Anda di halaman 1dari 1

Helmy, M., Munasir, Z. 2007. Pemakaian Cetirizine dan Kortikosteroid pada Penyakit Alergi Anak.

Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta.

Herwanto, N., Hutomo, M. 2014. Studi Retrospektif: Penatalaksanaan Dermatitis Atopik


(Retrospective Study: Management of Atopic Dermatitis). Departemen/Staf Medik Fungsional Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/Rumah Sakit Umum Daerah
Dr. Soetomo Surabaya.

C. Eksperimen Lain

Berdasarkan studi Early Treatment of the Atopic Child (ETAC) didapatkan hasil bahwa timbulnya asma
dapat dicegah melalui penggunaan cetirizine pada bayi dengan dermatitis atopi dan terbukti
tersensitisasi dengan polen rumput atau tungau debu rumah. Beberapa studi menunjukkan sensitisasi
terhadap polen rumput pada bayi merupakan prediktor kuat terhadap onset asma. Pada suatu studi,
didapatkan potensi loratadin dalam menghambat reaksi “wheal and flare” dan lama kerja merupakan
dose-dependent. Namun, bila dibandingkan dengan cetirizine, loratadin membutuhkan dosis yang lebih
besar dibandingkan cetirizine untuk memberikan efek yang sama, sehingga cetirizine mempunyai
potensi sampai 6 kali lebih kuat dibandingkan loratadin. Hal ini juga berlaku apabila cetirizine
dibandingkan dengan antihistamin generasi kedua lainnya. Perbedaan ini disebabkan oleh proses
metabolisme. Komponen cetirizine tidak dimetabolisme di hati, sehingga efek terapetiknya tidak
tergantung pada biotransformasi. Obat lain seperti terfenadine, secara cepat dimetabolisme di hati, dan
hasil metabolit tersebut yang memberikan efek H1. Oleh karena itu, kemampuan metabolisme obat-
obat tersebut sangat bervariasi di antara setiap orang. Studi lain juga membandingkan efek kerja
klorfeniramin, terfenadine, cetirizine, siproheptadin dan astemizol dengan plasebo dalam
bronkonstriksi yang diinduksi histamin dan skin wheal pada pasien asma. Semua antihistamin
menunjukkan proteksi yang bermakna terhadap bronkokonstriksi. Namun proteksi terhadap skin wheal
yang diinduksi histamin hanya diberikan oleh cetirizine dan terfenadine. Selain itu, efikasi protektif
terhadap respons saluran nafas paling tinggi dimiliki oleh cetirizine, diikuti oleh terfenadine. Apabila
dibandingkan dengan plasebo, cetirizine dan terfenadine tidak memberikan efek samping mengantuk
dan mulut kering. Studi dengan menggunakan stimulasi alergen kutaneus pada subjek alergi
menunjukkan cetirizine tidak hanya menghambat respon awal yang tergantung pada mediator oleh sel
mast, namun juga infiltrasi eosinofil selama respons fase lambat. Cetirizine merupakan obat yang paling
baik dalam efek antiinflamasi karena adanya penghambatan influks eosinofil selama reaksi fase lambat.

Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Hutomo & Herwanto dengan judul penelitian “Studi
Retrospektif: Penatalaksanaan Dermatitis Atopik (Retrospective Study: Management of Atopic
Dermatitis)” menjelaskan bahwa antihistamin merupakan jenis terapi yang paling banyak diberikan
yaitu sebanyak 234 pasien (36,3%) dari seluruh kunjungan, dan antihistamin terbanyak yang diberikan
adalah setirizin pada 142 pasien (58%). Penggunaan pelembab masih minimal, seperti krim urea 10%
sebanyak 71 pasien (11%), krim ambifilik (biocream®) sebanyak 52 pasien (8,1%), dan vaselin album
sebanyak 11 pasien (1,7%). Simpulan: Pelembab penting dalam penatalaksanaan DA sehingga
penggunaannya perlu ditingkatkan lagi.

Anda mungkin juga menyukai