yang lain.
Dasar pemikiran konstruktivis adalah pengajaran yang efektif
menghendaki guru mengetahui bagaimana para siswa memandang fenomena yang
menjadi subjek pengajaran atau bagaimana gagasan siswa mengenai konsep yang
akan dibahas sebelum pembelajaran mengenai suatu konsep akan dimulai.
Menurut Driver & Leaach, ciri-ciri pembelajaran dengan pendekatan
konstruktivisme adalah sebagai berikut:
a. Beranjak dari pengetahuan
b. siswa (prior knowledge)
c. Memberikan pengalaman langsung (experimence) melalui aktivitas hands-on
dan mind-on
d. Mengaktifkan interaksi sosial (social interaktions) dan konteks natural
&cultural yang cocok dengan kehidupan siswa
e. Pencapaian kepahaman (sense making); dengan terjadinya perubahan
konseptual pada diri siswa.

Sedangkan menurut Djojosoediro (2003), ciri utama belajar dan


pembelajaran konstruktivisme adalah:
a. Pengetahuan awal siswa menjadi bagian penting dalam pembelajaran
b. Siswa aktif belajar dan menghubungkan pengetahuan awal yang dimiliki
dengan pengetahuan yang sedang dipelajari
c. Siswa membangun `pengetahuan sendiri sehingga pengetahuan tersebut
bermakna bagi dirinya
d. Selalu beriteraksi multi arah

Implikasi dari pendekatan belajar konstruktivisme dalam pembelajaran


meliputi empat tahapan yaitu, 1) eksplorasi pengetahuan awal siswa
(mengungkapkan konsepsi awal dan membangkitkan motivasi), 2) pemberian
pengalaman langsung, 3) mengaktifkan interaksi sosial, 4) Pencapaian
kepahaman. Tahap-tahap pembelajaran tersebut diuraikan sebagai berikut:
a. Eksplorasi pengetahuan awal siswa
Pada tahap ini siswa didorong untuk mengungkapkan pengetahuan awal
tentang konsep yang akan dipelajari. Bila perlu guru memancing dengan
memberikan pertanyaan-pertanyaan problematis tentang fenomena yang sering
ditemui sehari-hari dengan mengaitkan konsep yang akan dibahas. Siswa diberi
kesempatan untuk mengkomunikasikan, mengilustrasikan pemahaman tentang
konsep tersebut.
b. Pemberian pengalaman langsung
Pada tahap ini siswa diajak untuk menemukan konsep melalui
penyelidikan, pengumpulan data, dan penginterpretasian data melalui suatu
kegiatan yang telah dirancang oleh guru. Pemberian pengalaman langsung dapat
berupa pengamatan, melakukan percobaan, demonstrasi, mencari informasi
melalui buku atau surfing di internet secara berkelompok. Pada tahap ini
dirancang agar rasa ingin tahu siswa tentang fenomena alam di sekelilingnya
dapat terpenuhi secara keseluruhan. Pada tahap ini guru memberi kebebasan pada
siswa untuk mengeksplorasi rasa keingintahuannya melalui pengalaman dan
kegiatan belajar siswa.
c. Mengaktifkan interaksi sosial
Pada tahap ini siswa diberi kesempatan untuk berinteraksi sosial dengan
guru maupun temannya secara berkelompok untuk melakukan tanya jawab
maupun diskusi hasil observasi atau temuannya dalam kegiatan pembelajaran atau
pengalamannya.
d. Pencapaian kepahaman siswa
Pada tahap ini guru memberikan penguatan bukan memberi informasi.
Dengan demikian siswa sendiri yang membangun pemahaman baru tentang
konsep yang sedang dipelajari. Bila konsepsinya/pengetahuan awalnya benar,
maka siswa menjadi tidak ragu-ragu lagi tentang konsepsinya. Bila pengetahuan
awalnya salah, maka eksplorasi akan merupakan jembatan antara konsepsi siswa
dengan konsep baru. Dengan demikian diharapkan konsep yang dipelajarinya
akan menjadi bermakna.
Berikut kelebihan dan kelemahan pendekatan konstruktivisme
dibandingkan dengan proses pembelajaran konvensional.
a. Kelebihan
1) Pembelajaran diperoleh siswa melalui pengalaman langsung
2) Pendekatan konstruktivisme dapat diterapkan untuk berbagai macam materi
ajar, seperti pemahaman yang rumit, serta latihan memecahkan masalah
secara bersama-sama.
3) Dapat diterapkan untuk semua jenjang pendidikan atau dalam pelatihan
diorganisasi.
4) Pendekatan konstruktivisme membuat pembelajaran lebih bermakna, karena
belajar berdasarkan prinsip learning by doing (belajar sambil berbuat).
5) Menimbulkan rasa percaya diri pada siswa karena siswa merasa mempunyai
andil terhadap keberhasilan belajar.
6) Terkait dengan motivasi, pendekatan konstruktivisme membina kompetensi
interpersonal mencakup kemampuan berkomuniksi, berkolaborasi, bekerja
sama, membantu orang lain, dan menjalin hubungan dengan orang lain.
Kompetensi intrapersonal mencakup apresiasi terhadap keanekaragaman,
melakukan refleksi diri, mengendalikan emosi, tekun, mandiri, dan
mempunyai motivasi intrinsik.

b. Kelemahan
1) Memerlukan waktu yang cukup bagi setiap siswa untuk membangun
pengetahuannya sendiri.
2) Memerlukan latihan agar siswa terbiasa belajar dengan pendekatan tersebut.
3) Pendekatan konstruktivisme yang diterapkan harus sesuai dengan
pembahasan materi ajar yang harus dipilih dengan sebaik-baiknya agar sesuai
dengan misi pendekatan konstruktivisme.
4) Memerlukan format penilaian yang berbeda.
5) Guru memerlukan kemampuan khusus untuk mengkaji berbagai teknik
pelaksanaan pendekatan konstruktivisme.
4. Pembelajaran dengan Pendekatan Berbasis Masalah
Sesuai dengan perkembangan jaman yang semakin kompleks dan banyak
macamnya, maka masalah-masalah kehidupan itupun muncul dan semakin
kompleks. Perkembangan jaman tersebut menuntut kita untuk berkompetisi
dalam memenuhi segala kebutuhan hidup dan memecahkan setiap masalah yang
dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menghadapi tantangan dan
perkembangan jaman tersebut, kurikulum pembelajaran di sekolah telah
memfokuskan pembelajaran pada Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem
Based Learning).
Pembelajaran berbasis masalah (probelm-based learning atau PBL) baru
muncul akhir abad ke 20, tepatnya dipopulerkan oleh Barrows dan Tamblyn
(1980). Model ini muncul sebagai hasil penelitian mereka terhadap kemampuan
bernalar mahasiswa kedokteran di McMaster Medical School di Kanada. PBL
juga diteliti oleh de Goeij et.al. (1987) di universitas Limburg Belanda dan telah
menghasilkan kurikulum berbasis masalah dengan beberpa karakteristik yang
menarik di antaranya: (1) pada 6 minggu pertemuan awal dilakukan pembelajaran
tematik yang disusun multidisiplin; (2) materi program tersebut bersifat koheren
dan memiliki struktur yang komperhensif; (3) program mengandung sifat yang
berulang; (4) Selama 4 tahun ada peningkatan kesulitan secara bertahap. Jadi
secara umum PBL memiliki prinsip “belajar untuk menemukan”.
Pembelajaran berbasis masalah berbeda dengan pembelajaran melalui
metode pemecahan masalah (problem solving). Problem solving menuntut
mahasiswa secara individual mencari jawaban dari serangkaian pertanyaan
berdasarkan informais yang diberikan dosen. Dipihak lain PBL mengarahkan
mahasiswa dalam kelompok-kelompok kecil untuk mencari situasi masalah dan
melalui pencarian ini diharapkan dapat menguji kesenjangan dalam pengetahuan
dan keterampilan mereka untuk menentukan informasi mana yang perlu mereka
peroleh untuk menyelesaikan masalah dan mengolah situasi yang ada.
Hal tersebut sesuai dengan karakteristik PBL (Barrows dan Tamblyn,
1980) di antaranya yaitu:
a. kompleks, dalam mengorganisasikan fokus pembelajaran tidak ada satu
jawaban yang “benar” seperti keadaan nyata dalam kehidupan.
b. mahasiswa bekerja dalam kelompok-kelompok dalam memecahkan masalah,
mengidentifikasi kesenjangan dalam pembelajaran, dan mengembangkan
pemecahan yang mungkin.
c. mahasiswa mengumpulkan informasi baru melalui pembelajaran yang
diarahkannya sendiri (self-directed learning).
d. dosen hanya berperan sebagai fasilitator
e. permasalahan diarahkan untuk mengembangkan kemampuan pemecahan
masalah dalam profesinya.

Hal yang senada diungkapkan oleh Herman (2009: 225) yang


mengungkapkan bahwa PBL melibatkan pengetahuan awal siswa dan kemampuan
yang telah dimilikinya untuk memecahkan masalah matematis. Hal ini sejalan
dengan teori Piaget tentang asimilasi dan akomodasi yang mengungkapkan bahwa
pada diri siswa terdapat pengetahuan awal, sehingga informasi akan masuk ke
dalam skemata otak siswa melalui proses asimilasi. Jika proses asimilasi tersebut
tidak diikuti akomodasi maka tidak akan terbentuk pengetahuan baru
(disequilibrium), artinya informasi tersebut tidak terskemakan di dalam skemata
otak siswa. Hal ini disebabkan salah satunya akibat ketidaksesuaian informasi
baru tersebut dengan pengetahuan awal siswa.
Berdasarkan karakteristik PBL di atas, masalah terbuka sangat cocok
untuk dijadikan fokus pembelajaran dengan menggunakan metode diskusi
kelompok untuk memecahkan masalah tersebut. Jadi, terdapat hubungan antara
PBL sebagai pendekatan dengan pemecahan masalah (problem solving) sebagai
metode. Kriteria dari masalah diungkapkan oleh Adjie dan Maulana (2009: 4)
bahwa “ Permasalahan yang kita hadapi dapat dikatakan masalah jika masalah
tersebut tidak bisa dijawab secara langsung, karena harus menyeleksi informasi
atau data yang diperoleh.” Masalah memiliki sifat nonrutin baik dari segi
materinya sendiri maupun dari segi penyelesaiannya, dalam artian bahwa suatu
soal dikategorikan sebagai masalajh jika soal tersebut tidak rutin diberikan kepada
siswa atau penyelesaiannya memerlukan strategi yang tidak biasa. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa masalah adalah soal yang sifatnya nonrutin.
Dalam pelaksanaan PBL di kelas, siswa dan guru secara bertahap akan
menggunakan beragam strategi dan langkah. Hal ini sesuai dengan pendapat
Entwistle (1981) yang menegaskan bahwa selain melaksanakan deep approach
dan surface approach, PBL juga memiliki strategic approach. Pada awal
perkuliahan mereka melakukan surface approach yaitu mencoba mengklarifikasi
area/ ruang lingkup masalah yang diberikan dosen atau masalah yang dirumuskan
mereka sendiri. Selanjutnya dalam rangka pemecahan masalah tersebut mereka
melakukan deep approach. Sambil melakukan deep approach, mereka juga
melaksanakan strategic approach yaitu menekankan perolehan nilai tertinggi,
mengatur waktu dan berbagi upaya agar dihasilkan efek terbaik, mencari kondisi
dan materi yang mencukupi untuk dipelajari, menggunakan bahan ujian
sebelumnya untuk meramalkan pertanyaan-pertanyaan, dan waspada terhadap
petunjuk penilaian.
Dalam praktiknya, PBL memiliki beberapa keunggulan yaitu dapat
memperluas tema, menggunakan pendekatan yang beragam, memperluas
kerangka filosofis, serta memiliki akhir pembelajaran yang berujung terbuka.
Dalam rangka memperluas tema, PBL memiliki delapan karakteristik tambahan
yaitu: (1) mengakui pengalaman dasar siswa; (2) menekankan pada
pertanggungjawaban siswa sendiri terhadap pembelajaran mereka; (3) bersifat
lintas disiplin; (4) memadukan teori dan praktik; (5) lebih berfokus pada
perolehan proses daripada hasil; (6) perubahan peran guru dari instruktur menjadi
fasilitator; (7) perubahan pola asesmen sendiri (self-assessment) dan asesmen
rekan sebaya (peer assessment); (8) berfokus pada keterampilan berkomunikasi
interpersonal yang meyakinkan siswa saling menghubungkan pengetahuan yang
mereka miliki, yang selanjutnya dapat membekali kemampuan untuk selalu
meningkatkan diri dalam bidang profesinya kelak (Boud, 1985 dalam Baden and
Major, 2003).
Sebagai perluasan kerangka filosofis maka PBL mencakup tiga bidang
yang luas, yaitu: (1) menggunakan organisasi kurikulum di sekitar masalah,
karena itu lebih bersifat kurikulum terintegrasi dan menekankan pada
keterampilan kognitif; (2) kondisi yang difasilitasi oleh PBL berupa belajar aktif
dalam kelompok-kelompok kecil, dan tutorial. (3) hasil belajar yang difasilitasi
oleh PBL berupa pengembangan keterampilan dan motivasi, diiringi dengan
pengembangan kemampuan belajar sepanjang hayat.
Karena PBL lebih memfasilitasi inkuiri terbuka, maka pembelajaran ini
berujung terbuka pula. Hal ini disebabkan beragamnya kemungkinan
melaksanakan PBL dengan membentuk perpaduan dan saling keterkaitan secara
bebas antara PBL dengan project-based learning, problem-solving learning,
action and work-based learning. Ada 8 modus kurikulum dalam pelaksanaan
PBL, yaitu single module approach, PBL on a shoestring, the funnel approach,
the foundational approach, the two-strand approach, patchwork PBL, the
integrated approach, the complexity model.
Selain keunggulan di atas, Delisle (1997: 1) memandang PBL sebagai
pembelajaran yang memfasilitasi metode penemuan yang dapat membantu siswa
untuk lebih memahami konsep yang sedang dipelajari. “...Problem-based learning
(PBL) provides a structure for discovery that helps students internalize learning
and leads to greather comprehension.” Prabawanto (2010: 568) mengatakan
bahwa pada umumnya di dalam buku teks matematika, yang dijadikan sebagai
sandaran utama para guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran
matematika, menempatkan soal yang berkaitan dengan masalah nyata dalam
bagian akhir setelah uraian materi dan contoh-contoh dipaparkan.
Guru dalam pembelajaran mengetengahkan masalah di akhir
pembelajaran, sebagai contoh dari konsep yang sudah dipelajari. Hal tersebut
bertentangan dengan konsep PBL sendiri yang membangun konsep dari masalah
yang diberikan oleh guru atau dimunculkan oleh siswa dalam pembelajaran. Dari
masalah tersebut, siswa memberikan interpretasinya sesuai dengan pengetahuan
awal yang telah dimilikinya. Sehingga siswa aktif memberikan interpretasi dan
menemukan solusi dari masalah yang muncul dalam pembelajaran. Hal tersebut di
atas sesuai dengan pendapat Dewey (Dimyati dan Mudjiono, 2009: 46) yang
mengemukakan bahwa ”...belajar sebaiknya dialami melalui perbuatan langsung.
Belajar harus dilakukan oleh siswa secara aktif, baik individual maupun
kelompok, dengan cara memecahkan masalah (problem solving). Guru bertindak
sebagai pembimbing dan fasilitator.”
Lambdin memandang pembelajaran matematika bukan hanya tentang
keahlian dan prosedur, tetapi lebih dalam lagi yaitu untuk belajar memecahkan
masalah matematis sebagai latihan bagi siswa supaya siap dalam menghadapi
masalah dalam kehidupan sehari-hariya. Hal ini sesuai dengan pendapat Lambdin
yang mengatakan bahwa:
However,mathematics teachers know that mathematics is not just about
skills and procedures. Learning about mathematical concepts-such as
numeration and place value, additive and multiplicative thinking,
equivalence, and similarity (to name just a few)-is also an obvious goal of
school mathematics. However, even mastering procedures and learning
concept is not enough; students must also learn to solve problems.

Lebih jauh lagi, berdasarkan teori Vygotsky, Suryadi (2010: 12)


menyimpulkan tiga hal utama yang berkaitan dengan pembelajaran yakni: (1)
pembelajaran efektif mengarah pada perkembangan, (2) pembelajaran efektif akan
berhasil dikembangkan melalui setting pemecahan masalah, dan (3) pembelajaran
efektif berfokus pada upaya membantu siswa untuk mencapai potential
development mereka. Untuk mencapai pembelajaran efektif tersebut maka
beberapa saran berikut nampaknya penting untuk diperhatikan: (1) tingkatkan
sensitivitas bahwa siswa terlibat secara aktif dalam setting belajar yang
dikembangkan, (2) ciptakan problem solving interaktif yang mengarah pada
proses belajar, (3) sajikan soal-soal yang bersifat menantang, (4) gunakan on-
going assessment untuk memonitor pembelajaran, (5) ciptakan kesempatan bagi
siswa untuk menampilkan kemampuan berfikir tingkat tingginya, (6) beri
dorongan serta kesempatan bagi siswa untuk menampilkan kemampuan berbagai
solusi serta strategi berbeda pada penyelesaian suatu masalah, (7) tingkatkan
komunikasi, yakni dengan mendorong siswa untuk memberikan penjelasan serta
jastifikasi pemikiran mereka, (8) gunakan berbagai variasi strategi mengajar dan
belajar, dan (9) upayakan untuk menelusuri hal-hal yang belum diketahui siswa
sehingga guru mampu membantu proses peningkatan potensial mereka.
Masalah yang dimunculkan di dalam PBL dapat memperlebar daerah
perkembangan proximal (Zone of Proximal Developement/ ZPD) siswa yang
merupakan selisih antara perkembangan aktual hasil belajar sendiri (actual
developement) dengan perkembangan potensial (potential developement) yang
dipengaruhi oleh faktor eksternal yang dalam hal ini diantaranya adalah masalah
matematis yang dimunculkan dalam pembelajaran.
Menurut Bae (2009) terdapat tujuh sintak dalam melakukan pembelajaran
berbasis masalah ini yaitu dengan memulainya secara bertahap: 1) munculnya
situasi masalah; 2) mengklarifikasi konsep dan informasi yang terlibat dengan
masalah; 3) mendefinisikan masalah; 4) menganalisis masalah; 5) membangun
penjelasan; 6) kemandirian belajar yang dilakukan oleh siswa menggunakan
sumber belajar internet untuk membangun argumentasinya terhadap masalah yang
berkembang dan alternatif pemecahan masalahnya; 7) membuat penjelasan
terhadap masalah dan alternatif solusinya. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel
berikut ini.

Problem situation (step 1)

1.
Clarification of concepts
2. and terms (step 2)

Problem definition (step 3)

3. Problem analysis (step 4) Self-directed learning (step 6)


Individual Knowledge
Building explanations
4. learning issues inventory
(step 5)

Synthesis of Explanation Argumentation Formulation of


(step 7) hypotheses

Small-group
discussion Argumentation
Mayer (Tan, 2009: 148) mengemukakan bahwa dalam model PBL ini
kemandirian belajar siswa akan muncul ketika siswa menghubungkan
pengetahuan yang baru yang mereka dapatkan dalam sumber belajar internet
dengan pengetahuan yang telah dimilikinya dalam memecahkan masalah
pembelajaran secara individual. “ Self-directed learning occurs when students
relate newly acquired knowledge to what they already know in resolving
individual learning issues.”

5. Pembelajaran Berbasis Penemuan (Diskoveri)


Pembelajaran diskoveri adalah proses pembelajaran yang terjadi bila siswa
tidak disajikan materi ajar dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan
mengorganisasi sendiri. Sebagaimana pendapat Bruner, bahwa: “Discovery
Learning can be defined as the learning that takes place when the student is not
presented with subject matter in the final form, but rather is required to organize
it him self” (Lefancois dalam Emetembun, 1986:103). Dasar ide Bruner ialah
pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa siswa harus berperan aktif dalam
belajar di kelas.
Bruner memakai metode yang disebutnya Discovery Learning, dimana
siswa mengorganisasi bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir (Dalyono,
1996: 41). Metode Discovery Learning adalah memahami konsep, arti, dan
hubungan, melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan
(Budiningsih, 2005: 43). Discovery terjadi bila individu terlibat, terutama dalam
penggunaan proses mentalnya untuk menemukan beberapa konsep dan prinsip.
Discovery dilakukan melalui observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi,
penentuan dan inferi. Proses tersebut disebut cognitive process sedangkan
discovery itu sendiri adalah the mental process of assimilatig conceps and
principles in the mind (Robert B. Sund dalam Malik, 2001:219).
Bruner memandang bahwa suatu konsep atau kategorisasi memiliki lima
unsur, dan siswa dikatakan memahami suatu konsep apabila mengetahui semua
unsur dari konsep itu, meliputi: 1) Nama; 2) Contoh-contoh baik yang positif
maupun yang negatif; 3) Karakteristik, baik yang pokok maupun tidak; 4)
Rentangan karakteristik; 5) Kaidah (Budiningsih, 2005:43). Bruner menjelaskan
bahwa pembentukan konsep merupakan dua kegiatan mengkategori yang berbeda
yang menuntut proses berpikir yang berbeda pula. Seluruh kegiatan mengkategori
meliputi mengidentifikasi dan menempatkan contoh-contoh (objek-objek atau
peristiwa-peristiwa) kedalam kelas dengan menggunakan dasar kriteria tertentu.
Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga
tahap yang ditentukan oleh bagaimana cara lingkungan, yaitu: enactive, iconic,
dan symbolic. Tahap enaktive, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam
upaya untuk memahami lingkungan sekitarnya, artinya, dalam memahami dunia
sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik, misalnya melalui gigitan,
sentuhan, pegangan, dan sebagainya. Tahap iconic, seseorang memahami objek-
objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya,
dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan
(tampil) dan perbandingan (komparasi). Tahap symbolic, seseorang telah mampu
memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh
kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya
anak belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya.
Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan banyak simbol. Semakin
matang seseorang dalam proses berpikirnya, semakin dominan sistem simbolnya.
Secara sederhana teori perkembangan dalam fase enactive, iconic dan symbolic
adalah anak menjelaskan sesuatu melalui perbuatan (ia bergeser ke depan atau
kebelakang di papan mainan untuk menyesuaikan beratnya dengan berat
temannya bermain) ini fase enactive. Kemudian pada fase iconic ia menjelaskan
keseimbangan pada gambar atau bagan dan akhirnya ia menggunakan bahasa
untuk menjelaskan prinsip keseimbangan ini fase symbolic (Syaodih, 85:2001).
Dalam konsep belajar, sesungguhnya metode Discovery Learning
merupakan pembentukan kategori-kategori atau konsep-konsep, yang dapat
memungkinkan terjadinya generalisasi. Sebagaimana teori Bruner tentang
kategorisasi yang nampak dalam Discovery, bahwa Discovery adalah
pembentukan kategori-kategori, atau lebih sering disebut sistem-sistem coding.
Pembentukan kategori-kategori dan sistem-sistem koding dirumuskan demikian
dalam arti relasi-relasi (similaritas & difference) yang terjadi diantara objek-objek
dan kejadian-kejadian (events).
Discovery Learning adalah proses pembelajaran yang melibatkan siswa
untuk mengorganisasikan sendiri materi pelajaran dengan penekanan pada
penemuan konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak diketahui siswa. Sebagai
strategi belajar, Discovery Learning mempunyai prinsip yang sama dengan inkuiri
(inquiry) dan Problem Solving. Tidak ada perbedaan yang prinsipil pada ketiga
istilah ini, pada Discovery Learning lebih menekankan pada ditemukannya konsep
atau prinsip yang sebelumnya tidak diketahui. Perbedaannya dengan discovery
ialah bahwa pada discovery masalah yang diperhadapkan kepada siswa semacam
masalah yang direkayasa oleh guru, sedangkan pada inkuiri masalahnya bukan
hasil rekayasa, sehingga siswa harus mengerahkan seluruh pikiran dan
keterampilannya untuk mendapatkan temuan-temuan di dalam masalah itu melalui
proses penelitian.
Problem Solving lebih memberi tekanan pada kemampuan menyelesaikan
masalah. Akan tetapi prinsip belajar yang nampak jelas dalam Discovery Learning
adalah materi atau bahan pelajaran yang akan disampaikan tidak disampaikan
dalam bentuk final akan tetapi siswa didorong untuk mengidentifikasi apa yang
ingin diketahui dilanjutkan dengan mencari informasi sendiri kemudian
mengorgansasi atau membentuk (konstruktif) apa yang mereka ketahui dan
mereka pahami dalam suatu bentuk akhir.
Dengan mengaplikasikan metode Discovery Learning secara berulang-
ulang dapat meningkatkan kemampuan penemuan diri individu yang
bersangkutan. Penggunaan metode Discovery Learning, ingin mengubah kondisi
belajar yang pasif menjadi aktif dan kreatif. Mengubah pembelajaran yang teacher
oriented ke student oriented. Mengubah modus Ekspositori siswa hanya
menerima informasi secara keseluruhan dari guru ke modus Discovery siswa
menemukan informasi sendiri.
Di dalam proses belajar, Bruner mementingkan partisipasi aktif dari tiap
siswa, dan mengenal dengan baik adanya perbedaan kemampuan. Untuk
menunjang proses belajar perlu lingkungan memfasilitasi rasa ingin tahu siswa
pada tahap eksplorasi. Lingkungan ini dinamakan Discovery Learning
Environment, yaitu lingkungan dimana siswa dapat melakukan eksplorasi,
penemuan-penemuan baru yang belum dikenal atau pengertian yang mirip dengan
yang sudah diketahui. Lingkungan seperti ini bertujuan agar siswa dalam proses
belajar dapat berjalan dengan baik dan lebih kreatif.
Untuk memfasilitasi proses belajar yang baik dan kreatif harus
berdasarkan pada manipulasi bahan pelajaran sesuai dengan tingkat
perkembangan kognitif siswa. Manipulasi bahan pelajaran bertujuan untuk
memfasilitasi kemampuan siswa dalam berpikir (merepresentasikan apa yang
dipahami) sesuai dengan tingkat perkembangannya. Dalam mengaplikasikan
metode Discovery Learning guru berperan sebagai pembimbing dengan
memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara aktif, sebagaimana
pendapat guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa
sesuai dengan tujuan (Sardiman, 2005:145). Kondisi seperti ini ingin mengubah
kegiatan belajar mengajar yang teacher oriented menjadi student oriented.
Hal yang menarik dalam pendapat Bruner yang menyebutkan bahwa
hendaknya guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk menjadi
seorang problem solver, seorang scientis, historin, atau ahli matematika. Dalam
metode Discovery Learning bahan ajar tidak disajikan dalam bentuk akhir, siswa
dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi,
membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan,
mereorganisasikan bahan serta membuat kesimpulan-kesimpulan.
Hal tersebut memungkinkan siswa menemukan arti bagi diri mereka
sendiri, dan memungkinkan mereka untuk mempelajari konsep-konsep di dalam
bahasa yang dimengerti mereka. Dengan demikian, seorang guru dalam aplikasi
metode Discovery Learning harus dapat menempatkan siswa pada kesempatan-
kesempatan dalam belajar yang lebih mandiri. Bruner mengatakan bahwa proses
belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan
kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman
melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya (Budiningsih,
2005:41).
Tujuan metode Discovery Learning menurut Bruner adalah hendaklah
guru memberikan kesempatan kepada siswanya untuk menjadi seorang problem
solver, seorang scientist, historian, atau ahli matematika. Melalui kegiatan tersebut
siswa akan menguasainya, menerapkan, serta menemukan hal-hal yang
bermanfaat bagi dirinya. Karakteristik yang paling jelas mengenai Discovery
sebagai metode mengajar ialah bahwa sesudah tingkat-tingkat inisial (pemulaan)
mengajar, bimbingan guru hendaklah lebih berkurang dari pada metode-metode
mengajar lainnya. Hal ini tidak berarti bahwa guru menghentikan untuk
memberikan suatu bimbingan setelah problema disajikan kepada siswa. Tetapi
bimbingan yang diberikan tidak hanya dikurangi direktifnya melainkan siswa
diberi responsibilitas yang lebih besar untuk belajar sendiri.
Kelebihan penerapan Discovery Learning untuk dilaksanakan di kelas
adalah:
a. Membantu siswa untuk memperbaiki dan meningkatkan keterampilan-
keterampilan dan proses-proses kognitif. Usaha penemuan merupakan kunci
dalam proses ini, seseorang tergantung bagaimana cara belajarnya.
b. Pengetahuan yang diperoleh melalui metode ini sangat pribadi dan ampuh
karena menguatkan pengertian, ingatan dan transfer.
c. Menimbulkan rasa senang pada siswa, karena tumbuhnya rasa menyelidiki dan
mencapai keberhasilan.
d. Metode ini memungkinkan siswa berkembang dengan cepat dan sesuai dengan
kecepatannya sendiri.
e. Menyebabkan siswa mengarahkan kegiatan belajarnya sendiri dengan
melibatkan imajinasi dan motivasi sendiri.
f. Metode ini dapat membantu siswa memperkuat konsep dirinya, karena
memperoleh kepercayaan bekerja sama dengan siswa lainnya.
g. Berpusat pada siswa dan guru berperan sama-sama aktif mengeluarkan
gagasan-gagasan. Bahkan gurupun dapat bertindak sebagai siswa, dan sebagai
peneliti di dalam situasi diskusi.
h. Membantu siswa menghilangkan skeptisisme (keragu-raguan) karena
mengarah pada kebenaran yang final dan tertentu atau pasti.
i. Siswa akan mengerti konsep dasar dan ide-ide lebih baik.
j. Membantu dan mengembangkan ingatan dan transfer kepada situasi proses
pembelajaran yang baru.
k. Mendorong siswa berpikir dan bekerja mandiri
l. Mendorong siswa berpikir intuisi dan merumuskan hipotesis sendiri.
m. Memberikan keputusan yang bersifat intrinsik ( penyerapan )
n. Situasi proses belajar menjadi lebih menarik dan menyenangkan
o. Proses belajar meliputi semua aspek siswa menuju pada pembentukan manusia
seutuhnya.
p. Meningkatkan tingkat penghargaan pada siswa.
q. Kemungkinan siswa belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis sumber
belajar yang beragam.
r. Dapat mengembangkan bakat dan kecakapan individu. (life skill)

Kelemahan penerapan Discovery Learning dalam pembelajaran di kelas


adalah:
a. Metode ini menimbulkan asumsi bahwa ada kesiapan siswa untuk belajar. Bagi
siswa yang kurang pandai, akan mengalami kesulitan abstrak dalam berpikir
atau mengungkapkan hubungan antara konsep-konsep, yang tertulis atau lisan,
sehingga pada gilirannya akan menimbulkan frustasi.
b. Metode ini tidak efisien untuk mengajar jumlah siswa yang banyak, karena
membutuhkan waktu yang lama untuk membantu mereka menemukan teori
atau pemecahan masalah lainnya.
c. Harapan-harapan yang terkandung dalam metode ini tidak akan tercapai ketika
berhadapan dengan siswa dan guru yang telah terbiasa dengan cara-cara belajar
yang lama.
d. Pengajaran discovery lebih cocok untuk mengembangkan pemahaman,
sedangkan pengembangan aspek konsep, keterampilan dan emosi secara
keseluruhan kurang mendapat perhatian.
e. Pada beberapa muatan pelajaran misalnya IPA kurang fasilitas untuk mengukur
gagasan yang dikemukakan oleh para siswa.
f. Tidak memberikan kesempatan untuk berpikir tentang sesuatu yang akan
ditemukan oleh siswa karena telah dipilih terlebih dahulu oleh guru.

Langkah-langkah operasional implementasi Discovery Learning dalam


proses pembelajaran adalah:
a. Mengidentifikasi kebutuhan siswa;
b. Menyeleksi pendahuluan terhadap prinsip-prinsip, pengertian konsep dan
generalisasi pengetahuan;
c. Menyeleksi bahan, problema/ tugas-tugas;
d. Membantu dan memperjelas tugas/ problema yang dihadapi siswa serta
peranan masing-masing siswa;
e. Mempersiapkan kelas dan alat-alat yang diperlukan;
f. Mengecek pemahaman siswa terhadap masalah yang akan dipecahkan;
g. Memberi kesempatan pada siswa untuk melakukan penemuan;
h. Membantu siswa dengan informasi/ data jika diperlukan oleh siswa;
i. Memimpin analisis sendiri (self analysis) dengan pertanyaan yang
mengarahkan dan mengidentifikasi masalah;
j. Memicu terjadinya interaksi antarsiswa ;
k. Membantu siswa merumuskan prinsip dan generalisasi hasil penemuannya.

Berikut ini langkah-langkah dalam mengaplikasikan model Discovery


Learning di kelas secara rinci.
a. Langkah Persiapan
1) Menentukan tujuan pembelajaran.
2) Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, minat,
gaya belajar, dan sebagainya).
3) Memilih materi pelajaran.
4) Menentukan topik-topik yang harus dipelajari siswa secara induktif
(dari contoh-contoh generalisasi).
5) Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh,
ilustrasi, tugas dan sebagainya untuk siswa.
6) Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari
yang konkret ke abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik sampai ke
simbolik.
7) Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa

b. Langkah Pelaksanaan
Menurut Syah (2004:244) dalam mengaplikasikan Discovery Learning
di kelas, ada beberapa prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan
belajar mengajar secara umum berikut ini.
1) Stimulation (Stimulasi/ Pemberian Stimulus )
Pertama-tama pada tahap ini siswa dihadapkan pada sesuatu yang
menimbulkan keraguannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi
generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Guru dapat
memulai kegiatan pembelajaran dengan mengajukan pertanyaan, anjuran
membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan
pemecahan masalah.
Stimulasi pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi
interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan membantu siswa dalam
mengeksplorasi bahan. Dalam hal ini Bruner memberikan stimulasi dengan
menggunakan teknik bertanya yang bersifat “HOTS” ( High order thinking
skill ) yaitu dengan mengajukan pertanyaan tingkat tinggi yang dapat
mendorong siswa pada kondisi internal untuk bereksplorasi. Dengan demikian,
seorang guru harus menguasai teknik-teknik dalam memberikan stimulus
kepada siswa dengan tujuan mengaktifkan siswa dalam mengeksplorasi
konsep materi .

2) Problem Statement (Pernyataan/ Identifikasi Masalah)


Setelah dilakukan stimulasi langkah selanjutya adalah guru memberi
kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda
masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih
dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan
masalah) (Syah 2004:244), sedangkan menurut permasalahan yang dipilih itu
selanjutnya harus dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, atau hipotesis, yakni
pernyataan (statement) sebagai jawaban sementara atas pertanyaan yang
diajukan. Memberikan kesempatan kepaada siswa untuk mengidentifikasi dan
menganalisis permasalahan yang mereka hadapi, merupakan teknik yang
berguna dalam membangun siswa agar mereka terbiasa untuk menemukan
suatu masalah.

3) Data Collection (Pengumpulan Data)


Ketika eksplorasi berlangsung, guru juga memberi kesempatan kepada
siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk
membuktikan benar atau tidaknya hipotesis (Syah, 2004:244). Tahap ini
berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya
hipotesis. Dengan demikian, siswa diberi kesempatan untuk mengumpulkan
(collection) berbagai informasi yang relevan, membaca literatur, mengamati
objek, wawancara dengan narasumber, melakukan uji coba sendiri dan
sebagainya. Konsekuensi dari tahap ini adalah siswa belajar secara aktif untuk
menemukan sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi,
dengan demikian secara tidak disengaja siswa menghubungkan masalah
dengan pengetahuan yang telah dimilikinya.

4) Data Processing (Pengolahan Data)


Menurut Syah (2004: 244) bahwa pengolahan data merupakan
kegiatan mengolah data dan informasi yang telah diperoleh siswa baik melalui
wawancara, observasi, dan sebagainya, lalu ditafsirkan. Semua informasi hasil
bacaan, wawancara, observasi, dan sebagainya, semuanya diolah, diacak,
diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan cara tertentu
serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu (Djamarah, 2002: 22).
Data processing disebut juga dengan pengodean/ kategorisasi yang
berfungsi sebagai pembentukan konsep dan generalisasi. Dari generalisasi
tersebut siswa akan mendapatkan pengetahuan baru tentang alternatif jawaban/
penyelesaian yang perlu mendapat pembuktian secara logis

5) Verification (Pembuktian)
Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk
membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan
temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing (Syah, 2004:244).
Verification menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar akan berjalan
dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menemukan suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui contoh-
contoh yang dijumpai dalam kehidupannya.
Berdasarkan hasil pengolahan dan tafsiran, atau informasi yang ada,
pernyataan atau hipotesis yang telah dirumuskan terdahulu itu kemudian dicek,
apakah terjawab atau tidak, apakah terbukti atau tidak.

6) Generalization (Menarik Kesimpulan/Generalisasi)


Tahap generalisasi/ menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah
kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua
kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi
(Syah, 2004: 244). Berdasarkan hasil verifikasi maka dirumuskan prinsip-
prinsip yang mendasari generalisasi. Setelah menarik kesimpulan siswa harus
memperhatikan proses generalisasi yang menekankan pentingnya penguasaan
siswa atas makna dan kaidah atau prinsip-prinsip yang luas yang mendasari
pengalaman seseorang, serta pentingnya proses pengaturan dan generalisasi
dari pengalaman-pengalaman itu.

6. Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual


Pendekatan pembelajaran yang mengaitkan materi yang sedang dipelajari
dengan situasi dunia nyata yang dekat dengan kehidupan siswa dinamakan
pendekatan pembelajaran kontekstual. Hal ini sejalan dengan pendapat Muslich
(2007:41) yang menyatakan bahwa pembelajaran kontekstual adalah konsep
belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi pembelajaran dengan
situasi dunia yang nyata siswa, dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka
sehari-hari.
Dengan demikian, keterlibatan siswa secara aktif selama pembelajaran
dengan menerapkan pendekatan kontekstual sangat penting. Sanjaya (2006)
menyatakan bahwa pembelajaran kontekstual adalah suatu pendekatan
pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh
untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan
situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya
dalam kehidupan mereka. Keterkaitan antara konsep yang dipelajari dengan
konteks dunia nyata sangat penting untuk dibangun sehingga materi ajar akan
tertanam lama dalam benak siswa. Sutardi dan Sudirjo (2007:95) menyatakan
bahwa pendekatan kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru
mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya
dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Nurhadi (2002) mengatakan bahwa pendekatan kontekstual merupakan
konsep belajar yang dapat membantu guru mengaitkan antara materi yang
diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam
kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (dalam Hernawan,
2010: 124). Dengan demikian, pada pembelajaran kontekstual sangat penting
untuk dibangun hubungan antara pengetahuan yang dimiliki siswa dengan
penerapannya dalam kehidupan keseharian mereka. Pendapat serupa disampaikan
oleh Hernawan (2010: 124) yang menjelaskan bahwa melalui pendekatan
kontekstual, mengajar bukan transformasi pengetahuan dari guru kepada siswa
dengan menghafal sejumlah konsep-konsep yang sepertinya terlepas dari
kehidupan nyata, akan tetapi lebih ditekankan pada upaya memfasilitasi siswa
untuk mencari kemampuan untuk bisa hidup (life skill) dari apa yang
dipelajarinya. Dengan demikian pembelajaran akan lebih bermakna, sekolah lebih
dekat dengan lingkungan masyarakat (bukan dekat dari segi fisik), akan tetapi
secara fungsional apa yang dipelajari di sekolah senantiasa bersentuhan dengan
situasi dan permasalahan kehidupan yang terjadi di lingkungannya (keluarga dan
masyarakat).
Menurut Muslich (2007: 42), pembelajaran dengan pendekatan
kontekstual mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a. Pembelajaran dilaksanakan dalam konteks autentik, yaitu pembelajaran yang
diarahkan pada ketercapaian keterampilan dalam konteks kehidupan nyata
atau pembelajaran yang dilaksanakan dalam lingkungan yang alamiah
(learning in real life setting).
b. Pembelajaran memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengerjakan
tugas-tugas yang bermakna (meaningfull learning).
c. Pembelajaran dilaksanakan dengan memberikan pengalaman bermakna
kepada siswa (learning by doing).
d. Pembelajaran dilaksanakan melalui kerja kelompok, berdiskusi saling
mengoreksi antar teman (learning in a group).
e. Pembelajaran memberikan kesempatan untuk menciptakan rasa kebersamaan,
bekerjasama, dan saling memahami antara satu dengan yang lain secara
mendalam (learning to know each other deeply).
f. Pembelajaran dilaksanakan secara aktif, kreatif, produktif, dan mementingkan
kerja sama (learning to ask, to inquiry, to work together).

Selain karakteristik di atas, Muslich (2009: 43) mengatakan bahwa


pembelajaran dengan pendekatan kontekstual melibatkan tujuh komponen utama,
yaitu (1) constructivism (konstruktivisme, membangun, membentuk); (2)
questioning (bertanya); (3) inquiry (menyelidiki, menemukan); (4) learning
community (masyarakat belajar); (5) modelling (pemodelan); (6) reflection
(refleksi atau umpan balik); dan (7) authentic assessment (penilaian yang
sebenarnya). Ketujuh komponen pembelajaran dengan pendekatan kontekstual
menurut Muslich tersebut selanjutnya dijabarkan sebagai berikut:
a. Konstruktivisme, yang menekankan terbangunnya pemahaman sendiri secara
aktif, kreatif dan produktif berdasarkan pengalaman terdahulu dan dari
pengalaman belajar yang bermakna.
b. Bertanya (Questioning) yaitu upaya guru yang bisa mendorong siswa untuk
mengetahui sesuatu, mengarahkan siswa untuk memperoleh informasi,
sekaligus mengetahui perkembangan kemampuan berpikir siswa.
c. Menemukan (Inquiry) yang diawali dari pengamatan terhadap fenomena,
dilanjutkan dengan kegiatan-kegiatan bermakna untuk menghasilkan temuan
yang diperoleh sendiri oleh siswa.
d. Masyarakat belajar (Learning Community) yang menyarankan bahwa hasil
belajar sebaiknya diperoleh dari kerjasama dengan orang lain.
e. Pemodelan (Modelling) yang menyarankan bahwa pembelajaran dan
keterampilan tertentu diikuti dengan model yang bisa ditiru siswa.
f. Refleksi (Reflection) yang merupakan perenungan kembali atas pengetahuan
yang baru dipelajari.
g. Penilaian autentik yang merupakan proses pengumpulan berbagi data yang bisa
memberikan gambaran atau informasi tentang perkembangan pengalaman
bealajar siswa.

Setiap pendekatan memiliki kelebihan dan kekurangan, begitu juga dengan


pendekatan kontekstual. Adapun tentang keunggulan pendekatan kontekstual
disebutkan oleh Sutardi & Sudirjo (2007: 96) yaitu:
a. Real world learning (belajar dunia nyata), dimana materi pembelajaran
dikaitkan dengan situasi nyata siswa.
b. Mengutamakan pengalaman nyata, dimana pembelajaran yang terjadi dalam
hubungan yang erat dengan pengalaman sesungguhnya atau realita.
c. Berpikir tingkat tinggi, sebagai proses dari diskoveri, pemecahan masalah, dan
inkuiri. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa bukan hasil
mengingat sejumlah fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri merupakan
realisasi prinsip inkuiri pada pendekatan kontekstual.
d. Berpusat pada siswa, merupakan hakikat kontekstual yang menekankan kepada
proses keterlibatan siswa. Dengan kata lain, proses pengalaman secara
langsung siswa mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran melalui
prinsip konstruktivisme pada pendekatan kontekstual.
e. Kontekstual menuntut siswa aktif, kritis, kreatif sehingga pengetahuan lebih
bermakna dalam kehidupan sebab dekat dengan kehidupan nyata. Karena itu,
kegiatannya bukan mengajar melainkan belajar, perubahan perilaku terjadi atas
siswa melalui pemaknaan pengetahuan yang diperolehnya melalui pengalaman
belajarnya sendiri.

Lebih jauh lagi Sutardi dan Sudirjo (2007: 97) mengemukakan kelemahan
pendekatan kontektual sebagai berikut.
a. Bagi guru kelas, guru harus memiliki kemampuan memahami secara mendalam
dan komprehensif tentang: 1) konsep pendekatan kontekstual; 2) prinsip-
prinsip pendekatan kontekstual; 3) potensi perbedaan individual siswa di kelas;
4) sarana, media, alat bantu dan kelengkapan pembelajaran.
b. Bagi siswa diperlukan inisiatif, kreativitas dalam belajar, memiliki
pengetahuan awal yang memadai, tuntutan perubahan sikap dalam menghadapi
persoalan, dan siswa harus memiliki tanggung jawab pribadi yang tinggi dalam
menyelesaikan tugas-tugas.

Pendekatan pembelajaran kontekstual secara operasional


diimplementasikan melalui model pembelajarannya yang telah dikaji secara
ilmiah oleh para ahli pada pendekatan kontektual. Terdapat beberapa model
pembelajaran yang diturunkan dari pendekatan kontekstual misalnya model
REACT (Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transfering), POE
(Predict, Observe, Explain), dll. Model pembelajaran apapun yang diturunkan dari
pendekatan kontekstual tidak boleh lepas dari prinsip-prinsip pendekatan
kontekstual. Misalnya model REACT yang terdiri dari langkah-langkah sebagai
berikut.
a. Relating
Pada tahap ini, guru menghubungkan konsep yang akan dipelajari dengan
pengetahuan yang telah dimiliki siswa dalam konteks kehidupan nyata atau
pengalaman nyata.
b. Experiencing
Pada tahap ini, siswa melakukan kegiatan eksplorasi, eksperimen, dan
penyelidikan serta dimotivasi dengan menggunakan berbagai metode dan media
pembelajaran. Selanjutnya, guru menjelaskan konsep-konsep terkait materi yang
akan atau sedang dipelajari.
c. Applying
Pada tahap ini, guru memfasilitasi siswa untuk menerapkan berbagai
konsep, prinsip, atau prosedur tertentu yang telah mereka temukan sendiri pada
tahap experiencing dalam kehidupannya baik di dalam maupun di luar kelas.
d. Cooperating
Pada tahap ini, guru memfasilitasi siswa untuk melakukan kerjasama
dengan siswa lain dengan cara berdiskusi untuk saling menguatkan konsep,
prinsip atau prosedur tertentu terkait proses dan hasil aplikasinya pada tahap
Applying.
e. Transfering
Pada tahap ini, guru memfasilitasi siswa untuk menerapkan kembali
konsep, prinsip, atau prosedur tertentu yang telah mengalami penguatan pada
tahap cooperating pada materi lainnya yang masih terkait dengan materi yang
telah dipelajari atau pada kehidupannya sehari-hari.

7. Pembelajaran dengan Pendekatan Kooperatif


Menurut Holubec (dalam Nurhadi, 2003: 59), “Pengajaran kooperatif
memerlukan pendekatan pengajaran melalui penggunaan kelompok siswa untuk
bekerjasama dalam memaksimalkan kondisi belajar dalam mencapai tujuan
belajar”. Pembelajaran kooperatif memiliki ciri utama yaitu adanya kerjasama
antar siswa. Dengan kata lain, pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran
yang secara sadar menciptakan interaksi yang saling mencerdaskan sehingga
sumber belajar bukan hanya guru dan buku ajar tetapi juga sesama siswa. Menurut
Abdurrahman (dalam Nurhadi, 2003: 60) menyatakan bahwa pembelajaran
kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar dan sistematis mengembangkan
interaksi yang silih asah (saling mencerdaskan), silih asih (saling menyayangi),
dan silih asuh (saling tenggang rasa) antar sesama siswa sebagai latihan hidup dari
dalam masyarakat nyata.
Salah satu ciri pembelajaran kooperatif adalah kemampuan siswa untuk
bekerja sama dalam kelompok kecil yang heterogen (Suyitno, 2004: 9). Masing-
masing anggota dalam kelompok memiliki tugas yang setara. Dengan demikian,
pembelajaran kooperatif terjadi jika adanya aktivitas siswa untuk bekerja sama
dalam membahas materi/pertanyaan agar dapat mencari dan menemukan jawaban
dari materi yang dibahas oleh siswa. Menurut Arends (1997: 111), pembelajaran
yang menggunakan model kooperatif memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menyelesaikan materi
belajar.
b. kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan
rendah.
c. jika mungkin, anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku, jenis kelamin
yang berbeda-beda.
d. penghargaan lebih berorientasi pada kelompok dari pada individu.

Pembelajaran kooperatif adalah suatu sistem pembelajaran yang di


dalamnya terdapat prinsip-prinsip yang saling terkait. Menurut Abdurrahman
(Nurhadi, 2003: 60), bahwa berbagai prinsip dalam pembelajaran kooperatif
adalah:
a. Saling ketergantungan positif
Guru menciptakan suasana yang mendorong agar siswa merasa saling
membutuhkan. Hubungan inilah yang dimaksud dengan saling ketergantungan
positif. Saling ketergantungan tersebut dapat dicapai melalui: Saling
ketergantungan pencapaian tujuan, saling ketergantungan bahan atau sumber,
saling ketergantungan dalam menyelesaikan tugas, peran, saling
ketergantungan hadiah.
b. Interaksi tatap muka
Interaksi tatap muka menuntut para siswa dalam kelompok dapat saling
bertatap muka sehingga mereka dapat melakukan dialog, tidak hanya dengan
guru, tetapi juga dengan sesama siswa.
c. Tanggung jawab individual
Penilaian kelompok yang didasarkan atas rata-rata penguasaan semua anggota
kelompok secara individual disebut dengan tanggung jawab individual.
d. Keterampilan menjalin hubungan antar pribadi
Keterampilan sosial seperti tenggang rasa, sikap sopan terhadap teman, berani
mempertahankan pikiran logis, mengkritik ide dan bukan mengkritik teman,
tidak mendominasi orang lain, mandiri, dan berbagai sifat lain yang
bermanfaat dalam menjalin hubungan antar pribadi tidak hanya diasumsikan
tetapi secara sengaja diajarkan.

Model pembelajaran kooperatif yang telah ditemukan oleh para ahli pada
umumnya dilaksanakan mengikuti tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Menyampaikan tujuan pembelajaran dan perlengkapan pembelajaran.
b. Menyampaikan informasi.
c. Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok- kelompok belajar.
d. Membantu siswa belajar dan bekerja dalam kelompok.
e. Evaluasi atau memberikan umpan balik.
f. Memberikan penghargaan.

Model pembelajaran kooperatif yang telah ditemukan oleh para ahli


banyak ragam atau tipenya antara lain: 1) Jigsaw, 2) Student Team Achievment
Division (STAD) , 3) Team Game Tournament (TGT), dll. Salah satu contoh
model pembelajaran kooperatif adalah model Jigsaw yang telah dikaji secara
ilmiah oleh Aronson, Blaney, Stephen, Sikes dan Snapp (1978) yang dikenal
dengan model tim ahli dan terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut:
a. Siswa dikelompokkan kedalam beberapa kelompok yang disebut kelompok
asal
b. Setiap orang dalam kelompok diberi bagian materi yang berbeda
c. Setiap orang dalam kelompok diberi bagian materi yang ditugaskan
d. Anggota dari kelompok yang berbeda yang telah mempelajari bagian materi
/sub bab yang sama bertemu dalam kelompok baru yang disebut kelompok ahli
untuk mendiskusikan bagian materi mereka
e. Setelah selesai diskusi sebagai kelompok ahli, setiap anggota kembali ke
kelompok asal dan bergantian mengajar teman satu kelompok mereka tentang
bagian materi yang mereka kuasai dan anggota lainnya mendengarkan dengan
sungguh-sungguh
f. Setiap kelompok ahli mempresentasikan hasil diskusi tentang bagian materi
yang mereka kuasai
g. Guru bersama siswa menyimpulkan materi secara umum
h. Guru menutup pembelajaran

Berikut merupakan beberapa tipe dari model pembelajaran kooperatif yang


telah dikaji secara ilmiah oleh penemunya.
a. Model Pembelajaran Kooperatif tipe Make a Match
Adapun langkah-langkah yang harus dilaksanakan guru dalam memulai
pembelajaran menggunakan tipe make a match adalah sebagai berikut :
1) Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang
cocok untuk sesi review, satu bagian kartu soal dan bagian lainnya kartu
jawaban. Kartu-kartu ini harus dirancang sedemikian rupa sehingga kartu
menarik perhatian siswa. Kita dapat menggunakan gambar kartun, atau gambar
dari majalah, internet atau sumber lain sebagai materi. Guru dapat juga
menyiapkan tulisan-tulisan dalam kartu yang dirancang sedemikian rupa
sehingga mudah untuk dipahami dan dimengerti oleh siswa. Bahasa yang
digunakan harus disesuaikan dengan tingkat pendidikan. Secara standar, kita
dapat menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Jika materi ada
kaitannya dengan gambar, bagan, skema, dibuat sedemikian rupa jelas. Materi
dapat juga dibuat dalam bentuk pertanyaan atau soal, yang berkaitan dengan
tuntutan SK atau KD yang telah ditentukan.
2) Setiap siswa mendapat satu kartu. Sebelum kartu dibagikan kita harus
mengelompokkan siswa dalam dua kelompok yaitu yang memegang kartu
permasalahan atau materi dan yang memegang kartu jawaban. Setiap kelompok
ini dikelompokan lagi sesuai dengan kemampuan dan tingkat kesulitan masalah
yang dihadapi. Siswa yang berkemampuan tinggi akan dibagi kartu dengan
tingkatan kognitif yang lebih tinggi, demikian juga sebaliknya. Pembagian
kartu harus dibuat secara acak tetapi teratur sesuai dengan tingkatan masing-
masing.
3) Setiap siswa memikirkan jawaban/ soal dari kartu yang dipegang.
Pada saat kartu dibagikan, beri mereka waktu antara 10 menit sampai dengan
15 menit untuk memikiran permasalahan dan jawaban masing-masing dari
kartu yang mereka pegang. Mereka dapat mendiskusikannya dengan anggota
kelompok sesama pemegang kartu, mencarinya di buku, internet, peta, globe,
kamus, catatan atau sumber belajar lain yang digunakan pada saat itu. Berikan
kesempatan agar semua dapat memikirkan soal dan jawaban pada setiap
permasalahan yang ada.
4) Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan
kartunya (soal jawaban). Setelah persoalan dipecahkan, siswa saling mencari
pasangan. Agar tidak terjadi kekacauan, dapat dicari secara bergiliran dengan
memberikan kesempatan satu persatu kepada siswa untuk membacakan soal
atau permasalahan/ materi, setelah itu dapat mencari pasangan masing-masing.
Waktu pencarian diberikan waktu misalkan ada 10 persoalan maka poin
diberikan 10 s/d 1. Siswa yang menemukan pasangan pada 1 menit pertama
diberi skor 10, pada 2 menit pertama diberi skor 9, pada 3 menit pertama
diberikan skor 8 dan seterusnya. Sampai dengan 10 menit terakhir. Atau dapat
juga setiap pasangan yang menemukan pasangan diberi skor 1.
5) Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi
poin. Poin dapat diberikan sesuai dengan teknik di atas, dengan memberikan
skor secara bertingkat atau dengan memberikan skor 1 dan 0, siswa yang dapat
menemukan pasangan sesuai dengan waktu yang diberikan diberi skor 1 dan
yang tidak berhasil menemukan jawaban diberi skor 0.
6) Setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar setiap siswa mendapat kartu yang
berbeda dari sebelumnya. Selanjutnya, kartu dikocok dan diberikan secara acak
sesuai dengan tingkatan kemampuan masing-masing. Kembali diberi
kesempatan dalam kelompok, jika anggotanya lebih dari 1 orang. Kemudian
kembali ke langkah 4 dan demikian seterusnya, lakukan secara berulang
sampai waktu pembelajaran selesai. Siapa saja yang menjadi juara berilah
mereka apresiasi, agar di lain kesempatan lebih baik. Berilah motivasi bagi
yang belum berhasil.
7) Kesimpulan/ penutup. Setelah selesai buatlah kesimpulan secara bersama-
sama.

b. Model Pembelajaran Kooperatif tipe Snowball Throwing


Menurut Suprijono (2009:128 ) dan Saminanto (2010:37 ), langkah –
langkah pembelajaran Snowball Throwing adalah sebagai berikut:
1) Guru menyampaikan materi yang akan disajikan, dan Kompetensi dasar yang
ingin dicapai.
2) Guru membentuk siswa berkelompok, lalu memanggil masing-masing ketua
kelompok untuk memberikan penjelasan tentang materi.
3) Masing – masing ketua kelompok kembali ke kelompoknya, kemudian
menjelaskan materi yang disampaikan oleh guru kepada teman- temannya.
4) Kemudian masing – masing siswa diberikan satu lembar kertas kerja, untuk
menuliskan satu pertanyaan apa saja yang menyangkut materi yang sudah di
jelaskan oleh ketua kelompok.
5) Kemudian kertas yang berisi pertanyaan tersebut dibuat seperti bola dan
dilemparkan dari siswa ke siswa yang lainnya selama kurang lebih 5 menit.
6) Setelah siswa dapat satu bola berate mendapat satu pertanyaan maka siswa
tersebut harus menjawab pertanyaan yang tertulis dalam kertas yang berbentuk
bola tersebut secara bergantian.
7) Evaluasi
8) Penutup
c. Model Pembelajaran Kooperatif tipe Snowballing
Hamid (2013) menjelaskan prosedur atau langkah-langkah pembelajaran
dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe snowballing ini sebagai
berikut:
1) Kemukakan sebuah masalah
2) Mintalah setiap siswa untuk berpendapat
3) Setelah semua menjawab, minta kembali kepada siswa untuk berpasangan
(setiap pasangan terdiri atas dua orang). Satu sama lain saling bertukar jawaban
dan membahasnya.
4) Apabila setiap pasangan selesai membahas, mintalah tiap-tiap pasangan itu
untuk mendiskusikannya dengan pasangan yang lain. Demikian seterusnya
sampai terbentuk dua kelompok besar dalam satu kelas.
5) Setelah terbentuk dua kelompok besar, mintalah kepada kedua kelompok itu
untuk mempresentasikan hasil diskusi mereka.

d. Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together (NHT)


NHT adalah salah satu tipe dari pembelajaran koperatif dengan langkah-
langkah sebagai berikut:
1) Pengarahan
2) Pembentukan kelompok heterogen
3) Pemberian nomor untuk setiap siswa
4) Pemberian persoalan materi bahan ajar (untuk tiap kelompok sama tapi untuk
tiap siswa tidak sama sesuai dengan nomor siswa, tiap siswa dengan nomor
sama mendapat tugas yang sama)
5) Pelaksanaan kerja kelompok
6) Presentasi kelompok dengan nomor siswa yang sama sesuai tugas masing-
masing sehingga terjadi diskusi kelas
7) Pelaksanaan kuis individual dan buat skor perkembangan tiap siswa
8) Pengumuman hasil kuis
9) Pemberian reward
e. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share
Model pembelajaran ini tergolong tipe koperatif dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
1) Guru menyajikan materi klasikal
2) Guru memberikan persoalan kepada siswa dan siswa bekerja kelompok dengan
cara berpasangan sebangku-sebangku (think-pairs)
3) Presentasi kelompok (share)
4) Pelaksanaan kuis individual dan membuat skor perkembangan tiap siswa
5) Pengumuman hasil kuis dan pemberian reward.

f. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation


Model koperatif tipe GI terdiri dari langkah-langkah pembelajaran sebagai
berikut:
1) Pengarahan
2) Pembentukan kelompok heterogen dengan orientasi tugas
3) Perencanaan pelaksanaan investigasi
4) Pelaksanaan investigasi proyek tertentu (bisa di luar kelas, misal mengukur
tinggi pohon, mendata banyak dan jenis kendaraan di dalam sekolah, jenis
dagangan dan keuntungan di kantin sekolah, banyak guru dan staf sekolah)
5) Pengolahan data dan penyajian data hasil investigasi
6) Pelaksanaan presentasi
7) Pelaksanaan kuis individual dan pembuatan skor perkembangan siswa
8) Pengumuman hasil kuis dan pemberian reward.

g. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Creative Problem Solving


Model pembelajaran ini adalah variasi dari pembelajaran dengan
pemecahan masalah dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1) Pembentukan kelompok heterogen
2) Memunculkan fakta aktual sesuai dengan materi bahan ajar melalui tanya
jawab lisan
3) Identifikasi permasalahan dan memilih fokus secara kelompok
4) Mengolah pikiran sehingga muncul gagasan orisinil untuk menentukan solusi
5) Presentasi dan diskusi kelompok
6) Pemberian reward

h. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Talk Write


Model pembelajaran ini terdiri dari langkah-langkah pembelajaran sebagai
berikut:
1) Pengelompokan secara heterogen
2) Pembelajaran ini dimulai dengan berpikir melalui bahan bacaan (menyimak,
mengkritisi, dan memikirkan alternatif solusi) secara berkelompok
3) Hasil bacaannya dikomunikasikan dengan presentasi dan diskusi kelompok
4) Kemudian membuat laporan hasil diskusi
5) Pemberian reward.

i. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Two Stay-Two Stray


Pembelajaran model ini terdiri dari langkah-langkah pembelajaran sebagai
berikut:
1) Pengarahan
2) Pembentukan kelompok heterogen
3) Pelaksanaan kerja kelompok
4) Dua siswa bertamu ke kelompok lain dan dua siswa lainnya tetap di
kelompoknya untuk menerima dua orang dari kelompok lain kemudian dua
siswa yang bertamu kembali ke kelompok asal
5) Pelaksanaan kerja kelompok untukmenyempurnakan hasil kerja
6) Presentasi kelompok
7) Pemberian reward.

j. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Game Tornament (TGT)


Penerapan model ini dengan cara mengelompokkan siswa heterogen, tugas
tiap kelompok bisa sama bisa berbeda. Setelah memperoleh tugas, setiap
kelompok bekerja sama dalam bentuk kerja individual dan diskusi. Usahakan
dinamika kelompok kohesif dan kompak serta tumbuh rasa kompetisi antar
kelompok, suasana diskusi nyaman dan menyenangkan seperti dalam kondisi
permainan yaitu dengan cara guru bersikap terbuka, ramah, lembut, santun, dan
ada sajian bodoran. Setelah selesai kerja kelompok sajikan hasil kelompok
sehingga terjadi diskusi kelas.
Model pembelajaran ini terdiri dari langkah-langkah pembelajaran sebagai
berikut:
1) Buat kelompok siswa heterogen 4 orang kemudian berikan informasi pokok
materi dan \mekanisme kegiatan
2) Siapkan meja turnamen secukupnya, misalnya 10 meja dan untuk tiap meja
ditempati 4 siswa yang berkemampuan setara, meja ke-1 diisi oleh siswa
dengan level tertinggi dari tiap kelompok dan seterusnya sampai meja ke-10
ditepati oleh siswa yang levelnya paling rendah. Penentuan tiap siswa yang
duduk pada meja tertentu adalah hasil kesepakatan kelompok
3) Selanjutnya adalah pelaksanaan turnamen, setiap siswa mengambil kartu soal
yang telah disediakan pada tiap meja dan mengerjakannya untuk jangka waktu
tertentu (misal 3 menit). Siswa bisa mengerjakan lebih dari satu soal dan
hasilnya diperiksa dan dinilai, sehingga diperoleh skor turnamen untuk tiap
individu dan sekaligus skor kelompok asal. Siswa pada tiap meja turnamen
sesuai dengan skor yang diperolehnya diberikan sebutan (gelar) superior, very
good, good, medium
4) Bumping, pada turnamen kedua ( begitu juga untuk turnamen ketiga-keempat
dst.), dilakukan pergeseran tempat duduk pada meja turnamen sesuai dengan
sebutan gelar tadi, siswa superior dalam kelompok meja turnamen yang sama,
begitu pula untuk meja turnamen yang lainnya diisi oleh siswa dengan gelar
yang sama
5) Setelah selesai hitunglah skor untuk tiap kelompok asal dan skor individual,
berikan penghargaan kelompok dan individual.

k. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Assisted Individualy


Model ini dalam bahasa Indonesia disebut dengan Bantuan Individual
dalam Kelompok (Bidak) dengan karateristik bahwa tanggung jawab belajar
adalah pada siswa. Oleh karena itu, siswa harus membangun pengetahuan tidak
menerima bentuk jadi dari guru. Pola komunikasi guru-siswa adalah negosiasi dan
bukan imposisi-intruksi. Model pembelajaran ini terdiri dari langkah-langkah
pembelajaran sebagai berikut (Slavin, 1985):
1) Buat kelompok heterogen dan berikan bahan ajar berupak modul
2) Siswa belajar kelompok dengan dibantu oleh siswa pandai anggota kelompok
secara individual
3) Saling tukar jawaban, saling berbagi sehingga terjadi diskusi
4) Penghargaan kelompok dan refleksi serta tes formatif.

l. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Role Playing


Model pembelajaran ini terdiri dari langkah-langkah pembelajaran sebagai
berikut:
1) Guru menyiapkan skenario pembelajaran
2) Guru menunjuk beberapa siswa untuk mempelajari skenario tersebut
3) Pembentukan kelompok siswa
4) Penyampaian kompetensi
5) Guru menunjuk siswa untuk melakonkan skenario yang telah dipelajarinya
6) Kelompok siswa membahas peran yang dilakukan oleh pelakon
7) Presentasi hasil kerja kelompok
8) Kesimpulan dan refleksi

m. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe CIRC


Model pembelajaran ini diinisiasi oleh Steven dan Slavin (1995). CIRC
terdiri dari empat kata yaitu Cooperative Integrated Reading Composition dengan
langkah-langkah pembelajaran sebagai berikut:
1) Membentuk kelompok yang anggotanya 4 orang yang secara heterogen
2) Guru memberikan wacana/kliping sesuai dengan topik pembelajaran
3) Siswa bekerja sama saling membacakan dan menemukan ide pokok dan
memberi tanggapan terhadap wacana/kliping dan ditulis pada lembar kertas
4) Mempresentasikan/membacakan hasil kelompok
5) Guru membuat kesimpulan bersama
6) Penutup.
8. Pembelajaran dengan Pendekatan Kuantum
Pendekatan kuantum atau disebut juga dengan Quantum Teaching and
Learning merupakan cara pandang masyarakat belajar bahwa belajar itu harus
berenergi dan membangkitkan motovasi atau energi positif siswa untuk
berinteraksi dengan guru, siswa lain dan sumber belajar. Segala metode, strategi,
model dan juga termasuk segala hal yang dilakukan yang meliputi interaksi antara
guru dan siswa, kurikulum, dan lain sebagainya yang ada dalam pembelajaran
dibangun atas dasar prinsip “Bawalah Dunia Mereka ke Dunia Kita dan Antarkan
Dunia Mereka ke Dunia Kita”.
Pendekatan pembelajaran kuantum memiliki prinsip-prinsip dasar sebagai
berikut:
a. Segalanya Berbicara
Segalanya dari berbagai komponen yang ada dalam lingkungan
pembelajaran siswa memiliki makna. Setiap komponen yang terlibat dalam proses
pembelajaran yang dilakukan oleh siswa, segalanya memberikan pesan belajar
kepada mereka. Dimulai dari hal yang terkecil hingga yang paling dominan, dari
mulai kertas dan alat tulis yang digunakan oleh siswa hingga siswa dan bahasa
tubuh guru itu sendiri memberikan kontribusi yang aktif pada motivasi dan daya
juang belajar yang dimiliki siswa sehingga semua komponen yang ada dalam
pembelajaran itu seakan-akan berbicara dan pembelajaranpun akhirnya menjadi
hidup.
Dalam pembelajaran dengan pendekatan kuantum, setiap pengalaman
belajar semuanya dikondisikan untuk dapat memberikan pesan belajar yang baik
pada siswa. Setiap perlakuan yang diberikan oleh guru pada siswa dan seluruh
komponen belajar dalam lingkungan pembelajaran baik dari media belajar,
sumber belajar, dan suasana lingkungan belajar, seluruhnya memberikan kesan
positif dan non-diskriminatif terhadap siswa.
b. Segalanya Bertujuan
Pada hakikatnya belajar merupakan suatu proses menuju perubahan yang
diharapkan dari seorang individu. Untuk pencapaian perubahan tersebut tentunya
suatu proses perubahan seseorang memiliki tujuan. Begitulah halnya dalam
belajar, karena belajar merupakan suatu proses perubahan seseorang yang
memiliki tujuan agar dapat menjadi akhir yang terukur pada dirinya bahwa fase
perubahan yang telah dilaluinya itu berhasil ataukah tidak dalam proses belajar
tersebut.
Tujuan dalam proses belajar tentu bukanlah suatu akhir dari aktivitas
belajar yang sedang dilakukan. Tujuan dalam proses belajar merupakan suatu
tahapan seseorang untuk membantu dirinya dalam menentukan jalan hidupnya
untuk mencapai standar kehidupan atau akademik yang lebih tinggi. Sebab pada
hakikatnya, pendidikan dalam arti luas adalah hidup, artinya proses belajar dalam
suatu pendidikan itu akan terus berjalan selama dia masih hidup. Itu berarti belajar
yang dilakukanpun terus menerus akan selalu memiliki tujuan untuk mengarahkan
proses belajarnya agar menjadi tetap terarah.
Jadi, dalam pembelajaran dengan pendekatan kuantum, pembelajaran
harus memiliki tujuan. Tujuan dapat dibuat bersama antara guru dengan siswa.
Setiap pengalaman-pengalaman belajar yang diberikan dan dipelajari oleh siswa
seluruhnya memilki makna dan tujuan yang jelas untuk dapat mengaktualisasikan
dirinya pada masa yang akan datang di lingkungan masyarakat (learning to live
together).
c. Pengalaman Sebelum Pemberian Nama
Proses belajar yang paling baik terjadi ketika siswa telah mengalami
terlebih dahulu informasi yang diajarkan sebelum mengetahui nama dari informasi
yang sedang mereka pelajari itu. Otak menerima dan memproses suatu informasi
dengan cara yang berbeda-beda, daya tahan yang berbeda, dan hasil menangkap
informasi yang berbeda pula. De Porter, dkk. (2008:7) mengatakan bahwa otak
kita berkembang pesat dengan adanya rangsangan yang kompleks, yang akan
menggerakkan rasa ingin tahu. Cara-cara pendidikan tradisional pada zaman dulu
menunjukkan bahwa cara belajar lebih cenderung pada proses transfering
knowledge yang berfokus lebih pada teacher centered.
Pembelajaran dengan pendekatan kuantum menekankan pada suatu proses
pembelajaran yang memfasilitasi rasa ingin tahu siswa untuk mencari dan
menemukan sendiri konsep dari apa yang sedang mereka pelajari. Oleh sebab itu,
pembelajarn dilaksanakan dengan proses pemberian pengalaman secara langsung
kepada siswa sebelum mereka menemukan sendiri konsep dari materi yang
sedang mereka pelajari.
d. Akui Setiap Usaha
Belajar merupakan suatu proses yang mengandung resiko dan tantangan.
Dalam proses belajar, seseorang digiring untuk berani melangkah keluar dari zona
nyamannya mereka sehingga sangat patut sekali apabila kita memberikan
pengakuan terhadap usaha belajar yang telah dilakukan oleh siswa. Selain itu akan
memberikan dampak yang baik pada siswa karena kemampuan mereka menjadi
meningkat, proses pembelajaran akan jauh lebih mudah dan menyenangkan. Guru
sebaiknya tidak tergesa-gesa memberikan penilaian terhadap hasil karya atau hasil
berpikir siswa, melainkan setiap penilaian dilakukan dengan cara mengklarifikasi
hasil karya siswa misalnya dengan bertanya maksud dan tujuannya kemudian
dilanjutkan dengan memberikan penghargaan atas segala usaha siswa sebagai
bentuk penguatan.
e. Jika Layak Dipelajari Maka Layak Pula Dirayakan
Siswa tidak ubahnya seperti para pemain sepak bola yang sedang beradu
laga di sebuah lapangan sepak bola. Mereka juga merupakan para pemain atau
aktor nyata yang ada dalam suatu lingkungan pembelajaran yang sedang
melangkah maju meninggalkan zona nyamannya untuk mendapatkan kesuksesan
yang jauh lebih tinggi dan akan memberikan kenyamanan yang jauh lebih besar
dari sebelumnya. Sama halnya seperti para pemain kejuaraan apapun, setelah
mereka berhasil menyelesaikan setiap langkah untuk menuju kemenangan yang
besar, maka perayaan selalu diadakan untuk menambah dorongan mencapai
langkah-langkah yang selanjutnya. Seperti pemain sepak bola yang habis
membobol gawang lawan dengan mencetak gol, ia akan berlari kegirangan dengan
berjoged-joged, berteriak sambal menunjukka raut wajah yang bahagia, disertai
dengan sorak gembira dari teman-temannya yang menghampiri sambal memeluk
dan mengangkat tubuhnya. Itu semua dilakukan karena mereka yakin bahwa itu
dapat menambah dan mendorong semangat mereka agar keberhasilan tersebut
dapat dilakukan dan terulang kembali. Oleh sebab itu, sebagai seorang guru,
penting adanya suatu perayaan bagi setiap keberhasilan yang telah dilakukan.
Agar keberhasilan tersebut dapat terulang kembali, karena suatu perayaan dapat
menjadi dorongan yang istimewa bagi siswa agar berusaha lebih giat dari
sebelumnya. Perayaan menjadi salah satu prinsip dasar dari pelaksanaan
pembelajaran dengan pendekatan kuantum, perayaan ini dilakukan untuk
menciptakan suasana yang menyenangkan dan berenergi di kelas. Perayaan-
perayaan ini dapat dilakukan berupa bentuk pemberian tepuk tangan, kejutan,
bahasa tubuh, pujian, pentikan jari, pengakuan, dan lain sebagainya yang
memberikan kesan positif bagi siswa.
Model pembelajaran yang diturunkan dari pendekatan kuantum ini banyak
ragamnya di antaranya Model TANDUR, KUASAI, AMBAK, dll. Model
pembelajaran tersebut merupakan serangkaian langkah atau sintaks yang telah
dikaji secara ilmiah oleh penemunya. Setiap langkah dalam model-model
pembelajaran kuantum tersebut tidak terlepas dari keterlaksanaan prinsip-prinsip
pada pendekatan kuantum di atas. Salah satu model pembelajaran kuantum yang
paling familiar adalah model TANDUR yang telah dikaji secara ilmiah oleh Bobbi
De Porter yang merupakan singkatan dari Tumbuhkan, Alami, Namai,
Demonstrasikan, Ulangi, dan Rayakan. Setiap kata dalam TANDUR tersebut
merupakan aktivitas pembelajaran siswa yang harus dilaksanakan secara terurut.
Tahap keempat yaitu Demonstrasikan merupakan penciri bahwa struktur materi
pembelajaran yang hendak dikuasai siswa melalui model TANDUR ini adalah
pengetahuan prosedural berupa prosedur tertentu. Menurut hierarkinya, ketika
guru akan menyampaikan pengetahuan prosedural kepada siswa secara bermakna
maka harus dimulai dari pengetahuan faktual berupa fakta dan pengetahuan
konseptual berupa konsep dan prinsip.
1) Tumbuhkan
Pada tahap ini, guru harus menumbuhkan minat belajar siswa misalnya
melalui pengondisian siswa secara fisik dan psikis untuk mengikuti pembelajaran
dan memotivasi siswa secara kontekstual tentang materi pembelajaran yang akan
dipelajarinya. Hal ini dilakukan sebagai upaya membangkitkan kelas agar
memiliki energi yang cukup untuk persiapan menuju kegiatan inti pembelajaran.
Misalnya ketika guru akan mengajarkan materi tentang Cara Mencuci Tangan,
maka guru harus memulainya misalnya dengan menceritakan atau menayangkan
video tentang banyaknya anak-anak yang sakit perut setelah makan dengan
menggunakan tangan yang tidak dibersihkan terlebih dahulu, sehingga tumbuh
motivasi dari diri siswa untuk mencuci tangan sebelum makan.
2) Alami
Pada tahap ini, guru memfasilitasi siswa untuk melakukan prosedur
tertentu sesuai dengan hasil belajar siswa dari pengalamannya tanpa penjelasan
terlebih dahulu dari guru. Misalnya, setelah siswa termotivasi untuk mencuci
tangan sebelum makan, guru selanjutnya menugaskan siswa untuk mencuci
tangan dengan caranya masing-masing.
3) Namai
Pada tahap ini, guru menyampaikan konsep-konsep yang terkait dengan
materi pembelajaran yang akan dipelajari, misalnya menyampaikan konsep
tentang mencuci, tangan, bersih, sabun, dll.
4) Demonstrasikan
Pada tahap ini, guru mendemonstrasikan prosedur tertentu sesuai dengan
materi pembelajaran yang hendak dikuasai siswa, misalnya mendemonstrasikan
prosedur atau cara mencuci tangan dengan benar sehingga dapat menjadi contoh
bagi siswa.
5) Ulangi
Pada tahap ini, guru memfasilitasi siswa untuk mengulangi prosedur
tertentu sesuai dengan demonstrasi yang telah dilakukan sehingga mereka
menyadari kesalahan-kesalahannya pada saat melakukan prosedur tersebut pada
tahap Alami. Misalnya, setelah siswa mengamati demonstrasi yang telah
dilakukan oleh guru tentang cara mencuci tangan, selanjutnya siswa mengulangi
kembali mencuci tangan sesuai dengan prosedur yang telah didemonstrasikan.
6) Rayakan
Pada tahap ini, siswa telah mendapatkan pengetahuan berupa prosedur
tertentu misalnya siswa telah mampu mencuci tangan dengan benar, selanjutnya
guru bersama siswa merayakan keberhasilan siswa untuk memberikan penguatan
atau motivasi bagi siswa untuk selalu mencuci tangan dengan benar.
9. Pembelajaran Berbasis Aktivitas
Pembelajaran berbasis aktivitas merupakan proses belajar yang melibatkan
proses fisik dan mental siswa melalui kegiatan mengamati, menanya, menduga,
mencoba, mengeksplorasi, mengukur, menyimpulkan, mengomunikasikan, dll.
dengan tujuan:
a. Meningkatkan partisipasi aktif siswa dalam pembelajaran
b. Meningkatkan interaksi sosial antara siswa dengan lingkungan sekitarnya
c. Mendorong siswa untuk dapat menemukan dan menyelidiki sendiri konsep
yang dipejari agar mudah diingat
d. Membantu siswa membentuk cara kerja bersama yang efektif, saling berbagi
informasi, serta mendengar dan menggunakan ide-ide siswa lain
e. Melatih siswa belajar berpikir analitis dan mencoba memecahkan masalah
yang dihadapi sendiri

Pembelajaran berbasis aktivitas dapat dilaksanakan dengan efektif jika


prinsip-prinsipnya terlaksana dengan baik. Prinsip-prinsip pembelajaran berbasis
aktivitas terdiri dari:
a. Somatis yaitu siswa mengalami aktivitas fisik yang memungkinkan siswa
berinteraksi dengan siswa lain secara berpasangan atau kelompok. Kegiatan ini
ditandai dengan adanya pergerakan fisik dari satu tempat ke tempat lain baik di
dalam maupun di luar kelas.
b. Auditori yaitu siswa dimungkinkan untuk mendengar secara aktif dari berbagai
sumber informasi. Pada kegiatan ini, siswa secara aktif mendengarkan
penjelasan materi atau informasi dari berbagai sumber belajar.
c. Visual yaitu siswa dimungkinkan untuk melakukan pengamatan gambar atau
lingkungan sekitar. Pada kegiatan ini, siswa memahami teks berbentuk tulisan,
gambar, bagan, grafik, dan bentuk lainnya baik dua atau tiga dimensi.
d. Intelektual yaitu siswa dimungkinkan untuk melakukan proses berpikir. Pada
kegiatan ini siswa melakukan pencarian informasi dari berbagai sumber untuk
meningkatkan pemahamannya.
Manfaat pembelajaran berbasis aktivitas bagi siswa adalah sebagai berikut:
a. Siswa aktif dalam kegiatan belajar, sebab ia berpikir dan menggunakan
kemampuan untuk menemukan hasil akhir.
b. Siswa memahami benar bahan pelajaran, sebab mengalami sendiri proses
menemukannya. Sesuatu yang diperoleh dengan cara ini lebih lama diingat.
c. Siswa menemukan sendiri konsep, prinsip atau teori yang dapat menimbulkan
rasa puas. Kepuasan batin ini mendorong ingin melakukan penemuan lagi
sehingga minat belajarnya meningkat.
d. Siswa yang memperoleh pengetahuan dengan metode penemuan akan lebih
mampu mentransfer pengetahuannya kepada berbagai konteks.
e. Kegiatan ini melatih siswa untuk lebih banyak belajar mandiri dan bertanggung
jawab.

Pembelajaran berbasis aktivitas memiliki karakteristik umum dalam


pelaksanaan pembelajaran oleh guru baik di dalam maupun di luar kelas.
Karakteristik pembelajaran berbasis aktivitas terdiri dari:
a. Interaktif dan inspiratif
b. Menyenangkan, menantang, dan memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif
c. Kontekstual dan kolaboratif
d. Memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian
siswa
e. Sesuai dengan bakat, minat, kemampuan, dan perkembangan fisik serta
psikologis siswa

Anda mungkin juga menyukai