Kemajuan teknologi informasi tidak hanya berdampak baik bagi manusia
modern, namun juga meningkatkan kecemasan dan ketakutan seseorang atas sesuatu yang sebenarnya tidak perlu terlalu dicemaskan. Dalam hal ini contohnya adalah hipokondriasis, ditandai oleh fokus gejala yang lebih ringan daripada kepercayaan pasien bahwa ia menderita penyakit tertentu.1,2 Hipokondriasis merupakan salah satu dari enam gangguan somatoform yang dikategorikan dalam DSM-IV. Hipokondriasis dibedakan dari kelainan delusi somatik lainnya oleh karena gangguan ini dihubungkan dengan pengalaman gejala fisik yang dirasakan oleh penderitanya, dimana gangguan somatoform lainnya tidak menunjukkan gejala fisik di dalam dirinya. Hipokondriasis disebabkan dari interpretasi pasien yang tidak realistis dan tidak akurat terhadap gejala atau sensasi fisik, yang mennyebabkan preokupasi dan ketakutan bahwa mereka menderita penyakit yang serius, kendatipun tidak ditemukan penyebab medis yang diketahui. Preokupasi pasien menyebabkan penderitaan yang bermakna bagi pasien dan mengganggu kemampuan mereka untuk berfungsi di dalam peranan personal, sosial, dan pekerjaan. Gejala yang timbul bisa saja merupakan pernyataan gejala fisik yang dilebih-lebihkan, yang justru akan memperberat gejala fisik yang disebabkan oleh keyakinan bahwa pasien tersebut sedang sakit dan keadaannya lebih buruk dari keadaan yang sebenarnya.2 Hipokondriasis dan gangguan somatoform lain merupakan gangguan psikiatri paling sulit dan kompleks untuk diterapi secara medis. Gangguan somatoform sendiri adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki gejala fisik di mana tidak dapat ditemukan penjelasan medis yang adekuat. Seperti kelainan psikiatri lain, gangguan somatoform membutuhkan perencanaan terapi yang kreatif, kaya, dan bersifat biopsikososial oleh klinisi yang meliputi dokter umum, sub-spesialis, dan ahli psikiatri professional untuk menciptakan strategi penatalaksanaan yang holistik pada penderita hipokondriasis.2,3