2959 - Thyroid Eye Diseases
2959 - Thyroid Eye Diseases
Oleh:
Pembimbing:
dr.M. Yusran, Sp. M (K), M.Sc
Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas dengan judul "Thyroid Eye
Diseases".Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr.M. Yusran, Sp. M (K),
M.Sc selaku pembimbing dalam tugas ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam pengerjaan tugas ini.
Penulis
2
DAFTAR ISI
BAB I ............................................................................................................................... 4
BAB II ............................................................................................................................... 6
DEFINISI .......................................................................................................................... 6
EPIDEMIOLOGI .............................................................................................................. 6
PATOGENESIS ................................................................................................................ 7
KLASIFIKASI .................................................................................................................. 8
DIAGNOSIS ................................................................................................................... 13
TATALAKSANA ........................................................................................................... 17
PROGNOSIS .................................................................................................................. 21
DAFTAR PUSTAKA
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
Sejumlah uji klinis acak pada pengobatan thyroid eye diseases telah
dipublikasikan dalam beberapa tahun terakhir, dan hasilnya telah mempengaruhi
pengelolaan pasien secara substansial. Mengingat hal itu, maka sudah selayaknya
apabila penatalaksanaan thyroid eye diseases diketahui, dari penatalaksanaan
penyakit yang paling ringan sampai yang terberat.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Thyroid eye diseases (TED) dapat juga disebut sebagai TED, thyroid
associated orbitopathy (TAO),atau orbitopathy dystyroid. Penyakit ini
didefinisikan sebagai suatu kondisi autoimun yang dihubungkan dengan status
kadar tiroid yang tidak normal, dimana terdapat inflamasi berat yang
menyebabkan remodelling jaringan orbita, termasuk akumulasi makromolekul
ekstraseluler dan lemak.1 Kondisi ini ditandai dengan retraksi kelopak mata,
proptosis (penonjolan bola mata ke luar), miopati ekstraokluler restriktif, dan
neuropati optik.2
Penyakit ini mengenai kedua mata, namun dapat tidak simetris. Meskipun
kejadiannya kerap dihubungkan dengan penyakit hipertiroid, TED dapat terjadi
juga pada keadaan hipotiroid, atau pada kasus yang langka, yaitu Hashimoto
thyroiditis. Pada beberapa pasien, tanda-tanda klinis tersebut tidak diikuti temuan
objektif kelainan tiroid (euthyroid Graves disease).3
2.2 EPIDEMIOLOGI
Sesuai dengan namanya, TED banyak terdeteksi pada pasien yang
menderita penyakit Grave. Penyakit Grave adalah suatu kondisi autoimun dimana
autoantibodi menempel pada reseptor thyroid stimulating hormone (TSH-R) yang
ada di sel tiroid, hal ini akan memicu terjadinya produksi hormon tiroid yang
berlebihan. Pada kondisi hipertiroid sekitar 80% pasien dengan penyakit Grave
menimbulkan manifestasi klinis pada mata yang selanjutnya disebut dengan
TED.1 Insidensi kejadian TED pada populasi umum adalah 16 kasus untuk jenis
kelamin perempuan dan 3 kasus untuk jenis kelamin laki-laki per 100.000 orang
per tahun dengan bentuk penyakit yang parah tidak lebih dari 3-5% kasus.3
Meskipun TED lebih sering terjadi pada wanita namun tingkat keparahan
lebih tinggi pada pria jika penyakit ini menyerang. Penderita usia 30-50 tahun.
6
terbukti paling sering terkena penyakit ini, dengan kasus berat sering
dijumpai pada pasien di atas usia 50 tahun. Dari pasien yang mengalami orbitopati
tiroid sekitar 80% adalah hipertiroid secara klinis dan 20% adalah eutiroid secara
klinis.2
2.3 PATOGENESIS
Melewati dekade terakhir, penelitian invitro telah bergeser dari miosit
ektraokuler ke fibroblas orbital sebagai target primer dalam proses inflamasi
terkait dengan TED. Diakui bahwa fibroblas orbital secara fenotip berbeda dari
fibroblas yang berasal dari bagian lain di dalam tubuh. Fibroblas orbital melalui
ekpresi karakteristik reseptor permukaaan, gangliosides, dan gen proinflamatory-
berperan aktif dalam proses inflamasi ini. Tidak seperti fibroblas dari bagian
tubuh lain, fibroblast orbital mengekspresikan reseptor CD 40, umumnya
ditemukan pada limfosit B. Ketika terlibat dengan sel T terikat CD 154, beberapa
gen proinflamasi fibroblas secara teratur naik, termasuk interleukin-6 (IL-6), IL-8,
and prostaglandin E (PGE).5
Selanjutnya, terjadi kenaikan sintesis ofhyaluronan and glycosamino-
glycan (GAG). Hal tersebut terjadi pada tingkat yang 100 – kali lipat lebih besar
dalam fibroblas orbital dibandingkan fibroblas di perut pasien TED dari pasien
yang sama. Kaskade kenaikan regulasi ini berdampak pada penambahan dosis
pada terapi kortikosteroid.4
Peradangan otot ekstraokuler dikarakteristikan oleh infiltrasi seluler
pleomorfik.Terkait dengan peningkatan sekresi glikosaminoglikan dan imbibisi
osmotik air menyebabkan otot-otot membesar terkadang sampai delapan kali
ukuran normal, dan dapat menekan saraf optik. Degenerasi serat otot
menyebabkan fibrosis, yang akan memberikan efek penarikan pada otot yang
terlibat, sehingga menghasilkan restriktif miopati dan diplopia. Inflamasi seluler
dengan infiltrasi limfosit, sel plasma, makrofag, dan sel mast jaringan intersisial,
lemak dan kelenjar lakrimal orbital terkait dengan akumulasi glikosaminoglikan
dan retensi cairan. Ini menyebabkan peningkatan volume isi orbital.5
Fibroblas orbital memiliki kemampuan mengalami diferesiasi menjadi
adiposit.Diyakini bahwa respon tersebut, bersama dengan matriks inflamasi,
7
bertanggung jawab atas hipertropi lemak yang dominan pada pasien, khususnya
mereka yang lebih muda dari 40 tahun. Diperkirakan bahwa peningkatan fibroblas
orbital dapat meningkatkan adipogenesis.3
Penelitian baru-baru ini juga telah mengidentifikasi sirkulasi
imunoglobulin (IgG) yang mengaktifkan reseptor insulin-like growth factor serta
menyebabkan reseptor tersebut diekspresikan dalam jumlah yang banyak pada
permukaan sel termasuk fibroblas.Autoantibodi ini telah ditemukan pada
mayoritas pasien dan dapat berkontribusi pada patogenesis orbital dengan
merangsang fibroblas orbital untuk mengeluarkan glikosaminiglikan, sitokin, dan
kemoatraktan.Keluarnya sinyal ini juga dapat menyebabkan peradangan pada
orbital. Manipulasi untuk menghambat jalur ini oleh agen biologis yang tersedia
telah muncul sebagai strategi mengobati pasien berat atau refrakter ortalmopati
Graves.4
2.4 KLASIFIKASI
American Thyroid Association (ATA) mengklasifikasikan TED menjadi
enam kelas.5
8
Demi kepraktisan mendiagnosis, TED dibagi menjadi dua bagian yaitu
early (meliputi kelas 1 dan 2) dan late (kelas 3 sampai 6).
2. Eksoftalmos
Eksoftalmos (proptosis) yang disertai dengan retraksi palpebra merupakan
tanda khas yang membedakan oftalmopati tiroid dengan penyakit yang lain.
Eksoftalmos dapat diperiksa dengan palpasi retropulsi, yaitu dengan melakukan
palpasi digital bola mata di atas kelopak mata penderita yang tertutup. Pada
penderita dengan eksoftalmos berat dapat dirasakan berkurangnya dorongan ke
belakang orbita (retropulsi) pada palpasi. Untuk hasil yang lebih objektif,
eksoftalmos dapat diukur dengan menggunakan Eksoftalmometer Hertel atau
Krahn. Hasil pengukuran dapat menunjukkan derajat eksoftalmos mulai dari
ringan, yaitu kurang dari 24 mm, hingga berat yaitu 28 mm atau lebih.6
9
3. Lagoftalmus
Lagoftalmus adalah kelainan pada mata berupa kelopak mata tidak dapat
menutup dengan sempurna. Lagoftalmus terjadi karena proptosis dan retraksi
kelopak mata.4 Mata yang tidak dapat tertutup dengan sempurna dapat
mengakibatkan mata bagian depan terpapar oleh udara, sedangkan proses
penggantian tears film oleh kelopak mata juga terganggu. Akibatnya kornea mata
menjadi kering dan mudah terjadi infeksi seperti konjungtivitis dan keratitis.7
4. Miopati Restrikrif
Retraksi palpebra pada oftalmopati tiroid sering pula disertai dengan
miopati restriktif, yang menyebabkan gangguan atau adanya hambatan pada
pergerakan bola mata.Miopati pada mulanya melibatkan musculus rectus inferior,
kemudian melibatkan otot-otot rectus yang lain.6 Otot-otot yang paling sering
terlibat adalah musculus rectus inferior dan musculus rectus medialis. Pada
keadaan yang lebih berat, hal ini dapat pula menyebabkan strabismus dengan
deviasi ke bawah (hipotropia) atau deviasi ke nasal (esotropia).7
Miopati restriktif dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan forced
ductions.10 Pemeriksaan ini berguna untuk membedakan penyebab gangguan
pergerakan bola mata karena gangguan neurologis atau restriksi mekanik.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara mendorong konjungtiva yang sudah
dianestesi secara pasif dengan forsep. Jika penyebabnya adalah restriksi mekanik,
maka pendorongan secara pasif tidak dapat dilakukan.8
Selain forced ductions, dapat pula dilakukan pemeriksaan tekanan
intraokular, yaitu terjadinya peningkatan tekanan dengan pergerakan bola mata.
Misalnya, pada pasien hipotropik, terjadi peningkatan tekanan intraokular pada
saat menggerakkan bola mata ke atas.8
10
Gambar 2. Hipotropia Kiri dengan Retraksi Palpebra Superior (diambil dari :
Geneva Foundation of Medical Education and Research)
6. Diplopia
Diplopia adalah penglihatan ganda.Diplopia selalu dimulai dari tatapan
lapang pandang atas karena infiltrasi miopati menyerang otot rektus inferior.
Namun akhirnya semua otot ekstraokuler dapat terserang sehingga diplopia dapat
terjadi di lapang pandang manapun.4 otot ekstraokuler dapat membesar secara
masif sehingga mempengaruhi pergerakan bola mata yang juga dapar
mengakibatkan diplopia.6
11
ini dapat menyebabkan perubahan-perubahan pada retina, salah satunya terbentuk
striae.4
Neuropati optik terjadi akibat kompresi oleh otot-otot ekstraorbital yang
mengalami pembesaran, atau dapat pula terjadi karena iskemia nervus optik.12
Gejala yang dialami berupa pandangan kabur, kehilangan penglihatan,
diskromatopsia, atau penurunan lapangan pandang.Neuropati kompresi tidak
selalu disertai dengan eksoftalmos, namun pada pemeriksaan retropulsi
didapatkan penurunan yang bermakna.Dapat pula dilakukan pemeriksaan
funduskopi untuk melihat adanya edema papil. Namun, karena juga tidak selalu
terlihat edema nervus optik, maka penting untuk dilakukan pemeriksaan yang lain,
seperti visus, penglihatan warna dan adanya defek pupil aferen untuk mendeteksi
adanya neuropati optik.8
Selain tanda-tanda yang telah dijelaskan dapat pula terlihat tanda-tanda
inflamasi di sekitar mata, seperti pembengkakan kelenjar lakrimal dan edema
palpebra.6
12
tiroid.Ditemukan juga penurunan berat badan, kulit berkeringat banyak dan
hangat pada palpasi, kelemahan otot, takikardia pada saat istirahat, dispnea,
gelisah, tremor, dan tanda-tanda lainnya yang menunjukkan adanya peningkatan
laju metabolism.Pretibial myxedema, clubbing finger (thyroid acropachy) dan
onikolisis merupakan tanda-tanda yang dapat ditemukan pada kulit, namun jarang
terjadi.9
2.6 DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan jika ditemukan dua dari tiga tanda berikut:4
1. Sedang dalam perawatan imun karena disfungsi tiroid akibat satu atau
lebih penyakit dibawah ini:
a. Graves hipertiroidisme
b. Hashimoto tiroiditis
c. Terdapatnya antibodi tiroid tanpa keadaan distiroid yang bersamaan
(pertimbangan parsial diberikan): antibodi reseptor TSH (TSH-R),
imunoglobulin penghambat pengikatan tiroid (TBll), immuno-
globulin stimulasi tiroid (TSI), antibodi antimikrosomal.
13
b. Proptosis unilateral atau bilateral
c. Strabismus restriktif dengan pola yang khas
d. Neuropati optik kompresif
e. Edema/eritema kelopak mata flukuatif
f. Kemosis
14
pembesaran otot ekstraokuler. Pemeriksaan ini penting terutama jika
pada pasien direncanakan tindakan operatif untuk dekompresi.1 pada
pemeriksaan CT scan dapat terlihat empat tanda kardinal dari kelainan
pada orbita yaitu proptosis, penebalan otot bola mata, penebalan saraf
optik, dan prolaps septum orbita ke arah anterior karena hipertrofi
jaringan lemak dan atau penebalan otot.9
15
2.8 DIAGNOSIS BANDING
1. Selulitis orbita
Selulitis orbita merupakan peradangan supuratif jaringan ikat longgar
intraorbita di belakang septum orbita. Kuman penyebab biasanya adalah
pneumokok, streptokok, atau stafilokok dan berjalan akut. Bila terjadi akibat
jamur dapat berjalan kronik. Masuknya kuman ini ke dalam rongga mata
dapat langsung melalui sinus paranasal, penyebaran melalui pembuluh darah
atau akibat trauma.7
Selulitis orbita akan memberikan gejala demam, mata merah, kelopak
mata edema, mata proptosis, tajam penglihatan menurun. Tanda-tanda
tersebut muncul pada bola mata yang sakit saja sedangkan pada TED
biasanya gejala muncul pada kedua mata. Pada pemeriksaan laboratorium
didapatkan leukositosis sebagai penanda infeksi sedangkan pada TED tidak,
dan pemeriksaan T3, T4 dan TSH dalam batas normal.9
2. Tumor orbita
Tumor orbita adalah tumor yang terletak di rongga orbita. Rongga
orbital dibatasi sebelah medial oleh tulang yang membentuk dinding luar
sinus ethmoid dan sfenoid. Sebelah superior oleh lantai fossa anterior, dan
sebelah lateral oleh zigoma, tulang frontal dan sayap sfenoid besar. Sebelah
inferior oleh atap sinus maksilari. Tumor orbita terdiri dari primer dan
sekunder yang merupakan penyebaran dari struktur sekitarnya, atau
metastasase.5
Gejala klinis terdiri atas proptosis yang biasanya unilateral sesuai
tempat tumor menyerang. Proptosis kedepan adalah gambaran yang sering
dijumpai, berjalan bertahap dan tak nyeri dalam beberapa bulan atau tahun
(tumor jinak) atau cepat (lesi ganas). Nyeri orbital terlihat jelas pada tumor
ganas yang tumbuh cepat Pembengkakan kelopak mungkin jelas pada
pseudotumor, eksoftalmos endokrin atau fistula karotid-kavernosa. Palpasi
bisa menunjukkan massa yang menyebabkan distorsi kelopak atau bola mata.
Ketajaman penglihatan mungkin terganggu langsung akibat terkenanya saraf
optik atau retina, atau tak langsung akibat kerusakan vaskuler. Saat dilakukan
pemeriksaan CT scan terlihat lokasi massa tumor orbita dan dapat
16
membedakan apakah proptosis disebabkan oleh karena pembesaran otot dan
lemak seperti pada TED atau karena adanya tumor. Pemeriksaan T3, T4 dan
TSH juga pada kadar yang normal.10
2.9 TATALAKSANA
Berdasarkan konsensus European Group on Grave’s Orbitopathy (EUGOGO),
penatalaksanaan dari TED berprinsip pada adanya pokok-pokok utama yang harus
diikuti. Hal tersebut adalah12:
1. Merujuk pasien dengan TED ke pusat yang memiliki spesialis
Merujuk menjadi urgent bila terdapat gejala yang bersifat sight threatening
seperti penurunan visus, perubahan intensitas dan kualitas warna, corneal
opacity, atau edema macula.
2. Managemen masalah oleh nonspesialis
Managemen faktor risiko yang dapat mengakibatkan TED seperti
merokok, dan disfungsi tiroid. Merokok diketahui dapat menurunkan
efektivitas dari terapi, dan meningkatkan progresi TED setelah pemberian
terapi radioiodine untuk hyperthyroid.
3. Managemen masalah oleh spesialis
Didalamnya termasuk penilaian derajat keparahan dan aktivitas dari TED ,
managemen oftalmopati yang mengancam penglihatan, managemen
oftalmopati grade moderate – severe.
4. Managemen oftalmopati ringan
Didalamnya termasuk tatalaksana awal untuk mencegah terjadinya
progresi penyakit.
5. Keadaan khusus
Keadaan seperti diabetes dan hipertensi harus dipertimbangkan bila
tindakan pembedahan dilakukan.
17
- R : Referral to a specialist centre with experience
Penatalaksanaan terhadap oftalmopati yang timbul dapat dibagi per-gejala yang
dialami pasien12:
1. Soft Tissue Involvment
Gejala yang muncul berupa epibulbar yang hiperemis sebagai tanda dari
adanya proses inflamasi, edema periorbital, dan keratokonjungtivitis
limbic superior.
a. Epibulbar hiperemis
Untuk mengatasi gejala ini dapat diberikan NSAID/SAID topikal
maupun oral.
b. Limbic keratokonjungtivitis
Lubrikan dapat diberikan untuk mencegah kornea yang terekspos
menjadi kering.Lateral tarsorrhaphy dapat dilakkan untuk mengurangi
eksposur keratopathy bila tidak berespon dengan lubrikan.
2. Retraksi kelopak bawah
Untuk retraksi kelopak ringan, tidak dibutuhkan penatalaksanaan karena
dapat membaik dengan spontan. Namun, pembedahan dapat menjadi solusi
untuk memperbaiki retraksi yang terjadi.
a. Mullerotomy
Mullerotomy merupakan tindakan pembedahan dengan melakukan
disinsersi otot Muller.
b. Reseksi retractor kelopak bawah
c. Injeksi Botox
Injeksi botox pada levator aponeurosis dan otot Muller dapat
digunakan sebagai tatalaksana sementara untuk menunggu tatalaksana
definitive.
d. Guanethidine 5% eyedrops
Guanethidine 5% eyedrops dapat digunakan untuk mengurangi retraksi
akibat overreaksi otot Muller.
3. Proptosis dan Neuropati Optik
Tatalaksana untuk proptosis dapat dibagi menjadi dua yaitu tatalaksana
medikamentosa dan pembedahan.
18
- Terapi medikamentosa
a. Steroid sistemik
Orbitopati fase akut menonjolkan neuropati optik kompresif
biasanya ditangani dengan kortikosteroid oral. Dosis awal
biasanya 1-1,5 mg/kgBB prednison. Dosis ini dipertahankan
selama 2 hingga 8 minggu sampai respon klinis dirasakan.Dosis
kemudian dikurangi sesuai dengan kemampuan pasien,
berdasarkan respon klinis dari fungsi saraf optik.Injeksi
metilprednisolon dengan dosis 500 mg dalam 200-500ml saline
isotonic dapat diberikan pada kompresi optik akut.
b. Radioterapi
Radiasi dapat diberikan sebagai addisi dari penggunaan steroid,
atau ketika steroid menjadi kontraindikasi. Secara keseluruhan
60% hinggan 70% pasien memiliki respon yang baik dengan
radiasi, walaupun rekuren terjadi lebih dari 25% pasien.
Perbaikan diharapkan selama 6 minggu, dengan perbaikan
maksimal dalam 4 bulan.Radiasi 1500-2000 cGy dalam 10
fraksinasi diberikan dari lateral dengan angulasi posterior. Radiasi
akan merusak fibroblas orbita dan mungkin juga limfosit. Radiasi
membutuhkan beberapa minggu untuk menimbulkan efek dan
dapat menyebabkan inflamasi sementara sehingga pasien perlu
tetap diberikan steroid.Terapi radiasi yang dikombinasi dengan
steroid memberikan hasil yang lebih baik.Diabetes mellitus
merupakan kontraindikasi relatif pada karena dapat terjadi
perburukan retinopati.
c. Terapi kombinasi
Penelitian menyatakan bahwa penggunaan Azothiaprine dengan
prednisolon dosis rendah lebih efektif daripada terapi tunggal.
- Dekompresi pembedahan
Dekompresi dengan cara pembedahan merupakan pilihan utama terapi
ketika terapi non invasif tidak efektif. Dekompresi bertujuan untuk
meningkatkan volume orbit dengan membuang tulang dan lemak
19
disekitar rongga orbital. Biasanya dekompresi dilakukan pada dinding
medial dan lateral. Apabila pembesaran dominan terjadi pada jaringan
lemak, maka dilakukan dekompresi jaringan lemak orbita.
4. Miopati Restriktif
Penatalaksanaan miopati restriktif adalah dengan pembedahan.Tujuan
pembedahan adalah untuk memperoleh pandangan binokuler dan
kemampuan stereoskopik.Pembedahan dilakukan dengan indikasi bila
diplopia menetap dengan sudut deviasi yang tidak berubah selama 6 bulan.
20
4. Terapi untuk penyakit refrakter
- Steroid bersamaan dengan immunomodulator (rituximab, dll).
Imunomodulator dapat memblok reseptor CD20 dari limfosil sel B
sehingga mengurangi peradangan dan proptosis.
2.10 PROGNOSIS
Prognosis dari TED dipengaruhi oleh beberapa faktor.Usia salah satu
faktor yang dapat mempengaruhi. Anak-anak dan remaja umumnya memiliki
penyakit yang ringan tanpa cacat yang bermakna sampai batas waktu yang lama.
Pada orang dewasa, manifestasinya sedang sampai berat dan lebih sering
menyebabkan perubahan struktur karena gangguan fungsional. Diagnosis yang
ditegakkan secara lebih dini diikuti intervensi dini terhadap perkembangan proses
penyakit dan mengontrol perubahan jaringan lunak dapat mengurangi morbiditas
penyakit dan mempengaruhi prognosis dalam jangka waktu yang lama.7
21
BAB III
KESIMPULAN
Thyroid Eye Diseseas (TED) adalah manifestasi ekstratiroidal yang paling sering
terjadi pada penyakit Graves. TED memiliki dampak negatif yang besar pada
kualitas hidup individu yang terkena. Deklarasi Amsterdam, yang ditandatangani
oleh banyak pakar internasional mengenai TED, menetapkan tujuan umum yang
bertujuan untuk meminimalkan morbiditas terkait TED, memperbaiki kualitas
hidup pasien dan mencegah terjadinya TED pada individu berisiko. Pengamatan
baru-baru ini menunjukkan bahwa pasien yang dirujuk ke pusat kesehatan tersier
memiliki penyakit yang kurang parah dan aktif. Hal tersebut mencerminkan
peningkatan kesadaran akan penyakit ini dan mungkin akibat diagnosis dan
pengelolaan hipertiroidisme Graves dan TED yang lebih awal serta penggunaan
yang lebih efektif dari tindakan pencegahan, termasuk tindakan antirokok,
penggunaan antioksidan (selenium), kontrol yang lebih baik serta tindak lanjut
disfungsi tiroid yang lebih ketat. Percobaan klinis acak telah dipublikasikan, baik
yang menentukan pengoptimalan pengobatan lama, seperti GC dosis tinggi, atau
mengusulkan perawatan biologis baru, seperti rituximab. Penelitian lain yang
sedang berlangsung sedang mengevaluasi keefektifan (dan keamanan)
imunosupresan, seperti mycophenolate atau antibodi monoklonal reseptor anti-
IGF-1. Rekomendasi tentang peran agen baru ini harus menunggu hasil penelitian
terkontrol acak besar.Pemahaman tentang patogenesis TED kini semakin
meningkat, namun perawatan penyakit yang parah masih belum sempurna,
mungkin karena tidak dapat diketahui secara tepat mekanisme patogen penyakit
ini. Meski begitu, berbagai penelitian sedang dilakukan untuk kemajuan
pengobatan di bidang ini
22
DAFTAR PUSTAKA